Anda di halaman 1dari 3

Keagungan Sifat Sabar

Oleh Ahmad Faiz

Ali bin Alhusein Zainal Abidin berkata, "Ketika Allah mengumpulkan semua manusia, yang awal
hingga yang akhir (di padang mahsyar), maka akan ada seruan, 'Di manakah orang-orang yang
sabar? Hendaknya mereka masuk surga sebelum hisab!' Maka bangkitlah serombongan
manusia, lalu disambut oleh para malaikat dan bertanya, 'Ke manakah kalian hai anak Adam?'
Jawab mereka, 'Ke surga'. Ditanya, 'Sebelum hisab?' Jawab mereka, 'Ya.' Ditanya lagi, 'Siapakah
kalian?' Jawab mereka, 'Kami adalah orang-orang yang sabar.' Ditanya, 'Bagaimana bentuk
kesabaran kalian?' Jawab mereka, 'Kami bersabar dalam melakukan ketaatan, dan kami sabar
dalam meninggalkan kemaksiatan sampai Allah mematikan kami.' Maka malaikat berkata,
'Sebagaimana ucapan kalian, silakan kalian masuk surga.' Maka sebaik-baik pahala bagi orang
yang beramal." (Tafsir Ibnu Katsir Juz I/hal 221).

Apa yang disampaikan tersebut menunjukkan betapa besarnya ganjaran bagi orang-orang yang
bersabar, masuk surga tanpa dihisab! Hal ini diperkuat firman Allah dalam surat Azzumar ayat
10, yang artinya, "Sungguh orang yang sabar akan diberikan pahala mereka tanpa hisab."

Kesabaran yang dituntut Allah mencakup tiga bentuk. Pertama, sabar dalam menjauhi perkara-
perkara yang diharamkan (kemaksiatan). Kedua, sabar dalam mengerjakan ketaatan, yakni
perkara yang wajib, sunah, dan yang dibolehkan. Dan yang ketiga, sabar di dalam menghadapi
berbagai musibah yang menimpa diri kita.

Dari ketiga perkara tersebut, poin pertama dan kedua berkaitan dengan hal-hal yang berada di
bawah kontrol kita. Menghindari kemaksiatan dan mengerjakan ketaatan terhadap perintah Allah
adalah merupakan pilihan kita sendiri. Ini bukan perkara ringan.

Sedangkan poin ketiga terkait dengan hal-hal yang berada di luar kontrol manusia. Musibah,
bencana, kecelakaan, dan sebagainya adalah perkara-perkara yang sering terjadi.

Bila dalam musibah manusia mampu bersabar, maka sebagaimana sabda Nabi saw, "Sungguh
mengagumkan keadaan orang mukmin, tiada takdir Allah padanya melainkan menjadi kebaikan
baginya, bila mendapat nikmat dia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya dan bila
ditimpa bencana, dia bersabar dan kesabaran itu menjadi kebaikan baginya."
Selasa, 28 Agustus 2001
Mawas Diri
Oleh Zainuddin Al-Aziz

''Jika kamu melihat pada orang yang diberi keutamaan dalam hal harta dan kedudukan, maka
lihatlah pada orang yang lebih rendah kedudukannya (lebih miskin) daripada mereka yang lebih
utama kedudukannya.'' (HR Muslim).

Di zaman Rasulullah saw, kedamaian dan keharmonisan merupakan latar belakang tingkat
kehidupan yang sakinah bagi setiap keluarga. Masyarakat tidak memandang perbedaan antara si
kaya dan si miskin, yang kuat dan yang lemah. Mereka bahu-membahu dalam menciptakannya.

Begitupun dengan kehidupan keluarga Rasul, sampai menjelang akhir hayatnya. Beliau hanya
meninggalkan dua hal untuk manusia, sebagai pedoman hidup yang abadi sepanjang masa,
yaitu Kitabullah dan Sunnatu Rasulihi. Beliau sendiri tidak meninggalkan harta warisan berbentuk
apa pun kepada keluarganya.

Manusia saat ini tidak pernah merasa puas dengan keberadaan mereka. Harga diri menjadi salah
satu argumen dalam mempertahankan derajat mereka guna mencapai tujuan hidup yang
sempurna.

Dengan langkah dan strategi yang serbaguna, dibuat komitmen dalam sarana mengatur seluruh
lapisan masyarakat. Terutama yang ikut campur terhadap harga diri mereka dan selama ini
dianggap sebagai hama pengganggu ketenangan belaka.

Tanpa disadari, perpecahan timbul secara perlahan antara etnis yang saling memperebutkan
harkat dan martabat. Ini tak lepas dari kekuasaan dalam merebut kendali pemerintahan.
Kecemburuan sosial terus berlangsung dan cenderung menjadi bumerang bagi kedamaian
masyarakat yang tidak tahu-menahu.

Padahal, kalau kita renungkan kenyataan tersebut adalah sumber kecelakaan pada diri kita
sendiri. Kita akan lupa segalanya karena kesenangan dunia yang bersifat sementara belaka.

Maka, pernyataan hadis di atas memberikan pandangan yang logis terhadap solusi masalah
yang sering mencuat. Meskipun diri kita salah satu golongan elite yang mendominasi
pemerintahan, kita harus memikirkan keberadaan masyarakat yang jauh lebih membutuhkan
dibanding kita. Kita harus menilik mereka yang lebih miskin bukan untuk meniru mereka.

Maka, jalan utama yang harus kita lalui adalah mawas diri. Semua itu tak lepas dari pengendalian
diri kita masing-masing sebagai hamba yang bersyukur terhadap nikmat-nikmat-Nya. 
Assalamu’alaikum Warrahmatullah hiwabarakatuh

Do’a sebagai perwujudan ketundukan kepada Allah.

Bismilahirrahmanirrahim
Berdo’a selalu dikaitkan dengan adanya permohonan kita sebagai mahluk
terhadap Khalik Sang Pencipta. Hal tersebut bisa kita kiat dari asal muasal
adanya do’a. Menurut sejarah asal muasal timbulnya do’a bermula dari Nabi
Adam ketika diciptakan dan ditiupkan roh, kemudian kepadanya diajarkan cara
berdo’a:
Ihdinash shiratholmusthaqim. Shiratholladziina an’amta ‘alaihim ghairil
maghdhuu bialaihim waladh dhalliin (Al Fatihah ayat 6–7). Artinya “Wahai
Tuhan kami tunjukilah aku jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang Engkau
murkai dan bukan jalan mereka yang sesat”.
Hal tersebut diatas termuat dalam kitab “Khozinatul Asrar”.
Kemudian do’a pertama muncul setelah Nabi Adam dan istrinya melanggar
larangan Allah hingga mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscaya kami tergolong orang-orang yang
merugi” (Surat Al A’raf ayat 22-23)
Mengapa manusia perlu berdo’a? Ada beberapa factor:
1. Lantaran jiwanya merasa terpanggil untuk memohon perlindungan ketika
mendapat kesulitan yang tidak bisa mengatasinya.
2. Lantaran do’a itu merupakan perintah Allah, yang ditujukan kepada
manusia itu sendiri.
Namun sesungguhnya berdo’a merupakan perwujudan ketundukan kita kepada
Allah, dengan berdo’a berarti kita mengakui bahwa kita itu makhluk yang lemah
yang tidak mempunyai kekuatan apapun, dibandingkan dengan Allah
Subhanahuwata ’ala. Maka salah satu adab dalam berdo’a adalah dengan
merendahkan diri kita, dan memohon dengan segenap keyakinan bahwa do’a
kita akan diterima, Innaka samii uddu’a, Sesunguhnya Engkau Maha Pendengar
Do’a, surat Ali Imran ayat 38.
Kadang kala orang yang tidak mau berdo’a karena tidak mempunyai masalah,
sudah berkecukupan, lupa dan lain sebagainya, orang seperti ini diibaratkan
orang yang takabur, sombong, karena merasa dirinya sudah mempunyai
kekuatan, padahal tidak ada kekuatan selain kepunyaanNya. Dengan berdo’a
berarti kita menyatakan tunduk kepada Allah, Tiada Tuhan selain Dia. Iiya kana’
budu wa iiya kanasta ‘iin, Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahhi wabarakatuh

Anda mungkin juga menyukai