Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

AKHLAK TASAWUF

“ Doktrin-Doktrin Tasawuf “

Disusunoleh :

Imam Jauhari( 170501043 )

UswatunHasanah( 170501045 )

SaidatulUmmah( 170501058 )

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK

TAHUN 2020

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah dengan judul Doktrin-doktrin tasawuf untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Akhlaq Tasawuf. Terima kasih kepada bapak dosen yang sudah
membimbing kami hingga kami bisa melaksanakan tugas ini.

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan. Maka kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun.Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Gresik, 15 Desembe 2021

Penulis

DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………………………
................................................….i

KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………......................
..................………..ii

DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………….........................
...................………iii

BAB I :
PENDAHULUAN……………………………………………………….............................
......……...1

A. LatarBelakang……………………………………………….............................
……………….1
B. RumusanMasalah……………………………………………………................
..........………1

BAB II :
PEMBAHASAN…………………………………………………………............................
......……...2

1. Tasawuf Ilmu………………………………………...............2
2. Tujuan Tasawuf........................................................................3
3. Metode Tasawuf.......................................................................4

BAB III :
PENUTUP………………………………………………………………..............................
......………..7

KESIMPULAN……………………………………………………………..........................
.....……….7
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………........................
..............………8

BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Dalam tradisi Islam, semua ilmu berasal dari Allah SWT. Sebab, segala sesuatu berasal dari-Nya,
dan Dia sendiri menyebut diri-Nya sebagai ‘Alim, Maha Mengetahui. Karenanya, sebagai ‘Alim,
Dia memiliki sifat ilmu (‘ilm) atau mengetahui. Dalam filsafat Islam, semua nama atau sifat-Nya
adalah hakikat dari eksistensi-Nya. Hakikat dari eksistensi-Nya adalah wujud itu sendiri. Sebagai
salah satu sifat-Nya, maka ‘ilm (ilmu) adalah eksistensi-Nya sendiri.1 Pada hakikatnya, Allah
SWT. adalah pemilik ilmu, objek ilmu, bahkan ilmu itu sendiri. Ilmu Allah SWT. sangat luas sekali,
tanpa ada batas. Sebagai Maha Pemurah, Dia memberi manusia banyak pengetahuan. Bisa saja
Dia memberikan seluruh pengetahuan-Nya kepada manusia tanpa ada batas, tetapi karena
manusia memiliki keterbatasan, maka manusia hanya mampu menyerap sedikit saja dari ilmu-
Nya. Ibarat air laut ditumpahkan ke dalam sebuah cangkir, tentu cangkir tidak akan mampu
menampung air laut tersebut, karena keterbatasan kapasitas cangkir
Jadi, sebagai pemilik ilmu, ilmu-Nya tidak terbatas. Sebab, ilmu adalah diri-Nya sendiri,
sedangkan diri-Nya sendiri adalah tidak terbatas. Kendati manusia memiliki banyak
keterbatasan, tetapi Allah SWT. tiada pernah berhenti melimpahkan pengetahuanNya kepada
setiap manusia. Karena alasan inilah, Dia memberi manusia dua kitab ilmu kepada manusia,
yaitu kitab kecil dan kitab besar. Kedua kitab ini berisikan ayat-ayat-Nya. Kitab kecil berisikan
ayat-ayat qauliyah. Kitab ini dikenal sebagai kitab suci, yang berisikan kalam Ilahi, kepada
seorang nabi dan rasul. Sedangkan kitab besar berisikan ayat-ayat kauniyah. Kitab ini dikenal
sebagai alam. Dalam Islam, alam dibagi menjadi dua bagian yaitu alam besar (makro kosmos),
yaitu alam semesta, dan alam kecil (mikro kosmos), yaitu manusia, dan kedua alam ini
diciptakan sebagai tanda-tanda (ayat) keberadaan Allah SWT. Kedua alam ini bahkan memiliki
dimensi lahir (fisik) dan dimensi batin (non-fisik). Setiap manusia diperintahkan Allah SWT. untuk
menafsirkan kedua kitab ilmu ini secara baik dan benar, karena keduanya berisikan ayat-ayat
Ilahi..
Dengan kata lain, sebagian ilmu telah diberikan Allah SWT. secara langsung kepada manusia,
tetapi melalui lisan para nabi dan rasul, berupa wahyu. Wahyu Ilahi, seperti al-Qur’an dan hadis
Nabi Muhammad SAW. berisikan banyak ilmu, dan wahyu Ilahi ini menjelaskan segala sesuatu
(al-kitab tibyan li kulli syai’). Dalam tradisi Islam, ayat-ayat al-Quran memiliki makna lahir
sekaligus makna batin. Allah SWT. menyeru manusia mempelajari kandungan ayat-ayat al-
Qur’an dan berupaya memahami ta’wilnya. Manusia diperintahkan oleh Allah SWT. untuk
menafsirkan dan menakwilkan kandungan teks dari ayat-ayat al-Qur’an, supaya mereka bisa
memahami seluruh realitas. Sebagai teks suci, ayat-ayat al-Qur’an harus ditafsirkan dan
ditakwilkan secara benar. Dalam epistemologi Islam, teks-teks wahyu bisa dipahami secara
benar dengan dengan metode bayani, yaitu tafsir dan ta’wil. Metode tafsir sangat tepat
memahami makna lahir al-Qur’an, sedangkan metode ta’wil sangat ampuh menelusuri makna
batin al-Qur’an. Kedua metode ini sangat membantu seseorang dalam memahami ayatayat
dalam kitab kecil tersebut. Ilmu juga diberikan oleh Allah SWT. secara tidak langsung kepada
manusia. Dia menciptakan sebuah kitab besar bagi manusia, yaitu alam semesta. Alam dibagi
menjadi dua bagian, yaitu alam besar (makro kosmos) dan alam kecil (mikro kosmos). Kedua
alam ini memiliki dimensi gaib dan non-gaib. Jadi, kitab besar mengandung dua dimensi yaitu
dimensi lahir dan dimensi batin.
Al-Quran mengakui bahwa realitas itu bisa dibagi dua, yaitu realitas gaib dan realitas syahadah
(non-gaib). Banyak sekali ayat membicarakan realitas gaib seperti Allah SWT., malaikat, ‘arsy,
setan, iblis, surga, dan neraka. Tidak sedikit juga ayat al-Quran yang membicarakan fenomena
alam fisik seperti langit dan bumi, matahari, bulan, gunung, dan pohon. Al-Qur’an sangat banyak
memberikan contohcontoh bahwa alam memiliki dua dimensi, dimensi lahir dan dimensi batin.
ini akan mengungkap sejumlah doktrin pokok tasawuf. Secara khusus, akan dikemukakan
sejumlah gagasan dasar dalam dunia tasawuf mencakup tujuan, metode, serta konsep maqamat
dan ahwal. Tema-tema ini patut dikemukakan sebagai jalan untuk melacak keberadaan tema-
tema tersebut dalam nomenklatur Islam, baik al-Qur`an maupun hadis.

B. RumusanMasalah
1. Tasawuf Ilmu
2. Tujuan Tasawuf
3. Metode Tasawuf

BAB II

PEMBAHASAN

1. TASAWUF DALAM ILMU


Sebagaimana kemestian untuk menafsirkan kitab kecil, Islam juga menyeru manusia
menafsirkan kitab besar ini, karena kitab ini juga berisikan ayat-ayat (tanda-tanda) Ilahi.
Agar manusia mampu menafsirkan kitab ini, maka Allah SWT. menganugerahkan indera,
akal dan hati. Manusia akan berhasil menafsirkan kitab besar ini, bila mereka mampu
mengaktualisasikan semua potensi epistemologinya itu secara sempurna. Islam bahkan
memerintahkan manusia menggunakan seluruh potensi epistemologinya (indera, akal dan
hati), agar mereka mampu memahami realitas. Allah SWT. akan memurkai, bahkan
memberikan derajat yang lebih rendah dari derajat hewan ternak kepada manusia, apabila
mereka enggan menggunakan indera, akal dan hati untuk memahami ayat-ayat
Ilahi.Perintah Allah SWT. ini tidak lain adalah agar manusia mampu memahami tanda-
tanda keberadaan Sang Ilahi.
Dari sini dipahami bahwa karena semua ilmu berasal dari Allah SWT., karena Dia
menjadi sumber utama ilmu, dan Dia menciptakan dua kitab sebagai wadah penampung
semua ilmu-Nya, maka pada dasarnya, tidak ada pertentangan antara kitab kecil dan kitab
besar. Tidak mungkin ada pertentangan karena Allah SWT. adalah wujud sempurna dan
sederhana, dan karena Dia tidak berasal dari unsur-unsur yang berbeda, apalagi
bertentangan. Dia Maha Esa, dan karena Dia sebagai sumber ilmu, maka kebenaran ilmu
menjadi esa pula. Idealnya 80 tidak ada pertentangan antara kitab kecil dan kitab besar,
karena keduanya berasal dari satu kebenaran, yaitu Allah SWT. sebagai Maha Esa dan
Maha Benar. Karena itu, sangat tidak mungkin ada pertentangan antara wahyu dan
filsafat. Karena itu, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu filosofis, keduanya sama-sama
berasal dari Allah SWT. Atau, semua ilmu, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu
rasional, berasal dari-Nya. Bedanya, ilmu-ilmu agama berasal dari wahyu yang berasal
langsung dari Allah SWT., sedangkan ilmu-ilmu rasional berasal dari Allah SWT, tetapi
tidak langsung, karena manusia berusaha keras mencarinya lewat indera, akal dan hati.
Para nabi dan rasul menjadi aktor pemeroleh dan penyebar wahyu Ilahi, sebagai
pengetahuan langsung dari Allah SWT., sedangkan para pemikir semacam saintis, filosof
dan sufi menjadi aktor pemeroleh dan penyebar pengetahuan tidak langsung dari Allah
SWT tersebut. Pada dasarnya, sama sekali tidak ada kontradiksi antara kedua bentuk ilmu
ini. Dalam tradisi intelektual Islam, para pemikir Muslim bahkan menjadikan wahyu
sebagai sumber inspirasi. Bagi kehidupan manusia, keduanya saling melengkapi satu
sama lain. Bahkan, ilmu-ilmu non-agama lahir dari dorongan wahyu Ilahi. Semua pemikir
Muslim mengembangkan beragam ilmu atas dasar seruan Ilahi sebagaimana disebutkan
oleh berbagai ayat-ayat al-Qur’an. Semua ini mereka lakukan demi menemukan bukti-
bukti dari keberadaan-Nya, agar keimanan mereka semakin teguh dan kokoh.
Ringkasnya, tradisi intelektual Islam mengakui kevalidan mistisisme sebagai ilmu. Islam
mengakui hati (intuisi) sebagai sarana ilmiah meraih ilmu, dan bahkan alat epistemologi
ini menjadi alat paling jitu menangkap hakikat realitas. Akan tetapi, hanya hati manusia
suci yang mampu meraih ilmu hakiki tersebut, karena manusia tersebut telah berhasil
mensucikan hatinya (tazkiyah al-nafs), sehingga Allah SWT. secara otomatis
melimpahkan ilmu ke dalam hati suci manusia tersebut. Dalam epistemologi Islam,
kualitas pengetahuan intuisi bahkan dipandang sebagai pengetahuan yang tertinggi
dibandingkan pengetahuan inderawi dan akal.
2. TUJUAN TASAWUF
Para sufi menekuni tasawuf dengan tujuan membersihkan jiwa dan hati agar
mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah). Tujuan ini bisa dilihat dari perkataan
para sufi awal tentang hakikat dan tujuan tasawuf. Husain ibn ‘Ali berkata “tasawuf
adalah kebaikan budi pekerti. Ia yang memiliki budi pekerti yang lebih baik adalah sufi
yang baik.” Al-Syibli berkata bahwa “tasawuf adalah syirik, karena ia menjaga hati dari
pandangan terhadap yang lain dan yang lain tidaklah ada.” Al-Syibli berkata juga
“tasawuf adalah duduk bersama Allah tanpa merasa sedih sedikit pun.” Ahmad al-Jariri
berkata bahwa “tasawuf adalah memasuki dalam semua akhlak nabi dan keluar dari
semua akhlak yang tidak terpuji.” Ahmad al-Nuri berkata “tasawuf adalah akhlak, maka
barang siapa yang bertambah akhlaknya, maka akan bertambah mantap tasawufnya.”
Ahmad ibn Muhammad al-Ruzabari berkata bahwa “tasawuf adalah menetap di pintu
kekasih (Allah), walaupun ia terusir (karena dosanya), dan kebersihan hati yang dekat
kepada Allah adalah setelah jauh dari Allah karena kotoran dosa.”Dzun Nun al-Mishri
berkata “para sufi adalah orang-orang yang mengutamakan Allah daripada lainnya,
sehingga Allah lebih mengutamakan mereka daripada lainnya.” Al-Junaid berkata
tasawuf adalah “memurnikan hati dari berhubungan dengan makhluk lain, meninggalkan
sifatsifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani,
mengambil pelbagai sifat ruh, mengikatkan diri kepada ilmu-ilmu hakikat,
mengumpulkan segala sesuatu untuk masa yang kekal, sungguh-sungguh beriman kepada
Tuhan dan mengikuti syari’at Nabi Muhammad SAW.” Sahl Abd Allah al-Tustari
berkata bahwa “para sufi adalah orang yang bersih dari ketidakmurnian dan selalu
merenung, memutuskan hubungan dengan manusia lain demi mendekatkan diri kepada
Allah”. Abu Yadzid al-Busthami berkata “para sufi adalah anak-anak yang duduk di
pangkuan Tuhan.” Ibn Sina berkata tasawuf adalah “memisahkan diri dari semua
kesibukan kepada selain Allah SWT. sampai menjadi fana’ dan meleburkan diri bersama
Ilahi, sehingga bisa berperilaku sesuai akhlak Ilahi dan mencapai hakikat tunggal,
sehingga akhirnya mencapai kesempurnaan”. Nashir al-Din al-Thusi berkata “tasawuf
adalah ilmu tentang Allah SWT. dari dimensi asma`, shifat dan tajalli-Nya…ilmu tentang
usaha melepaskan diri dari segala keterikatan materi yang membelenggu seorang salik
saat menyatu dengan Allah SWT., dan ilmu tentang berperilaku sesuai dengan sifat-sifat-
Nya”. Berdasarkan pernyataan para sufi ini, para sarjana merumuskan tujuan seorang sufi
dalam menekuni tasawuf. Menurut Harun Nasution, tujuan tasawuf adalah memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang
berada di hadirat Tuhan. Karena itu, intisari dari tasawuf adalah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri
(khalwah) dan berkontemplasi. Lalu, kesadaran ini mengambil bentuk rasa dekat sekali
dengan-Nya. Mendukung Harun, Mulyadhi Kertanegara menyatakan bahwa tujuan dari
tasawuf adalah pendekatan dengan sumber dan tujuan hidup manusia, yaitu Tuhan.
Sedangkan A. Rivay Siregar menyatakan bahwa tujuan dari tasawuf adalah agar berada
sedekat mungkin dengan Allah SWT. Secara khusus, ada tiga sasaran tasawuf, yaitu
pembinaan aspek moral, untuk ma‘rifat Allah melalui penyingkapan langsung (al-kasyf
al-hijab), dan untuk membahas sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah
SWT. secara mistis filosofis dan pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan
makhluk. Dengan demikian, tujuan tasawuf adalah membina diri dengan berbagai amal
ibadah, sehingga menjadi manusia berakhlak, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Dengan demikian, setidaknya ada empat tujuan tasawuf bagi seorang sufi. Pertama.
Untuk membersihkan hati agar dapat mendekatkan diri kepada Allah. Kedua. Untuk
membina akhlak mulia (akhlaq al-karimah). Ketiga. Untuk memperoleh ma’rifah
(pengetahuan sejati tentang Tuhan). Keempat. Untuk memperoleh ilmu-ilmu hakikat
(‘ilm al-ladunni). Karena tujuantujuan inilah, para sufi melakukan sejumlah
praktik/perjalanan spiritual.
3. METODE TASAWUF
Kaum sufi menggunakan metode ‘irfani yang disebut juga sebagai tazkiyah al-nafs.
Metode ini mengandalkan hati (qalb) manusia sebagai alat meraih ilmu. Menurut metode
ini, ilmu bisa diperoleh dengan cara membersihkan jiwa dan hati manusia dari segala
dosa. Apabila hati manusia telah suci, maka Allah SWT. akan melimpahkan ilmu secara
langsung ke dalam hati manusia. Ilmu ini disebut sebagai ilmu hudhuri atau ilmu laduni.
Dikatakan ilmu hudhuri adalah karena objek pengetahuan dicapai tanpa melalui perantara
apapun baik berupa simbol, konsep maupun representasi. Jika para filosof menjadikan
akal sebagai alat meraih ilmu dan para saintis menjadikan indera sebagai sarana
pemeroleh ilmu, maka para sufi menggunakan jiwa dan hati sebagai sarana memperoleh
ilmu langsung dari Allah SWT. Para sufi menyadari bahwa indera dan akal memang bisa
membantu manusia mendapatkan kebenaran, namun keduanya memiliki kelemahan. Dari
sini mereka mencari alat lain untuk mendapatkan kebenaran sejati, dan menyimpulkan
bahwa mereka akan memperoleh kebenaran sejati melalui jiwa dan hati. Akan tetapi,
mereka berpendapat bahwa tidak semua jiwa dan hati manusia mampu memperoleh
kebenaran sejati itu, sebab kebenaran seperti itu hanya diperoleh oleh jiwa dan hati
tertentu, yaitu jiwa dan hati yang suci dan bersih. Sebab itulah, mereka berusaha
menyucikan dan membersihkan hatinya agar mendapatkan pengetahuan sejati, sebab
pengetahuan seperti ini hanya diperoleh oleh manusia-manusia suci dan bersih.
Para sufi telah merumuskan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam hal ini,
mereka hanya bertumpu kepada metode penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) semata, dan
sama sekali menolak argumentasi dan demonstrasi rasional para filosof Peripatetik.
Untuk bisa dekat diri kepada Allah SWT., kaum sufi melakukan perjalanan ruhani,
sehingga mereka bisa mengetahui dan sampai kepada hakikat (Allah SWT). Dengan kata
lain, kaum sufi menggunakan metode intuitif. Bagi kaum sufi, pengetahuan dari hasil
penyingkapan intuisi (hati) lebih unggul dari pengetahuan dari hasil silogisme akal.
Karena itulah, pengetahuan para sufi lebih unggul dari pengetahuan para filosof.
Meskipun setiap sufi menggunakan metode intuitif, tetapi tiap-tiap mereka merumuskan
metode khas tersendiri sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan hal ini
bisa dilihat dari rumusan-rumusan (amalan-amalan) milik para sufi dan berbagai Menurut
al-Ghazali, ada beberapa metode agar seorang sufi dapat mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Pertama. Riyadhah dan muraqabah. Riyadhah adalah latihan kejiwaan. Sedangkan
muraqabah adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua
metode ini juga harus dilakukan secara baik dan benar sesuai dengan syariat Islam.
Kedua. Tafakkur, yaitu berpikir tentang realitas alam semesta. Metode tafakkur ini harus
dilakukan secara baik dan benar sesuai dengan syarat-syarat berpikir. Tafakkur sangat
bermanfaat bagi seorang sufi untuk menjadi ulama sempurna, berakal, mendapatkan
ilham, dan ahli hujjah. Ketiga. Tazkiyah al-Nafs, yaitu proses penyucian jiwa manusia
melalui tiga tahap, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli. Pada tahap pertama, takhalli, seorang
sufi berupaya mengosongkan jiwanya dari sifat-sifat tercela, misalnya, tamak, fitnah, dan
dusta. Pada tahap kedua, tahalli, seorang sufi mengisi jiwanya yang telah kosong dengan
akhlak terpuji. Proses ini berlangsung secara berangsur-angsur melalui beberapa maqam,
yaitu taubat, sabar, syukur, harap, takut, zuhud, fakir, ikhlas, waspada, tawakkal, cinta,
rindu dan rida. Sedangkan pada tahap ketiga, tajalli, seorang sufi memperoleh hasil
kegiatannya tersebut berupa karunia keistimewaan/karamah dari Allah SWT. Upaya
penyucian jiwa ini penting dilakukan oleh seorang sufi karena Allah tidak akan bisa
didekati oleh jiwa-jiwa kotor. Keempat. Zikir. Zikir kepada Allah merupakan hiasan bagi
kaum sufi, setelah mereka berhasil menghilangkan rintangan jiwa dan membersihkan
jiwa dari akhlak tercela. Ketika jiwa telah bersih dan kosong dari segala sesuatu selain
Allah, para sufi menghiasi jiwa mereka dengan zikir. Zikir memiliki manfaat besar bagi
seorang sufi, sebab zikir dapat menjadi sarana untuk membersihkan jiwa, membuka tabir
alam malakut, mendatangkan ilham, dan mendekati Allah SWT. Jadi, zikir sangat penting
bagi seorang sufi, karena zikir dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Zikir mampu menyucikan dan membersihkan hati seorang sufi, dan zikir
menjadi santapan hati, ungkapan-ungkapan dialog kepada Tuhan, sekaligus menunjukkan
keakraban manusia terhadap Tuhan.
Menurut al-Ghazali, zikir memiliki tiga kerja spiritual. Pertama. Zikir lahir dengan
gerakan lidah. Zikir ini sangat dianjurkan dalam bacaan dari beberapa bentuk ibadah.
Kedua. Zikir sirr (rahasia). Kedudukan zikir ini lebih mulia dari ibadah dan sedekah.
Ketiga. Zikir kalbu (qalb). Zikir kalbu muncul sebagai ketidakbutuhan terhadap makhluk
dan kesibukan dengan Khalik. Apabila seorang sufi sudah sampai pada tahap ini, berarti
sufi tersebut telah memasuki fana’ pertama. Dari fana’ pertama ini, sufi tersebut akan
memperoleh fana’ kedua. Dalam fana’ kedua, sufi tersebut akan gaib dari dirinya sendiri
untuk bermusyahadah kepada Allah SWT. Fana’ kedua ini diperoleh dari zikirnya dalam
bentuk membaca al-Qur’an, bertasbih, bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.,
istighfar dan do’a. Apabila sufi tersebut terus menerus melakukan zikir seperti ini, maka
sufi tersebut akan menyingkap rahasia ketuhanan. Sufi tersebut akan menyaksikan
rahasia alam malaikat, alam jin, alam jiwa, bahkan akan dapat mendengar tasbih benda-
benda mati kepada Tuhan. Dalam tarekat Kubrawiyah, menurut Syaikh Najm al-Din al-
Kubra, ada dua jenis prinsip sebagai cara menuju Allah, yakni prinsip lahiriah dan prinsip
batiniah. Prinsip-prinsip lahiriah berupa pengamalan aturan-aturan seperti memutuskan
diri dari belenggu kepemilikan materi dan menjauhkan diri dari keterikatan duniawi,
menyendiri dan menjauhkan diri dari orang banyak, melindungi tujuh organ tubuh dari
segala yang dibenci Allah, melawan hasrat hawa nafsu dan keinginannya, mencari
seorang syaikh sempurna dan bijaksana, menyibukkan diri dengan berbagai amalan
seperti doa, zikir dan salat sunnah, senantiasa berpuasa, menjaga kebersihan tubuh, selalu
bangun malam, dan berusaha keras memperoleh penghasilan dan pendapatan yang halal.
Selanjutnya, menurut Syaikh Najm al-Din, prinsip-prinsip batiniah adalah berupa
pengamalan aturan seperti memelihara dan menjaga diri, ekspresi kerendahhatian,
kefakiran dan kehinaan di hadapan Allah, taubat (taubah) dan menyesal (inabah) di
hadapan-Nya baik dalam keadaan sulit maupun senang, kepasrahan kepada perintah-Nya,
kerelaan (ridha) yaitu menerima ketentuan-Nya tanpa mengemukakan pertanyaan
sekalipun terasa pahit, kesedihan permanen (huzn), berprasangka baik (husn al-zhan),
tidak menganggap diri tidak terjangkau oleh rencana-Nya, cinta (mahabbah), dan
menyerahkan diri kepada kehendak (masyi‘ah) dan kebebasan (ikhtiyar) seseorang serta
memasrahkan diri kepada Allah. Menurut Syaikh Najm alDin, semua aturan ini akan
mampu menyempurnakan lahiriah dan batiniah seorang penempuh jalan spiritual dan
membawanya selalu dekat kepada Allah SWT.

*MUQAMAT

Maqamat Dalam tradisi tasawuf, maqamat mendapatkan perhatian khusus dari para sufi.
Semua sufi, apapun aliran tasawufnya, sepakat bahwa tasawuf menjadi disiplin ilmu yang
berguna sebagai sarana penyucian jiwa dan hati manusia, sehingga kelak menusia
tersebut akan mampu dekat dengan Allah SWT. Sebagai cara untuk dekat kepada Allah
SWT., para sufi merumuskan tangga-tangga pendakian spiritual seorang sufi, yang
disebut maqamat. Para ahli telah mendefinisikan pengertian maqamat. Abi Nashr ‘Abd
Allah ibn ‘Ali as-Sarraj ath-Thusi menjelaskan bahwa maqamat adalah tingkatan antara
seorang hamba dengan Allah SWT. yang diperoleh dari ‘ibadah, mujahadah, dan riyadah
hingga dekat dengan-Nya. Al-Qusyairi menuliskan bahwa maqamat adalah suatu nilai
etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang pesuluk dengan melalui
beberapa tingkatan mujahadah secara gradual, dari suatu tingkatan perilaku batin menuju
pencapaian tingkatan maqam berikutnya dengan sebentuk amalan tertentu; sebuah
pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tidak kenal lelah, beratnya syarat,
dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk memperolehnya, seorang sufi akan
selalu sibuk dengan berbagai riyadhah. Harun Nasution mendefinisikan maqamat sebagai
jalan panjang seorang sufi menuju Tuhan. Menurut Asmaran bahwa maqamat adalah
tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. Abudinnata mendefinisikan
maqamat sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
dekat dengan Allah SWT. Muhammad Solihin dan Rosihon Anwar menjelaskan bahwa
maqamat adalah tingkatan seorang hamba di hadapan-Nya dalam hal ibadah dan latihan-
latihan jiwa. Dengan demikian, maqamat adalah tingkatan-tingkatan spiritual seorang
sufi, dari tingkatan paling mendasar sampai tingkatan paling tinggi, yaitu dekat dengan
Allah SWT., yang diperoleh melalui ibadah dan latihan-latihan jiwa tertentu. Tasawuf
tidak saja dikembangkan oleh sufi dari kalangan Sunni, tetapi juga oleh kalangan Syi‘ah.
Dari kalangan Sunni, Abi Nashr ‘Abd Allah ibn ‘Ali as-Sarraj ath-Thusi (w. 988 M),
misalnya, menyebutkan bahwa tingkatan maqamat adalah taubat (at-taubah), wara‘,
zuhud (az-zuhd), kefakiran (al-faqr), sabar (az-shabr), tawakkal (at-tawakkul), kerelaan
(ar-ridha).113 AlKalabazi (w. 995 M) menulis bahwa tingkatan maqamat adalah taubat
(at-taubah), zuhud (az-zuhd), sabar (ash-shabr), kefakiran (al-faqr), rendah hati
(tawadhu‘), tawakkal (at-tawakkul) dan kerelaan (ar-ridha). Al-Qusyairi (w. 1073 M)
menyebutkan bahwa tingkatan maqamat adalah taubat (at-taubah), wara‘, zuhud (azzuhd),
tawakkal (at-tawakkul), sabar (ash-shabr) dan kerelaan (arridha). Al-Gazali (w. 1111 M)
menyebutkan bahwa tingkatan maqamat adalah taubat (at-taubah), sabar (ash-shabr),
kefakiran (al-faqr), zuhud (az-zuhd), tawakkal (at-tawakkul), cinta (almahabbah),
ma‘rifah (pengetahuan), dan kerelaan (ar-ridha). Tiap-tiap maqam ini akan diperoleh
seorang sufi secara mandiri, bukan pemberian gratis dari Tuhan. Dari kalangan Syi‘ah,
Nashr ad-Din ath-Thusi (w. 1274 M) menyebutkan bahwa maqamat dibagi menjadi enam
bagian.

*Pertama, tahapan awal suluk dan syarat-syaratnya yaitu dimulai dari iman, keteguhan
(at-taubah), niat (an-niah), kejujuran (ash-shiddiq), penyesalan (al-inabah) dan ketulusan
(al-ikhlash).

*Kedua, rintangan dan hambatan pada jalan suluk yaitu dimulaidari taubat, zuhud,
kemiskinan (faqir), kedisiplinan diri (riyadhah), perhitungan (muhasabah) dan kehati-
hatian (muraqabah), dan takwa (taqwa).
*Ketiga, pencarian kesempurnaan dan maqamat para ahli suluk, yaitu dimulai dari
pengasingan diri (khalwah), berpikir/merenung (tafakkur), takut (khauf) dan duka cita
(huzn), harap (raja‘), sabar (shabr) dan berterima kasih (syukr).

*Keempat, maqamat sebelum puncak hakikat, yaitu dimulai dari keinginan (iradah),
kerinduan (syauq), kecintaan (mahabbah), pengetahuan (ma‘rifah), keyakinan (yaqin),
dan ketentraman (sukn).

*Kelima, maqamat puncak hakikat yaitu dimulai dari pasrah (tawakkul), kepuasan
(ridha), ketaatan (taslim), keesaan Allah (tauhid), penyatuan (ittihad), kesatuan (wahdah),
dan fana` sebagai maqam tertinggi. Berdasarkan keterangan para sufi terkemuka di atas,
baik dari kalangan Sunni maupun Syi‘ah, bisa disimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan
tentang urutan, jumlah dan akhir dari sebuah tingkatan spiritual (maqamat). Kesepakatan
hanya terletak bahwa sebelum seorang pesuluk hendak mendekatkan diri kepada Allah
SWT., maka pesuluk tersebut harus menempuh maqam taubat (at-taubah).

Berikut ini akan disebutkan beberapa pendapat sufi tentang hakikat maqamat.
*Pertama. Taubat (at-taubah). Para sufi sepakat bahwa taubat adalah jalan pertama
menuju Allah. Ada beberapa pengertian taubat. Bagi para sufi, taubat diartikan sebagai
lupa kepada segala hal, kecuali Allah. Junaid al-Bagdadi mengatakan bahwa taubat
adalah penyesalan, tekad meninggalkan apa yang dilarang Allah, dan berusaha memenuhi
hakhak orang yang pernah dianiayanya. Ath-Thusi mengatakan bahwa taubat adalah
menghindarkan diri dari dosa. Menurut al-Qusyairi, taubat adalah kembali dari sesuatu
yang dicela dalam syari`at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari`at. ‘Abd al-Halim
Mahmud mengatakan bahwa tobat adalah menyucikan diri dari maksiat dan menghapus
kesalahan sebelumnya.
*Kedua. Wara‘. Menurut kaum sufi, wara` diartikan sebagai menjauhi hal-hal yang tidak
baik, atau meninggalkan segala yang di dalamnya terhadap syubhat tentang halalnya
sesuatu. Menurut Ibrahim ibn Adam, wara‘ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat
dan yang tidak pasti, yakni meninggalkan hal-hal yang tidak pasti. Asy-Syibli
menyatakan bahwa wara‘ adalah upaya menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak
berkaitan dengan Allah SWT. ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bahwa wara` adalah
keluar dari segala hal yang syubhat dan meninggalkan segala yang yang syubhat.
* Ketiga. Qana‘ah. Menurut kaum sufi, seperti diungkap alQusyairi, qana‘ah adalah sikap
tenang karena tidak ada sesuatu yang dibiasakan. Menurut Muhammad ibn ‘Ali at-
Turmudzi, qana‘ah adalah jiwa yang rela terhadap pembagian rezeki yang telah
ditentukan. Sufi lain berpendapat bahwa qana‘ah adalah menganggap cukup dengan
sesuatu yang ada dan tidak berkeinginan terhadap sesuatu itu yang tidak ada hasilnya.
Kedua konsep ini sangat tidak asing dalam ajaran Islam, karena selain Alquran, hadis
sangat menganjurkan kedua sikap ini.
* Keempat. Zuhud (az-zuhd). Bagi sufi, zuhud dimaknai sebagai keadaan meninggalkan
dunia dan hidup keduniaan. Al-Qusyairi mengemukakan banyak pandangan para sufi
tentang zuhud. Ada pendapat menyatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan yang
haram, karena yang halal dibolehkan oleh Allah. Pendapat lain menyatakan bahwa zuhud
adalah meninggalkan yang haram adalah wajib, dan meninggalkan yang halal adalah
keutamaan. Abu ‘Ali ad-Daqaq mengatakan bahwa zuhud adalah sikap anti kemewahan
dunia, tidak berkeinginan membangun pondok dan mesjid. Ibn Jalla` mengatakan bahwa
zuhud adalah memandang kehidupan dunia hanya sekedar pergeseran bentuk yang tidak
mempunyai arti dalam pandangan. Ibn Khafif menyatakan bahwa zuhud adalah hati
merasa terhibur meninggalkan berbagai bentuk kehidupan dan menghindarkan diri dari
harta. Nashr ‘Adadzi menyatakan zuhud adalah mengisolir diri dari dunia. Abu Sulaiman
ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan berbagai aktifitas yang mengakibatkan jauh dari
Allah SWT. sedangkan Ruwaim mengatakan bahwa zuhud adalah memperkecil
kehidupan dunia dan menghilangkan berbagai pengaruh yang ada di dalam hati. Ath-
Thusi mengatakan bahwa zuhud adalah tidak adanya hasrat atau tidak memiliki keinginan
terhadap hal-hal duniawi. ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bahwa zuhud adalah
meninggalkan apa yang dicintai jiwanya dan meninggalkan dunia.
*Kelima. Kefakiran (al-faqr). Bagi para sufi, fakir diartikan sebagai tidak meminta lebih
dari apa yang telah ada pada diri kita, atau tidak meminta rezeki, kecuali hanya untuk
dapat menjalankan kewajibannya, dan/atau tidak meminta, namun jika diberi ia
menerima. Ath-Thusi mengatakan bahwa fakir adalah seseorang yang tidak memiliki
kecintaan terhadap kekayaan dan hal-hal duniawi, dan jika sekiranya dia memiliki semua
hal tersebut, dia tidak berkeinginan untuk menyimpan dan mengumpulkannya. Al-
Qusyairi menyebut sejumlah pendapat sufi tentang fakir. Yahya ibn Mu‘az menyatakan
bahwa fakir adalah hendaknya seseorang tidak merasa cukup kecuali dengan Allah. Asy-
Syibli menyatakan bahwa hakikat fakir adalah hendaknya jangan merasa cukup dengan
sesuatu selain Allah. Menurut Abu al-Qasim, fakir adalah tidak adanya tuntutan kepada
Allah, tidak mengajukan pilihan, dan bahkan puas sekaligus rela dengan ketentuan Allah.
Abu Bakar ibn Thahir menyatakan bahwa fakir adalah tidak memiliki keinginan. Jika
harus memiliki keinginan, ia tidak melampaui batas keinginannya, kecuali secukupnya.
*Keenam. Sabar (ash-shabr). Para sufi memaknai sabar sebagai menunggu datangnya
pertolongan Allah. Menurut kaum sufi, sabar terdiri atas sejumlah hal yaitu sabar dalam
menjalankan perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan-Nya, dan sabar dalam
menerima segala cobaan dari-Nya. Ath-Thusi mengatakan bahwa sabar adalah mencegah
jiwa dari perasaan waswas ketika terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, melindungi
diri dari pergolakan, mencegah lidah dari keluhan, serta menjaga anggota tubuh agar
tidak melakukan perbuatan yang merugikan. ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bahwa
sabar dibagi menjadi dua yaitu sabar lahir dan sabar batin. Sabar lahir adalah sabar dalam
menjalankan perintah Allah, sabar dalam menjauhi segala larangan-Nya, dan sabar dalam
melaksanakan hal-hal yang sunnah. Sedangkan sabar batin adalah sabar dalam menerima
kebenaran dari siapa saja yang membawa kebenaran itu. Beberapa sufi terdahulu telah
mendefinisikan makna sabar ini. Dzun Nun al-Mishri mengatakan bahwa sabar adalah
menjauhi hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika menelan pahitnya cobaan,
dan menampakkan sikap kaya dengan menyembunyikan kefakiran di dalam kehidupan.
Ibn ‘Atha` menyatakan bahwa sabar adalah tetap berperilaku baik ketika ditimpa oleh
cobaan. ‘Amr ibn ‘Utsman menyatakan bahwa sabar adalah tetap bersama Allah SWT.
dan menerima cobaanNya dengan lapang dada dan senang hati.
*Ketujuh. Berterima kasih (asy-syukur). Asy-Syibli menyatakan bahwa syukur adalah
memperhatikan Allah sebagai pihak yang memberikan kenikmatan, bukan kepada
kenikmatan-Nya. Bagi al-Qusyairi, syukur adalah memuji Allah dengan mengingat
kepada-Nya. Abu Bakar al-Warraq menyatakan bahwa syukur adalah memperhatikan
pemberian Allah dan menjaga kehormatan. Menurut ath-Thusi syukur terdiri atas tiga hal
yaitu pengetahuan tentang kemurahhatian Allah yang terbentang dari puncak ufuk sampai
jiwa; perasaan senang dalam memperoleh kemurahan tersebut; dan melakukan sesuatu
upaya sejauh kemampuan untuk menyenangkanNya. Menurut ‘Abd al-Halim Mahmud,
syukur ada tiga yaitu syukur hati yaitu mengetahui bahwa nikmat itu hanya dari Allah
dan tidak lain dari-Nya; syukur lisan yaitu memuji dan menyanjung-Nya, menyebarkan
nikmat-Nya, dan menyebut kebaikan-Nya; dan syukur badan yaitu tidak menggunakan
jasmani dalam maksiat dan mentaati Allah dengan jasmani tersebut.
*Kedelapan. Tawakkal (at-tawakkul). Bagi para sufi, tawakkal adalah menyerah kepada
qadha` dan putusan dari Allah; percaya kepada janji Allah; selamanya dalam keadaan
tenteram jika mendapat pemberian maka ia berterima kasih, jika tidak mendapat apa-apa
bersikap sabar, dan menyerah kepada qadha dan qadar-Nya. Ath-Thusi mengatakan
bahwa tawakkal adalah mempercayakan semua urusan kepada Allah. ‘Abd alHalim
Mahmud mengatakan bahwa tawakkal adalah membenarkan Allah dan bersandar kepada-
Nya dalam segala kejadian, dan keluarnya kebimbangan dari hati tentang urusan dunia
dan rezeki. Al-Qusyairi menulis sejumlah pendapat sufi tentang makna tawakkal.
Menurutnya, Hamdun alQashshar mengatakan bahwa tawakkal adalah berpegang teguh
kepada Allah. Dzun Nun al-Mishri mengatakan bahwa tawakkal adalah meninggalkan
hal-hal yang diatur oleh nafsu dan melepaskan diri dari daya upaya dan kekuatan. Sahl
ibn ‘Abd Allah mengatakan bahwa tawakkal adalah melepaskan segala apa yang
dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT. Abu Nashr as-Sarraj ath-
Thusi mengatakan bahwa tawakkal adalah melepaskan anggota tubuh dalam
penghambaan, menggantungkan hati dengan ketuhanan dan bersikap merasa cukup.
*Kesembilan. Rendah hati (at-tawadhu‘). Al-Qusyairi telah menyebut beberapa makna
dari rendah hati (at-tawadhu‘). Menurut Fu«ail ibn ‘Iya« bahwa at-tawadhu‘ adalah
rendah diri untuk kebenaran, menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan menerima
kebenaran dari orang lain. Junaid al-Bagdadi menyatakan bahwa at-tawadhu‘ adalah
merendahkan lambung kepada orang lain dan lemah lembut kepada mereka. Ibn ‘Atha`
menyatakan bahwa at-tawadhu‘ adalah menerima kebenaran dari orang lain.
* Kesepuluh. Cinta (mahabbah). Menurut sejumlah sufi, cinta bermakna memeluk
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya, menyerahkan
seluruh diri kepada yang dikasihi, dan mengosongkan hati dari segala hal kecuali dari diri
yang dikasihi. Al-Qusyairi telah menyebut beberapa pendapat sufi tentang hakikat cinta.
Menurut Husain ibn alManshur bahwa hakikat cinta itu adalah jika kamu berdiri bersama
kekasihmu dengan menanggalkan sifat-sifatmu. Muhammad ibn ‘Ali al-Kattani
menyatakan bahwa cinta harus lebih mengutamakan yang dicintai. Asy-Syibli
menyatakan bahwa cinta adalah menghapus hati dari ingatan semua selain yang
dicintainya. Junaid al-Bagdadi mengatakan bahwa cinta adalah masuknya sifat-sifat
kekasih pada sifat-sifat yang mencintainya. Menurut al-Qusyairi, cinta dimaksud adalah
cinta kepada Allah SWT. Ath-Thusi mengatakan bahwa cinta adalah kepatuhan penuh
ketika seorang sufi sudah mengetahui Sang Kekasih sebagai Penguasa Mutlak dan Dia-
lah Pemegang Kekuasaan itu sepenuhnya. ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bahwa
cinta adalah menyebut Allah dengan hati dan lidahnya yang dijadikan sebagai kewajiban
pada dirinya, takut akan kealpaan, dan beristighfar darinya, dan menggunakan jasmani
hanya untuk mengabdi kepada yang dicintainya. Tanda cinta adalah menyesuaikan diri
kepada yang dicintai, mengikuti cara-caranya dalam segala urusan, dan dekat kepada-Nya
dalam segala urusan.
* Kesebelas. Kerelaan (ar-ridha). Bagi kalangan sufi, kerelaan (ar-ridha) adalah tidak
menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar Allah dengan senang hati,
merasa senang menerima cobaan seperti senang dalam menerima nikmat. Menurut Dzun
Nun al-Mishri, bahwa kerelaan adalah meninggalkan usaha sebelum keputusan,
menghilangkan kepahitan sebelum keputusan, dan apabila mendapat cobaan, ia tetap
cinta. Rabi‘ah al-Adawiyah mengatakan bahwa kerelaan adalah senang mendapat
musibah seperti senang ketika mendapat nikmat. Menurut Ruwaim, kerelaan adalah
menerima hukum dengan senang hati. Harits al-Muhasibi mengatakan bahwa kerelaan
adalah tenangnya hati di bawah tempat-tempat berlakunya hukum. Sedangkan menurut
an-Nuri, kerelaan adalah senangnya hati karena menerima pahitnya keputusan. Ath-Thusi
mengatakan bahwa kerelaan adalah kepuasan, atau tidak ada rasa kecewa baik lahir
maupun batin di dalam hati, perkataan atau pun perbuatan. ‘Abd al-Halim Mahmud
mengatakan bahwa kerelaan adalah menerima musibah dengan segala kesenangan dan
kegembiraan.
*Keduabelas. Ma‘rifah. Menurut para sufi, ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat,
sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.159 Menurut al-Hujwiri, ma’rifah adalah
kehidupan hati lewat Tuhan dan berpalingnya manusia dari semua yang bukan Tuhan.160
Menurut al-Thusi, ma’rifah adalah derajat tertinggi pengetahuan tentang Allah.161
Menurut alQusyairi, ma’rifah menurut pada sufi adalah pengosongan diri untuk selalu
mengingat Allah, tidak menyaksikan selain-Nya dan tidak kembali selain-Nya. Menurut
Dzun Nun al-Mishri, seorang ahli ma’rifat berakhlak dengan akhlak Allah. Husain
Manshur al-Hallaj berkata “jika seorang hamba telah sampai kepada ma’rifah Allah,
maka Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya
dari kata hati yang tidak benar. Tanda seorang ahli ma’rifat adalah jika seseorang telah
kosong dari dunia dan akhirat.” Al-Syibli berkata “seorang ahli ma’rifat tidak
memperhatikan kepada selain Allah, tidak berbicara selain Allah dan selalu menjaga
dirinya dari selain Allah.” Abu Yadzid al-Busthami berkata “seorang ahli ma’rifat adalah
ketika tidur ia tidak melihat selain Allah. Ketika terjaga, ia tidak melihat selain Allah. Ia
tidak beribadah selain kepada Allah, dan tidak melihat kecuali kepada Allah. Menurut al-
Kalabadzi, ma’rifat adalah hati menyaksikan kekuasaan Tuhan dan merasakan besarnya
kebenaran-Nya, dan mulianya kehebatan-Nya, yang tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata.” Menurut al-Kalabadzi, ahli ma’rifat telah berusaha keras untuk melaksanakan
tugasnya kepada Tuhan dan ma’rifatnya merupakan suatu perwujudan apa yang telah
diberikan oleh Tuhan kepadanya. Karena itu, ia sungguhsungguh berpaling dari segala
sesuatu demi Tuhan. Mengutip pendapat seorang sufi, al-Kalabadzi mengatakan bahwa
ma’rifat terdiri atas dua jenis, pertama. Ma’rifat kebenaran yaitu penegasan keesaan
Tuhan atas sifat-sifat yang dikemukakanNya. Kedua. Ma’rifat hakikat yaitu ma’rifat yang
tidak bias dicapai oleh alat apa pun, disebabkan oleh sifat Tuhan yang tidak dapat
ditembus dan kebenaran ketuhanan-Nya mustahil dipahami. Sufi lain berkata “ma’rifah
mengambil bentuk pandangan rendah terhadap semua nilai kecuali nilai-nilai Tuhan, dan
tidak melihat nilai lain selain Tuhan.” Ketigabelas. Fana`, Baqa` dan Ittihad. Fana` adalah
penghancuran diri yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar
manusia. Baqa` adalah kesadaran bahwa wujud jasmani telah tiada dan yang ada adalah
wujud rohaninya. Menurut al-Qusyairi, ketika seorang sufi mengalami fana` dari dirinya,
lalu ke-baqa`-an sifat-sifatnya mengada dengan sifat-sifat al-Haq, lalu muncul
kesaksiannya bersama penampakan al-Haq, kemudian timbul fana` berikutnya dari
kesaksian ke-fana-annya bersama kehancuran dirinya dalam wujud al-Haq. Menurutnya,
jika dikatakan bahwa seseorang fana` dari dirinya dan keseluruhan makhluk, maka
sebenarnya dirinya dan seluruh makhluk itu masih ada. Akan tetapi, orang yang
mengalami hal seperti itu tidak memiliki pengetahuan, perasaan, dan kabar tentang
dirinya dan semua makhluk. Menurut al-Kalabadzi, fana` adalah suatu keadaan para sufi
yang di dalamnya seluruh hasrat meluruh darinya, sehingga sufi tersebut tidak mengalami
perasaan apa-apa, dan kehilangan kemampuan membedakan. Artinya, sufi tersebut telah
luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada sesuatu yang menyebabkan ia
luruh. Sedangkan baqa’ adalah para sufi meluruh dari sesuatu yang menjadi miliknya
sendiri, dan tetap tinggal dikarenakan sesuatu yang menjadi milik Tuhan. Sedangkan
ittihad adalah bersatu dengan Allah, atau suatu tingkatan di mana antara yang mencintai
dan yang dicintai telah menjadi satu. Menurut al-Kalabadzi, ittihad adalah pemisahan dari
segala sesuatu yang selain Allah, dalam hati tidak melihat dalam arti memuja apa-apa
kecuali Tuhan, dan tidak mendengar apa-apa kecuali firman tuhan. Al-Kalabadzi
mengutip pendapat ibn ‘Umar mengatakan bahwa ittihad adalah pemujaan kepada tuhan
telah mengacaukan pemujaan kepada selain-Nya. Ittihad dimaknai pula sebagai ketika
seorang hamba tidak bersaksi atas apapun kecuali penciptanya (yaitu Allah SWT.).
Menurut ath-Thusi, ittihad adalah melihat segala sesuatu sebagai wujud Allah, tanpa
harus dipaksa untuk mengatakan bahwa segala sesuatu selain-Nya berasal dari-Nya,
sehingga semuanya adalah satu. Ittihad bisa diartikan juga sebagai cahaya manifestasi
Allah telah memancar ke dalam penglihatan manusia, sehingga dia tidak akan melihat
lagi sesuatu selain Allah semata.
*Ahwal
Adapun “ahwal” bentuk jamak dari “hal” yang biasa diartikan sebagai keadaan mental
(mantel states) yang dialami oleh para sufi disela-sela perjalanannya. Menurut ahli Sufi,
terdapat beberapa perbedaan diantara maqamat dan ahwal. Maqamat adalah tahap-tahap
perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan para sufi untuk memperolehnya.
Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan
melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia, yang dipandang sebagai
berhala terbesar. Dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini
misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang Sufi kadang memerlukan waktu
puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stesen ke stesen yang lainnya. Sedangkan
ahwal, sering diperolehi secara spontan sebagai hadiah dari tuhan. Di antara ahwal yang
sering disebut adalah kehati-hatian ,takut, penyaksian, rendah hati, takwa, ikhlas,
keyakinan. Meskipun ada perdebatan di antara penulis tasawuf, namun kebanyakan
mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan
diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada
maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang
biasa disebut “lama’at”.
*Pertama. Kehati-hatian (muraqabah). Menurut al-Qusyairi, muraqabah adalah ilmu
hamba untuk melihat Allah SWT. Maksud muraqabah adalah seorang sufi merasa dirinya
selalu diawasi sehingga membentuk sikap yang selalu awas pada hukum-hukum Allah
SWT. Muraqabah juga bermakna seseorang selalu mengawasi dirinya sendiri terhadap
segala hal pada masa lalu, memperbaiki keadaan sekarang, berada pada jalan yang benar,
mengadakan kontak baik dengan Allah SWT sambil menjaga hati, memelihara nafas agar
selalu berhubungan dengan-Nya, dan memelihara-Nya dalam segala hal. Orang tersebut
mengetahui dengan hatinya bahwa Allah SWT. Adalah Zat Maha Pengawas. Orang
tersebut merasa bahwa Allah mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya dan
mendengar ucapannya.

*Kedua Takut (al-khauf). Menurut al-Qusyairi, al-khauf adalah kekhawatiran akan


kehilangan sesuatu yang dicintainya atau kehadiran sesuatu yang dibencinya.” Ia berkata
juga “takut kepada Allah bermakna takut kepada siksaan-Nya, baik di dunia maupun di
akhirat.” ‘Abd al-Qasim al-Hakim menyatakan bahwa takut ada dua bentuk, yaitu rahbah
dan khasyyah. Rahbah adalah orang yang berlindung kepada Allah SWT., sedangkan
khasyyah adalah seseorang ditarik oleh kendali ilmu, sehingga ia melaksanakan
kebenaran syari`at. Abu ‘Utsman menyatakan bahwa kebenaran takut adalah
meninggalkan perbuatan dosa baik lahir maupun batin. Ahmad al-Tsauri menyatakan
bahwa takut adalah orang yang lari dari tuhan menuju tuhan. Menurut ath-Thusi takut
adalah perasaan batin yang khawatir terhadap kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak
diinginkan. Dalam tasawuf, takut dimaknai sebagai takut untuk melakukan dosa atau
ketakutan kehilangan kesempatan karena sebelumnya kurang memperdulikan ibadah
kepada Allah. Takut diartikan pula sebagai suatu perasaan hormat yang muncul dari suatu
kesadaran tentang penghormatan kepada kebesaran Yang Maha Benar, Yang Maha
Agung dan Yang Maha Mulia, juga kesadaran tentang segala kekurangan seseorang
dalam menghambakan diri kepada Allah atau karena kealpaan di dalam akhlak
penghambaan atau karena pelanggaran terhadap ketaatan. ‘Abd al-Halim Mahmud
mengatakan takut adalah perasaan bahwa Allah melihat setiap geraknya, lalu
mengembalikan segala yang dibenci-Nya dengan memohon pertolongan Allah, sehingga
hatinya menjadi suci dan bercahaya.
*Ketiga Takwa (at-taqwa). Menurut Nashr ‘Abadzi, seperti dikutip al-Qusyairi, makna
takwa adalah tidak takut kepada apapun kecuali hanya kepada Allah SWT. Sahal
menyatakan bahwa takwa akan menjadi benar apabila seseorang meninggalkan semua
perbuatan dosa. Dzun Nun al-Mishri menyatakan bahwa takwa adalah tidak mengotori
jiwa lahir dengan hal-hal yang bertentangan, dan tidak mengotori jiwa batin dengan
interaksi sosial. Sedangkan Ibn ‘Atha` menyatakan bahwa takwa dibagi menjadi dua,
takwa lahir yaitu menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang, dan takwa batin yaitu niat
dan ikhlas.

*Keempat Rendah hati (at-tawadhu‘). Menurut Fudhail ibn ‘Iyadh bahwa at-tawadhu‘
adalah rendah diri untuk kebenaran, menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan menerima
kebenaran dari orang lain. Junaid al-Bagdadi menyatakan bahwa attawadhu‘ adalah
merendahkan lambung kepada orang lain dan lemah lembut kepada mereka. Ibn ‘Atha`
menyatakan bahwa at-tawadhu‘ adalah menerima kebenaran dari orang lain.

*Kelima . Ikhlas (al-ikhlash). Menurut al-Qusyairi, ikhlas adalah melakukan sesuatu


hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Semata, tanpa yang lain, tanpa dibuat-
buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak mencari pujian manusia atau makna-makna
lain selain pendekatan diri kepada Allah SWT. Ikhlas dimaknai pula sebagai penjernihan
perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruhpengaruh
pribadi. Dzun Nun al-Mishri berkata bahwa “ada tiga tanda yang menunjukkan
keikhlasan seseorang, yaitu ketiadaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa
memandang amal perbuatannya di dalam amal perbuatannya dan lupa menuntut pahala
atas amal perbuatannya di kampung akhirat.
*Keenam Penyaksian (al-musyahadah). Al-Qusyairi berkata bahwa musyahadah adalah
“kehadiran al-Haq dalam hati tanpa bingung dan linglung.” Menurut al-Junaid,
musyahadah adalah wujud al-Haq bersama kelenyapanmu.”

*Ketujuh. Keyakinan (al-yaqin). Menurut al-Junaid, “keyakinan adalah ilmu yang stabil
dan tidak berbolak-balik, tidak berpindah-pindah dan tidak berubah-ubah dalam hati.”
Junaid berkata pula bahwa “yakin adalah hilangnya keraguraguan di hadapan Allah.”
Sahl ibn ‘Abd Allah berkata “permulaan yakin adalah terbukanya tabir rahasia.” Abu
‘Abd Allah berkata “yakin adalah nampaknya berbagai rahasia melalui penerapan
hukum-hukum.” Sebagian ulama, kata alQusyairi, menyatakan bahwa “yakin adalah
mukasyafah, terbukanya tabir rahasia.

PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
Day, Edward, dan Brown, Nick. The Role of Educational Supervisor: Aquestionnaire Survey,
USA: The Psychiatric Bullettin 2000

Goldhammer, R, Anderson, R.H. and Krajewski, R.J. Clinical Supervision. Special methods for the
supervision of teachers (3rd.edn.), Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich.1993

Anda mungkin juga menyukai