AKHLAK TASAWUF
“ Doktrin-Doktrin Tasawuf “
Disusunoleh :
UswatunHasanah( 170501045 )
SaidatulUmmah( 170501058 )
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah dengan judul Doktrin-doktrin tasawuf untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Akhlaq Tasawuf. Terima kasih kepada bapak dosen yang sudah
membimbing kami hingga kami bisa melaksanakan tugas ini.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan. Maka kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun.Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………………………
................................................….i
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………......................
..................………..ii
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………….........................
...................………iii
BAB I :
PENDAHULUAN……………………………………………………….............................
......……...1
A. LatarBelakang……………………………………………….............................
……………….1
B. RumusanMasalah……………………………………………………................
..........………1
BAB II :
PEMBAHASAN…………………………………………………………............................
......……...2
1. Tasawuf Ilmu………………………………………...............2
2. Tujuan Tasawuf........................................................................3
3. Metode Tasawuf.......................................................................4
BAB III :
PENUTUP………………………………………………………………..............................
......………..7
KESIMPULAN……………………………………………………………..........................
.....……….7
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………........................
..............………8
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Dalam tradisi Islam, semua ilmu berasal dari Allah SWT. Sebab, segala sesuatu berasal dari-Nya,
dan Dia sendiri menyebut diri-Nya sebagai ‘Alim, Maha Mengetahui. Karenanya, sebagai ‘Alim,
Dia memiliki sifat ilmu (‘ilm) atau mengetahui. Dalam filsafat Islam, semua nama atau sifat-Nya
adalah hakikat dari eksistensi-Nya. Hakikat dari eksistensi-Nya adalah wujud itu sendiri. Sebagai
salah satu sifat-Nya, maka ‘ilm (ilmu) adalah eksistensi-Nya sendiri.1 Pada hakikatnya, Allah
SWT. adalah pemilik ilmu, objek ilmu, bahkan ilmu itu sendiri. Ilmu Allah SWT. sangat luas sekali,
tanpa ada batas. Sebagai Maha Pemurah, Dia memberi manusia banyak pengetahuan. Bisa saja
Dia memberikan seluruh pengetahuan-Nya kepada manusia tanpa ada batas, tetapi karena
manusia memiliki keterbatasan, maka manusia hanya mampu menyerap sedikit saja dari ilmu-
Nya. Ibarat air laut ditumpahkan ke dalam sebuah cangkir, tentu cangkir tidak akan mampu
menampung air laut tersebut, karena keterbatasan kapasitas cangkir
Jadi, sebagai pemilik ilmu, ilmu-Nya tidak terbatas. Sebab, ilmu adalah diri-Nya sendiri,
sedangkan diri-Nya sendiri adalah tidak terbatas. Kendati manusia memiliki banyak
keterbatasan, tetapi Allah SWT. tiada pernah berhenti melimpahkan pengetahuanNya kepada
setiap manusia. Karena alasan inilah, Dia memberi manusia dua kitab ilmu kepada manusia,
yaitu kitab kecil dan kitab besar. Kedua kitab ini berisikan ayat-ayat-Nya. Kitab kecil berisikan
ayat-ayat qauliyah. Kitab ini dikenal sebagai kitab suci, yang berisikan kalam Ilahi, kepada
seorang nabi dan rasul. Sedangkan kitab besar berisikan ayat-ayat kauniyah. Kitab ini dikenal
sebagai alam. Dalam Islam, alam dibagi menjadi dua bagian yaitu alam besar (makro kosmos),
yaitu alam semesta, dan alam kecil (mikro kosmos), yaitu manusia, dan kedua alam ini
diciptakan sebagai tanda-tanda (ayat) keberadaan Allah SWT. Kedua alam ini bahkan memiliki
dimensi lahir (fisik) dan dimensi batin (non-fisik). Setiap manusia diperintahkan Allah SWT. untuk
menafsirkan kedua kitab ilmu ini secara baik dan benar, karena keduanya berisikan ayat-ayat
Ilahi..
Dengan kata lain, sebagian ilmu telah diberikan Allah SWT. secara langsung kepada manusia,
tetapi melalui lisan para nabi dan rasul, berupa wahyu. Wahyu Ilahi, seperti al-Qur’an dan hadis
Nabi Muhammad SAW. berisikan banyak ilmu, dan wahyu Ilahi ini menjelaskan segala sesuatu
(al-kitab tibyan li kulli syai’). Dalam tradisi Islam, ayat-ayat al-Quran memiliki makna lahir
sekaligus makna batin. Allah SWT. menyeru manusia mempelajari kandungan ayat-ayat al-
Qur’an dan berupaya memahami ta’wilnya. Manusia diperintahkan oleh Allah SWT. untuk
menafsirkan dan menakwilkan kandungan teks dari ayat-ayat al-Qur’an, supaya mereka bisa
memahami seluruh realitas. Sebagai teks suci, ayat-ayat al-Qur’an harus ditafsirkan dan
ditakwilkan secara benar. Dalam epistemologi Islam, teks-teks wahyu bisa dipahami secara
benar dengan dengan metode bayani, yaitu tafsir dan ta’wil. Metode tafsir sangat tepat
memahami makna lahir al-Qur’an, sedangkan metode ta’wil sangat ampuh menelusuri makna
batin al-Qur’an. Kedua metode ini sangat membantu seseorang dalam memahami ayatayat
dalam kitab kecil tersebut. Ilmu juga diberikan oleh Allah SWT. secara tidak langsung kepada
manusia. Dia menciptakan sebuah kitab besar bagi manusia, yaitu alam semesta. Alam dibagi
menjadi dua bagian, yaitu alam besar (makro kosmos) dan alam kecil (mikro kosmos). Kedua
alam ini memiliki dimensi gaib dan non-gaib. Jadi, kitab besar mengandung dua dimensi yaitu
dimensi lahir dan dimensi batin.
Al-Quran mengakui bahwa realitas itu bisa dibagi dua, yaitu realitas gaib dan realitas syahadah
(non-gaib). Banyak sekali ayat membicarakan realitas gaib seperti Allah SWT., malaikat, ‘arsy,
setan, iblis, surga, dan neraka. Tidak sedikit juga ayat al-Quran yang membicarakan fenomena
alam fisik seperti langit dan bumi, matahari, bulan, gunung, dan pohon. Al-Qur’an sangat banyak
memberikan contohcontoh bahwa alam memiliki dua dimensi, dimensi lahir dan dimensi batin.
ini akan mengungkap sejumlah doktrin pokok tasawuf. Secara khusus, akan dikemukakan
sejumlah gagasan dasar dalam dunia tasawuf mencakup tujuan, metode, serta konsep maqamat
dan ahwal. Tema-tema ini patut dikemukakan sebagai jalan untuk melacak keberadaan tema-
tema tersebut dalam nomenklatur Islam, baik al-Qur`an maupun hadis.
B. RumusanMasalah
1. Tasawuf Ilmu
2. Tujuan Tasawuf
3. Metode Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
*MUQAMAT
Maqamat Dalam tradisi tasawuf, maqamat mendapatkan perhatian khusus dari para sufi.
Semua sufi, apapun aliran tasawufnya, sepakat bahwa tasawuf menjadi disiplin ilmu yang
berguna sebagai sarana penyucian jiwa dan hati manusia, sehingga kelak menusia
tersebut akan mampu dekat dengan Allah SWT. Sebagai cara untuk dekat kepada Allah
SWT., para sufi merumuskan tangga-tangga pendakian spiritual seorang sufi, yang
disebut maqamat. Para ahli telah mendefinisikan pengertian maqamat. Abi Nashr ‘Abd
Allah ibn ‘Ali as-Sarraj ath-Thusi menjelaskan bahwa maqamat adalah tingkatan antara
seorang hamba dengan Allah SWT. yang diperoleh dari ‘ibadah, mujahadah, dan riyadah
hingga dekat dengan-Nya. Al-Qusyairi menuliskan bahwa maqamat adalah suatu nilai
etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang pesuluk dengan melalui
beberapa tingkatan mujahadah secara gradual, dari suatu tingkatan perilaku batin menuju
pencapaian tingkatan maqam berikutnya dengan sebentuk amalan tertentu; sebuah
pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tidak kenal lelah, beratnya syarat,
dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk memperolehnya, seorang sufi akan
selalu sibuk dengan berbagai riyadhah. Harun Nasution mendefinisikan maqamat sebagai
jalan panjang seorang sufi menuju Tuhan. Menurut Asmaran bahwa maqamat adalah
tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. Abudinnata mendefinisikan
maqamat sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
dekat dengan Allah SWT. Muhammad Solihin dan Rosihon Anwar menjelaskan bahwa
maqamat adalah tingkatan seorang hamba di hadapan-Nya dalam hal ibadah dan latihan-
latihan jiwa. Dengan demikian, maqamat adalah tingkatan-tingkatan spiritual seorang
sufi, dari tingkatan paling mendasar sampai tingkatan paling tinggi, yaitu dekat dengan
Allah SWT., yang diperoleh melalui ibadah dan latihan-latihan jiwa tertentu. Tasawuf
tidak saja dikembangkan oleh sufi dari kalangan Sunni, tetapi juga oleh kalangan Syi‘ah.
Dari kalangan Sunni, Abi Nashr ‘Abd Allah ibn ‘Ali as-Sarraj ath-Thusi (w. 988 M),
misalnya, menyebutkan bahwa tingkatan maqamat adalah taubat (at-taubah), wara‘,
zuhud (az-zuhd), kefakiran (al-faqr), sabar (az-shabr), tawakkal (at-tawakkul), kerelaan
(ar-ridha).113 AlKalabazi (w. 995 M) menulis bahwa tingkatan maqamat adalah taubat
(at-taubah), zuhud (az-zuhd), sabar (ash-shabr), kefakiran (al-faqr), rendah hati
(tawadhu‘), tawakkal (at-tawakkul) dan kerelaan (ar-ridha). Al-Qusyairi (w. 1073 M)
menyebutkan bahwa tingkatan maqamat adalah taubat (at-taubah), wara‘, zuhud (azzuhd),
tawakkal (at-tawakkul), sabar (ash-shabr) dan kerelaan (arridha). Al-Gazali (w. 1111 M)
menyebutkan bahwa tingkatan maqamat adalah taubat (at-taubah), sabar (ash-shabr),
kefakiran (al-faqr), zuhud (az-zuhd), tawakkal (at-tawakkul), cinta (almahabbah),
ma‘rifah (pengetahuan), dan kerelaan (ar-ridha). Tiap-tiap maqam ini akan diperoleh
seorang sufi secara mandiri, bukan pemberian gratis dari Tuhan. Dari kalangan Syi‘ah,
Nashr ad-Din ath-Thusi (w. 1274 M) menyebutkan bahwa maqamat dibagi menjadi enam
bagian.
*Pertama, tahapan awal suluk dan syarat-syaratnya yaitu dimulai dari iman, keteguhan
(at-taubah), niat (an-niah), kejujuran (ash-shiddiq), penyesalan (al-inabah) dan ketulusan
(al-ikhlash).
*Kedua, rintangan dan hambatan pada jalan suluk yaitu dimulaidari taubat, zuhud,
kemiskinan (faqir), kedisiplinan diri (riyadhah), perhitungan (muhasabah) dan kehati-
hatian (muraqabah), dan takwa (taqwa).
*Ketiga, pencarian kesempurnaan dan maqamat para ahli suluk, yaitu dimulai dari
pengasingan diri (khalwah), berpikir/merenung (tafakkur), takut (khauf) dan duka cita
(huzn), harap (raja‘), sabar (shabr) dan berterima kasih (syukr).
*Keempat, maqamat sebelum puncak hakikat, yaitu dimulai dari keinginan (iradah),
kerinduan (syauq), kecintaan (mahabbah), pengetahuan (ma‘rifah), keyakinan (yaqin),
dan ketentraman (sukn).
*Kelima, maqamat puncak hakikat yaitu dimulai dari pasrah (tawakkul), kepuasan
(ridha), ketaatan (taslim), keesaan Allah (tauhid), penyatuan (ittihad), kesatuan (wahdah),
dan fana` sebagai maqam tertinggi. Berdasarkan keterangan para sufi terkemuka di atas,
baik dari kalangan Sunni maupun Syi‘ah, bisa disimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan
tentang urutan, jumlah dan akhir dari sebuah tingkatan spiritual (maqamat). Kesepakatan
hanya terletak bahwa sebelum seorang pesuluk hendak mendekatkan diri kepada Allah
SWT., maka pesuluk tersebut harus menempuh maqam taubat (at-taubah).
Berikut ini akan disebutkan beberapa pendapat sufi tentang hakikat maqamat.
*Pertama. Taubat (at-taubah). Para sufi sepakat bahwa taubat adalah jalan pertama
menuju Allah. Ada beberapa pengertian taubat. Bagi para sufi, taubat diartikan sebagai
lupa kepada segala hal, kecuali Allah. Junaid al-Bagdadi mengatakan bahwa taubat
adalah penyesalan, tekad meninggalkan apa yang dilarang Allah, dan berusaha memenuhi
hakhak orang yang pernah dianiayanya. Ath-Thusi mengatakan bahwa taubat adalah
menghindarkan diri dari dosa. Menurut al-Qusyairi, taubat adalah kembali dari sesuatu
yang dicela dalam syari`at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari`at. ‘Abd al-Halim
Mahmud mengatakan bahwa tobat adalah menyucikan diri dari maksiat dan menghapus
kesalahan sebelumnya.
*Kedua. Wara‘. Menurut kaum sufi, wara` diartikan sebagai menjauhi hal-hal yang tidak
baik, atau meninggalkan segala yang di dalamnya terhadap syubhat tentang halalnya
sesuatu. Menurut Ibrahim ibn Adam, wara‘ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat
dan yang tidak pasti, yakni meninggalkan hal-hal yang tidak pasti. Asy-Syibli
menyatakan bahwa wara‘ adalah upaya menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak
berkaitan dengan Allah SWT. ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bahwa wara` adalah
keluar dari segala hal yang syubhat dan meninggalkan segala yang yang syubhat.
* Ketiga. Qana‘ah. Menurut kaum sufi, seperti diungkap alQusyairi, qana‘ah adalah sikap
tenang karena tidak ada sesuatu yang dibiasakan. Menurut Muhammad ibn ‘Ali at-
Turmudzi, qana‘ah adalah jiwa yang rela terhadap pembagian rezeki yang telah
ditentukan. Sufi lain berpendapat bahwa qana‘ah adalah menganggap cukup dengan
sesuatu yang ada dan tidak berkeinginan terhadap sesuatu itu yang tidak ada hasilnya.
Kedua konsep ini sangat tidak asing dalam ajaran Islam, karena selain Alquran, hadis
sangat menganjurkan kedua sikap ini.
* Keempat. Zuhud (az-zuhd). Bagi sufi, zuhud dimaknai sebagai keadaan meninggalkan
dunia dan hidup keduniaan. Al-Qusyairi mengemukakan banyak pandangan para sufi
tentang zuhud. Ada pendapat menyatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan yang
haram, karena yang halal dibolehkan oleh Allah. Pendapat lain menyatakan bahwa zuhud
adalah meninggalkan yang haram adalah wajib, dan meninggalkan yang halal adalah
keutamaan. Abu ‘Ali ad-Daqaq mengatakan bahwa zuhud adalah sikap anti kemewahan
dunia, tidak berkeinginan membangun pondok dan mesjid. Ibn Jalla` mengatakan bahwa
zuhud adalah memandang kehidupan dunia hanya sekedar pergeseran bentuk yang tidak
mempunyai arti dalam pandangan. Ibn Khafif menyatakan bahwa zuhud adalah hati
merasa terhibur meninggalkan berbagai bentuk kehidupan dan menghindarkan diri dari
harta. Nashr ‘Adadzi menyatakan zuhud adalah mengisolir diri dari dunia. Abu Sulaiman
ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan berbagai aktifitas yang mengakibatkan jauh dari
Allah SWT. sedangkan Ruwaim mengatakan bahwa zuhud adalah memperkecil
kehidupan dunia dan menghilangkan berbagai pengaruh yang ada di dalam hati. Ath-
Thusi mengatakan bahwa zuhud adalah tidak adanya hasrat atau tidak memiliki keinginan
terhadap hal-hal duniawi. ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bahwa zuhud adalah
meninggalkan apa yang dicintai jiwanya dan meninggalkan dunia.
*Kelima. Kefakiran (al-faqr). Bagi para sufi, fakir diartikan sebagai tidak meminta lebih
dari apa yang telah ada pada diri kita, atau tidak meminta rezeki, kecuali hanya untuk
dapat menjalankan kewajibannya, dan/atau tidak meminta, namun jika diberi ia
menerima. Ath-Thusi mengatakan bahwa fakir adalah seseorang yang tidak memiliki
kecintaan terhadap kekayaan dan hal-hal duniawi, dan jika sekiranya dia memiliki semua
hal tersebut, dia tidak berkeinginan untuk menyimpan dan mengumpulkannya. Al-
Qusyairi menyebut sejumlah pendapat sufi tentang fakir. Yahya ibn Mu‘az menyatakan
bahwa fakir adalah hendaknya seseorang tidak merasa cukup kecuali dengan Allah. Asy-
Syibli menyatakan bahwa hakikat fakir adalah hendaknya jangan merasa cukup dengan
sesuatu selain Allah. Menurut Abu al-Qasim, fakir adalah tidak adanya tuntutan kepada
Allah, tidak mengajukan pilihan, dan bahkan puas sekaligus rela dengan ketentuan Allah.
Abu Bakar ibn Thahir menyatakan bahwa fakir adalah tidak memiliki keinginan. Jika
harus memiliki keinginan, ia tidak melampaui batas keinginannya, kecuali secukupnya.
*Keenam. Sabar (ash-shabr). Para sufi memaknai sabar sebagai menunggu datangnya
pertolongan Allah. Menurut kaum sufi, sabar terdiri atas sejumlah hal yaitu sabar dalam
menjalankan perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan-Nya, dan sabar dalam
menerima segala cobaan dari-Nya. Ath-Thusi mengatakan bahwa sabar adalah mencegah
jiwa dari perasaan waswas ketika terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, melindungi
diri dari pergolakan, mencegah lidah dari keluhan, serta menjaga anggota tubuh agar
tidak melakukan perbuatan yang merugikan. ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bahwa
sabar dibagi menjadi dua yaitu sabar lahir dan sabar batin. Sabar lahir adalah sabar dalam
menjalankan perintah Allah, sabar dalam menjauhi segala larangan-Nya, dan sabar dalam
melaksanakan hal-hal yang sunnah. Sedangkan sabar batin adalah sabar dalam menerima
kebenaran dari siapa saja yang membawa kebenaran itu. Beberapa sufi terdahulu telah
mendefinisikan makna sabar ini. Dzun Nun al-Mishri mengatakan bahwa sabar adalah
menjauhi hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika menelan pahitnya cobaan,
dan menampakkan sikap kaya dengan menyembunyikan kefakiran di dalam kehidupan.
Ibn ‘Atha` menyatakan bahwa sabar adalah tetap berperilaku baik ketika ditimpa oleh
cobaan. ‘Amr ibn ‘Utsman menyatakan bahwa sabar adalah tetap bersama Allah SWT.
dan menerima cobaanNya dengan lapang dada dan senang hati.
*Ketujuh. Berterima kasih (asy-syukur). Asy-Syibli menyatakan bahwa syukur adalah
memperhatikan Allah sebagai pihak yang memberikan kenikmatan, bukan kepada
kenikmatan-Nya. Bagi al-Qusyairi, syukur adalah memuji Allah dengan mengingat
kepada-Nya. Abu Bakar al-Warraq menyatakan bahwa syukur adalah memperhatikan
pemberian Allah dan menjaga kehormatan. Menurut ath-Thusi syukur terdiri atas tiga hal
yaitu pengetahuan tentang kemurahhatian Allah yang terbentang dari puncak ufuk sampai
jiwa; perasaan senang dalam memperoleh kemurahan tersebut; dan melakukan sesuatu
upaya sejauh kemampuan untuk menyenangkanNya. Menurut ‘Abd al-Halim Mahmud,
syukur ada tiga yaitu syukur hati yaitu mengetahui bahwa nikmat itu hanya dari Allah
dan tidak lain dari-Nya; syukur lisan yaitu memuji dan menyanjung-Nya, menyebarkan
nikmat-Nya, dan menyebut kebaikan-Nya; dan syukur badan yaitu tidak menggunakan
jasmani dalam maksiat dan mentaati Allah dengan jasmani tersebut.
*Kedelapan. Tawakkal (at-tawakkul). Bagi para sufi, tawakkal adalah menyerah kepada
qadha` dan putusan dari Allah; percaya kepada janji Allah; selamanya dalam keadaan
tenteram jika mendapat pemberian maka ia berterima kasih, jika tidak mendapat apa-apa
bersikap sabar, dan menyerah kepada qadha dan qadar-Nya. Ath-Thusi mengatakan
bahwa tawakkal adalah mempercayakan semua urusan kepada Allah. ‘Abd alHalim
Mahmud mengatakan bahwa tawakkal adalah membenarkan Allah dan bersandar kepada-
Nya dalam segala kejadian, dan keluarnya kebimbangan dari hati tentang urusan dunia
dan rezeki. Al-Qusyairi menulis sejumlah pendapat sufi tentang makna tawakkal.
Menurutnya, Hamdun alQashshar mengatakan bahwa tawakkal adalah berpegang teguh
kepada Allah. Dzun Nun al-Mishri mengatakan bahwa tawakkal adalah meninggalkan
hal-hal yang diatur oleh nafsu dan melepaskan diri dari daya upaya dan kekuatan. Sahl
ibn ‘Abd Allah mengatakan bahwa tawakkal adalah melepaskan segala apa yang
dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT. Abu Nashr as-Sarraj ath-
Thusi mengatakan bahwa tawakkal adalah melepaskan anggota tubuh dalam
penghambaan, menggantungkan hati dengan ketuhanan dan bersikap merasa cukup.
*Kesembilan. Rendah hati (at-tawadhu‘). Al-Qusyairi telah menyebut beberapa makna
dari rendah hati (at-tawadhu‘). Menurut Fu«ail ibn ‘Iya« bahwa at-tawadhu‘ adalah
rendah diri untuk kebenaran, menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan menerima
kebenaran dari orang lain. Junaid al-Bagdadi menyatakan bahwa at-tawadhu‘ adalah
merendahkan lambung kepada orang lain dan lemah lembut kepada mereka. Ibn ‘Atha`
menyatakan bahwa at-tawadhu‘ adalah menerima kebenaran dari orang lain.
* Kesepuluh. Cinta (mahabbah). Menurut sejumlah sufi, cinta bermakna memeluk
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya, menyerahkan
seluruh diri kepada yang dikasihi, dan mengosongkan hati dari segala hal kecuali dari diri
yang dikasihi. Al-Qusyairi telah menyebut beberapa pendapat sufi tentang hakikat cinta.
Menurut Husain ibn alManshur bahwa hakikat cinta itu adalah jika kamu berdiri bersama
kekasihmu dengan menanggalkan sifat-sifatmu. Muhammad ibn ‘Ali al-Kattani
menyatakan bahwa cinta harus lebih mengutamakan yang dicintai. Asy-Syibli
menyatakan bahwa cinta adalah menghapus hati dari ingatan semua selain yang
dicintainya. Junaid al-Bagdadi mengatakan bahwa cinta adalah masuknya sifat-sifat
kekasih pada sifat-sifat yang mencintainya. Menurut al-Qusyairi, cinta dimaksud adalah
cinta kepada Allah SWT. Ath-Thusi mengatakan bahwa cinta adalah kepatuhan penuh
ketika seorang sufi sudah mengetahui Sang Kekasih sebagai Penguasa Mutlak dan Dia-
lah Pemegang Kekuasaan itu sepenuhnya. ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bahwa
cinta adalah menyebut Allah dengan hati dan lidahnya yang dijadikan sebagai kewajiban
pada dirinya, takut akan kealpaan, dan beristighfar darinya, dan menggunakan jasmani
hanya untuk mengabdi kepada yang dicintainya. Tanda cinta adalah menyesuaikan diri
kepada yang dicintai, mengikuti cara-caranya dalam segala urusan, dan dekat kepada-Nya
dalam segala urusan.
* Kesebelas. Kerelaan (ar-ridha). Bagi kalangan sufi, kerelaan (ar-ridha) adalah tidak
menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar Allah dengan senang hati,
merasa senang menerima cobaan seperti senang dalam menerima nikmat. Menurut Dzun
Nun al-Mishri, bahwa kerelaan adalah meninggalkan usaha sebelum keputusan,
menghilangkan kepahitan sebelum keputusan, dan apabila mendapat cobaan, ia tetap
cinta. Rabi‘ah al-Adawiyah mengatakan bahwa kerelaan adalah senang mendapat
musibah seperti senang ketika mendapat nikmat. Menurut Ruwaim, kerelaan adalah
menerima hukum dengan senang hati. Harits al-Muhasibi mengatakan bahwa kerelaan
adalah tenangnya hati di bawah tempat-tempat berlakunya hukum. Sedangkan menurut
an-Nuri, kerelaan adalah senangnya hati karena menerima pahitnya keputusan. Ath-Thusi
mengatakan bahwa kerelaan adalah kepuasan, atau tidak ada rasa kecewa baik lahir
maupun batin di dalam hati, perkataan atau pun perbuatan. ‘Abd al-Halim Mahmud
mengatakan bahwa kerelaan adalah menerima musibah dengan segala kesenangan dan
kegembiraan.
*Keduabelas. Ma‘rifah. Menurut para sufi, ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat,
sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.159 Menurut al-Hujwiri, ma’rifah adalah
kehidupan hati lewat Tuhan dan berpalingnya manusia dari semua yang bukan Tuhan.160
Menurut al-Thusi, ma’rifah adalah derajat tertinggi pengetahuan tentang Allah.161
Menurut alQusyairi, ma’rifah menurut pada sufi adalah pengosongan diri untuk selalu
mengingat Allah, tidak menyaksikan selain-Nya dan tidak kembali selain-Nya. Menurut
Dzun Nun al-Mishri, seorang ahli ma’rifat berakhlak dengan akhlak Allah. Husain
Manshur al-Hallaj berkata “jika seorang hamba telah sampai kepada ma’rifah Allah,
maka Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya
dari kata hati yang tidak benar. Tanda seorang ahli ma’rifat adalah jika seseorang telah
kosong dari dunia dan akhirat.” Al-Syibli berkata “seorang ahli ma’rifat tidak
memperhatikan kepada selain Allah, tidak berbicara selain Allah dan selalu menjaga
dirinya dari selain Allah.” Abu Yadzid al-Busthami berkata “seorang ahli ma’rifat adalah
ketika tidur ia tidak melihat selain Allah. Ketika terjaga, ia tidak melihat selain Allah. Ia
tidak beribadah selain kepada Allah, dan tidak melihat kecuali kepada Allah. Menurut al-
Kalabadzi, ma’rifat adalah hati menyaksikan kekuasaan Tuhan dan merasakan besarnya
kebenaran-Nya, dan mulianya kehebatan-Nya, yang tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata.” Menurut al-Kalabadzi, ahli ma’rifat telah berusaha keras untuk melaksanakan
tugasnya kepada Tuhan dan ma’rifatnya merupakan suatu perwujudan apa yang telah
diberikan oleh Tuhan kepadanya. Karena itu, ia sungguhsungguh berpaling dari segala
sesuatu demi Tuhan. Mengutip pendapat seorang sufi, al-Kalabadzi mengatakan bahwa
ma’rifat terdiri atas dua jenis, pertama. Ma’rifat kebenaran yaitu penegasan keesaan
Tuhan atas sifat-sifat yang dikemukakanNya. Kedua. Ma’rifat hakikat yaitu ma’rifat yang
tidak bias dicapai oleh alat apa pun, disebabkan oleh sifat Tuhan yang tidak dapat
ditembus dan kebenaran ketuhanan-Nya mustahil dipahami. Sufi lain berkata “ma’rifah
mengambil bentuk pandangan rendah terhadap semua nilai kecuali nilai-nilai Tuhan, dan
tidak melihat nilai lain selain Tuhan.” Ketigabelas. Fana`, Baqa` dan Ittihad. Fana` adalah
penghancuran diri yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar
manusia. Baqa` adalah kesadaran bahwa wujud jasmani telah tiada dan yang ada adalah
wujud rohaninya. Menurut al-Qusyairi, ketika seorang sufi mengalami fana` dari dirinya,
lalu ke-baqa`-an sifat-sifatnya mengada dengan sifat-sifat al-Haq, lalu muncul
kesaksiannya bersama penampakan al-Haq, kemudian timbul fana` berikutnya dari
kesaksian ke-fana-annya bersama kehancuran dirinya dalam wujud al-Haq. Menurutnya,
jika dikatakan bahwa seseorang fana` dari dirinya dan keseluruhan makhluk, maka
sebenarnya dirinya dan seluruh makhluk itu masih ada. Akan tetapi, orang yang
mengalami hal seperti itu tidak memiliki pengetahuan, perasaan, dan kabar tentang
dirinya dan semua makhluk. Menurut al-Kalabadzi, fana` adalah suatu keadaan para sufi
yang di dalamnya seluruh hasrat meluruh darinya, sehingga sufi tersebut tidak mengalami
perasaan apa-apa, dan kehilangan kemampuan membedakan. Artinya, sufi tersebut telah
luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada sesuatu yang menyebabkan ia
luruh. Sedangkan baqa’ adalah para sufi meluruh dari sesuatu yang menjadi miliknya
sendiri, dan tetap tinggal dikarenakan sesuatu yang menjadi milik Tuhan. Sedangkan
ittihad adalah bersatu dengan Allah, atau suatu tingkatan di mana antara yang mencintai
dan yang dicintai telah menjadi satu. Menurut al-Kalabadzi, ittihad adalah pemisahan dari
segala sesuatu yang selain Allah, dalam hati tidak melihat dalam arti memuja apa-apa
kecuali Tuhan, dan tidak mendengar apa-apa kecuali firman tuhan. Al-Kalabadzi
mengutip pendapat ibn ‘Umar mengatakan bahwa ittihad adalah pemujaan kepada tuhan
telah mengacaukan pemujaan kepada selain-Nya. Ittihad dimaknai pula sebagai ketika
seorang hamba tidak bersaksi atas apapun kecuali penciptanya (yaitu Allah SWT.).
Menurut ath-Thusi, ittihad adalah melihat segala sesuatu sebagai wujud Allah, tanpa
harus dipaksa untuk mengatakan bahwa segala sesuatu selain-Nya berasal dari-Nya,
sehingga semuanya adalah satu. Ittihad bisa diartikan juga sebagai cahaya manifestasi
Allah telah memancar ke dalam penglihatan manusia, sehingga dia tidak akan melihat
lagi sesuatu selain Allah semata.
*Ahwal
Adapun “ahwal” bentuk jamak dari “hal” yang biasa diartikan sebagai keadaan mental
(mantel states) yang dialami oleh para sufi disela-sela perjalanannya. Menurut ahli Sufi,
terdapat beberapa perbedaan diantara maqamat dan ahwal. Maqamat adalah tahap-tahap
perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan para sufi untuk memperolehnya.
Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan
melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia, yang dipandang sebagai
berhala terbesar. Dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini
misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang Sufi kadang memerlukan waktu
puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stesen ke stesen yang lainnya. Sedangkan
ahwal, sering diperolehi secara spontan sebagai hadiah dari tuhan. Di antara ahwal yang
sering disebut adalah kehati-hatian ,takut, penyaksian, rendah hati, takwa, ikhlas,
keyakinan. Meskipun ada perdebatan di antara penulis tasawuf, namun kebanyakan
mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan
diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada
maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang
biasa disebut “lama’at”.
*Pertama. Kehati-hatian (muraqabah). Menurut al-Qusyairi, muraqabah adalah ilmu
hamba untuk melihat Allah SWT. Maksud muraqabah adalah seorang sufi merasa dirinya
selalu diawasi sehingga membentuk sikap yang selalu awas pada hukum-hukum Allah
SWT. Muraqabah juga bermakna seseorang selalu mengawasi dirinya sendiri terhadap
segala hal pada masa lalu, memperbaiki keadaan sekarang, berada pada jalan yang benar,
mengadakan kontak baik dengan Allah SWT sambil menjaga hati, memelihara nafas agar
selalu berhubungan dengan-Nya, dan memelihara-Nya dalam segala hal. Orang tersebut
mengetahui dengan hatinya bahwa Allah SWT. Adalah Zat Maha Pengawas. Orang
tersebut merasa bahwa Allah mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya dan
mendengar ucapannya.
*Keempat Rendah hati (at-tawadhu‘). Menurut Fudhail ibn ‘Iyadh bahwa at-tawadhu‘
adalah rendah diri untuk kebenaran, menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan menerima
kebenaran dari orang lain. Junaid al-Bagdadi menyatakan bahwa attawadhu‘ adalah
merendahkan lambung kepada orang lain dan lemah lembut kepada mereka. Ibn ‘Atha`
menyatakan bahwa at-tawadhu‘ adalah menerima kebenaran dari orang lain.
*Ketujuh. Keyakinan (al-yaqin). Menurut al-Junaid, “keyakinan adalah ilmu yang stabil
dan tidak berbolak-balik, tidak berpindah-pindah dan tidak berubah-ubah dalam hati.”
Junaid berkata pula bahwa “yakin adalah hilangnya keraguraguan di hadapan Allah.”
Sahl ibn ‘Abd Allah berkata “permulaan yakin adalah terbukanya tabir rahasia.” Abu
‘Abd Allah berkata “yakin adalah nampaknya berbagai rahasia melalui penerapan
hukum-hukum.” Sebagian ulama, kata alQusyairi, menyatakan bahwa “yakin adalah
mukasyafah, terbukanya tabir rahasia.
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Day, Edward, dan Brown, Nick. The Role of Educational Supervisor: Aquestionnaire Survey,
USA: The Psychiatric Bullettin 2000
Goldhammer, R, Anderson, R.H. and Krajewski, R.J. Clinical Supervision. Special methods for the
supervision of teachers (3rd.edn.), Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich.1993