Anda di halaman 1dari 17

MEREKONSTRUKSI MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN MELALUI

PENGUBAHAN SISTEM PENGELOLAAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok

Mata Kuliah : Inovasi Pendidikan

Dosen Pengampu : Drs. Isran Rasyid Karo-Karo, M.Pd

Disusun Oleh :

PMM-2/Sem.IV

Kelompok 5

Atika Rahmah (0305212086)

Saprina Maulida (0305212107)

Weni Sastika (0305212068)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Syukur alhamdulillah senantiasa kami ucapkan kehadirat Allah Swt, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Merekonstruksi Masyarakat dan Kebudayaan Melalui Pengubahan Sistem
Pengelolaan Pendidikan di Sekolah”, guna memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata
kuliah Inovasi Pendidikan.

Dalam penulisan makalah ini, kami sebagai penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada Bapak selaku dosen pengampu mata kuliah Inovasi Pendidikan, yang telah
membimbing dalam pengerjaan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih atas
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran serta kritikan, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.

Dalam penulisan makalah ini, kami juga menyadari bahwasannya makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan segala bentuk saran serta kritikan yang membangun dari berbagai pihak, agar
kedepannya makalah ini bisa lebih baik lagi.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Medan, 17 April 2023

Penulis (Kelompok 5)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..………….. ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 1

A. Latar Belakang ………………………………………………………………………… 1


B. Rumusan Masalah …………………………………………………………………...… 1
C. Tujuan ………………………………………………………………………………..… 1

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………..… 2

A. Visi/Misi Pendidikan Persekolahan ………………………………………….………… 2


B. Sekolah Sebagai Sarana dan Rekontruksi Masyarakat ………………………………… 4
C. Pengaruh Eksternal dan Internal dalam Pengelolaan Pendidikan ………………...…… 6
D. Pendidikan di Sekolah dengan Sistem Desentralisasi ……………………………….… 7
E. Program Kegiatan yang Perlu Dikedepankan ………………………………….……… 8

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………… 13

A. Kesimpulan …………………………………………………………………...………. 13
B. Saran ………………………………………………………………………………….. 13

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….…… 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sekarang kita berada pada milenium ke-3 dari proses kehidupan manusia,
tepatnya berada pada abad ke-21, yang bukan saja merupakan abad baru, melainkan
juga peradaban baru. Hal ini dikarenakan betapa pun bangsa kita mengalami krisis
moneter, ketidakstabilan politik, bangsa Indonesia tengah mengalami restrukturisasi
global dunia yang sedang berjalan yang ditandai dengan berbagai perubahan dalam
semua aspek kehidupan, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Bahkan, yang lebih parah lagi adalah akibat krisis ini muncul krisis moral di
masyarakat kita, pembantaian, pemerkosaan, tawuran antar pelajar dan perampasan
hak milik orang lain terjadi di mana-mana. Dari sudut pendidikan, tampaknya ada
indikasi bahwa krisis moral yang dikemukakan di atas menandakan belum berhasilnya
lembaga pendidikan membentuk pribadi anak bangsa menjadi pribadi yang
bermartabat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa visi/misi dari pendidikan persekolahan ?
2. Bagaimana kedudukan sekolah sebagai sarana dan rekontruksi masyarakat ?
3. Bagaimana pengaruh eksternal dan internal dalam pengelolaan pendidikan ?
4. Bagaimana perbandingan pendidikan di sekolah dengan sistem desentralisasi ?
5. Apa saja program kegiatan yang perlu dikedepankan ?

C. Tujuan
1. Mengetahui visi/misi dari pendidikan persekolahan
2. Mengetahui kedudukan sekolah sebagai saran dan rekontruksi masyarakat
3. Mengetahui pengaruh eksternal dan internal dalam pengelolaan pendidikan
4. Mengetahui perbandingan pendidikan di sekolah dengan sistem desentralisasi
5. Mengetahui apa saja program kegiatan yang perlu dikedepankan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Visi/Misi Pendidikan Persekolahan


Pada dasarnya, visi merupakan komponen penting dalam organisasi sekolah,
sehingga kepala sekolah menjadi figur pertama yang harus memiliki dan menguasai
visi akan kemana sekolah yang dipimpinnya diorientasikan. Visi yang ada dalam diri
kepala sekolah (kepemimpinan visioner) harus dirumuskan dan ditransformasikan
dalam visi organisasi bersama stakeholders lain. Selanjutnya, visi yang secara inhern
menjadi visi kepemimpinan kepala sekolah harus dapat diimplementasikan dalam
bentuk misi-misi yang dirumuskan dalam mencapai tujuan.
Kepala sekolah merupakan manajer organisasi pada tingkat satuan pendidikan/
sekolah, dalam konteks manajemen berbasis sekolah (MBS) kepala sekolah diberikan
kewenangan secara otonom untuk memajukan dan mengembangkan lembaga yang
dipimpinnya bersama mitra strategis sekolah yang diberi nama komite sekolah. Dalam
pelaksanaan pendidikan, karakter kepala sekolah bersama mitranya, yakni komite
sekolah dituntut untuk melakukan perumusan visi dan misi sekolah yang berorientasi
pada upaya pengembangan karakter peserta didik di masa yang akan datang. Visi dan
misi tersebut selanjutnya akan menjadi arah dan acuan sekolah dalam
mengembangkan pendidikan karakter oleh sekolah. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Komariah bahwa “Visi merupakan gambaran masa datang yang lebih baik,
mendekati harapan, atraktif dan realistis, visi menunjukkan arah pergerakan
organisasi dari posisinya sekarang ke masa dating”. Visi menurutnya adalah jembatan
antara masa kini dan masa dating, sehingga perumusannya harus didasarkan pada
karakteristik yang mapan.
Kita ketahui bahwa setiap sekolah memiliki misi pendidikan yang berbeda, namun
dari misi setiap sekolah tersebut tujuannya hanya satu, yaitu menjadikan anak bangsa
ini agar memiliki kepribadian yang bermartabat.
Dimana kita ketahui misi pendidikan lembaga sekolah itu ada tiga macam, yaitu
sebagai berikut :
a. Pendidikan Kepribadian
Dalam hal ini, pendidikan kepribadian sekolah membantu dan bekerja sama
dengan keluarga dan lembaga agama.

2
b. Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam hal ini, pendidikan kewarganegaraan, dimana sekolah bekerja sama dengan
lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat.
c. Pendidikan Intelektual
Dalam hal pendidikan intelektual, sekolah melakukan sendiri walaupun
memperoleh bantuan dari lembaga lain, sebab misi pendidikan intelektual adalah
kekhususan sekolah, misi pendidikan intelektual tersebut dilakukan secara
berangkai sejak pembelajar memasuki Taman Kanak-Kanak sampai Pendidikan
Tinggi.

Untuk tercapainya misi pendidikan tersebut, tentu saja kaum terpelajarlah yang
harus berperan aktif, baik itu mahasiswa maupun guru. Karena secara tidak langsung,
kaum terpelajar itu harus mengetahui atau memahami perilaku manusia dalam
masyarakat dan ikut serta memperbaiki perilaku warga masyarakat. Dengan demikian,
barulah masyarakat bisa menilai tentang bagaimana peran sekolah dalam membentuk
pribadi kaum terpelajar.

Untuk menciptakan kepribadian anak menjadi kaum terpelajar, itu bukanlah hal
yang mudah, karena kegiatan yang seperti itu harus memiliki landasan, karena
kegiatan pendidikan ini merupakan peristiwa sosial, gejala rohani dan tindakan
manusiawi dalam hubungannya dengan alam, manusia dan sistem nilai.

Unsur material pendidikan pada umumnya terhimpun dalam satuan tindak


mendidik yang secara mikro dikenal sebagai situasi pendidikan, atau secara makro
dikenal sebagai kegiatan pendidikan terprogram. Analisis keilmuan tentang kegiatan
pendidikan di sekolah secara makro itu harus memiliki landasan interdisiplinier,
karena kegiatan pendidikan sebagai objek ilmiah merupakan gejala rohani, peristiwa
sosial dan hubungan nilai norma.

Analisis keilmuan tentang kegiatan pendidikan di sekolah secara makro


menunjukkan bahwa penciptaan program-program pendidikan memerlukan landasan
dasar sebagai cabang ilmu pengetahuan secara interdisiplinier. Analisis keilmuan
interdisiplinier tersebut memang diperluaskan, karena kegiatan pendidikan sebagai
objek ilmiah merupakan :

3
a. Gejala Rohani
Dalam arti perkembangan rohani antara anak yang menjadi dewasa dalam konteks
hubungan rohani antara anak didik dengan pendidiknya.
b. Peristiwa Sosial
Dalam arti merupakan tindak sosialisasi dari generasi tua ke generasi muda,
merupakan antara individu dan hubungan kelompok sosial dalam arti lokal,
nasional dan internasioanal.
c. Hubungan Nilai Norma
Sebab dalam kegiatan pendidikan memang terjadi transakasi nilai atau simbolik
yang asimetris dari kelompok pendidik ke kelompok anak didik. Sementara itu,
muatan pendidikan yang diberikan di sekolah dapat di akumulasikan dalam enam
materi keilmuan, yaitu :
1. Ide abstrak
2. Benda fisik
3. Jasad hidup
4. Gejala rohani
5. Peristiwa sosial
6. Dunia tanda

Merupakan upaya pembentukan pembelajar menjadi manusia yang memiliki


pribadi yang bermoral, intelektual serta mampu berinteraksi sosial, baik dengan
manusia lainnya maupun dengan lingkungannya.

B. Sekolah Sebagai Sarana Rekonstruksi Masyarakat


Sekolah akan berhasil apabila ada kerjasama dengan masyarakat, karena
sekolah merupakan lembaga pendidikan yang berada di tengah-tengah, yang mana
sebagai satu kesatuan dari masyarakat dan keluarga yang saling berinteraksi, sehingga
terbentuklah suatu sistem sekolah. Sistem sekolah ini bisa terwujud jika adanya cara
interaksi sosial yang khas.
Adapun analisis perwujudan sistem sekolah sebagai organisasi sosial
dicirikan, sebagai berikut :
a. Memiliki suatu penghuni yang tetap
b. Memiliki struktur politik atau kebijakan umum tentang kehidupan sekolah

4
c. Memiliki inti jaringan hubungan sosial
d. Mengembangkan perasaan atau semangat kebersamaan sekolah
e. Memiliki suatu jenis kebudayaan tersendiri

Menurut Malindoski ada tujuh sistem nilai atau kebudayaan yang secara universal
dikembangkan, yaitu :

1. Bahasa
2. Sistem teknologi
3. Sistem mata pencaharian hidup dan ekonomi
4. Organisasional
5. Sistem pengetahuan
6. Religi
7. Kesenian

Peranan sekolah dalam merekontruksi masyarakat berarti sekolah merekontruksi


berbagai tata nilai yang ada dalam masyarakat, oleh Malindoski disebutkan sebagai
upaya mengembangkan kebudayaan. Ada 7 sistem nilai atau kebudayaan yang secara
universal dikembangkan, yaitu bahasa, sistem teknologi dan sistem pencaharian
hidup atau ekonomi, kemudian organisasional, pengetahuan, religi dan terakhir
kesenian.

Paradigma pendidikan/pembelajaran dimana munculnya perilaku yang tidak


terpuji, baik pelajar maupun masyarakat terdidik lainnya. Akhir-akhir ini
menunjukkan pendidikan dan pembelajaran yang diberikan belum mampu
menyentuh peribadi dan watak anak bangsa. Terkesan pembentukan pola berpikir
anak, apalagi pada pembentukan konsep diri, seperti interaksi personal cendrung
membuat anak terbelenggu. Hal ini disebabkan karena pendidikan kita dewasa ini
menggunakan paradigma lama yang perlu diperbaharui. Kesepuluh perubahan
tesebut sebagai pembeharuan dalam pendidikan dalam rangka peningkatan sumber
daya manusia. Kesepuluh perubahan tersebut dilakukan dalam pendidikan
dikemukakan dalam bentuk pernyataan, sebagai berikut :

1. Apakah pendidikan sebagai proses pembelengguan atau proses pembebasan ?.


2. Apakah pendidikan sebagai proses pembodohan atau proses pencerdasan ?.

5
3. Apakah pendidikan menghasilkan tindak kekerasan atau menghasilkan tindak
perdamaian ?.
4. Apakah pendidikan sebagai proses perampasan hak anak-anak atau justru
menjunjung tinggi hak anak-anak ?.
5. Apakah pendidikan sebagai proses pemberdayaan potensi manusia ?.
6. Apakah pendidikan untuk memecah wawasan manusia atau menyatukan
wawasan manusia ?.
7. Apakah pendidikan sebagai wahana disintegrasi atau justru wahana
mempersatukan bangsa ?.
8. Apakah pendidikan menghasilkan manusia otoriter atau menghasilkan manusia
demokratik ?.
9. Apakah pendidikan menghasilkan manusia apatis terhadap lingkungan atau
respontif dan peduli terhadap lingkungan ?.
10. Apakah pendidikan hanya terjadi di sekolah atau bisa terjadi di mana-mana ?.

C. Pengaruh Eksternal dan Internal dalam Pengelolaan Pendidikan


Penyelenggaraan Pendidikan Nasional yang dilaksanakan secara terus-menerus
dan berkelanjutan, tentu saja ada beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya :
a. Pengaruh Internal
Pengaruh internal adalah pengaruh kebudayaan dan kehidupan masyarakat bangsa
Indonesia.
b. Pengaruh eksternal
Pengaruh eksternal yaitu pengaruh akibat adanya perkembangan dunia yang
mengglobal yang berlaku dalam dasawarsa ini.

Akibat adanya pengaruh tersebut, secara tidak langsung memberikan kontribusi


terhadap pembentukan watak dan kreatifitas anak bangsa. Untuk menghadapi kondisi
seperti itu, Ki Hajar Dewantara mengingatkan agar menerapkan strategi “Trikon”
dalam pengelolaan pendidikan. Adapun strategi Trikon, sebagai berikut :

a. Konvergen, maksudnya agar pendidikan di Indonesia dapat berkembang dengan


baik, artinya dapat seimbang dengan kualitas pendidikan negara-negara maju,
maka sebaiknya adanya adopsi nilai yang di pinjam dari budaya barat, meskipun
harus diadakan filter dalam penggunaannya.

6
b. Konsentris, maksudnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia
haruslah bertolak dari kebudayaan yang meng-Indonesia, sehingga nilai-nilai
luhur bangsa tetap tertanam dalam generasi bangsa.
c. Kontinuitas, maksudnya bahwa pendidikan di Indonesia haruslah dilakukan secara
terus-menerus.

Strategi konvergensi misalnya, paling banyak di pengaruhi oleh pergolakan dunia


yang apabila tidak diantisipasikan dengan baik, maka dapat menjadi ancaman
terhadap kelangsungan pendidikan di Indonesia.

Apalagi kita mencermati wacana sosial saat ini, tampaknya tiga bentuk
masyarakat sebagaimana yang disebut-sebut dalam buku Alvin Tofler benar-benar
menjadi kenyataan yang kita hadapi. Ketiga katagori masyarakat dimaksudkan adalah
masyarakat agraris, industri dan informasi.

Dengan karakteristik yang berbeda, tidak terasa model-model masyarakat itu telah
membawa konsekuensi logis tertentu manakala terjadi pergeseran dari satu bentuk
masyarakat ke bentuk lainnya. Demikian halnya pergeseran dari bentuk masyarakat
agraris ke industri atau masyarakat industri ke informasi, sebagaimana yang kita alami
saat ini.

D. Pendidikan di Sekolah dengan Sistem Desentralisasi


Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan sebagian
atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh unit
atau pejabat pusat kepada unit atau pejabat dibawahnya, atau dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, atau dari pemerintah kepada masyarakat.
Dengan adanya desentralisasi pendidikan, maka segala hal yang berhubungan
dengan manajemen pendidikan dapat dikelola dan dilaksanakan oleh tingkat daerah
sampai kepada masyarakat.
Salah satu wujud dari desentralisasi adalah merupakan terlaksananya proses
otonomi dalam penyelengaraan pendidikan. Sekarang sudah tiba saatnya memikirkan
dan melaksanakan upaya yang dinamakan desentralisasi kewenangan di bidang
Pendidikan Kewarganegaraan di bidang pendidikan bisa dirinci mulai dari
kewenangan merumuskan atau membuat kebijaksanaan nasional di bidang

7
pendidikan, melaksanakan kebijaksanaan nasional dan mengevaluasi atau memonitor
kebijaksanaan nasional tersebut.
Meski begitu, tidak semua kewenangan tersebut dapat disentralisasikan. Oleh
karena itu, desentralisasi pendidikan berusaha untuk mengurangi campur tangan atau
intervensi pejabat atau unit pusat terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang
sepatutnya bisa diputus dan dilaksanakan oleh unit di tataran bawah atau pemerintah
daerah, atau masyarakat.
Kewenagan perumusan atau pembuatan kebijaksanaan nasional mengenai
pendidikan yang meliputi kurikulum, persyaratan pokok tentang jenjang pendidikan,
taksonomi ilmu yang terus dikembangkan dan dapat diajarkan dalam jenjang
pendidikan, persyaratan pembukaan program baru, persyaratan tentang guru pendidik
di setiap jenjang pendidikan dan dalam kegiatan-kegiatan strategis lainnya yang
dipandang lebih efektif, efesien dan tepat jika didesentralisasikan barangkali masih
dilakukan dan diperlukan sentralisasi.
Di dalam jenjang pendidikan yang selama ini kita anut, yakni jenjang
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sudah waktunya
dipikirkan upaya-upaya desentralisasi. Desentralisasi jenjang pendidikan bisa dipilih
apakah semua jenjang pendidikan itu bisa ditangani oleh pemerintah daerah, atau
hanya terbatas jenjang pendidikan dasar dan menengah saja. Adapun upaya
disentralisasi pandidikan salah satunya, yaitu pemberian otonomi kepada perguruan
tinggi.

E. Program Kegiatan yang Perlu Dikedepankan


Memasuki pascaorde baru atau yang dikenal dengan sebutan era reformasi
telah menuntut perubahan di semua sektor kehidupan. Tidak terkecuali sektor
pendidikan turut tereformasi. Reformasi pendidikan adalah sebuah rekayasa besar,
yang tidak mungkin dikerjakan setengah hari, juga tidak cukup dengan terpenggal-
penggal, melimpahkan kesalahan pada berbagai faktor yang menjadi objek kritikan di
atas. Tidak benar misalnya, dengan menyalahkan para guru, yang seperti diketahui,
harus bekerja tanpa imbalan materi yang memadai. Sebaliknya, juga tidak benar
bahwa semua permasalahan bakal beres, jika saja tersedia dana yang cukup.
Tampaknya, semua faktor di atas saling terkait satu dengan lainnya sebagai
sebuah lingkaran setan yang harus diputus. Hal yang perlu dilakukan dalam meniti
jalan reformasi pendidikan adalah membongkar berbagai tabu, meluruskan jalan dan

8
praktik yang serong serta mengikis habis mitos yang mengesalkan. Sedikitnya, tiga
belas hal berikut perlu menjadi pertimbangan bagi reformasi pendidikan.
1. Perlu disadari bahwa setiap orang adalah pribadi yang unik, dan mempunyai bakat
yang berbeda dengan lainnya. Siapa yang tidak mengakui ini, lupa betapa sistem
pendidikan yang dikonsepkan secara seragam telah banyak merendam berbagai
bakat terpendam. Hal ini telah meningkatkan jumlah mereka yang putus sekolah
karena bakatnya tidak tersalurkan.
2. Pendidikan tidak dimulai selepas sekolah menengah, yaitu pada tingkat
universitas. Prestasi teoritis (universitas) dan praktis (kejuruan), kerja manual dan
kerja otak, seharusnya sama-sama memperoleh penghargaan. Hal ini harus
tercermin dalam jurusan yang ditawarkan, ijazah yang diberikan, terbukanya
kesempatan kerja pendidikan serta penghargaan masyarakat bagi kedua jenis
pendidikan tersebut.
3. Perlunya sebuah sistem penilaian yang mencerminkan prestasi murid dengan
berbagai kelebihan dan kekurangannya, tidak sekadar angka-angka yang
mengklaim secara abstrak tentang mutu anak didik.
4. Perlu disadari bahwa (sistem) pendidikan tidak bebas nilai. Berbagai pelajaran
sudah sarat nilai. Begitu pula dengan perilaku guru sebagai panutan. Meskipun
demikian, pelajaran seperti PMP (Pendidikan Moral Pancasila), yang diandalkan
oleh orde baru untuk mencetak manusia pembangunan, telah menjadi
kontraproduktif yang perlu diganti oleh pendidikan budi pekerti yang sifatnya
universal.
5. Sekolah bukanlah semacam “bengkel reparasi” bagi semua kerusakan masyarakat.
Sebenarnya, yang lebih berperan adalah para orang tua. Sekolah hanya berperan
sebatas ikut membantu orang tua dalam pendidikan anak-anaknya.
6. Perlu dikoreksi keyakinan bahwa isi pendidikan bisa diatur lewat birokrasi, dan
sedapat mungkin harus diseragamkan.
7. Tidaklah tepat bahwa lembaga pendidikan terbaik, selalu milik negara. Persaingan
lembaga pendidikan negeri dengan swasta, baik formal maupun yang alternatif,
dalam hal mutu dan konsep, ikut memperbaiki sisitem pendidikan nasional. Kini,
sudah saatnya dimunculkan sebuah diskursus luas tentang isi reformasi
pendidikan, khususnya dalam menapaki abad ke-21 nanti. Untuk itu, dibutuhkan
sebuah consensus nasional tentang tujuan pendidikan. Hal yang dimaksud
bukanlah sebuah penyeragaman baru, tetapi sebuah leitgedanken (alur pemikiran)

9
yang memberikan ruang bagi mekarnya kreativitas dan keberagaman. Meski
terkesan subjektif, beberapa ciri khas model pendidikan demikian, bisa dijadikan
bahan diskursus.
8. Sistem pendidikan, sebaiknya berorientasi pada nilai (wert orientied). Kita
mungkin trauma, terutama dengan penyampaian nilai lewat mata pelajaran
Pendidian Moral Pancasila (PMP) yang belakangan menjadi kontraproduktif.
Akan tetapi, pendidikan tidak boleh terbatas pada sekedar transfer pengetahuan
dan keahlian fungsional. Hal yang menjadi bagian dari pembentukan pribadi yang
matang, selain kemampuan mengkritik, sensibilitas dan kreativitas, adalah
kompetensi sosial dan kemampuan menyampaikan nilai dasar bersama. Nilai-nilai
dasar tersebut selama puluhan tahun terakhir memang banyak didengungkan,
tetapi jarang dihayati dan dipraktikkan, yaitu kejujuran, kerja keras,
kesederhanaan, disiplin, tepat waktu dan terutama kebersamaan sebagai bangsa.
Perlu pula ditekankan keterkaitan antara beberapa nilai tertentu. Sikap toleran
misalnya, hanya akan tumbuh jika seseorang mempunyai jati diri. Nilai-nilai dasar
tersebut, perlu digiatkan dalam kegiatan belajar mengajar. Pada saat yang sama,
perlu ditekankan bahwa prestasi, tidak akan tercapai dengan sikap instan, atau
keinginan serba cepat, yang cepat kaya, cepat pintar atau cepat beken. Apabila
tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia, perlu disadarkan bahwa pribadi
yang merdeka, bukan yang lissezfaire, tetapi yang mampu
mempertanggungjawabkan hasil kemerdekaannya.
9. Sistem pendidikan sebaiknya terkait dengan dunia praktisi (praxisbezogen). Akan
tetapi, ini bukan berarti melulu berbicara tentang “materilisasi” pendidikan, yang
mengedepankan konsep “siap pakai” bagi perekonomian. Dalam kehidupan dan
profesi, seringkali hal-hal yang mendasar terjadi dalam ruang di antara batasan-
batasan konvensional. Profesi dan jurusan akademik baru misalnya, muncul di
antara jurusan-jurusan klasik, sehingga memerlukan orientasi proyek baru. Selain
itu, juga diperlukan pelajaran interdisiplin, seperti “campuran” antara biologi,
kimia, dan etika, atau matematika dengan elektronika dan sosiologi dengan
ekonomi. Untuk itu, diperlukan fleksibilitas para guru dan murid, mahaguru dan
mahasiswa, juga fleksibilitas dalam keseharian (jadwal dan kegiatan) lembaga
pendidikan. Dalam mengantisipasi kebutuhan pasar (tenaga kerja) dalam negeri,
regional dan global, sekolah kejuruan harus mendapatkan perhatian yang layak
dan secara terus-menerus diperbarui. Lulusannya harus bisa bekerja dalam sebuah

10
tim interdisiplin (team work). Universitas harus dikonsepkan lebih berorientasi
praktis. Adalah tidak sehat, bahwa lebih dari separuh tamatan SMU di Indonesia,
berkeinginan melanjutkan pendidikan ke universitas, juga adalah sebuah
kenyataan bahwa begaian besar tamatan universitas, tidak memiliki profesi
akademis.
10. Sistem pendidikan sebaiknya tetap beragam. Kita bersyukur bahwa sejarah
kependidikan di Indonesia, telah memunculkan keberagaman model, lembaga dan
tradisi pendidikan. Ada model sekolah yang diadaptasi dari sistem Eropa, ada pula
pesantren yang “asli”, dan ada pula “sintesis” antara keduanya. Lalu, ada yang
formal, nonformal, dan informal, juga ada yang negeri maupun swasta. Hal yang
harus kita tanyakan secara jujur adalah lembaga pendidikan apa yang cocok untuk
siapa ?. Sekolah formal misalnya, tidak selalu cocok untuk setiap anak. Karena
itu, harus diupayakan agar apa pun status dan modelnya, seluruh lembaga
pendidikan memperoleh perhatian dan penghargaan optimal. Boleh
memprioritaskan, tetapi tidak boleh menganakemaskan yang satu dari yang lain.
Selain itu, juga harus dikembangkan kemungkinan melanjutkan pendidikan lintas
model dan lintas lembaga.
11. Diperlukan sebuah sistem pendidikan yang memberikan ruang bagi anak didik
untuk bersaing dan berkreasi secara fair. Fair, juga berarti memberikan beasiswa
dan bantuan ekstra bagi mereka yang berasal dari lapis sosial bawah, sambil tetap
memberikan penghargaan bagi siapa saja yang berprestasi. Sudah saatnya pula,
dewan siswa dan mahasiswa dipilih secara demokratis dan mempunyai wewenang
untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, atau bahkan terlibat dalam
perencanaan proses belajar mengajar. Lembaga pendidikan juga perlu dibebaskan
dari lingkungan birokrasi yang terpusat (sentralisasi). Sudah saatnya otonomi
dalam pengelolaan kelembagaan diberikan pada masing-masing lembaga. Dalam
hal suasana belajar mengajar, metode dialog, diskusi dan “mempertanyakan”
untuk mencari kebenaran yang lebih tinggi, harus dibuka lebar-lebar.
12. Dibutuhkan sebuah sistem pendidikan yang efisien dalam pengelolaan waktu.
Waktu para guru agar tidak habis untuk mengajar mata pelajaran yang berjubel.
Agar waktu mengajar tidak terpaksa diperpendek karena dipakai untuk mencari
penghasilan tambahan. Selain itu, juga agar tersisa waktu bagi para dosen untuk
melakukan penelitian, tidak sekadar mengajar. Tak kalah penting, waktu
mahasiswa yang berada dalam usia terbaiknya, agar tidak dihabiskan untuk

11
menyelesaikan pendidikan yang berkepanjangan dan bertele-tele, apalagi hanya
karena dijejali mata pelajaran yang berdampak kontraproduktif.
13. Sistem pendidikan sebaiknya bersifat internasional. Keluar, diperlukan jalinan
kerja sama dengan lembaga pendidikan mancanegara. Dalam hal ini, hendaknya
dibuka lebar kesempatan bagi siswa dan mahasiswa asing untuk belajar di
Indonesia. Untuk itu, pada awalnya, perlu ada beberapa lembaga pendidikan
menengah dan tinggi yang menawarkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Sebagian dari butir-butir “harapan” di atas, masih menjadi mimpi yang dalam
waktu dekat rasanya sulit dijangkau. Akan tetapi, hakikat reformasi serta
otonomisasi penyelenggaraan pendidikan adalah penciptaan keadaan yang lebih
baik dari sebelumnya. Idealnya, proses otonomisasi penyelenggaraan pendidikan
selalu diadakan pembaruan secara berkesinambungan. Untuk itu, dibutuhkan suatu
keberanian, pengorbanan dan kerelaan kita semua untuk melakukan terobosan-
terobosan terhadap batas-batas sistem yang telah mapan dan baku. Tanpa itu, kita
hanya akan mengulang pola yang telah ada dalam cara yang tampaknya saja lebih
baru dan canggih, padahal tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Ibaratnya,
hanya sekadar memperbarui label dan mungkin juga botol angggur, sementara
isinya masih yang lama.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat kami simpulkan bahwa :
1. Visi dan Misi pendidikan sekolah terhimpun dalam Pendidikan Kepribadian,
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Intelektual.
2. Peranan sekolah dalam merekonstruksi masyarakat berarti sekolah merekonstruksi
berbagai tata nilai yang telah ada dalam masyarakat, yang oleh Malindoski disebutkan
sebagai upaya mengembangkan kebudayaan.
3. Pengaruh eksternal dalam hal pendidikan adalah adanya perkembangan dunia yang
mengglobal yang berlaku dalam dasawarsa ini dalam lingkungan pendidikan.
Sedangkan pengaruh internalnya adalah pengaruh kebudayaan dan kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia di bidang pendidikan.
4. Desentralisasi pendidikan berusaha untuk mengurangi campur tangan atau intervensi
pejabat atau unit pusat terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa
diputus dan dilaksanakan oleh unit di tataran bawah atau pemerintah daerah, atau
masyarakat. Kebijaksanaan yang berdimensi lokal adalah semua hal yang sesuai
dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat daerah.
5. Program pendidikan yang harus dikedepankan ialah dalam kategori sistem
pendidikannya, yakni sebaiknya berorientasi pada nilai serta sistem pendidikan
sebaiknya terkait dengan dunia praksis.

B. Saran
Demi mewujudkan Indonesia yang pragmatis dan ideologis, maka tentunya tersedia
SDA dan SDM yang baik dan berkualitas. Untuk itu, memulai menanamkan pendidikan
yang berkarakter mulai dini sangat akan membantu mewujudkan Indonesia yang merdeka
dalam segala bidangnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi. 2004. Rekontruksi Kebudayaan Melalui Pendidikan.
Yogyakarta: IRCiSoD.

Fuad Hassan. 2004. Pendidikan adalah Pembudayaan, dalam tonny D. Widiastono (editor).
2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Marwati, Sulaiman, dan Siti Rasmiati. 2013. Merekontruksi Masyarakat dan Kebudayaan
Melalui Pengubahan Sistem Pengelolaan Pendidikan di Sekolah. Mamaju:
Universitas Tomakaka.

Pratiwi, Lilis, Didin Ferdiansyah, Nurhikmah Amriyah. 2017. Merekontruksi Masyarakat dan
Kebudayaan Melalui Pengubahan Sistem Pengelolaan Pendidikan di Sekolah.
Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.

Rubita, Naning, Wahyu Siswanto. 2013. Merekontruksi Masyarakat dan Kebudayaan


Melalui Pengubahan Sistem Pengelolaan Pendidikan di Sekolah. Sukaraja: STKIP
Nurul Huda.

Tilaar, H.A.R., Prof., Dr., M.Sc., Ed. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta:
PT RINEKA CIPTA.
http://Layla-innocent.blogspot.com

Yarni, Elvi, Yuniarti, Vivi Putri, dan Mey Sulistiowati. 2014. Merekontruksi Masyarakat dan
Kebudayaan Melalui Pengubahan Sistem Pengelolaan Pendidikan di Sekolah. Jambi:
Universitas Jambi.

14

Anda mungkin juga menyukai