Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii


DAFTAR ISI................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ..........................................................................................1
1.2.Rumusan Masalah .....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. KOPI
1. Pengertian Kopi Ijo Khas Tulungagung .......................................................2
2. Jenis – Jenis Kopi Khas Tulungagung ..........................................................2
3. Manfaat Kopi Ijo Khas Tulungagung ..........................................................2
B. CETHE (NYETHE)
1. Pengertian Nyethe ........................................................................................3
2. Asal Mula Budaya Lokal Nyethe di Daerah Tulungagung ..........................4
3. Pengaruh Nyethe Terhadap Proses Interaksi Sosial Masyarakat .................5
4. Pengaruh Nyethe Terhadap Pembentukan Komunitas Baru ........................6
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan ................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Di dalam masyarakat Tulungagung, terdapat sebuah kebiasaan yang cukup Unik yaitu
nyethe. Nyethe adalah suatu kebiasaan menggambar atau melukis di atas rokok dengan
menggunakan media endapan kopi (dalam bahasa jawa: (cethe). Kebiasaan ini dilakukan
para perokok di warung-warung kopi
Khususnya warung yang menyediakan kopi khusus untuk nyethe. Kebiasaan ini
Sudah membudaya di kalangan masyarakat perokok di Tulungagung. Berpijak dari uraian
diatas, timbul suatu permasalahan sosial di masyarakat bahwa telah terbentuk suatu
kebiasaan baru yang kontroversial di masyarakat karena ada berbagai pihak yang
membuat generalisasi bahwa kebiasaan tersebut merupakan kegiatan yang membuang-
buang waktu. Disisi lain, ada pihak yang menolak asumsi negatif tersebut. Mereka
menganggap bahwa nyethe bukan termasuk kegiatan yang membuang-buang waktu.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh gambaran objektif dan
komprehensif mengenai hal di atas dan bagaimana permasalahan tersebut ditinjau dari
sudut pandang sosial budaya.

B. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari asumsi negatif dari masyarakat tersebut, dapat dirumuskan masalah
yang dibahas dalam artikel ini yaitu:
1. Bagaimana asal mula budaya lokal nyethe di daerah Tulungagung ?
2. Kegiatan apa saja yang dilakukan pada waktu nyethe ?
3. Bagaimana pengaruh kebiasaan nyethe terhadap proses interaksi sosial masyarakat ?
4. Bagaimana dampak kegiatan nyethe terhadap pembentukan komunitas baru di
masyarakat Tulungagung ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. KOPI
1. Pengertian Kopi Ijo Khas Tulungagung
Kopi Ijo adalah salah satu minuman khas Tulungagung. Kopi tersebut disebut
Kopi Ijo karena kopi tersebut digiling bersama dengan kacang hijau sampai halus.
Kopi yang berwarna kehijauan tersebut disajikan pada nampan atau piring kecil.
Bubuk kopi yang halus biasanya dibuat nyethe karena rasanya yang nikmat. Kopi ijo
biasanya juga dijadikan oleh-oleh khas Tulungagung. Minuman tersebut hanya ada di
Tulungagung, karena belum dikenal oleh masyarakat di luar wilayah Tulungagung.
Salah satu Kopi Ijo yang melegenda adalah Kopi Ijo Mak Waris
Sedangkan " Kopi Cethe " yaitu kopi yang memang khusus digunakan untuk
kegiatan nyethe dengan istilah lain " Wedang Kopi Cethe ". Namun hal tersebut
belum tentu semua kopi cethe digunakan untuk kegiatan nyethe, ada kalanya hanya
sekedar untuk diminum dan dinikmati rasanya saja.

2. Jenis – Jenis Kopi Khas Tulungagung


Berbicara tentang Kopi Cethe Tulungagung sangat bervariasi juga jenis bahan
kopi bubuknya dari berbagai ragam olahan :
a. Jenis Kopi Bubuk Biasa ( warna coklat / kehitam-hitaman ) dengan berbagai merk
seperti Kopi Bubuk Berontoseno, Kopi Bubuk HLT, Kopi Bubuk Kapal Api , dan
Kopi Bubuk bikinan yang punya warung sendiri, atau merk lainnya.
b. Jenis Kopi Bubuk Hijau ( Istilahnya " Kopi Ijo " ) yaitu biasanya diolah dengan
bahan-bahan jenis kopi tertentu dan diolah sendiri dengan yang punya warung.

3. Manfaat Kopi Ijo Khas Tulungagung


Kopi ijo memiliki kafein yang rendah ketimbang kopi hitam. Efek yang
dihasilkan karena meminum kopi ijo tersebut tak seperti kopi hitam biasa, Umumnya,
kopi memiliki efek yang membuat orang tak dapat ngantuk untuk orang yang
meminumnya, Kopi ijo memiliki dampak tersebut namun efek yang dijasilkan tak
terlalu sebesar kopi hitam.[2] Kandungan kopi ijo juga memiliki anti-oksidan yang
tinggi yang berguna untuk mencegah radikal bebas di luar ruangan. Kandungan anti-
oksidan tersebut juga dapat mencegah perkembangan sel kanker. Kandungan tersebut

2
disebut asam klorogenat. Selain itu, kopi ijo juga memiliki manfaat untuk mengurangi
tekanan darah tinggi. Hal ini dibuktikan pada penelitian dari "Clinical and
Experimental Hypertension" opada tahun 2006. Kopi ijo juga dapat menurunkan berat
badan. Hal itu juga dikarenakan asam klorogenat

B. CETHE (NYETHE)
1. Pengertian Nyethe
Nyethe adalah sebuah kegiatan menggambar atau melukis di atas rokok
dengan menggunakan media endapan kopi yang dalam bahasa Jawa disebut dengan
cethe. Karena itulah kegian ini disebut dengan nyethe. Berdasarkan cerita dari mulut
ke mulut, kebiasaan nyethe ini sebenarnya dimulai oleh para petani yang kehabisan
wedang kopi ketika sedang istirahat selepas bekerja di sawah. Istri yang biasanya
mengirim makan dan wedang kopi ke sawah untuk petani. Jika kemudian kopi yang
dikirim tersebut telah habis padahal masih belum puas ngopi, maka kemudian para
petani mengoles-oleskan cethe atau endapan kopi tersebut ke rokok dan kemudian
merokoknya. Ada juga yang berpendapat asal mula cethe bermula ketika para petani
selesai bekerja dari sawah, kebiasaan mereka akan mampir di warung untuk ngopi dan
bertemu dengan sesama petani lain untuk sekedar bercengkerama maupun
mendiskusikan hal-hal seputar pertanian mereka. Sambil ngopi dan ngobrol, sesekali
rokok yang di hisap diolesi dengan endapan kopi yang ada di cawan. Kopinya pun
tidak sehalus yang ada seperti sekarang ini atau masih kasar. Endapan kopi yang
dicethekan ke rokok dan terbakar menimbulkan sensasi tersendiri. Hal ini menambah
nikmatnya ngopi sambil ngobrol di warung kopi. Kedua cerita diatas dianggap
sebagai awal mula yang menjadikan nyethe sebagai khas dari Kabupatan
Tulungagung yang sampai saat ini masih tetap ada dan telah menjadi kabiasaan.
Awalnya, nyethe dikenal hanya di daerah Tulungagung, Jawa Timur saja. Kemudian
kebiasaan ini ternyata merambat ke daerah lain semisal di Malang, Kediri, Surabaya
dan kota-kota lain. Yang menyebabkan kegiatan nyethe ini pun sudah tidak asing lagi
bagi masyarakat di luar Kabupaten Tulungagung. Bahkan banyak yang mengira
kegiatan tersebut tidak berasal dari Tulungagung karena banyaknya warung kopi di
luar Kabupaten Tulungagung.
Pada perkembangannya saat ini, nyethe tidak hanya dilakukan ketika kopi
sudah habis dan di gelas hanya tersisa cethe nya saja. Namun secangkir wedang kopi
panas sengaja dituang ke lepek atau pengalas gelas. Beberapa menit kemudian, air di

3
pengalas gelas tersebut dikembalikan lagi ke cangkir. Jika cethe masih terlalu basah,
beberapa lembar guntingan kertas koran berbentuk segi empat diletakkan di atasnya,
untuk menyerap air. Cethe cokelat kehitaman yang terlihat jelas inilah yang kemudian
dioles-oleskan ke batang rokok yang akan diisap. Dan di dapatlah cethe, untuk
kemudian nyethe. Orang-orang yang sering nyethe berpendapat dengan di cethe, rasa
rokok dinilai lebih enak dan beraroma memikat. Selain memberikan aroma lebih
segar, cethe juga diyakini membuat rokok lebih awet, tidak cepat habis, dan terasa
lebih nikmat.
Banyaknya pekerja wiraswasta di Tulungagung semakin mendukung
banyaknya para penjual warung kopi di kota ini. Menurut data dari PEMKAB
Tulungagung sekarang ini jumlah warung cethe mencapai 1700 warung. Saat ini
sudah dikenal luas warung nyethe, warung yang menyediakan diri khusus untuk
keperluan ini. Diantaranya adalah warkop Waris dan Mak Tin, warkop Pak Sigit, di
belakang lapangan pasar pahing, warkop Pak Yani, dan warkop sor trembesi. Harga
segelas kopi cethe pun sangat murah, hanya Rp 1500,-. Pemilik warung menyediakan
cethe dalam lepek-lepek untuk memudahkan para pen-cethe. Sehingga pengunjung
tinggal mengoles cethe ke batang rokoknya. Para penyethe pun mengoleskan cethe ke
batang rokok bagaikan sedang membatik dengan aneka motif, mulai dari bentuk garis-
garis, melingkar, kupu-kupu, batik hingga hitam kelam. Agar ampas kopi yang
diambil bagus, maka harus dipastikan ampas halus yang tertinggal di atas lepek sudah
didiamkan beberapa saat. Tujuannya agar ampas kopi tadi mengental tanpa air.
Penjual harus memakai kopi bubuk yang halus dan terkadang diberi susu agar tingkat
kelengketan lukisan bagus. Sedangkan alat lukisnya adalah dari batang korek api
sendiri. Nyethe sangat membutuhkan ketelitian, selain itu nyethe juga melatih
kesabaran.

2. Asal Mula Budaya Lokal Nyethe di Daerah Tulungagung


Kebiasaan nyethe ini sebenarnya dimulai oleh para petani yang kehabisan
wedang kopi ketika sedang istirahat selepas bekerja di sawah. Istri yang biasanya
mengirim makan dan wedang kopi ke sawah untuk petani. Jika kemudian kopi yang
dikirim tersebut telah habis padahal masih belum puas ngopi, maka kemudian para
petani mengoles-oleskan cethe atau endapan kopi tersebut ke rokok dan kemudian
merokoknya. Ada juga yang berpendapat asal mula cethe bermula ketika para petani
selesai bekerja dari sawah, kebiasaan mereka akan mampir di warung untuk ngopi dan

4
bertemu dengan sesama petani lain untuk sekedar bercengkerama maupun
mendiskusikan hal-hal seputar pertanian mereka. Sambil ngopi dan ngobrol, sesekali
rokok yang di hisap diolesi dengan endapan kopi yang ada di cawan. Kopinya pun
tidak sehalus yang ada seperti sekarang ini atau masih kasar karena masih ditumbuk
secara tradisional. Endapan kopi yang dicethekan ke rokok dan terbakar menimbulkan
sensasi tersendiri. Hal ini menambah nikmatnya ngopi sambil ngobrol di warung kopi.
Kedua cerita diatas dianggap sebagai awal mula yang menjadikan nyethe sebagai khas
dari Kabupatan Tulungagung yang sampai saat ini masih tetap ada dan telah menjadi
kabiasaan. Awalnya, nyethe dikenal hanya di daerah Tulungagung, Jawa Timur saja.
Kemudian kebiasaan ini ternyata merambat ke daerah lain semisal di Malang, Kediri,
Surabaya dan kota-kota lain. Yang menyebabkan kegiatan nyethe ini pun sudah tidak
asing lagi bagi masyarakat di luar Kabupaten Tulungagung. Bahkan banyak yang
mengira kegiatan tersebut tidak berasal dari Tulungagung karena banyaknya warung
kopi di luar Kabupaten Tulungagung. Pada perkembangannya saat ini, kopi yang
digunakan untuk nyethe ini memakai bubuk kopi yang sangat halus. Untuk
merekatkan endapan kopi yang halus tersebut ke rokok, ditambahkan sedikit susu
cair. Biasanya rokok yang di cethe membentuk motif. Motifnya pun macam – macam,
mulai sulur, tulisan, tribal, garis –garis, melingkar, kupu – kupu, batik, bahkan tokoh
pewayangan juga bisa di cethe di rokok. Hasilnya sangat unik. Sehingga nyethe bisa
juga disebut seni batik rokok. Sampai saat ini di daerah Tulungagung kegiatan nyethe
dijadikan sebagai suatu ajang perlombaan atau kompetisi. Orang-orang yang sering
nyethe berpendapat dengan di cethe, rasa rokok dinilai lebih enak dan beraroma
memikat. Selain memberikan aroma lebih segar, cethe juga diyakini membuat rokok
lebih awet, tidak cepat habis, dan terasa lebih nikmat.

3. Pengaruh Nyethe Terhadap Proses Interaksi Sosial Masyarakat


Pengaruh nyethe terhadap proses interaksi sosial masyarakat ialah menjadikan
pengunjung ( para pencethe) yang berasal dari berbagai lapisan, baik dari kalangan
tua maupun muda, berbaur menjadi satu. Mereka saling akrab dan tidak
membedakan golongan tua maupun muda, kaya maupun miskin.

5
4. Pengaruh Nyethe Terhadap Pembentukan Komunitas Baru
Individu tidak dapat dilepaskan dari situasi dimana ia berada dan situasi ini
sangat berpengaruh terhadap kelompok yang terbentuk akibat situasi tersebut
(Santosa, 1992). Pengunjung warung cethe sebagai individu juga tidak terlepas dari
situasi warung dimana ia sedang berada. Karena terdapat beberapa pengunjung
dalam satu tempat yang melakukan hal yang sama yaitu nyethe maka terciptalah
suatu situasi nyethe yang selanjutnya membentuk kelompok atau komunitas dalam
satu tempat tersebut. Santosa (1992) menyatakan bahwa situasi yang dihadapi
individu dalam kelompok dapat dibagi menjadi dua, yaitu situasi kelompok sosial
dan situasi kebersamaan. Situasi kelompok sosial didefinisikan sebagai suatu situasi
dimana terdapat dua individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang mendalam
satu sama lain. Sedangkan situasi kebersamaan artinya suatu situasi dimana
berkumpul sekumpulan individu secara bersama sama. Berdasarkan definisi
tersebut, situasi nyethe dapat dikategorikan sebagai situasi kebersamaan. Situasi
kebersamaan dapat menciptakan kelompok kebersamaan yakni suatu kelompok
individu yang berkumpul pada suatu ruang dan waktu yang sama, tumbuh dan
mengarahkan tingkah laku secara spontan (Kinch, 1983) (dalam Santoso, 1992).
Kelompok kebersamaan memiliki ciri-ciri: bertanggung jawab dalam waktu yang
relatif pendek,para pesertanya berhubungan secara fisik, kurang adanya aturan
yang terorganisir, dan interaksinya bersifat spontan (Santosa, 1992). Berdasarkan
ciri- ciri tersebut, nyete juga bisa dikatakan sebagai kelompok kebersamaan yan
terbentuk dari situasi kebersamaan sebagai implikasi interaksi sosial yang terjadi
dalam aktivitas nyethe.
Kelompok kebersamaan yang terbentuk dalam aktivitas nyethe selanjutnya
secara jangka panjang dapat membentuk suatu komunitas baru di masyarakat
Tulungagung yaitu komunitas cethe mania.Hal ini terbukti dengan data hasil
penelitian yang menyatakan bahwa sering diadakanya kegiatan-kegiatan yang
berusaha mengumpulkan dan mewadahi kreatifitas para pelaku nyethe, misalnya
lomba nyethe atau nyethe competition se-kabupaten Tulungagung. Karena nyethe
sudah menjadi kebiasaan para perokok khususnya di daerah Tulungagung, maka
nyethe bisa dikatakan sebagai budaya perokok di daerah Tulungagung. Hal ini
sesuai dengan definisi budaya. Culture is the informal and often hidden patterns of
human interactions, viewpoints, and expressions that people share (Mutmainah,
2005). Budaya merupakan bentuk- bentuk tersembunyi dan informal dari interaksi,

6
pandangan dan ekpresi manusia. Dari definisi tersebut, diketahui bahwa nyethe
termasuk budaya yang mempunyai unsur ekspresi, interaksi, dan kebiasaan yang
dilakukan secara umum dan berulang-ulang di masyarakat Tulungagung khususnya
masyarakat perokok

7
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa asumsi negatif dari
masyarakat yang menganggap nyethe adalah aktivitas yang membuang-buang waktu
tidak selalu benar. Hal ini terbukti dengan adanya data hasil penelitian yang menunjukan
bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada waktu nyethe bervariasi dan hanya
sedikit yang mengandung unsur membuang-buang waktu. Bahkan ada yang
menganggap nyethe mempunyai unsur seni. Membuang-buang waktu atau tidaknya
kegiatan nyethe sangat bergantung pada subyek pelaku nyethe itu sendiri, apakah
mereka memanfaatkan nyethe untuk hal-hal yang berguna atau tidak.
Dipandang dari segi sosial budaya dan kemasyarakatan, nyethe merupakan cikal
bakal terbentuknya suatu interaksi sosial yang lebih bersifat positif. Dari interaksi
sosial tersebut selanjutnya terbentuk komunitas baru di masyarakat Tulungagung yang
secara langsung maupun tidak langsung menciptakan budaya baru di kalangan
masyarakat perokok di daerah Tulungagung.

8
DAFTAR PUSTAKA

Bodgan, Robert C. & Biklen, Sarri Krop. (1982). Qualitative Research for
Education: An Introduction to Theory and Methods, Toronto, Allyn & Bacon, Inc.
Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. (1994). Handbook of Qualitative Research,
California, Sage Publication.
Latief, Mohamad Adnan. (1999). Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Forum
Penelitian Kependidikan, 2, 112.
Mutmainah, Siti Nurul. (2005). Cross Cultural Understanding, Malang, English
Department UM.
Santoso, Slamet. (1992). Dinamika Kelompok, Jakarta, Bumi Aksara
https://id.wikipedia.org/wiki/Kopi_Ijo

Anda mungkin juga menyukai