Anda di halaman 1dari 19

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Disusun untuk memenuhi tugas Filsafat Pendidikan Matematika


Dosen : Sitti Rahma Gita Gagulu, S.Pd, M.Pd

Disusun oleh :

Nama : Nur Amalia Oktavia Badiu


NIM : G8420001

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS POHUWATO
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kita haturkan kehadirat Allah


Subhanahu wa Ta’ala dengan taufiq dan rahmat-Nya, Saya dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “ Filsafat Pendidikan Matematika”. Semoga hal ini
dapat berguna bagi Saya sebagai mahasiswa dan juga rekan-rekan semua,
terutama untuk menambah khazanah keilmuan serta wawasan dalam bidang
pendidikan. Terlepas dari itu semua, dengan segala kemampuan dan usaha yang
dilakukan Saya telah berupaya agar makalah ini dapat mudah dipahami terutama
oleh Saya sendiri dan para mahasiswa. Oleh karena itu jika terdapat kekurangan
dalam penyusunan dan materi dalam makalah ini itu semata-mata karena
kekurangan yang ada pada Saya, karena kita ketahui bahwa manusia tidak terlepas
dari kekurangan. Dan tentunya Saya pun berharap masukan dan saran yang
bermanfaat dan berguna untuk meningkatkan nilai keilmuan dan wawasan Saya
dalam dinul Islam yang mulia ini.
Dengan segala harapan dan doa semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Atas segala perhatiannya Saya ucapkan terima kasih.

Buntulia, September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1


B. Rumusan Masalah...................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat...................................................................................2
B. Hakikat Ilmu Matematika........................................................................3
C. Filsafat Matematika.................................................................................4
D. Pengertian Pendidikan.............................................................................7
E. Tujuan Pendidikan...................................................................................8
F. Filsafat Pendidikan................................................................................10
G. Filsafat Pendidikan Matematika............................................................11

BAB III PENUTUP

Kesimpulan........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial
maupun secara historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat,
sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat
menuntut manusia agar berfikir secara cerdas, sehingga manusia tersebut
berkembang menuju level pemikiran pengetahuan selanjutnya. Akan tetapi,
terkadang manusia tidak menyadari keterbatasan dirinya, sehingga dia selalu
berusaha memikirkan segala hal di luar jangkauan kemampuan logika dan
akalnya. Sehingga kebingungan itu tidak mengantarkan dia ke level pemikiran
selanjutnya, namun malah menjadikan dia berputar-putar di siklus tiada henti,
karena manusia tersebut terkadang dalam memikirkan suatu hal tidak berada pada
koridornya, seperti kereta yang berusaha keluar dari rel, maka otomatis kereta
tersebut tergelincir dan jatuh. Untuk itulah, dalam berfilsafat, manusia perlu
adanya suatu definisi yang jelas mengenai apa yang boleh difikirkan dan yang
tidak boleh dia fikirkan, karena batas itu sudah di luar batas logikanya.
Ilmu matematika adalah ilmu yang menuntut agar manusia berfikir kritis,
kreatif, mampu melakukan abstraksi, menggunakan logikanya agar manusia
tersebut mampu memecahkan masalah. Dengan melatih kemampuan pemecahan
masalah yang ada dalam matematika, diharapkan manusia tersebut dapat
menerapkan matematika untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk menyampaikan matematika, diperlukan suatu metode dalam hal
ini pembelajaran kepada para penuntut ilmu matematika, yaitu para siswa maupun
mahasiswa. Pembelajaran adalah bagian dari dunia pendidikan, dan tidak akan
pernah terlepas dari pendidikan. Selanjutnya, dalam makalah ini, akan dikaji
mengenai filsafat pendidikan matematika.
Seorang filsuf besar dari Yunani kuno setelah Zeno menegaskan hubungan
yang amat erat antara matematika dan filsafat adalah Plato. Ia menegaskan bahwa
geometri sebagai pengetahuan ilmiah yang berdasarkan akal murni menjadi kunci
ke arah pengetahuan dan kebenaran kebenaran filsafat. Menurut Plato, geometri
merupakan suatu ilmu dengan akal murni membuktikan proporsi-proporsi abstrak
mengenai hal-hal abstrak seperti garis lurus, segitiga atau lingkaran.
Filosofi matematika yang berbeda menghasilkan produk yang sangat berbeda
dalam hal praktek pendidikannya. Namun hubungannya tidak langsung, dan
penyelidikan atas filosofi yang mendukung pengajaran matematika dan kurikulum
matematika membuat kita juga harus mempertimbangkan nilai-nilai, ideologi dan
kelompok-kelompok sosial yang mentaatinya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Hakikat Filosofi Pendidikan Matematika?
C. Tujuan
Mengetahui Hakikat Filosofi Pendidikan Matematika.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’. Kata
philosophia merupakan gabungan dari dua kata yaitu philos dan sophia. Philos
berarti sahabat atau kekasih, sedangkan sophia memiliki arti kebijaksanaan,
pengetahuan, kearifan. Dengan demikian maka arti dari kata philosophia adalah
cinta pengetahuan. Plato dan Socrates dikenal sebagai philosophos (filsuf) yaitu
orang yang cinta pengetahuan.
Dalam membangun tradisi filsafat, banyak orang mengajukan pertanyaan
yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai
dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu
dibangun. Secara Terminologi, Filsafat mempunyai banyak sekali definisi
tergantung dari siapa yang mendefinisikannya, bahkan setiap orang memiliki
definisi tersendiri mengenai filsafat. Dalam hal ini, akan dijelaskan beberapa
definisi dari beberapa para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan
kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Seorang Plato
mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai
pengetahuan kebenaran yang asli.
Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu
(pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya
dengan Al-Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan)
tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Berikut ini disajikan
beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa para ahli:
1) Plato mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan untuk meraih
kebenaran yang asli dan murni. Ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah
penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari
segala sesuatu yang ada
2) Aristoteles (murid Plato) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang selalu berusaha mencari prinsip-prinsip dan penyebab-
penyebab dari realitas yang ada. Ia juga mengatakan bahwa filsafat
adalahilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari “ada dan tampilan” dan “ada
dan realita”
3) Cicero filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “ (the mother of all the
arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan).
4) Rene Descartes, filsuf Prancis, mengatakan bahwa filsafat merupakan
himpunan yang pangkal penyelidikannya tentang Tuhan, alam, dan manusia.
5) William James, filsuf Amerika, tokoh pragmatisme dan pluralisme,
mengatakan bahwa filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebatnya
untuk berpikir yang jelas dan terang.
2
Ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat ialah: ketakjuban,
ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan. Kata ketakjuban/keheranan/
kekaguman mengandung arti ada subjek (yang kagum) dan ada objek (yang
dikagumi). Yang kagum adalah manusia, dan yang dikagumi adalah segala
sesuatu yang ada dan yang dapat diamati. Pada awalnya segala sesuatu dijelaskan
melalui mitos-mitos (takhayul-takhayul). Hal ini mengakibatkan keraguan
manusia dan merangsang untuk ingin tahu dengan akalnya. Keraguan merangsang
timbulnya pertanyaan, dan terus bertanya, yang kemudian menggiring manusia
berfilsafat. Sifat Dasar Filsafat adalah Berpikir Radikal (sampai ke akar-akarnya);
Mencari Asas (esensi realita); Memburu Kebenaran; Mencari Kejelasan (kejelasan
seluruh realita); Berpikir Rasional (logis sistematis). Peranan filsafat adalah
sebagai pendobrak (mitos, kezaliman, penipuan), sebagai pembebas
(membebaskan dari segala “penjara”), dan pembimbing (untuk berpikir
integral/utuh dan koheren/nyata).
Dan perlu untuk kita ingat bahwa kata filsuf (philosophos) dan filsafat
(philosophia) ini baru menyebar luas setelah masa Aristoteles. Aristoteles sendiri
tidak menggunakan istilah ini (philosophia atau philosophos) dalam literatur-
literaturnya. Setelah masa kejayaan Romawi dan Persia memudar, penggunaan
istilah filsafat berikutnya mendapat perhatian besar dari kaum muslimin di Arab.
Kata falsafah (hikmah) atau filsafat kemudian mereka sesuaikan dengan
perbendaharaan kata dalam bahasa Arab, yang memiliki arti berbagai ilmu
pengetahuan yang rasional.

B. Hakikat Ilmu Matematika


Secara tradisional, matematika telah dipandang sebagai paradigma
pengetahuan tertentu. Euclid mendirikan struktur logika yang luar biasa hampir
2.500 tahun lalu, yang sampai akhir abad kesembilan belas diambil sebagai
paradigma untuk mendirikan kebenaran dan kepastian. Newton menggunakan
unsur-unsur logika dalam bukunya Principia, dan Spinoza juga menggunakannya
dalam bukunya Ethics, untuk memperkuat klaim mereka menjelaskan kebenaran
secara sistematis. Matematika telah lama dianggap sebagai sumber pengetahuan
tertentu yang paling dikenal umat manusia.
Pengetahuan diklasifikasikan berdasarkan pada pernyataan tersebut.
Pengetahuan apriori terdiri dari proposisi hanya berdasarkan alasan saja, tanpa
pengamatan dari dunia. Alasannya terdiri dari penggunaan logika deduktif dan
makna istilah, biasanya dapat ditemukan dalam definisi. Sebaliknya, empiris atau
pengetahuan posteriori terdiri dari proposisi yang menjelaskan berdasarkan
pengalaman, yaitu, dengan pengamatan dunia (Woozley, 1949).
Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebagai pengetahuan priori, karena
terdiri dari proposisi yang menjelaskan atas dasar alasan saja. Alasannya,
termasuk logika deduktif dan yang digunakan sebagai definisi, hubungannya
dengan aksioma matematika atau postulat, adalah sebagai dasar untuk
menyimpulkan pengetahuan matematika. Dengan demikian, dapat dikatakan
3
bahwa pengetahuan dasar matematika yaitu dasar untuk menyatakan kebenaran
proposisi matematika, yang terdiri dari bukti deduktif.
C. Filsafat Matematika
Pandangan absolut bahwa kebenaran matematika adalah mutlak, bahwa
matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan yang tidak diragukan lagi dan
obyektif. Hal ini bertantangan dengan pandangan fallibilist bahwa kebenaran
matematika adalah tidak mutlak, dan tidak pernah bisa dianggap sebagai sesuatu
yang tidak perlu adanya revisi dan koreksi. Banyak yang diperoleh dari perbedaan
absolut-fallibilist , diantaranya adalah perspektif filosofis yang diadopsi karena
faktor epistemologis yang paling penting yang mendasari pengajaran matematika.
Filsafat matematika adalah cabang filsafat yang berujuan untuk merenungkan
dan menjelaskan sifat dari matematika. Secara tradisional, filsafat matematika
bertujuan untuk memberikan dasar kepastian pengetahuan matematika. Yaitu,
menyediakan sistem di mana pengetahuan matematika dapat dibuang secara
sistematis dalam membangun kebenarannya. Hal ini tergantung pada asumsi yang
diadopsi, yaitu secara implisit atau eksplisit. Peran filsafat matematika adalah
untuk memberikan landasan yang sistematis dan absolut untuk pengetahuan
matematika, yaitu dalam nilai kebenaran matematika. Asumsi ini adalah dasar dari
foundationism, doktrin bahwa fungsi filsafat matematika adalah untuk
memberikan dasar-dasar tertentu untuk pengetahuan matematika. Pandangan
Foundationism terhadap pengetahuan matematika terikat dengan pandangan
absolutist, yaitu menganggap bahwa kebenaran matematika adalah mutlak.
Berikut beberapa pandangan hakikat matematika secara filosofis menurut menurut
filsuf atau matematikawan :
1) Plato, Bagi Plato yang penting, bahkan yang terpenting, adalah tugas akal
budi untuk membedakan tampilan (penampakan) dari realita (kenyataan
yang sebenar-benarnya). Tugas demikian bukan saja diperlukan oleh para
ilmuwan dan filsuf, tetapi juga oleh manusia pada umumnya. Menurut Plato,
ketetapan, abadi atau permanen, bebas untuk dipahami haruslah merupakan
karakteristik pernyataan-pernyataan matematika. Dan pandangannya bahwa
bilangan-bilangan, entitas geometri dan relasi antara entitas-entitas itu
objektif, atau paling tidak saling terkait, eksistensinya masuk akal. Plato
yakin bahwa terdapat objek-objek yang permanen, tertentu, bebas dari pikir
seperti yang Anda sebut “satu”, “dua”, “tiga”, dan sebagainya, yaitu,
Bangun Aritmetika. Hal yang sama untuk objek-objek “titik”, “garis”,
“lingkaran” dan sebagainya, yakni, bangun geometri. Jadi terdapat dunia
ide, permanen, tertentu, yang berlainan dengan dunia cita rasa. Dunia ide
dipahami tidak dengan cita rasa, tetapi dengan nalar. Bangun aritmetika dan
bangun geometri telah menjadi isi bidang studi matematika. Bagi Plato,
matematika murni (pada masanya adalah aritmetika dan geometri Euclid)
mendeskripsikan bangun matematis dan realisasi di antara mereka.
Matematika terapan melukiskan objek-objek empiris beserta relasi-
4
relasinya. Menurut Plato, matematika bukanlah idealisasi aspek-aspek
tertentu dari dunia empiris akan tetapi sebagai deskripsi dari bagian
realitanya.
2) Aristoteles, Filsafat matematika Aristoteles sebagian dikembangkan dari
oposisinya terhadap Plato (gurunya) dan sebagian lagi bebas dari ajaran
Plato. Ia menolak pembedaan Plato antara dunia ide yang disebutnya realita
kebenaran, dan bahwa pengalaman cita rasa dikatakan hanya sebagai
pendekatan (aproksimasi) dari dunia ide. Bagi Aristoteles, bangun atau
esensi sebarang objek empiris, misalnya piring, membangun, sebagiannya,
seperti halnya pada materinya. Dalam menyatakan bahwa Anda melihat
piring bulat, kita harus tidak menyimpulkan bahwa piring adalah
aproksimasi bulat dari bangun lingkaran. Aristoteles membedakan dengan
tajam antara kemungkinan mengabstraksi bulatan dengan karakteristik
matematis yang lain dan objek-objek dan kebebasan keberadaannya dari
karakteristik atau contoh-contohnya, yakni lingkaran. Ia sering kali
menekankan bahwa kemungkinan mengabstraksikan tidak berarti
memerlukan kebebasan keberadaan yang diabstraksikan. Bidang studi
matematika adalah hasil abstraksi matematis yang ia sebut “objek
matematis”. Pandangan Aristoteles tentang hubungan matematika murni
dan terapan juga menjadi agak jelas.
Pernyataan-pernyataan dalam matematika terapan harus mendekati
pernyataan-pernyataan dalam matematika murni. Aristoteles juga banyak
mencurahkan perhatiannya pada struktur keseluruhan teori dalam
matematika. Ia membedakan dengan jelas antara: (i) prinsip-prinsip yang
berlaku bagi semua sains (dalam bahasa sekarang prinsip-prinsip logika
formal yang diduga berlaku dalam pengembangan formulasi dan deduksi
sebarang sains), (ii) prinsip khusus yang dianggap benar oleh
matematikawan terhalang di dalam demonstrasi teori-teori, (iii) definisi-
definisi, yang tidak mengasumsikan apakah yang didefinisikan itu ada, dan
(iv) hipotesis keberadaan, yang mengasumsikan bahwa apa yang
didefinisikan itu ada. Hipotesis keberadaan ini dalam matematika murni
tidak diperlukan.
3) Gottfried Wilhelm Leibniz adalah matematikawan, filsuf, dan fisikawan.
Ia banyak menyerupai Plato dan Aristoteles. Dengan yang terakhir adalah
sejajar dalam hal doktrin metafisis, yang menyebutkan bahwa setiap
proposisi dapat direduksi ke dalam bentuk subjek-predikat. Leibniz
mengambil posisi lebih radikal, bahwa predikat sebarang proposisi
“termuat” di dalam subjek, paralel dengan doktrin metafisis yang terkenal
bahwa dunia terdiri dari subjek yang self-contained (substansi atau monand
yang tidak berinteraksi). Dalam bukunya Monandology, yang ditulis dua
tahun sebelum kematiannya, ia memberikan sinopsis filsafatnya sebagai
berikut : “Terdapatlah, juga, dua macam kebenaran, yaitu kebenaran
5
penalaran dan kebenaran kenyataan (fakta). Kebenaran penalaran adalah
perlu dan lawannya adalah tidak mungkin. Kebenaran kenyataan adalah
kebetulan dan lawannya adalah mungkin. Apabila suatu kebenaran adalah
perlu, alasannya dapat dicari dengan melalui analisis, menguraikannya ke
dalam ide-ide kebenaran yang lebih sederhana, sampai Anda tiba di sini
tempat yang Anda ... Dengan demikian, kebenaran penalaran, mendasarkan
pada “prinsip kontradiksi”, yang diambilnya untuk mengkover prinsip
identitas dan prinsip tolak-tengah.
Konsepsi Leibniz tentang bidang studi matematika murni sangat berbeda
dengan pandangan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, proposisi matematis
adalah serupa proposisi logis dan bahwa proposisi ini bukan objek tertentu
yang permanen atau idealisasi hasil abstraksi objek-objek atau sebarang jenis
obyek. Proposisi-proposisi itu benar karena penolakannya menjadi tak
mungkin secara logis. Anda boleh mengatakan bahwa proposisi-proposisi
adalah perlu benar untuk semua objek, semua kejadian yang mungkin, atau
menggunakan phrase Leibniz, dalam semua dunia yang mungkin.
4) Kant, Sistem filsafat Kant dikembangkan di bawah pengaruh filsafat
rasionalis yang diwakili oleh Leibniz dan filsafat empiris yang diwakili oleh
Hume, dan dengan kesadarannya berlawanan dengan keduanya Hume dan
Leibniz membagi semua proposisi ke dalam kelas yang eksklusif, yakni,
proposisi analisis dan faktual. Kedua filsuf memandang proposisi matematis
sebagai analisis. Bagaimanapun, Hume dan Leibniz sangat berbeda dalam
hal proposisi faktual. Hume tidak bicara banyak tentang matematika murni.
Dengan demikian polemik Kant ditujukan kepada Leibniz. Kant membagi
proposisi ke dalam 3 kelas. Pertama proposisi analisis, seperti Leibniz
(yakni, proposisi yang negasinya kontradiksi). Proposisi non-analisis
disebutnya proposisi sintesis. Kant membedakannya menjadi dua kelas,
yakni, yang empiris atau apostteori, dan yang non-empiris atau apriori.
Proposisi sintesis apostteori bergantung pada persepsi indera. Dalam
sebarang proposisi apriori, jika benar, harus melukiskan persepsi indera
yang mungkin (bolpoin saya hitam), atau secara logis berimplikasi
pendeskripsian persepsi indera (semua burung gagak adalah hitam).
Sebaliknya proposisi sintesis apriori tidak tergantung pada persepsi indrawi.
Jadi, Kant membagi proposisi sintesis apriori ke dalam dua kelas: “intuitif”,
dan “diskursif”. Intuitif terutama berkaitan dengan struktur persepsi dan
justifikasi perseptual. Diskursif dengan pengurutan fungsi dari pengertian
umum. Contoh dari diskursif, proposisi sintetik apriori adalah prinsip sebab-
akibat. Semua proposisi matematika murni adalah masuk dalam kelas
proposisi sintetis apriori. Kant tidak setuju dengan pandangan pada
matematika murni yang menjadikan persoalan definisi dan entitas
terpostulatkan berada di bawahnya. Baginya, matematika murni bukanlah
analisis, ia sintetis apriori, sebab ia terkait (mendeskripsikan) ruang dan
6
waktu. Jawaban Kant terhadap persoalan sifat matematika murni dan terapan
dapat secara kasar dirumuskan sebagai berikut. Proposisi dalam aritmetika
dan geometri murni adalah proposisi yang perlu, meskipun proposisi-
proposisi itu sintetis apriori, bukan analisis. Sintetis, sebab proposisi-
proposisi itu tentang struktur ruang dan waktu terlihat oleh apa yang dapat
di konstruksi di dalamnya. Dan apriori sebab ruang dan waktu adalah
kondisi invarian (tak berubah) dari sebarang persepsi objek fisik. Proposisi-
proposisi dalam matematika terapan, adalah apostteori sepanjang
proposisi-proposisi ini tentang persepsi materi empiris dan apriori sepanjang
proposisi-proposisi itu mengenai ruang dan waktu. Matematika murni
memiliki isi untuk dirinya sendiri struktur ruang dan waktu dan bebas dari
materi empiris. Matematika terapan memiliki isi untuk dirinya sendiri
struktur ruang dan waktu dengan materi yang mengisinya.

D. Pengertian Pendidikan
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar manusia untuk
mengembangkan kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung
seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat
sesuai dengan kemampuan masyarakat, maka pendidikan adalah tanggung jawab
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut didasari
kesadaran bahwa tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh
pada kebudayaan suatu daerah, karena bagaimanapun juga, kebudayaan tidak
hanya berpangkal dari naluri semata-mata tapi terutama dilahirkan dari proses
belajar dalam arti yang sangat luas.
Secara formal pendidikan itu dilaksanakan sejak usia dini sampai perguruan
tinggi. Adapun secara hakiki pendidikan dilakukan seumur hidup sejak lahir
hingga dewasa. Waktu kecil pun dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
pendidikan anak usia dini yang nota bene anak-anak kecil sudah didasari dengan
pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai moral yang baik agar dapat membentuk
kepribadian dan potensi diri sesuai dengan perkembangan anak. Dalam PP 27
tahun 1990 bab 1 pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa sekolah untuk peserta didik
yang masih kecil adalah salah satu bentuk pendidikan pra sekolah yang
menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki
pendidikan dasar (Harianti, 1996: 12). Di samping itu terdapat 6 fungsi
pendidikan (Depdiknas 2004:
4) yaitu:

1) Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin kepada anak.

2) Mengenalkan anak pada dunia sekitarnya.

3) Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik.

7
4) Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi.

5) Mengembang ketrampilan, kreativitas, dan kemampuan yang dimiliki anak.

6) Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.


Dari beberapa uraian di atas inilah, maka pendidikan yang menanamkan nilai-nilai
positif akan tepat dimulai ketika anak usia dini. Dengan demikian pendidikan bagi
peserta didik yang masih kecil merupakan landasan yang tepat sebelum masuk
pada pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan anak usia dini merupakan
pendidikan awal yang sesuai dengan tujuan untuk mengembangkan sosialisasi
anak, menumbuhkan kemampuan sesuai dengan perkembangannya, mengenalkan
lingkungan kepada anak, serta menanamkan disiplin, karena secara tidak langsung
dapat menanamkan atau mentransfer nilai-nilai moral dan nilai sosial kepada
anak.
E. Tujuan Pendidikan
Fitur penting dari pendidikan adalah bahwa pandidikan merupakan kegiatan
yang disengaja (Oakshott 1967; Hirst dan Peters, 1970). Niat yang mendasari
kegiatan ini, dinyatakan dalam tujuan dan hasil yang diinginkan, merupakan
tujuan pendidikan. Sejumlah istilah berbeda digunakan untuk mengacu pada hasil
termasuk maksud (aims), tujuan (goals), target (target) dan tujuan (objectives).
Sejak Taba (1962), perbedaan dalam pendidikan umumnya digambarkan antara
tujuan pendidikan jangka pendek (objectives) dan tujuan luas, tujuan jangka
panjang dan yang kurang spesifik (aims).
Hirst (1974) berpendapat bahwa tidak ada yang diperoleh dengan membuat
perbedaan, dan lebih memilih istilah tujuan dengan menggunakan kata objectives.
Jadi, misalnya. entri indeks untuk tujuan (aims) dalam Hirst (1974) baca ‘see
objectives of education’. Dia berpendapat bahwa pergeseran menuju istilah yang
lebih teknis saja (pergeseran menggunakan istilah objectives) menunjukkan
tumbuhnya kesadaran bahwa deskripsi rinci untuk pencapaian yang kita kejar
memang benar-benar diinginkan. Berbicara tentang tujuan (objectives) kurikulum
aku akan benar-benar mengingat hal tersebut sebagai deskripsi ketat tentang apa
yang akan dipelajari dan yang tersedia (Hirst, 1974) Jadi Hirst, dalam
kesesuaiannya dengan kedua pandangan sistem kurikulum dan psikologi
behavioris, melihat tujuan (aims) dan sasaran (objectives) secara teknis dan
normatif. Mereka adalah sarana dalam mendesain kurikulum rasional, sarana
menentukan apa kurikulum seharusnya. Hal ini adalah pandangan yang tersebar
luas di seluruh literatur tentang teori kurikulum, yang telah digambarkan sebagai
asumsi masyarakat statis, kurangnya konflik, dan akhir dari ideologi (Inglis,
1975). Namun, spesifikasi tujuan pendidikan juga dapat menjadi tujuan lain.
Tujuan (purpose) tersebut salah satunya adalah kritik dan pembenaran praktek
pendidikan, dengan kata lain, evaluasi pendidikan, baik teoritis atau praktis.
Dalam arti luas, evaluasi pendidikan berkaitan dengan nilai praktek pendidikan.
8
Sebaliknya, pendekatan teknis dan normatif terhadap maksud (aims) dan tujuan
(objectives), dengan memfokuskan pada hasil pembelajaran tertentu, menerima
banyak konteks dan status quo pendidikan sebagai suatu yang tidak problematis.
Konteks sosial dan politik pendidikan dan pandangan yang diterima dari sifat
pengetahuan dilihat sebagai latar belakang tetap yang padanya perencanaan
kurikulum terjadi.
Stenhouse mengakui hal ini.
Tujuan pendidikan, oleh karenanya, bukan produk akhir yang padanya proses
pendidikan merupakan sarana instrumental. Mereka merupakan ekspresi nilai-
nilai dimana beberapa karakter pendidikan khas yang diberikan, atau yang dianut
dari, apa pun ‘cara’ yang sedang digunakan. (Carr dan Kemmis, 1986). Bertujuan
mengekspresikan filsafat pendidikan individu dan kelompok sosial, dan karena
pendidikan merupakan proses sosial yang kompleks, sarana untuk mencapai
tujuan- tujuan ini juga harus dipertimbangkan. Karena nilai-nilai yang terkandung
dalam tujuan pendidikan harus menentukan, atau setidaknya membatasi, cara
mencapainya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pendidikan adalah merupakan suatu
pekerjaan yang sangat kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Hasil
dari suatu pendidikan tidak segera dapat kita lihat hasilnya atau kita rasakan. Di
samping itu hasil akhir dari pendidikan ditentukan pula oleh hasil-hasil dari
bagian- bagian dari pendidikan yang sebelumnya. Untuk membawa anak kepada
tujuan akhir, maka perlu anak diantar terlebih dahulu kepada tujuan dari bagian-
bagian pendidikan. Menurut Langeveld dalam (Ahmadi dan Uhbiyati 2007 :105)
tujuan pendidikan bermacam-macam yaitu :
1) Tujuan Umum, tujuan ini juga disebut tujuan total, tujuan yang sempurna
atau tujuan akhir. Bahwa tujuan akhir dari pendidikan itu ialah untuk
membentuk insan kamil atau manusia sempurna.
2) Tujuan Khusus, untuk menuju kepada tujuan umum itu, perlu adanya
pengkhususan tujuan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi tertentu
misalnya, disesuaikan dengan cita-cita pembangunan bangsa, disesuaikan
dengan tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan, disesuaikan dengan
bakat kemampuan anak didik.,disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan
sebagainya. Tujuan-tujuan pendidikan yang telah disesuaikan dengan
keadaan-keadaan tertentu, dalam rangka untuk mencapai tujuan umum
pendidikan inilah yang dimaksud dengan tujuan khusus.
3) Tujuan Tak Lengkap, tiap-tiap aspek pendidikan mempunyai tujuan-
tujuan pendidikan sendiri-sendiri. Tujuan dari aspek-aspek pendidikan inilah
yang dimaksud tujuan pendidikan tak lengkap. Sebab masing-masing
aspek
pendidikan itu menganggap seolah-olah dirinya terlepas dari aspek
pendidikan yang lain. Pada hal masing-masing pendidikan itu hanyalah
merupakan bagian-bagian dari pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena
9
itu tujuan dari masing-masing aspek itu harus dilengkapi dengan tujuan dari
aspek-aspek yang lain.
4) Tujuan Insidentil (tujuan seketika atau sesaat), tujuan ini timbul secara
kebetulan , secara mendadak dan hanya bersifat sesaat. Misalnya, tujuan
untuk mengadakan hiburan atau variasi dalam kehidupan sekolah. Maka
diadakanlah darmawisata ke suatu tempat. Dalam hai ini tujuan itu telah
selesai, setelah darmawisata itu dilaksanakan.
5) Tujuan Sementara, tujuan sementara adalah tujuan-tujuan yang ingin kita
capai dalam fase-fase tertentu dalam pendidikan. Misalnya : anak
dimasukkan ke sekolah. Tujuanya ialah agar anak dapat membaca dan
menulis. Dapat membaca dan menulis inilah yang disebut tujuan sementara.
Tujuan yang lebih lanjut ialah agar anak dapat belajar ilmu pengetahuan dari
buku-buku. Dapat belajar dari buku inipun menjadi tujuan sementara.
Tujuan sebenarnya ialah agar anak dapat memiliki iulmu pengetahuan
tertentu. Memiliki ilmu pengetahuan inipun merupan tujuan sementara. Dan
begitulah seterusnya. Demikian tujuan-tujuan sementara ini semakin
meningkat untuk menuju kepada pengetahuan umum, tujuan total atau
tujuan akhir.
6) Tujuan Perantara, Tujuan perantara disebut juga tujuan intermediair.
Tujuan inilah adalah merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan-
tujuan yang lain. Misalnya : kita belajar bahasa Inggris atau bahasa Belanda,
atau yang lain. Tujuan belajar bahasa ini ialah, agar kita dapat mempelajari
buku-buku yang tertulis dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa yang lain.
Jadi kita belajar bahasa asing di sini hanyalah merupakan sekedar alat saja.
Demikian macam-macam tujuan pendidikan, yang kesemuanya mengarah
kepada tujuan umum pendidikan. Yaitu menuju kehidupan sebagai insal
kamil, dimana terjamin adanya hakikat manusia secara harmonis. Berbagai
macan uraian dari tujuan pendidikan diatas maka dapat di simpulkan bahwa
pendidikan bertujuan untuk mengembangkan manusia agar supaya memiliki
ketrampilan dan mampu bersaing dan berdaya guna bagi bangsa dan negara.
F. Filsafat Pendidikan
Dalam arti yang luas dapatlah dikatakan bahwa filsafat pendidikan adalah
pemikiran-pemikiran filsafat tentang pendidikan. Ada yang berpendapat bahwa
filsafat pendidikan ialah filsafat tentang proses pendidikan, dan pada sisi lain ada
yang berpendapat filsafat pendidikan ialah filsafat tentang disiplin ilmu
pendidikan.. Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut paut dengan cita-cita,
bentuk, metode, dan hasil dari proses pendidikan. Sedangkan filsafat tentang
disiplin ilmu pendidikan bersifat metadisiplin, dalam arti bersangkut paut dengan
konsep-konsep, ide-ide, dan metode-metode ilmu pendidikan. Secara historis,
filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh para filsuf, seperti Aristoteles,
Augustinus, dan Locke, adalah filsafat tentang proses pendidikan sebagai bagian
dari sistem filsafat yang mereka anut. Adapun filsafat pendidikan yang
10
dikembangkan pada akhir-akhir ini, oleh pengaruh filsafat analitik, merupakan
filsafat tentang ilmu pendidikan, yakni, sejarah pendidikan, sosiologi pendidikan,
dan psikologi pendidikan. Ada beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi
filsafat pendidikan. Beberapa di antaranya diuraikan di bawah ini.
1) Filsafat analitik. Filsafat pendidikan analitik tidak mengetengahkan dan
tidak membahas proposisi-proposisi substantif atau pun persoalan-persoalan
faktual dan normatif tentang pendidikan. Filsafat ini menganalisis dan
menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep pendidikan seperti
pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education), dan
sebagainya. Filsafat ini mengecam dan sekaligus mengklarifikasi berbagai
slogan pendidikan seperti “ajarlah anak, bukan pelajaran” (teach children,
not subject matter). Alat-alat yang digunakan oleh filsafat pendidikan
analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan linguistik serta
teknik-teknik analisis yang berbeda-beda dari filsuf yang satu dengan filsuf
yang lain.
2) Progressivisme. Filsafat ini berpendapat bahwa pendidikan bukanlah
sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak-anak, melainkan melatih
kemampuan dan keterampilan berpikir dengan cara memberi rangsangan
yang tepat. John Dewey (tokoh pragmatisme), termasuk dalam golongan
progressivisme. Ia mengatakan bahwa sekolah adalah institusi sosial.
Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan, bukan mempersiapkan
anak untuk masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri,
maka kebutuhan individual anak-anak harus diutamakan, bukan berorientasi
mata pelajaran (subjeck matter oriented).
3) Eksistensialisme. Filsafat ini menyatakan bahwa yang menjadi tujuan
utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu bagaimana menanggulangi
masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami
secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur
hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan
diketahui oleh si anak didik, akan tetapi yang lebih penting adalah apa yang
mampu mereka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialis menolak
pendidikan dengan sistem indoktrinasi.
4) Rekonstruksionisme. Filsafat ini berpendapat bahwa pendidikan
merupakan reformasi sosial yang menghendaki “renaissance sivilisasi
modern”. Para pendidik rekonstruksialis melihat bahwa pendidikan dan
reformasi sosial itu sesungguhnya adalah sama. Mereka memandang
kurikulum sebagai problem- centered. Pendidikan pun harus berani
menjawab pertanyaan George S. Cout: “Beranikah sekolah-sekolah
membangun suatu orde sosial baru?”
G. Filsafat Pendidikan Matemaika
Ada yang mempermasalahkan istilah “pendidikan matematika” dan
“matematika pendidikan”. Kita tidak akan mempermasalahkan mana yang lebih
11
benar. Filsafat pendidikan matematika lebih menyoroti proses pendidikan dalam
bidang matematika. Menurut Wein (1973), pendidikan matematika adalah ”suatu
studi aspek-aspek tentang sifat-sifat dasar dan sejarah matematika beserta
psikologi belajar dan mengajarnya yang akan berkontribusi terhadap pemahaman
guru dalam tugasnya bersama siswa, bersama-sama studi dan analisis kurikulum
sekolah, prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan dan praktik
penggunaannya di kelas” Dengan demikian, filsafat pendidikan matematika
mempersoalkan masalah- masalah sifat dasar matematika,, sejarah matematika,
psikologi belajar matematika,
teori mengajar matematika, psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar
matematika, pengembangan kurikulum matematika sekolah, dan pelaksanaan
kurikulum matematika di kelas. Dalam filsafat pendidikan matematika ini secara
khusus akan dikemukakan Filsafat Konstruktivisme yang sejak tahun sembilan
puluhan banyak diikuti.
Pada tahun 1983, Resnick menerbitkan catatan tentang pengertian baru
“belajar matematika”. Ia menjelaskan bahwa “seseorang yang belajar itu
membentuk pengertian”. Bettencount (1989) menuliskan bahwa orang yang
belajar itu tidak hanya meniru atau merefleksikan apa yang diajarkan atau yang ia
baca, melainkan menciptakan pengertian. Pengetahuan atau pengertian dibentuk
oleh siswa yang aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari gurunya. Dalam
penelitiannya tentang miskonsepsi, Fisher dan Lipson, 1986, mendapati bahwa
dalam belajar matematika “pengetahuan dan pengertian mencakup suatu proses
aktif dan konstruktif”.
Konstruktivisme mempengaruhi banyak studi tentang “salah pengertian”
(misconceptions) dan pengertian alternatif dalam belajar matematika. Di
Universitas Cornell, pada Konferensi Internasional tentang Miskonsepsi I, 1983,
disajikan 69 makalah. Pada konferensi II, 1987, membengkak menjadi 160
makalah, dan konferensi III, 1993, lebih membengkak lagi menjadi 250 makalah.
Ini menunjukkan bahwa konstruktivisme sedang naik daun. Ringkasnya, gagasan
konstruktivisme tentang pengetahuan adalah sebagai berikut (von Glaserfeld dan
Kitchener, 1987).
1) Pengetahuan bukanlah gambaran kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan
konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu
untuk pengetahuan.
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi
membentuk pengetahuan apabila konsepsi berlaku dalam berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman seseorang dan disebut konsep itu jalan.
Dalam proses konstruksi, menurut Glaserfeld, diperlukan berbagai kemampuan:
kemampuan mengingat dan mengungkap kembali pengalaman, kemampuan
membandingkan, mengambil keputusan mengenai kesamaan dan perbedaan, dan
kemampuan untuk lebih menyenangi pengalaman yang satu daripada pengalaman

12
yang lain.
Belajar merupakan proses aktif pelajar mengonstruksi makna atau arti baik
dari teks, dialog, pengalaman fisis, atau lainnya. Belajar juga menyatakan proses
mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang telah dipelajari
dengan pengertian yang sudah dipunyai pelajar sehingga pengertiannya
berkembang. Cirinya adalah sebagai berikut:
1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa
yang dilihat, dirasakan, dan dialami. Konstruksi makna dipengaruhi oleh
pengertian yang sudah dimilikinya.
2) Konstruksi makna itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali
berhadapan dengan fenomena baru diadakanlah konstruksi.
3) Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan pengembangan itu sendiri,
perkembangan menuntut penemuan dan pengaturan kembali pikiran siswa.
4) Proses belajar yang sesungguhnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam
keraguan, yang merangsang pikiran lebih lanjut.
5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan alam
sekitarnya.
6) Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh apa yang telah diketahui siswa: konsep,
tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang
dipelajari.
Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif. Siswa
membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari makna sendiri dari apa yang
dipelajari. Proses mencari ini adalah proses menyesuaikan konsep dan ide-ide
baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa
sendirilah, yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya (Shymanski, 1992).
Menurut konstruktivisme, mengajar bukanlah memindahkan (mentransfer)
pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang
memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti
berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,
mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar
adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencount, 1989).
Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai jawaban yang baik
terhadap suatu persoalan yang sedang dipelajari. Siswa yang mempunyai cara
berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk
menghadapi fenomena baru (= jalan), akan menemukan pemecahan dalam
menghadapi persoalan yang lain. Jika cara berpikir ini berdasarkan pengandaian
yang salah atau tidak dapat diterima pada saat itu, siswa masih dapat
mengembangkan pikirannya. Mengajar, dalam konteks ini, adalah membantu
siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri.
Menurut prinsip konstruktivisme, peran guru adalah sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu siswa agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Tekanannya ada pada siswa yang belajar dan bukan pada guru yang mengajar.
Penjabaran guru sebagai mediator dan fasilitator adalah sebagai berikut.
13
1) Menyediakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa bertanggung
jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian (bukan ceramah).
2) Menyediakan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan
membantu siswa mengungkapkan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang
mendukung berpikir produktif. Menyediakan pengalaman yang mendukung
proses belajar.
3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pikiran siswa jalan
atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk
menghadapi persoalan baru yang terkait. Guru membantu mengevaluasi
kesimpulan siswa

14
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
 Filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafat tentang
pendidikan. Dapat mengonsentrasikan proses pendidikan, yang
dipersoalkan adalah cita-cita, bentuk, metode pada proses pendidikan,
dapat juga pada ilmu pendidikan. Jika mengutamakan, dan hasil dari
proses pendidikan. Jika mengutamakan ilmu pendidikan maka yang
menjadi pusat perhatian adalah konsep, ide, dan metode pengembangan
dalam ilmu pendidikan. Filsafat pendidikan matematika termasuk filsafat
yang membahas proses pendidikan dalam bidang studi matematika.
Aliran-aliran yang berpengaruh dalam filsafat pendidikan antara filsafat
analitik, progesivisme, eksistensialisme, rekonstruksionisme, dan
konstruktivisme.
 Pendidikan matematika adalah bidang studi yang mempelajari aspek-aspek
sifat dasar dan sejarah matematika, psikologi belajar dan mengajar
matematika, kurikulum matematika sekolah, baik pengembangan maupun
penerapannya di kelas.
 Filsafat pendidikan matematika adalah ilmu yang berisi dasar-dasar
pemikiran tentang pendidikan khususnya pada bidang studi yang
mempelajari segala aspek tentang matematika.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ernest, Paul. (2004). The Philosophy of Mathematics Education : Studies in


Mathematics Education. British Library Cataloguing in Publication Data.

Sukardjono. ( ). Hakikat dan Sejarah Matematika. Universitas Terbuka


diambil dari (http://repository.ut.ac.id/4690/2/PEMA4101-M1.pdf
diakses pada 15 September 2023).

Anda mungkin juga menyukai