RHINOSINUSITIS KRONIK
Oleh:
Pembimbing:
Nadilla Yasinta
1
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. C
Usia : 19 tahun
Alamat : Serang
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Marital : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Pemeriksaan : 3 Mei 2021
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 3
Mei 2021 pukul 10:00 WIB di Poliklinik THT RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara, Serang.
Keluhan Utama
Hidung tersumbat kanan dan kiri sejak tahun lalu
Keluhan Tambahan
Hidung gatal, bersin-bersin, ingus berlendir dan sedikit bau
3
Riwayat Pengobatan
Pasien meminum paracetamol untuk meredakan keluhannya.
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi makanan ataupun obat. Namun pasien memiliki
riwayat alergi terhadap debu dan juga suhu dingin
4
Neurologis : Tidak dilakukan
5
B. Hidung
Nasal
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Keadaan • Bentuk
Normal Normal
Luar • Ukuran
Rhinoskopi • Mukosa • Livid • Livid
Anterior • Sekret • Tidak ada • Tidak ada
• Krusta • Tidak ada • Tidak ada
• Concha • Hipertrofi • Hipertrofi
Inferior • Tidak ada septum • Tidak ada septum
• Septum deviasi deviasi
• Tidak ditemukan • Tidak ditemukan
• Polip/Tum massa massa
or
• Pasase
Udara
Rhinoskopi • Mukosa
Posterior • Koana
• Sekret
• Torus
tubarius • Pemeriksaan • Pemeriksaan
• Fossa tidak dilakukan tidak dilakukan
Rossenmul
ler
• Adenoid
C. Sinus Paranasal
Inspeksi :
• Edema & hiperemis pada pipi, kelopak mata atas dan bawah: (-)
Palpasi :
• Nyeri tekan pada maksilla dextra dan sinistra: (+)
• Nyeri tekan pada medial atap orbita: (-)
• Nyeri tekan pada daerah kantus medius: (-)
6
D. Mulut dan Orofaring
Bagian Kelainan Keterangan
• Mukosa mulut • Hiperemis (-)
• Lidah • Tidak deviasi,
• Palatum Mole • DBN
Mulut • Gigi Geligi • DBN
• Uvula • Tidak deviasi
• Halitosis • DBN
Tonsil
7
E. Leher
Bagian Keterangan
Leher • Bentuk normal, trakea berada di
• Bentuk tengah
• Massa • Massa (-), pebesaran KGB (-)
V. RESUME
Anamnesis:
Pasien Nn. C datang ke Poli THT RSU dr. Dradjat Prawiranegara Serang
dengan hidung tersumbat kanan dan kiri setiap hari sejak tahun lalu. Keluhan
disertai hidung gatal, bersin-bersin, sekret berlendir terkadang purulent dan
sedikit bau. Keluhan juga disertai nyeri pada kedua pipi dan sakit kepala.
Keluhan bermula dari bersin-bersin sesekali yang dirasa terutama bila terpapar
debu dan udara dingin, kemudian keluhan memberat dan bertambah ketika
pasien sudah menjalani kuliah online dimana pasien berada di dalam kamar ber-
AC seharian penuh. Pasien memiliki riwayat rhinitis alergi.
Pemeriksaan Fisik:
• Status Lokalis
• Hidung: Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior dextra dan sinistra
didapatkan mukosa livid dan concha hipertrofi
8
VIII. USULAN PEMERIKSAAN
• CT Scan Sinus Paranasal Non-Contrast
• Kultur Bakteri dan Tes senstifitas antibiotik
IX. PENATALAKSANAAN
Edukasi
• Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin
timbul
• Menyarankan untuk menghirup uap air panas bila hidung
tersumbat
• Menjelaskan prosedur cuci hidung di rumah.
Medikamentosa
• Cuci hidung dengan larutan garam NaCl 0,9% (1x/hari)
• Amoxicillin 500 mg per oral (3x/hari)
• Rhinos sr (2x/hari)
• Steroid Intranasal mometason furoat 400ug/hari (1x/hari, 2x
semprot tiap rongga hidung)
X. PROGNOSIS
• Quo ad Vitam : Ad Bonam
• Quo ad Functionam : Ad Bonam
• Quo ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Sinus paranasal adalah rongga berisi udara di tulang tengkorak tertentu. Mereka ada
empat di setiap sisi. Secara klinis, sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok:1
10
• Sinus Maksila2
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya
adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding
inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada
di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infindibulum etmoid. Dari segi klinik yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
a) Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2),
kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-
akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b) Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
c) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitus.
• Sinus Frontal2
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
11
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm
dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk
dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus
frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
• Sinus Etmoid2
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid
seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian
anterior dan 1.5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga,
terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam
massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita, karenanya sering kali disebut sebagai sel-sel etmoid.
Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara
di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel- sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
postero-superior dari perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sisnusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea
etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah
lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga
12
orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid.
• Sinus Sfenoid2
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm , dalamnya 2.3 cm dan lebarnya
1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada
dinding sinus etmoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media
dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering
tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan
fosa serebri posterior di daerah pons.
• Kompleks Ostio-Meatal2
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius,
ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang
prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
Gambar 2: Anatomi kompleks ostio-meatal
2.2. Rhinosinusitis
2.2.1. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis.
Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus,
yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis dikarakteristikkan
sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal. Sinusitis diberi nama sesuai dengan
sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila
mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis. Disekitar rongga hidung
terdapat empat sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis
(kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di
belakang dahi).2
Definisi rinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah EPOS, 2020
yaitu inflamasi pada mukosa nasal dan sinus paranasal dengan dua atau lebih gejala
dimana salah satunya harus dengan hidung tersumbat (nasal blockage / obstruction
/ congestion) dan atau nasal discharged (anterior / posterior nasal drip), disertai
nyeri pada wajah, dan penurunan penciuman, dan berlangsung lebih dari sama
dengan 12 minggu tanpa adanya periode penyembuhan.3
2.2.2. Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa kasus sinusitis paling banyak
terjadi pada musim hujan atau musim dingin dan pada daerah dengan kelembaban
udara atau polusi udara yang tinggi. Sekitar 35 juta orang didiagnosis menderita
sinusitis di Amerika. Hampir 14% penderita mengalami minimal satu kali episode
sinusitis per tahunnya. Sinusitis merupakan penyakit nomor lima tertinggi yang
mendapatkan resep antibiotik. Sinusitis akut diderita oleh 3 per 1000 orang di
United Kingdom. Anak-anak mengalami rata-rata 6-8 kali infeksi saluran
pernafasan atas per tahun, sekitar 6-13% berkembang menjadi sinusitis bakterial
akut4. Sinusitis dapat ditemukan secara global. Survei kesehatan nasional pada
tahun 2012 di Amerika menunjukkan 1 dari 8 dewasa didiagnosis menderita
sinusitis5.
Belum ada data epidemiologi khusus mengenai sinusitis secara nasional di
Indonesia. Namun, data terbaru berdasarkan Riskesdas 2018 menunjukkan
15
prevalensi infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) menurut diagnosis tenaga
kesehatan dan gejala di Indonesia adalah sebesar 9,3%.6 Kemungkinan kejadian
sinusitis belum dilaporkan secara baik atau belum diklasifikasikan terpisah dari
ISPA pada survei kesehatan nasional. Sebuah penelitian di RSUP H. Adam Malik
Medan di tahun 2010 menunjukkan adanya 96 kasus yang ditangani sebagai
sinusitis. Pasien paling banyak pada kelompok usia 40-49 tahun dan lebih banyak
pasien berjenis kelamin wanita (60,4%).7
2.2.4. Klasifikasi
17
Klasifikasi Rinosinusitis menurut the American Academy of Otolaryngic
Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS):
Inflamasi mukosa nasal & sinus paranasal dengan dua atau lebih gejala dimana
salah satunya harus dengan hidung tersumbat (nasal blockage / obstruction /
congestion) dan atau nasal discharged (anterior / posterior nasal drip), disertai
nyeri pada wajah, dan penurunan penciuman, dan berlangsung lebih dari sama
dengan 12 minggu tanpa adanya periode penyembuhan. Gejala khas yaitu nyeri
wajah
2.2.5. Patogenesis2
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila
18
klirens silier sekret sinus berkurang atau ostium sinus menjadi tersumbat, yang
menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan
parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.
Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi
sekret ini, maka terjadilah sinusitis.
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
obstruksi drainase sinus (sinus ostium), kerusakan pada silia, serta kuantitas dan
kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus.
Virus tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti
Rhinovirus, Influenza A dan B, Parainfluenza, Respiratory syncytial virus,
Adenovirus dan Enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA
memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal.
Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya edema pada dinding hidung
dan sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada
ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu
inflamasi, polip, tumor, trauma, juga menyebabkan menurunya patensi ostium
sinus. Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan
neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus
pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret
yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat
baik untuk berkembangnya bakteri patogen.
Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya
akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran
udara yang cepat, virus, bakteri, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan
mukosa, parut, atau primary cilliary dyskinesia (Sindrom Kartagener).
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen
oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan
memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob.
Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas
leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak
adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa
bakteri patogen.
19
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi
pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti
infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan
menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium
sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan
menyebabkan gangguan drainase sinus.
Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari
keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang
bertanggung jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan
organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram
positif yang merupakan bakteri khas pada sinus. Penyakit gigi seperti abses apikal,
atau periodontal dapat menimbulkan gambaran histologi yang didominasi oleh
bakteri gram negatif, karenanya menimbulkan bau busuk.
Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau
mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus atau
kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi premolar
kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan
pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila.
Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat terjadi
2.2.7. Diagnosis
Menurut Task Force yang dibentuk oleh the American Academy of Otolaryngologic
Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS), gejala klinis RS pada
dewasa dapat digolongkan menjadi :
1. Gejala mayor yaitu gejala yang banyak dijumpai serta mempunyai faktor
prediksi yang tinggi.
• Sakit pada daerah muka (pipi,dahi ,hidung)
• Buntu hidung
• Ingus purulens/pos-nasal/berwarna
• Gangguan penciuman
• Sekret purulen di rongga hidung
• Demam (untuk RS akut saja)
2. Sedangkan gejala minor :
• Batuk
• Demam (untuk RS non akut)
• Tenggorok berlendir
• Nyeri kepala
• Nyeri geraham
• Halitosis
Persangkaan adanya RS didasarkan atas adanya 2 gejala mayor atau lebih atau 1
gejala mayor disertai 2 gejala minor.
Anamnesis
21
Anamnesis yang cermat dan diperlukan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang disebutkan di atas. Hal ini penting terutama pada RSK
karena diperlukan pengetahuan kemungkinan faktor penyebab yang lain selain
inflamasi itu sendiri. Adanya penyebab infeksi baik kuman maupun virus,Riwayat
alergi atau kelainan anatomis di dalam rongga hidung dapat dipertimbangkan dari
riwayat penyakit yang lengkap. Untuk RSA gejala yang ada mungkin cukup jelas
karena berlangsung akut (mendadak) dan seringkali didahului oleh infeksi akut
saluran nafas atas. Pada anak infeksi saluran nafas atas merupakan predisposisi pada
80% RSA anak. Penderita dengan latar belakang alergi mempunyai riwayat yang
khas terutama karakteristik gejala pilek sebelumnya,riwayat alergi dalam keluarga
serta adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
• Transiluminasi
Transiluminasi merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
22
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat
perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri11.
• Endoskopi nasal
Tujuan : Menilai kondisi rongga hidung seperti adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba,
hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus3.
Indikasi : Evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan. Untuk
rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar
46 % dan spesifisitas 86 %.
• Radiologi10,11
Radiologi merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi
X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. Pada pemeriksaan radiografi,
jika ditemukan perselubungan, penebalan mukosa atau air fluid level di kavum
sinus maka positif untuk rhinosinusitis. CT-scan merupakan modalitas pilihan
dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi
rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon.
Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan
pembedahan.
(A) (B)
Gambar 3. Rontgen Foto Posisi waters menunjukkan penebalan mukosa sinus
maksilaris kiri (A). CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik
akibat konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM (B).
• Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:10,11
o Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
o Tes alergi
23
o Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar
mikroskop elektron dan nitrit oksida
o Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
o Tes fungsi olfaktori: threshold testing
o Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)
Diagnosis banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis
tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan
kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang
dengan gejala pilek dan kongesti nasal. Rhinorrhea cairan serebrospinal harus
dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat cedera kepala. Pilek persisten
unilateral dengan epistaksis dapat mengarah kepada neoplasma atau benda asing
nasal. Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah diagnosis
alternatif pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah.
Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat
merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang berat,
seperti meningitis atau abses intrakranial maksilaris
2.2.8. Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
• Mempercepat penyembuhan
• Mencegah komplikasi
• Mencegah perubahan menjadi kronik.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis akut, yaitu:
a. Antibiotik
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilangka infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta- laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-
klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik
24
diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada
sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai utuk kuman gram negatif
dan anaerob.2
• Klaritromisin : 2 x 500 mg
Antibiotik pada sinusitis kronis diberikan dalam durasi 3-4 minggu dan
dapat diberikan secara empiris pada awal tatalaksana. Jika terapi empiris
gagal, maka penggunaan antibiotik harus berdasarkan hasil kultur. Obat
yang menjadi pilihan adalah amoxicillin clavulanate 2 gram per oral dua
kali sehari, atau 90 mg/kgBB/hari dua kali sehari. Pada pasien yang alergi
penisilin dapat digunakan levofloxacin, moxifloxacin, atau cephalosporin
generasi ketiga4,5.
b. Dekongestan
Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang)
berupa Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan
agonis alfa adrenergik diberikan selama 14 hari. Obat ini bekerja pada
osteomeatal komplek. Dekongestan topikal yaitu Phenylephrine Hcl 0,5%
dan oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja
melegakan pernapasan dengan mengurangi oedema mukosa dan diberi
selama 3 hari.
25
c. Antihistamin
Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan
II mempunyai keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi
rhinore, dan menghilangkan obstruksi, serta tidak memiliki efek samping
menembus sawar darah otak. Dampak efek ini menyebabkan mengentalnya
mukus sehingga mengganggu drainase
d. Kortikosteroid
e. Manajemen Bedah
Bedah sinus endoksopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah
menggantukan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena
memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik
setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang
ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis
jamur.2
f. Terapi Suportif
26
Humidifikasi atau menghirup uap air panas untuk mengurangi sumbatan
hidung, Nasal Wash Menggunakan NaCl 0,9%, kompres hangat pada area
sinus, minum air putih yang cukup
2.2.9. Komplikasi
Infeksi sinus dapat menyebar melalui jalur berikut:
A. Melalui dinding tulang sinus
a. Osteomielitis pada tulang kompak
b. Melalui garis fraktur dari sinus yang terinfeksi setelah trauma
c. Melalui dehiscences tulang alami (misalnya saraf infraorbital dari sinus
maksilaris ke orbit)
B. Penyebaran vena
a. Trombosis vena septik
b. Trombosis pada vena-vena kecil di mukosa sinus
c. Septikemia dan pyaemia
C. Penyebaran limfatik melalui limfatik perivaskuler melalui foramina vaskuler
D. Penyebaran melalui ruang perineural (saraf penciuman ke ruang subaraknoid)
E. Menyebar melalui foramina arteri ethmoidalis dari sinus ethmoidalis ke orbit
dan otak. Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi
komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.13
Semua sinus paranasal berbagi batas dengan orbit. Oleh karena itu, mata sering
terkena sinusitis yang rumit dan kecurigaan klinis yang tinggi terhadap penyakit
27
sinus harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami selulitis orbital
akut, kemosis atau proptosis. Chandler mengklasifikasikan komplikasi orbital
(Chandler I-V) menurut perkembangan infeksi :
Sedangkan bila terjadi infeksi dari sinus frontal, ethmoid dan sphenoid dapat
menyebabkan meningitis dan komplikasi intrakranial lainnya, seperti pada tabel
berikut:
2.2.10. Prognosis14
Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya.
Namun, sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam
kasus yang jarang dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut
membaik secara spontan tanpa antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus
adalah 98 %.Pasien dengan sinusitis akut, jika diobati dengan antibiotik yang tepat,
biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat kekambuhan setelah
pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %. Jika tidak adanya respon dalam
waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi kembali.
28
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Nn. C datang ke Poli THT RSU dr. Dradjat Prawiranegara Serang dengan
hidung tersumbat kanan dan kiri setiap hari sejak tahun lalu. Keluhan disertai
hidung gatal, bersin-bersin, sekret berlendir terkadang purulent dan sedikit bau.
Keluhan juga disertai nyeri pada kedua pipi dan sakit kepala. Keluhan bermula dari
bersin-bersin sesekali yang dirasa terutama bila terpapar debu dan udara dingin,
kemudian keluhan memberat dan bertambah ketika pasien sudah menjalani kuliah
online dimana pasien berada di dalam kamar ber-AC seharian penuh. Pasien
memiliki riwayat rhinitis alergi.
Pasien menyangkal adanya gigi berlubang dan infeksi pada gigi pasien.
Keluhan lain yang juga disangkal yaitu batuk, mual, muntah, demam, penurunan
indra penciuman, keluar darah dari hidung, suara sengau, kejang, nyeri di daerah
sekitar mata, penurunan indra penglihatan , pandangan ganda dan gangguan
pergerakan mata. Pasien tidak memiliki riwayat kecelakaan yang mengenai daerah
kepala. Keluhan gangguan pendengaran, nyeri di telinga, keluar cairan dari telinga,
nyeri tenggorokan, nyeri menelan, rasa banyak dahak di tenggorokan, serta rasa
mengganjal di tenggorokan disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda- tanda vital dengan tekanan darah
120/80 mmHg, respirasi 20 x/menit, frekuensi nadi 90 x/menit, dan suhu 36°C.
Pada pemeriksaan telinga didapatkan telinga kanan dan kiri pasien dalam batas
normal. Pada hidung, didapatkan mukosa dextra sinistra livid (+) dan hipertropi
konka inferior dextra sinistra (+), Pada tenggorokan didapatkan tonsil T1/T2.
Berdasarkan anamnesis tersebut, keluhan pasien memenuhi kriteria
rhinosinusitis menurut Task Force yang dibentuk oleh the America Academy of
Otolaryngologic Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Socety (ARS).
Dimana didapatkan 2 Gejala Mayor yaitu sakit pada daerah muka terutama pipi dan
ingus purulent serta 1 Gejala Minor yaitu nyeri kepala. Pasien sudah mengeluhkan
keluhannya ini sejak kurang lebih satu tahun yang lalu dimana keluhan ini terjadi
setiap hari dan tidak membaik. Hal ini sesuai dengan definisi Rinosinusitis Kronik
dimana inflamasi pada mukosa nasal dan sinus paranasal dengan dua atau lebih
gejala dimana salah satunya harus dengan hidung tersumbat (nasal blockage /
obstruction / congestion) dan atau nasal discharged (anterior / posterior nasal drip),
29
disertai nyeri pada wajah, dan penurunan penciuman, dan berlangsung lebih dari
sama dengan 12 minggu tanpa adanya periode penyembuhan.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya tanda-tanda dari rhinitis alergi
saat pasien terpapar debu dan suhu dingin, yaitu bersin-bersin disertai keluarnya
cairan bening kadang menjadi purulent pada hidung secara terus menerus, gatal
pada hidung, dan kadang disertai dengan pusing. Berdasarkan teori, salah satu
faktor predisposisi terjadinya sinusitis adalah rhinitis terutama rhinitis alergi
Pada pasien ini di berikan terapi Cuci hidung dengan NaCl 0,9%,
amoxicillin 3x500 mg tablet, Rhinos sr 2x1 tablet, Steroid Intranasal mometasin
furoat 1x2 semprot tiap rongga hidung, dan Paracetamol 3x500 mg tablet. Terapi
tersebut sesuai dengan tatalaksana yang diberikan pada pasien Rhinosinusitis yang
disebabkan rhinitis alergi yaitu Nasal Wash menggunakan NaCl 0,9% untuk
mengurangi sumbatan serta membersihkan hidung, antibiotik untuk menghilangkan
infeksi dan pembengkakan mukosa serta mebuka ostium sinus, dekongestan oral
dengan efek vasokonstriksi mengurangi mukosa edem dan melegakan pernapasan,
diberikan antihistamin untuk meringankan kongesti nasal dan peradangan akibat
alergi. Selain itu juga dapat diberikan steroid nasal spray pada rhinosinusitis yang
berhubungan dengan alergi.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Dhingra PL, S. Dhingra. 2018. Disease of Ear, Nose and Throat & Head and Neck
Surgery 7th Ed. ELSEVIER. India. Pg. 209-12
2. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2018
3. Fokkens WJ., VJ. Lund, C. Hopkins, PW. Helling, et al. 2020. EPOS 2020:
Europiean Position Paper on Rhinosinusitis and nasal ppolyps. Rhinology; 2020’ 58
(29): 1-26.
4. Brook I. Bronze MS. Acute sinusitis. 2018
https://emedicine.medscape.com/article/232670-overview
5. Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I, Kumar KA, Kramper M,
et al. Clinical practice guideline (update): adult sinusitis. Otolaryngology-Head and
Neck Surgery. 2015;152(2S):S1-S39.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hasil utama riskesdas 2018.
Kemenkes RI.
7. Dalimunthe, Aisyah S. Gambaran penderita rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik
medan pada tahun 2010. 2012. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31597
8. Snell, Richard S. Anatomi Klinik Edisi 7. Jakarta:EGC. 2010
9. Sedaghat, AR. 2017. Chronic Rhinosinusitis. American Academy of Family
Physician: 96(8): 500-05
10. Lam, K, R. Schleimer, R.C Kern. 2015. The Etiology and pathogenesis of Chronic
Rhinosinusitis: a review oCurrent Hypothesis. HHS, USA: 15(7): 1-10
11. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA,
Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis
dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 17-23
12. Goldenberg, David; et al. Handbook of Otolaryngology – Head and Neck Surgery.
2nd Ed. 2018.
13. Searyoh, K. D. Lubbe. 2018. Complications of Rhinosinusitis. South African Family
Practice: 60 (5); 17-20.
14. Arivalagan, Privina. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam
Malik in Year 2011. E – Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1 Tahun 2013
31