Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

Sinusitis Dentogen

Pembimbing :
dr. Evi Handayani, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :
Ryansyah Ashfin Putra
1102018055

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN THT-KL


RSU DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA SERANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
22 Agustus —24 September 2022
BAB I
PRESENTASI KASUS
A. Identitas Pasien
 Nama : Tn. A
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Usia : 50 tahun
 Pekerjaan : Pegawai swasta
 Suku : Sunda
 Agama : Islam
 Alamat : Singarajan
 Tanggal Masuk RS : 6 september 2022
 Tanggal Pemeriksaan : 6 september 2022

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien
 Keluhan Utama
 Keluar cairan dari hidung
 Keluhan Tambahan :
 Nafas sesak, rasa tersumbat di hidung
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD dr. Drajat Prawiranegara Serang pada pukul
08:00 WIB dengan keluhan keluar cairan dari hidung disertai dengan rasa
tersumbat di hidung serta dnafas sesak sejak 5 bulan yang lalu. Pasien
sebelumnya sudah berkunujung ke poli dua kali tetapi tidak kunjung sembuh.
Keluhan keluarnya cairan dari hidung pertama kali dirasakan pada awal tahun
2022. Pasien juga mengeluhkan sulit tidur karena adanya nyeri pada pipi kanan.
Setelah berkunjung ke poli sebelumnya dan diberikan dan gejala hilang tetapi
setelah beberapa saat nyeri muncul kembali. Pasien juga mengeluhkan adanya
rasa linu pada gigi bagian atas..

2
Tidak ada nyeri dan gatal di hidung. Pasien juga mengeluh nyeri di kedua
pipinya, tetapi pipi kanan lebih nyeri daripada pipi kiri. Pasien mengaku tidak
ada keluhan BAK dan BAB.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi : Disangkal
Diabetes Mellitus : Disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi : Disangkal
Diabetes Mellitus : Disangkal

 Riwayat Alergi
Tidak ada
 Riwayat Pengobatan
Pasien mengonsumsi obat pereda nyeri dari RSUD Drajat Prawiranegara.
Pada tahun 2017 pasien pernah operasi Sinusektomi pada bulan mei.

 Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Pribadi


Sosial : Baik
Ekonomi : Baik
Pribadi : Tidak mengonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.

C. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Komposmentis
 GCS : E4M6V5 15

Tanda Vital
 Tekanan darah : 110/80 mmHg
 Nadi : 82 x/menit
 Pernafasan : 23 x/menit
 Suhu : 36.6 °C

3
Status Generalis
 Kepala : Normocephal
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor,
RCL/RCTL (+/+)
 Leher : Trakea ditengah, massa (-), tidak teraba pembesaran KGB
 Thorax
- Pulmo : Pergerakan dinding dada simetris kanan kiri, suara nafas vesikuler
simetris kanan kiri, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
- Jantung : Bunyi jantung 1 dan 2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
 Abdomen : Tidak dilakukan
 Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat edema (-)
 Neurologis : Tidak dilakukan

Status Lokalis
 Pemeriksaan Telinga
Bagian Kelainan Auris
Dextra Sinistra
 Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
 Radang tumor Tidak ada Tidak ada
Preaurikula
 Trauma Tidak ada Tidak ada
 Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
 Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
 Radang tumor Tidak ada Tidak ada
Aurikula
 Trauma Tidak ada Tidak ada
 Nyeri Tarik Tidak ada Tidak ada
 Edema Tidak ada Tidak ada
 Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Retroaurikula  Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada
 Sikatrik Tidak ada Tidak ada
 Fistula Tidak ada Tidak ada
 Fluktuasi Tidak ada Tidak ada

4
 Kelainan Kongenital  Tidak ada  Tidak ada
 Kulit  Hiperemis (-)  Hiperemis (-)
 Sekret  Tidak ada  Tidak ada
Canalis
 Serumen  Tidak ada  Tidak ada
Akustikus
Eksternus  Edema  Tidak ada  Tidak ada
 Jaringan Granulasi  Tidak ada  Tidak ada
 Massa  Tidak ada  Tidak ada
 Kolestetoma  Tidak ada  Tidak ada
 Bentuk  Normal  Normal
Membran  Warna  Putih mutiara  Putih mutiara
Timpani  Intak  Intak  Intak
 Cahaya  Terlihat cone  Terlihat cone
of light di arah of light di arah
jam 5 jam 7

 Pemeriksaan Garpu Tala


a. Tes Rinne : (+/+)
b. Tes Weber : Tidak ada lateralisasi di telinga kanan dan kiri
c. Tes Swabach : Sama dengan pemeriksa di telinga kanan dan kiri

 Pemeriksaan Hidung
Nasal
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Keadaan  Bentuk
Normal Normal
Luar  Ukuran
Rhinoskopi  Cavum  Sempit (+)  Sempit (+)
Anterior Nasi
 Mukosa  Hiperemis  Hiperemis
 Sekret  Ada  Ada
 Krusta  Tidak ada  Tidak ada
 Concha  Edema  Edema
Inferior
 Septum  Tidak ada deviasi  Tidak ada deviasi

5
Rhinoskopi  Mukosa  Normal  Normal
Posterior  Koana  Normal  Normal
 Sekret  Positif  Positif
 Torus  Normal  Normal
tubarius
 Fossa  Normal  Normal
Rossenmul
ler
 Adenoid  Normal  Normal

 Pemeriksaan Sinus Paranasalis


a. Sinus Maxillaris : : nyeri tekan di pipi (+/+), pipi kanan lebih sakit daripada
kiri
b. Sinus Ethmoidalis : Nyeri tekan di antara kedua bola mata (-/-)
c. Sinus Frontalis : Nyeri tekan di dahi (-/-)
d. Sinus Sphenoidalis : Nyeri tekan di pelipis (-/-)

 Pemeriksaan Mulut dan Tenggorokan


Bagian Kelainan Keterangan
 Mukosa mulut  Hiperemis (-)
 Lidah  Tidak deviasi
 Palatum Mole  DBN
Mulut  Gigi Geligi  Karies & Stain Molar 3
 Uvula  Tidak deviasi
 Halitosis  Tidak ada

 Mukosa  Tidak hiperemis


 Besar  T1-T1
Tonsil  Kripta  Tidak ada
 Detritus  Tidak ada
 Perlengketan  Tidak ada

 Mukosa  Tidak Hiperemis


Faring  Granulasi  Tidak terdapat granulasi

6
Epiglotis  Normal
Kartilago Aritenoid  Normal
Plica Ariepiglotika  Normal
Plica Vestibularis  Normal
Laring Plica Vokalis  Normal
Rima Glotis  Normal
Trakea  Normal

D. Resume
Tn. A datang ke poli THT RSUD dr. Drajat Prawiranegara serang dengan
keluhan keluarnya cairan dari hidung dan nyeri pada pipi bagian kanan sejak awal
tahun 2022. Nyeri pada pipi dirasakan pada pipi kanan bagian atas. Sebelumnya
pasien sudah pernah datang ke poli 3 bulan yang lalu, lalu diberikan oba pereda nyeri,
dan sempat sembuh beberapa saat lalu kambuh lagi. Pasien juga mengatakan bahwa
pasien merasakan nyeri linu pada gigi geraham sebelah kanan dan kiri. Pasien punya
riwayat operasi sinusektomi juni tahun 2022. Pasien tidak punya riwayat
Hipertensi, DM, dan alergi.
Pada pemeriksaan fisik hidung Rhinoskopi Anterior didapat Cavum Nasi
sempit (+/+), Mukosa hiperemis (+/+), Sekret (+/+), serta Concha Inferior edema
(+/+). Pada pemeriksaan sinus paranasalis didapat nyeri tekan pada pipi kanan
dan kiri pasien.

E. Saran Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboraturium
- Darah Lengkap : Hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, Masa
perdarahan (Bleeding Time) dan pembekuan (Clotting Time)
- Gula Darah : GDS
- HBsAg Kualitatif
- Profil Lipid : Kolesterol Total, Trigliserida, HDL, LDL
- Faal Ginjal : Ureum, Kreatinin, Asam Urat
- Swab Antigen
b. Foto Rontgen Sinus Paranasali

7
Hasil Foto Sinus Paranasalis

Interpretasi Foto Rontgen Sinus Paranasalis :


 Sinusitis Maxilaris , Ethmoidalis, dan frontalis dalam batas normal
 Concha Nasal Menebal
 Septum nasi masih ditengah

F. Diagnosis
Diagnosis Klinis Diagnosis Banding
Rhinosinusitis
Sinusitis Maxillaris Et Causa
Rhinitis Alergi
Dentogen
Rhinitis Vasomotor

G. Tatalaksana
Medikamentosa Operasi
 Rawat Jalan  FESS/BSEF
 Clindamycin 300 mg 3x1 (Functional Endoscopy Sinus Surgery /
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
 Tremenza tab 2x1
 Na Diklofenak 50 mg 2x1

8
H. Prognosis
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad functionam : ad bonam
 Quo ad sanationam : ad bonam

I. Follow up
Senin, 29/12/2021
S O A P
Keluar cairan dari TD : 110/80 mmHg Sinusitis Maxillaris  Rawat Jalan
hidung kanan. Suhu : 36, C
O
Et Causa Dentogen  Kontrol ke
dokter gigi
Nafas sesak, rasa Nadi : 82x/menit untuk
pencabutan
tersumbat di SpO2 : 98%
hidung. Pasien RR : 23x/menit  Clindamycin
300 mg 3x1
sudah kontrol ke Nyeri tekan di pipi
 Tremenza tab
dokter gigi dan kanan 2x1
disarankan untuk  Na Diklofenak
mencabut gigi 50 mg 2x1

pasien. Nyeri tekan


maxilla kanan +

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung
2.1.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di antara pipi
dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu yang
paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan. Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah1 :
 Pangkal hidung (bridge),
 Dorsum nasi,
 Puncak hidung,
 Ala nasi,
 Kolumela, dan
 Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

10
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :

 Tulang hidung (os nasal),


 Prosesus frontalis os maksila, dan
 Prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yangterletak di bagian bawah hidung, yaitu :
 Sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
 Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alarmayor,
 Beberapa pasang kartilago alar minor, dan
 Tepi anterior kartilago septum.

Gambar 2. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung Luar

11
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Sedangkan bagian tulang adalah1 :
 Lamina perpendikularis os etmoid,
 Os vomer,
 Krista nasalis os maksila, dan
 Krista nasalis os palatina.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum
pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut agger nasi dan di belakangnya
terdapat konka-konka yangmengisi sebagian besar dinding lateral hidung1.

Gambar 3. Septum Nasi


Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, yang
lebih kecil lagiialah konka superior, dan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini bersifat rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid1.

12
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus, yaitu meatus
inferior, medianus dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior.
Meatus superior merupakan ruang di antara konka superior dan konka media. Pada
meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid1.

Gambar 4. Dinding Lateral Cavum Nasi


Dinding inferior rongga hidung merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk
olehos maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentukoleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga
hidung. Laminakribriformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid,
tulang ini berlubang-lubang (kribrosa/saringan) sebagai tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk
oleh os sfenoid1.

13
Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah1 :
 Prosesus unsinatus,
 Infundibulum etmoid
 Hiatus semilunaris
 Bula etmoid
 Agger nasi, dan
 Resesus frontal.
KOM merupakan unit fungsional yang berfungsi sebagai tempat ventilasi dan
drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, sinus frontal,
dan sinus etmoidalis superior.

Gambar 5. Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Perdarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoidalis anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari

14
foramen sfenopalatina bersama
n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,
a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung),
terutama pada anak. Pada bagian posterior, terdapat plexus Woodruff yang dibentuk
oleh anastomosis dari a. sfenopalatina, a. nasalis posterior, dan a. faringeal
ascendens

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi hingga ke intrakranial1.

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion
sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabutserabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.
petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media 1.
Sedangkan fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun
dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian

15
berakhir pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung 1.

Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernapasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh cilliated
pseudostratified collumnar epithellium yang mempunyai silia dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertigabagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh pseudostratified columnar
non-ciliatedepithellium. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,
sel basal dan selreseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan 1.

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal
mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir
(mucous blanket)pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel
goblet pada epitel dan kelenjarseruminosa submukosa1.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat-obatan 1.

2.1.2 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, revolusioner dan fungsional, fungsi fisiologis

16
hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu, karena
terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,
membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; serta 5) refleksnasal1.
A. Sebagai Jalan Napas
Pada saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara iniberbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudianmengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di
bagian depan aliran udaramemecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk
pusaran dan bergabung denganaliran dari nasofaring 1.
B. Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udarayang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

a) Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya 1.
b) Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara
setelah melalui hidung kurang lebih 37OC1.

C. Sebagai Penyaring dan Pelindung


Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :
a) Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
17
b) Silia
c) Palut lendir (mucous blanket).
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke
nasofaring olehgerakan silia1.

D. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengankuat1.

E. Resonansi Suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau1.

F. Proses Bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m, n, ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun
untuk aliran udara 1.

G. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contohnya, iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas1.

18
2.2 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasalis
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang
sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung1.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun1.

Gambar 6. Sinus Paranasalis


2.2.1 Sinus Maksilaris
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa1.
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan

19
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid1.Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2),molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar M3, bahkan akar- akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naikke atas menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis
maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita;
3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui
infundibulum yang sempit.Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior
dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis1.

2.2.2 Sinus Frontalis


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus,berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun 1.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari
pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Ukuran sinus
frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal
biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari
orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar
ke daerah ini1.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
20
frontal, yangberhubungan dengan infundibulum etmoid 1.

2.2.3 Sinus Ethmoidalis

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi
2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagiananterior dan 1,5 cm di bagian posterior1.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel-sel sinus etmoid' anterior biasanyakecilkecil dan banyak, letaknya di
depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior
biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari
lamina basalis1.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila 1.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid1.

21
2.2.4 Sinus Sphenoidalis

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.


Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan
nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga
sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid 1.

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan
sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
sebelahposteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons1.
2.3 Sinusitis

2.3.1 Definisi

Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau


dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Istilah rhinosinusitis lebih
sering dipakai daripada sinusitis, oleh karena sinusitis selalu diikuti juga dengan
adanya peradangan pada mukosa cavum nasi4. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis1.
Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus
frontallebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut
juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi
mudah menyebar ke sinus,disebut sinusitis dentogen 1.

Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke


orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit
diobati1.

22
2.3.2 Etiologi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacamrinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanital hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil , infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah
penyakit fibrosis kistik1.
Pada anak, hipertrofi adeniod merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adeniodektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral1.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-kelamaan dapat
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia1.

2.3.3 Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya


klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan 1.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostiumtersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini
bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan 1.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
23
antibiotik 1.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin
membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya
perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip
dan kista. Pada keadaanini mungkin diperlukan tindakan operasi1.

2.3.4 Klasifikasi

Rhinosinusitis dibagi menjadi dua berdasarkan durasinya yaitu akut, sub


aku, dan kronis. Disebut akut jika durasinya kurang dari 4 minggu, subakut antara
4 minggu sampai 3 bulan, kronis jika durasinya berlangsung selama 3 bulan atau
lebih dengan dua atau lebihgejala dan keluhan berupa4:
a. Drainase yang mukopurulen (anterior, posterior, atau keduanya)

b. Kongesti pada hidung

c. Nyeri pada wajah karena tekanan, atau

d. Menurunnya daya pembauan

Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan


dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik
adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas1.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis
akut adalah Streptococcus pneumonia (30-50%). Hemophylus influenzae
(20-40%) dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M.catarrhalis lebih banyak
ditemukan (20%) 1.
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya
bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri negatif gram dan anaerob 1.
Klasifikasi Sinusitis menurut American Academy of Otolaryngic Allergy
(AAOA)dan American Rhinologic Society (ARS) 4 :
a) Rinosinusitis akut (RSA)

24
Bila gejala Sinusitis berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul
mendadak, biasanya akibat infeksi virus dan sembuh sebelum 4 minggu. Setelah itu
seluruh gejala akan menghilang. Gejala RSA viral yang memburuk setelah 5 hari
atau gejala yang menetap setelah 10 hari menunjukkan adanya infeksi kuman (RSA
bakterial) 4.

b) Rinosinusitis akut berulang (Recurrent acute rhinosinusitis)

Gejala dan tanda sesuai dengan RSA, tetapi memburuk setelah 5 hari atau
menetap selama lebih dari 10 hari. Kriteria gejala untuk RSA berulang identik
dengan kriteria untuk RSA. Episode serangan berlangsung selama 7-10 hari.
Selanjutnya episode berulang terjadi sampai 4 atau lebih dalam 1 tahun. Diantara
masing-masing episode terdapat periode bebas gejala tanpa terapi antibiotik 4.
c) Rinosinusitis sub akut (RSSA).

RS dengan gejala yang berlangsung antara 4 sampai 12 minggu. Kondisi


ini merupakan kelanjutan perkembangan RSA yang tidak menyembuh dalam 4
minggu. Gejala lebih ringan dari RSA. Penderita RSSA mungkin sebelumnya
sudah mendapat terapi RSA tetapi mengalami kegagalan atau terapinya tidak
adekuat4.
d) Rinosinusitis kronis (RSK).

Bila gejala RS berlangsung lebih dari 12 minggu 4.

e) Rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut.

RSK pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Pada suatu saat dapat
terjadi gejala yang tiba-tiba memburuk karena infeksi yang berulang. Gejala akan
kembali seperti semula setelah pengobatan dengan antibiotik akan tetapi tidak
menyembuh 4.
Berdasarkan kualitas gejalanya RSA dapat dikelompokkan dalam kategori
ringan (non severe) dan berat (severe) 4 :
a) RSA ringan (non-severe acute sinusitis):

 Rinore

25
 Hidung tersumbat

 Batuk

 Sakit kepala/wajah ringan

 Demam tidak ada/ringan

b) RSA berat (severe acute sinusitis):

 Rinore purulen (kental,berwarna)

 Hidung tersumbat

 Sakit kepala/wajah berat

 Udem periorbital

 Demam tinggi

 Nyeri Kepala

 Nyeri Geraham

 Halitosis (Bau Mulut)

Diagnosis ditegakkan didasarkan atas adanya 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor
disertai 2 gejala minor.

2.3.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaanpenunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan naso- endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat
dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila
dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid
posterior dan sfenoid)1.
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering
adapembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius1.
26
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan(air fluid level) atau penebalan mukosa1.
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau
pra-operasi sebagai panduan operatorsaat melakukan operasi sinus1.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap.

Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya1.

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan


mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang
tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
maksila1.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila
melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila
yang sebenarnya,selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi1.

2.3.6 Tatalaksana

Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah


komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih
secara alami1.
Terapi Medikamentosa

A. Antibiotik

Merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan

27
infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik
diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis
kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob 1.
B. Dekongestan

Juga merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial bersama antibiotik.
Obat yang digunakan pada umumnya adalah perangsang reseptor α-adrenergik,
yang dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh kapiler mukosa rongga
hidung sehingga mengurangi udem dan menghilangkan sumbatan hidung serta
mengembalikan patensi ostia sinus. Dapat diberikan dalam bentuk topikal (tetes
atau semprot hidung) maupun sistemik(oral). Penggunaan dibatasi tidak lebih dari
5 hari karena pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya rinitis
medikamentosa. Pemberian dekongestan sistemik harus hati-hati dan sebaiknya
tidak digunakan pada penderita dengan kelainan kardiovaskular, hipertiroid atau
hipertropi prostat4.

C. Kortikosteroid

Kortikosteroid topikal bermanfaat pada pengobatan RSA maupun RSK baik


dengan atau tanpa latar belakang alergi. Dapat mengurangi inflamasi dan
mengurangi sensitifitas reseptor kolinergik mukosa rongga hidung sehingga
mengurangi sekresi. Beberapa kortikosteroid yang tersedia dalam bentuk semprot
hidung diantaranya adalah beklometason, flutikason, mometason 4.
Kortikosteroid sistemik banyak bermanfaat pada RSK dengan
pembentukan polipatau pada allergic fungal rhinosinusitis 4.

D. Antihistamin

Tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan


sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin
generasi ke-2 (loratadin, setirizin, terfenadin) atau turunannya seperti desloratadin,
28
levosetirizin maupun feksofenadin 4.

Tindakan Operasi

A. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF / FESS)

Merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.


Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu
karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal1.
Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip
ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur 1.
Terapi yang diberikan tiga hari setelah operasi berupa7 :

a. Ceftriaxone 1x2 gram Intravena selama 1-3 hari, lalu dilanjutkan/atau


gantiantibiotik oral selama 7-14 hari
b. Paracetamol 3x500-1000 mg Intravena atau Tramadol 2x50-100 mg
Intravenaatau Ketorolac 3x10-30 mg Intravena sebagai anti nyeri
c. Jika perlu, Ranitidine 2x150 mg Intravena untuk menurunkan asam lambung

d. Jika perlu Metilprednisolon 3x125 mg Intravena

e. Jika perlu Pseudoefedrin HCl 2x30 mg oral untuk mengatasi hidung


tersumbat

f. Jika perlu Loratadin 1x10 mg oral untuk anti alergi dan rhinitis

g. Jika perlu Asam Traneksamat 3x500 mg Intravena untuk


menghentikanperdarahan

2.3.7 Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya


antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada
sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau
29
intrakranial1.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
maksila .Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus1.
Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus 1.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa:

 Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis


frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus
maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi1.
Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnyadisembuhkan 1
2.3.8 Prognosis

Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya.


Namun, sinusitis yang rumit dapat menyebabkan morbiditas dan, dalam kasus
yang jarang terjadi,kematian 3.
Sekitar 40% kasus sinusitis akut sembuh secara spontan tanpa antibiotik.
Penyembuhan spontan untuk sinusitis virus adalah 98%. Pasien dengan sinusitis
akut, biladiobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang
cepat. Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang berhasil kurang dari 5% 3.
Karena sifatnya yang persisten, sinusitis kronis dapat menjadi penyebab
morbiditas yang signifikan. Jika tidak diobati, dapat mengurangi kualitas hidup dan
produktivitas orang yang terkena 2.

Sinusitis kronis dikaitkan dengan eksaserbasi asma dan komplikasi serius


seperti abses otak dan meningitis, yang dapat menghasilkan morbiditas dan

30
mortalitas yang signifikan2. Perawatan medis dini dan agresif untuk sinusitis kronis
biasanya menghasilkan hasil yang memuaskan. Pembedahan sinus endoskopi
fungsional (FESS) mengembalikankesehatan sinus dengan menghilangkan gejala
secara lengkap atau sedang pada 80-90% pasien dengan sinusitis kronis berulang
atau tidak responsif secara medis 2. Sinusitis kronis jarang mengancam nyawa,
meskipun komplikasi serius dapat terjadi karena kedekatannya dengan orbit dan
rongga tengkorak. Sekitar 75% dari semua infeksi orbital berhubungan langsung
dengan sinusitis. Komplikasi intrakranial relatif jarang terjadi, dengan 3,7-10%
infeksi intrakranial berhubungan dengan sinusitis2.

2.4 Sinusitis Dentogen

Sinusitis Dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus
maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila
hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang
pembatas lnfeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan
periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang'mengenai satu sisi
dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang
terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob.
Seringkalijuga perlu dilakukan ingasi sinus maksila

31
DAFTAR PUSTAKA

1. EA Soepardi, N Iskandar, J Bashiruddin, RD Restuti. 2007. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI
2. Brook, I. 2019. Chronic Sinusitis. https://emedicine.medscape.com/article/232791-
overview.
3. Brook, I. 2021. Acute Sinusitis. https://emedicine.medscape.com/article/232670-
overview#showall
4. R, Teuku Husni. 2015. Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis.
http://conference.unsyiah.ac.id/TIFK/1/paper/viewFile/783/78
5. Watson D. Septoplasty. Medscape, 2019.

https://emedicine.medscape.com/article/877677-overview

6. Budiman BJ, Asyari A. 2012. Pengukuran Sumbatan Hidung Pada Deviasi Septum
Nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas : Padang. Available at :
http://repository.unand.ac.id/17339/1/Pengukuran_Sumbatan_Hidung_Pada_Devia
si_Septum.pdf
7. PERHATI-KL. 2015. PANDUAN PRAKTIK KLINIS, PANDUAN PRAKTIK
KLINIS PROSEDUR TINDAKAN, DAN CLINICAL PATHWAYS, Volume 1.
Dapat diakses : http://perhati-kl.or.id/wp-content/uploads/2017/05/ppk-perhati-
vol1-okt2015.pdf

32

Anda mungkin juga menyukai