Sinusitis Dentogen
Pembimbing :
dr. Evi Handayani, Sp. THT-KL
Disusun Oleh :
Ryansyah Ashfin Putra
1102018055
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien
Keluhan Utama
Keluar cairan dari hidung
Keluhan Tambahan :
Nafas sesak, rasa tersumbat di hidung
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD dr. Drajat Prawiranegara Serang pada pukul
08:00 WIB dengan keluhan keluar cairan dari hidung disertai dengan rasa
tersumbat di hidung serta dnafas sesak sejak 5 bulan yang lalu. Pasien
sebelumnya sudah berkunujung ke poli dua kali tetapi tidak kunjung sembuh.
Keluhan keluarnya cairan dari hidung pertama kali dirasakan pada awal tahun
2022. Pasien juga mengeluhkan sulit tidur karena adanya nyeri pada pipi kanan.
Setelah berkunjung ke poli sebelumnya dan diberikan dan gejala hilang tetapi
setelah beberapa saat nyeri muncul kembali. Pasien juga mengeluhkan adanya
rasa linu pada gigi bagian atas..
2
Tidak ada nyeri dan gatal di hidung. Pasien juga mengeluh nyeri di kedua
pipinya, tetapi pipi kanan lebih nyeri daripada pipi kiri. Pasien mengaku tidak
ada keluhan BAK dan BAB.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi : Disangkal
Diabetes Mellitus : Disangkal
Riwayat Alergi
Tidak ada
Riwayat Pengobatan
Pasien mengonsumsi obat pereda nyeri dari RSUD Drajat Prawiranegara.
Pada tahun 2017 pasien pernah operasi Sinusektomi pada bulan mei.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Komposmentis
GCS : E4M6V5 15
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Pernafasan : 23 x/menit
Suhu : 36.6 °C
3
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor,
RCL/RCTL (+/+)
Leher : Trakea ditengah, massa (-), tidak teraba pembesaran KGB
Thorax
- Pulmo : Pergerakan dinding dada simetris kanan kiri, suara nafas vesikuler
simetris kanan kiri, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
- Jantung : Bunyi jantung 1 dan 2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat edema (-)
Neurologis : Tidak dilakukan
Status Lokalis
Pemeriksaan Telinga
Bagian Kelainan Auris
Dextra Sinistra
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Radang tumor Tidak ada Tidak ada
Preaurikula
Trauma Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Radang tumor Tidak ada Tidak ada
Aurikula
Trauma Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tarik Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Retroaurikula Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Fistula Tidak ada Tidak ada
Fluktuasi Tidak ada Tidak ada
4
Kelainan Kongenital Tidak ada Tidak ada
Kulit Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret Tidak ada Tidak ada
Canalis
Serumen Tidak ada Tidak ada
Akustikus
Eksternus Edema Tidak ada Tidak ada
Jaringan Granulasi Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Kolestetoma Tidak ada Tidak ada
Bentuk Normal Normal
Membran Warna Putih mutiara Putih mutiara
Timpani Intak Intak Intak
Cahaya Terlihat cone Terlihat cone
of light di arah of light di arah
jam 5 jam 7
Pemeriksaan Hidung
Nasal
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Keadaan Bentuk
Normal Normal
Luar Ukuran
Rhinoskopi Cavum Sempit (+) Sempit (+)
Anterior Nasi
Mukosa Hiperemis Hiperemis
Sekret Ada Ada
Krusta Tidak ada Tidak ada
Concha Edema Edema
Inferior
Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
5
Rhinoskopi Mukosa Normal Normal
Posterior Koana Normal Normal
Sekret Positif Positif
Torus Normal Normal
tubarius
Fossa Normal Normal
Rossenmul
ler
Adenoid Normal Normal
6
Epiglotis Normal
Kartilago Aritenoid Normal
Plica Ariepiglotika Normal
Plica Vestibularis Normal
Laring Plica Vokalis Normal
Rima Glotis Normal
Trakea Normal
D. Resume
Tn. A datang ke poli THT RSUD dr. Drajat Prawiranegara serang dengan
keluhan keluarnya cairan dari hidung dan nyeri pada pipi bagian kanan sejak awal
tahun 2022. Nyeri pada pipi dirasakan pada pipi kanan bagian atas. Sebelumnya
pasien sudah pernah datang ke poli 3 bulan yang lalu, lalu diberikan oba pereda nyeri,
dan sempat sembuh beberapa saat lalu kambuh lagi. Pasien juga mengatakan bahwa
pasien merasakan nyeri linu pada gigi geraham sebelah kanan dan kiri. Pasien punya
riwayat operasi sinusektomi juni tahun 2022. Pasien tidak punya riwayat
Hipertensi, DM, dan alergi.
Pada pemeriksaan fisik hidung Rhinoskopi Anterior didapat Cavum Nasi
sempit (+/+), Mukosa hiperemis (+/+), Sekret (+/+), serta Concha Inferior edema
(+/+). Pada pemeriksaan sinus paranasalis didapat nyeri tekan pada pipi kanan
dan kiri pasien.
7
Hasil Foto Sinus Paranasalis
F. Diagnosis
Diagnosis Klinis Diagnosis Banding
Rhinosinusitis
Sinusitis Maxillaris Et Causa
Rhinitis Alergi
Dentogen
Rhinitis Vasomotor
G. Tatalaksana
Medikamentosa Operasi
Rawat Jalan FESS/BSEF
Clindamycin 300 mg 3x1 (Functional Endoscopy Sinus Surgery /
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
Tremenza tab 2x1
Na Diklofenak 50 mg 2x1
8
H. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
I. Follow up
Senin, 29/12/2021
S O A P
Keluar cairan dari TD : 110/80 mmHg Sinusitis Maxillaris Rawat Jalan
hidung kanan. Suhu : 36, C
O
Et Causa Dentogen Kontrol ke
dokter gigi
Nafas sesak, rasa Nadi : 82x/menit untuk
pencabutan
tersumbat di SpO2 : 98%
hidung. Pasien RR : 23x/menit Clindamycin
300 mg 3x1
sudah kontrol ke Nyeri tekan di pipi
Tremenza tab
dokter gigi dan kanan 2x1
disarankan untuk Na Diklofenak
mencabut gigi 50 mg 2x1
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung
2.1.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di antara pipi
dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu yang
paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan. Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah1 :
Pangkal hidung (bridge),
Dorsum nasi,
Puncak hidung,
Ala nasi,
Kolumela, dan
Lubang hidung (nares anterior)
10
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
11
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Sedangkan bagian tulang adalah1 :
Lamina perpendikularis os etmoid,
Os vomer,
Krista nasalis os maksila, dan
Krista nasalis os palatina.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum
pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut agger nasi dan di belakangnya
terdapat konka-konka yangmengisi sebagian besar dinding lateral hidung1.
12
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus, yaitu meatus
inferior, medianus dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior.
Meatus superior merupakan ruang di antara konka superior dan konka media. Pada
meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid1.
13
Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah1 :
Prosesus unsinatus,
Infundibulum etmoid
Hiatus semilunaris
Bula etmoid
Agger nasi, dan
Resesus frontal.
KOM merupakan unit fungsional yang berfungsi sebagai tempat ventilasi dan
drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, sinus frontal,
dan sinus etmoidalis superior.
Perdarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoidalis anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari
14
foramen sfenopalatina bersama
n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,
a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung),
terutama pada anak. Pada bagian posterior, terdapat plexus Woodruff yang dibentuk
oleh anastomosis dari a. sfenopalatina, a. nasalis posterior, dan a. faringeal
ascendens
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion
sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabutserabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.
petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media 1.
Sedangkan fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun
dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
15
berakhir pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung 1.
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernapasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh cilliated
pseudostratified collumnar epithellium yang mempunyai silia dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertigabagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh pseudostratified columnar
non-ciliatedepithellium. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,
sel basal dan selreseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan 1.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal
mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir
(mucous blanket)pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel
goblet pada epitel dan kelenjarseruminosa submukosa1.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat-obatan 1.
16
hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu, karena
terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,
membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; serta 5) refleksnasal1.
A. Sebagai Jalan Napas
Pada saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara iniberbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudianmengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di
bagian depan aliran udaramemecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk
pusaran dan bergabung denganaliran dari nasofaring 1.
B. Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udarayang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a) Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya 1.
b) Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara
setelah melalui hidung kurang lebih 37OC1.
D. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengankuat1.
E. Resonansi Suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau1.
F. Proses Bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m, n, ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun
untuk aliran udara 1.
G. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contohnya, iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas1.
18
2.2 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasalis
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang
sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung1.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun1.
19
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid1.Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2),molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar M3, bahkan akar- akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naikke atas menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis
maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita;
3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui
infundibulum yang sempit.Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior
dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis1.
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi
2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagiananterior dan 1,5 cm di bagian posterior1.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel-sel sinus etmoid' anterior biasanyakecilkecil dan banyak, letaknya di
depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior
biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari
lamina basalis1.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila 1.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid1.
21
2.2.4 Sinus Sphenoidalis
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan
sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
sebelahposteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons1.
2.3 Sinusitis
2.3.1 Definisi
22
2.3.2 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacamrinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanital hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil , infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah
penyakit fibrosis kistik1.
Pada anak, hipertrofi adeniod merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adeniodektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral1.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-kelamaan dapat
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia1.
2.3.3 Patofisiologi
2.3.4 Klasifikasi
24
Bila gejala Sinusitis berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul
mendadak, biasanya akibat infeksi virus dan sembuh sebelum 4 minggu. Setelah itu
seluruh gejala akan menghilang. Gejala RSA viral yang memburuk setelah 5 hari
atau gejala yang menetap setelah 10 hari menunjukkan adanya infeksi kuman (RSA
bakterial) 4.
Gejala dan tanda sesuai dengan RSA, tetapi memburuk setelah 5 hari atau
menetap selama lebih dari 10 hari. Kriteria gejala untuk RSA berulang identik
dengan kriteria untuk RSA. Episode serangan berlangsung selama 7-10 hari.
Selanjutnya episode berulang terjadi sampai 4 atau lebih dalam 1 tahun. Diantara
masing-masing episode terdapat periode bebas gejala tanpa terapi antibiotik 4.
c) Rinosinusitis sub akut (RSSA).
RSK pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Pada suatu saat dapat
terjadi gejala yang tiba-tiba memburuk karena infeksi yang berulang. Gejala akan
kembali seperti semula setelah pengobatan dengan antibiotik akan tetapi tidak
menyembuh 4.
Berdasarkan kualitas gejalanya RSA dapat dikelompokkan dalam kategori
ringan (non severe) dan berat (severe) 4 :
a) RSA ringan (non-severe acute sinusitis):
Rinore
25
Hidung tersumbat
Batuk
Hidung tersumbat
Udem periorbital
Demam tinggi
Nyeri Kepala
Nyeri Geraham
Diagnosis ditegakkan didasarkan atas adanya 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor
disertai 2 gejala minor.
2.3.5 Diagnosis
2.3.6 Tatalaksana
A. Antibiotik
27
infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik
diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis
kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob 1.
B. Dekongestan
Juga merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial bersama antibiotik.
Obat yang digunakan pada umumnya adalah perangsang reseptor α-adrenergik,
yang dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh kapiler mukosa rongga
hidung sehingga mengurangi udem dan menghilangkan sumbatan hidung serta
mengembalikan patensi ostia sinus. Dapat diberikan dalam bentuk topikal (tetes
atau semprot hidung) maupun sistemik(oral). Penggunaan dibatasi tidak lebih dari
5 hari karena pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya rinitis
medikamentosa. Pemberian dekongestan sistemik harus hati-hati dan sebaiknya
tidak digunakan pada penderita dengan kelainan kardiovaskular, hipertiroid atau
hipertropi prostat4.
C. Kortikosteroid
D. Antihistamin
Tindakan Operasi
f. Jika perlu Loratadin 1x10 mg oral untuk anti alergi dan rhinitis
2.3.7 Komplikasi
30
mortalitas yang signifikan2. Perawatan medis dini dan agresif untuk sinusitis kronis
biasanya menghasilkan hasil yang memuaskan. Pembedahan sinus endoskopi
fungsional (FESS) mengembalikankesehatan sinus dengan menghilangkan gejala
secara lengkap atau sedang pada 80-90% pasien dengan sinusitis kronis berulang
atau tidak responsif secara medis 2. Sinusitis kronis jarang mengancam nyawa,
meskipun komplikasi serius dapat terjadi karena kedekatannya dengan orbit dan
rongga tengkorak. Sekitar 75% dari semua infeksi orbital berhubungan langsung
dengan sinusitis. Komplikasi intrakranial relatif jarang terjadi, dengan 3,7-10%
infeksi intrakranial berhubungan dengan sinusitis2.
Sinusitis Dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus
maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila
hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang
pembatas lnfeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan
periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang'mengenai satu sisi
dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang
terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob.
Seringkalijuga perlu dilakukan ingasi sinus maksila
31
DAFTAR PUSTAKA
https://emedicine.medscape.com/article/877677-overview
6. Budiman BJ, Asyari A. 2012. Pengukuran Sumbatan Hidung Pada Deviasi Septum
Nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas : Padang. Available at :
http://repository.unand.ac.id/17339/1/Pengukuran_Sumbatan_Hidung_Pada_Devia
si_Septum.pdf
7. PERHATI-KL. 2015. PANDUAN PRAKTIK KLINIS, PANDUAN PRAKTIK
KLINIS PROSEDUR TINDAKAN, DAN CLINICAL PATHWAYS, Volume 1.
Dapat diakses : http://perhati-kl.or.id/wp-content/uploads/2017/05/ppk-perhati-
vol1-okt2015.pdf
32