Disusun Oleh:
Muhammad Imam Fitrah
1965050113
Dosen Pembimbing:
dr. Fransiskus Harf Poluan, Sp.THT-KL
Otitis media supuratif kronis (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau
hilang timbul.1 Durasi otorea pada kasus OMSK masih belum ada kesepakatan. World He
alth Organization (WHO) menyatakan otorea minimal 2 minggu sudah masuk dalam kate
gori OMSK, namun ahli-ahli THT menyatakan durasi lebih dari tiga bulan merupakan kas
us OMSK, sedangkan literatur lain menyatakan lebih dari enam minggu. 2 Otorea dapat ter
jadi terus menerus atau hilang timbul.
Angka kejadian OMSK di negara-negara berkembang lebih banyak dibandingkan n
egara maju. Hal ini disebabkan oleh faktor sosioekonomi, hygiene buruk dan kepadatan p
enduduk. OMSK biasanya terjadi pada sosial ekonomi rendah, area pedesaan dengan keb
ersihan dan faktor nutrisi yang kurang. Faktor risiko OMSK yang lainnya yaitu infeksi sal
uran pernafasan atas yang sering, status imun yang buruk dan perokok pasif. Prevalensi m
orbiditas pada kasus telinga dan gangguan pendengaran di Indonesia cukup tinggi, yaitu s
ebesar 18,5% sedangkan prevalensi OMSK di Indonesia antara 3-5,2% atau kurang lebih
6,6 juta penduduk Indonesia menderita OMSK.3
OMSK dapat menyebabkan beberapa komplikasi dan kadang mengancam jiwa sepe
rti kehilangan pendengaran, meningitis, abses serebri, mastoiditis, parese nervus fasial, ko
lestatoma, jaringan granulasi dan empiema subdural.3
BAB II
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. S
b. Umur : 29 tahun
c. Alamat : Kelurahan rambutan RT 004/002 Jakarta Timur
d. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
e. Pendidikan terakhir : SD
f. Suku : Betawi
g. Agama : Islam
h. Status : Menikah
2. Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama : Keluar cairan dari telinga kanan
b. Keluhan Tambahan : penurunan pendengaran pada telinga kanan
6. Pemeriksaan Fisik
STATUS GENERALIS
a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tekanan darah : 120/80 mmHg
d. Frekuensi nadi : 94 kali/menit
e. Frekuensi napas : 20 kali/menit
f. Suhu : 36,2oC
g. Kepala : Normocephali
h. Mata : CA -/-, SI -/-
i. Leher : KGB tidak teraba teraba membesar
j. Mata : Konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
k. Thorak :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Bising nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari di Linea Mid-clavicularis Sinistra ICS V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung dalam batas normal, tidak terdapat bunyi
jantung tambahan
l. Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : BU (+) 4x/menit
Palpasi : Hati dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
m. Ekstremitas
Reflex fisiologis : +/+
Reflex patologis : -/-
Oedem tungkai : -/-
Akral hangat : +/+
Sianosis : -/-
n. Integumen : kulit sawo matang, urtikaria (-)
Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Bentuk luar Normal, simetris
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Hidung luar Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Krepitasi Tidak ada Tidak ada
Hidung Dalam
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Vestibulum Nasi Furunkel Tidak ada Tidak ada
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Sinus paranasal
Pemerikssan Kelainan Dextra Sinistra
Sinus Maksilaris Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Sinus Frontalis Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Tenggorokan
Pemeriksaan Kelainan Hasil Pemeriksaan
Tonsil Ukuran T1-T1
Kripta Tidak melebar
Detritus Tidak ada
Perlekatan Tidak ada
Permukaan Licin
Faring Massa Tidak ada
Warna Merah muda
Perlekatan Tidak ada
Gigi Lengkap, tidak ada gigi yang berlubang
Gusi Tidak ada bengkak dan perdarahan
Lidah Dalam batas normal
Kelenjar liur Dalam batas normal
Kelainan Lain Tidak ada
Kelenjar limfoid Tidak teraba membesar
Leher
Kelainan lain Tidak ada
9. Diagnosa Banding : Otitis Media Akut stadium perforasi, Otitis media supurati
f kronis maligna
10. Tatalaksana:
Non-medikamentosa:
Ear Toilet AD
Dianjurkan tidak mengorek telinga dan berenang dulu dalam masa pengobatan
Medikamentosa:
Antibiotik oral golongan penisilin (amoxicilin), ampisilin dan eritromisin
sebelum hasil test resistensi keluar
observasi 2 bulan
bila membran timpani belum menutup lakukan miringoplasti atau timpanoplasti
11. Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Patofisiologi2
Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang berhubungan dengan
tuba eustakhius, baik faktor lingkungan, faktor genetik, maupun faktor anatomik.
Tuba eustakhius memiliki fungsi penting yang berhubungan dengan kavum timpani,
diantaranya fungsi ventilasi, fungsi proteksi, dan fungsi drainase. Penyebab
endogen maupun eksogen dapat mengganggu fungsi tuba dan menyebabkan otitis
media. Penyebab endogen misalnya gangguan silia pada tuba, deformitas palatum,
atau gangguan otot-otot dilatator tuba. Penyebab eksogen misalnya infeksi atau
alergi yang menyebabkan inflamasi pada muara tuba.
Mayoritas OMSK merupakan kelanjutan atau komplikasi otitis media akut
(OMA) yang mengalami perforasi. Namun, OMSK juga dapat terjadi akibat
kegagalan pemasangan pipa timpanostomi (gromet tube) pada kasus otitis media
efusi (OME). Perforasi membran timpani gagal untuk menutup spontan, sehingga
mudah terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari lingkungan.
Keadaan ini menyebabkan otorea yang persisten.
Infeksi kronis ataupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorokan
dapat menyebabkan gangguan fungsi tuba eustakhius sehingga kavum timpani
mudah mengalami gangguan fungsi hingga infeksi dengan otorea terus-menerus
atau hilang timbul. Peradangan pada membran timpani menyebabkan proses
kongesti vaskuler, mengakibatkan terjadi iskemi pada suatu titik, yang selanjutnya
terjadi titik nekrotik yang berupa bercak kuning. Bila disertai tekanan akibat
penumpukan discharge dalam kavum timpani dapat mempermudah terjadinya
perforasi membran timpani. Perforasi yang menetap akan menyebabkan rongga
timpani selalu berhubungan dengan dunia luar, sehingga kuman yang berasal dari
kanalis auditorius eksternus dan dari udara luar dapat dengan bebas masuk ke dalam
kavum timpani. Kuman yang bebas masuk ke dalam kavum timpani menyebabkan
infeksi yang mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus. Keadaan
kronik ini ditetapkan berdasarkan waktu dan penggolongan stadium didasarkan
pada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran patologi
disebabkan oleh proses yang bersifat eksaserbasi atau persisten, efek dari kerusakan
jaringan, serta pembentukan jaringan sikatrik.
Selama fase aktif, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa
sekretorik yang memiliki sel goblet yang mengekskresi sekret mukoid atau
mukopurulen. Adanya infeksi aktif dan sekret persisten yang berlangsung lama
menyebabkan mukosa mengalami proses pembentukan jaringan granulasi dan atau
polip. Jaringan patologis dapat menutup membran timpani, sehingga menghalangi
drainase. Keadaan seperti ini menyebabkan OMSK menjadi penyakit persisten.
Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses penutupannya
dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamosa masuk ke telinga tengah, kemudian
terjadi proses deskuamasi normal yang akan mengisi telinga tengah dan antrum
mastoid, selanjutnya membentuk kolesteatoma akuisita sekunder. Kolesteatoma
merupakan media yang cukup sesuai bagi pertumbuhan kuman patogen dan bakteri
pembusuk. Kolesteatoma bersifat destruktif, sehingga mampu menghancurkan
tulang di sekitarnya termasuk rangkaian tulang pendengaran oleh reaksi erosi dari
enzim osteolitik atau kolagenase yang dihasilkan oleh proses kolesteatoma dalam
jaringan ikat subepitel. Pada proses penutupan membran timpani dapat juga terjadi
pembentukan membran atrofik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat, dimana
membran bentuk ini akan cepat rusak pada periode infeksi aktif.
Infeksi :
Adenioditis,
sinusitis
Disfungsi tuba
eustakhius
OMA OME
Perforasi Pemasangan
Membran pipa Gromet
Proses inflamasi
berlanjut, membran OMSK
timpani tidak menutup
b. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sanat
hebat, karena daerha yang sakit ataupun kolesteatom dapat menghambat
bunyi dengan efektif ke fenstra ovalis. Apabila tidak dijumpai kolesteatom,
tuli konduktif kurang dari 20 dB ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran
masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang menghasilkan penurunan
pendenagran lebih dari 30 dB. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan
letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas system
pengantaran suara ke telinga tengah.
Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena
putusna rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom
bertindak sebagai pengantar suara sehingga mbang pendengaran yang didapat
harus diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi koklea biasnya
terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin
melalui jendela built (foramen ovale) atau fistel labirin tanpa terjadinya
labirinitis berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.
c. Otalgia (nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim terdapat pada penderita OMSK dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri didapat
karena terbendungnya drainasi pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman
komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya duramater atau
dinding dinus lateralis serta ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga
mungkin ada tetapi mungkin karena adanya otitits eksterna sekunder dan
nyeri merupakan tanda berkembangnya komplikasi OMSK seperti petroitis,
subperiosrteal abses atau thrombosis sinus lateralis.
d. Vertigo
Vertigo pada OMSK merupakan gejala yang serius lainnya, keluhan
vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi
dinsing labirin oleh kolestatoma. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada penderita yang sensitif
keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani
yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaaan
suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan menyebabkan keluhan
vertigo. Vertigo juga terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan
temuan yang serius karena infeksi kemusian dapat berlanjut dari telinga
tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan mungkin
dapat berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus
OMSK dengan riwayat vertigo uji ini memerlukan pemberian tekanan positif
dan negative paa membran timpani dengan demikian dapat diteruskan
melaului rongga telinga tengah.
2.6. Diagnosis1,4
Diagnosis OMSK ditegakkan dengan cara:
1. Anamnesis
OMSK biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita datang disertai gejala-
gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang paling sering ditemui adalah
telinga berair. Pada tipe tubotimpani sekretnya lebih banyak dan seperti
benang, tidak berbau busuk dan intermitten. Sedangkan pada tipe atikoantral
sekret lebih sedikit, berbau busuk, terkadang disertai pembentukkan jaringan
granulasi atau polip dan sekret yang kelura dapat bercampur dengan darah. Ada
pula pasien datang dengan keluhan kurang pendengarannya atau telinga keluar
darah.4
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Otoskopi dapat menunjukkan ada atau tidaknya perforasi pada
membran timpani, dapat juga melihat ada tidaknya kolesteatom.
Pemeriksaan penala untuk menilai hantaran tulang dan udara
Audiometri: evaluasi audiometri dan pembuatan audiogram nada murni
menentukan gap udara dan tulang.
3. Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen mastoid
Kultur dan uji resistensi kuman dari sekret telinga
2.7. Penatalaksanaan1
Terapi OMSK tidak jarang membutuhkan waktu yang lana, serta harus
berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi.
Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau ebebrap keadaan. Yaitu 910
adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga tengah
berhubungan dengan dunia luar, (2) terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring,
hisung dan sinus paranasal, (3) sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel
dalam rongga mastoid, dan (4) gizi dan higiena yang kurang.
Prinsip terapi OMSK tipe aman ialah konservatif atau dengan
medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus meenrus, maka diberikan obat
pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang,
maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telingayang mengansung
antibiotika dan kortikosteroid. Banyak ahli berpendapat bahwa semua tetes yang
dijual di pasaran saat ini mengandung antibiotika yang besifat ottoksik. Oleh sebab
itu penulis menganjurkan agar obat tetes telinga jangan diberikan secara terus-
menerus lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang. Secara
oral diberikan antibiotika dari golongan ampisilin atau eritomisin, (bila pasien alergi
terhadap penisilin), sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang
dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan
ampisilin asam klavulanat.
Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah observasi selama 2
bulan, maka idelanya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini
bertujuan unutk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran
timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.
Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau
terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu,
mungki juga perlu melakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan
tonsilektomi.
Prinsip terapi OMSK tipe bahaya ialah pembedahan, yaitu mastoidektomi.
Jadi, bila terdapat OMSK tipe bahaya, maka terapi yang tepat ialah dengan
melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif
dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan
pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses
sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum mastoidektomi.
2.8. Komplikasi4
1. Komplikasi otologik:
Mastoiditis koalesen
Petrositis
Paresis fasialis
Labirinitis
2. Komplikasi intracranial
Abses ekstradural
Thrombosis sinus lateralis
Abses subdural
Meningitis
Abses otak
Hidrosefalus otitis
Perjalanan komplikasi infeksi telingatengah ke intracranial harus melewati 3 lintas
an, yaitu:
1. Dari rongga telinga ke selaput otak
Melalui jalan yang sudah ada, dapat memudahkan masuknya bakteri. Hal ini dapat
melalui garis fraktur tulang temporal, bagian tulang yang lemah atau defek karena
pembedahan
2. Menembus selaput otak
Dimulai begitu penyakit mencapai dura, menyebabkan pakimeningitis. Dura
sangat resisten terhadap penyebaran infeksi, akan menebal, hiperemi, dan lebih
melekat ke tulang. Jaringan granulasi terbentuk pada dura yang terbuka dan ruang
subdural yang berdekatan.
3. Masuk ke jaringan otak
Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah diantara ventrikel dan permukaan
korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke jaringan otak ini
dapat terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi ke ruang Virchow
Robin yang berakhir di daerah vascular subkorteks.
2.9. Prognosis
OMSK tipe benigna tidak menyerang tulang sehingga jarang menimbulkan
komplikasi, tetapi jika tidak mencegah invasi organisme baru dari nasofaring dapat
menjadi superimpose OMSK eksaserbasi akut dapat menimbulkan komplikasi
dengan terjadinya tromboplebitis vaskuler.
Prognosis kolesteatom yang tidak diobati akan berkembang menjadi
meningitis, abses otak, paresis fasialis atau labirinitis supuratif yang semunay fatal.
Sehingga OMSK tipe maligna harus diobati secara aktif sampai proses erosi tulang
berhenti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggrok,
Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
2. Samosir, I. 2018. Otitis Media Supuratif Kronik. Diunduh dari
http://eprints.undip.ac.id/62210/3/BAB_II.pdf
3. Oktaria D dan Nasution D. Laporan Kasus Otitis Media Supuratif Kronis. Diunduh
dari http://repository.lppm.unila.ac.id/5037/1/1552-2265-1-PB.pdf
4. Amalia, R. 2015. Otitis Media Supuratif Kronis. Diunduh dari
http://repository.unimus.ac.id/1497/4/BAB%20II.pdf
5. Angraeni, T. 2016. Otitis Media Supuratif Kronis. Diunduh dari
http://repository.ump.ac.id/1182/3/BAB%20II_TRIANA
%20ANGGRAEANI_FARMASI%2716.pdf