Anda di halaman 1dari 19

lO MoARcPSD|32461662

MEMBACA FATIHAH BAGI MAKMUM DALAM


SALAT DAN MENJAMA’ SALAT
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muqarin

Disusun Oleh :

AZWANI

NIM. 3091108

JURUSAN MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
lO MoARcPSD|32461662

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................ iii
BAB I....................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 2
C. Tujuan........................................................................................................ 2
BAB II..................................................................................................................... 3
A. Membaca Al-Fatihah bagi Makmum dalam Shalat......................................3
B. Hukum Membaca Fatihah bagi Makmum menurut Imam Mazhab............. 4
C. Shalat............................................................................................................6
D. Hukum Menjamak Shalat menurut Imam Mazhab.................................... 12
BAB III..................................................................................................................15
Kesimpulan............................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17

ii
lO MoARcPSD|32461662

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran maupun Hadis adalah sumber awal hukum yang dalam bahasa
hukum juga disebut sebagai nas atau dalil. Dalil merupakan petunjuk kepada
tujuan keberadaan nas yang berupa teks didasarkan pandangan yang benar
mengenai hal tersebut, baik itu yang bersifat (qat‘i) maupun itu bersifat asumsi
(dzanni), keinginan dari proses penafsiran yang sering menimbulkan perbedaan
maupun pertentangan (Abd al-Laṭīf al-Khaṭib). Sementara itu di kalangan ahli
fiqh pertentangan ini disebut ta‘ārud al-adillah.
Dalam Islam, shalat merupakan suatu bentuk ibadah yang paling krusial,
melalui salatlah cara seorang muslim mengingat serta mendekatkan diri pada
sang pencipta, yaitu Allah SWT, dan shalat juga dapat menjaga seseorang
tersebut dari perbuatan keji dan mungkar. dan pada akhirnya seseorang itu akan
mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman jiwa karena selalu mengingat Allah
melalui shalat tersebut.
Shalat merupakan rukun Islam yang kedua dari lima rukun, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw dalam sebuah hadisnya. Islam itu dibangun
atas lima dasar, pertama: bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah dan bersaksi
Muhammad itu merupakan utusan Allah, kedua: mendirikan shalat, dan
seterusnya. Untuk mendapatkan kualitas shalat yang sempurna, maka
memahami dan mempraktikkan salat dengan benar merupakan suatu
keniscayaan. Kemudian untuk dapat memahami salat dengan benar tentunya
setiap individu muslim harus merujuk terhadap praktik Rasulullah SAW. Untuk
dapat mengetahui praktik salat beliau, maka mentala'ah hadis tentang salat
merupakan jalannya.
Dalam fenomena keseharian, umat Islam setelah wafat Rasulullah SAW,
dan khususnya pasca era sahabat mengalami perbedaan pengalaman dalam
ibadah salat, baik perbedaan bacaan maupun gerakan bahkan urutan dari

1
lO MoARcPSD|32461662

keduanya. Perbedaan pemahaman dan pengalaman ini juga terjadi pada bacaan
fatihah bagi makmum dalam salat jahar. Ada sebagian kaum muslim yang tetap
membacanya, ada pula yang tidak perlu membacanya karena sudah terwakili
oleh bacaan imam. Bagi yang membacanya dilakukan pada saat imam membaca
surat lain setelah ia membaca Fatihah atau pada saat imam diam setelah
membaca Fatihah.
Dalam kitab-kitab fikih klasik dijelaskan bahwa alasan dibolehkannya
menjamak dan mengqashar shalat adalah perjalanan jauh. Namun dalam
kenyataan kehidupan sekarang banyak ditemukan keadaan-keadaan yang lebih
menyulitkan dibandingkan perjalanan jauh. Untuk memenuhi hajat kehidupan
yang bertaraf dharuriyat (kebutuhan esensial), menyangkut nafkah kehidupan,
banyak yang bekerja sepenuh waktu, sebagai supir taksi, karyawan pabrik,
penambang, pekerja bengkel, pilot dan co pilot, dokter dan pasien, terjebak
kemacetan lalu lintas, dan lainnya yang mengakibatkan mereka mengalami
kesulitan dalam menunaikan kewajiban shalat pada waktunya. Oleh karena itu
perlu dilakukan pengkajian untuk merespon realitas yang terjadi di zaman
modern tersebut. Dalam makalah ini penulis akan mengkaji bagaimana
hukumnya mengqashar shalat dan menjama’shalat dengan alasan macet dan
kesibukan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum menurut para Imam
Mazhab?
2. Bagaimana hukum menjamak sholat menurut para Imam Mazhab?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum menurut
para Imam Mazhab.
2. Untuk mengetahui hukum menjamak sholat menurut para Imam Mazhab.
lO MoARcPSD|32461662

BAB II
PEMBAHASAN

A. Membaca al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat


1. Pengertian Surat Al-Fatihah
Surat Al-Fatihah berasal dari kata fataha, yaftahu, fathan yang berarti
pembukaan. Kata fataha dapat pula di artikan kemenangan. Dinamakan
pembukaan karena dilihat dari segi posisi surat Al-Fatihah dalam arti
kemenangan dapat dilihat pada nama surat yang ke-48 yang berjudul al Fath
berarti kemenangan.1 Ayat tersebut berbunyi:

Artinya: sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu


kemenangan yang nyata2
Surat ini di turunkan di kota Makkah jumlah ayat-ayatnya di sepakati
sebanyak tujuh ayat, Al Fatihah merupakan mahkota tuntunan ilahi, dinamai
juga Ummu Al Qur’an atau Ummu Al Kitab karena ia adalah induk semua ayat-
ayat Al Qur’an. Al fatihah juga adalah as-sab’ al-Matsani dalam arti tujuh
ayatnya di ulang-ulang bukan saja dalam setiap rakaat shalat, tetapi juga
kandungan seluruh ayatnya itu di ulang dan dirinci oleh seluruh ayat-ayat al-
Qur’an yang berjumlah enam ribu ayat lebih. Surat ini lebih dari dua puluh ribu
nama, tetapi nama yang paling populer dan di kenal pada masa Nabi adalah
Ummul Kitab atau Ummul Kitab.3
Orang Arab menamakan setiap himpunan atau bagian terdepan dari suatu
perkara jika mempunyai kelanjutan yang mengikutinya (seperti halnya imam
dalam sebuah masjid besar) dengan istilah umm (ibu, induk). Untuk itu, mereka
menamai kulit yang melapisi otak dengan istilah ummu-ra’si (induk kepala).
Mereka juga menamakan panji atau bendera yang di bawahnya terhimpun

1
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta, Rabbani Press, 1999), hal. 14
2
Al-Qur’an Kemenag, hal. 512
3
M. Quraish Shihab, Al-Lubab: Makna. Tujuan Dan Pelajaran Dari Al Fatihah dan Juz
amma), (Ciputat: Lentera Hati, 2008). Hal. 7

3
lOMoARcPSD|32461662

pasukan dengan sebutan ummul-jaisy (induk pasukan). Karena ini pula, Makkah
dinamai Ummul Qura. Sebab, ia adalah kota yang menghimpun semua negeri
disekelilingnya. Ada juga pendapat yang mengatakan Ummul-Qura (induk/ibu
negeri) karena bumi ini dibulatkan bermula darinya. Al-Fatihah adalah surah
lengkap pertama yang diturunkan. Adapun yang turun sebelumnya adalah awal
surah al-Muddatstsir, al-Muz' zammil, al-'Alaq, dan al-Qalam. Adapun ayat al-
Qur'an yang kali pertama diturunkan adalah awal surah al;Alaq.4

B. Hukum Membaca Fatihah Bagi Makmum menurut Imam Mazhab


Di antara permasalahan yang sering terjadi dalam masyarakat adalah perihal
hukum membaca surat al-Fatihah bagi makmum. Ulama sepakat akan gugurnya
bacaan surat al-Fatihah apabila makmum mendapati imam dalam posisi rukuk.
Tetapi ulama berbeda pendapat ketika makmum mendapati imam ketika masih
berdiri.5
Makmum adalah orang yang dipimpin oleh imam dalam shalat berjamaah,
atau orang yang mengikuti imam dari belakang dalam melaksanakan shalat
berjamaah. Adapun hukum makmum membaca surat al-Fatihah dalam
melaksanakan shalat menurut imam mazhab adalah sebagai berikut:
a. Mazhab Imam Syafi’i
Menurut mazhab Asy-Syafi’i makmum juga diwajibkan untuk membaca
surat Al-Fatihah, kecuali ia datang sebagai masbuk saat imam sudah selesai
membaca surat Al-Fatihah secara keseluruhan atau sudah membaca
sebagiannya, jika demikian maka imam sudah menanggung beban bacaan surat
Al-Fatihahnya, selama imam tersebut memang layak untuk menanggungnya,
yakni tidak dalam keadaan berhadats.
b. Mazhab Imam Hanafi
Menurut mazhab Hanafi makmum membaca surat al-Fatihah hukumnya
makruh Tahrim baik dalam shalat yang lantang ataupun tidak, sebagaimana

4
Pentahqiq: Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khelidi, Mudah Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, ( Jakarta
Timur : Maghfirah Pustaka, 2016),hal.3
5
Zainal Abidin, Hukum Membaca Fatihah Bagi Makmum Menurut Empat Mazhab,Iqra 4
Oktober 2022 6:27 WIB
lOMoARcPSD|32461662

diriwayatkan dari Nabi SAW " Barang siapa yang melakukan shalat di belakang
imam, maka bacaan imam sudah mewakili bacaannya." Hadits tersebut
diriwayatkan dari sejumlah jalur. Selain itu ada sekitar delapan puluh sahabat
senior yang dikutip pernyataannya tentang larangan bagi makmum untuk
membaca Al-Qur'an, di antaranya Al-Murtadha dan Abdullah. Bahkan ada
riwayat dari sejumlah sahabat yang menyatakan bahwa membaca Al-Qur'an bagi
makmum dapat membatalkan shalat, namun riwayat itu tidak benar, karena
pendapat yang paling kuat dan yang paling hati-hati adalah pendapat yang
menyatakan bahwa hukumnya makruh tahrim.
c. Mazhab Imam Maliki
Menurut mazhab maliki membaca Al-Qur'an bagi makmum hukumnya
dianjurkan dalam shalat yang tidak dilantangkan, dan dimakruhkan dalam shalat
yang dilantangkan, kecuali jika maksud membacanya adalah untuk menetralisir
perbedaan pendapat, maka hukum membacanya dianjurkan.
Selain itu mazhab Maliki berpendapat bahwa makmum wajib membaca
surat Al-Fatihah ketika sholat sirriyah saja.
d. Mazhab Imam Hambali
Menurut mazhab Hambali membaca Al-Qur'an bagi makmum hukumnya
disarankan dalam shalat yang tidak dilantangkan, dan juga dalam shalat yang
dilantangkan namun hanya pada saat imam terdiam (tidak sedang membaca Al-
Qur'an). Sedangkan hukum membaca Al-Qur'an bagi makmum dalam shalat
yang dilantangkan saat imam sedang membaca Al-Qur'an adalah makruh6
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa makmum wajib membaca fatihah
baik dalam sholat sirriyah (sholat dzuhur dan ashar) maupun sholat jahriyah
(sholat magrib, isya’ dan subuh).

6
Syaikh Abdurrahman Al-juzairi, Fikih 4 Mazhab Jilid 1, ( Jakarta Timur : Pustaka Al-
Kautsar, 2017), h. 384-385
lOMoARcPSD|32461662

C. Shalat
1. Pengertian Shalat
Pada hakikatnya, manusia sebagai hamba Allah wajib mengabdi dan taat
kepada Allah selaku pencipta karena ada hak Allah untuk disembah dan tidak
disekutukan. Bentuk pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas
hanya pada ucapan dan perbuatan saja, melainkan juga harus dengan keikhlasan
hati, seperti yang diperintahkan dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5:

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian
itulah agama yang lurus.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk beribadah
kepada Allah dengan menjalankan ibadah yang lurus, lurus berarti jauh dari
syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan. Menjalankan segala
apa yang diperintahkan Allah serta menjauhi segala apa yang dilarang oleh
Allah. Sementara lebih lanjut dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 Allah
menjelaskan:

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah
Aku”.
Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia
yang taat, patuh dan mampu melakoni perannya sebagai hamba yang hanya
mengharapkan ridho Allah. Kedudukan manusia yang diciptakan sebagai
mkhluk yang paling sempurna di antara makhluk ciptaan Allah yang lain, bukan
berarti manusia bisa hidup dengan mulus tanpa ada halangan dan cobaan.7
Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari cobaan dan ujian, bahkan ada

7
Nur Hidayat, Akidah Akhlak Dan Pembelajarannya, (Yogyakarta : Ombak, 2015), cet.Ke-
1,h.31
lOMoARcPSD|32461662

kalanya kesehatan, kekayaan, jabatan, kemewahan Allah hadirkan sebagai ujian


bagi manusia. Seperti dalam firman Allah QS. Al-A’raf ayat 168:

Artinya: “Dan kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan, di
antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian.
Dan kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-
buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).”
Penjelasan dari ayat di atas bahwa Allah menguji hambanya tidak hanya
dengan cobaan yang berupa bencana atau kesengsaraan. Adakalanya Allah
memberikan kenikmatan yang berlimpah ruah dengan harta berlimpah, kasih
sayang antar sesama manusia, jabatan tinggi, kehormatan, keluarga yang penuh
kebahagiaan. Ketika segala bentuk kenikmatan Allah limpahkan kepada seorang
hamba, akankah seorang hamba tetap berada dalam jalan Allah, beriman dan
bertakwa kepada Allah dan menggunakan kenikmatannya sebagai upaya untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah atau bahkan melakukan hal yang sebaliknya.8
Dengan demikian shalat merupakan tumpuan utama bagi kehidupan
manusia, karena shalat secara bahasa adalah Doa, sedangkan secara istilah shalat
adalah ibadah yang terdiri dari beberapa ucapan dan tindakan yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam. Menurut Ustadz Labib Mz “Shalat adalah ibadah
yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dangan takbir
dan disudahi dengan salam menurut syarat-syarat tertentu.”
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 103 :

Artinya: Ambilah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan
mereka, dan berdo’alah untuk mereka ini. Sesungguhnya do’amu itu

8
Syamsul Rijal, Pengantar Studi Khasanah Pemikiran Islam Pada Kanvas wawasan Dan
Kawasan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2016), cet.Ke-1, h.107-108
lOMoARcPSD|32461662

(menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka Allah Maha Mendengar, Maha


Mengetahui.”
Jadi berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah
ibadat kepada Allah dalam bentuk beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang dilakukan menurut syarat-syarat
yang telah ditentukan syara’.
Shalat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam syari’at agama
Islam, hingga kesempurnaan amal seseorang, baik buruk perbuatan manusia dilihat
dari sempurna atau tidaknya pelaksanaan shalatnya. Bahkan shalat adalah pembeda
antara orang yang beriman dan orang kafir, sehingga siapa yang tidak melaksanakan
shalat berarti ia telah kafir.9
Sedangkan perkataan jama’ berarti shalat yang dikumpulkan, misalnya
Dzuhur dengan Ashar, Magrib dengan Isya’ di dalam satu waktu. Seperti halnya
seseorang melaksanakan jama’ Taqdim dan jama’ Ta’khir. Jama’ Taqdim ialah
menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu:
Dzuhur dengan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur atau Magrib dengan Isya’
dikerjakan pada waktu Magrib. Jama’ Taqdim harus dilakukakn secara berurutan
sebagaimana urutan shalat tidak boleh terbalik. Adapun jama’ Ta’khir ialah
menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu: Dzuhur
dengan Ashar dilakukan pada waktu Ashar, Magrib dengan Isya’ dilakukan pada
waktu Isya’. Jama’ Ta’khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak
secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Menjama’
shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik musafir atau
bukan dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika
diperlukan saja. Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’
shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai ditempat
tujuan, turun hujan, orang sakit. Jama’ berasal dari kata jama’a, yajma’u, jam’an,
yang berarti kumpul atau bergabung. Secara terminology shalat jama’ adalah dua

9
Muhammad Nawawi Al-Jawi, Terjemah Maroqil Ubudiyah, (Jawa Timur : Mutiara Ilmu
Agency, 2013), cet.Ke-2, h.88
lOMoARcPSD|32461662

shalat yang dikerjakan bergantian dalam satu waktu. Seperti halnya Sayyid Bakri
menyebutkan definsi jama’ shalat sebagai berikut:

Artinya: Yaitu mengumpulkan salah satu dari dua shalat kepada yang lain dalam
satu waktu dari keduanya, baik keduanya itu dikerjakan secara berurutan sempurna
atau keduanya dikerjakan secara qasar atau salah satunya dikerjakan dengan
sempurna dan yang lain dikerjakan secara qasar.10
2. Tujuan dan Kegunaan Menjama’ Shalat
Shalat adalah merupakan salah satu kewajiban yang disyari’atkan oleh
Allah kepada hamba-Nya yang beriman. Shalat yang wajib adalah shalat lima
waktu yang harus ditunaikan oleh setiap muslim selama sehari semalam. Shalat
merupakan rukun terpenting di antara rukun-rukun Islam lainnya. Ia menempati
urutan kedua setelah dua kalimat syahadat dan urutan setelahnya adalah zakat,
puasa, dan haji.
Shalat merupakan ibadah yang terdiri perkataan dan perbuatan. Dari sudut
pandang ini, ia bagaikan sebuah pedoman khusus yang bisa mendidik manusia
untuk mampu memahami bahwa rutinitas yang selalu ia lakukan sebanyak lima kali
setiap hari itu, membuat ikatan antara dirinya dengan Tuhannya lebih kuat daripada
ikatannya dengan segala apapun yang ada, menyadarkan dirinya bahwa ketuhanan-
Nya adalah merupakan inti bagi kehidupan manusia.11
Allah membolehkan shalat jama’ adalah untuk memberikan keringanan dan
kemudahan kepada setiap manusia agar dapat menjalankan ibadah dalam kondisi
apapun, dan shalat adalah ibadah yang tidak boleh ditinggal, sedangkan manfaat
dari shalat jama’ ialah untuk memudahkan setiap umat manusia dalam bepergian
jauh hendak menunaikan shalatnya, dan Allah selalu memberikan kemudahan
kepada setiap hamba-Nya dalam melaksanakan ibadah.

10
Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Lubabul Hadits, (Yogyakarta : Pustaka Hati, 2020), cet.Ke-
1, h.48
Syaikhu, et.al, Perbandingan Mahzab Fiqih, (Yogyakarta : CV Aswaja Pressindo, 2014),
11

cet.Ke-2, h.142
lOMoARcPSD|32461662

10

3. Syarat-syarat Menjama’ Shalat


Shalat jama’ adalah mengerjakan dua shalat fardhu dalam satu waktu. Jika
dikerjakan pada waktu yang pertama disebut jama’ Taqdim dan jika dikerjakan
pada waktu shalat kedua disebut jama’ Ta’khir.
Syarat jama’ Taqdim adalah:
a. Niat untuk menjama’
b. Tertib, yaitu harus dimulai dengan shalat pertama yang masuk waktunya.
c. Bersambung, yaitu berurutan dengan tidak dipisah antara dua shalat
yang dijama’ dengan jarak yang panjang.
d. Masih adanya udzur.
Sedangkan syarat-syarat jama’ ta’khir ialah:
a. Niat jama’ Ta’khir diwaktu shalat pertama yang waktunya masih tersisa
kira-kira cukup untuk mengerjakannya.
b. Masih adanya udzur hingga sempurnanya waktu shalat kedua.12

4. Pembagian Shalat Jama’


a. Berdasarkan shalat yang boleh dijama’
Shalat yang disyari’atkan untuk bisa dijama’ hanya ada dua, yaitu:
1) Shalat Dzuhur dijama’ dengan Ashar
Shalat Dzuhur hanya boleh dijama’ dengan shalat Ashar. Tidak boleh
dijama’ dengan Shubuh, Magrib atau Isya’.
2) Shalat Magrib dijama’ dengan shalat Isya’
Shalat yang juga boleh dijama’ selain Dzuhur dengan Ashar adalah shalat
Magirb dengan Isya’.
b.Berdasarkan waktu pengerjaannya
Selain pembagian di atas, dari segi kapan dikerjakan shalat jama’ ini juga
bisa dibagi berdasarkan kapan shalat jama’ ini dikerjakan.
1) Jama’ Taqdim

12
Amjad Rasyid, Syarah Safinatun Naja, (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2021),
cet.Ke-1, h.23
lOMoARcPSD|32461662

11

Jama’ Taqdim adalah melakukan dua shalat fardhu pada waktu shalat yang
pertama. Bentuknya ada dua. Pertama shalat Dzuhur dilakukan langsung berurutan
dengan shalat Ashar, yang dilakukan pada waktu Dzuhur. Kedua, shalat Magrib
dengan Isya’ dilakukan secara berurutan pada waktu Magrib.
2) Jama’ Ta’khir
Sedangkan jama’ Ta’khir adalah kebailkan dari jama’ Taqdim, yaitu
melakukan dua shalat fardhu pada waktu shalat yang kedua. Bentuknya juga ada
dua. Pertama shalat Dzuhur dilakukan langsung berurutan dengan shalat Ashar,
yang dilakukan pada waktu shalat Ashar. Kedua, shalat Magrib dan shalat Isya’
dilakukan secara berurutan pada waktu Isya’.13

5. Tata Cara Pelaksanaan Shalat Jama’


Shalat jama’ dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu jama’ Taqdim dan jama’
Ta’khir. Dalam melaksanakan shalat jama’ Taqdim maka harus berniat menjama’
shalat kedua pada waktu yang pertama, mendahulukan shalat pertama dan
dilaksanakan berurutan, dan tidak diselingi perbuatan atau perkataan lain. Pada saat
melaksanakan jama’ Ta’khir harus berniat menjama’ dan berurutan, tidak
disyaratkan harus mendahulukan shalat pertama baru melakukan shalat kedua atau
sebaliknya.
a. Niat jama’ Taqdim
1) Shalat Dzuhur empat raka’at dengan niat seperti biasa hingga selesai,
kemudian berdiri kembali untuk melaksanakan shalat Ashar dengan
melafazkan niat dalam hati:

Artinya: “Sengaja aku shalat Ashar 4 raka’at jama’ dengan Dzuhur menjadi
imam/ma’mum karena Allah ta’ala.”
2) Shalat Magrib tiga raka’at dengan niat seperti biasa hingga selesai,
kemudian berdiri kembali untuk melaksanakan shalat Isya’dengan
melafazkan niat dalam hati:

13
Labib Mz, Tuntunan Shalat Lengkap, (Jakarta : Sandro Jaya, 2005), cet.Ke-2, h.92
lOMoARcPSD|32461662

12

Artinya:”Sengaja aku shalat Isya’ 4 raka’at jama’ dengan Magrib menjadi


imam/ma’mum karena Allah ta’ala.”
b. Niat jama’ Ta’khir
a. Shalat Dzuhur 4 raka’at dengan niat dalam hati:

Artinya: “Sengaja aku shalat Dzuhur 4 raka’at jama’ dengan Ashar menjadi
imam/ma’mum karena Allah ta’ala.”
Kemudian berdiri lagi kembali untuk melaksanakan shalat Ashar dengan
melafazkan niat seperti biasa.
b. Shalat Magrib 3 raka’at dengan niat dalam hati:

Artinya:”Sengaja aku shalat Magrib 3 raka’at jama’ dengan Isya’ menjadi


imam/ma’mum karena Allah ta’ala.”
Kemudian berdiri lagi untuk melaksanakan shalat Isya’ dengan melafazkan niat
seperti biasa.

D. Hukum Menjamak Shalat menurut Imam Mazhab


1. Dalam keadaan bepergian (musafir)
Bagi musafir yang telah di tentukan untuk mengqashar shalat, telah terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat tersebut adalah karena perbedaan mereka dalam memahami kata
“safar”. Jika yang dimaksud qashar yang dikaitkan atau diakibatkan oleh adanya
bepergian, maka yang dijadikan ukuran bagi seseorang dalam mengqashar shalat
adlah musyaqat (kesusahan). Sehingga shalat qashar boleh dikerjakan apabila
terdapat kesusahan.
Adapun pendapat Ulama dalam menentukan jarak yang memperbolehkan
mengqashar shalat adalah:
lOMoARcPSD|32461662

13

a. Menurut Malik, Syafi’I, Ahmad dan segolongan Ulama bahwa jaraknya


minimal 4 pos, yaitu ditempuh selama perjalanan sehari dengan
perjalanan sedang.14
b. Menurut Abu Hanifah dan pengikutnya serta ulama Kufah, minimal
jaraknya ditempuh perjalanan selama tiga hari dan qhasar itu hanya
boleh dilakukan oleh orang yang bepergian sangat jauh.
c. Menurut Ibnu Hazm bahwa jarak minimal diperbolehkannya
mengqashar shalat adalah satu mil, ia juga berpendapat bahwa tidak
boleh mengqashar shalat jika jarak bepergian itu kurang dari satu mil.
Pendapat ini menunjukan pada perbuatan Rasulullah SAW yang
berpergian ke Baqi’ untuk menguburkan jenazah dan keluar ke suatu
padang untuk buang hajat, tetapi beliau tidak mengqashar shalatnya.

2. Hujan
Seseorang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama’ apabila dalam
keadaan hujan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari
yang berbunyi:
Artinya : “Sesungguhnya Nabi SAW menjama’ shalat Magrib dengan shalat
Isya’ disuatu malam yang sedang hujan lebat”. (HR. Bukhari)

Adapun pendapat para Imam Mazhab mengenai soal ini adalah sebagai berikut:
a. Golongan Syafi’I membolehkan seorang mukim menjama’ shalat Zuhur
dengan shalat Ashar dan shalat Magrib dengan shalat Isya’ secara taqdim
saja, dengan syarat adanya hujan ketika membaca takbiratul ihram dalam
shalat yang pertama sampai selesai, dan hujan masih turun ketika memulai
shalat yang kedua.15
b. Menurut Maliki, boleh menjama’ taqdim dalam masjid antara shalat Magrib
dan shalat Isya’ disebabkan karena hujan yang telah atau akan turun, juga

14
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, alih Bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun,(Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), h. 377.
15
Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, (Beirut Lebanon : Dar Al Kutb
Al-Ilmiyah), Juz I t,th, h. 533.
lOMoARcPSD|32461662

14

boleh dikerjakan karena banyak lumpur di tengah jalan dann malam yang
gelap, hingga menyukarkan orang buat memakai sadal. Menjama’ shalat
zuhur dan shalat Ashar karena hujan ini, dimakruhkan.16
c. Golongan hanbali berpendapat bahwa boleh menjama shalat Maghrib
dengan shalat Isya’ saja, baik secara taqdim atau ta’khir, disebabkan adanya
salju, lumpur,dingin yang sangat serta hujan yang membasahkan pakaian.
Keringanan ini hanya khusus bagi orang yang shalat jama’ah di mesjid yang
datang dari tempat yang jauh, hingga dengan adanya hujan tersebut, ia
terhalang dalam perjalanan. Bagi orang yang rumahnya di dekat mesjid atau
yang shalat jama’ah di rumah saja, atau ia dapat pergi ke mesjid dengan
melindungi tubuh, maka tidak boleh menjama’ shalat.17
d. Golongan Hanafi berpendapat bahwa menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat
Ashar, shalat Maghrib dengan shalat Isya’ pada waktu hujan tidak
diperbolehkan.18

16Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, penerjemah Ahmad Shiddiq, Abdul Amin, Fatuhal Arifin
dan Moh. Abidun, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009), h. 245.
17
Ibid.
18
Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni, (Beirut-Lebanon : Dar Al-Kutb Al-Ilmiyah), Juz II,t,th,
h. 58.
lOMoARcPSD|32461662

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Makmum adalah orang yang dipimpin oleh imam dalam shalat berjamaah,
atau orang yang mengikuti imam dari belakang dalam melaksanakan shalat
berjamaah. Adapun hukum makmum membaca surat al-Fatihah dalam
melaksanakan shalat menurut imam mazhab adalah sebagai berikut:
a. Mazhab Imam Syafi’i
Menurut mazhab Asy-Syafi’i makmum juga diwajibkan untuk membaca
surat Al-Fatihah, kecuali ia datang sebagai masbuk saat imam sudah selesai
membaca surat Al-Fatihah secara keseluruhan atau sudah membaca
sebagiannya, jika demikian maka imam sudah menanggung beban bacaan surat
Al-Fatihahnya, selama imam tersebut memang layak untuk menanggungnya,
yakni tidak dalam keadaan berhadats.
b. Mazhab Imam Hanafi
Menurut mazhab Hanafi makmum membaca surat al-Fatihah hukumnya
makruh Tahrim baik dalam shalat yang lantang ataupun tidak, sebagaimana
diriwayatkan dari Nabi SAW " Barang siapa yang melakukan shalat di belakang
imam, maka bacaan imam sudah mewakili bacaannya." Hadits tersebut
diriwayatkan dari sejumlah jalur. Selain itu ada sekitar delapan puluh sahabat
senior yang dikutip pernyataannya tentang larangan bagi makmum untuk
membaca Al-Qur'an, di antaranya Al-Murtadha dan Abdullah. Bahkan ada
riwayat dari sejumlah sahabat yang menyatakan bahwa membaca Al-Qur'an bagi
makmum dapat membatalkan shalat, namun riwayat itu tidak benar, karena
pendapat yang paling kuat dan yang paling hati-hati adalah pendapat yang
menyatakan bahwa hukumnya makruh tahrim.

15
lOMoARcPSD|32461662

16

c. Mazhab Imam Maliki


Menurut mazhab maliki membaca Al-Qur'an bagi makmum hukumnya
dianjurkan dalam shalat yang tidak dilantangkan, dan dimakruhkan dalam shalat
yang dilantangkan, kecuali jika maksud membacanya adalah untuk menetralisir
perbedaan pendapat, maka hukum membacanya dianjurkan.
Selain itu mazhab Maliki berpendapat bahwa makmum wajib membaca
surat Al-Fatihah ketika sholat sirriyah saja.
d. Mazhab Imam Hambali
Menurut mazhab Hambali membaca Al-Qur'an bagi makmum hukumnya
disarankan dalam shalat yang tidak dilantangkan, dan juga dalam shalat yang
dilantangkan namun hanya pada saat imam terdiam (tidak sedang membaca Al-
Qur'an). Sedangkan hukum membaca Al-Qur'an bagi makmum dalam shalat
yang dilantangkan saat imam sedang membaca Al-Qur'an adalah makruh
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa makmum wajib membaca fatihah
baik dalam sholat sirriyah (sholat dzuhur dan ashar) maupun sholat jahriyah
(sholat magrib, isya’ dan subuh).
Allah membolehkan shalat jama’ adalah untuk memberikan keringanan dan
kemudahan kepada setiap manusia agar dapat menjalankan ibadah dalam kondisi
apapun, dan shalat adalah ibadah yang tidak boleh ditinggal, sedangkan manfaat
dari shalat jama’ ialah untuk memudahkan setiap umat manusia dalam bepergian
jauh hendak menunaikan shalatnya, dan Allah selalu memberikan kemudahan
kepada setiap hamba-Nya dalam melaksanakan ibadah.
lOMoARcPSD|32461662

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2022. Hukum Membaca Fatihah Bagi Makmum Menurut Empat
Mazhab.
Al-Jawi, Muhammad Nawawi. 2013. Terjemah Maroqil Ubudiyah. Jawa Timur.
Mutiara Ilmu.
Al-Juzairi, Syaikh Abdurrahman. 2017. Fikih 4 Mazhab Jilid 1. Jakarta Timur. Pustaka
Al-Kautsar.
Al-Syarbini, Muhammad Al-Khatib. Mugni Al-Muhtaj. Beirut Lebanon. Dar Al Kutb
Al-Ilmiyah.
As-Syuyuthi, Imam Jalaluddin. 2020. Lubabul Hadits. Yogyakarta. Pustaka hati.
Hidayat, Nur. 2015. Akidah Akhlak Dan Pembelajarannya. Yogyakarta. Ombak.
Mz, Labib. 2005. Tuntunan Shalat Lengkap. Jakarta. Sandro Jaya.
Nata, Abuddin. 1999. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta. Rabbani Press.
Rasyid, Amjad. 2021. Syarah Safinatun Naja. Jakarta Timur. Pustaka Al-Kautsar.
Rijal, Syamsul. 2016. Pengantar Studi Khasanah Pemikiran Islam Pada Kanvas
Wawasan Dan Kawasan. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Rusyid, Ibnu. 2007. Bidayah Al-Mujtahid: alih Bahasa Imam Ghazali Said dan
Achmad Zaidun. Jakarta. Pustaka Amani.
Shihab, M. Quraish. 2008. Al-Lubab: Makna. Tujuan Dan Pelajaran Dari Al Fatihah
dan Juz amma. Ciputat. Lentera Hati.
Syaikhu, dkk. 2014. Perbandingan Mazhab Fiqih. Yogyakarta. CV. Aswaja Pressindo.

17

Anda mungkin juga menyukai