(......................................)
Nim:
(................................) (....................................)
Mengetahui
Penyelenggara Diklat
Rumah Sakit Jiwa Aceh
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
HARGA DIRI RENDAH
A. PENGERTIAN
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak
berarti, rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri (keliat, 2011). Harga diri rendah situasional
merupakan perkembangan persepsi negatif tentang harga diri sebagai
respons seseorang terhadap situasi yang sedang dialami.(Wilkinson,
2012).
Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang
diri atau kemampuan diri yang negative terhadap diri sendiri, hilangnya
percaya diri dan harga diri, merasa gagal dalam mencapai
keinginan(Herman, 2012). Gangguan harga diri dapat dijabarkan
sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, yang menjadikan
hilangnya rasa percaya diri seseorang karena merasa tidak mampu
dalam mencapai keinginan.(Fitria, 2013).
B. KLASIFIKASI
Menurut Fitria (2013), harga diri rendah dibedakan menjadi 2,
yaitu:
1. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif
mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian
(kehilangan, perubahan).
2. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu
mengalami evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau
kemampuan dalam waktu lama.
C. ETIOLOGI
1. Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja,
perasaan malu karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh KKN,
dipenjara tiba-tiba).
Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah,
karena :
a. Privacy yang kurang diperhatikan, misalnya: pemeriksaan fisik
yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan
(pencukuran pubis, pemasangan kateter, pemeriksaan perneal).
b. Harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak
tercapai karena dirawat/ sakit/ penyakit.
c. Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya
berbagai pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai
tindakan tanpa persetujuan.
2. Kronik
Yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama,
yaitu sebelum sakit/ dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang
negatif. Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi
negatif terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang
maladaptive.Kondisi ini dapat ditemukan pada klien gangguan
fisikyang kronis atau pada klien gangguan jiwa.Dalam tinjauan life
span history klien, penyebab HDR adalah kegagalan tumbuh
kembang, misalnya sering disalahkan, kurang dihargai, tidak diberi
kesempatan dan tidak diterima dalam kelompok (Stuart, 2015).
D. TANDA DAN GEJALA
Menurut Carpenito, L.J (2015 : 352); Keliat, B.A (2016 : 20)
1. Data subjektif
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat
tindakan terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena
rambut jadi botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya : ini tidak akan
terjadi jika saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/ mengejek
dan mengkritik diri sendiri.
c. Merendahkan martabat. Misalnya : saya tidak bisa, saya tidak
mampu, saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa
d. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin
bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri.
e. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya
tentang memilih alternatif tindakan.
f. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan
yang suram, mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.
g. Mengkritik diri sendiri atau orang lain
h. Sikap pesimis pada kehidupan
i. Sikap negative pada diri sendiri
j. Pengurungan diri / mengejek diri sendiri
2. Data objektif
a. Produktivitas menurun
b. Perilaku destruktif pada orang lain
c. Penyalahgunaan zat
d. Menarik diri dari hubungan social
e. Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah
f. Sukar tidur dan sukar makan
g. Tampak mudah tersinggung / mudah marah
E. AKIBAT
Harga diri rendah dapat membuat klien menjdai tidak mau
maupun tidak mampu bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi
sosial : menarik diri. Isolasi sosial menarik diri adalah gangguan
kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku yang maladaptive,
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial.
F. POHON MASALAH
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Harga diri rendah
2. Gangguan citra tubuh
Tujuan khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan prinsip
komunikasi terapeutik:
b. Sapa klien dengan ramah secara verbal dan nonverbal
c. Perkenalkan diri dengan sopan
d. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
klien
e. Jelaskan tujuan pertemuan
f. Jujur dan menepati janji
g. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
h. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar
klien
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien.
c. Utamakan memberi pujian yang realistik.
3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
a. Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan.
b. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
4. Klien dapat merencanakn kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki.
a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari.
b. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan.
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuannya.
a. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
b. Diskusikan pelaksanaan kegiatan dirumah
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara mearwat
klien dengan harag diri rendah.
b. Bantu keluarga memberiakn dukungan selama klien dirawat.
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
ISOLASI SOSIAL
A. DEFINISI
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dengan orang lain (Rasmun, 2011). Isolasi sosial adalah
gangguan dalam berhubungan yang merupakan mekanisme individu
terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari
interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dadang,2011).
Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu
yang diterima sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi
yang negatif atau mengancam (Wilkinson, 2012).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan
mengancam ( Twondsend, 2018 ). Atau suatu keadaan dimana
seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak
mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dengan orang lain (Kelliat, 2016 ).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain ( Pawlin,
1993 dikutip Budi Kelliat, 2011). Faktor perkembangan dan sosial
budaya merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku isolasi sosial.
(Kelliat, 2016).
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas
perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa
perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama
yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih
sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi
bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat
terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut
dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain
maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa
diperlakukan sebagai objek.
Menurut Stuart, (2018) tahap-tahap perkembangan individu
dalam berhubungan terdiri dari:
1. Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk
memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya.
Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan
menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar.
Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi
hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi
yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa
percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.
2. Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu
yang mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas,
anak mulai membina hubungan dengan teman-
temannya.Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi
atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi.
Kasih sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya
komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak
tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang tua
harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku
yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus
diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai
masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
3. Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan
yang intim dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini
akan mempengaruhi individu untuk mengenal dan
mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan
berkembang menjadi hubungan intim dengan lawan jenis.
Pada masa ini hubungan individu dengan kelompok maupun
teman lebih berarti daripada hubungannya dengan orang
tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak dapat
mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang
seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun
tergantung pada remaja.
4. Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta
mempertahankan hubungan interdependen antara teman
sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan
kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain
dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap
kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu
kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai
pekerjaan.Karakteristik hubungan interpersonal pada
dewasa muda adalah saling memberi dan menerima
(mutuality).
5. Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya,
ketergantungan anak-anak terhadap dirinya
menurun.Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan
pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh
dengan tetap mempertahankan hubungan yang
interdependen antara orang tua dengan anak.
6. Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik
kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan
hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan
adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain
akan meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki
harus dapat dipertahankan.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi
kontribusi untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.
1) Sikap bermusuhan/hostilitas
2) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan
anak
3) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi
kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya.
4) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan
pada pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota
keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka,
terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan
secara terbuka dengan musyawarah.
5) Ekspresi emosi yang tinggi
Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan
saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya
meningkat)
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan
merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan
berhubungan.Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma
yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota tidak
produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
3. Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan
jiwa.Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang
anggota keluarga yang menderita skizofrenia.Berdasarkan hasil
penelitian pada kembar monozigot apabila salah diantaranya
menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot
persentasenya 8%.Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta
perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
5. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan
oleh faktor internal maupun eksternal, meliputi:
a. Stressor Sosial Budaya.
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam
berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan
pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat
dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan
isolasi sosial.
b. Stressor Biokimia
1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah
akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu
kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan
dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan
indikasi terjadinya skizofrenia.
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan
pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,
adanya peningkatan maupun penurunan hormon
adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku
psikotik.
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan
gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat
merubah stuktur sel-sel otak.
c. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia
sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun
biologis.
d. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain.
Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan
menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada
tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia
disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang
berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar.Ego pada
klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi
stress.Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara
hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga
perkembangan psikologis individu terhambat.
Menurut Stuart, (2015) strategi koping digunakan pasien
sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu
kesepian nyata yang mengancam dirinya. Strategi koping yang
sering digunakan pada masing-masing tingkah laku adalah
sebagai berikut:
1) Tingkah laku curiga: proyeksi
2) Dependency: reaksi formasi
3) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
4) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
5) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
6) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi,
isolasi, represi dan regrasi.
C. POHON MASALAH
Pathway Isolasi Sosial
Sumber: (Keliat, 2016
D. TANDA DAN GEJALA
Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang
dapat ditemukan dengan wawancara, adalah:
1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang
lain.
2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang
lain.
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
5. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
6. Pasien merasa tidak berguna.
7. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
E. RENTANG RESPON
Respons adaptif respons
maladaptive
G. PETALAKSANAAN
1. Terapi Psikofarmaka
a. Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya
ingat norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam
fungsi-fungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan
dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat
dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja,
berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai
efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia
akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin
(amenorhe).Metabolic (Soundiee).Hematologik,
agranulosis.Biasanya untuk pemakaian jangka
panjang.Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah,
epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
b. Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam
fungsi mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki
efek samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi,
hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi,
gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
c. Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca
ensepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya
reserpina dan fenotiazine.Memiliki efek samping diantaranya
mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung,
agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi
urine.Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil
(THP), glaukoma sudut sempit, psikosis berat psikoneurosis
(Andrey, 2010).
2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial
dapat diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP
dengan masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda.
Pada SP satu, perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social,
berdiskusi dengan pasien mengenai keuntungan dan kerugian
apabila berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan orang lain,
mengajarkan cara berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan
berbiincang-bincang dengan orang lain ke dalam kegiatan harian.
Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian
pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktekkan cara
berkenalan dengan satu orang, dan membantu pasien
memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan
untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan
pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba,
dkk. 2008)
3. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2019), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu
semua bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan
dengan BAB dan BAK.
3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-
lain.
7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien
mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri,
seperti, tidak menggunakan/menaruh benda tajam
sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat
ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.
8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku
pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan
gejala primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini
yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi
bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
HALUSINASI
A. DEFINISI
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya
rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara,
bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu
(Hawari, 2011).Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan
melibatkan panca indera (Isaacs, 2012).
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca
indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada
sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu
penuh dan baik.Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien
dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu.
Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak
nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan
(Nasution, 2013).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi
dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak
terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari
luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca
indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
B. MACAM-MACAM HALUSINASI
1. Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara
orang.Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-
kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada
percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami
halusinasi.Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang
dapat membahayakan.
2. Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar
geometris,gambar kartun,bayangan yang rumit atau kompleks.
Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan seperti melihat
monster.
3. Penciuman
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan
feses umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan.Halusinasi
penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
4. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
5. Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.
6. Cenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau
arteri, pencernaan makan atau pembentukan urine.
7. Kinisthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
C. FAKTOR PREDIPOSISI
Menurut Stuart (2018), faktor predisposisi terjadinya halusinasi
adalah:
1. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan
dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami.
Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
a. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada
daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan
perilaku psikotik.
b. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter
yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor
dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal
menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak
manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,
ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian
depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan
anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien.Salah satu sikap
atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi
realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang
hidup klien.
3. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi
realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang,
kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai
stress.
D. FAKTOR PRESIPITASI
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan
setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi,
perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.Penilaian individu
terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan
kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2016).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan
halusinasi adalah:
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang
mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme
pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterpretasikan.
2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku.
3. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor.
E. MANIFESTASI KLINIK
1. Fase Pertama / comforting / menyenangkan
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan
gelisah, kesepian.Klien mungkin melamun atau memfokukan
pikiran pada hal yang menyenangkan untuk menghilangkan
kecemasan dan stress.Cara ini menolong untuk sementara. Klien
masih mampu mengotrol kesadarnnya dan mengenal pikirannya,
namun intensitas persepsi meningkat.
Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan bibir tanpa bersuara, pergerakan mata cepat,
respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya
dan suka menyendiri.
2. Fase Kedua / comdemming
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman
internal dan eksternal, klien berada pada tingkat “listening” pada
halusinasi. Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara
dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas klien
takut apabila orang lain mendengar dan klien merasa tak mampu
mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi
dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang
lain.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom
seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik
dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan dengan realitas.
3. Fase Ketiga / controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien
menjadi terbiasa dan tak berdaya pada halusinasinya.Termasuk
dalam gangguan psikotik.
Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol,
menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak
berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang
perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik
berupa klien berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi
perintah.
4. Fase Keempat / conquering/ panik
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari
kontrol halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan
berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien
tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk
dengan halusinasinya klien berada dalam dunia yang menakutkan
dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini
menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri,
perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak
mampu merespon terhadap perintah kompleks dan tidak mampu
berespon lebih dari satu orang.
Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering
didapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah
tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah
atau menyerang oranglain, gelisah, melakukan gerakan seperti
sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari klien sendiri
tentang halusinasi yang dialaminya ( apa yangdilihat, didengar atau
dirasakan). Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan
halusinasi (Keliat, 2019) :
a. Tahap I : halusinasi bersifat menyenangkan
Gejala klinis :
1) Menyeringai/ tertawa tidak sesuai.
2) Menggerakkan bibir tanpa bicara.
3) Gerakan mata cepat.
4) Bicara lambat.
5) Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan.
b. Tahap 2 : halusinasi bersifat menjijikkan.
Gejala klinis :
1) Cemas.
2) Konsentrasi menurun.
3) Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata.
c. Tahap 3 : halusinasi yang bersifat mengendalikan.
Gejala klinis :
1) Cenderung mengikuti halusinasi.
2) Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
3) Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah.
4) Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu
mengikuti petunjuk).
F. PATOFISIOLOGI
G. RENTANG RESPON
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dna
ketakutan klien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan
pendekatan dilakukan secara individual dan usahakan agar terjadi
kontak mata, kalau bisa pasien disentuh atau dipegang. Pasien
jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional.Setiap perawat
masuk ke kamar atau mendekati klien, bicaralah dengan
klien.Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya klien
diberitahu. Klien diberitahu tindakan yang akan dilakukan. Di
ruangan itu hendaknya disediakan sarana yang dapat merangsang
perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan
realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah
dan permainan.
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali klien menolak obat yang diberikan sehubungan
dengan rangsangan halusinasi yang diterimanya.Pendekatan
sebaiknya secara persuatif tapi instruktif.Perawat harus mengamati
agar obat yang diberikan betul ditelannya, serta reaksi obat yang
diberikan.
3. Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi masalah
yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat
dapat menggali masalah klien yang merupakan penyebab
timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang
ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga
klien atau orang lain yang dekat dengan klien.
4. Memberi aktivitas pada klien
Klien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik,
misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan
ini dapat membantu mengarahkan klien ke kehidupan nyata dan
memupuk hubungan dengan orang lain. Klien diajak menyusun
jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga klien dan petugas lain sebaiknya di beritahu
tentang data klien agar ada kesatuan pendapat dan
kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari
percakapan dengan klien diketahui bila sedang sendirian ia sering
mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di
dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat
menyarankan agar klien jangan menyendiri dan menyibukkan diri
dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini
hendaknya diberitahukan pada keluarga klien dan petugas lain agar
tidak membiarkan klien sendirian dan saran yang diberikan tidak
bertentangan.
Farmako:
1. Anti psikotik:
o Chlorpromazine (Promactile, Largactile)
o Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)
o Stelazine
o Clozapine (Clozaril)
o Risperidone (Risperdal)
2. Anti parkinson:
o Trihexyphenidile
o Arthan
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
PERILAKU KEKERASAN
A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik
baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (fitria, 2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak
menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang membahayakan secara fisik, baik kepada diri
sendiri, maupun orang lain (Yoseph, 2017). Ancaman atau kebutuhan
yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress berat, membuat
orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan:
memaki-maki orang disekitarnya, membanting-banting barang,
menciderai diri dan orang lain, bahkan membakar rumah.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan
salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2012), kekerasan adalah
penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan
terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau
masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak
Menurut Townsend (2018), amuk (aggresion) adalah tingkah
laku yang bertujuan untuk mengancam atau melukai diri sendiri dan
orang lain juga diartikan sebagai perang atau menyerang
Menurut Stuart dan Sundeen (2015), perilaku kekerasan adalah
suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis (Berkowitz, 1993).
B. PENYEBAB
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori
sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (2018) adalah:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang
berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap
proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan
hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif.
Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini
maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal
maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.Beragam
komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif.Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan
pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine,
dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini
sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan
oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung
antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan.Tumor
otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan
untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri rendah.Agresi dan tindak kekerasan memberikan
kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri
dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif
dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara
terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya
harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh
peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri.Contoh
peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise
atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif.Anak memiliki persepsi ideal tentang
orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.
c. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya
dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok
sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai
cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu
menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat
terpenuhi secara konstruktif.Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku
kekerasan.Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan
kekerasan dalam hidup individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan
sering kali berkaitan dengan (Yosep, 2019):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola,
geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan
obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya
pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu,
dendam dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik
pendapat orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak
perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
F. PROSES MARAH
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari
yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan
kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan
terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan. Berikut ini
digambarkan proses kemarahan :(Beck, Rawlins, Williams, 1986, dalam
Keliat, 2016)
Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat
diungkapkan melalui 3 cara yaitu : Mengungkapkan secara verbal,
menekan, dan menantang. Dari ketiga cara ini cara yang pertama
adalah konstruktif sedang dua cara yang lain adalah destruktif.
Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan
dapat diekspresikan pada diri sendiri dan lingkungan dan akan tampak
sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.
Pathway/ Patoflowdiagram
G. PERILAKU
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
1. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan
sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang
menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah,
pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun,
pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan
juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup,
tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
2. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah
langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri.(Stuart dan Sundeen, 2018).
I. PENATALAKSANAAN
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk
ada 2 yaitu:
1. Medis
a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.
b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan
menenangkan hiperaktivitas.
d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila
mengarah pada keadaan amuk.
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d. Pendidikan kesehatan
J. PERENCANAAN PULANG
Perawatan dirumah sakit akan lebih bermakna jika dilanjutkan
dirumah. Untuk itu semua rumah sakit perlu membuat perencanaan
pulang. Perencanaan pulang dilakukan sesegera mungkin setelah klien
dirawat dan diintegrasikan didalam proses keperawatan.
Jadi bukan persiapan yang dilakukan pada hari atau sehari
sebelum klien pulang.
Tujuan perencanaan pulang:
1. Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial.
2. Klien tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungannya.
3. Klien tidak terisolasi sosial
4. Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap (Kelliat, 2012).
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. PENGERTIAN
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia
dalam memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupan-
nya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatan-
nya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat
melakukan perawatan diri (Depkes 2000).Defisit perawatan diri adalah
gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri
(mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu
tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi
dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan diri. Defisit
Perawatan Diri adalah suatu kondisi pada seseorang
yangmengalamikelemahankemampuan dalammelakukan/melewati
aktivitas perawatan diri secara mandiri.
.
B. Jenis-jenis Perawatan Diri
1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan
kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan
untuk menunjukkan aktivitas makan.
C. ETIOLOGI
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2012) penyebab kurang
perawatan diri adalah sebagai berikut :
1. Kelelahan fisik
2. Penurunan kesadaran
E. Mekanisme Koping
1. Regresi
2. Penyangkalan
3. Isolasi diri, menarik diri
4. Intelektualisasi