Anda di halaman 1dari 15

Setelah pasukan Muslim mengalahkan Bizantium dalam Pertempuran Yarmuk pada tahun 636,

Palestina berada di bawah kendali Kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah.[36][37]


[38]
Hubungan politik, perdagangan, dan toleransi antara negara-negara Arab dan Kristen Eropa
mengalami pasang surut hingga tahun 1072, ketika Fatimiyah kehilangan kendali atas Palestina dan
beralih ke Kekaisaran Seljuk Raya yang berkembang pesat.[39] Kendati kalifah Fatimiyah Al-Hakim bi-
Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Kudus, penerusnya mengizinkan
Kekaisaran Bizantium untuk membangunnya kembali.[40] Para penguasa Muslim mengizinkan
peziarahan oleh umat Katolik ke tempat-tempat suci. Para pemukim Kristen dianggap
sebagai dzimmi dan perkawinan campur tidaklah jarang terjadi.[41] Budaya dan keyakinan hidup
berdampingan dan saling bersaing, namun kondisi-kondisi daerah perbatasan tidak bersahabat bagi
para pedagang dan peziarah Katolik.[42] Gangguan atas peziarahan oleh karena penaklukan bangsa
Turk Seljuk memicu dukungan bagi Perang-perang Salib di Eropa Barat.[43]

Terjemahan Prancis dari De Casibus Virorum Illustrium karya Boccaccio memperlihatkan Sultan Seljuk Alp
Arslan secara ritual mempermalukan Romanos IV pada tahun 1071 setelah Pertempuran Manzikert; Alp Arslan
mengizinkan Romanos untuk kembali Konstantinopel, di mana ia terbunuh oleh kaum Bizantium.

Kekaisaran Bizantium melakukan ekspansi wilayah pada awal abad ke-10 melalui Basilius II yang
menghabiskan sebagian besar kekuasaannya selama setengah abad dengan melakukan berbagai
penaklukan. Meskipun ia mewariskan peningkatan harta benda, ia menelantarkan urusan-urusan
domestik dan mengabaikan tugas untuk menggabungkan hasil-hasil penaklukannya ke
dalam ekumene Bizantium. Tak ada satu pun penerus Basilius yang memiliki bakat politik atau
militer, dan tugas mengatur Kekaisaran semakin banyak diserahkan kepada pelayanan sipil. Upaya-
upaya mereka untuk mengembalikan perekonomian Bizantium ke dalam kemakmuran bahkan
memicu inflasi. Untuk menyeimbangkan anggaran yang semakin tidak stabil, tentara tetap Basilius
dibubarkan dan tentara thematiknya digantikan dengan tagmata. Setelah kekalahan pasukan
Bizantium pada tahun 1071 dalam Pertempuran Manzikert, bangsa Turk Seljuk menguasai hampir
keseluruhan Anatolia dan kekaisaran tersebut kerap kali mengalami perang saudara.[44]
Penaklukan kembali Semenanjung Iberia dari kekuasaan kaum Muslim dimulai pada abad ke-8,
mencapai titik baliknya dengan direbutnya kembali Toledo pada tahun 1085.[45] Kendati dalam Konsili
Clermont tahun 1095[46] Paus Urbanus II telah memperbandingkan peperangan Iberia dengan
Perang Salib Pertama yang dimaklumkannya, namun status perang salib baru diperoleh
melalui ensiklik Paus Kallistus II tahun 1123.[47] Setelah ensiklik ini, kepausan tersebut menyatakan
perang-perang salib Iberia pada tahun 1147, 1193, 1197, 1210, 1212, 1221, dan 1229. Hak-hak
istimewa Laskar Salib juga diberikan kepada mereka yang membantu ordo-ordo militer utama
(Kesatria Templar dan Kesatria Hospitalis) dan ordo-ordo Iberian yang pada akhirnya bergabung
dengan kedua ordo utama: Ordo Calatrava dan Ordo Santiago. Dari tahun 1212 hingga 1265
kerajaan-kerajaan Kristen Iberia mendesak kaum Muslim sampai ke Keamiran Granada di ujung
selatan semenanjung tersebut. Pada tahun 1492 keamiran ini ditaklukkan, kaum Muslim dan Yahudi
dipaksa keluar dari semenanjung tersebut.[48]
Suatu kepausan reformis yang agresif mengalami perselisihan dengan monarki-monarki sekuler
Barat dan Kekaisaran Timur, menyebabkan Skisma Timur–Barat[49] dan Kontroversi
Penobatan (yang dimulai sekitar tahun 1075 dan berlanjut selama Perang Salib Pertama).
Kepausan tersebut mulai menegaskan kemerdekaannya dari para penguasa sekuler dan menyusun
alasan-alasan penggunaan kekuatan bersenjata secara tepat oleh kalangan Katolik. Hasilnya
adalah kesalehan yang ketat, suatu minat dalam hal-hal keagamaan, dan propaganda keagamaan
yang menganjurkan suatu perang yang benar untuk merebut kembali Palestina dari kaum Muslim.
Pandangan mayoritas adalah bahwa umat non-Kristen tidak dapat dipaksa untuk
menerima baptisan Kristen atau diserang secara fisik karena memiliki iman yang berbeda, namun
ada kaum minoritas yang meyakini bahwa konversi paksa dan pembalasan dapat dibenarkan
karena penolakan atas pemerintahan dan iman Kristen.[50] Partisipasi dalam perang seperti demikian
dipandang sebagai suatu bentuk penitensi yang mana dapat mengganti kerugian akibat dosa.[51] Di
Eropa, bangsa Jerman melakukan ekspansi dengan mengorbankan bangsa
Slavia[52] dan Sisilia ditaklukkan oleh seorang petualang Norman bernama Robert Guiscard pada
tahun 1072.[53]

Ilustrasi dari Livre des Passages d'Outre-mer (ca. 1490) memperlihatkan Paus Urbanus II dalam Konsili
Clermont. (dari Bibliothèque Nationale)

Kaisar Alexius I Komnenus meminta bantuan militer (kemungkinan tentara bayaran untuk
memperkuat tagmatanya) dari Paus Urbanus II pada Konsili Piacenza tahun 1095 untuk memerangi
Seljuks; ia secara berlebihan menceritakan bahaya yang dihadapi Kekaisaran Timur agar dapat
memperoleh pasukan yang dibutuhkannya.[54] Pada tanggal 27 November 1095, dalam Konsili
Clermont yang dihadiri hampir 300 klerus Prancis, Paus Urbanus mengangkat isu-isu mengenai
masalah yang terjadi di Timur dan perjuangan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) melawan
kaum Muslim. Lima sumber utama seputar informasi terkait konsili ini adalah: Gesta
Francorum (Perbuatan-perbuatan Bangsa Franka), sebuah karya anonim bertarikh antara tahun
1100–1101; Fulcher dari Chartres, seorang imam yang menghadiri konsili ini; Robert sang Rahib,
yang mungkin menghadirinya; Baldric, Uskup Agung Dol, dan Guibert dari Nogent (yang mana tidak
menghadirinya). Laporan-laporan tersebut berupa tulisan tinjauan ke belakang yang sangat jauh
berbeda antara satu dengan yang lainnya.[55] Dalam Historia Iherosolimitana karyanya tahun 1106–
1107, Robert sang Rahib menuliskan bahwa Paus Urbanus meminta kaum Kristen barat untuk
membantu Kekaisaran Bizantium karena "Deus vult" ("Allah menghendakinya") dan
menjanjikan absolusi bagi para pesertanya; menurut sumber-sumber lainnya, paus tersebut
menjanjikan suatu indulgensi. Dalam laporan-laporan itu, Paus Urbanus menekankan untuk merebut
kembali Tanah Suci daripada sekadar membantu sang kaisar dan ia mendaftar pelanggaran-
pelanggaran mengerikan yang diduga dilakukan oleh kaum Muslim. Perang salib tersebut diserukan
di seluruh Prancis; Paus Urbanus menulis kepada mereka "yang menanti di Flandria" bahwa bangsa
Turk, selain menghancurkan "gereja-gereja Allah di wilayah-wilayah timur", telah merebut "Kota Suci
Kristus, yang dihiasi oleh sengsara dan kebangkitan-Nya—dan merupakan penghujatan untuk
mengatakannya—telah menjualnya dan gereja-gerejanya ke dalam perbudakan keji". Meskipun
sang paus tidak secara eksplisit menyebut penaklukan kembali Yerusalem, ia menyerukan
"pembebasan" militer atas Gereja-gereja Timur dan menunjuk Adhemar dari Le Puy untuk
memimpin perang salib ini (yang mana dimulai pada tanggal 15 Agustus, pada peringatan Maria
Diangkat ke Surga).[56]

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Perang Salib I (1096–1099) dan akibat langsungnya[sunting | sunting
sumber]
Artikel utama: Perang Salib Pertama, Perang Salib Rakyat, Pengepungan Yerusalem
(1099), Perang Salib 1101, Perang Salib Norwegia, dan Bohemond I dari Antiokhia § Peperangan
antara Antiokhia dan Kekaisaran Bizantium
Lihat pula: Perang Salib Jerman, 1096

Rute Perang Salib Pertama di Asia.

Pada tahun 1095 Paus Urbanus II di Roma menerima seorang utusan Kaisar Bizantium Alexius I
dari Konstantinopel yang mencari bantuan darurat untuk menghadapi ancaman bangsa Turk. Paus
tersebut bertindak segera dan melangsungkan suatu perang salib dengan tujuan mengamankan
akses menuju tempat-tempat suci. Sejarawan Paul Everett Pierson mengatakan kalau ia juga
"berharap bahwa jika Laskar Salib membantu Gereja Timur dengan mengalahkan bangsa Turk,
Gereja akan bersatu kembali di bawah kepemimpinannya."[57] Karena terinsiprasi oleh khotbah Paus
Urbanus II, Peter sang Pertapa memimpin sebanyak 20.000 orang, sebagian besar petani, menuju
Tanah Suci tak lama setelah Paskah tahun 1096.[58] Ketika mereka tiba di Jerman pada musim semi
tahun 1096, kesatuan-kesatuan Laskar Salin memulai pembantaian Rhineland di kota Speyer,
Worms, Mainz, dan Cologne, kendati ada upaya-upaya oleh para uskup Katolik untuk melindungi
orang-orang Yahudi. Para pemimpin utamanya misalnya Emicho dan Peter sang Pertapa. Aktivitas
anti-Yahudi ini memiliki kisaran yang luas, mulai dari kekerasan spontan secara terbatas sampai
dengan serangan militer skala penuh terhadap komunitas-komunitas Yahudi di Mainz dan Cologne.
[59]
Hal ini merupakan peristiwa besar pertama terkait kekerasan anti-Yahudi di Eropa, dan dikutip
oleh kaum Zionis pada abad ke-19 sebagai kebutuhan akan suatu negara Yahudi. [60] Ketika
kelompok tersebut sampai di Kekaisaran Bizantium, Kaisar Alexius mendesak mereka agar
menunggu para bangsawan barat, tetapi mereka bersikeras untuk melanjutkan dan jatuh dalam
suatu penyergapan oleh bangsa Turk di luar kota Nicea, di mana hanya sekitar 3.000 orang yang
berhasil meloloskan diri.[61]
Laskar Salib yang resmi berangkat dari Prancis dan Italia pada bulan Agustus dan September 1096.
Sejumlah besar pasukan tersebut dibagi menjadi empat bagian, yang mana melakukan perjalanan
secara terpisah menuju Konstantinopel.[62][63] Jika memperhitungkan orang-orang selain pejuang,
pasukan barat mungkin berjumlah sebanyak 100.000 orang.[64] Para pasukan tersebut melakukan
perjalanan ke arah timur lewat jalan darat menuju Konstantinopel, di mana mereka menerima
sambutan kehati-hatian dari sang Kaisar Bizantium.[65] Pasukan utamanya, kebanyakan terdiri dari
kesatria Norman dan Prancis di bawah kepemimpinan para baron, berjanji untuk mengembalikan
wilayah-wilayah yang hilang kepada kekaisaran tersebut dan mereka berbaris menuju selatan
melalui Anatolia.[66][67][68] Para pemimpin Perang Salib Pertama ini misalnya Godefroy dari
Bouillon, Robert Curthose, Hugues I dari Vermandois, Baudouin dari Boulogne, Tancred dari
Hauteville, Raymond IV dari Toulouse, Bohemond dari Taranto, Robert II dari Flandria, dan Étienne,
Comte Blois. Raja Prancis dan Heinrich IV, Kaisar Romawi Suci, saat itu sedang dalam konflik
dengan sang Paus dan tidak ikut berpartisipasi.[69]
Laskar Salib awalnya berperang melawan bangsa Turk dalam Pengepungan Antiokhia yang
berlangsung cukup lama, dimulai sejak bulan Oktober 1097 dan berakhir Juni 1098. Ketika mereka
memasuki Antiokhia, Laskar Salib membantai penduduk Muslim dan menjarah kota tersebut.
Namun sejumlah besar pasukan Muslim yang dipimpin oleh Kerboga segera mengepung Laskar
Salib, yang saat itu berada di dalam Antiokhia. Bohemond dari Taranto berhasil merapatkan kembali
barisan Laskar Salib dan mengalahkan Kerboga pada tanggal 28 Juni.[70] Bohemond dan
pasukannya tetap memegang kendali atas kota tersebut, kendati telah berjanji mengembalikannya
kepada Alexius.[71] Sebagian besar dari anggota Laskar Salib yang tersisa bergerak menuju selatan,
berpindah dari satu kota ke kota lainnya di sepanjang pesisir tersebut, dan akhirnya tiba di
Yerusalem pada tanggal 7 Juni 1099 dengan hanya sebagian kecil dari kekuatan mereka yang
semula.[72]
Kaum Yahudi dan Muslim berjuang bersama-sama untuk mempertahankan Yerusalem dalam
menghadapi invasi kaum Franka itu, tetapi Laskar Salib berhasil masuk ke dalam kota tersebut pada
tanggal 15 Juli 1099. Mereka mulai melakukan pembantaian penduduk sipil Muslim dan Yahudi,
serta menjarah atau menghancurkan masjid-masjid atau kota itu sendiri.[73] Dalam Historia
Francorum qui ceperunt Iherusalem karyanya, Raymond D'Aguilers meninggikan tindakan-tindakan
yang mana akan dianggap sebagai kekejaman dari suatu sudut pandang modern. [74] Sebagai akibat
dari Perang Salib Pertama, tercipta empat negara bentukan Laskar Salib yang utama: Edessa,
Antiokhia, Tripoli, dan Yerusalem.[75] Pada suatu tingkatan populer, Perang Salib Pertama dianggap
melepaskan suatu gelombang amarah Katolik yang saleh dan emosional, yang mana diungkapkan
dalam pembantaian orang-orang Yahudi yang mengiringi perang-perang salib tersebut[76] dan
perlakuan kejam atas kaum Kristen Ortodoks "skismatik" dari timur.[77]
Setelah Perang Salib Pertama berlangsung yang kedua, perang salib yang kurang berhasil dan
disebut Perang Salib 1101, di mana bangsa Turk yang dipimpin oleh Kilij Arslan I mengalahkan
Laskar Salib dalam tiga pertempuran terpisah.[78]

Abad ke-12[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Salib Kedua, Perang Salib Wend, dan Perang Salib Ketiga
Pada awal abad ke-12, praktik perang salib dengan skala yang lebih kecil terus berlangsung. Paus
Kallistus II memaklumkan Perang Salib Venesia yang berlangsung pada tahun 1122–1124;
[79]
kunjungan Foulques V, Comte Anjou, pada tahun 1120 dan 1129 serta Konrad III dari
Jerman pada tahun 1124 menghasilkan pengakuan atas Kesatria Templar oleh Paus Honorius II.
Pemberian indulgensi oleh Paus Innosensius II pada tahun 1135 atas keterlibatan dalam perang
salib bagi mereka yang menentang musuh-musuh kepausan dipandang oleh beberapa sejarawan
sebagai awal mula perang-perang salib yang bermotif politik.[80] Negara-negara bentukan Laskar
Salib pada awalnya aman, tetapi Imad ad-Din Zengi, setelah ditunjuk sebagai gubernur Mosul pada
tahun 1127, merebut Aleppo pada tahun 1128 dan Edessa (Urfa) pada tahun 1144.[81] Kekalahan-
kekalahan ini menyebabkan Paus Eugenius III menyerukan perang salib lainnya pada tanggal 1
Maret 1145.[82] Perang salib baru ini didukung oleh berbagai pengkhotbah, yang paling terkenal
ialah Bernardus dari Clairvaux.[83] Para pasukan dari Prancis dan Jerman, masing-masing dipimpin
oleh Raja Louis VII dan Konrad III, bergerak menuju Yerusalem pada tahun 1147 dan juga
melakukan pengepungan atas Damaskus, tetapi gagal meperoleh satu pun kemenangan penting.
[84]
Sementara itu sepasukan Laskar Salib dari Eropa utara berhenti di Portugal dan bersekutu
dengan raja Portugal, yakni Afonso I, untuk merebut kembali Lisbon dari kaum Muslim pada tahun
1147.[85] Satu detasemen dari Laskar Salib ini membantu Comte Ramón Berenguer IV dari Barcelona
untuk menaklukkan kota Tortosa pada tahun berikutnya.[86]
Di Tanah Suci, baik raja Prancis maupun Jerman telah kembali ke negara mereka masing-masing
pada tahun 1150 tanpa ada satu pun perubahan berarti. Bernardus dari Clairvaux, yang melalui
khotbah-khotbahnya mendorong keikutsertaan dalam Perang Salib Kedua, kecewa dengan
terjadinya kekerasan dan pembantaian terhadap penduduk Yahudi di Rhineland.[87] Pada tahun
1172 Heinrich sang Singa, Adipati Sachsen, melakukan suatu peziarahan yang terkadang dianggap
sebagai suatu perang salib.[88] Pada saat yang sama, bangsa Saxon dan Dane berperang
melawan orang Wendi dalam Perang Salib Wendi. Kaum Wendi mengalahkan Dane; Saxon tidak
memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam perang salib tersebut.[89] Perang-perang salib
terus berlanjut padahal tidak ada bulla kepausan resmi yang dikeluarkan untuk memberikan
wewenang berlangsungnya perang-perang salib baru.[90] Heinrich memulai kembali upaya untuk
menaklukkan kaum Wendi pada tahun 1160, dan mereka dikalahkan olehnya pada tahun 1162. [91]

Miniatur Raja Philippe II dari Prancis ketika tiba di Tanah Suci.

Saladin membangun suatu kesatuan kekuatan oposisi dan memberikan ancaman baru kepada
negara-negara Latin.[92] Setelah kemenangannya di Pertempuran Hattin, ia dengan mudah
mengalahkan Laskar Salib yang tercerai berai pada tahun 1187 dan merebut kembali
Yerusalem pada tanggal 29 September tahun itu. Syarat-syarat perjanjian diatur dan kota itu
menyerah; Saladin memasuki kota pada tanggal 2 Oktober.[93] Menurut Benediktus dari
Peterborough, Paus Urbanus III meninggal dunia karena kesedihan yang mendalam pada tanggal
19 Oktober 1187 setelah mendengar berita mengenai kekalahan tersebut.[94] Pada tanggal 29
Oktober Paus Gregorius VIII mengeluarkan sebuah bulla kepausan, Audita tremendi, yang
memaklumkan dilangsungkannya Perang Salib Ketiga. Friedrich I, Kaisar Romawi Suci, Philippe II
dari Prancis, dan Richard I dari Inggris berencana untuk merebut Yerusalem kembali dan mereka
mengorganisir pasukan masing-masing. Friedrich meninggal dunia dalam perjalanan ke Yerusalem;
beberapa pasukannya dapat mencapai Tanah Suci. Dua pasukan lainnya berhasil sampai tetapi
dilanda pertengkaran politik. Philippe kembali ke Prancis, meninggalkan sebagian besar
pasukannya. Richard menaklukkan Pulau Siprus dari kaum Bizantium pada tahun 1191 karena para
korban kapal karam termasuk saudarinya ditawan oleh penguasa pulau itu, Isaakius Komnenos.[95] Ia
kemudian merebut kembali kota Akko setelah suatu pengepungan yang lama. Laskar Salib
melakukan perjalanan ke selatan di sepanjang pantai Mediterania, mengalahkan kaum Muslim di
dekat Arsuf, dan merebut kembali kota pelabuhan Yafo. Mereka telah berada di dekat Yerusalem,
tetapi kekurangan perbekalan memaksa mereka untuk mengakhiri perang salib ini tanpa merebut
Yerusalem.[96] Richard meninggalkannya pada tahun berikutnya setelah menegosiasikan suatu
perjanjian dengan Saladin. Ketentuan-ketentuan itu mengizinkan kaum Katolik yang tidak bersenjata
untuk berziarah ke Yerusalem dan mengizinkan para pedagang untuk berdagang.[97] Heinrich VI,
Kaisar Romawi Suci, memprakarsai Perang Salib Jerman pada tahun 1197 untuk memenuhi janji-
janji yang dibuat oleh ayahnya, Friedrich. Dengan dipimpin oleh Konrad dari Wittelsbach, Uskup
Agung Mainz, pasukan tersebut tiba di Akko dan merebut kota Sidon dan Beirut. Namun sebagian
besar anggota pasukan akhirnya kembali ke Jerman setelah Heinrich meninggal dunia.[98]

Abad ke-13[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Salib Utara, Perang Salib Livonia, Perang Salib Prusia, Kekaisaran
Latin, Frankokratia, Pengepungan Konstantinopel (1203), Pengepungan Konstantinopel
(1204), Pertempuran Adrianopel (1205), Pengepungan Zara, dan Perang Salib Albigensian
Artikel utama: Perang Salib Keempat, Perang Salib Kelima, Perang Salib Keenam, Perang Salib
Bosnia, Perang Salib Para Baron, Perang Salib Ketujuh, Perang Santo Sabas, Perang Salib
Kedelapan, Perang Salib Kesembilan, dan Vespers Sisilia

Dua orang Kesatria Livonia; penggambaran dari abad ke-19.

Ketika Paus Selestinus III menyerukan suatu perang salib terhadap kaum pagan di Eropa
Utara pada tahun 1193, Uskup Berthold dari Hanover memimpin sejumlah besar pasukan untuk
mengalahkannya dan ia meninggal dunia tahun 1198. Menanggapi kekalahan tersebut, Paus
Innosensius III mengeluarkan sebuah bulla kepausan yang menyatakan suatu perang salib
terhadap etnis Livonia yang mana kebanyakan menganut paganisme.[99] Albrecht von Buxthoeven,
setelah dikonsekrasi sebagai uskup pada tahun 1199, tiba pada tahun berikutnya dengan suatu
kekuatan yang besar dan menjadikan Riga sebagai takhta keuskupannya pada tahun 1201. Pada
tahun 1202 ia membentuk Kesatria Livonian untuk membantunya mengkonversi kaum pagan ke
dalam Katolikisme dan, yang lebih penting, untuk melindungi perdagangan Jerman. Etnis Livonia
tersebut ditaklukkan dan dikonversi antara tahun 1202 dan 1209.[100] Pada tahun 1217 Paus Honorius
III menyatakan suatu perang salib terhadap orang Prusia,[101] dan pada tahun 1226 Konrad I dari
Masovia memberikan Chełmno kepada para Kesatria Teutonik sebagai sebuah basis bagi perang
salib ini.[102] Pada tahun 1236 para Kesatria Livonia dikalahkan oleh orang Lithuania di Saule, dan
pada tahun 1237 Paus Gregorius IX menggabungkan sisa-sisa dari ordo militer tersebut ke dalam
Kesatria Teutonik sebagai Ordo Livonian.[103]
Pada tahun 1249 para Kesatria Teutonik menyelesaikan penaklukan mereka atas orang Prusia
Lama, dan memerintahnya sebagai para lord dari kaisar Jerman. Mereka kemudian menaklukkan
dan mengkonversi orang Lithuania, suatu proses yang berlangsung sampai tahun 1380-an. [104] Ordo
tersebut gagal menaklukkan bangsa Rusia Ortodoks, khususnya Republik
Pskov dan Novgorod (dengan dukungan dari Paus Gregorius IX), sebagai bagian dari Perang Salib
Utara. Pada tahun 1240 pasukan Novgorod mengalahkan bangsa Swedia dalam Pertempuran
Neva,[105] dan dua tahun kemudian mereka mengalahkan Ordo Livonian dalam Pertempuran di Es.[106]
Paus Innosensius III mulai berkhotbah di Inggris, Jerman, dan khususnya Prancis, tentang apa yang
kemudian menjadi Perang Salib Keempat pada tahun 1200.[107] Ini menjadi semacam kendaraan bagi
ambisi politik Doge Enrico Dandolo dari Venesia (suatu negara vasal dari Bizantium pada saat itu)
dan Raja Jerman Philip dari Swabia, yang beristrikan Irene dari Bizantium. Dandolo melihat suatu
kesempatan untuk memperluas kekuasaan Venesia di Timur Dekat dan melepaskan diri
dari keterikatan Bizantium; Philip melihat perang salib tersebut sebagai suatu kesempatan untuk
mengembalikan keponakannya yang diasingkan, Alexius IV Angelus, ke singgasana Bizantium.
[108]
Meskipun Laskar Salib membuat kontrak dengan orang Venesia untuk suatu armada dan
perbekalan untuk mengangkut mereka ke Tanah Suci, mereka tidak mampu membayar karena
jumlah kesatria yang tiba di Venesia terlalu sedikit. Karenanya mereka sepakat untuk mengalihkan
perang salib ke Konstantinopel dan berbagi apa yang dapat dirampas sebagai pembayaran.
Sebagai jaminannya Laskar Salib merebut kota Kristen Zara pada tanggal 24 November 1202, dan
mereka semua yang terlibat diekskomunikasi oleh Paus Innosensius yang terkejut karena peristiwa
itu.[109] Mereka mendapat perlawanan terbatas dalam pengepungan awal mereka atas
Konstantinopel, dengan berlayar menyusuri Dardanelles dan menembus tembok-tembok laut.
Alexius IV Angelus mati dicekik setelah suatu kudeta kekaisaran, sehingga menggagalkan usaha
mereka, dan mereka mengulangi pengepungan itu pada bulan April 1204. Kali ini kota tersebut
dijarah, gereja-gereja dirampok, dan banyak penduduk dibunuh; Laskar Salib membagi kekaisaran
ini menjadi berbagai fief Latin dan koloni Venesia. Yang terakhir, pertahanan La Cava dan Nikosia
dititikberatkan.[110] Pada bulan April 1205, Laskar Salib dikalahkan oleh kaum Bulgar dan sisa-sisa
orang Yunani di Adrianopel, di mana Kaloyan dari Bulgaria menangkap dan memenjarakan kaisar
Latin yang baru, yaitu Baudouin dari Flandria.[111][112] Kendati menyesalkan tindakan-tindakan itu,
kepausan tersebut pada awalnya mendukung penyatuan kembali gereja-gereja Timur dan Barat
secara paksa.[113] Perang Salib Keempat secara efektif menyebabkan adanya dua Kekaisaran
Romawi di Timur: suatu kekaisaran Latin di selat tersebut (Konstantinopel) yang bertahan sampai
tahun 1261 dan suatu enklave Bizantium yang memerintah dari Nicea, yang mana kemudian
berhasil menguasainya kembali dengan memanfaatkan tidak adanya armada Venesia.
Bagaimanapun Venesia adalah pewaris atau penerima manfaat satu-satunya.[114]

Paus Innosensius III mengekskomunikasi kaum Albigens (kiri), dan pembantaian Albigens oleh Laskar Salib
(kanan).

Meskipun Perang Salib Albigensian dilangsungkan pada tahun 1208 untuk mengatasi
kaum Katar (Albigens) dari Ositania (Prancis selatan masa kini), perjuangan panjang selama
beberapa dekade menyimpan banyak keinginan dari Prancis utara untuk memperluas kontrolnya ke
selatan sebagaimana dilakukannya dengan memerangi bidah tersebut. Kaum Katar akhirnya
berhasil dihalau ke bawah tanah, dan Prancis selatan kehilangan kemerdekaannya.[115] Pada tahun
1221 Paus Honorius III meminta Raja András II untuk mengatasi para bidat di Bosnia, dan pasukan
Hungaria menanggapi tambahan permintaan kepausan pada tahun 1234 dan 1241; kampanye yang
belakangan berakhir dengan adanya invasi Mongol di Hungaria pada tahun 1241. Gereja
Bosnia merupakan Katolik secara teologis, tetapi skismanya dengan Gereja Katolik Roma
berlangsung hingga melewati akhir Abad Pertengahan.[116] Paus Innosensius III menyatakan bahwa
suatu perang salib baru akan dimulai pada tahun 1217, dan ia menyelenggarakan Konsili Lateran
IV pada tahun 1215. Sebagian besar anggota Laskar Salib ini berasal dari Jerman, Flandria,
dan Frisia, dengan sejumlah besar pasukan dari Hungaria yang dipimpin oleh András II dan
pasukan tambahan yang dipimpin oleh Adipati Luitpold VI dari Austria. András dan Luitpold tiba di
Akko pada bulan Oktober 1217, namun hanya sedikit hasil yang dicapai dan András kembali ke
Hungaria pada bulan Januari 1218. Setelah kedatangan lebih banyak anggota Laskar Salib, Luitpold
dan Raja Yerusalem Jean dari Brienne mengepung Damietta di Mesir;[117] mereka merebutnya pada
bulan November 1219. Upaya-upaya lanjutan oleh Pelagio Galvani, seorang legatus kepausan,
untuk bergerak lebih jauh ke Mesir tidak membuahkan hasil.[118] Karena diblokir oleh pasukan
Sultan Ayyubiyyah Al-Kamil, Laskar Salib terpaksa menyerah. Al-Kamil memaksa dikembalikannya
Damietta, setuju untuk melakukan gencatan senjata selama 8 tahun, dan Laskar Salib
meninggalkan Mesir.[119]

Friedrich II (kiri) bertemu dengan al-Kamil (kanan) dalam sebuah naskah beriluminasi dari Nuova
Cronica karya Giovanni Villani.

Setelah berulang kali melanggar sumpahnya dalam perang salib, Kaisar Friedrich II
diekskomunikasi.[120] Ia akhirnya berlayar dari Brindisi, mendarat di Akko pada bulan September 1228
setelah suatu perhentian di Siprus.[121] Friedrich menyepakati suatu perjanjian damai dengan Al-Kamil
yang mana memungkinkan kaum Kristen Latin untuk menguasai sebagian besar Yerusalem dan
sejalur wilayah dari Akko menuju Yerusalem, dengan kaum Muslim menguasai daerah-daerah suci
mereka di Yerusalem. Sebagai imbalannya, Friedrich berjanji untuk melindungi Al-Kamil terhadap
semua musuh sekalipun mereka kaum Kristen.[122] Setelah Perang Salib Keenam
berlangsung Perang Salib Para Baron, yakni suatu upaya oleh Raja Thibaut I dari Navarre pada
tahun 1239 dan 1240 yang berawal dari panggilan Paus Gregorius IX pada tahun 1234 untuk
kembali berhimpun pada bulan Juli 1239 setelah gencatan senjata berakhir. Selain Thibaut, Peter
dari Dreux, Hugues IV dari Bourgogne dan bangsawan Prancis lainnya juga berpartisipasi. Mereka
tiba di Akko pada bulan September 1239. Setelah suatu kekalahan pada bulan November di Gaza,
Thibaut mengatur dua perjanjian—satu perjanjian dengan kaum Ayyubiyyah dari Damaskus dan
perjanjian lainnya dengan kaum Ayyubiyyah dari Mesir—yang mana mengembalikan wilayah
kepada negara-negara yang tergabung dalam perang salib tetapi menyebabkan ketidakpuasan di
kalangan Laskar Salib. Thibaut kembali ke Eropa pada bulan September 1240; Richard dari
Cornwall, adik Raja Henry III dari Inggris, mengambil salib tersebut dan tiba di Akko beberapa
minggu kemudian. Setelah menegakkan perjanjiannya Thibaut, Richard meninggalkan Tanah Suci
untuk kembali ke Eropa pada bulan Mei 1241.[123]
Selama musim panas tahun 1244 pasukan Khwarezmia yang dikirim oleh putra al-Kamil, yaitu as-
Salih Ayyub, menyerang dan mengambil alih Yerusalem. Kaum Franka bersekutu dengan Ismail,
paman Ayyub, dan al-Mansur Ibrahim, amir dari Ḥimṣ; pasukan gabungan mereka memasuki
pertempuran di La Forbie di Gaza. Pasukan salib dan sekutunya dikalahkan dalam waktu 48 jam
oleh pasukan Khwarezmia.[124] Raja Louis IX dari Prancis mengorganisir suatu perang salib setelah
mengambil salib tersebut pada bulan Desember 1244, memberitakan dan melakukan perekrutan
antara tahun 1245 sampai 1248.[125] Pasukan Louis berlayar dari Prancis pada bulan Mei 1249,
mendarat di Mesir dekat Damietta pada tanggal 5 juni 1249. Setelah banjir dari sungai Nil surut,
pasukan tersebut bergerak ke pedalaman pada bulan November dan pada bulan Februari telah
berada di dekat Mansura. Mereka dikalahkan, dan Louis ditangkap saat ia mundur kembali ke
Damietta.[126] Ia ditebus dengan harga 800.000 bezant, dan disepakati suatu gencatan senjata
selama 10 tahun. Louis pergi ke Suriah, menetap di sana sampai tahun 1254 untuk memperkuat
dan memperkokoh kerajaan Yerusalem.[127]
Pada tahun 1256 orang Venesia terusir dari Tirus, menggerakkan terjadinya Perang Santo
Sabas atas wilayah di Akko yang diklaim oleh Genoa dan Venesia.[128] Meskipun orang Venesia
menaklukkan wilayah yang disengketakan itu (dengan menghancurkan benteng pertahanan Santo
Sabas), mereka tidak dapat mengusir orang Genoa. Selama blokade 14 bulan, Genoa bersekutu
dengan Philippe dari Montfort, John dari Arsuf, dan Kesatria Hospitalis; sementara Venesia
didukung oleh Comte Yafo dan Kesatria Templar.[129] Pada tahun 1261 orang Genoa dapat diusir
tetapi Paus Urbanus IV, karena khawatir atas dampak perang tersebut pada pertahanan
terhadap orang Mongol, mengorganisir suatu konsili perdamaian.[130] Konflik tersebut berlanjut pada
tahun 1264 ketika orang Genoa mendapat bantuan dari Mikhael VIII Palaiologos, Kaisar Nicea, dan
Venesia tidak berhasil dalam usahanya menaklukkan Tirus. Kedua belah pihak menggunakan
serdadu Muslim (terutama Turkopol) untuk melawan musuh Kristen mereka, dan orang Genoa
menjalin aliansi dengan Sultan Mesir Baibars.[131] Perang ini secara signifikan mengganggu
kemampuan kerajaan tersebut dalam menghadapi ancaman eksternal. Selain bangunan-bangunan
keagamaan, kebanyakan bangunan berkubu di Akko dihancurkan; pada satu titik, kota itu dikatakan
tampak seperti telah dirusak oleh pasukan Muslim. Menurut Rothelin, yang
melanjutkan Sejarah karya William dari Tirus, 20.000 orang tewas dalam konflik tersebut (sementara
negara-negara bentukan Laskar Salib sangat kekurangan prajurit). Perang ini berakhir pada tahun
1270, dan pada tahun 1288 Genoa mendapatkan kembali kawasannya di Akko. [132]

Patung Charles dari Anjou di Hyères.

Pada tahun 1266 saudara Louis IX, Charles, merebut Sisilia yang sebelumnya menguasai sebagian
daerah di Laut Adriatik timur, yaitu Kerkyra, kota-kota Butrinto, Avlona, dan Suboto. Perjanjian
Viterbo disepakati dengan pengasingan Baudouin II dari Konstantinopel dan Guillaume dari
Villehardouin; para ahli waris dari kedua pangeran Latin ini akan dinikahkan dengan anak-anak
Charles, dan jika tidak ada ahli waris maka Charles akan memperoleh kepangeranan dan
kekaisaran tersebut. Charles memalingkan perang salib saudaranya demi kepentingannya sendiri, ia
membujuk Louis untuk mengarahkan yang disebut Perang Salib Kedelapan itu untuk
melawan vasal yang memberontak dari Charles, yakni Tunis. Namun wafatnya Louis, penyakit yang
menyebar di kalangan Laskar Salib, dan badai yang menghancurkan armada kapalnya memaksa
Charles untuk menunda rencana yang telah disusunnya atas Konstantinopel. Mikhael VIII
Palaiologos khawatir dengan perang salib yang telah direncanakan Charles untuk memulihkan
Kekaisaran Latin, yang mana telah jatuh pada tahun 1261, dan terhadap ekspansi Charles di
Mediterania. Rencana Charles tertunda karena Michael memulai negosiasi dengan Paus Gregorius
X demi persatuan gereja-gereja Yunani dan Latin. Dalam Konsili Lyon II, penyatuan gereja-gereja
tersebut dideklarasikan sehingga Charles dan Philippe dari Courtenay terpaksa menjalin gencatan
senjata dengan kaum Bizantium. Penyatuan ini nantinya terbukti tidak dapat diterima oleh kalangan
Yunani. Michael juga mendanai Genoa untuk mendorong pemberontakan di wilayah-wilayah Italia
utara yang dikuasai Charles.[133] Pada tahun 1268 Charles mengeksekusi Konradin, cicit Isabella dari
Jerusalem dan pretender utama atas singgasana Yerusalem, ketika ia merebut Sisilia dari
Kekaisaran Romawi Suci. Charles membeli hak penguasaan Yerusalem dari Maria dari Antiokhia,
satu-satunya cucu yang masih hidup dari Ratu Isabella, sehingga menciptakan suatu klaim untuk
menandingi Hugues III dari Siprus (cicit Isabella).
Charles menghabiskan hidupnya dengan upaya-upaya untuk menghimpunkan suatu kekaisaran
Mediterania; ia dan Louis memandang diri mereka sebagai instrumen Allah untuk menegakkan
kepausan.[134] Louis IX mengabaikan para penasihatnya sehingga pada tahun 1270 ia kembali
menyerang bangsa Arab di Tunis. Cuacanya panas, dan pasukannya hancur oleh penyakit. Louis
meninggal dunia, sehingga mengakhiri upaya besar yang terakhir untuk mengambil alih Tanah Suci.
[135]
Dari tahun 1265 sampai 1271, para mamluk yang dipimpin oleh Sultan Baibars mendesak kaum
Franka ke beberapa pos pesisir kecil.[136] Yang kemudian menjadi Edward I dari Inggris berjanji untuk
ikut serta dengan Louis IX dalam perang salib, namun ia terlambat dan baru sampai di Afrika Utara
pada bulan November 1270. Setelah wafatnya Louis, Edward pergi ke Sisilia dan kemudian ke Akko
pada bulan Mei 1271. Bagaimanapun pasukannya kecil, dan ia tidak senang dengan gencatan
senjata antara Baibars dan Raja Hugues dari Yerusalem. Edward belajar dari kematian ayahnya dan
suksesinya ke singgasana terjadi pada bulan Desember 1272, tetapi ia tidak kembali ke Inggris
hingga tahun 1274 (walau ia meraih sedikit pencapaian di Tanah Suci).[137] Konklaf pada tahun 1281
yang memilih seorang paus Prancis, yaitu Paus Martinus IV, membawa kekuasaan kepausan
sepenuhnya ke lini belakang Charles. Ia berkampanye di Albania dan Akhaya, namun tidak berhasil,
menjelang persiapan untuk melangsungkan perang salibnya (dengan 400 kapal yang membawa
27.000 kesatria berkuda) terhadap Konstantinopel. Mikhael VIII Palaiologos bersekutu dengan Pero
III dari Aragon untuk memicu suatu pemberontakan, yang kemudian disebut Vespers Sisilia, di mana
armada kapal Laskar Salib ditinggalkan dan dibakar. Orang-orang Sisilia mengangkat Pero sebagai
raja, dan Wangsa Anjou Kapetia diasingkan dari Sisilia. Paus Martinus mengekskomunikasi Pero
dan melangsungkan suatu perang salib terhadap Aragon sebelum Charles wafat pada tahun 1285,
yang mana memungkinkan Henri II dari Siprus untuk merebut kembali Yerusalem. Salah satu faktor
kemunduran Laskar Salib adalah perpecahan dan konflik seputar kepentingan kaum Kristen Latin di
kawasan timur Mediterania. Paus Martinus dipandang membahayakan kepausan dengan
mendukung Charles dari Anjou, dengan ceroboh melangsungkan "perang-perang salib" sekuler
terhadap Sisilia dan Aragon sehingga menodai gemerlap spiritualnya. Jatuhnya otoritas
moral kepausan dan bangkitnya nasionalisme membunyikan lonceng kematian bagi praktik perang
salib, yang akhirnya mengarah pada Kepausan Avignon dan Skisma Barat. Perang Salib
Aragon dinyatakan oleh Paus Martinus terhadap Pero III pada tahun 1284 dan 1285, di mana Pero
mendukung pasukan anti Angevin ("dari Anjou") di Sisilia setelah Vespers Sisilia dan Paus Martinus
mendukung Charles dari Anjou. Paus Bonifasius VIII menyatakan suatu perang salib
terhadap Federico III dari Sisilia (putra bungsu Pero) pada tahun 1298, namun ia tidak mampu
menghalangi pengakuan dan pemahkotaan Federico sebagai raja Sisilia.[138]
Tanah daratan negara-negara bentukan Laskar Salib dari outremer tersebut lenyap dengan
jatuhnya Tripoli pada tahun 1289 dan Akko pada tahun 1291.[139] Kebanyakan kaum Kristen Latin
yang tersisa pergi ke berbagai tempat tujuan dalam Frankokratia ("pemerintahan Franka"), dibunuh,
atau diperbudak.[140] Upaya-upaya praktik perang salib kecil masih ada pada abad ke-14; Pierre I dari
Siprus merebut dan menjarah Aleksandria pada tahun 1365 dalam peristiwa yang dikenal
sebagai Perang Salib Aleksandria, namun motivasinya lebih kepada kepentingan ekonomi daripada
religius.[141] Louis II memimpin Perang Salib Mahdiya untuk melawan bajak laut Muslim di Afrika
Utara; setelah pengepungan selama 10 minggu, Laskar Salib menyepakati gencatan senjata selama
10 tahun.[142]

Abad ke-14 dan ke-15[sunting | sunting sumber]

Pertempuran antara kaum Hussit dan Laskar Salib; Kodeks Jena, abad ke-15.

Artikel utama: Perang Utsmaniyah di Eropa


Informasi lebih lanjut: Pertempuran Nikopolis, Perang Salib Varna, Peperangan
Hussit dan Pengepungan Beograd
Sejumlah perang salib dilangsungkan selama abad ke-14 dan ke-15 untuk menghadapi ekspansi
Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah); yang pertama (pada tahun 1396) dipimpin oleh Sigismund dari
Luxemburg, raja Hungaria. Banyak bangsawan Prancis yang bergabung dengan Sigismund,
misalnya Jean II dari Bourgogne (putra Adipati Bourgogne). Kendati Sigismund menyarankan
Laskar Salib untuk berfokus pada pertahanan ketika mereka sampai di Donau, mereka mengepung
kota Nikopol. Ottoman mengalahkan mereka dalam Pertempuran Nikopolis pada tanggal 25
September, menawan 3.000 orang.[143] Perang Salib Hussit, dikenal juga dengan
sebutan Peperangan Hussit atau Peperangan Bohemian, merupakan aksi militer terhadap
pengikut Jan Hus di Bohemia dari tahun 1420 sampai 1431. Berbagai perang salib dinyatakan
sebanyak lima kali selama periode ini: tahun 1420, 1421, 1422, 1427, dan 1431. Ekspedisi-ekspedisi
tersebut memaksa pasukan Hussit, yang mana tidak setuju dengan banyak hal doktrinal, untuk
bersatu mengusir penjajah. Peperangan ini beakhir tahun 1436 dengan ratifikasi Compactata
Iglau oleh Gereja.[144]
Raja Polandia-Hungaria Władysław Warneńczyk menyerang wilayah yang baru ditaklukkan
Ottoman, sampai ke Beograd pada bulan Januari 1444; Sultan Murad II menolak suatu negosiasi
gencatan senjatan beberapa hari setelah ratifikasinya. Upaya-upaya lanjutan oleh Laskar Salib
berakhir dalam Pertempuran Varna pada tanggal 10 November, suatu kemenangan mutlak Ottoman
yang menyebabkan mundurnya Laskar Salib. Penarikan ini, menyusul upaya terakhir pihak Barat
untuk membantu Kekaisaran Bizantium, mengakibatkan kejatuhan Konstantinopel pada tahun
1453. János Hunyadi dan Yohanes dari Capistrano mengorganisir suatu perang salib pada tahun
1456 untuk membebaskan Beograd dari pengepungan Ottoman.[145] Pada bulan April 1487 Paus
Innosensius VIII menyerukan suatu perang salib terhadap kaum Waldensian dari Savoy, Piemonte,
dan Dauphiné di Prancis selatan dan Italia utara. Satu-satunya upaya yang benar-benar dilakukan,
yang mana menghasilkan sedikit perubahan, adalah di Dauphiné.[146]
Negara-negara bentukan Laskar Salib[sunting | sunting sumber]

Kekaisaran Bizantium dan Latin pada tahun 1205.

Perang Salib Pertama mendirikan empat negara bentukan Laskar Salib yang pertama di kawasan
timur Mediterania: County Edessa (1098–1149), Kepangeranan Antiokhia (1098–1268), Kerajaan
Yerusalem (1099–1291), dan Comitatus Tripolitanus (1104—kendati Tripoli belum ditaklukkan
hingga 1109—sampai 1289). Kerajaan Armenia Kilikia telah ada sebelum Perang-perang Salib,
tetapi status kerajaan diperolehnya dari Paus Innosensius III dan kemudian mendapat pengaruh
barat sepenuhnya oleh Wangsa Lusignan. Menurut sejarawan Jonathan Riley-Smith, negara-negara
ini merupakan contoh awal dari "Eropa di luar negeri". Mereka umumnya dikenal dengan
sebutan outremer, dari bahasa Prancis outre-mer ("luar negeri", bahasa Inggris: overseas).[147]
Perang Salib Keempat mendirikan sebuah Kekaisaran Latin di timur dan memungkinkan pembagian
wilayah Bizantium oleh para pesertanya. Kaisar Latin mengendalikan seperempat wilayah
Bizantium, Venesia tiga perdelapannya (termasuk tiga perdelapan kota Konstantinopel), dan sisanya
dibagi-bagi di antara para pemimpin perang salib lainnya. Peristiwa ini mengawali periode sejarah
Yunani yang dikenal sebagai Frankokratia atau Latinokratia ("pemerintahan Franka [atau Latin]"),
sedangkan para bangsawan Eropa Barat Katolik—terutama dari Prancis dan Italia—mendirikan
negara-negara di bekas wilayah Bizantium dan memerintah bangsa Yunani Bizantium Ortodoks di
wilayah-wilayah tersebut. Partitio terrarum imperii Romaniae merupakan suatu catatan penting
tentang properti keluarga dan pembagian administratif Bizantium (episkepsis) pada awal abad ke-
13.[26]

Keuangan[sunting | sunting sumber]

Dirham kaum Kristen dengan tulisan Arab (1216–1241).

Perang-perang salib menghabiskan banyak biaya; seiring dengan bertambah banyaknya perang,
biayanya semakin meningkat. Paus Urbanus II meminta kaum kaya untuk membantu
para lord Perang Salib Pertama, seperti Adipati Robert dari Normandia dan Comte Raymond dari St.
Gilles, yang mensubsidi para kesatria dalam pasukan mereka. Total biaya yang dikeluarkan
Raja Louis IX dari Prancis selama perang-perang salib tahun 1284–1285 diperkirakan
1.537.570 livre, yakni enam kali penghasilan tahunan sang raja. Ini mungkin konservatif, sebab
catatan-catatan menunjukkan bahwa Louis menghabiskan 1.000.000 livre di Palestina setelah
kampanye Mesir. Para pemimpin perang meminta subsidi dari para subjek mereka,[148] dan derma
serta hibah yang dimintakan saat penaklukan Palestina merupakan sumber-sumber penghasilan
tambahan. Para paus memerintahkan supaya kotak-kotak kolekte ditempatkan di gereja-gereja dan,
sejak pertengahan abad ke-12, memberikan indulgensi sebagai ganti sumbangan dan hibah yang
diberikan.[149]

Ordo-ordo militer[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Ordo militer (komunitas monastik)
Ordo-ordo militer, terutama ordo Templar dan Hospitalis, memainkan peranan penting dalam
pemberian dukungan bagi negara-negara bentukan Laskar Salib, karena mereka menyediakan
pasukan para prajurit yang sangat terlatih dan termotivasi yang menjadi penentu pada saat-saat
kristis.[150] Kesatria Hospitalis dan Templar menjadi organisasi internasional, dengan
berbagai depot di seluruh Eropa Barat dan di Timur. Kesatria Teutonik berfokus di Baltik, dan ordo-
ordo militer Spanyol dari Santiago, Calatrava, Alcántara, dan Montesa terkonsentrasi di
Semenanjung Iberia. Ordo Hospitalis (Para Kesatria dari Ordo Rumah Sakit Santo Yohanes
Yerusalem) didirikan di Yerusalem sebelum Perang Salib Pertama namun misinya jauh lebih
diperluas sejak Perang-perang Salib dimulai.[151] Setelah jatuhnya Akko mereka pindah ke Pulau
Siprus, menaklukkan dan memerintah Pulau Rodos (1309–1522) dan Malta (1530–1801). Ordo
Templar (Para Sesama Prajurit Miskin dari Kristus dan dari Bait Salomo) didirikan pada tahun 1118
untuk melindungi para peziarah dalam perjalanan mereka ke Yerusalem. Mereka menjadi kaya dan
berkuasa melalui perbankan dan realestat. Pada tahun 1322 Raja Prancis menekan ordo ini seolah-
olah karena kasus sodomi, sihir, dan bidah, tetapi kemungkinan karena alasan-alasan politik dan
keuangan.[152]

Peranan perempuan, anak-anak, dan kelas[sunting | sunting


sumber]

Ilustrasi Perang Salib Anak-anak karya Gustave Doré (1892).

Kaum perempuan terkait erat dengan Perang-perang salib; mereka membantu dalam perekrutan,
mengambil alih tanggung jawab Laskar Salib dalam ketidakhadiran mereka, juga menyediakan
dukungan moral dan keuangan.[153][154] Para sejarawan berpendapat bahwa peranan paling signifikan
yang dimainkan oleh kaum perempuan di Barat adalah mempertahankan status quo.[155] Para pemilik
lahan yang pergi ke Tanah Suci meninggalkan kendali atas properti mereka kepada para pengawas
yang mana sering kali merupakan para istri atau ibu mereka. Karena Gereja menyadari adanya
risiko terhadap keluarga dan properti yang mungkin melemahkan semangat Laskar Salib,
perlindungan khusus dari kepausan merupakan suatu hak istimewa dalam praktik perang salib.
[156]
Sejumlah perempuan aristokrat berpartisipasi dalam perang-perang salib, misalnya Aliénor dari
Aquitaine (yang bergabung dengan suaminya, Louis VII).[157] Perempuan non-aristokrat juga
melayani dalam posisi-posisi seperti tukang cuci.[155] Yang lebih kontroversial adalah kaum
perempuan yang mengambil peranan aktif (bertentangan dengan feminitas mereka); laporan-
laporan tentang kaum perempuan yang ikut bertempur terutama diceritakan oleh para sejarawan
Muslim, yang mana menggambarkan kaum perempuan Kristen yang membunuh secara kejam dan
amoral.[158]
Perang Salib Anak-anak dikatakan sebagai suatu gerakan Katolik di Prancis dan Jerman pada tahun
1212 yang berupaya untuk mencapai Tanah Suci. Narasi tradisionalnya mungkin berupa paduan
dari beberapa pengertian faktual dan mitos dari periode tersebut yang mencakup visiun dari seorang
pemuda Jerman atau Prancis, suatu niat untuk secara damai mengkonversi kaum Muslim di Tanah
Suci menjadi penganut Kristen, sekelompok yang terdiri dari beberapa ribu pemuda yang melakukan
perjalanan ke Italia, dan anak-anak yang dijual sebagai budak.[159] Sebuah penelitian yang
dipublikasikan pada tahun 1977 meragukan keberadaan peristiwa-peristiwa ini, dan banyak
sejarawan meyakini bahwa mereka (atau utamanya) bukan anak-anak tetapi sekelompok "kaum
miskin yang mengembara" di Jerman dan Prancis, yang mana sebagian dari mereka berupaya
untuk mencapai Tanah Suci dan sebagian lainnya yang tidak pernah berniat untuk melakukannya. [160]
[161][162][163]

Tiga upaya untuk bergabung dalam perang salib dilakukan oleh kaum petani selama pertengahan
tahun 1250-an dan awal abad ke-14. Yang pertama, Perang Salib Para Gembala (1251), diserukan
di Prancis utara. Setelah suatu pertemuan dengan Blanca dari Kastilia, gerakan tersebut menjadi
tidak terorganisir dan dibubarkan oleh pemerintah.[164] Yang kedua, pada tahun 1309, terjadi
di Inggris, Prancis timur laut, dan Jerman; sebanyak 30.000 petani tiba di Avignon sebelum
kemudian dibubarkan.[165] Yang ketiga, pada tahun 1320, menjadi serangkaian serangan terhadap
kaum klerus dan Yahudi sehingga akhirnya dibubarkan secara paksa.[166] Bagaimanapun "perang
salib" ini terutama dipandang sebagai suatu pemberontakan terhadap monarki Prancis. Kaum
Yahudi telah diizinkan untuk kembali ke Prancis, setelah sebelumnya diusir pada tahun 1306;
semua hutang kepada kaum Yahudi sebelum pengusiran mereka ditagih oleh monarki tersebut,
sehingga memicu terjadinya Pastoureaux (istilah yang digunakan untuk menyebut gerakan ini).[167]

Peninggalan[sunting | sunting sumber]

Penggambaran dari abad ke-20 terkait suatu kemenangan Shalahuddin al-ayyubi

Orang Eropa Barat yang berada di Timur mengadopsi adat istiadat setempat, memandang diri
mereka sebagai warga dari rumah baru mereka dan terjadi perkawinan campur. [168] Hal ini
menyebabkan adanya orang-orang dan budaya yang diturunkan dari sisa-sisa penduduk Eropa di
negara-negara bentukan Laskar Salib, terutama kaum Levantin Prancis di Lebanon, Palestina,
dan Turki. Para pedagang dari republik maritim di sekitar Laut Tengah atau Mediterania
(Venesia, Genoa, Ragusa) melanjutkan kehidupan mereka di Konstantinopel, Smirna, dan bagian-
bagian lain Anatolia serta daerah pesisir kawasan timur Mediterania selama pertengahan era
Bizantium dan Ottoman. Orang-orang ini, yang dikenal dengan sebutan Franko-Levantin (Levantin
Prancis; Frankolevantini; bahasa Italia: Levantini; bahasa Yunani: Φραγκολεβαντίνοι; dan bahasa
Turki: Levantenler, Tatlısu Frenkleri), merupakan umat Katolik Roma.
Perang-perang Salib pada saat itu mempengaruhi sikap Gereja Barat terhadap peperangan;
panggilan secara rutin untuk melangsungkan perang salib dikatakan membiasakan
para klerus terhadap tindak kekerasan. Mereka juga memicu suatu perdebatan seputar legitimasi
merebut tanah dan kepemilikan dari kaum pagan dengan alasan murni keagamaan yang mana
kembali muncul ke permukaan selama Zaman Penjelajahan pada abad ke-15 dan ke-16.
[169]
Kebutuhan akan praktik perang salib mendorong perkembangan pemerintahan sekuler, yang
mana tidak semuanya berdampak positif; sumber daya yang digunakan dalam peperangan
seharusnya dapat digunakan oleh negara-negara berkembang untuk kebutuhan lokal maupun
regional.[170]
Karena prestise dan kekuasaannya diangkat oleh Perang-perang Salib, kuria kepausan pada saat
itu menjadi memiliki kendali yang lebih besar atas Gereja barat dan memperluas sistem perpajakan
kepausan melalui struktur gerejawi Barat. Sistem indulgensi bertumbuh signifikan di Eropa pada
abad pertengahan akhir dan memicu Reformasi Protestan pada awal abad ke-16.[171]
Meskipun Perang Salib Albigensian dimaksudkan untuk menghilangkan Katarisme di Languedoc,
namun Prancis mengakuisisi daratan dengan ikatan bahasa dan budaya yang lebih dekat
dengan Catalunya. Perang salib ini juga berperan dalam pembentukan dan pelembagaan
Ordo Dominikan dan Inkuisisi Abad Pertengahan.[172] Penganiaan terhadap orang Yahudi dalam
Perang Salib I menjadi bagian dari sejarah panjang antisemitisme di Eropa.[173] Kebutuhan untuk
meningkatkan, mengangkut, dan mensuplai pasukan dalam jumlah besar menyebabkan kenaikan
aktivitas perdagangan antara Eropa dan outremer tersebut. Genoa dan Venesia mengalami
perkembangan dengan adanya koloni-koloni perdagangan yang menguntungkan di negara-negara
bentukan Laskar Salib di Tanah Suci dan (kemudian) di wilayah Bizantium yang direbutnya

Anda mungkin juga menyukai