Anda di halaman 1dari 10

PEMBAHASAN

A. Pengertian Zakat

Zakat berasal dari kata zaka artinya tumbuh dengan subur. Makna lain
kata zakasebagaimana digunakan dalam al-Qur’an adalah suci dari dosa. Dalam
kitab-kitab hukum Islam, perkataan zakat itu diartikan dengan suci, tumbuh dan
berkembang serta berkah. Dan jika pengertian itu dihubungkan dengan harta, maka
menurut ajaran Islam, harta yang dizakati itu akan tumbuh berkembang, bertambah
karena suci dan berkah.[3]

Menurut Istilah zakat adalah sebagian harta yang telah diwajibkan oleh Allah
swt untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang
telah dinyatakan dalam Al Qur’an. Zakat diartikan dengan kadar tertentu atas harta
tertentu yang diberikan kepada orang-orang tertentu dengan lafadz zakat yang juga
digunakan terhadap bagian tertentu yang dikeluarkan dari orang yang telah dikenai
kewajiban untuk mengeluarkan zakat.[4]

B. Pengertian Investasi

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia makna investasi adalah


penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan
memperoleh keuntungan.[5]Investasi menurut Sunariyah adalah penanaman modal
untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama
dengan harapan mendapat keuntungan di masa yang akan datang.[6] Menurut
Tandelilin investasi dijadikan sebagai komitmen untuk menanamkan sejumlah dana
pada saat ini dengan tujuan memperoleh keuntungan di masa datang.[7] Investasi
menurut Jogiyanto adalah penundaan konsumsi sekarang untuk dimasukkan ke
aktiva produktif selama periode waktu tertentu.[8]

C. Pengertian Zakat Investasi

Wahbah Zuhaili di dalam al-fiqih al-islami wa’adillatuhu menyatakan bahwa


pada saat ini modal dalam bentuk uang tidak hanya dikonsentrasikan kepada
pengelolahan tanah dan perdagangan, akan tetapi juga sudah diarahkan kepada
pendirian bangunan-bangunan untuk disewakan, pabrik-pabrik, sarana transportasi
udara, laut, darat dan lain sebagainya. Yusuf al-qaradhawi dalam fiqih zakat
mengistilahkan kegiatan ini dengan al-musthaghallat atau investasi baik untuk
disewakan maupun melakukan kegiatan produksi yang kemudian dijual. Ia
memberikan contoh perumahan, alat transportasi yang disewakan, bahkan juga
pabrik-pabrik yang memproduksi berbagai komoditas untuk kemudian dijual di
pasar-pasar.[9] Hasil investasi tersebut wajib dikeluarkan zakatnya selama telah
memenuhi persyaratan atau nishab.

Dengan demikian, zakat investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap


harta yang diperoleh dari hasil investasi, dengan kata lain zakat investasi adalah
kekayaan yang tidak wajib atas materinya tetapi hasil dari produksinya. Di antara
bentuk usaha yang masuk investasi adalah bangunan atau kantor yang disewakan,
saham, rental mobil, rumah kontrakan dan investasi pada ternak atau tambak.
Apabila bentuknya rumah kontrakan, maka yang dizakati adalah uang sewa
kontrakannya dan apabila kendaraan yang disewakan, maka uang sewanya
dizakatkan. Apabila pabrik dan industri, maka nilai produknya yang dizakatkan dan
bila saham, maka nilai pertambahannya atau keuntungannya yang dizakatkan. Hal
ini dilakukan oleh suatu perusahaan jika ia memiliki surplus anggaran untuk
membiayai kegiatan pokoknya.[10]

Namun walaupun Islam sangat menganjurkan investasi, bukan berarti semua


bidang usaha diperbolehkan dalam berinvestasi. Ada aturan-aturan dalam Islam
yang menerapkan batasan mana aktivitas yang halal dan haram untuk dilakukan.
Tujuannya adalah untuk mengendalikan manusia dari kegiatan yang
membahayakan masyarakat. Jadi, prinsi-prinsip Islam dalam kegiatan investas
harus diperhatikan mencakup lima aspek, yaitu:[11]

1. Tidak mencari rezeki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara
mndapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram.

2. Tidak mendzalimi dan tidak didzalimi.

3. Keadilan pendistribusian pendapatan.

4. Transaksi dilakukan atas dasar ridho sama ridho atau suka sama suka (an-taradin).

5. Tidak ada unsur riba, masyir (perjudian/ spekulasi) dan gharar (ketidak jelasan).

D. Hukum Zakat Investasi

Sebagian ulama seperti Ibnu Hazm (465 H) dan beberapa ulama lainnya,
menyatakan bahwa harta tersebut bukan merupakan sumber zakat. Karenanya
zakat menjadi tidak wajib pada harta tersebut. Mereka mengemukakan beberapa
alasan. Pertama, Rasulullah saw telah menjelaskan secara rinci sumber-sumber
yang wajib dikeluarkan zakatnya. Ternyata sumber-sumber tersebut tidak terdapat
dalam penjelasannya atau tidak ada nash dari Rasulullah saw yang mewajibkan
zakat pada benda-benda tersebut. Kedua, mereka juga berpendapat bahwa para
ulama fiqh, sepanjang masa dan waktu tidak ada yang mewajibkannya.[12]
Sementara kelompok ulama lain seperti ulama-ulama mazhab Hambali,
mazhab Maliki, ulama-ulama Hadawiyyah dari Mazhab Zaidiyah, juga Abu Zahrah,
Abdul Wahab Khallaf dan Abdur Rahman Hasan, berpendapat bahwa harta-harta
tersebut wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun alasannya yaitu pertama, dalam
berbagai ayat al-Qur’an seperti surah at-Taubah ayat 103 terdapat perintah yang
mewajibkan mengeluarkan zakat bagi segala macam harta yang dimiliki.[13]

]٩:١٠٣[ ‫ُخ ْذ ِمْن َأْم َو اِلِه ْم َص َد َقًة ُتَط ِّهُرُه ْم َو ُت َز ِّك يِه ْم ِبَه ا َو َص ِّل َع َلْي ِه ْم ۖ ِإَّن َص اَل َت َك َس َك ٌن َلُهْم ۗ َو ُهَّللا َسِم يٌع َع ِليٌم‬

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

Juga terdapat hadits yang bersifat umum, seperti riwayat Imam Turmudzi dari
Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila engkau telah mengeluarkan zakat
harta engkau, maka engkau telah melaksanakan kewajiban” dan “Keluarkanlah oleh
kamu sekalian, zakat harta kamu sekalian.”

Kedua, alasan diwajibkan zakat pada suau sumber zakat, sebagaimana yang
disepakati para fuqaha adalah tumbuh dan berkembang. Harta yang tidak
berkembang, seperti rumah tempat tinggal, perhiasan yang dipakai wanita, kedua
yang dipergunakan untuk perang, sapi, dan unta yang dipekerjakan adalah tidak
wajib zakat, berdasarkan Ijma’ Ulama. Sedangkan harta dalam berbagai bentuk
yang diinvestasikan adalah tumbuh dan berkembang sehingga terdapat alasan kuat
untuk mewajibkan zakat padanya. Ketiga, di antara hikmah diisyaratkan zakat
adalah untuk membersihkan dan menyucikan jiwa dan hati pemilik harta,
menyantuni orang-orang yang membutuhkan seperti fakir dan miskin, keikutsertaan
para pemilik harta untuk membela agama dan menjaga serta menyebarkan dakwah
Islam. Semua itu akan terealisasi manakala para pemilik harta mau mengeluarkan
zakat harta yang dimilikinya.[14]

Muktamar membuat sebuah keputusan bahwa harta yang tumbuh dan


berkembang yang belum ada nash atau dalilnya atau belum ada ketentuan fiqh yang
mewajibkannya, maka hukumnya wajib dizakati bukan dari jenis bendanya, seperti
pesawat terbang, bangunan dan lain sebagainya, akan tetapi dari keuntungan bersih
yang didapatkannya. Sementara itu dalam sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin
Hambali dikemukakan bahwa keuntungan bersih dari harta yang semacam itu, wajib
dikeluarkan zakanya.[15]
E. Perhitungan Zakat Investasi

Model zakat investasi bisa dilaksanakan dan dihitung dengan dua


model. Pertama,model pertanian yaitu 10% dan 5%. Kedua, model perdagangan
2,5%. Dilihat dari karakteristik investasi, biasanya modal tidak bergerak dan tidak
terpengaruh terhadap hasil produksi maka zakat investasi lebih dekat ke zakat
pertanian. Pendapat ini diikuti oleh ulama modern seperti Yusuf Qordhowi,
Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Abdurahman Hasan. Dengan
demikian zakat investasi dikeluarkan pada saat menghasilkan sedangkan modal
tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5% atau 10%. 5 % untuk
penghasilan kotor dan 10% untuk penghasilan bersih. Berikut adalah contoh
perhitugan zakat investasi:[16]

1. Contoh Perhitungan Zakat Investasi Model Pertanian

Hj. Nurul adalah seorang yang kaya raya, ia memiliki rumah kontrakan
berjumlah 20 rumah, dengan tarif berbulannya seharga Rp300.000/rumah. Setiap
bulannya Hj. Nurul mengeluarkan Rp500.000,- untuk biaya perawatan seluruh
rumah kontrakannya. Apakah Hj. Nurul termasuk yang wajib membayar zakat?
berapakah zakatnya?

Penghasilan dari rumah kontrakan dianalogikan dengan zakat pertanian atau


hasil tani, yaitu nishabnya senilai 653 kg beras dengan tarif 5% dari bruto dan 10%
dari netto. Setiap bulannya Hj. Nurul memiliki penghasilan sebanyak 20 x 300.000 =
Rp6.000.000,-

Ada dua cara dalam menghitung zakatnya, yaitu:

a. Bruto: hasil investasi x 5% = Zakat Investasi

Rp6000.000×5% = Rp300.000,- jadi zakatnya Rp300.000,-

b. Netto: (hasil investasi – biaya yang dikeluarkan) x 10% = Zakat investasi

(Rp6000.000 – Rp500.000) x10% = Rp550.000, jadi zakatnya Rp550.000,-

2. Contoh Perhitungan Zakat Investasi Model Perdagangan

Pak Afid menginvestasikan hartanya dan memiliki 50.000 lembar saham PT.
Anugerah Ilahi. Harga nominal Rp5.000,- per lembar. Pada Akhir tahun, buku tiap
lembar. Lembar saham memperoleh deviden Rp300.[17]

Penghitungan Zakat:

Nilai saham = Jumlah saham x harga nominal

= Rp50.000 x Rp5000 = Rp. 250.000.000,-


Deviden = Jumlah saham x deviden

=Rp50.000 x Rp300 = Rp15.000.000,- 

Total = Rp. 265.000.000,-

Zakat = Total x 2,5%

= Rp265.000.000 x 2,5%

= Rp6.675.000,-

PENUTUP

Zakat diartikan dengan kadar tertentu atas harta tertentu yang diberikan
kepada orang-orang tertentu dengan lafadz zakat yang juga digunakan terhadap
bagian tertentu yang dikeluarkan dari orang yang telah dikenai kewajiban untuk
mengeluarkan zakat. Sedangkan investasi adalah penanaman uang atau modal
dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Maka,
zakat investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang diperoleh dari
hasil investasi, dengan kata lain zakat investasi adalah kekayaan yang tidak wajib
atas materinya tetapi hasil dari produksinya. Perhitungan zakat investasi bisa
dilaksanakan dengan dua model. Pertama, model pertanian yaitu 10% dan
5%. Kedua, model perdagangan 2,5%. Apabila setiap orang melaksanakan zakat
investasi atas harta yang dimiliki dapat menyucikan dan membersihkan harta dan
jiwa mereka, bahkan dapat meningkatkan motivasi diri menjadi seorang muzakki.
Akad Transaksi Dalam Hukum Muamalah

I. PENDAHULUAN
Akad (al’aqd) merupakan jama’ dari al’uqud , secara bahasa berarti al-rabth (ikatan,
mengikat), yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu
pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.
Sedangkan secara terminologi hukum Islam, akad berarti pertalian antara ijab dan qabul yang
dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.[1]
Pada dasarnya akad tidak berbeda dengan transaksi (serah terima). Semua perikatan
(transaksi) yang dilakukan oleh dua pihakatau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan
denagn kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-
barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.

II. RUMUSAN MASALAH


Akad atau ijab qabul merupakan salah satu dari rukun berbagai jenis muamalah, seperti
jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Seiring perkembangan zaman, akad atau yang sering
kita kenal dengan transaksi, tentunya mengalami evolusi atau telah berubah mengikuti
perkembangannya, khususnya dalam sistem ekonomi syari’ah. Dari perubahan itu, muncul berbagai
sistem-sistem akad yang terkadang sulit kita pahami. Untuk itu, kami mencoba memaparkan dan
menganalisa terkait masalah akad yang biasa dipakai dalam sitem ekonomi syari’ah kita.

III. Pokok Pembahasan


Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Akad Transaksi Dalam Hukum
Muamalahmelalui pokok pembahasan sebagai berikut :
A. Macam-macam transaksi
B. Hal-hal yang membatalkan akad transaksi
C. Akad Transaksi Implikasinya dalam Operasional Perbankan Syari’ah
D. Pendapat-pendapat Ulama’ tentang Jenis Akad Transaksi.

IV. PEMBAHASAN
1. Macam-macam Akad Transaksi
Menurut ulama’ fiqh, akad dapat dibagi dari beberapa segi. Namun dalam hal hal ini kami
membagi akad dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’. Sehingga akad dibedakan menjadi
dua, yaitu akad shahih dan akad yang tidak shahih.
1. Akad Shahih
Akad shahih merupakan akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Ulama’ Madhab Hanafi
dan Madhab Maliki membagi akad shahih ini dalam dua macam ;[2]
a) Akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada
penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad Mauquf, merupakan akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak atas kehendak
hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan. Seperti
akadnya anak yang masih mumayyiz tapi belum baligh sehingga dia harus mendapat izin dari wali
anak itu. Menurut Madhab Syafi’i dan Hanbali, jual beli yang mauquf itu tidak sah.
Ulama’ fiqh juga membagi jual beli yang shahih dari segi mengikat atau tidak.
a. Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak tidak boleh
membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain. Seperti jual beli dan sewa menyewa.
b. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Seperti pinjam meminjam.
2. Akad yang tidak Shahih
Akad yang tidak shahih merupakan akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syaratnya.
Sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang melakukan akad itu. Madhab
Hanafi membagi akad yang tidak shahih ini ke dalam dua macam.[3]
a) Akad batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan langsung dari syara’.
Seperti jual beli yang dilakukan anak kecil.
b) Akad fasid, akad ini pada dasarnya dibenarkan tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas seperti menjula
mobil tidak disebitkan merknya, tahunnya, dan sebagainya.

Di atas merupakan macam-macam akad transaksi secara umum. Adapun akad yang biasa
dipakai dalam sistem ekonomi syari’ah atau lebih khusus lagi dalam perbankan syari’ah, akan
dibahas pada sub bab akad transaksi implikasinya dalam operasionan perbankan syari’ah.

2. Hal-hal yang b Membatalkan Akad Transaksi


Ulama’ fiqh menyatakan bahwa suatu akad itu dapat menjadi batal atau bisa dikatakan
berakhir manakala terjadi hal-hal sebagi berikut ;
1) Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.
2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
3) Dalam suatu akad yang bersifat mengukat, akad dapt berakhir bila :
1. Akad itu fasid
2. Berlaku khiyar syarat dan khiyar aib
3. Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad.
4. Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna.
4) Wafat salah satu pihak yang berakad
Namun, menurut M. Ali Hasan dalam buku yang berjudul Berbagai Macam Transaksi dalam
Islam, akad itu bisa diteruskan oleh ahli warisnya bila pewaris itu meninggal.[4]

3. Akad Transaksi Implikasinya dalam Operasional Perbankan Syari’ah


Dalam bank syari’ah, akad yang dilalukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi
karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar
kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif
belaka, tapi tidak demikian bila perjanjinan tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil
qiyamah.
Seperti akad dalam perbankan syari’ah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun
ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti :
1. Rukun, seperti ;
a. Penjual
b. Pembeli
c. Barang
d. Harga
e. Akad/ijab qabul
2. Syarat, seperti ;
a) Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi
jukum syari’ah.
b) Harga barang dan jasa harus jelas.
c) Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
d) Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilika. Tidak boleh menjual sesuatu yang
belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale pada pasar modal.[5]

Secara umum, dalam sistem ekonomi syariah akad dibedakan menjadi dua kelompok.
1) Akad tabarru’ (kontrak transaksi untuk kebajikan)
Akad tabarru’ merupakan perjanjian atau kontrak yang tidak mencari keuntungan materiil.
Akad ini bertujuan untuk tolong menolong dan pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari
keuntungan komersil (tabarru’=bir dalam bahasa arab berarti kebaikan). Akan tetapi dalam transaksi ini
diperbolehkan untuk memungut biaya transaksi yang akan habis digunakan dalam transaksi tabarru’
tersebut.[6] Maksudnya, pihak yang berbuat kebaikan terebut boleh meminta kepada counter
partnya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’
tersebut.[7] Contoh dari akad/transaksi tabarru’ adalah sebagai berikut :[8]
a. Qard
Yaitu pemberian harta jepada orang lain yang dapat ditagih kembali atau dengan kata lain
meminjamkan tanpa mengharap imbalan
b. Rahn
Yaitu menahan salah satu harta milik si penminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya.
c. Hiwalah
Merupakan suatu pengalihan utang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib
mennggungnya. Dan masih banyak lagi akas-akad yang tergolong dalam jenis tabarru’ ini.
Lalu dalam praktek perbankan syari’ah, transaksi tabarru’ ini dapat kita lihat dalam transaksi
meminjamkan sesuatu. Yang mana objek pinjamannya dapat berupa uang (lending) atau jasa (lending
yourself). Sehingga ada 3 macam akad transaksi dalam tabarru’ ini
a) Meminjamkan uang
Dalam hal meminjamkan uang ini, ada tiga bentuk akad yang telah dijelaskan di atas, yaitu
qard, rahn, dan hiwalah.
b) Meminjamkan jasa
Dalam hal meminjamkan jasa, ada kalanya melakukan sesuatu atas nama orang lain, yang
disebut dengan wakalah. Lalu, bila wakalah itu dirinci tugasnya yaitu kita menawarkan jasa kita
menjadi wakil seseorang dengan tugas menyediakan jasa (penitipan, pemeliharaan) maka ini
desebut wadi’ah yang. Kemudian ada juga istilah wakalah bersyarat yang disebut dengan kafalah.
c) Memberikan sesuatu
Akad yang termasuk dalam golongan ini adalah akad-akad seperti : hibah, waqf, shadaqah,
hadiah, dan lain-lain.[9]
2) Akad tijarah (kontrak untuk transaksi yang berorientasi laba)
Telah dijelaskan pada wal tadi, berbeda dengan akad tabarru’, akad tijarah adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut for profit sharing yang mana akad-akad ini dilakukan dengan
tujuan mencari keuntungan. Contohnya akad investasi, jual beli, sewa menyewa, dan lain sebaginya.

Sedangkan dalam sistem operasional perbankan syari’ah yang menjadi karakteristik dasar
adalah profit sharing atau yang lebih kita kenal dengan sistem bagi hasil. Salah satunya
adalah mudharabah, di mana bank sebagai mudhorib (pengelola) sedangkan penabung bertindak
sebagai shahibul mal (penyandang dana). Itulah salah satu transaksi perbankan syari’ah dalam hal
penghimpunan dana.
Yang kedua, transaksi dalam hal pembiayaan, merupakan pemberian fasilitas penyediaan
dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. [10] Pembiayaan dalam
bank konvensional lebih kita kenal dengan kredit. Namun berbeda dengan bank syari’ah, pembiayaan
tidak menggunakan konsep prosentasi dan berpedoman pada profit sharing saja tetapi lose profit
sharing karena dalam sistem bagi hasil, belum tentu kita akan mendapatkan keuntungan, bisa jadi
sewaktu-waktu kita mengalami kerugian.
Jadi, pada dasarnya sistem operasional perbankan syari’ah menggunakan konsep akad
transaksi yang telah diajarkan oleh Islam. Implikasinya, produk-produk yang ditawarkan oleh
perbankan syari’ah merupakan produk yang jauh dari unsur riba. Karena perbankan syari’ah berperan
sebagai solusi yang menjawab kekhawatiran masyarakat terkait bunga bank.

4. Pendapat-pendapat Ulama’ tentang Jenis Akad Transaksi


Akad transaksi pada era masa kini tentunya mengalami perubahan karena harus
menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Konsekuensinya, tak jarang beberapa
jenis transaksi hukumnya dipertanyakan lagi, apakah jenis transaksi ini sesuai dengan syari’at atau
tidak. Karena pada dasarnya, akad memiliki rukun dan syarat yang harus terpenuhi. Rukun itu antara
lain : pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al-aqd), pihak-pihak yang berakad, dan obyek akad.
[11]Namun menurut Ulama’ Madhab Hanafi, rukun akad itu cukup satu yaitu sighah al-aqd,
sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad masuk pada syarat akad.
Contoh akad transaksi pada era sekarang yang keabsahan hukumnya masih perlu ditelaah
lebih lanjut. Seperti akad yang terjadi di pasar swalayan,seseorang mengambil barang kemudian
membayar kepada kasir sesuai dengan harga barang ynag tercatum pada barang tersebut. Di dalam
fiqh, jual beli seperti ini di sebut bai’ al-mu’atoh (jual beli dengan saling memberi).
Ulama’ Madhab Syafi’i dalam qaul qadim tidak membenarkan akad seperti ini, karena
kedua belah pihak harus menyatakan secara jelas mengenai ijab dan qabul itu. Demikian juga
madhab Az-Zahiri dan Syiah pun tidak membenarkannya. Tetapi Jumhur Ulama’ Fiqh termasuk
Madhab Syafi'i generasi belakangan seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli seperti ini, karena
telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat sebagian besar umat Islam. Dengan demikian, aat
kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang membawa maslahat dapat dibenarkan
sebagai landasan dalam menetapkan suatu hukum.
Menurut Mustafa Az-Zarqa’ suatu akad dipandang sempurna apabila telah memenuhi
syarat-syarat yang disebutkan di atas. Namun ada akad-akad yang baru dipandang sempurna apabila
telah dilakukan timbangan terima dan tidak memadai hanya dengan ijab dan qabul saja, yang disebut
dengan al-uqud al-ainiyyah. Akad semacam ini ada lima macam, yaitu hubah, pinjam meminjam,
barang titipan, perseriaktan dalam modal, dan jaminan. Menurut ulama’ fiqh, kelima macam akad
(transaksi) tersebut harus diserahkan kepada yangberhak dan dikuasai sepenuhnya, dan tidak boleh
terlepas dari tanggung jawab.[12]
Dalam perbankan dikenal dengan mudharabah yaitu akad kerja sama usaha antar pihak di
mana pihak pertama (shohibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola, dan keuntungan usaha dibagi sesuai dengan kesepakatan. Menurut Imam Zailai, ia
menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim
secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yan dikutip Abu Ubaid.
[13]

V. KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan :
1. Akad merupakan pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan
akibat hukum terhadap obyeknya.
2. Secara garis besar, akad itu ada kalanya shahih dan ada kalanya tidak shahih.
3. Perbankan Syari’ah pada prinsipnya menggunakan akad-akad yang telah diajarkan oleh Islam,
seperti mudharabah, murabahah, Pembiayaan, dll.
4. Para ulama’ membenarkan akad-akad yang sesuai dengan sayari’at agama dan mengandung
kemaslahatan bukan kemadlaratan.

VI. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Kami yakin dalam penulisan makalah ini
masih banyak kessalahan-kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberiakan
manfaat pada kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema Insani, 2001
Hasan M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakrta : PT Raja Grafindo Persada, 2003
http://punyahari.blogspot.com/2009/12/transaksi-dan-akad-dalam-ekonomi.html
Karim Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004
Mas’adi Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002

[1] Drs. Ghufron A. Mas’adi, M. Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2002, hal 76
[2] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakrta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003, hal 110
[3] Ibid, hal 111
[4] M. Ali Hasan, op., cit., hal 112
[5] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema Insani, 2001,
hal 30
[6] http://punyahari.blogspot.com/2009/12/transaksi-dan-akad-dalam-ekonomi.html
[7] Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P., Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal 58
[8] http://punyahari.blogspot.com,. op., cit.
[9] Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P., op. cit., hal 61
[10] Muhammad Syafi’I Antonio, op., cit., hal 160
[11] M. Ali Hasan, op., cit., hal 103
[12] Ibid., hal 105
[13] Muhammad Syafi’I Antonio, op., cit., hal 96

Anda mungkin juga menyukai