Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MOBILITAS SOSIAL
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah pengantar
sosiologi
Dosen Pengampu
Hadi Nuramin, S.Sos.,M.Ag.
Vivi Tamia S.Sos.,M.Sos

Disusun Oleh:
Kelompok 7
Alya Haura Nursani 1238030004

Aninda Nursalsabila 12380300021

Irwan Ramdani 1238030005

Muhamad Fadli 1238030038

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG
DJATI BANDUNG
2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Keinginan untuk mencapai status dan penghasilan yang lebih tinggi
dari apa yang pernah dicapai oleh orang tuanya, merupakan impian setiap
orang. Tetapi, apakah impian itu bakal menjadi kenyataan atau tidak
adalah lain persoalan. Di dalam sosiologi, proses keberhasilan seseorang
mencapai jenjang status sosial yang lebih tinggi atau proses kegagalan
seseorang hingga jatuh di kelas sosial yang lebih rendah itulah yang
disebut mobilitas sosial. Dengan demikian, jika kita berbicara mengenai
mobilitas sosial hendaknya tidak selalu diartikan sebagai bentuk
perpindahan dari tinngkat yang rendah ke suatu tempat yang lebih tinggi
karena mobilitas sosial sesungguhnya dapat berlangsung dalam dua arah.
Sebagian orang berhasil mencapai status yang lebih tinngi, beberapa
orang mengalami kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada status
yang dimiliki oleh orang tua mereka.
Tingkat masyarakat sosial pada masing – masing masyarakat
berbeda – beda. Pada masyarakat yang bersistem kelas sosial terbuka
maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung tinggi.
Tetapi, sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup seperti masyarakat
feodal atau masyarakat bersistem kasta maka mobilitas sosial warga
masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau
bahkan sama sekali tidak ada.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN MOBILITAS SOSIAL ( SOCIAL MOBILITY)


Kimbal Young dan Raymond W. Mack (1959:293) mendefinisikan mobilitas
sosial sebagai suatu gerakan dalam struktur sosial (social structure), yaitu pola –
pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial.1

Pembicaraan tentang mobilitas sosial tidak dapat dilakuakan tanpa menyingung


struktur sosial dan stratifikasi sosial. Struktur sosial yang ditandai dengan adanya
pelapisan sosial atau disebut juga dengan stratifikasi sosial. Sistem stratifikasi
sosial diartikan sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-
kelas atau lapisan secara bertingkat, yang diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas
sedang dan kelas rendah. Dasar dari stratifikasi adalah adanya ketidakseimbangan
pembagian hak dan kewajiban, serta tanggung jawab masing- masing individu
atau kelompok dalam suatu sistem sosial (Setyowati et al., 2020).

Pada masyarakat yang memiliki sistem stratifikasi sosial terbuka (open social
stratification) maka setiap anggotanya memiliki kesempatan untuk dapat menuju
kelapisan yang lebih tinggi. Menurut Kornblum (1988), mobilitas sosial adalah
perpindahan individu, keluarga atau kelompok sosial dari satu lapisan ke lapisan
sosial lainnya. Dalam perpindahan yang dilakukan dapat mempengaruhi status
sosial yang dimiliki yaitu bisa naik atau turun, bahkan bisa tetap pada tingkat yang
sama tetapi dalam pekerjaan yang berbeda.

Kajian tentang mobilitas sosial umumnya dilakukan pada dua ranah, ranah
sosiologi dan ranah ekonomi. Kajian mobilitas sosial pada ranah sosiologi
mendasari diri pada perubahan status dan posisi sosial dalam hierarki masyarakat,
sedangkan kajian mobilitas sosial dalam ranah ekonomi cenderung difokuskan
pada perubahan penghasilan (Pattinasarany, 2016).

2
3

Dalam ranah sosiologi, mobilitas sosial diartikan sebagai perubahan status


sosial dan posisi individu keluarga atau kelompok dalam hierarki masyarakat.
Giddens dalam Pattinasarany (2016) mengartikan mobilitas sosial sebagai
pergerakan individu dan kelompok di antara kelompok sosial dan ekonomi yang
berbeda.

Kajian mobilitas sosial umumnya melihat ada beberapa faktor utama yang
berkontribusi pada mobilitas sosial, faktor tersebut adalah pendidikan, kesempatan
atau peluang individu mencapai tujuan hidup, memiliki kualitas hidup yang baik,
dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial, latar belakang keluarga, dan modal
sosial (Pattinasarany, 2016).

Mobilitas sosial menurut Soekanto adalah suatu gerak dalam struktur sosial
yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. struktur
sosial ini mencangkup sifat-sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan
hubungan antara individu dengan kelompoknya, sehingga menempatkan individu
atau kelompok sosial ada dalam kedudukan yang berbeda-beda yang kemudian
membentuk pelapisan masyarakat (Setyowati et al., 2020). Mobilitas sosial
dengan demikian adalah perubahan tratifikasi sosial yang terjadi baik secara
vertikal maupun horisontal. Mobilitas sosial vertikal dapat turun atau naik.4

Dalam studi kontemporer tentang mobilitas sosial, sebuah perbedaan penting


dibuat antara pola-pola mobilitas sosial yang teramati, yang kadang-kadang
disebut sebagai 'mobilitas absolut', dan fluiditas sosial (atau 'mobilitas relatif').
Mobilitas absolut berkaitan dengan pola dan tingkat mobilitas, di mana mobilitas
dipahami secara sederhana sebagai perpindahan antara kelas asal (kelas sosial
tempat seseorang dibesarkan) dan kelas tujuan (Richard Breen, 2018).

Mobilitas sosial menyangkut hubungan antara asal-usul kelas dan po isi kelas
saat ini. posisi kelas saat ini: secara khusus hal ini didasarkan pada perbandingan,
antara antara orang-orang dari asal kelas yang berbeda, tentang peluang mereka
untuk satu kelas tujuan dibandingkan dengan kelas yang lain.
4

Fluiditas sosial sering ditafsirkan sebagai indeks kesetaraan dalam kesempatan


untuk mengakses posisi sosial yang lebih atau kurang menguntungkan posisi
sosial di antara orang-orang yang berasal dari asal-usul sosial yang berbeda
(dengan kata lain, sebagai indeks keterbukaan masyarakat), dan penelitian
kontemporer mengenai mobilitas sosial karenanya lebih memperhatikan fluiditas
osial daripada mobilitas absolut (Curtis, 2016; Goldthorpe, 2016).

Dalam tataran lain, mobilitas sosial diartikan sebagai konsep yang


membicarakan ketimpangan dalam terminologi sosiologis. Mobilitas sosial
mengacu pada pergerakan individu di antara berbagai tingkat hierarki sosial,
biasanya didefinisikan dalam kategori pekerjaan atau kelas sosial yang luas.
Jumlah mobilitas sosial sering digunakan sebagai indikator tingkat keterbukaan
dan keluwesan suatu masyarakat. Studi tentang mobilitas melihat tingkat
mobilitas, pola mobilitas (baik jarak dekat antara tingkat hierarki yang berdekatan
maupun jarak jauh antara tingkat yang terpisah jauh), siapa yang direkrut ke
berbagai posisi dan faktor penentu pemilihan ini. Mobilitas dapat juga dilihat
dalam konteks generasi. Mobilitas antargenerasi membandingkan posisi individu
saat ini dengan posisi orang tua mereka. Mobilitas intragenerasi membandingkan
posisi yang dicapai oleh individu yang sama pada saat-saat yang berbeda dalam
yang sama pada saat-saat yang berbeda dalam kehidupan kerjanya (Abercrombie,
Hill and Turner, 2006).

Kajian mobilitas sosial yang dilakukan oleh Iwan Gardono Sujatmiko pada
tahun 1996 dilakukan untuk melihat stratifikasi sosial, mengetahui pola mobilitas
okupasi antar generasi, dan menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi
mobilitas okupasi antar generasi. Sujatmiko menemukan bahwa antara lain
pertama, persepsi responden tentang stratifikasi didasarkan pada aspek multi
dimensi yang meliputi politik, ekonomi, dan sosial. Kedua, pola mobilitas antar
generasi menunjukkan kesempatan untuk naik pada lapisan bawah cukup besar.
Ketiga, pendidikan menjadi faktor penentu terjadinya mobilitas vertikal ke atas
terutama pada masyarakat kelompok menengah. Anak- anak dari keluarga
5

menegah ini berhasil memperoleh pekerjaan yang lebih baik dari generasi
sebelumnya (Pattinasarany, 2016).1

Mobilitas sosial dalam suatu masyarakat tentu dipengaruhi oleh banyak faktor
dan pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong terjadinya
mobilitas sosial (Ianneli & Peterson 2007; Haveman & Smeeding 2006). Beberap
a studi empiris tentang hubungan antara jenjang pendidikan dan gaji yang diperole
h menunjukkan hasil bahwa tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan tingkat
pendapatan (Mok 2015). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan me
njadi faktor determinan terhadap mobilitas sosial2.

Gerak sosial atau social mobility adalah suatu gerak dalam struktur ( social
structure )29 yaitu pola- pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok
sosial . struktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara individu dalam
kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompok nya . 30 tipe – tipe gerak
31
sosial yang prinsipil ada dua macam , yaitu gerak sosial yang horizontal dan
vertikal . gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu atau objek – objek
sosial lain nya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang
sederajat. Gerak sosial vertikal dimaksudkan sebagai perpindahan individu atau
objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak
sederajat. Sesuai dengan arahnya , maka terdapat dua jenis gerak sosial yang
vertikal yaitu yang naik (social – climbing ) dan yang turun (social – sinking )
gerak sosial vertikal yang naik mempunyai dua bentuk pertama , yaitu :

a. Masuknya individu – individu yang mempunyai kedudukan rendah


kedalam kedudukan yang lebih tinggi dimana kedudukan tersebut telah ada:
b. Pembentukan suatu kelompok baru , yang kemudian ditempatkan
pada derajat yang lebih

Gerak sosial vertikal yang menurun mempunyai dua bentuk utama, yaitu :

1
Amruddin. Sosiologi Pendesaan. Hal 33
2
Muhammad Husni Ariffin. Memahami Peran Pendidikan terhadap Mobilitas Sosial di
Indonesia. Hal. 150
6

a. Turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah


derajatnya, dan
b. Turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa
disintegrasi kelompok sebagai kesatuan.
2.2 JENIS MOBILITAS SOSIAL
Dalam mobilitas sosial secara prinsip dikenal dua macam, yaitu mobilitas sosial
vertikal, dan mobilitas sosial horizontal.
a. Mobilitas sosial vertikal : mobilitas sosial vertikal bisa berarti arah
gerakannya ke atas atau social climbing, dan arah gerakannya ke bawah
atau sosial sinking. Pertama berarti individu yang kedudukannya rendah
beralih ke kedudukan yang lebih tinggi atau karena adanya
pembentukan kelompok sosial baru yang menempatkan individu ke
derajat yang lebih rendah atau karena pembentukan sosial baru. 1 Misal,
seorang staf yang di promosikan naik pangkat menjadi kepala bagian di
sebuah perusahaan swasta.2 Contoh lain dari mobilitas sosial vertikal ke
atas atau social climbing ini biasanya adalah perubahan menuju kesukse
san.
Piritim A. Sorokin mengatakan ada beberapa prinsip gerakan vertikal:
1) hampir tidak ada masyarakat yang sistem pelapisan sosialnya mutlak
tertutup seperti kasta di India; 2) betapapun terbukanya suatu sistem
pelapisan sosial masyarakat pasti ada hambatan – hambatannya; 3) gerkan
sosial vertikal berlaku umum bagi semua masyarakat; 4) laju gerakan
sosial vertikal masyarakat disebabkan oleh faktor – faktor ekonomi, politik
serta pekerjaan yang berbeda. Ia juga mengatakan gerakan sosial vertikal
mendapatkan saluran – salurannya dalam lembaga – lembaga angkatan
bersenjata, lembaga keagamaan, sekolah – sekolah, organisasi politik,
organisasi ekonomi, organisasi keahlian dan perkawinan. 1 Kedua gerak
sosial menurun (social sinking) , yakni gerak perpindahan anggota
masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain lebih rendah
posisinya. Misal, seorang petani cengkeh jatuh miskin karena komoditas
yang ditanamnya tidak laku – laku dijual di pasaran.
7

Menurut Soedjatmoko (1980), mudah tidaknya seseorang melakukan


mobilitas vertikal salah satunya di tentukan oleh kekakuan dan keluwesan
struktur sosial di mana orang itu hidup. Seseorang yang memiliki bekal
pendidikan yang tinggi bergelar Doktor atau MBA, misalnya dan hidup
dilingkungan masyarakat yang menghargai profesionalisme, besar
kemungkinan akan lebih mudah menembus batas – batas lapisan sosial dan
nauk pada kedudukan lebih tinggi sesuai dengan keahlian yang
dimilikinya.
Sebaliknya, setinngi apapaun tingakat pendidikan seseorang tetapi bila
ia hidup pada suatu lingkungan masyarakat yang masih kuat nilai – nilai
primodialisme dan sistem hubungan koneksi, maka kecil kemungkinan
orang tersebut akan bisa lancar jenjang kariernya dalam bekerja. Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa untuk saat ini gelar sarjana bukan jaminan
bagi seseorang untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah jika ia
sama sekali tidak memiliki patront atau pihak – pihak tertentu yang bisa
memberikan rekomendasi atau katebelece.
Seorang petani miskin dalam banyak hal sulit naik status sosialnya dan
sulit meningkatkan penghasilannya bila ia hidup di bawah sejumlah bukan
saja sering kurang dipercaya, tetapi juga sulit memperolehnya karena
kalah bersaing dengan warga desa lain yang memiliki akses lain terhadap
kekuasaan. Studi yang dilakukan Daru Priyambodo dan Bagong Suyanto
(1991) menemukan bahwa para petani miskin umumnya agak sulit bisa
memperoleh bantuan kredit dari lembaga KURK (Kredit Usaha Rakyat
Kecil) karena dinilai sering menunggak angsuran.2

Mobilitas sosial di pedesaan Idonesia dapat dilihat dalam kajian tentang


nelayan (Setyowati et al., 2020). Kajian ini menemukan bahwa dalam
kehidupan nelayan di Kabupaten Lamongan Jawa Timur terjadi mobilitas
vertikal ke atas dan ke bawah. Pada nelayan yang mengalami mobilitas
sosial vertikal ke atas dikarenakan adanya perubahan dalam hal pekerjaan,
seperti peningkatan pendapatan ataupun status sosialnya dari pekerjaan
8

sebelumnya. Mobilitas vertikal ke atas ini sering kali terjadi pada buruh
nelayan yang beralih pekerjaan menjadi juragan darat maupun juragan
laut, maupun juragan laut yang beralih menjadi juragan darat. serta juragan
darat yang beralih pekerjaan sebagai pedagang ikan. Mobilitas vertikal ke
atas dapat terjadi oleh beberapa faktor, seperti adanya pemberian warisan,
bantuan modal dari pemerintah, serta adanya keinginan dari diri sendiri
untuk mengubah statusnya.
Pada kasus mobilitas vertikal ke bawah terlihat bahwa ada penurunan
status sosial nelayan. Pada mobilitas vertikal ke bawah ini nelayan
mengalami perubahan atau peralihan status sosial dan ekonomi lebih
rendah dari status sebelumnya. Umumnya yang mengalami mobilitas
vertikal ke bawah ini adalah nelayan yang sebelumnya berapa pada kelas
sosial atau berada pada strata atas, seperti agen ataupun jurgan darat. Agen
atau pengepul ikan yang mengalami mobilitas vertikal ke bawah
disebabkan oleh beberapa hal seperti berkurangnya ikan di nelayan,
banyaknya saingan, memiliki perilaku boros serta mengalami kerugian
akibat nelayan yang dipinjami modal tidak kunjung mengembalikan modal
tersebut.4 Contoh lain dari mobilitas sosial vertikal ke bawah atau social si
nking ini biasanya seseorang yang mengalami ketidakberuntungan karena j
abatan atau status sosialnya turun karena berbagai alasan.
b. Mobilitas sosial horizontal: perubahan kedudukan seseorang pada
lapisan sosial yang sama. Kedudukan seseorang dapat maju atau
mundur tetapi masih pada lapisan sosial yang sama. 1 seorang buruh
petani yang pada musim paceklik berpindah pekerjaan menjadi buruh
bangunan atau tukang becak di kota tidak bisa dikategorikan sebagai
mobilitas sosial vertikal karena mereka tidak mengalami perubahan
pendapatan atau status sosial secara berarti.

Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara sukarela, tetapi bisa pula terjadi
karena terpaksa. Apa yang dilakukan oleh petani di atas bisa digolongkan sebagai
mobilitas sosial terpaksa artinya petani tersebut terpaksa pindah ke pekerjaan lain
karena memang di desanya tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan di sektor
9

pertanian karena ancaman kekeringan. Contoh mobilitas sosial sukarela: seorang


pegawai bank yang sudah bosan dan jenuh dengan pekerjaannya dan kemudian
ingin berkarier di tempet lain, entah itu sebagai public relation, dosen atau
pekerjaan yang lain.

c. Mobilitas Antargenerasi

Mobilitas sosial ketiga yang bisa terjadi adalah pengertian mobilitas sosial karena
terjadinya atau adanya perubahan kedudukan sosial yang berbeda pada individu
dan kelompok dalam dua generasi yang berbeda. Contoh yang mungkin terjadi
pada mobilitas sosial antargenerasi ketika seorang anak yang lahir di keluarga
petani berhasil menjadi seorang pengusaha di kota besar, sementara ayah ibu,
bahkan nenek dan kakeknya masih menjadi petani di desa.

Ada dua jenis mobilitas antargenerasi, yakni:

a) Mobilitas intergenerasi. Mobilitas intergenerasi


merupakan perubahan status sosial yang terjadi di antara
beberapa generasi, mulai dari kakek neneknya hingga ke
cucu-cucunya.
b) Mobilitas intragenerasi. Pengertian mobilitas sosial
intragenerasi ini merupakan perubahan status sosial yang
terjadi di dalam satu generasi yang sama, misalnya dari
ayah ibu hingga ke anak-anaknya.

2.3 BEBERAPA PRINSIP UMUM MOBILITAS VERTIKAL

Menurut Pitirim A. Sorokin (1959:139) mengatakan bahwa prinsip – prinsip


umum yang sangat penting bagi mobilitas sosial vertikal adalah sebagai berikut :

a. Hampir tidak ada masyarakat yang sifat sistem lapisannya mutlak


tertutup, dimana sama sekali tak ada mobilitas sosial vertikal
10

b. Betapa pun terbukanya sistem lapisan dalam suatu masyarakat, tak


mungkin mobilitas sosial vertikal dapat dilakukan dengan sebebas
– bebasnya, tentunya sedikit banyak akan terdapat hambatan –
hambatan
c. Tidak ada sosial vertikal secara umum berlaku pada semua
masyarakat.
d. Terdapat perbedaan laju mobilitas sosial vertikal yang disebabkan
oleh vaktor – vaktor ekonomi, politik dan pekerjaan.
e. Dilihat dari sejarah, mobilitas sosial vertikal yang disebabkan
faktor – faktor ekonomis, politik dan pekerjaan tak ada
kecenderungan yang kontinu tentangf bertambah dan berkurangnya
laju mobilitas sosial. Hal ini berlaku bagu suatu negara, lembaga
sosial yang besar dan juga bagi sejarah manusia.

2.4 Saluran Mobilitas Sosial Vertikal


Piritim A. Sorokin (1959: 164) menyatakan, bahwa mobilitas sosial
vertikal mempunyai saluran – saluran dalam masyarakat. Proses gerak
sosial vertikal melalui saluran tadi disebut social circulation. Salauran
mobilitas sosial vertikal yang penting antara lain angkatan bersenjata,
sekolah, organisasi politik, lembaga keagamaan.
Angktan bersenjata mempunyai peran yang penting dalam
masyarakat. Misalnya dalam keadaan perang, seorang prajurit yang
berasal dari kedudukan rendah, karena jasa – jasanya dapat memperoleh
kedudukan yang lebih tinggi atau bahkan dapat memperoleh kekuasaan
dan wewenang yang besar.
Lembaga pendidikan (sekolah) dapat dikatakan sebagai saluran yang
kongkret dan bahkan dapat dikatakan sebagai social elevator, hal ini
bergerak dari kedudukan yang paling rendah ke kedudukan yang paling
tinggi. Misalnya, ada sekolah yang hanya boleh dimasuki oleh anak –
anak orang kaya, apabila sekolah tersebut dapat dimasuki oeleh lapisan
11

yang rendah (orang yang miskin) , maka sekolah tersebut akan menjadi
saluran sosial vertikal.
Organisasi politik menyediakan peluang yang lebar bagi para
anggotanya untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi. Hal ini akan mudah
bila didukung oleh kemampuan berorganisasi dan berdiplomasi.
Lembaga keagamaan juga berperan dalam masyrakat. Hali ini karena
setiap ajaran agama menganggap bahwa manusia mempunyai
kedudukan yang sederajat. Oleh sebab itu, para pemuka agama
berusaha keras untuk menaikkan kedudukan pemeluknya dari lapisan
bawah ke lapisan yang lebih tinggi.4

2.5 TUJUAN PENELITIAN GERAK SOSIAL

Para sosiolog meneliti gerak sosial untuk mendapatkan keterangan keterangan


perihal keteraturan dan keluwesan struktur sosial.33 Para sosiolog mempunyai
perhatian yang khusus terhadap kesulitan – kesulitan yang secara relatif dialami
oleh individu – individu dan kelompok sosial dalam mendapatkan kedudukan
yang terpandang oleh masyarakat dan yang merupakan objek dari suatu
persaingan. Semakin seimbang kesempatan – kesempatan untuk mendapatkan
kedudukan – kedudukan tersebut akan semakin besar gerak sosial. Itu berarti
bahwa sifat sistem lapisan masyarakat semakin terbuka. Pada masyarakat berkasta
yang sifatnya tertutup, hampir tak ada gerak sosial yang vertikal karena
kedudukan seseorang telah ditentukan sejak dilahirkan. Pekerjaan yang akan
dilakukannya, pendidikan yang akan diperolehnya dan seluruh pola hidupnya
telah diketahui sejak dia dilahirkan karena struktur sosial masyarakatnya.

2.6 DETERMINAN MOBILITAS

Horton dan Hunt (1987) mencatatat ada dua faktor yang memengaruhi tingkat
mobilitas pada masyarakat modern yakni :

1. Faktor struktural, yakni jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang


bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya.ketidak
seimbangan jumlah lapangan kerja yang tersedia dibandingkan
12

dengan jumlah pelamar atau pencari kerja adalah termasuk faktor


struktural.
2. Faktor individu, yang dimaksud faktor individu adalah kualitas
orang perorang, baik ditinjau dari segi tingkat pendidikan nya,
penampilannya ketrampilan pribadi ,dan lain-lain. Termasuk faktor
kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai
kedudukan itu.

Mana diantara kedua faktor diatas yang lebih kuat pengaruhnya sulit ditentukan
karena sifatnya saling melengkapi. Bisa saja disebuah masyarakat tertentu
lapangan kerja yang tersedia relatif masih banyak dimana setia iklan – iklan
lowongan kerja terus saja bermunculan. Namun , sepanjang individu – individu
yang ada ternyata tidak bisa memenuhi kualifikasi yang di butuhkan misalnya
mahir berbahasa inggris maka besar kemungkinan tidak akan terjadi mobilitas
vertikal.

Di sisi lain, bisa saja struktur sosial yang ada begitu kaku (rigid) dimana
kemungkinan seseorang untuk menebus batas – batas lapisan sosial relatif kecil
tetapi ternyata masih ada pula satu dua orang yang bisa lolos seleksi karena
keberungtungan nasibnya. Seperti dicacat Horton dan Hunt, banyak orang yang
benar – benar bekerja keras dan memenuhi segenap persyaratan mengalami
kegagalan; sebaliknya, keberhasilan kadangkala justru “jatuh” ke pangkuan orang
lain. Seorang pegawai negeri golongan III yang bekerja puluhan tahun biasanya
akan sulit bisa memiliki tabungan seratus juta lebih ketika pensiun. Tetapi,
seorang pegawai negeri golongan I atau seorang buruh perusahaan swasta,
misalnya, suatu saat mungkin “kejatuhan bulan” karena memperoleh hadiah
dadakan mobil, rumah, atau tabungan 150 juta dari sebuah bank karena nasib
baiknya. Rezeki, bagaimanapun adalah sebuah misteri yang sulit ditebak ke mana
arahnya.

2.7 KONSEKUENSI MOBILITAS SOSIAL


13

Secara rinci Horton dan Hunt (1987) mencatat beberapa konsekuensi negatif
dari mobilitas vertikal, seperti kecemasan atas akan terjadinya penurunan status
bila terjadi mobilitas menurun, ketegangan dalam mempelajari peran baru dari
status jabatan yang meningkat, keretakan hubungan karena anggota kelompok
primer yang semula karna seseorang berpindah ke status yang lebih tinggi atau ke
status yang lebih rendah.

Dilingkungan kelas sosial yang baru, seseorang yang baru saja naik status
belum tentu diterima dengan tangan terbuka. Seseorang yang kaya mendadak
karena mendapat lotre atau warisan hibah, mungkin saja tetap dianggap bukan
sebagai bagian dari kelompok elit eklusif karena belum atau tidak memiliki biaya
hidup yang sama. Orang – orang yang naik status, tetapi posisinya mengembang
ini lazim disebut OKB (orang kaya baru). Dilingkungan masyarakat desa ada
sebutan (bernada cemoohan), seperti petruk dadi ratu dan kere munggah bale,
untuk menyebut orang – orang tertentu yang kaya secara mendadak dan dinilai
lupa dari mana asalnya. Para OKB biasanya baru diterima dan di anggap sebagai
bagian dari kelas sosial barunya bila telah beberapa lama melakukan penyesuaian
atau adaptasi.

2.8 FAKTOR PENDORONG MOBILITAS SOSIAL

Setelah mengetahui pengertian mobilitas sosial dan juga bentuk mobilitas


sosial yang ada, tentu saja dalam terjadinya mobilitas sosial, terdapat faktor
pendorong yang menyebabkan terjadinya mobilitas sosial. Beberapa faktor
pendorong mobilitas sosialnya akan dijelaskan di bawah ini.

1. Faktor Struktural

Faktor struktural pada mobilitas sosial ini berkaitan dengan kesempatan


seseorang untuk dapat menempati sebuah kedudukan serta kemudahan untuk
memperolehnya. Di Indonesia, kesempatan untuk menempati atau adanya
pengaruh faktor struktural ini cukup besar. Banyak orang memiliki kesempatan
menempati jabatan yang lebih tinggi.
14

2. Faktor Individu

Selain faktor struktural, terjadinya mobilitas sosial ini juga bisa


disebabkan karena adanya faktor individu. Faktor individu ini bisa dilihat dari segi
sikap, pengetahuan, dan keterampilan karena manusia lahir dengan sifat dan ciri
khas masing-masing. Meski demikian, manusia memiliki keinginan yang sama
untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi.

Di Indonesia, faktor pendidikan masih dianggap sebagai social


elevator atau dijadikan sebagai sarana yang dapat membuat seseorang menjadi
pribadi yang berkualitas dan dapat meningkatkan status sosialnya di masyarakat.

3. Faktor Ekonomi

Faktor pendorong terjadinya mobilitas sosial lainnya adalah faktor


ekonomi. Baik di Indonesia maupun di negara mana saja, kondisi ekonomi akan
sangat mempengaruhi terjadinya mobilitas sosial. Kondisi ekonomi yang baik
membuat masyarakat mudah memperoleh modal, pendidikan, dan kesempatan
yang lebih baik lainnya.

Akan tetapi jika kondisi ekonomi di suatu negara buruk, maka masyarakatnya
akan memiliki pendapatan rendah atau terbatas sehingga sangat sulit untuk
masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan dan mobilitas sosialnya tidak akan
bisa terjadi.

4. Faktor Politik
Faktor pendorong lainnya yakni faktor politik. Faktor politik menjadi
pendorong mobilitas sosial karena situasi politik dari suatu negara yang stabil atau
tidak akan memengaruhi kondisi keamanannya, tentu ada hubungannya dengan
ketersediaan dan kemudahan dalam menjalankan aktivitas bahkan pekerjaan.
15

5. Faktor Kependudukan

Faktor pendorong terjadinya mobilitas sosial terakhir adalah faktor


kependudukan. Faktor kependudukan ini akan bertambah dari waktu ke waktu.
Sayangnya, pertambahan tersebut bisa mempersempit lahan permukiman dan bisa
meningkatkan kemiskinan. Sehingga besar kecilnya faktor kependudukan dinilai
jadi faktor utama terjadinya mobilitas sosial.

2.9 Faktor Penghambat Mobilitas Sosial

Selain adanya faktor yang mendorong terjadinya mobilitas sosial,


pengertian mobilitas sosial ini juga bisa memiliki penghambat yang menyebabkan
beberapa dampak akan terjadi. Ketika faktor penghambat ini muncul, aka akan
sulit bagi masyarakat dapat melakukan mobilitas sosial yang baik.

1. Faktor Diskriminasi

Meski faktor ini kerap diabaikan, nyatanya mobilitas sosial sangat


terhambat ketika terjadi faktor diskriminasi. Faktor diskriminasi ini merupakan
sikap yang membedakan perlakuan terhadap sesama karena adanya perbedaan
diantaranya suku, ras, agama, dan golongan. Biasanya, faktor yang membedakan
ini sangat berdampak besar dan mengakibatkan konflik yang kemudian
menghambat mobilitas sosial.

2. Faktor Kemiskinan

Sama halnya dengan diskriminasi, faktor kemiskinan juga mampu


menghambat terjadinya mobilitas sosial. Masyarakat yang mengalami kemiskinan
bahkan kesulitan mencari penghasilan juga otomatis akan sulit untuk mencapai
status tertentu. Biasanya penyebab terjadinya faktor kemiskinan ini adalah tingkat
pendidikan yang rendah.
16

Ketika tingkat pendidikan di lingkungan masyarakat tersebut rendah, maka


sumber daya manusia di tempat tersebut juga rendah sehingga tidak adanya upaya
untuk mendapatkan atau memiliki kemampuan untuk bersaing dan akhirnya
mereka akan terbatas dalam mendapatkan pekerjaan.

3. Faktor Stereotip Gender

Faktor penghambat pengertian mobilitas sosial selanjutnya adalah


karakteristik yang membeda-bedakan jenis kelamin atau posisi sosial antara laki-
laki dan perempuan. Banyak yang beranggapan bahwa derajat laki-laki lebih
tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini menjadikan mobilitas sosial juga
terhambat.

Membedakan gender akan menghalangi seseorang untuk dapat berprestasi


karena stereotip status sosial yang dinilai berbeda sehingga menghalangi
seseorang untuk melakukan upaya dan melakukan mobilitas sosial agar mendapat
status sosial yang lebih baik.

Terjadinya mobilitas sosial tentu memiliki dampak bagi masyarakat secara


luas. Ada dua dampak yang mungkin terjadi, yang pertama dampak positif dan
yang kedua dampak negatif.

2.10 Dampak Positif dari Mobilitas Sosial


Beberapa dampak positif yang didapatkan ketika terjadi mobilitas social.

1. Mempercepat Tingkat Perubahan Sosial

Terjadinya mobilitas sosial bisa berdampak positif bagi masyarakat


sebagai pendorong sekaligus dapat mempercepat tingkat perubahan sosial ke arah
yang lebih baik.
17

Biasanya perubahan yang disertai dampak positif ini terjadi apabila adanya
dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, salah satu cara yang bisa
ditempuh adalah memperbaiki kualitas pendidikan.

2. Peningkatan Integritas Sosial

Terjadinya mobilitas sosial juga berdampak positif bagi peningkatan


integritas sosial seseorang atau suatu masyarakat. Terjadinya perubahan sosial
yang terjadi tentunya mendapat respons yang berbeda-beda, baik ditanggapi
sebagai sebuah tantangan, atau ada pula yang merespons sebagai bentuk
penerimaan yang berpengaruh pada integrasi pada masyarakat.

2.11 Dampak Negatif dari Mobilitas Sosial


Meski terjadinya perubahan sosial karena mobilitas sosial memiliki
dampak positif, tak bisa dipungkiri pasti ada dampak negatif yang terjadi. Salah
satunya timbulnya konflik-konflik sosial.

1. Timbulnya Konflik

Konflik sosial bisa terjadi karena adanya mobilitas sosial ketika salah satu
perjuangan seseorang atau kelompok mendapatkan posisi yang lebih tinggi
memunculkan persaingan yang berujung konflik.

2. Gangguan Psikologi

Dampak lainnya adalah risiko terjadinya gangguan psikologis. Tidak


sedikit orang justru mengalami kegelisahan ketika kehilangan jabatan atau
jabatannya menurun dan menyebabkan gangguan psikologis. Bahkan hal tersebut
bisa membahayakan dirinya sendiri ketika kegelisahan tersebut menjadi stres
berkepanjangan.
18

Dalam gangguan psikologis ini, gangguan stres yang berkepanjangan bisa


menimbulkan penyakit psikis maupun fisik, terlebih ketika seseorang individu
atau kelompok sosial tidak memiliki kemauan atau tekad untuk berubah ke arah
yang lebih baik.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kajian tentang perubahan dan mobilitas sosial pada dasarnya menelaah


perubahan posisi dan status individu atau kelompok dalam masyarakat.
Pergerakan sosial tidak selamanya berarti mobilità sosial vertikal ke atas atau
menurun, namun yang tak kalah penting adalah mobilitas sosial horizontal yakni
perubahan lapangan pekerjaan. Pada tataran ini perhatian perlu diletakkan bukan
pada perubahan lapangan kerja semata, melainkan mengapa terjadi perubahan
lapangan pekerjaan tersebut. revolusi hijau dan covid tampakya menjadi faktor
menarik untuk dielaborasi lebih jauh dalam konteks sosiologi pedesaan.
19

DAFTAR PUSTAKA

Azuz, Faidah. Jurnal Sosiologi Pedesaan, [diakses 14


November]
.Mobilitas sosial : pengertian, bentuk, faktor, dan dampak.
[diakses 14 November]
Husni, Arifin. Mobilitas sosial di Indonesia [diakses 14
November]
Husni, Muhamad arifin. Memahami peran pendidikan tinggi
terhadap mobilitas sosial di Indonesia [diakses 14 November]
M,S .Basrowi , (2016). Pengantar Sosiologi, Bogor: Ghalia
Indonesia
Narwoko, Dwi. J. Suyanto, Bagong. (2004). Sosiologi Teks
Pengantar dan Terapan , Jakarta: Kencana Premadia Group.
Philipus, M.Si, (2016). Sosiologi dan politik, Jakarta: Rajawali
Pers
Repositori. .Kajian pustaka [diakses 14 November]
20

Soekanto, S. (2014). Sosiologi Suatu Pengantar Cetakan ke-46.


Jakarta: Rajawali Pers.
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai