Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PARADIGMA BARU DALAM PEMBELAJARAN IPA DI


SEKOLAH

DOSEN PENGAMPUH
ARDIANSYAH, M.Pd

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK II :

1. WAHYU ILMAN : 191230013


2. SYAMSIATUN NAZLI : 211230004
3. SITI RAHMAWATI A. MUSA : 211230019

TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM (TIPA)


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) DATOKARAMA PALU
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah swt. karena atas nikmat dan
ridhonyalah kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami makalah Strategi
Pembelajaran IPA, sebatas pengetahuan yang kami miliki.
Kami sangat berharap makalah ini dapat membantu para pembacanya untuk
menambah ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Semoga makalah ini juga dapat
menunjang pengetahuan para pembaca dalam mempelajari mengenai “Paradigma Baru
Dalam Pembelajaran IPA Di Sekolah.” Serta dapat menjadi sumber referensi pengetahuan
mereka mengenai hal tersebut.
Kami berharap dalam makalah kami ini para pembaca memberikan saran dan
kritokan kepada makalh ini, karena kami menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak
kekurangan, baik dalam materi maupun kepenulisan makalah tersebut. kami memohon
maaf jika terdapat banyak kekurangan.

Palu, September 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................................................................... i


Kata Pengantar ........................................................................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 2
A. Hakikat IPA ................................................................................................................................... 2
B. Hakikat Pembelajaran ................................................................................................................... 3
C. Landasan UNESCO ...................................................................................................................... 4
D. Paradigma Lama ........................................................................................................................... 7
E. Paradigma Baru............................................................................................................................. 8
F. Perbedaan Paradigma Lama dan Paradigma Baru ........................................................................ 9
G. Paradigma Baru IPA...................................................................................................................... 10
BAB III PENUTUP ................................................................................................................................... 13
A. Kesimpulan ................................................................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................................................................. 14
Daftar Pustaka ............................................................................................................................................ 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan terjemahan kata dari bahasa Inggris
natural science yaitu ilmu pengetahuan alam (IPA) , mempelajari gejala-gejala
alam yang melalui serangkaian proses yang sistematis yaitu metode ilmiah .
Sehingga Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat disebut sebagai ilmu yang
mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam. IPA merupakan ilmu yang
berhubungan dengan gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang tersusun
secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil observasi dan
eksperimen
Menurut Carin & Sund menyatakan bahwa sains dibangun oleh elemen sikap,
proses atau metode dan produk. Science has three major elements: attitudes,
processes or methods, and products. Attitudes are certain beliefs, value, opinions,
for example, suspending judgment until enough data has been collected relative to
the problem. Constantly endeavouring to be objective. Process or m ethods are
certain ways of investigating problem, for example, making hypothesis, designing
and carryng out experiments, evaluating data and measuring. Products are facts,
principles, laws, theories, for example, the scientific principle:metalswhen heated
expand.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman perbedaan paradigma lama dan paradigma baru?
2. Apa yang dimaksud dengan paradigma baru IPA?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perbedaan paradigma lama dan paradigma baru
2. Untuk mengetahui paradigma baru IPA

1
BAB I

PENDAHULUAN
A. Hakikat IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan terjemahan kata dari
bahasa Inggris natural science yaitu ilmu pengetahuan alam (IPA),
mempelajari gejala-gejala alam yang melalui serangkaian proses yang
sistematis yaitu metode ilmiah . Sehingga Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
dapat disebut sebagai ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang
terjadi di alam. IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala alam
dan kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum
yang berupa kumpulan dari hasil observasi dan eksperimen.
Menurut Carin & Sund menyatakan bahwa sains dibangun oleh
elemen sikap, proses atau metode dan produk. Science has three major
elements: attitudes, processes or methods, and products. Attitudes are
certain beliefs, value, opinions, for example, suspending judgment until
enough data has been collected relative to the problem. Constantly
endeavouring to be objective. Process or m ethods are certain ways of
investigating problem, for example, making hypothesis, designing and
carryng out experiments, evaluating data and measuring. Products are facts,
principles, laws, theories, for example, the scientific principle:metalswhen
heated expand.
IPA merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan
dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada
perkembangan selanjutnya IPA juga diperoleh dan dikembangkan
berdasarkan teori (deduktif).
Menurut Chiappetta dan Koballa Hakikat IPA adalah Science as a
way of Thinking, Science as a way of investigating, Science as a body of
knowledge , Science and Its interactions with technology and Society.
Maksud dari pernyataan tersebut adalah IPA sebagai cara berpikir, cara
investigasi, sebuah bangunan ilmu pengetahuan, dan kaitannya dengan
teknologi serta masyarakat. Menurut Chiappetta dan Koballa (2010)
Hakikat IPA terdiri dari empat aspek , yaitu Hakikat IPA sebagai produk
ilmiah, proses ilmiah, sikap ilmiah dan aplikasi ilmiah.

2
a. Sains Sebagai Produk
Sains merupakan suatu system yang dikembangkan oleh
manusia untuk mengetahui dirinya dan lingkungannya. Sains sebagai
produk akan mencangkup konsep,hukum, dan teori yang dikembangkan
sebagai rasa ingin tahu manusia dan untuk keperluan manusia
b. Sains Sebagai Proses
Pengkajian sains dari segi proses disebut juga keterampilan
proses Sains (Science Process Skill) atau proses sains. Proses sains
adalah sejumlah keterampilan untuk mengkaji fenomena alam dengan
cara tertentu untuk memperoleh ilmu dan pengembangan ilmu
selanjutnya.
c. Sains Sebagai Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah adalah sikap yang dimiliki para ilmuwan dalam
mencari dan mengembangkan pengetahuan baru, sikap tersebut di
antaranya obyektif terhadap fakta, jujur, teliti, bertanggung jawab, dan
terbuka
d. Sains Sebagai Aplikasi Ilmiah
IPA sebagi aplikasi merupakan penerapan produk IPA dalam
teknologi dan masyarakat secara terintegratif
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajarai tentang alam
dan gejalanya yang dipelajari melalui metode ilmiah. Pada hakikatnya IPA
dibangun atas produk ilmiah, proses ilmiah, sikap ilmiah dan aplikasi
ilmiah. Diharapkan peserta didik memperoleh pengetahuan secara utuh dan
merasakan proses pembelajaran dengan nyata, sehingga mampu memahami
fenomena alam melalui kegiatan penyelidikan atau metode ilmiah.

B. Hakikat Pembelajaran
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa Pembelajaran
adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar.
Konsep pembelajaran menurut Corey adalah suatu proses dimana
lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia
turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau

3
menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan
subset khusus dari pendidikan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah usaha sadar
dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah
laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan
didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relative
lama dan karena adanya usaha.

C. Landasan UNESCO
Dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara
lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari
pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga
UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural
Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa
sekarang maupun masa depan, yakni:
a. Learning to know
Learning to know adalah suatu proses pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan
serta dapat menerapkan cara memperoleh pengetahuan, suatu proses
yang memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah yaitu sikap ingin tahu
dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk selalu mencari
jawaban atas masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Learning to know dilakukan dengan cara memadukan
penguasaan terhadap suatu pengetahuan umum yang cukup luas dengan
kesempatan untuk bekerja secara mendalam pada sejumlah kecil mata
pelajaran. Dan learning to know ini mengandung prinsip berikut:
1. Diarahkan untuk mampu mengembangkan ilmu dan terobosan
teknologi dan merespon sumber informasi baru
2. Memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran
3. Network society
4. Learning to learn dan life long education
Dan sasaran terakhir dari penerapan pilar “laerning to know“
adalah lahirnya suatu generasi yang mampu mendukung perkembangan
iptek, yang menjadikan iptek sebagai kebudayaanya. Karena bagi

4
mereka yang menjadikan iptek sebagai kebudayaan, “science “ adalah
wujud berpikir yang paling canggih.
b. Learning to do
Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know.
Learning to do bukanlah kemampuan berbuat yang mekanis dan
pertukangan tanpa pemikiran tetapi action in thingking dan learning by
doing. Dengan ini, peserta didik akan terus belajar bagaimana memp
erbaiki dan menumbuhkembangkan kerja, juga bagaimana
mengembangkan teori atau konsep intelektualitasnya.
Learning to do tidak hanya tertuju pada penguasaan suatu
keterampilan bekerja, tetapi juga secara lebih luas berkenaan dengan
kompetisi atau kemampuan yang berhubungan dengan banyak situasi
dan bekerja dalam tim. Dan learning to do mengandung prinsip berikut:
1. Menjembatani pengetahuan dan keterampilan
2. Memadukan learning by doing dan doing by learning
3. Mengkaitkan pembelajaran dengan kompetensi
4. Mengkaitkan psikologi pembelajaran dengan sosiologi pembelajaran
Sasaran akhir diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi
muda yang dapat bekerja secara cerdas dengan memanfaatkan iptek.
Tujuan akhir dari upaya pendidikan adalah penguasaan seni
menggunakan ilmu pengetahun. Ini sangat relevan dalam “technology
based economy”, suatu masyarakat yang tenaga kerjanya tidak cukup
hanya menguasai keterampilan motorik yang mekanistik., tetapi dituntut
kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan- pekerjaan seperti
“controling, monitoring, maintaining, designing, dan organizing”. Oleh
karena itu, proses pembelajaran yang sifatnya “learning to do“ ini
memerlukan suasana atau situasi pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik menghadapi masalah untuk dipecahkan dengan
menggunakan iptek yang secara teori telah dipelajari.
c. Learning to be
Learning to be yaitu mengembangkan kepribadian dirinya
sendiri dan mampu berbuat dengan kemandirian yang lebih besar,
perkembangan dan tanggung jawab pribadi. Dalam hubungan ini,
pendidikan harus berhubungan dengan setiap aspek dari potensi pribadi

5
yang berupa: mengingat, menalar, rasa estetis, kemampuan- kemampuan
fisik, dan keterampilan- keterampilan berkomunikasi.
Di samping itu, Learning to be ini juga merupakan pelengkap
dari learning to know dan learning to do. Robinson Crussoe berpendapat
bahwa manusia itu hidup sendiri tanpa kerja sama atau saling tergantung
dengan manusia lain. Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan
masa jika tidak berpegang teguh pada jati dirinya. Learning to be akan
menuntun peserta didik menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali
dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat
sebagai hasil belajarnya. Di dalam learning to be ini mengandung prinsip
sebagai berikut:
1. Berfungsi sebagai andil terhadap pembentukan niali- nilai yang
dimiliki Bersama
2. Menghubungkan antara tangan dan fikiran, individu dengan
masyarakat pembelajaran kognitif dan non- kognitif serta
pembelajaran formal dan non- formal
Pada learning to be ini ditekankan pada pengembangan
potensi insani secara maksimal. Setiap individu didorong untuk
berkembang dan mengaktualisasikan diri. Dengan learning to do
seseorang akan mengenal jati diri, memahami kemampuan dan
kelemahannya den gan kompetensi-kompetensinya akan membangun
pribadi yang utuh (Kunandar, 2007).
d. Learning to live together
Learning to live together merupakan kelanjutan yang tidak dapat
dielakkan dari learning to know, leaning to do dan learning to be. Learning
to live together ini menuntun seseorang untuk hidup bermasyarakat dan
menjadi educated person yang bermanfaat baik bagi diri dan
masyarakatnya, maupun bagi seluruh umat manusia sebagai amalan
agamanya.
Learning to live together dilakukan melalui perkembangan suatu
pemahaman tentang orang lain dan suatu penghargaan terhadap saling
ketergantungan- pelaksana proyek bersama dan belajar mengelola konflik
dalam semangat menghargai nilai- nilai kejamakan, pemahaman bersama
dan perdamaian. Learning to live together ini mengandung prinsip sebagai
berikut:

6
1. Membangun sistem nilai
2. Pembentukan identitas melalui proses pemilikan konsep luas
Sehingga pendidikan tidak hanya membekali generasi muda
untuk menguasai iptek dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah,
melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang
berbeda dengan penuh toleransi, pengertian dan tanpa prasangka. Learning
to live together ini menekankan pada seseorang atau pihak yang belajar
untuk mampu hidup bersama, dengan memahami orang lain, sejarahnya,
budayanya dan mampu berinteraksi dengan orang lain secara harmonis

D. Paradigma Lama
Paradigma secara bahasa diartikan sebagai model, teori, persepsi,
asumsi atau kerangka acuan. Dalam pengertian lain, paradigma adalah
sebuah teori tentang bagaimana cara manusia (khususnya ilmuwan) melihat
dunia. Pada akhirnya paradigma dalam perspektif keilmuan didefinisikan
sebagai sebuah teori, penjelasan atau model tertentu untuk sesuatu yang
berbau ilmiah.
Sejak dekade 1950an, dalam dunia pendidikan internasional telah
ada upaya-upaya untuk mengubah paradigma yang telah lama digunakan
dalam pembelajaran di sekolah, yang lebih menekankan pada peranan guru
yang mengajar daripada siswa yang belajar (yang dapat disebut sebagai
paradigma lama atau “tradisional”, atau paradigma “guru mengajar”), yang
dianggap kurang memuaskan, ke sesuatu paradigma pembelajaran yang
dipandang lebih sesuai dengan hakekat alamiah anak dalam belajar, dan
juga lebih sesuai dengan hakekat pengembangan attitude, kemampuan
berpikir, berkreativitas, dan berkolaborasi. Paradigma yang kedua ini
menekankan pada peranan siswa yang belajar daripada guru yang mengajar
(yang dapat disebut sebagai paradigma “modern” atau paradigma baru atau
paradigma siswa belajar). Upaya-upaya tersebut tidak selalu memberikan
hasil yang memuaskan. Jika guru menerapkan pendekatan mengajar yang
sama (berdasarkan pengalaman mengajar sebelumnya) pada sistem
pembelajaran yang telah mengalami perubahan (pola pembelajaran yang
sesuai dengan kurikulum 2004 atau KTSP), maka dimungkinkan tujuan-
tujuan pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan dari siswa tidak
tercapai. Sebuah paradigma yang mapan yang berlaku dalam sebuah sistem

7
boleh jadi tidak sesuai (kurang relevan) apabila paradigma tersebut masih
diterapkan pada sistem yang telah mengalami perubahan. Perubahan
paradigma tersebut cenderung menimbulkan krisis. Krisis tersebut akan
menuntut terjadinya revolusi ilmiah yang melahirkan paradigma baru dalam
rangka mengatasi krisis yang terjadi. Paradigma konstruktivis tentang
pembelajaran merupakan paradigma alternatif yang muncul sebagai akibat
terjadinya revolusi ilmiah dari sistem pembelajaran yang cenderung berlaku
pada abad industri ke sistem pembelajaran yang semestinya berlaku pada
abad pengetahuan sekarang ini.

E. Paradigma Baru
Untuk membangun masyarakat terdidik, masyarakat yang cerdas
maka mau tidak mau harus merubah paradigma dan sistem pendidikan.
Formalitas dan legalitas tetap saja menjadi sesuatu yang penting, maka yang
perlu dilakukan sekarang bukanlah menghapus formalitas yang telah
berjalan melainkan menata kembali sistem pendidikan yang ada dengan
paradigma baru yang lebih baik. Dengan paradigma baru, praktek
pembelajaran akan digeser menjadi pembelajaran yang lebih bertumpu pada
teori kognitif dan konstruktivistik. Pembelajaran akan berfokus pada
pengembangan kemampuan intelektual. Yang berlangsung secara sosial dan
kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya
sendiri dalam konteks sosial dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan
prespektif budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk
mencapai derajat berpikir tingkat tinggi.
Memasuki abad ke-20, terjadi perubahan atau pergeseran Paradigma
holistic merupakan paradigma baru yang digunakan untuk mengembangkan
teori, ilmu, pengetahuan, praktek dan pola fikir untuk memecahkan masalah
kerusakan sumber daya dan pencemaran lingkungan yang meluas. Dalam
paradigma sains baru ini memiliki konsep holistick sehingga dianggap
manusia merupakan bagian dari ekosistem, bukan bagian terpisah yang
dapat memanfaatkan lingkungannya hanya demi keuntungan

8
F. Perbedaan Paradigma Lama dan Paradigma Baru
Perbedaan secara kontras antara paradigma lama pembelajaran dan
paradigma baru pembelajaran dapat dicermati pada tabel berikut.

Paradigma Lama Paradigma Baru


No
Pembelajaran Pembelajaran
I Perilaku Guru Mengajar Perilaku Guru Mengajar
1. Transmiter pengetahuan Fasilitator, motivator, mediator
2. Sumber pengetahuan Panutan dan konsultan
3. Berorientasi pada Berorientasi pada pebelajar
kurikulum
4. Komunikasi interaksi Komunikasi transaksional
5. Mekanistik Lebih variative
6. Fokus kelas Fokus Masyarakat
II Perilaku Pebelajar Perilaku Pebelajar (Siswa)
(Siswa)
1. Menerima secara pasif Konstruktif dan partisipatif
2. Kompetitif (individual) Kolaboratif dan kerjasama
3. Taat prosedur Penemu dan penciptaan
4. Berbasis fakta Berbasis masalah atau proyek
5. Pengulangan dan latihan Perancangan dan penyelidikan
III Evaluasi Evaluasi dan Assessment
1. Berorientasi pada hasil Berorientasi pada proses
2. Penilaian secara normative Unjuk kerja yang konfrehensif
3. Kognitif asas rendah Kognitif tingkat tinggi (berpikir
(hafalan dan kritis dan kreatif serta divergen)
recall, konvergen)

Penerapan model mekanistik berbasis behavioris sudah berlangsung


lama dan dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya: (1) para guru pada
umumnya adalah produk dari pembelajaran yang menggunakan paradigma
lama, sehingga kompetensi mengajar yang dimiliki guru (pemahaman
konsep, penguasaan aspek psikologi kependidikan, dan pengenalan
kemampuan siswa) masih berbasis behavioristik, (2) kebanyakan guru
sudah terbiasa mengajar dengan menggunakan buku teks. Sementara buku
teks biasanya menguraikan materi pembelajaran seperti dalam pembelajaran
langsung, sehingga kurang sesuai untuk digunakan untuk pembelajaran
yang bersifat konstruktif, (3) kebanyakan sekolah kurang memberi

9
dukungan terhadap implementasi paradigma baru, (4) para pejabat yang
berwenang dalam bidang pendidikan seringkali tidak konsisten dalam sikap
mereka terhadap paradigma yang.

G. Paradigma Baru IPA


Paradigma pendidikan IPA berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Dalam
IPA yang patut dikuasai tidak hanya mengenai fakta-fakta pengetahuannya
saja, melainkan juga penguasaan keterampilan metode ilmiah dan sikap
ilmiah. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pendidikan IPA ditekankan agar
peserta didik menguasai keterampilan dan sikap ilmiah tersebut seakan-
akan seluruh peserta didik disiapkan untuk menjadi ilmuwan-ilmuwan yang
menguasai IPA. Dengan cara ini, untuk memperoleh fakta-fakta sebagai
produk IPA dilakukan dengan cara yang sama dengan ilmuwan yang
pertama kali mengemukakan fakta tersebut, atau disebut learning science as
science is done (belajar sains seperti saat sains ditemukan).
Sejalan dengan perkembangan iptek yang pesat dan perubahan
masyarakat yang dinamis, perlu disiapkan warganegara Indonesia yang
mampu bersaing bebas dan memiliki ketangguhan dalam berpikir, bersikap
dan bertindak berdasarkan pemahaman tentang konsep-konsep dan prinsip-
prinsip sains. Hal ini perlu dilakukan apalagi jika mengingat abad ke-21
sebagai abad sains dan teknologi yang memberikan wawasan berpikir dan
proses bersistem yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat (awam
maupun ilmiah).
Dari sekian banyak permasalahan pendidikan saat ini, setidaknya ada
tiga permasalahan menonjol di pendidikan IPA. Pertama, pembelajaran IPA
masih terpengaruh oleh paradigma pendidikan lama, yaitu yang
menempatkan guru sebagai pusat dan siswa sebagai "gelas kosong" yang
harus siap diisi sesuai kemampuan guru. Permasalahan ini biasanya satu
paket dengan permasalahah kedua, yaitu masih berlangsungnya
pematematikaan IPA. Dalam proses pembelajaran, biasanya siswa duduk
dengan manis, mendengarkan dan mencatat konsep konsep abstrak yang
disampaikan guru, tanpa bisa mengkritisi apa arti konsep itu. Lalu, konsep
itu yang biasanya sudah dalam bentuk persamaan matematika, diterapkan
pada kasus kasus khusus. Saat latihan, mereka mungkin bisa mengerjakan
soal-soal yang setipe dengan yang dicontohkan guru. Namun,pada saat ada

10
soal yang membutuhkan pemahaman konsep, mereka pun kesulitan dalam
menyelesaikannya. Ini karena mereka bukan belajar memahami konsep,
tetapi mencatat konsep.
Konsekuensi lanjutannya adalah terjadinya proses alienasi siswa dari
lingkungannya. Siswa tidak paham untuk apa IPA itu dipelajari, karena
konsep konsep IPA yang mereka pelajari tidak bisa mereka terapkan dalam
kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian, mempelajari IPA merupakan
beban bagi mereka dan akhirnya siswa pun merasa IPA merupakan momok
yang menakutkan dalam pembelajarannya. Banyak guru yang
mematematikakan IPA beralasan pembelajaran yang mengedepankan aspek
induktif membutuhkan waktu banyak dan terkadang muncul hal-hal yang di
luar dugaan semula. Padahal, mestilah disadari bahwa dari hal-hal yang
tidak terduga itu biasanya pemahaman kita akan alam menjadi lebih
komprehensif.
Pembelajaran IPA adalah aktivitas kegiatan belajar mengajar dalam
mengembangkan kemampuan bernalar, berpikir sistematis, dan kerja
ilmiah, selain kemampuan deklaratif yang selama ini dikembangkan. Hal ini
berarti, belajar IPA tidak hanya belajar dalam wujud pengetahuan deklaratif
berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, tetapi juga belajar tentang
pengetahuan prosedural berupa cara memperoleh informasi, cara IPA dan
teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir.
Belajar IPA memfokuskan kegiatan pada penemuan dan pengolahan
informasi melalui kegiatan mengamati, mengukur, mengajukan pertanyaan,
mengklasifikasi, memecahkan masalah, dan sebagainya. Ciri utama yang
membedakan pelajaran IPA dengan kebanyakan mata pelajaran yang lain
adalah sifatnya yang menuntut siswa untuk terlibat di dalam kegiatan
metode ilmiah, dan dengan demikian mengembangkan sikap ilmiah. Esensi
pembelajaran IPA adalah keterampilan proses. Jelas bahwa hal ini menuntut
perlunya pelajaran IPA didukung oleh kegiatan-kegiatan percobaan dan
pengamatan benda dan gejala alam yang dapat memperjelas konsep-konsep
yang ingin disampaikan.
Saat ini terdapat 3 hal pokok yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan program dan pelaksanaan pembelajaran IPA, yaitu:
1. Pengembangan IPA menjadikan siswa menguasai kecakapan hidup
secara luas, bukan sekedar menyerap produk ilmu pengetahuan alam.

11
2. Proses pembelajaran IPA adalah penyediaan kesempatan pengalaman
belajar kepada siswa untuk membangun sendiri kompetensi-kompetensi
yang mendukung tercapainya penguasaan kecakapan hidup (life skills).
3. Pembelajaran IPA dirancang agar siswa mengeksplorasi isu-isu
‘salingtemas’ di lingkungan kehidupan nyata.
Berdasarkan ketiga hal di atas implementasi pembelajaran IPA
dapat menggunakan metodologi pembelajaran yang sekarang popular yaitu
pembelajaran konstruktivis dan kontekstual. Pembelajaran kontekstual
memandang siswa belajar untuk membangun kecakapannya dalam konteks
kehidupan nyata. Sebagai metodologi, karena pembelajaran kontekstual
juga mengimplementasikan metode-metode tertentu.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perbedaan paradigma lam dan paradigma baru ialah:
Paradigma Lama Paradigma Baru
No
Pembelajaran Pembelajaran
I Perilaku Guru Mengajar Perilaku Guru Mengajar
1. Transmiter pengetahuan Fasilitator, motivator, mediator
2. Sumber pengetahuan Panutan dan konsultan
3. Berorientasi pada Berorientasi pada pebelajar
kurikulum
4. Komunikasi interaksi Komunikasi transaksional
5. Mekanistik Lebih variatif
6. Fokus kelas Fokus masyarakat
II Perilaku Pebelajar Perilaku Pebelajar (Siswa)
(Siswa)
1. Menerima secara pasif Konstruktif dan partisipatif
2. Kompetitif (individual) Kolaboratif dan kerjasama
3. Taat prosedur Penemu dan penciptaan
4. Berbasis fakta Berbasis masalah atau proyek
5. Pengulangan dan latihan Perancangan dan penyelidikan
III Evaluasi Evaluasi dan Assessment
1. Berorientasi pada hasil Berorientasi pada proses
2. Penilaian secara normative Unjuk kerja yang konfrehensif
3. Kognitif asas rendah Kognitif tingkat tinggi (berpikir
(hafalan dan kritis dan kreatif serta divergen)
recall, konvergen)
2. Paradigma pendidikan IPA berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Dalam IPA
yang patut dikuasai tidak hanya mengenai fakta-fakta pengetahuannya
saja, melainkan juga penguasaan keterampilan metode ilmiah dan sikap
ilmiah. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pendidikan IPA ditekankan agar
peserta didik menguasai keterampilan dan sikap ilmiah tersebut seakan-
akan seluruh peserta didik disiapkan untuk menjadi ilmuwan-ilmuwan
yang menguasai IPA. Dengan cara ini, untuk memperoleh fakta-fakta
sebagai produk IPA dilakukan dengan cara yang sama dengan ilmuwan
yang pertama kali mengemukakan fakta tersebut, atau disebut learning
science as science is done (belajar sains seperti saat sains ditemukan).
13
B. Saran
Dari berkembangnya jaman di era global sekarang, diharapkan paradigma
pendidikan akan bersifat fleksibel. Hal ini dikarenakan, semakin berubahnya
suatu jaman maka paradigma pendidikan yang di butuhkan juga akan ikut
berubah

14
DAFTAR PUSTAKA

Bundu, Patta. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam
Pembelajaran Sains di SD. Jakarta: Depdiknas.

Carin, A.A. dan R.B. Sund.1989. Teaching Science Through Discovery.


Columbus: Merrill Publishing Company.

Chiappetta, E ugene L. dan Thomas R. Koballa. 2010. Science Instruction in The


Middle and Secondary School Developing Fundamental Knowledge and
Skills. New York: Person.

Kamdi, Waras . 2008. Project Based Learning : Pendekatan Pembelajaran


Inovatif, Malakah Pelatihan Penyusunan Bahan Ajar Guru SMP dan
SMA Kota Tarukan. Malang : Universitas Negeri Malang
Kuhn, T. S. (2002). The structure of scientific revolution. Diterjemahkan oleh:
Tjun Surjaman. Bandung: P. T. Remaja Rosdakarya.
Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ma’arif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Jogjakarta: Logung
Pustaka.

15

Anda mungkin juga menyukai