Anda di halaman 1dari 17

HUKUM JAMINAN

Tugas ini diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Hukum Jaminan


Dosen Pengampu: Dwi fidhayanti, S.HI., M.H

Disusun oleh kelompok 1:

Ahmad Fikrulloh Amin 18220130


Taufikurohaman 18220033

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan.

yang telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan ini. Terlepas dari semua itu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu kami sangat membutuhkan dan menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Malang, 23 september 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................


DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................
1.1 Latar Belakang ...............................................................................
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................
1.3 Tujuan Masalah ..............................................................................
BAB II : ..........................................................................................................
2.1 Hak- hak yang timbul dari UUD ....................................................
1. Hak previllege
2. Hak Retensi
2.2 Hak- hak yang timbul dari perjanjian ............................................
1. Perjanjian garansi
2. Cessie
BAB III : PENUTUP .....................................................................................
3.1 Kesimpulan ....................................................................................
3.2 Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

3
BAB I

1.1. LATAR BELAKANG

Jaminan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian pada
umumnya, karena pemberian pinjaman modal dari lembaga keuangan (baik bank maupun
bukan bank) mensyaratkan adanya suatu jaminan, yang harus dipenuhi para pencari modal
kalau ia ingin mendapatkan pinjaman atau tambahan modal (berupa kredit) tersebut baik untuk
jangka panjang maupun jangka pendek.

Kegiatan perekonomian terus berlangsung dimanapun dan oleh siapapun sebagai pelaku
usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik, bahkan oleh gabungan orang yang bukan
badan hukum sekalipun. Tidak dapat disangkal bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh
siapapun sebagai bagian dari upaya peningkatan perekonomian negara. Salah satu faktor yang
menjadi modal penting untuk menjalankan dan mengembangkan suatu usaha ekonomi tersebut
adalah dana atau uang. Dana atau uang yang dibutuhkan guna pelaksanaan dan pengembangan
usaha dapat diperoleh dengan cara pinjaman atau kredit.

Kegiatan pinjam meminjam uang merupakan kegiatan yang dilakukan sejak lama dalam
kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dalam kegiatan
pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat dapat dipastikan bahwa umumnya sering
dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi
pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan
dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan
kebendaan memberikan hak kebendaannya kepada pemegang jaminan.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1) Apa saja hak-hak yang terkandung UUD jaminan?
2) Bagaimana akibat dari hak-hak perjanjian?

1.3. TUJUAN
1) Agar kita mengetahui tentang hak-hak yang terkandung dalam UU jaminan

4
2) Supaya kita faham dan mengerti tentang akibat yang timbul dari hak-hak perjanjian

5
PEMBAHASAN

A. HAK PRIVILEGE

Hak privilege merupakan jaminan khusus yang didasarkan pada undang-undang. Hak
privilege atau hak istimewa adalah hak yang didahulukan. Menurut Prof. Subekti, hak privilege
adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang
melulu berdasarkan sifat piutang.1 Mengenai hak privilege dapat Anda lihat dalam Pasal
1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yaitu suatu hal yang oleh undang-
undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Privilege (hak istimewa) adalah
suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditor yang menyebabkan ia
bekedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu.
Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi, hak privilege adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-
undang kepada kreditur yang satu di atas kreditur lainnya semata-mata berdasarkan sifat dari
piutangnya.2 Gadai dan hipotik lebih tinggi dari hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang
dengan tegas menentukan sebaliknya. Menurut pasal 1138 KUHPerdata, ada 2 (dua) macam
privilege, yaitu:

1. Privilege khusus (Pasal 1139 KUHPerdata)


2. Privilege umum (Pasal 1149 KUHPerdata)
Menurut Pasal 1139 KUHPerdata, privilege khusus ada 9 (sembilan) macam, yaitu:

a) Biaya perkara.
b) Tunggakan uang sewa tanah atau bangunan, dan biaya untuk memperbaikinya yang
menurut undang-undang dipikul oleh si penyewa.
c) Harga pembelian barang bergerak yang belum dibayar.
d) Biaya menyelamatkan barang, biaya ini dikeluarkan untuk menjaga jangan sampai barang
tertentu musnah.
e) Upah tukang yang mengerjakan sesuatu barang, seperti seorang penjahit, dan lain-lain.
Pengertian "tukang" di sini tidak hanya termasuk mereka yang secara nyata melakukan

1
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 88
2
Sri Soedewi MS, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 33

6
pekerjaan itu, tetapi juga pengusaha yang memerintahkan pekerjaan tersebut kepasa
pelaksana.
f) Piutang seorang pengusaha rumah penginapan, yang disebabkan oleh pemberian
penginapan dan makanan kepada seorang tamu yang menginap.
g) Upah angkutan;
h) Biaya/upah seorang tukang batu, tukang kayu, dan tukang-tukang lain yang mendirikan,
menambah atau memperbaiki bangunan-bangunan.
i) Piutang negara terhadap pegawai-pegawai yang merugikan pemerintah karena kelalaian,
kesalahan, atau pelanggaran dalam melaksanakan jabatannya (Privilege ini tidak
menentukan urutannya).
Ketentuan Pasal 1139 KUHPerdata ini tidak berlaku terhadap kapal. Pasal 316a ayat (3)
KUHDagang menentukan privilege kapal laut lebih didahulukan daripada hipotek.

Menurut Pasal 1149 KUHPerdata, ada 7 (tujuh) macam privilege umum, yaitu:

a) Biaya perkara
b) Biaya penguburan
c) Biaya pengobatan terakhir dari debitor yang meninggal dunia (biaya ini meliputi biaya
dokter, pembelian obat dan perawatan rumah sakit)
d) Tagihan buruh atas upahnya untuk satu tahun dalam tahun kerja yang sedang berjalan.
e) Uang pembelian barang-barang makanan untuk hidup sehari-hari yang diperlukan si
berhutang dan keluarganya.
f) Tagihan sekolah asrama untuk satu tahun terakhir.
g) Piutang seseorang yang belum dewasa atau seseorang yang berada di bawah pengampuan
terhadap seorang wali atau curator (Privilege ini menentukan urutannya, yang lebih dahulu
disebut didahulukan pembayarannya).
Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata menentukan: gadai dan hipotek lebih didahulukan
pembayarannya daripada privilege, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Selanjutnya
undang-undang menentukan lain dalam Pasal 1139 butir (1) dan Pasal 1149 butir (1), yaitu dalam
hal pembayaran biaya perkaraq. Juga ketentuan Pasal 316a ayat (3) KUHDagang menentukan
privilege kapal laut lebih didahulukan daripada hipotek. Antara privilege khusus dan privilege

7
umum menurut pasal 1138 KUHPerdata yang lebih didulukan pembayarannya adalah privilege
khusus.

B. HAK RITENSI

Hak retentie ini mempunyai sifat yang tak dapat dibagi-bagi. Artinya, pembayaran atas
sebagian utang saja, tidak menjadikan hak retentie menjadi hapus. Hak retentie hapus jika seluruh
utang telah dibayar lunas.3 Pengertian Hak Retensi tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1812
KUHPerdata, yaitu: “Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang
berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat
pemberian kuasa.” Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.
Kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum diintegrasikan
sedemikian rupa, sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian
kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-
kepentingan tersebut. Memang, dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di
lain pihak. Hak retensi ini dimiliki antara lain oleh advokat. Advokat yang menerima kuasa dari
kliennya memiliki hak retensi akibat dari pemberian kuasa tersebut. Apabila terdapat kewajiban,
misalnya pembayaran biaya jasa hukum, yang belum dipenuhi oleh kliennya, maka advokat dapat
menggunakan hak retensinya untuk menahan kepunyaan kliennya. Misal, advokat dapat menahan
berkas atau dokumen-dokumen perkara kliennya ketika honorariumnya belum dibayarkan oleh
klien.

Dalam Pasal 1131 KUHPerdata ditegaskan bahwa “segala kebendaan si berhutang, baik
yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Kemudian Pasal
1132 KUHPerdata menegaskan bahwa “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi
semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi

3
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 236

8
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila
diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

Menurut Sri Redjeki Hartono,4 Lembaga Kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi
sekaligus, yaitu:

a) Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur tidak akan
berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas semua hutang-hutangnya kepada semua
kreditur-krediturnya.
b) Juga memberi perlindungan kepada debitur, terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh
kreditur-krediturnya.
Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai
upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Sistem pengaturan yang taat
asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka memberikan kepastian hukum. Dari itu
timbullah Lembaga Kepailitan, yang berusaha untuk mengadakan tata yang adil mengenai
pembayaran utang terhadap semua kreditur dengan cara seperti yang diperintahkan oleh Pasal
1132 KUHPerdata.

C. JAMINAN GARANSI

Perjanjian garansi merupakan suatu perjanjian antara pihak penjual dan pembeli, dimana
pihak yang satu memberikan jaminan berupa garansi untuk memberikan rasa kepercayaan kepada
konsumen dimana pihak kedua atau konsumen sebagai penerima garansi, sehingga timbulah
perbuatan hukum yang sudah diatur dalam undang-undang dan sudah di tetapkan diantara pemberi
dan penerima garansi itu.

Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu sebagai
penjual berjanji untuk menyerahkan hak atas suatau barang, sedangkan pihak yang lainnya sebagai

4
Sri Redjeki Hartono, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam Kerangka Pembangunan Hukum , Makalah,
Semiloka Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Hukum Kepailitan, FH UNDIP-ELIPS, 1997, hlm. 5

9
pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari
perolehan hak milik tersebut. Saat terjadinya perjanjian jual beli adalah barang dan harga sesuai
dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian B.W., perjanjian jual beli itu
sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak
sudah setuju tentang barang dan harga maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.5

Karena adanya perjanjian jual beli yang sah maka pelaku usaha memiliki kewajiban untuk
memberikan garansi kepada pembeli, dengan menyertakan bukti jaminan garansi atau kartu
garansi yang berlaku selama satu tahun terhitung sejak hari pembelian, sedangkan hubungan
hukum yang terajadi anatar pelaku usaha dengan pembeli adalah hubungan hukum jual beli.
Dimana pelaku usaha dan konsumen masing-masing memiliki hak dan kewajiban sebgai berikut:
a. Kewajiban si Penjual, kewajiban menyerahkan hak milik yaitu meliputi dan kewajiban
menangggung kenikmatan tentram dan menanggung terhadap cacadcacad tersembunyi, b.
Kewajiban si Pembeli membayar harga. Dalam pengertian “jual-beli” sudah termaktub pengertian
bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang6.

Sedangkan pengertian garansi ditinjau dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal
1315, perjanjian garansi adalah Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan pengikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri7.

Perjanjian garansi yaitu kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan


konsekwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang
dijual dan dilever itu adalah sungguhsungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau
tuntutan dari semua pihak8.

1) PELAKSANAAN PERJANJIAN GARANSI

Pelaksanaan perjanjian yang dilakukan oleh dua belah pihak antara penjual dan pembeli
untuk mencapai suatu kesepakatan dalam bertransaksi jual beli dan mengikat para pihak yang
melakukan perjanjian tersebut. Untuk terjadinya perjanjian ini, cukup jika kedua belah pihak

5
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Alumni, cetakan kesepuluh, Bandung, 1995), hlm. 1-2.
6
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Alumni, cetakan kesepuluh, Bandung, 1995), hlm. 1-2.
7
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata,(PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000), hlm. 21
8
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Alumni, cetakan kesepuluh, Bandung, 1995), hlm. 17

10
sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harganya. Si penjual mempunyai dua
kewajiban, yaitu pertama menyerahkan barangnya serta menjamin si pembeli dapat memiliki
barang itu dengan tenteram, dan kedua bertanggung jawab terhadap cacad-cacad yang
tersembunyi. Kemudian si pembeli, membayar harga pada waktu dan di tempat yang telah
ditentukan.9

Sedangkan pelaksanaan garansi ditinjau dari kitab undang-undang hukum perdata


Pasal 1338, pelaksanaan perjanjian garansi adalah semua persetujuan yang dibuat sesuai
dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.

Garansi merupakan suatu bentuk jaminan tanggung jawab dari pelaku usaha atau
penjual kepada konsumennya terhadap barang dan jasa yang dipasarkan sebagai suatu nilai
tambah. Undang-undang memberikan sejumlah hak dan membebankan sejumlah kewajiban
dan larangan kepada produsen pelaku usaha. Pengaturan tentang hak, kewajiban, dan larangan
itu dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara produsen atau pelaku usaha
dan konsumennya sekaligus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan
usaha dan perekonomian nasional pada umunya10.

Sebelum terjadi peristiwa perjanjian dalam pemberian garansi, tentunya pihak


konsumen dan pihak produsen atau pelaku usaha harus melalui tahapantahapan transaksi dalam
melakukan transaksi jual beli barang yang di edarkan oleh pihak produsen atau pelaku usaha,
karena perjanjian garansi terjadi dan mengingkat para pihak apabila transaksi jual beli sudah
dilakukan dan disepakati. Tahapan-tahapan itu dapat diuraikan dalam tiga tahap, yaitu tahap
prantransaksi, tahap transaksi, dan tahap purnatransaksi. Ketiga tahapan tersebut antara lain11.

9
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (PT. Intermasa, cetakan.34 Jakarta, 2003), hlm. 162
10
Janus Sidobalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, (PT. Citra Aditiya Bakti, bandung 2014), hlm. 71.
11
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata,(PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000), hlm.
145

11
1. Tahap pratransaksi: Adalah sebelum adanya perjanjian atau transaksi konsumen, yaitu
keadaan atau peristiwa yang terjadi sebelum konsumen memutuskan untuk membeli dan
memakai produk yang diedarkan produsen atau pelaku usaha.
2. Tahap transaksi: Setelah calon konsumen atau pembeli memperoleh informasi yang cukup
mengenai kebutuhannya, kemudian mengambil keputusan apakah membeli atau tidak. Di
sini konsumen atau pembeli mempergunakan salah satu haknya, yaitu hak untuk memilih
(penentuan pilihan). Apabila konsumen sudah menyatakan persetujuannya, pada saat itu
lahirlah perjanjian sebab penawaran produsen atau penjual telah mendapat jawaban di
dalam penerimaan dari konsumen atau pembeli.
3. Tahap purnatransaksian: Tranksasi (dalam wujud perjanjian, kontrak) yang sudah dibuat
antara produsen atau pelaku usaha dan konsumen tentunya masih terus direalisasikan, yaitu
diikuti dengan pemenuhan hak dan kewajiban diantara mereka sesuai dengan isi perjanjian
yang dibuat oleh itu. Artinya, tahap pengikatan perjanjian sebenarnya hanyalah bagian
awal yang masih harus diikuti dengan perbuatan pelaksanaan. Dengan kata lain, realisasi
dari perjanjian itulah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para pihak12.

2) SYARAT-SYARAT PERJANJIAN

Sebuah perjanjian akan melahirkan hak dan kewajiban pada masingmasing pihak
yang terlibat di dalam perjanjian sehingga jika salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntutnya. Oleh karenanya setiap
perjanjian yang dibuat harus benar-benar dilaksanakan sesuai perjanjian tersebut.

Suatu perjanjian dikatakan sah apabila adanya kesepakatan antara kedua belah
pihak menurut atau seperti yang sudah dijelaskan dalam Pasal 1320. Supaya terjadi
persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:a. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya, b. Cakap untuk membuat suatu perikatan, c. Mengenai suatu hal tertentu, b. Suatu
sebab yang halal13.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya,
setiap orang yang sudah dewasa atau akhil baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menuru

12
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata,(PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000), hlm. 21
13
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (PT. Intermasa, cetakan.34 Jakarta, 2003), hlm. 17-19

12
hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-
oarang yang tidak cakap membuat suatu perjnjian: a. Orang yang belum dewasa, b. Mereka
yang ditaruh dibawah pengampuan, c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang
membuat perjanjiaperjanji.

D. CESSIE

KUH Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) merupakan ketentuan hukum yang
berasal dari produk pemerintah Hindia Belanda yang diundangkan pada tahun 1848. Masih berlaku
di Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila, peraturan perundang-
undangan, serta dibutuhkan.

Penyerahan hak-hak piutang atas nama, khususnya untuk benda bergerak dilakukan dengan
cessie. Cessie diatur dalam buku II, Pasal 613 ayat (1) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa
“penyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan
dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas
barangbarang itu kepada orang lain”. Selanjutnya pada Pasal 613 ayat (2) KUH perdata
menyebutkan bahwa “penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan
itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya”.

Piutang atas nama adalah piutang yang pembayarannya dilakukan kepada pihak yang
namanya tertulis dalam surat piutang tersebut, dalam hal ini kreditur lama. Akan tetapi dengan
adanya pemberitahuan tentang pengalihan piutang atas nama kepada debitur, maka debitur terikat
untuk membayar kepada kreditur baru dan bukan kepada kreditur lama14.

Cessie hampir mirip sifatnya dengan pand (gadai) piutang atas nama, di mana keduanya
dilakukan dengan akta dan harus ada pemberitahuan. Perbedaannya, dalam cessie perbuatan
hukum itu sudah selesai dengan dibuatnya akta tersebut. Pemberitahuan hanya dilakukan supaya
debitur mengetahui dan kemudian terikat oleh adanya cessie itu. Sedang dalam gadai perbuatan

14
Devid frastiawan amir sup, Jurnal ilmu syariah, perundang-undangan dan ekonomi islam, ( cessie dalam tinjauan
hukum islam), vol.11 edisi1 tahun 2019, 44-73

13
hukum itu selesai setelah adanya pemberitahuan, dengan dibuatnya akta saja perbuatan hukum
belum selesai. Perbedaan tersebut di atas penting artinya dalam hal adanya kepailitan.

1). SYARAT- SYARAT CASSIE

Penyerahan (levering) adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas
namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu.
KUH Perdata mengenal tiga macam barang (barang bergerak, barang tetap, dan piutang
atas nama), maka juga dikenal tiga macam levering, penyerahan kekuasaan (bezit) untuk
barang bergerak, balik nama untuk barang tetap, dan cessie untuk piutang atas nama.

Dalam cessie, Pasal 613 ayat (1) KUH Perdata mewajibkan untuk dibuatkan akta,
baik otentik maupun di bawah tangan. Akta adalah tulisan yang memang sengaja dibuat
untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Di dalam Pasal 1868
KUH Perdata “suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
di tempat akta itu dibuat”. Sedangkan menurut Pasal 1874 KUH Perdata “yang dianggap
sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat,
daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan
seorang pejabat umum”. Di dalam Pasal 1875 KUH Perdata:

“Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang
dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya,
menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang yang
menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka.
Ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.”

Selanjutnya, Pasal 1871 KUH Perdata:

“Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa
yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu
mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat dalam akta
itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan langsung

14
dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian
dengan tulisan.”15

Kebenaran suatu akta di bawah tangan adalah adanya tanda tangan. Apakah tanda
tangan tersebut dapat diakui kebenarannya, didasarkan pada pihak yang mengakui
memberikan atau yang membuat tanda tangan tersebut, baik dilakukan secara serta merta
atau di bawah sumpah.

Setelah dibuatnya akta tersebut maka harus diadakan pemberitahuan kepada


debitur, sesuai dengan Pasal 613 ayat (2) KUH Perdata. Dalam hubungan ini kreditur yang
memindahkan piutang tersebut disebut cedent. Kreditur yang baru itu disebut cessionaris.
Sedang debitur dari piutang yang dipindahkan itu disebut cessus. Pemindahan piutang
dengan cessie itu biasanya terjadi karena adanya jual beli (Sofwan 1981). Agar penyerahan
tersebut mengikat bagi debitur, maka harus diberitahukan kepada debitur atau disetujui
atau diakui secara tertulis oleh debitur.16

15
Devid frastiawan amir sup, Jurnal ilmu syariah, perundang-undangan dan ekonomi islam, ( cessie dalam tinjauan
hukum islam), vol.11 edisi1 tahun 2019, 44-73
16
Devid frastiawan amir sup, Jurnal ilmu syariah, perundang-undangan dan ekonomi islam, ( cessie dalam tinjauan
hukum islam), vol.11 edisi1 tahun 2019, 44-73

15
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dengan adanya peraturan ini, diharapkan konsumen dapat terhindar dari pembelian produk
yang cacat atau rusak. Meskipun telah ada peraturan ini namun pada kenyataannya, masih banyak
produk di Daerah Indonesia yang tidak dilengkapi dengan kartu jaminan atau garansi purna jual.

16
DAFTAR PUSTAKA

Devid frastiawan amir sup, Jurnal ilmu syariah, perundang-undangan dan ekonomi islam, ( cessie dalam
tinjauan hukum islam), vol.11 edisi1 tahun 2019, 44-73

Janus Sidobalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, (PT. Citra Aditiya Bakti, bandung 2014)

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan

R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Alumni, cetakan kesepuluh, Bandung, 1995),

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (PT. Intermasa, cetakan.34 Jakarta, 2003),

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata,(PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000),

Sri Redjeki Hartono, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam Kerangka Pembangunan Hukum ,
Makalah, Semiloka Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Hukum Kepailitan, FH UNDIP-ELIPS,
1997

Sri Soedewi MS, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa

17

Anda mungkin juga menyukai