Anda di halaman 1dari 28

Kelompok 1: - Lismayana dan – Nur anita amir

23

Makalah Trauma Kepala


Ns. M. Syikir. S.kep., M.kep
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami
berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Polewali, 17 juni
2023

Penyusun
Dafrtar isi
BAB I.............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN............................................................................................................................4
Latar belakang..........................................................................................................................4
Rumusan masalah....................................................................................................................5
Tujuan......................................................................................................................................5
BAB II............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
Definisi trauma kepala.............................................................................................................6
Epidemiologi............................................................................................................................6
Mekanisme cedera kepala........................................................................................................7
Penyebab cedera kepala..........................................................................................................7
Pemeriksaan fisik pada pasien cedera kepala..........................................................................7
Manajemen pasien dengan cedera otak akibat trauma..........................................................8
Klasifikasi cedera kepala..........................................................................................................9
Pengobatan atau pencegahan..................................................................................................9
Pemeriksaan fisik pasien cedera kepala.................................................................................10
Cedera kepala khusus.............................................................................................................13
Fraktur tulang tengkorak........................................................................................................14
Cedera otak berkepanjangan.................................................................................................16
Cedera aksonal difus (diffuse axonal injuri/ DAI)....................................................................17
Cedera otak fokal (focal brain injuries)..................................................................................18
Hematom subdural................................................................................................................19
Perdarahan intraserebral traumatik.......................................................................................21
Cedera penetrasi....................................................................................................................21
PERTIMBANGAN KHUSUS.......................................................................................................22
Peningkatan tekanan intrakranial......................................................................................22
Herniasi..............................................................................................................................22
Herniasi uncal (leteral, transtentorial)...................................................................................23
Herniasi sentral......................................................................................................................24
KEJANG SETELAH TRAUMA KEPALA.......................................................................................24
BAB III.........................................................................................................................................26
PENUTUP....................................................................................................................................26
Kesimpulan.............................................................................................................................26
DAFTAR PUSTKA...................................................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Cedera kepala atau trauma kepala merupakan cedera mekanik pada bagian
kepala melibatkan berbagai bagian kepala spesifik yang berkaitan dengan
mekanisme cedera yaitu pada jaringan lunak (SCALP), tulang tengkorak,
maupun otak terkecuali luka superficial di bagian wajah, secara langsung
maupun tidak langsung yang dapat menyebabkan gangguan sementara atau
permanen dalam aspek fungsi neurologis meliputi fisik, kognitif, ataupun
psikososial. (Kedokteran et al., 2022)
Trauma kepala dan cedera otak tidak selalu sama, membedakan antara
kedua hal tersebut penting ketika mempertimbangkan pengkajian dan perawatan
pasien dengan cedera akibat trauma, cedera kepala biasanya menunjukkan gejala
yang lebih terlihat seperti laserasi atau deformitas, sedangkan traumatic brain
injuries (TBI) dapat terjadi pada pasien yang menunjukkan keutuhan neurologi.
TBI dapat bertingkat dari ringan sampai berat, diagnosis dan intervensi dini
merupakan hal yang paling penting untuk meminimalkan outcome yang
merugikan. (Kedokteran et al., 2022)
Delapan puluh persen dari TBI diklasifikasikan sebagai TBI ringan, akan
tetapi efeknya akan muncul lama dan mengubah hidup, depresi, stress post
trauma, enselopati kronis traumatic dan perubahan personal telah dihubungkan
dengan cedera otak ringan.
Cedera kepala penyebab kematian dan kecacatan du dunia. Berdasarkan
data du amerika serikat, sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera kepala setiap
tahunnya. Menurut data riskesdes tahun 2013 bahwa prevelensi terjadinya
cedera kepala adalah sebanyak 8,2%. Cedera kpala di Negara maju dan
berkembang masih menjadi penyebab utama dari kematian dan kecacatan,
meskipun sudah terjadi kemajuan dalam bidang ilmu kegawatdaruratan. Ilmu
bedah saraf dan perawatan intensif mengenai trauma. (Kedokteran et al., 2022)
Cedera kepala merupakan proses patologis pada sel neuron yang bukan
akibat penyakit koginetal maupun degenerative, melainkan akibat kekuatan
mekanis dari luar.kekuatan mekanis tersebut menyebabkan gangguan yang
bersifat sementara atau menetap dan dapat menjadi berubahnya tingkat
kesadaran. Gangguan yang terjadi berupa gangguan fisik, fungsi kognitif, dan
psikososial.
Berdasarkan patomekanismenya, cedera kepala primer merupakan cedera
kepala yang menjadi akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat berupa
benturan langsung maupun proses akselerasi-deselerasi dari gerakan kepala.
Pada awal cedera primer dapat diakibatkan oleh adanya peristiwa coup dan
countercoup yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak.
Cedera kepala sekunder adalah akibat yang terjadi setelah cedera kepala
berbagai proses patologik yang muncul sebagai fase lanjutan dari lesi otak
primer dapat berupa edema otak, perdarahan, iskemia kerusakan neuron yang
berkelanjutan, dan perubahan neurokimiawi. Pada cedera kepala sekunder
gangguan pada prosesmetabolisme dan homeostatis ion-ion sel otak, dinamika
homeostatis intracranial, dan kompartemen pada cairan serebrospinal (LCS)
yang diawali setelah trauma kepala terjadi biasanya dapat tidak terdeteksi pada
awal terjadinya trauma.(MN, SKP, kurniati et al., 2018)

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada makalah
ini adalah bagaimana penanganan pada trauma kepala.
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui penanganan pada trauma kepala
2. Tujuan khusus
a) Untuk mengetahui definisi trauma kepala
b) Untuk mengetahui Epidemiologi
c) Untuk mengetahui Mekanisme cedera kepala
d) Untuk mengetahui Penyebab cedera kepala
e) Untuk mengetahui Pemeriksaan fisik pada pasien cedera kepala
f) Untuk mengetahui manajemen pasien dengn cedera otak akibat
trauma
g) Untuk mengetahui Klasifikasi cedera kepala
h) Untuk mengetahui Pengobatan atau pencegahan
i) Untuk mengetahui Pemeriksaan fisik pasien cedera kepala
j) Untuk mengetahui Cedera kepala khusus
k) Untuk mengetahui Fraktur tulang tengkorak
l) Untuk mengetahui Cedera otak berkepanjangan
m) Untuk mengetahui Cedera aksonal difus (diffuse axonal injuri/ DAI)
n) Untuk mengetahui Cedera otak fokal (focal brain injuries)
o) Untuk mengetahui Hematom subdural
p) Untuk mengetahui Perdarahan intraserebral traumatik
q) Untuk mengetahui Cedera penetrasi
r) Untuk mengetahui pertimbangan khusus
s) Untuk mengetahui Peningkatan tekanan intrakranial
t) Untuk mengetahui Herniasi
u) Untuk mengetahui Herniasi uncal (leteral, transtentorial)
v) Untuk mengetahui Herniasi sentral
w) Untuk mengetahui kejang setelah trauma kepala
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi trauma kepala


Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, t
ulang tengkorak atauotak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupu
n tidak langsung padakepala.Cedera kepala merupakan penyakit neurologik yan
g serius diantara penyakitneurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai
hasil kecelakaan lalu lintas. Resikoutama klien yang mengalami cedera kepala a
dalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon
terhadacedera yang menyebabkan peningkatan tekananintrakranial. (Al-fajri,
2021)
Cedera kepala atau trauma kepala merupakan bentuk cedera otak yang
disebabkan oleh kerusakan mendadak pada otak. Kerusakan mendadak ini akibat
dari adanya kekuatan mekanik eksternal atau benturan fisik dari luar seperti
jatuh, olahraga, serangan dan kecelakaan lalu lintas yang dapat menimbulkan
kerusakan permanen atau semntara pada fungsi neurologis yaitu gangguannya
fisik, kognitif, dan fungsi psikososial.
Cedera kepala didefinisikan sebagai cedera tumpul atau tembus pada kepala
atau otak yang disebabkan adanya gaya eksternal, sehingga mengakibatkan
gangguannya semntara atau permanen pada Fu gajah otak dan adanya perubahan
pada struktur otak. (Nakmofa & Ambarika, 2023)
B. Epidemiologi
Trauma kepala lebih sering terjadi pada anak-anak, orang dewasa hingga
24 tahun, dan mereka yang lebih tua dari 75 tahun. [4] [5] [6] TBI 3 kali lebih
sering terjadi pada pria daripada wanita. Meskipun hanya 10% dari TBI yang
terjadi pada populasi lanjut usia, hal ini menyebabkan hingga 50% dari kematian
terkait TBI. (Al-fajri, 2021)
C. Mekanisme cedera kepala
Mekanisme cedera kepala mengacu pada cara terjadinya peristiwa yang
menimbulkan trauma, hal yang menyebabkan trauma dan informasi tentang tipe
serta jumlah energi yang di ubah pada saat kejadian tersebut.
Cedera kepala terjadi bila ada kekuatan mekanik yang ditransmisikan ke
jaringan otak.
1. Akselerasi : kepala yang diam (tak bergerak) ditabrak oleh benda yang
bergerak.
2. Deselerasi : kepala membentur benda yang tidak bergerak
3. Deformasi : benturan kepala ( tidak menyebabkan fraktur tulang tengkorak)
menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena terdapat di permukaan
kortikal sampai ke dura meter sehingga terjadi pendarahan subdural.
(Kedokteran et al., 2022)
D. Penyebab cedera kepala
Menurut krisanti, dkk (2014). Penyebab cedera kepala di bagi menjadi :
1. Trauma tumpul, kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang
menyebar. Berat ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses
ekselerasi-deselerasi. Kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal.
2. Trauma tajam, disebabkan oleh pisau atau peluru atau pragmen tulang
pada fraktur tulang tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan
gerak(velocity) benda tajam tersebut menancap kepala atau otak.
3. Coup dan countercoup, pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada
daerah benturan sedangkan pada cedera countercoup kerusakan terjadi
pada sisi yang berlawanan dengan cedera coup. (Mulyono, 2020)
E. Pemeriksaan fisik pada pasien cedera kepala
Evaluasi neurologi meliputi pemeriksaan
1. GCS (Glasgow coma scale)
GCS dihitung dari respon buka mata, respon verbal dan respon motorik,
pada pasir cedera kepala sebagai satu set rangsanagan yang sudah
terstandar.
2. Pemeriksaan saraf kranial
Selain mengkaji skor GCS dan mengkaji saraf kranial pasien. Perawat
juga harus mengkaji respon oupil dengan menggunakan sebuah
penerangan .
a. Pada kondisi normal pupil akan mengalami kontriksi ketika
terekspos cahaya secara langsung.
b. Cahaya yang disorotkan pada satu pupil menyebabkan pupil
lainnya juga berkontriksi
c. Tunggu minimal 10 detik diantara pengkajian salah satu mata
untuk meminimalkan respon konsensual. (Dharmajaya, n.d.)
3. Pengkajian refleks
F. Manajemen pasien dengan cedera otak akibat trauma
Cedera kepala berat didefinisikan dengan skor GCS 8 atau kurang setelah
resusitasi.
1. Airway,
a. Intubasi oral pasien dengan skor GCS 8 atau kurang
b. Pasang selang gastrik oral untuk mendekompresi adbomen,
hindari NGT
2. Breathing
a. Pertahanan PaO2 lebih dari 100 mmhg dan saurasi oksigen
lebih dari 95%.
b. Pertahanan uekapnia ( PaCO2 35-38 mmhg ) karbondioksida
merupakan vasodilator Potensial dan akan menurunkan tekanan
perfusi selebral.
c. Hindari hiperventilasi walaupun terdapat tanda herniasi
d. Pertimbangkan blokade neuromuskuler untuk pasien yang
mengalami kesulitan ventilasi
3. Circulation
a. Pertahankan Normovolemi jaga MAP antara 70-90 mmhg.
Hipotensi harus dihindari karena berhubungan dengan
peningkatan mortalitas pasien dengan cedera otak berat
(Dharmajaya, n.d.)
.
G. Klasifikasi cedera kepala
1. Berdasarkan tingkat keparahan klinis
a. Cedera kepala ringan ( CJR) GCS>13 tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak tidak memerlukan tindakan operasi
b. Cedera kepala sedang ( CKS) dengan GCS 9-13 , ditemukan
kelainan pada CT scan pada otak memerlukan tindakan operasi
untuk lesi intrakrnial.
c. Cedera kepala berat (CKB) bila dalam waktu >48 jam setelah
trauma skor GCS <9. (Banjarmasin, 2019)
2. Berdasarkan etiologi
a. Cedera kepala tumpul, terjadi ketika kekuatan mekanik
eksternal menyebabkan percepatan atau perlambatan yang
berdampak pada otak. Hal ini biasanya terdapat pada cedera
akibat kecelakaan bermotor, dan jatuh
b. Cedera kepala penetrasi, terjadi ketika sebuah benda menembus
tengkorak dan melukai dura meter yang biasanya terlihat pada
luka tembak atau tusukan.
c. Cedera kepala ledak, umumnya terjadi setelah pengeboman dan
peperangan karena kombinasi antar gaya kontak dan inersia
tekanan
berlebihan dan gelombang akustik. (Banjarmasin, 2019)
H. Pengobatan atau pencegahan

1. Pertahankan jalan napas dan ventilasi


2. Mempertahankan tekanan perfusi serebral
3. Cegah cedera sekunder (dengan mengidentifikasi dan mengobati
hipoksia, hiperkapnia, atau hipoperfusi)
4. Mengevaluasi dan mengelola peningkatan ICP
5. Dapatkan konsultasi bedah saraf mendesak untuk lesi massa
intrakranial
6. Identifikasi dan tangani cedera atau kondisi lain yang mengancam
jiwa (jika ada)
Diperlukan tekanan darah sistemik yang relatif lebih tinggi:

1. Peningkatan tekanan intrakranial


2. Hilangnya autoregulasi sirkulasi serebral (Dharmajaya, n.d.)

I. Pemeriksaan fisik pasien cedera kepala

Lakukan evaluasi neurologi awal secepat mungkin pada cedera kepala.


Reevaluasi harus dilakukan terus menerus, pemeriksaan serial dipertimbangkan
untuk mendeteksi dengan cepat perburukan pasien yang membutuhkan
intervensi bedah. Evaluasi neurologi meliputi pemeriksaan GCS dan pengkajian
saraf cranial, respons pupil dan reflex. (MN, SKP, kurniati et al., 2018)
NO NAMA FUNGSI PEMERIKSAAN FISIK KOMENTAR

1 Olfaktori Penciuman Dengan mata tertutup, Kerusakan nervus


dekatkan permen karet pada olfaktorius (yang umum
hidung pasien dan minta pasien terjadi pada trauma
untuk mengidentifikasi bau kepala) menyebabkan
permen karet tersebut. hilangnya sensasi
penciuman (anosmia) dan
hanya mampu
membedakan rasa manis
dan pahit.

2 Optikus Penglihatan Minta pasien untuk membaca Jika nervus optikus baik,
huruf kecil pada kertas. pasien akan mampu
menghitung jumlah jari,
merasakan cahaya, atau
mata akan berkedip
ketika diberikan
perlakuan pasien juga
akan dapat membaca
tulisan.

3 Ukolomotor Pengaturan ukuran pupil Kaji respons papilari terhadap Saraf cranial ketiga
ius dan akomodasi cahaya secara langsung dan melewati tantorium
berdasarkan persetujuan herniasi. Tentorium
Pergerakan mata memberikan penekanan
ekstrakuler Minta pasien untuk mengikuti pada saraf cranial
pergerakan kertas permen karet tersebut, menyebabkan
pada posisi 6 arah pandangan dilatasi pupil menjadi
tanpa menggerakkan kepala tidak berespons (fixed)
pada sisi ipsilateral
herniasi. Walaupun
perbedaan ukuran pupil 1
mm dapat mengakibatkan
penekanan signifikan.

4 Trochlear Pergerakan mata Cek ukuran pupil pasien, Saraf cranial ke III, IV
ektraokular ketajaman, reaksi dan DAN VI dikaji secara
pergerakan ekstraokuler bersamaan.

5 trigeminal Menelan Minta pasien untuk mengunyah Saraf trigeminal


permen karet, periksa kekuatan mengontrol sensasi wajah
otot mastikasi, mobilitas dan pergerakan
rahang, dan sensasi wajah. mandibula

6 Abdusen Pergerakan ekstaokuler Lihat saraf cranial III dan IV Lihat saraf cranial III dan
mata IV

7 Facialis Pergerakan wajah dan rasa Minta pasien untuk menaikkan Saraf facial mengontrol
alis, menutup rapat keloak ekspresi wajah serta rasa
mata, tersenyum, dari dua ertiga anterior
memperlihatkan gigi, lidah.
tersenyum, mengerutkan dahi,
menggembungkan pipi,
tempatkan permen karet di
kedua sisi lidah untuk
mengkaji rasa.
REFLEK PENGKAJIAN REAKSI NORMAL REAKSI ABNORMAL
Saraf cranial V dan Sentuh kornea menggunakan Kedipan mata Tidak berespons
VII kapas atau tetesan cairan
Cranial IX dan X normal saling stimulasi
tenggorokan dengan swab. Gangguan normal Gangguan reflex hilang
Tangue spatal, atau kateter
suction tes reflex deep tendon Skor 2 Hiperaktivitas
dengan menggunakan karet mengindikasikan lesi
hammer reflex respons dinilai fraktus piramida atau
dari 0-4 gangguan psikogenik.
0 absen/tidak berespons
1 menurun
2 normal
3 meningkat
4 hiperaktif
0-
Babinski Lakukan stimulasi cepat Reaksi negative- ibu jari Reaksi positif- ibu jari
cutaneus pada permukaan dan jari lain fleksi, dan jari lain
plantar kaki. menekuk ke bawah. ekstensi,menghadap kea
rah kepala
Rekasi ini tersebut
normal pada anak berusia
di bawah 2 tahun. Tidak
berespons pada semua
usia berarti kondisi
abnormal.

1. Cedera kepala khusus


1. Luka pada kulit kepala
Luka kulit kepala yang disebabkan karena trauma tumpul maupun
penetrasi merupakan cedera kelapa yang paling sering di temukan oleh
karna itu ditemiat itu banyak pembuluh darah, kulit kepala akan
mengalami pendarahan hebat ketika terjadi kerusakan integrasi kulit.
2. Tanda dan Gejala
a. Terlihat langsung adanya luka
b. Perdarahan (bisa merupakan perdarahan hebat)
3. Intervensi Tereutik
a. Lakukan penekanan langsung atau pada sekeliling luka untuk
menghentikan perdarahan. Klip atau klem dapat digunakan untuk
mengontrol hilangnya banyak darah
b. Palpasi tulang tengkorak di bawahnya untuk mengetahui
kemungkinan fraktur, jangan melakukan penekanan langsung
diatas fraktur depressed
c. Imobilisasi dan evaluasi tulang servikal
d. Atasi hipovolemia pada anak kecil, sebagian kecil mengalami
kehilangan darah signifikan dari adanya luka di kulit kepala
e. Bersihkan luka dan debridement jaringan yang hilang
f. Jahitan, staples, ikatan, atau lem luka dapat digunakan untuk
menutup kulit kepala
g. Jaga tepi luka lembab dengan salep antibiotik untuk
mempercepat penyembuhan
h. Gunakan kassa steril atau biarkan luka terbuka
i. Antibiotic sistemik diindikasikan untuk luka terkontaminasi
seperti gigitan
j. Pastikan profilaksis tetanus yang sesuai
k. Sediakan instruksi setelah perawatan untuk manajemen luka
dan trauma kepala (MN, SKP, kurniati et al., 2018)
2. Fraktur tulang tengkorak

Periksa kepala pasien terhadap benjolan, penekanan, memar, laserasi, dan


kelainan lain. Terjadinya fraktur tulang tengkorak tidak otomatis mengindikasikan
bahwa terjadi cedera intracranial.

Fraktur tulang tengkorak secara umum diklasifikasikan berdasarkan tipe


(sederhana atau lincar dan depres) dan (ruang cranial dan basal).

a. Fraktur tulang tengkorak sederhana (linear, tanpa pergeseran)


Fraktur tulang tengkorak sederhana merupakan retakan linear pada
permukaan tulang tengkorak, tulang tidak tergeser dan fraktur tersebut
tidak memerlukan perawatan khusus.
2. Fraktur depresi tulang tengkorak
Fraktur depresin tulang tengkorak meliputi depresi pada segmen cranium.
Apabila fragmen tulang terdepresi ke bawah melebihi 5 mmdibandingkan
tulang yang berdekatan, pembedahan elevasi harus dilakukan untuk
mengidentifikasi kontusio otak di bawahnya dan mengurangi insiden
infeksi intracranial.
3. Tanda dan gejala
a. Observasi dan palpasi adanya deformitas
b. Perdarahan (baik kehilangan darah eksternal atau bentukan
hematom)
c. Penurunan tingkat kesadaran
4. Prosedur diagnostik
a. Sediakan manajamen jalan napas dengan proteksi tulang
servikal apabila diperlukan
b. Kontrol perdarahan eksternal
c. Tempatkan kassa steril diatas luka terbuka
d. Perbaiki laserasi
e. Pertimbangkan pemberian antibiotic sistemik
f. Pastikan profilaksis tetanus apabila terdapat luka terbuka
g. Persiapkan intervensi pembedahan untuk hal-hal di bawah ini:
1) Elevasi segmen yang terdepresi
2) Mengangkat fragmen yang tertancap
3) Debridement jaringan otak yang mengalami nekrose
5. Tanda dan gejala
a. Sakit kepala
b. Mual dan muntah
c. Penurunan tingkat kesadaran
6. Intervensi terapeutik
a. Imobilisasikan dan evaluasi tulang servikal
b. Jangan lakukan penyumbatan cairan serebrospinal yang bocor
biarkan mengalir
c. Jangan lakukan pemasangan selang lambung atau selang
endotrakeal melalui hidung, gunakan rute oral
d. Lakukan pemeriksaan neurologi dasar dan serial
e. Secepatnya lakukan CT scan kepala untuk mengidentifikasi
cedera intrakranial
f. Sediakan protilaksi tetanus
g. Tempatkan pasien untuk diobservasi
3. Cedera otak berkepanjangan
1) Konkusio
Konkusio dihasilkan dari akselerasi, deselerasi, atau cedera pukulan yang
menyebabkan pergerakan otak serta tulang tengkotak. Interupsi singkat
pada sistem aktivasi retikuler terjadi, menyebabkan periode singkat
penurunan kesadaran. Dalam hal ini bisa terjadi hilang kesadaran juga
tidak. Konkusi bersifat sementara, proses tersebut biasanya tidak
membutuhkan intervensi terapeutik, walaupun kadang-kadang pasien
membutuhkan beberapa bulan untuk benar-benar pulih. (MN, SKP,
kurniati et al., 2018)
2) Tanda dan gejala
1) Kehilangan atau penurunan kesadaran
2) Paralicis falcid (selama tidak sadar)
3) Keterlambatan respons verbal
4) Kebingungan
5) Kata-kata tidak jelas
6) Lemas
7) Telinga berdenging
8) Pusing berputar, vertigo
9) Sakit kepala
10) Amnesia retrograde (post trauma) atau amnesia anterograde
11) Mual, muntah
12) Gangguan penglihatan
13) Gejala bisa langsung terlihat
Gejala yang mungkin terjadi meliputi:
1) Gangguan perilaku
2) Hipertensi atau hipotensi
3) Apnea
4) Kejang
3) Prosedur diagnostic
1) Riwayat kepala cedera sebelumny
2) Pemeriksaan neurologis serial
3) Hasil CT scan normal apabila konkusio hanya merupakan
cedera
4) MRI dapat memperlihatkan perubahan ringan, tetapi jarang
menunjukkan tanda klinin
4) Riwayat kepala cedera sebelumnya
1) Pemeriksaan neurologis serial
2) Hasil CT scan normal apabila konkusio hanya merupakan
cedera
3) MRI dapat memperlihatkan perubahan ringan, tetapi jarang
menunjukkan tanda klinin
5) Intervensi terapeutik
1) Imobilisasi dan evaluasi tulang servikal
2) Lakukan obsevasi serial tingkat kesadaran
3) Berikan analgesic non narkotik untuk sakit kepala
4) Rawat inapkan pasien untuk observasi jika terjadi:
a) Tingkat kesadaran tidak pulih dengan cepat
b) Muntah frekuen
c) Fraktur tulang tengkorak

5) Pulangkan pasien jika terdapat anggota keluarga atau teman


yang dapat dipercaya dan berikan intruksi setelah perawatan
secara tertulis
6) Penting untuk membuat pasien sadar akan kemungkinan gejala
post konkusio sehingga mereka dapat melakukan kontrol dan
mencari pengobatan
7) Anak dan remaja tidak boleh melakukan olahraga sampai
diperbolehkan oleh dokter
4. Cedera aksonal difus (diffuse axonal injuri/ DAI)
DAI merupakan cedera otak difus yang paling berat dan berbeda dari konkusio
dilihat dari derajatnya, lebih kepada tipe cedera otak. Ketegangan, pererangan dan
penekanan yang dihasilkan dari kekuatan rotasi akselerasi menyebabkan
gangguan kerusakan mikroskopis aksonal di dalam otak.
1) Tanda dan gejala
1) Koma seketika dan memanjang lebih dari 6 jam
2) Postur abnormal
3) Kebingungan,amnesia, dan masalah perilaku setelah koma
4) Kemungkinan terjadi kondisi vegetatif menetap
2) Prosedur diagnostik
1) Riwayat kehilangan kesadaran mendadak setelah cedera kepala
sebelumnya
2) Pemeriksaan neurologi serial
3) CT scan segera
4) MRI akan menunjukkan gambaran lesi lebih efektif dari CT
scan
3) Intevensi terapeutik
1) Lihat ‘manajemen pasien dengan cedera otak traumatic berat’
5. Cedera otak fokal (focal brain injuries)
Kontusio merupakan memar di permukaan otak, temuan dan diagnosis ditentukan
oleh ukuran, jumlah dan lokasi kontusio.
a. Tanda dan gejala
1) Penurunan tingkat kesadaran lebih dari 6 jam
2) Mual, muntah
3) Gangguan penglihatan
4) Disfungsi neurologis
5) Kelemahan
6) Ataksia
7) Himeparese
8) Kebingungan
9) Gangguan bicara
10) Kejang post trauma
b. Prosedur diagnostic
1) Imobilisasi dan evaluasi tulang servikal
2) Rawat inap pasien untuk observasi
3) Berikan antiemetic bila diperlukan
4) Lihat ‘manajemen pasien dengan cedera otak traumatic berat’.
5) Intervensi bedah mungkin diperlukan sesuai indikasi
c. Tanda dan gejala
1) Agitasi dan keluhan sakit kepala hebat
2) Kehilangan kesadaran tiba-tiba
3) Kehilangan kesadaran progressive
4) Diikuti periode singkat tidak sadar dengan interval yang jelas
5) Kelemahan atau himiperese kontralateral (sisi berlawanan)
6) Dilatasi pupil ipsilateral (sisi yang sama)
7) Bradikardi
8) Peningkatan tekanan darah
9) Pola napas abnormal
d. Intervensi terapeutik
1) Lihat ‘manajemen pasien dengan cedera otak traumatic berat’.
2) Pembedahan untuk evaluasi darurat mungkin diperlukan
3)
6. Hematom subdural
dihasilkan dari perdarahan diantara dura dan arachnoid pada ruang subdural.
Penyebab perdarahan akut pada umumnya akibat trauma tumpul parah, seperti
insiden ekselerasi deselerasi, dimana terdapat laserasi jaringan korteks,
peregangan vena antara korteks dan sinus vena, atau terjadi sobekan dural
sampai sinus vena. Hematom subdural dapat berlangsung cepat (akut) atau
setelah periode beberapa hari atau minggu (sub akut) atau (kronik).
1. Tanda dan gejala
a. Sakit kepala
b. Kehilangan kesadaran tiba-tiba atau progresif
c. Refleks babinski positif
d. Pupil tidak berespon terhadap cahaya dan dilatasi
e. Hemiparese kontralateral
f. Perubahan dari hiperfleksia menjadi fleksi abnormal menjadi
ekstensi abnormal menjadi flaccid
g. Pola napas abnormal
h. Kenaikan suhu tubuh
i. Kenaikan tekanan intracranial
j. Mual muntah
k. Sub akut (24 jam sampai 2 minggu setelah cedera) dan kronis
(2 minggu sampai bulan setelah cedera):
1) sakit kepala
2) ataksia
3) inkontenensia
4) peningkatan kebingungan atau dimensia
5) penurunan tingkat kesadaran
6) mual muntah yang memburuk
2. Prosedur diagnostic
a. Temuan klinis
b. CT scan
3. Intervensi terapeutik
a. Lihat ‘manajemen pasien dengan cedera otak trauma berat’.
b. Pembedahan untukn evakuasi bekuan atau pengaliran hematom
bertahap dapat mencegah kondisi berulang
4. Tanda dan gejala
a. Sakit kepala
b. Muntah
c. Fotofobia
d. Kaku kuduk
5. Intervensi terapeutik
a. Karena perdarahan subarachnoid traumatic jarang hanya
berkaitan dengan cedera otak, pengobatan difokuskan sesuai
kondisi yang berhubungan
b. Cairan serebrospinal yang mengandung darah, dimana dapat
memicu hidrocepalus obstruktif, kondisi ini mungkin
membutuhkan drainase melalui ventrikulostomi atau shunt
7. Perdarahan intraserebral traumatik
meliputi perdarahan jaringan otak atau ventrikel, perdarahan mungkin
dihasilkan dari luka penetrasi, cedera otak difus, atau laserasi dari jaringan otak,
khususnya di area basal dari tulang tengkorak dimana tonjolan tulang tengkorak
dapat menyebabkan sobekan halus jaringan otak selama kejadian akselerasi-
deselerasi.kondisi tambahan pada area perdarahan, edema luas di sekitar area
perdarahan dan iskemik jaringan dapat terbentuk secara keseluruhan
prognosisnya buruk. (MN, SKP, kurniati et al., 2018)
1. Tanda dan gejala
a. Tanda dan gejala yang terlihat dapat sangat bervariasi
tergantung ukuran,lokasi dan jumlah area perdarahan dan
adanya cedera lain yang menyertai
b. Hilangnya kesadaran
c. Ukuran pupil abnormal
d. Pola pernapasan abnormal
e. Fungsi motorik abnormal
2. Intervensi terapeutik
a. Lihat ‘manajemen pasien dengan cedera otak traumatic berat’.
8. Cedera penetrasi
Trauma penetrasi pada kepala meliputi luka tembak, luka bacok, luka akibat
peluru, dan cedera tusuk. Karena kecepatannya yang tinggi, peluru mempunyai
efek yang merusak pada area luas jaringan otak yang rapuh. Objek yang
menembus ruang cranial umumnya berjalan pada kecepatan yang lebih rendah.
Konsekuensinya hal ini mungkin menyebabkan cedera berat, mungkin juga
tidak. Kelanjutan dari trauma tergantung dari lokasi luka dan ukuran (kaliber)
dan kecepatan objek yang terpenetrasi.
a. Prosedur diagnostik
1) Observasi langsung
2) Radiografi tulang tengkorak
3) CT scan
b. Intervensi terapeutik
1) Lihat ‘manajemen pasien dengan cedera otak traumatic berat.’
2) Objek yang menancap/menusuk
a. Jangan lakukan pengangkatan terhadap objek yang
tertancap
b. Stabilisasi objek untuk mencegah bergerak atau tercabut.
c. Kontrol perdarahan
d. Gunakan kassa steril untuk menutup daerah di sekitar objek
yang menancap
e. Pastikan pemberian tetanus profilaksis
J. PERTIMBANGAN KHUSUS
1. Peningkatan tekanan intrakranial
Otak, dengan cairan serebrospinal dan daerah, berada di dalam tulang
tengkorak yang kaku dan menyisakan ruang kecil untuk berkembang.
Ketika salah satu komponen meningkat, bagian yang lain akan
mengimbangi dengan mengurangi volume, untuk memelihara tekanan
intracranial tetap spontan. Kompensasi tersebut hanya efektif untuk
peningkatan volume yang sedikit atau peningkatan volume yang
bertahap. Jika peningkatan volume tersebut berlangsung luas atau cepat,
tekanan intrakranial akan meningkat. Ketika tekanan intrakranial
melebihi MAP, aliran darah ke otak akan terhenti. Oleh karena itu
penanganan trauma otak pasien difokuskan pada menghindari atau
mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dan trauma otak sekunder
berikutnya seperti hipoksia, hiperkapni dan hipokapni. Hipotensi telah
diketahui meningkatkan angka kematian dua kali lipat pada pasien
dengan cedera otak traumatic berat. (MN, SKP, kurniati et al., 2018)

2. Herniasi
Herniasi terjadi ketika bagian otak meluas melebihi luas normalnya dan
mengenai jaringan jaringan otak di area luka. Herniasi dapat terjadi
karena hematom yang meluas, edema serebral, atau massa (seperti tumor
atau objek yang tertancap) yang mendorong jaringan otak menuju sorotan
kecil yang paling resisten.

3. Herniasi uncal (leteral, transtentorial)


Herniasi transtentorial uncal terjadi ketika lesi ditengah lobus temporalis
menyebabkan uncus (bagian dalam dari lobus temporal) terdorong ke
bagian midline dan kemudian berhenti pada tepi tentorium. Tekanan
tersebut menekan area tentorial, mendorong jaringan otak ke sisi
kontralateral dan berada di foramen magnum. Hal ini menekan saraf
cranial ketiga (ukolomotorius) dan arteri cerebral posterior diantara
uncus yang terherniasi dan tepi area tentorial, mengakibatkan difisit
neurologi berat.
1) Tanda awal herniasi transtentorial
a. Penurunan tingkat kesadaran
b. Dilatasi pupil ipsilateral
c. Respirasi cheyne-stokes
d. Hemiparese kontralateral
e. Reflek babinski positif
f. Peningkatan tekanan intrakranial

2) Tanda lanjut herniasi transtentorial


a. Hilangnya kesadaran
b. Pupil dilatasi dan tidak berespons bilateral
c. Pernapasan neurogenik sentral atau pola respirasi abnormal
lain
d. Postur fleksi atau ekstensi
e. Peningkatan tekanan intracranial yang tidak berespon
terhadap terapi
f. Bradikardi

4. Herniasi sentral
Ketika tekanan intracranial meningkat dan secara merata menyebar
sepanjang region supratentorial otak (misalnya edema cerebral). Jaringan
otak mulai bergeser. Hal ini akan menekan ventrikel dan mendorong
kedua hemisfer cerebrum ke bawah ke bagian notch (takik) tentorial.
a.Tanda awal herniasi sentral
1) Gelisah yang berkembang menjadi letargi
2) Pupil: konstriksi tetapi sama-sama besar dan reaktif
3) Respirasi cheyne stokes dengan menguap dan mendesau
4) Peningkatan tekanan intracranial
b. Tanda lanjut herniasi sentral
1) Kehilangan kesadaran (koma) dari kerusakan aktivasi sistem
retikuler
2) Pupil: midpoint atau dilatasi, tidak berespons
3) Penurunan atau respons motorik abnormal: posturing atau
4) Cheyne stokes, neurogenik sentral, atau respirasi ataxic
(pernapasan tidak teratur)
5) Peningkatan tekanan intrakranial yang tidak berespons
terhadap terapi
6) Bradikardi
c.Prosedur diagnostic
1) Observasi klinis
2) CT scan
3) Insersi monitor tekanan intracranial
d. Intervensi terapeutik
Lihat ‘manajemen pasien dengan cedera otak traumatic berat.’
2. KEJANG SETELAH TRAUMA KEPALA
Pasien sering kali mengalami kejang setelah insiden trauma kepala.
Kejang tersebut dapat berlangsung dalam menit, jam, hari, atau bulan
setelah insiden. Kejang post-traumatik awal dihasilkan dari injuri
langsung pada otak atau akibat kenaikan tekanan intracranial. Kejang
post-traumatik lanjut terjadi dengan kerusakan area jaringan otak.
Aktivitas kejang secara nyata dapat meningkatkan metabolism. Hal ini
memperburuk hipoksia cerebral yang sudah terjadi dan edema pasien
yang masih dalam injuri fase akut secara signifikan.
a.Prosedur diagnostic
1) Observasi klinis
2) Riwatat cedera otak traumatic
3) Elektroensefalografi (intermiten atau continous) diperlukan
untuk mendiagnosis kejang pada pasien dengan sedadi berat
atau paralisis kimiawi
b. Intervensi terapeutik
1) Manajemen jalan napas dengan imobilisasi spinal (jika
terdapat riwayat jatuh)
2) Berikan oksigenasi
3) Berikan benzodiazepine untuk mengontrol kejang, titrasi
untuk memperoleh efeknya
4) Untuk kejang yang masih berlangsung, berikan phenytoin
atau foshenitoin secara intravena
5) Pertimbangkan henobarbital atau sedasi dalam (seperti
propofol) jika kejang tidak terkontrol (MN, SKP, kurniati et
al., 2018)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atauotak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung padakepala.Cedera kepala merupakan penyakit neurologik yang serius di
antara penyakitneurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecela
kaan lalu lintas. Resikoutama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusaka
n otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera
yang menyebabkan peningkatan tekananintrakranial.
Pasien sering kali mengalami kejang setelah insiden trauma kepala. Kejang
tersebut dapat berlangsung dalam menit, jam, hari, atau bulan setelah insiden.
Kejang post-traumatik awal dihasilkan dari injuri langsung pada otak atau akibat
kenaikan tekanan intracranial. Kejang post-traumatik lanjut terjadi dengan
kerusakan area jaringan otak. Aktivitas kejang secara nyata dapat meningkatkan
metabolism. Hal ini memperburuk hipoksia cerebral yang sudah terjadi dan edema
pasien yang masih dalam injuri fase akut secara signifikan.
DAFTAR PUSTKA

Al-fajri, M. J. (2021). Hiperglikemia Reaktif pada Kasus Traumatic Brain Injury


( TBI ). 48(7), 435–439.
Banjarmasin, R. U. (2019). asil uji analisis Chi-Square didapatkan nilai p = 0.000 < 
yang secara statistik ada pengruh perdarahan intraserebral dengan penurunan
nilai RTS pada pasien trauma kepala di RSUD Ulin Banjarmasin. S. 10(2), 519–
525.
Dharmajaya, R. (n.d.). No Title.
Kedokteran, J., Kuala, S., Hidayaturrahmi, H., Yuniza, N. W., Maulina, M., & Selatan,
S. (2022). Leukositosis pada trauma kepala. 22(3), 198–201.
https://doi.org/10.24815/jks.v22i3.26604
MN, SKP, kurniati, A., trisyaniSKp, MN, PhD, Y., & Siwi, theresia maria ikaristi
(Eds.). (2018). keperawatan gawat darurat dan bencana sheehy.
Mulyono, D. (2020). Perbedaan Glasgow Coma Scale dan Rapid Emergency Medicine
Score dalam Memprediksi Outcome Pasien Trauma Kepala di Instalasi Gawat
Darurat Difference between Glasgow Coma Scale and Rapid Emergency Medicine
Score in Predicting Outcome of Head Trauma Patients in the Emergency
Departement. 11, 215–222.
Nakmofa, A. L., & Ambarika, R. (2023). Kajian Literature Faktor Yang Mempengaruhi
Kemampuan Perawat IGD Dalam Penanganan Pasien Cedera Kepala. 3(3), 118–
125.

Anda mungkin juga menyukai