Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum merupakan peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis,


yang pada dasarnya peraturan tersebut berlaku dan diakui orang sebagai
peraturan yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Pada saat sekarang
ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok
masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan
penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang
tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber
hukum.

Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di
dunia bisnis, perdagangan, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya,
namun dalam penyelesaiannya melalui proses pengadilan sering sekali
dihindari, baik bagi pihak yang dirugikan ataupun pihak yang digugat.
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan sering dianggap hanya memakan
waktu, dengan biaya yang mahal, tidak efisien serta banyak oknum-oknum
yang cenderung mempersulit pencarian keadilan. Karena hal-hal tersebut yang
merupakan kelemahan dari badan Pengadilan dalam penyelesaian sengketa,
oleh sebab itu banyak kalangan pengusaha lebih memilih cara yang lain dalam
penyelesaiaan sengketa perdata.

Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan


sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat
mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akanmenjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang
dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat
yang berlawananterhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti
pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh
karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum
apapun. Putusan Arbitrase bersifat mandiri,final dan mengikat (seperti putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap)sehingga ketua pengadilan tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
nasional tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Arbitrase ?

2. Apa saja objek arbitrase?

3. Apa saja jenis-jenis arbitrase?

4. Apa saja lembaga arbitrase Internasional?

5. Apa saja syarat arbitrase dan pengangkatan arbiter?

6. Bagaimana pendapat dan putusan arbitrase?

7. Bagaimana pelaksanaan arbitrase?

8. Apa penyebab hapusnya putusan arbiter?

9. Apa penyebab dari berakhirnya tugas arbiter?

10. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari proses arbitrase?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Memenuhi tugas dari Mata Kuliah Aspek Hukum Ekonomi dan Bisnis.
2. Mengetahui pengertian dan cara penyelesaian arbitrase
3. Mengetahui kelebihan dan kelemahan arbitrase
4. Mengetahui masalah yang berkaitan dengan hukum arbitrase
BAB II
PEMBAHASAN

ARBITRASE

I. Pengertian Arbitrase

Arbitrase berasal dari kata arbiter yang berarti wasit. Menurut UU No.30
tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase
yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak
sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
oleh para pihak setelah timbul sengketa.
Karena perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum atau sesudah timbul
sengketa oleh para pihak berdasarkan isi pasal tersebut maka bentuk klausula
arbitrase tersebut dapat dibedakan atas dua bentuk yaitu :
a. Pactum de compromittendo
Adanya kesepakatan bagi para pihak yang membuat perjanjian agar
pada kemudian hari apabila terjadi sengketa dapat diselesaikan
melalui arbitrase. Pactum de compromittendo merupakan klausula
yang dicantumkan dalam perjanjian sehingga klausula tersebut
menjadi bagian dari perjanjian tersebut atau dengan kata lain bahwa
klausula tersebut dimaksudkan untuk menjadi bagian dari kontrak
yang dibuat.
b. Acta compromise
Adanya kesepakatan yang dituangkan bagi pihak yang berselisih,
yaitu untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase, namun
kesepakatan tersebut muncul setelah terjadinya sengketa.
II. Objek Arbitrase

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa


dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sengketa
yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 pasal 4 tentang arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa“Pengadilan Negeri tidak
berwenang menyelesaikan sengketa para pihak yang telah terikat di dalam
perjanjian arbitrase, dan putusan arbitrase adalah final, artinya tidak dapat
dilakukan banding, peninjauan kembali atau kasasi, serta putusannya berkekuatan
hukum tetap bagi para pihak.”
Pembatasan Pengadilan Negeri untuk sengketa yang terikat dalam
perjanjian arbitrase dapat mencegah upaya intervensi Pengadilan Negeri dalam
perjanjia ini. Hal ini juga berarti bahwa sejak awal perjanjian dibuat, para pihak
telah mengesampingkan kemungkinan penyelesaian secara ligitasi di Pengadilan
Negeri.

III. Jenis-Jenis Arbitrase

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase


melalui badan permanen (institusional).
1. Arbitrase ad hoc
Arbitrase ad hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk
khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.
Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai
sengketa itu diputuskan.
2. Arbitrase institusional
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang
sifatnya permanen. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul bagi mereka yang menghendaki
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Lembaga arbitrase
institusional yang ada di Indonesia antara lain Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas)

IV. Lembaga Arbitrase Internasional

1. Court of Arbitration of The International Chamber of


Commerce (ICC)

2. The International Center for Settlement of Investment Disputes


(ISCID)

3. The United Nations Commission of Internatinal Trade Law


(UNCITRAL)

V. Syarat Arbitrase dan Pengangkatan Arbiter

a. Syarat Arbitrase
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan
terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Dalam hal timbul
sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram,
teleks, faksimile, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa
syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas :
a. Nama dan alamat para pihak;
b. Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang
berlaku;
c. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
e. Cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah
arbitrase atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian
semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah
arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase


setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam
suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Dalam hal para
pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :
a. Masalah yang dipesengketakan
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. Nama lengkap dan tempat arbiter atau majelis arbitrase
d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil
keputusan
e. Nama lengkap sekretaris
f. Jangka waktu penyelesaian sengketa
g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian
sengketa melalui arbitrase.

Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak


untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak
akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah di tetapkan.

b. Syarat Pengangkatan Arbiter


Yang dapat ditumuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat:
a. Cakap melakukan tindakan hukum;
b. Berumur paling rendah 35 tahun;
c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak
bersengketa.
d. Tidak memppunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain
atasan putusan arbitrase; dan
e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya
paling sedikit 15 tahun.

Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk
atau diangkat sebagai arbiter.Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam
ayat ini menjadi arbiter, dimaksudkan agar terjamin adanya objektivitas dalam
pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Penunjukkan dua orang arbiter oleh para pihak pemberi wewenang kepada
dua arbiter tersebut memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga. Arbiter yang
ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat sebagai ketua majelis
arbitrase. Apabila dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
pemberitahuan diterima oleh termohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 18
ayat (1), dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan
menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan
bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak.

VI. Pendapat dan Putusan Arbitrase

Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang
mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu
perjanjian.Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun.

Putusan arbitrase harus memuat :

a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN


BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat para pihak
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. nama lengkap dan alamat arbiter;
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase
mengenai keseluruhansengketa;
g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan
pendapat dalam majelis arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase

Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan


hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan
permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi
terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi suatu
tuntutan putusan.

VII. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu putusan


arbitrase nasional dan putusan arbitrase asing (internasional). Putusan arbitrase
nasional adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional, yang
diputuskan di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase asing
adalah putusan arbitrase yang diputuskan di luar negeri.

1. Putusan Arbitrase Nasional


Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30
Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara
sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan
tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan
negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan
autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera
pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase
diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti


putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan
Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki
Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap
putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah
pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila
tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan
arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

2. Putusan Arbitrase Asing (Internasional)

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia


didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah
Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan
bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni
1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi
Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7
Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan
Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya
Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi.
Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi
putusan arbitrase asing.

VIII. Hapusnya Putusan Arbitrase

Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian


sengketa terjadi peristiwa-peristiwa:

1. Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.


2. Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, novasi
(pembaharuan utang), dan insolvensi.

3. Pewarisan.

4. Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok.

5. Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan


persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut.

6. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

IX. Berakhirnya Tugas Arbiter

Tugas abiter berakhir karena :

a. Putusan mnegenai sengketa telah dimbil;


b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian
arbitrase atau sesudah diperpajang oleh para pihak telah
lampau atau;
c. Para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan
arbiter.
X. Kelebihan Arbitrase

Di bawah ini keutungan menggunakan Arbitrase yang dikemukakan oleh


para ahli sekaligus dari tinjauan undang-undang :

a. Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, dalam


“Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan
Arbitrase Dagang di Indonesia” dalam buku Arbitrase di
Indonesia” , menyebutkan ada beberapa alasan memilih arbitrase,
yaitu:
 Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan;
 Keahlian (Expertise);
 Cepat dan hemat biaya;
 Bersifat rahasia;
 Bersifat non-preseden;
 Kepekaan arbiter;
 Pelaksanaan keputusan;
 Kecenderungan yang Moden.
b. Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam bukunya Arbitrase Dagang
Internasional juga menyebutkan beberapa alasan yang
menyebutkan beberapa alasan yang menjadin arbitrase demikian
populer dalam transaksi dagang internasional, antara lain :
 Dihindarkannya publisitas;
 Tidak banyak formalitas;
 Bantuan pengadilan hanya taraf eksekusi;
 Baik untuk pedagang-pedagang bonafide;
 Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha;
 Lebih murah dan lebih cepat.
c. Mengutip penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, pada umumnya dikatakan bahwa pranata Arbitrase
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan,
yaitu antara lain :
 Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
 Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
prosedural dan administratif;
 Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta
latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur dan adil;
 Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
 Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para
pihak dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja
ataupun langsung dapat dilaksanakan.

XI. Kelemahan Arbitrase

Meskipun arbitrase memiliki beberapa keunggulan, tetapi arbitrase


sebenarnya merupakan mekanisme yang rentan terutama untuk untuk kondisi
Indonesia, karena arbitrase juga mempunyai kelemahan-kelemahan, di antaranya :
 Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam,
maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis
sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti
BANI, BAMUI dan P3BI.
 Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai,
masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga
enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga
arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang
diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga arbitrase yang
ada.
 Lembaga arbitrase tidak mempunyai kewenangan melakukan
eksekusi putusannya. Meskipun keputusannya bersifat mengikat,
tetapi untuk melaksanakannya harus melalui “fiat eksekusi”
pengadilan. Jadi wibawa lembaga pengadilan kalah dengan wibawa
pengadilan.
 Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian
yang dicapai dalam arbitrase, sehingga mereka seringkali
mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan cara mengulur
waktu, perlawanan, gugatan pembatalan, dan sebagainya.
 Kurangnya kesediaan para pihak yang bersengketa untuk
melepaskan sebagian hak-haknya. Budaya litigasi yang sudah
tertanam, membuat para pihak berpikir win-lose solution, dan
bukan win-win solution sebagaimana yang dikehendaki oleh
arbitrase.
 Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu
mekanisme extra judicial, arbitrase hanya dapat bertumpu di atas
etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran

Kasus Hukum Arbitrase

Indosat Tempuh Kasasi dan Bawa Kasus IM2 ke Arbitrase Internasional

JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan pengadilan tinggi Jakarta yang


memberatkan hukuman mantan Direktur Utama IM2, Indar Atmanto dinilai
janggal. Jika benar, PT Indosat Tbk akan menempuh upaya arbitrase internasional
maupun kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

"Kami akan menempuh jalur hukum yang tersedia termasuk dengan kasasi dan
kemungkinan induk perusahaan kami untuk melakukan upaya arbitrase," ujar
Alexander Rusli, Presdir & CEO Indosat, dalam keterangan tertulisnya, Minggu
(5/1/2013).

Sikap ini diambil setelah muncul informasi bahwa Pengadilan Tinggi Tipikor
telah menolak permohonan banding Indar Atmanto atas kasus kerja sama
frekuensi 3G Indosat-IM2. Hakim justru menambah bobot hukuman dari 4 tahun
menjadi 8 tahun penjara.

Dari sisi putusan, Alex menganggap bahwa pemberatan hukuman ini justru
menambah kejanggalan proses penegakan hukum kasus ini. Pengadilan seperti
mengabaikan prinsip keadilan (Fair Trial) karena meniadakan fakta dari saksi
hingga bukti-bukti.

Kesaksian dan pernyataan para pelaku industri seperti dari Masyarakat Telematika
Indonesia (Mastel) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),
maupun dari pemerintah yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI),

"Pihak Kemenkominfo telah menyampaikan surat sejak awal kepada Kejaksaan


Agung bahwa model kerjasama bisnis ini sesuai dg amanah UU 36 tahun 99
tentang telekomunikasi, " ujarnya.

Kasus ini telah menyulut perhatian organisasi telekomunikasi internasional Global


System for Mobile Communications Association (GSMA), dan International
Telecommunication Union (ITU). Keduanya telah menyatakan bahwa model
bisnis kerjasama Indosat dan IM2 adalah sah dan sesuai dengan peraturan yg ada.

Denny AK, selaku pelapor perkara ini justru divonis bersalah dengan hukuman 18
bulan penjara karena terbukti memeras Indosat. "Pada proses peradilan yg terjadi
di Pengadilan Negeri Tipikor terlihat begitu gamblang bahwa pihak hakim tidak
mengerti perkara," ungkapnya.

Selain materi putusan, Alex menyayangkan sikap Humas Pengadilan Tinggi


Jakarta, Achmad Sobari, yang belum memberikan salinan putusan resmi kepada
pemohon. Pihaknya justru tahu setelah membaca pernyataan Achmad di salah satu
media massa.

"Bahwa pihak Indosat belum menerima pemberitahuan resmi mengenai hal


tersebut," ujarnya.

Dalam kasus ini, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta
menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan hukuman denda Rp 200 juta subsider
penjara 3 bulan. Indar dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
perbuatan melawan hukum dengan menyalahgunakan jaringan 3G/HSDPA milik
PT Indosat Tbk.

Atas perbuatan tersebut Indar disangkakan melanggar pasal 2 ayat 1 UU


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Namun, Indar dinilai majelis tidak terbukti memperkaya diri sendiri yang
merugikan keuangan negara. Oleh karena itu, Indar dibebaskan dari pidana
tambahan uang pengganti.

Sementara itu, PT IM2 dibebani membayar uang pengganti Rp 1,358 triliun atas
perkara tersebut. Pasalnya dianggap merugikan negara.

Vonis itu sendiri lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan
Negeri Jakarta. Dimana sebelumnya, Indar dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan
denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Perkara tersebut bermula setelah Indar melakukan perjanjian kerja sama dengan
PT Indosat untuk penggunaan bersama frekuensi 2,1 GHz. Kerja sama itu
dinyatakan melanggar peraturan-perundangan yang melarang penggunaan
bersama frekuensi jaringan.

Penggunaan bersama frekuensi tersebut menyebabkan PT IM2 tak membayar


biaya pemakaian frekuensi. Kerja sama selama periode 2006 sampai 2012 tersebut
menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merugikan
keuangan negara Rp 1,358 triliun.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan mengenai pokok bahasan sebagaimana


tercantum dalam bab – bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis mencoba
untuk menarik kesimpulan yang sekiranya dapat bermanfaat bagi penulis
khusunya dan pembaca makalah ini.

Undang-undang arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 merumuskan suatu


perjanjian arbitrase sebagai perjanjian tertulis untuk menyerahkan sengketa atau
perbedaan yang timbul sekarang maupun yang akan datang kepada arbitrase
.Sehingga dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya alternatif penyelesaian
sengketa selain melalui sistem peradilan juga telah dikenal dan diakui, yaitu
arbitrase. Arbitrase adalah suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang
dilakukan, diselenggarakan dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase,
yang merupakan “hakim swasta

Selain itu, dengan menggunakan alternatif penyelesaian sengketa


(arbitrase) tidak terlalu formal dan jangka waktu penanganan perkara atau
sengketa hingga penyelesaiannya, yang relatif lebih cepat jika dibanding dengan
penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan.
DAFTAR PUSTAKA

• M Toar Agnes dkk.1995.Arbitrase di Indonesia.Jakarta:Ghalia Indonesia

• Silondae,Arus Akbar dan Wirawan B Ilyas.2011.Pokok-Pokok Hukum


Bisnis.Jakarta:Salemba empat

• Kansil, C.S.T dkk.2001.Hukum Perusahaan Indonesia (aspek hukum dan


ekonomi).Jakarta:PT anem kosong anem

Anda mungkin juga menyukai