Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HADITS EKONOMI
“ Keuntungan (Profit) : Keuntungan Modal, Resiko Penanaman Modal ”

Dosen Pengampu : M. Wahyu Ilhamy, M.HI


Disusun Oleh Kelompok 4 :
1. Dhea Silvia Nandita (0502212129)
2. Isma Yulinda (0502211006)
3. Riziq Agsyah (0502211026)

KELAS AKS 2 D
PRODI AKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena rahmad dan berkahnya penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah tentang “Keuntungan (Profit) : Keuntungan Modal,
Resiko Penanaman Modal“. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
persyaratan guna memenuhi nilai, mengerti dan memahami materi mata kuliah Hadits
Ekonomi.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, segala masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini,
sangat penulis harapkan.
Kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak M. Wahyu Ilhamy, M.HI
selaku dosen pengampu mata kuliah Hadits Ekonomi dan rekan – rekan yang telah membaca
makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan juga
bermanfaat bagi kami khususnya.

Medan, 10 April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan......................................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Defenisi Keuntungan (Profit)......................................................................2
B. Keuntungan Modal.....................................................................................3
C. Resiko Penanaman Modal..........................................................................13
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................................19
B. Saran ............................................................................................................19

Daftar Pustaka ........................................................................................................... 20

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kaedah fikih disebutkan, keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung
kerugian. Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang
yang punya kewajiban menanggung kerugian jika hal itu terjadi. Keuntungan ini menjadi
milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak,
maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani ditanggung, maka keuntungan menjadi
miliknya.
Keuntungan adalah bagian dari rizki Allah karena itu Islam tidak membatasi keuntungan
perdagangan, boleh sajamengambilkeuntungan dua kali lipat sebagaimana disebutkan dalam
hadis Urwah selama memenuhi syarat. Barang itu bukan kebutuhan pokok masyarakat,
untungnya tidak berlebihan hingga termasuk penipuan dan keuntungan tersebut tidak
disebabkan karena usaha penimbunan (ihtikar), sehingga menyebabkan barang itu langka dan
harganya menjadi mahal. Konsumen yang membeli barang terlalu mahal, hingga terhitung
penipuan, maka konsumen punya hak „khiyar ghabn‟ (khiyar karena harga yang sangat tidak
layak).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat disimpulkan beberapa masalah penting sebagai
berikut :
1. Apa defenisi dari keuntungan ?
2. Apa pengertian dari keuntungan modal ?
3. Apa saja resiko dalam penanaman modal ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui defenisi dari keuntungan
2. Mengetahui pengertian dari keuntungan modal
3. Mengetahui resiko dalam penenaman modal

1
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Defenisi Keuntungan
Dalam bahasa Indonesia disebut dengan keuntungan atau laba, yang dimana
merupakan salah satu unsur penting dalam perdagangan, melalui proses pemutaran modal
dalam kegiatan ekonomi. Atau disebut juga dengan suatu keuntungan atau yang merupakan
pendapatan seseorang yang melakukan jual beli atau berbisnis dalam berdagang. Islam
mendorong pendayagunaan harta melalui berbagai kegiatan ekonomi dan melarang untuk
menganggurkan (idle) supaya tidak habis dimakan zakat. Bahkan dorongan ini secara
khususnya sangat dianjurkan atau diperintahkan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang
mendapatkan amanah untuk memelihara harta milik orang-orang yang belum mampu atau
melakukan bisnis dengan baik, misalnya anak yatim.
Dalam perdagangan terdapat manfaat yang besar terhadap produsen yang menjualnya
dan bagi konsumen yang membelinya, atau bagi semua orang yang terlibat dalam aktifitas
jual beli tersebut. Jual beli yang baik adalah yang di dalamnya terdapat kejujuran, benar, dan
tidak mendurhakai Allah. Untuk mencapai jual beli yang seperti itu, terdapat unsur-unsur
dan yang harus dipenuhi yaitu berupa syarat-syarat dan rukun jual beli itu sendiri. Dalam
hukum muamalat, Islam mempunyai prinsip-prinsip yang dirumuskan bahwa pada dasarnya
segala bentuk muamalah adalah mubah kecuali sudah ditentukan lain oleh al-Qur‟an dan
Sunnah, dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur paksaan. Muamalat juga
dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan madlarat
dalam hidup bermasyarakat serta dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,
menghindari unsur penganiayaan, unsur pengambilan kesempatan.
Islam dalam praktek jual beli menganut mekanisme kebebasan pasar yang diatur
bahwa harga itu berdasarkan permintaan dan penawaran. Hal itu untuk melindungi pihak-
pihak yang terkait dalam jual beli agar tidak ada yang dizalimi, seperti adanya pemaksaan
untuk menjual dengan harga yang tidak diinginkan. Keuntungan seringkali dianggap sama
dengan laba. Di mata masyarakat, laba yang dimaksud oleh keuntungan sesungguhnya atas
barang dan jasa yang menghasilkan kesenangan batin dan kepuasan atas keinginan dimana
laba ini tidak diukur secara langsung, tetapi dapat diproyeksikan oleh laba sesungguhnya.
Laba sesungguhnya adalah pernyataan atas kejadian yang meningkatkan kesenangan batin,
dimana ukuran laba ini adalah biaya hidup. Untuk laba uang, diartikan bahwa laba ini
menunjukkan semua uang yang diterima yang digunakan untuk konsumsi guna membiayai
2
hidup. “Laba” seringkali pula disebut dalam banyak bahasa. Hal ini terjadi karena terdapat
banyak istilah dalam bahasa asing yang kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.
Namun, dalam penerjemahannya, biasanya banyak kata yang memiliki arti yang sama
sehingga pengertian terhadap kata tersebut menjadi ambigu. Sedangkan revenue merupakan
pendapatan yang diperoleh suatu organisasi baik dari kegiatan operasionalnya maupun dari
kegiatan diluar operasional perusahaan. Agar tidak membingungkan, kita juga sering
mendengar istilah profit dan earnings yang sering kita artikan sebagai laba juga. Earnings
menurut Suwardjono (2005), lebih bermakna sebagai laba yang diakumulasi selama
beberapa periode sehingga earnings digunakan untuk menunjuk laba periode. Profit lebih
mengarah pada pengertian awal laba, yaitu keuntungan. Melihat perbedaan biasanya dilihat
kemakmuran.
Kepemilikan dan kemewahan dianggap sebagai sebuah keuntungan. Konsep laba
akuntansi sebenarnya berasal dari konsep laba ekonomi yang dikembangkan oleh ahli
ekonomi klasik, menurut Safitri sebagaimana dikutip dalam (Sari, 2010). Fisher,
sebagaimana dikutip oleh Belkaoui (2000) mendefinisikan laba ekonomi sebagai rangkaian
kejadian yang berhubungan dengan kondisi yang berbeda, yaitu laba kepuasan batin, laba
sesungguhnya dan laba uang. Laba kepuasan batin adalah laba yang muncul dari konsumsi.

B. Keuntungan Modal
1. Defenisi Keuntungan Modal
Keuntungan Modal (dalam bahasa Inggris Capital gain) adalah suatu keuntungan atau
laba yang diperoleh dari investasi dalam surat berharga atau efek, seperti saham, obligasi atau
dalam bidang properti, dimana nilainya melebihi harga pembelian. Selisih antara harga jual
yang lebih tinggi dan harga pembelian yang lebih rendah, menghasilkan keuntungan finansial
bagi investor tersebut. Kebalikannya, kerugian modal terjadi jika surat berharga atau properti
tersebut dijual dengan harga lebih rendah dari harga pembelianya. Keuntungan modal dapat
mangacu pada "pendapatan investasi" yang timbul dalam kaitannya dengan investasi yang
dilakukan dalam bidang properti, aset keuangan (surat berharga) seperti saham atau obligasi
dan produk turunannya serta aset tidak berwujud seperti “goodwill”. Banyak negara yang
mengenakan pajak bagi keuntungan modal yang dihasilkan oleh perorangan (individu) atau
badan, meskipun keringanan (insentif pajak) mungkin dapat dilakukan untuk pengecualian
pajak bagi keuntungan modal; dalam kaitannya untuk memberikan insentif bagi para
pengusaha atau sebagai kompensasi terhadap inflasi.

3
Di Indonesia, Bursa Efek Indonesia langsung mengenakan PPH Final atas penjualan
saham dan atau obligasi pada setiap transaksi penjualan, yang dipotong secara langsung oleh
perusahaan perantara pedagang efek. Penyelenggara Bursa Efek. Besarnya pajak penjualan
saham dan atau obligasi tersebut adalah 0.01% dari nilai transaksi.
Dalam kaedah fikih disebutkan, “Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung
kerugian”. Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang
yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Keuntungan ini menjadi
milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak,
maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani ditanggung, maka keuntungan menjadi
miliknya.
Asal kaedah di atas berasal dari hadits berikut,

‫ ُثَّم َو َج َد ِب ِه‬، ‫ َفَأَقاَم ِع ْنَد ُه َم ا َش اَء ُهَّللا َأْن ُيِقيَم‬،‫َع ْن َعاِئَش َة َرِض َي ُهَّللا َع ْنَها َأَّن َر ُج اًل اْبَتاَع ُغ اَل ًم ا‬
‫ َي ا َر ُس وَل ِهَّللا َق ْد‬:‫ َفَق اَل الَّرُج ُل‬،‫ َف َر َّد ُه َع َلْي ِه‬،‫ َفَخاَص َم ُه ِإَلى الَّنِبِّي صّلى هللا عليه وسّلم‬،‫َعْيًبا‬
‫ اْلَخ َر اُج ِبالَّض َم اِن‬:‫اْسَتَغَّل ُغ اَل ِم ي؟ َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا صّلى هللا عليه وسّلم‬

“Dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang
budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu
hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli
mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun
memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah!
Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.'” (HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai
no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Keuntungan adalah bagian dari rizki Allah karena itu Islam tidak membatasi keuntungan
perdagangan, boleh sajamengambil keuntungan dua kali lipat sebagaimana disebutkan dalam
hadis Urwah selama memenuhi syarat. Barang itu bukan kebutuhan pokok masyarakat,
untungnya tidak berlebihan hingga termasuk penipuan dan keuntungan tersebut tidak
disebabkan karena usaha penimbunan (ihtikar), sehingga menyebabkan barang itu langka dan
harganya menjadi mahal. Konsumen yang membeli barang terlalu mahal, hingga terhitung

4
penipuan, maka konsumen punya hak, khiyar ghabn‟ (khiyar karena harga yang sangat
tidak layak).1
Setiap pelaku usaha memang memerlukan suatu hasil dari usahanya yaitu keuntungan
usaha. Keuntungan usaha tersebut diterima berdasarkan selisih dari modal yang dikeluarkan
dengan harga jual yang ditawarkan kepada masyarakat. Selisih yang diterapkan tersebut
seharusnya tidak semata-mata untuk memperoleh keuntungan saja akan tetapi dengan maksud
untuk membantu masyarakat yang membutuhkan serta untuk memperoleh kebahagian hidup
di akhirat.2
Hadits tentang keuntungan
1. Hadits ibnu majah
1.

Artinya : "Dari Amr bin Syu'aib dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata, "Rasulullah SAW
bersabda: "Tidak halal menjual sesuatu yang tidak engkau miliki, dan tidak boleh ambil
keuntungan pada sesuatu yang belum ada jaminan (kejelasan hukumnya)" (HR. Ibnu Majah).

2. Hadis riwayat abu daud

Artinya : "Dari Abu Hurairah secara marfu'. la berkata; sesungguhnya Allah berfirman: "Aku
adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama salah satu dari keduanya tidak
berkhianat kepada mitranya. Apabila ia telah berkhianat, maka Aku (Allah) keluar dari
keduanya" (HR. Abu Daud).

1
Adanan Murroh Nasution, Batasan Mengambil Keuntungan Menurut Hukum Islam, Fakultas Syariah dan Ilmu
Hukum IAIN Padang Sidempuan , Jurnal El Qanuny, Vol 4, No 1 Edisi Januari – Juni 2018
2
Desy Astrid Anindya, Pengaruh Etika Bisnis Islam Terhadap Keuntungan Usaha, UMSU, At Tawassuth,
Vol II, No.2, 2017 : 389 - 412

5
3. Hadis riwayat bukhari

Artinya: "Telah bercerita kepada kami 'Ali bin Abdullah telah mengabarkan kepada kami
Sufyan telah bercerita kepada kami Syabib bin Gharqadah berkata, aku mendengar orang-
orang dari qabilahku yang bercerita dari Urwah bahwa Nabi SAW memberinya satu dinar
untuk dibelikan seekor kambing, dengan uang itu ia beli dua ekor kambing, kemudian salah
satunya dijual seharga satu dinar, lalu dia menemui belian dengan membawa seekor kambing
dan uang satu dinar. Maka beliau mendoa'akan dia keberkahan dalam jual belinya itu".
Sungguh dia apabila berdagang debu sekalipun, pasti mendapatkan untung" (HR. Bukhari).

4. Hadis riwayat abu daud

Artinya: "Dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW telah mengutus dengan membawa
uang satu dinar agar ia belikan satu ekor hewan kurban. Kemudian in membelinya dengan
harga satu dinar, dan ia menjualnya seharga dua dinar, lalu ia kembali dan membeli seekor
hewan kurban dengan harga satu dinar. Dan ia datang dengan membawa satu uang dinar
kepada Nabi SAW kemudian Nabi SAW mensedekahkan uang tersebut dan mendoakannya
agar diberi berkah dalam perdagangannya" (HR. Abu Daud).

2. Keutuhan Modal Pokok


Laba tidak akan tercapai kecuali setelah utuhnya modal pokok dari segi kemampuan
secara ekonomi sebagai alat penukar barang yang dimiliki sejak awal aktivitas ekonomi.
Menurut Imam Qurtubi, ”Seseorang pedagang yang berhasil ialah orang yang dapat
menukarkan barang yang ia miliki dengan suatu pengganti (barang lain) yang lebih bernilai
atau lebih tinggi harganya dari barang yang pertama”. Imam al-Nasafi berkata, ”Tuntunan
6
dagang ialah keselamatan dan keutuhan modal pokok serta mendapat laba. Orang yang tidak
mendapatkan modalnya kembali maka ia tidak dapat dikatakan beruntung”. Laba dari
Produksi Pertambahan yang terjadi pada harta selama setahun dari semua aktivitas penjualan
dan pembelian, atau memproduksi dan menjual, yaitu dengan pergantian barang menjadi
uang dan pergantian uang dengan barang, maka barang yang belum terjual pada akhir tahun
juga mencakup pertambahan yang menunjukkan perbedaan antara harga yang pertama dan
nilai atau harga yang sedang terjadi. Berdasarkan nilai ini, ada dua macam laba yang terdapat
pada akhir tahun, yaitu laba yang berasal dari proses jual beli dalam setahun dan laba
tambahan, baik yang taqdiri (nyata) maupun yang hukmi (abstrak) karena barang-barangnya
belum terjual. Shauqi Shayatah menyatakan bahwa, “Pandangan fikih akuntansi Islam dalam
sistem pengukuran laba adalah sama, yaitu nama’ (pertambahan, pertumbuhan, makin
tumbuh, makin besar) dan laba berasal dari kekuatan atau usaha. Jadi pengukuran laba
menurut fikih adalah bertambahnya harta pokok atau modal awal yang berasal dari kenaikan
harga atau proses perputaran modal.3

3. Teknik Mengambil Keuntungan


Batasan mengambil keuntungan dalam berdagang, Syaikh Muhammad bin Sholeh al-
Utsaimin ketika ditanya tentang apakah dalam berdagang ada batasan keuntungan? dan
bagaimana hukumnya pemerintah menetapkan harga? Jawaban beliau, “Keutungan, tidak ada
batasan tertentu. Karena itu termasuk rizki Allah. Terkadang Allah menggelontorkan banyak
rizki kepada manusia. Sehinga kadang ada orang yang mendapatkan untung 100 atau lebih,
hanya dengan modal. Dia membeli barang ketika harganya sangat murah, kemudian harga
naik, sehingga dia bisa mendapat untung besar. Dan kadang terjadi sebaliknya, dia membeli
barang ketika harga mahal, kemudian tiba-tiba harganya turun drastis. Karena itu, tidak ada
batasan keuntungan yang boleh diambil seseorang.
Setiap orang yang menjalankan usahanya tentu mengharapkan keuntungan atau laba
dari penjualan tersebut. Salah satu tujuan usaha (dagang) adalah meraih laba yang merupakan
cerminan pertumbuhan harta. Laba ini muncul dari proses pemutaran modal dan
pengoperasiannya dalam kegiatan dagang dan moneter. Islam sangat mendorong
pendayagunaan harta/modal dan melarang penyimpanannya sehingga tidak habis dimakan
zakat sehingga harta itu dapat merealisasikan perannya dalam aktivitas ekonomi. Oleh

3
Eka Nuraini Rachmawati1 & Ab Mumin bn Ab Ghani, Hubungan Keuntungan Dengan Resiko Dalam
Perspektif Fiqih Aplikasinya Pada Institusi Keuangan Islam, Jurnal Tabarru’ : Islamic Banking and Finance
Volume 3 Nomor 2, November 2020

7
Harnanto dikemukakan bahwa secara umum laba diartikan sebagai selisih dari
pendapatan di atas biayabiayanya dalam jangka waktu (periode) tertentu. Di dalam Islam,
laba mempunyai pengertian khusus sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama salaf
dan khalaf. Mereka telah menetapkan dasardasar penghitungan laba serta pembagiannya
dikalangan mitra usaha. Mereka juga menjelaskan kapan laba itu digabungkan kepada modal
pokok untuk tujuan penghitungan zakat, bahkan mereka juga menetapkan kriteria -kriteria
yang jelas untuk menentukan kadar dan nisbah zakat yaitu tentang metode-metode akuntansi
penghitungan zakat.
Keuntungan (laba) adalah perbedaan antara penghasilan dan biaya yang dikeluarkan.
Laba adalah kelebihan penghasilan di atas biaya selama satu periode akuntansi. Di dalam
Islam, laba mempunyai pengertiankhusus sebagaimana yang telah di jelaskan oleh paraulama
salaf dan khalaf. Mereka telah menetapkandasardasar penghitungan laba serta
pembagiannyadikalangan mitra usaha. Mereka juga menjelaskankapan laba itu digabungkan
kepada modal pokokuntuk tujuan penghitungan zakat, bahkan merekajuga menetapkan
kriteria -kriteria yang jelas untuk menentukan kadar dan nisbah zakat yaitu tentangmetode-
metode akuntansi penghitungan zakat.
Kriteria–kriteria Islam secara umumyang dapat memberi pengaruh dalam
penentuanbatas laba adalah sebagai berikut:
1. Kelayakan dalam penetapan laba Islam menganjurkan agar para pedagang
tidakberlebihan dalam mengambil laba. Pernyataanini menjelaskan bahwa batasan laba
ideal (yang pantas dan wajar) dapat dilakukandengan merendahkan harga. Keadaan
inisering menimbulkan bertambahnya jumlahbarang dan meningkatnya peranan uang
danpada gilirannya akan membawa padapertambahan laba.
2. Keseimbangan antara tingkat kesulitan dan laba Semakin tinggi tingkat kesulitan dan
risiko, maka semakin besar pula laba yangdiinginkan pedagang. Semakin jauhperjalanan,
semakin tinggi risikonya, makasemakin tinggi pula tuntutan pedagangterhadap standar
labanya. Begitu pulasebaliknya, akan tetapi semua ini dalam kaitannya dengan pasar
Islami yang dicirikankebebasan bermuamalah hingga berfungsinya unsur penawaran dan
unsur permintaan. Pasar Islami juga bercirikan bebas dari praktik–praktik monopoli,
kecurangan, penipuan,perjudian, pemalsuan serta segala jenis jualbeli yang dilarang oleh
syariat.
3. Masa perputaran modal Peranan modal berpengaruh pada standarisasi laba
yangdiinginkan oleh pedagang, yaitu dengansemakin panjangnya masa perputaran dan
bertambahannya tingkat resiko, maka semakintinggi pula standar laba yang yang
8
4. diinginkanoleh pedagang atau seorang pengusaha.Begitu juga dengan semakin
berkurangnya tingkat bahaya, pedagang dan pengusaha punakan menurunkan
standarisasi labanya.
5. Cara menutupi harga penjualan Jual beliboleh dengan harga tunai sebagaimana
jugaboleh dengan harga kredit. Juga boleh dengan tunai sebagian sisanya dibayar dengan
carakredit (cicilan), dengan syarat adanyakeridhoan keduanya (pedagang dan pembeli).
Jika harga dinaikkan dan si penjual memberi tempo waktu pembayaran, itu juga boleh
karena penundaan waktu pembayaran ituadalah termasuk harga yang merupakanbagian
si penjual.
6. Unsur–unsur pendukung Di samping unsur–unsur yang dapat memberikan pengaruh
padastandarisasi laba, seperti unsur–unsur yangberbeda dari waktu ke waktu, atau
keadaanekonomi, baik yang marketable maupun yangnon marketable,bagaimanapun
4
juga unsur–unsur itutidak boleh bertentangan dengan kaidah–kaidah hukum Islam.

4. Haram Mengambil Keuntungan Lebih 100 %


Seringkali masyarakat mempertanyakan, bolehkan menjual barang dengan
keuntungan lebih dari 100%, bahkan sebagian orang beranggapan bahwa mengambil
keuntungan lebih dari 100% termasuk kedzaliman bagi konsumen. Sehingga harga jual tidak
boleh dua kali lipat dari harga modal yang dikeluarkan untuk pengadaan barang. Karena
berbicara tentang hukum, tentu semua ada standarnya, sebagai Mukmin wajib menyadari
bahwa standar itu harus kembali kepada dalil atau praktek transaksi yang ada di masa salaf
atau keterangan para ulama fikih. Antara harga pasar dan keuntungan ada 2 hal yang perlu
dibedakan, yaitu :
a. Harga pasar
Harga pasar adalah standar harga yang berlaku di masyarakat untuk suatu barang
tertentu, menjual barang lebih dari harga pasar digolongkan para ulama sebagai tindakan
pembodohan. Sementara melakukan pembodohan dalam transaksi jual beli termasuk
penipuan yang diharamkan dalam semua agama. Allah menyebut hari kiamat dengan hari
taghabun
“Itulah hari at-Thaghabun.” {Qs. at-Thaghabun: 9} Disebut hari taghabun dari kata ghabn
yang pembodohan, karena orang-orang Mukmin penduduk surga, membodoh-bodohkan
penduduk neraka.
4
Desy Astrid Anindya, Pengaruh Etika Bisnis Islam Terhadap Keuntungan Usaha, UMSU, At Tawassuth,
Vol II, No.2, 2017 : 389 - 412

9
Al-Qurthubi menyebutkan keterangan Ibnul Arabi,

‫ذلكً ى الخغاًب على أهه الً جىش‬:‫ اطخدل علماؤها بلىله حعالى‬:‫كال اًب العسبي‬
‫ ألن هلال حعالى خصص الخغاًب بيى الليامت‬،‫الغبن في املعاملت الدهيٍىت‬
“Ibnul Arabi mengatakan, para ulama madzhab kami berdalil dengan ayat ini untuk
mengatakan bahwa tidak boleh melakukan tindakan pembodohan dalam muamalah di dunia.
Karena Allh Ta‟ala hanya mengkhususkan tindakan saling membodohkan hanya di hari
kiamat”.
Pembodohan dalam transaksi ada dua, yaitu :
1. pembodohan ringan yang ditolerir Pendapat mayoritas ulama, meskipun ada sebagian
ulama yang mengatakan bahwa pembodohan tidak ada yang ditoleransi meskipun sedikit.
2. Pembodohan parah yang tidak bisa ditolerir (al-Ghabn al-Fahisy ). Manurut Hanafiyah,
Malikiyah dan sebagian ulama Hambali, transaksi yang mengandung Ghabn Fahisy
dibatalkan dan barang dikembalikan. Ulama berbeda pendapat, berapa batasan nilai menjual
di atas harga pasar yang terhitung ghabn fahisy . Mengenai masalah ini, penulis hanya akan
menyebutkan salah satu pendapat saja.
Dalam Fiqh Empat Madzhab disebutkan pendapat Malikiyah, Menurut Malikiyah – Yang
masyhur menurut berbagai madzhab, bahwa barang yang dibeli tidak dikembalikan dengan
sebab ghabn (pembodohan) yang menghasilkan keuntungan meskipun melebihi batas normal,
kecuali dalam beberapa kejadian Yang pertama, penjual dan pembeli yang mengalami ghabn
fahisy adalah wakil atau orang yang diberi wasiat. Jika itu yang terjadi maka trasaksinya
dibatalkan”. Kemudian mengenai standar ghabn fahisy, sebagian Malikiyah menyatakan,
Ulama berbeda pendapat mengenai batasan ghabn fahisy .
Sebagian ulama mengatakan, apabila barang dijual 1/3 lebih mahal dari harga normal
(harga pasar), atau 1/3 lebih murah maka terjadi ghabn”. 4 Sementara itu, yang difatwakan
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah bahwa ghabn fahisy standarnya kembali kepada urf standar
yang berlaku di masyarakat, beliau ditanya, “Apa batasan ghabn yang mempengaruhi
keabsahan transaksi?” Jawaban Syaikh Ibnu Baz ; “Ulama berbeda pendapat dalam masalah
ini. sebagian mengatakan 1/3, dan yang lain mengatakan kurang dari itu. Namun pendapat
yang lebih tepat dalam masalah ini, selama masyarakat penyebut itu pembodohan
berdasarkan standar mereka, maka bisa berlaku sebagai pembodohan menurut pasar, dimana
ini merugikan pembeli”. Istilah ghabn fahisy di masyarakat kita sering mereka sebut dengan
harga, nuthu atau menthung. Kata ini dari bahasa Jawa artinya memukul.

10
b. Keuntungan
Selanjutnya kita berpindah ke masalah berikutnya yaitu mengambil keuntungan lebih
dari 100%.Ada dua riwayat yang tegas menunjukkan bolehnya mengambil keuntungan lebih
dari 100%.
a. Hadis dari Urwah al-Bariqi beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam menyerahkan uang sebesar 1 dinar kepadaku untuk dibelikan seekor kambing.
Kemudian uang itu saya belikan 2 ekor kambing. Tidak berselang lama, saya menjual salah
satunya seharga 1 dinar. Kemudian saya bawa kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
seekor kambing dan uang 1 dinar”.
Kemuduian akupun menceritakan kejadian itu kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam.
Lalu beliau mendoakan, “Semoga Allah memberkahimu dalam transaksi yang dilakukan
tanganmu.” (HR. Turmudzi 1304, Daruquthni 2861, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

b. Hadis dari Abdullah Zubair radhiyallahu anhuma, beliau menceritakan Zubair pernah
membeli tanah hutan seharga 170.000, kemudian tanah itu dijual oleh putranya, Abdullah bin
Zubair seharga 1.600.000”. {HR. Bukhari 3129}. Hadis ini diletakkan al-Bukhari dalam kitab
shahihnya di Bab, “keberkahan harta orang yang berperang.” Hadis ini dijadikan dalil oleh
para ulama untuk menyimpulkan bolehnya mengambil keuntungan berlipat-lipat dalam jual
beli.
Banyak kasus dimana orang bisa mendapatkan keuntungan berlipat-lipat ketika jual beli.
Orang yang pergi ke hutan untuk mencari kayu gaharu, mereka bermodal gergaji, kapak, dst.
yang jika dinilai, tidak lebih dari 2 juta. dan ketika dia berhasil mendapat 1 batang gaharu,
hasilnya bisa berjuta-juta. Jika dilihat dari modal, keuntungan bisa berlipat-lipat. Dan
umumnya unit produksi, bisa menghasilkan keuntungan berlipat-lipat, jika dilihat dari modal.
Meskipun hukum ini juga berlaku untuk unit usaha yang lain seperti trader. Biasanya,
pembodohan itu banyak terjadi ketika konsumen kurang perhatian terhadap harga pasar atau
kurang perhatian melihat situasi barang. Memang keuntungan dalam jual beli mengikuti laju
perekonomian masyarakat, seperti faktor permintaan dan suplay barang atau ketersediaan
barang.
“Keuntungan perdagangan tidak memiliki batasan tertentu. Namun mengikuti kondisi
persediaan – permintaan barang, dan ketersediaan barang. Hanya saja dianjurkan bagi para
pegadang untuk memberi kemudahan bagi konsumen dalam bertransaksi. Jangan sampai
memanfaatkan kesempatan kelalaian pembeli, kemudian melakukan ghabn (pembodohan).

11
dalam melakukan transaksi jual beli. Sehingga dia harus memperhatikan hak ukhuwah
islamiyah.”
Dari keterangan di atas, menegaskan bahwa dibolehkan mengambil keuntungan lebih
dari 100%, tidak dibolehkan menjual barang melebihi harga pasar karena termasuk
pembodohan kosumen. Maka keuntungan dari jual beli dibolekan selama tidak menyababkan
harga barang dinaikkan melebihi harga pasar, tidak boleh memanfaatkan kelalaian konsumen
terhadap barang karena dapat dikategorikan ghabn (pembodohan) jika harga dinaikkan secara
tidak normal. Namun, dibolehkan menaikkan harga barang mengikuti perubahan harga pasar
karena faktor ketersediaan dan permintaan terhadap barang. Apabila mengambil keuntungan
100 % saja diharamkan, apalagi mengambil keuntungan dua kali lipat. Setiap orang yang
berdagang pasti menginginkan keuntungan dari barang dagangannya. Untuk tujuan ini,
seseorang kadang mengambil keuntungan lebih sedikit dari modal, ada yang setengahnya,
dan ada pula yang mengambil keuntungan dua kali lipat dari modalnya.
Jika seseorang mengambil keuntungan dua kali lipat, bagaimana hukumnya? Pada
dasarnya, setiap orang yang berdagang diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari
barang dagangannya tanpa ada batasan tertentu dari syariat. Ia boleh mengambil keuntungan
sedikit atau banyak selama tidak menzalimi orang lain dan masyarakat. Hal ini sebagaimana
telah disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab alMajmu‟ berikut;
“Barangsiapa membeli barang dagangan, maka boleh baginya menjual dengan harga
modal, lebih murah dari harga modal, atau lebih banyak. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
Saw, Jika dua barang berbeda jenis, maka kalian juallah sesuai kemauan kalian.” Namun jika
pengambilan keuntungan menzalimi orang lain, maka hukumnya dilarang. Para ulama
berbeda pendapat terkait batas pengambilan keuntungan yang menzalimi orang lain dan
masyarakat. Sebagian ulama berpendapat bahwa ketentuan mengambil keuntungan barang
dagangan diserahkan pada harga yang berlaku di tengah masyarakat. Di sisi lain, sebagian
ulama berpendapat bahwa sudah dinilai zalim jika mengambil lebih dari 1/3 dari modal.
Sebagian lagi berpendapat, jika mengambil keuntungan lebih dari 1/6 dari modal, “Akan
tetapi agama melarang pengambilan keuntungan yang jelek, yaitu keuntungan yang melebihi
batas yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama berbeda pendapat terkait ukuran
pengambilan keuntungan yang jelek ini. Sebagian mengatakan, keuntungan yang tidak jelek
atau keuntungan yang tidak ada penipuan dan kezaliman adalah keuntungan yang masih
berada dalam batas 1/3 dari modal. Sebagian mengatakan, masih dalam batas 1/6 dari modal.
Sebagian lagi mengatakan, batasnya ditentukan pada kebiasaan masyarakat.”

12
C. Resiko Penanaman Modal
1. Pengertian Resiko Penanaman Modal
Resiko dalam Islam disebut dengan istilah Mukhatarah (‫) مخاطرة‬dalam bahasa Arab.
Mukhatarah ini berasal dari kata al- khatar (‫ر‬JJ‫) الخط‬. Al-khatar yaitu sesuatu yang tidak
diketahui pasti benar atau tidaknya atau sesuatu yang mengandung bahaya. Dalam kamus
bahasa Arab, mukhatharah (‫ )خاطرة‬memiliki arti menempuh bahaya atau mendekati bahaya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata resiko selalu digunakan oleh pelaku bisnis, sebab kata
resiko ini berhubungan dengan keuntungan suatu investasi. Istilah resiko berasal dari bahasa
Itali yaitu risco yang memiliki arti bahaya. Resiko memiliki banyak definisi, salah satu
definisi resiko adalah kemungkinan mengalami kerugian serta bahaya .5 Definisi lain, resiko
menurut :
a. T. Sunaryo, resiko adalah kerugian karena peristiwa yang tidak diharapkan terjadi.
b. Menurut konsep keuangan, resiko merupakan perbedaan antara keuntungan atau imbal
hasil yang terealisasi (actual return) dengan keuntungan atau imbal hasil yang diharapkan
(expected return) dalam suatu investasi.
c. Tandelilin, Resiko ini terjadi jika keuntungan yang terealisasi lebih kecil daripada
keuntungan yang diharapkan.
Penanaman adalah bentuk aktifitas ekonomi. Sebab setiap harta ada zakatnya. Jika harta
didiamkan (tidak diproduktifkan) maka lambat laun akan termakan oleh zakatnya, yang salah
satu hikmah dari zakat adalah mendorong setiap muslim menanamkan hartanya. Harta yang
diinvestasikan tidak akan termakan oleh zakat kecuali keuntungannya saja.Agar terhindar
dari penamaman modal yang tidak Islami maka setiap diri harus mengetahui etika bisnis
dalam berinvestasi, karena ketidaktahuan dan minimnya pengetahuan tentang investasi dalam
Islam terkadang membuat orang asal saja dalam menginvestasikan hartanya dan kadang
terjatuh pada perbuatan melanggar syariat. Sebagian karena iming-iming keuntungan (return)
yang besar.

5
Rachmawati, Eka Nuraini. "Hubungan Keuntungan Dengan Resiko Dalam Perspektif Fiqih
Aplikasinya Pada Institusi Keuangan Islam." Jurnal Tabarru': Islamic Banking and Finance 3.2 (2020):
95-107.

13
2. Dalil Dalil Hadis Penanaman Modal
a. Hadis riwayat abdullah ibn umar

Artinya :
Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, "Rasulullah SAW pernah memberikan separuh hasil panen
berupa buah dan tanaman kepada penduduk Khaibar. Kemudian beliau memberikan istri-
istrinya setiap tahun seratus wasaq, yaitu delapan puluh wasaq berupa kurma kering dan dua
puluh wasaq lagi berupa jelai. Ketika Umar bin Khaththab memegang tampuk kekuasaan, ia
juga membagi tanah Khaibar. Setelah itu ia mempersilakan istri-istri Rasulullah SAW untuk
memilih antara diberi bagian tanah dan air atau diteruskannya pembagian beberapa wasaq
setiap tahun. Akhirnya para istri Rasulullah berbeda dalam pemilihan. Di antara mereka ada
yang memilih tanah dan air, ada pula yang memilih mendapat bagian beberapa wasaq setiap
tahunnya. Sementara Aisyah dan Hafshah termasuk orang yang memilih tanah dan air” (HR.
Muslim)6

b. Hadis annas bin malik

Artinya :
Rasulullah SAW bersabda, Tidak ada seorang muslim pun yang menanam
suatu tanaman melainkan apa yang dimakan dari tanaman tersebut merupakan suatu sedekah;
apa yang dicuri dari tanaman tersebut juga merupakan suatu sedekah; apa yang dimakan
binatang buas dari tanaman tersebut juga merupakan suatu sedekah; apa yang dimakan

6
Syamsi, Ahmad Badarus. "Investasi Asing Dalam Islam." Et-Tijarie: Jurnal Hukum dan Bisnis Syariah
(2014).

14
burung dari tanaman tersebut juga akan menjadi sedekah; dan tidak ada seorang pun yang
mengambil sesuatu dari tanaman tersebut, maka hal itu juga menjadi sedekah baginya” (HR.
Muslim)
Hadis ini menunjukkan keutamaan menggarap lahan dan menanaminya. Pahala orang
yang melakukannya akan terus berlangsung semasa penanaman, keluar hasilnya, hingga hari
kiamat.Allah akan menjaga, memberi barokah (bertambahnya kebaikan) dan rizki kepada
orang-orang yang melakukan asy-Syirkah, Jika merujuk pada sederetan dalil dan nash yang
telah dikemukakan di atas, maka tidak satupun yang secara jelas mengemukakan penanaman
modal asing sebagaimana terminologi saat ini yang berkembang pesat.

3. Jenis Jenis Resiko Penanaman Modal


a. Resiko Finansial (Financial Risk)
Resiko finansial adalah resiko yang berkaitan dengan keputusan
perusahaan untuk menggunakan hutang dalam pembiayaan modalnya, semakin besar
hutang yang digunakan perusahaan maka akan semakin besar resiko finansial yang
dihadapi perusahan. Resiko finansial (Financial Risk) terbagi tiga, yaitu :
1. Resiko Kredit (Credit Risk), resiko yang disebabkan pihak peminjam tidak dapat melunasi
kewajibannya kepada bank
2. Resiko Pasar (Market Risk), Resiko pasar terjadi harga
bergerak kearah yang tidak menguntungkan sehingga merugikan investor dan pelaku
bisnis. bersumber dari ketidakpastian bank dalam memperoleh keuntungan.

b. Resiko Investasi Ekuitas (Equity Investment Risk)


Resiko investasi ekuitas merupakan resiko akibat bank ikut menanggung kerugian
usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan bagi hasil berbasis profit and loss
sharing seperti pembiayaan mudharabah dan musyarakah..

c. Resiko Bisnis (Business Risk)


Resiko bisnis dikaitkan dengan lingkungan bisnis perbankan, termasuk faktor
variabel makro ekonomi, kebijakan, faktor legal dan regulasi, serta nfrastruktur sektor
perbankan. Resiko bisnis juga mencakup ketidakcukupan modal dan ketidakmampuan
membayar hutang (insolvency). Resiko Bisnis (Business Risk) terdiri dari :
1. Resiko Tingkat Imbal Hasil (Rate of Return Risk) Resiko tingkat pengembalian bersumber
dari ketidakpastian bank dalam memperoleh keuntungan.
15
2. Resiko Penarikan (Withdrawal Risk) Resiko ini bersumber dari tekanan kompetitif yang
dihadapi bank syariah dari bank konvensional sebagai counterpart-nya.
3. Resiko Liquiditas (Liquidity Risk) Resiko liquiditas merupakan resiko yang dihadapi
perbankan karena tidak dapat memenuhi kebutuhan kas untuk membayar kewajiban jangka
pendek.

d. Resiko Treasuri (Treasury Risk)


1. Resiko Manajemen Liabilitas dan Aset (Asset & Liability Management Risk) Resiko
manajemen liabilitas dan asset merupakan selisih neraca akibat perbedaan jatuh tempo aset
dan liabilitas dan komposisi portofolio bank pada sisi aset dan liabilitasnya.
2. Resiko Lindung Nilai (Hegding Risk) Resiko lindung nilai merupakan resiko kegagalan
institusi keuangan syariah untuk meminimalkan dan mengelola berbagai resiko yang
ditimbulkan pergerakan nilai tukar dan harga pasar aset.

e. Resiko Tata Kelola Perusahaan (Governance Risk )


1. Resiko Operasional (Operational Risk) Resiko ini berkaitan dengan operasional
perbankan syariah, akibat kurangnya sistem informasi dan sistem pengawasan internal
serta tidak berfungsi nya proses internal, akibatnya kegiatan operasional bank tidak
berjalan lancar sehingga menyebabkan kerugian.
2. Resiko Reputasi (Reputation Risk), Resiko ini berkaitan menurunnya tingkat
kepercayaan nasabah kepada bank syariah yang disebabkan publikasi yang negatif dan
persepsi negatif terhadap bank syariah sehingga dapat berpengaruh secara siginifikan
pada pangsa pasar bank syariah, profitabilitas dan likuiditas.
3. Resiko Transparansi (Transparancy Risk) Transparansi diartikan sebagai keterbukaan
publik terhadap informasi yang lengkap dan akurat serta tepat waktu yang
memungkinkan penggunanya melakukan penilaian akurat terhadap kondisi keuangan,
aktivitas bisnis, profil bisnis serta manajemen resiko sebuah bank.
4. Resiko Kepatuhan Syariah (Shariah Compliance Risk) Perkembangan perbankan
syariah yang pesat memungkinkan adanya produk yang ditawarkan yang tidak
memenuhi aspek syariah atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan
ketentuan lain yang berlaku. Hal inilah yang menyebabkan munculnya resiko kepatuhan
syariah karena resiko ini berkaitan dengan praktik non standard dalam kontrak
5. Resiko Fidusiari (Fiduciary Risk) Resiko fidusiari adalah resiko yang timbul akibat
kegagalan bank untuk bertindak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Secara
16
hukum bank bertanggung jawab atas pelanggaran kontrak investasi baik ketidaksesuaiannya
dengan ketentuan syariah maupun salah kelola (mismanagement) terhadap dana nasabah..

4. Landasan Berfikir Dalam Resiko Penanaman Modal


Tidak ada keuntungan tanpa resiko” atau dengan kata lain, kesediaan menanggung
kerugian diimbangi dengan hak mendapatkan keuntungan.Asumsi resiko penanaman modal
adalah persyaratan untuk mendapatkan hak atas keuntungan dari modal. Kaedah “hasil usaha
itu muncul bersama biaya “ adalah patokan aturan (legalitas) mengenai tingkat imbal hasil
atas modal, yang berarti seseorang harus menaggung resiko, jika ada, dan jika ingin
mendapatkan keuntungan dari investasinya. Keuntungan harus didapatkan dengan berbagi
resiko dan imbal hasil atas kepemilikan melalui penetapan harga barang, jasa, atau hak
pemakaian atas barang untuk memperoleh keuntungan investor harus menananggung resiko.
Hadis dan kaedah diatas menjadi landasan kepada prinsip berinvestasi menurut Islam dimana
keuntungan yang ingin diperoleh perlu disertai dengan kesanggupan untuk berbagi resiko.
Keuntungan harus didapatkan dengan berbagi resiko dan imbal hasil atas kepemilikan melalui
penetapan harga barang, jasa, atau hak pemakaian atas barang.7

5. Memanajemen Resiko Penanaman Modal Dalam Islam


Pada dasarnya Allah SWT mengingatkan manusia atau suatu masyarakat, dimana ada
kalanya dalam situasi tertentu mempunyai aset dan modal yang kuat, namun suatu saat akan
mengalami kesulitan. Hanya saja bagaimana mengatasinya dalam menghadapi kesulitan
maka kita harus menyiapkan untuk perhitungan dan pandangan yang luas.
Hanya Allah SWT yang stabil, tetap, abadi dan pasti, mutlak. Oleh karena itu, ketika
manusia berusaha memenuhi segala hal dalam manajemen risiko, mengatur semua hal yang
terkait dengan risiko, sejatinya manusia itu sedang memenuhi panggilan Allah SWT.
diwajibkan berusaha agar kejadian yang tidak diharapkan, tidak berdampak pada kehancuran
fatal terhadapnya (memitigasi risiko). Dalam usahanya mencari nafkah, seorang muslim
dihadapkan pada kondisi ketidakpastian terhadap apa yang terjadi. Kita boleh saja
merencanakan suatu kegiatan usaha atau investasi, namun kita tidak bisa memastikan apa
yang akan kita dapatkan dari hasil investasi tersebut, apakah untung atau rugi. Hal ini

7
Rachmawati, Eka Nuraini. "Hubungan Keuntungan Dengan Resiko Dalam Perspektif Fiqih
Aplikasinya Pada Institusi Keuangan Islam." Jurnal Tabarru': Islamic Banking and Finance 3.2 (2020):
95-107.

17
merupakan sunnatullah atau ketentuan Allah seperti yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw.8

6. Etika Dalam Penanaman Modal Agar Tidak Beresiko


1) Tidak mencari rizki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya
maupun cara mendapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram.
2) Tidak mendzalimi dan tidak didzalimi.
3) Keadilan pendistribusian pendapatan
4) Transaksi dilakukan atas dasar ridha sama ridha (an-taradin).
5) Tidak ada unsur riba, maysir/perjudian/spekulasi dan gharar (ketidak jelasan/samar-
samar).9

8
Suparmin, Asyari. "Manajemen Resiko Dalam Perspektif Islam." El-Arbah: Jurnal Ekonomi, Bisnis Dan
Perbankan Syariah 2.02 (2018): 27-47.
9
Sakinah. "Investasi Dalam Islam." Interest 12.1 (2014).

18
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keuntungan (laba) adalah perbedaan antara penghasilan dan biaya yang dikeluarkan.
Laba adalah kelebihan penghasilan di atas biaya selama satu periode akuntansi. Di dalam
Islam, laba mempunyai pengertian khusus sebagaimana yang telah di jelaskan oleh para
ulama salaf dan khalaf. Mereka telah menetapkandasardasar penghitungan laba serta
pembagiannyadikalangan mitra usaha. Mereka juga menjelaskankapan laba itu digabungkan
kepada modal pokok untuk tujuan penghitungan zakat, bahkan merekajuga menetapkan
kriteria -kriteria yang jelas untuk menentukan kadar dan nisbah zakat yaitu tentang metode-
metode akuntansi penghitungan zakat.
Setiap pelaku usaha memang memerlukan suatu hasil dari usahanya yaitu keuntungan
usaha. Keuntungan usaha tersebut diterima berdasarkan selisih dari modal yang dikeluarkan
dengan harga jual yang ditawarkan kepada masyarakat. Selisih yang diterapkan tersebut
seharusnya tidak semata-mata untuk memperoleh keuntungan saja akan tetapi dengan maksud
untuk membantu masyarakat yang membutuhkan serta untuk memperoleh kebahagian hidup
di akhirat.

B. Saran
Demikian tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan. Harapan kami dengan
adanya tulisan ini bisa memahami tentang “Keuntungan (Profit) : Keuntungan Modal,
Resiko Penanaman Modal”. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca,
khususnya dari bapak dosen yang membimbing kami dan para mahasiswa demi
kesempurnaan makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami
mohon maaf yang sebesar – besarnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Adanan Murroh Nasution, Batasan Mengambil Keuntungan Menurut Hukum Islam, Fakultas
Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padang Sidempuan , Jurnal El Qanuny, Vol 4, No 1
Edisi Januari – Juni 2018
Desy Astrid Anindya, Pengaruh Etika Bisnis Islam Terhadap Keuntungan Usaha, UMSU,
At Tawassuth
Eka Nuraini Rachmawati1 & Ab Mumin bn Ab Ghani, Hubungan Keuntungan Dengan
Resiko Dalam Perspektif Fiqih Aplikasinya Pada Institusi Keuangan Islam, Jurnal
Tabarru’ : Islamic Banking and Finance
Desy Astrid Anindya, Pengaruh Etika Bisnis Islam Terhadap Keuntungan Usaha, UMSU,
At Tawassuth
Suparmin, Asyari. "Manajemen Resiko Dalam Perspektif Islam." El-Arbah: Jurnal Ekonomi,
Bisnis Dan Perbankan Syariah 2.02 (2018)
Sakinah. "Investasi Dalam Islam." Interest 12.1 (2014).

20

Anda mungkin juga menyukai