Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

Masailul Fiqhiyah
Riba: Bank Konvensional dan Bank Syariah

Disusun oleh:
Widad Chonsa Al-Wahab
Khofshotul Ulfah
Dosen Pembimbing:
H. Imam Dzakwan,S.Ag, M.Ag
Program Studi:
Pendidikan Agama Islam

UNIVERSITAS IBNU CHALDUN JAKARTA


Jl. Pemuda 1 Kaveling 97, Rawamangun, Jakarta Timur 13220, DKI Jakarta
Telp. 0214722059
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul
"Riba: Bank Konvensional dan Bank Syariah” tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita
sanjung pujian kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang
gelap gulita ke alam yang terang benderang ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari
pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Terima kasih
yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada
para pembaca.

Jakarta, 08 Desember 2023

Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………...........................................…………......
DAFTAR ISI…………………………………………………………...............................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................
A. Latar Belakang............………………………………………..................................
B. Rumusan Masalah...........……………………………………..................................
C. Tujuan.....………………………………………………...........................................
BAB Il PEMBAHASAN.....................................................................................................
A. Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah...................................................
B. Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah....................................................
C. Riba & Bunga Pada Bank..........................................................................................
D. Hukum Bank Konvensional dan Bank Syariah..........................................................
BAB III PENUTUP..............................................................................................................
A. Kesimpulan…………………………………………….............................................
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….....................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di
dunia, meskipun ada enam agama yang diakui di Indonesia akan tetapi islam menjadi agama
mayoritas yang dianut. Namun demikian, sistem perekonomian di Indonesia lebih mengarah
kepada sistem ekonomi kapitalis termasuk dalam dunia perbankan. Bank merupakan salah satu
lembaga keuangan yang sangat penting dalam penyaluran dan pengelolaan dana masyarakat.
Dana dari masyarakat yang diterima oleh bank akan dikelola dan disalurkan pada unit kegiatan
ekonomi lainnya. Keuntungan yang dihasilkan dari unit kegiatan usaha lainnya akan
dikembalikan lagi kepada masyarakat. Dengan di tetapkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, Indonesia menjalankan Dual Banking System yaitu beroperasi sistem
perbankan baik secara konvensional maupun syariah sekaligus dengan tetap memisahkan
pengelolaan dan pengoperasiannya. Namun sistem perbankan syariah pada saat itu belum
begitu kuat secara hukum perdata mengingat belum adanya UU yang mengatur secara jelas
mengenai Perbankan Syariah, maka Pemerintah mendukung perkembangan Indonesia masih
memiliki persepsi yang keliru tentang bank syariah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Perbedaan dari Bank Konvensional dan Bank Syariah?
2. Apa itu Riba & Bunga Pada Bank?
3. Apa Hukum Bank Konvensional dan Bank Syariah?
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian dan Perbedaan dari Bank Konvensional dan Bank Syariah.
2. Mengetahui Riba & Bunga Pada Bank.
3. Mengetahui Hukum Bank Konvensional dan Bank Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah


Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang dimaksud dengan
bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk berupa kredit atau bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup dan ekonomi rakyat.
Untuk mengelola simpanan dari masyarakat dan membayar biaya operasional bank,
maka bank menyalurkan dana tersebut dalam bentuk investasi, untuk keperluan spekulasi, dan
memberikan kredit secara besar-besaran kepada bank-bank lain atau pemerintah dengan
investasi yang termasuk dalam bagian kegiatan perusahaan, dengan demikian memperoleh
bagian keuntungan berupa dividen, atau tingkat bunga.
Di mana bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank
berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.
Bunga bagi bank juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang
memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang
memperoleh pinjaman).
Dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada dua macam bunga yang diberikan kepada
nasabahnya yaitu:
1. Bunga simpanan
Bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan
uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan harga yang harus dibayar bank kepada
nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan dan bunga deposito.
2. Bunga pinjaman
Bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang
harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai contoh bunga kredit.
Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapat bagi
bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah
sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah. Baik bunga
simpanan maupun bunga pinjaman masing-masing saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Sebagai contoh se-andainya bunga simpanan tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman juga
terpengaruh ikut naik dan demikian pula sebaliknya.
Dilihat dari segi cara menentukan harga jenis bank jika dilihat dari segi cara menentukan
harga, baik harga jual maupun harga beli, terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
1. Bank yang Berdasarkan Prinsip Konvensional (Barat)
Bank konvensional yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana
maupun dalam rangka penyaluran dananya, memberikan dan mengenakan imbalan berupa
bunga atau sejumlah imbalan dalam persentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu.
Persentase tertentu ini biasanya ditetapkan per tahun.
Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia saat ini adalah bank yang berorientasi
pada prinsip konvensional. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia di mana asal
mula bank di Indonesia di bawah oleh kolonial belanda.
Dalam mencari keuntungan dan menentukan harga keadaan para nasabahnya, bank yang
berdasarkan prinsip konvensional menggunakan 2 metode, yaitu :
a) Menetapkan bunga sebagai harga untuk produk simpanan seperti giro, tabungan, ataupun
deposito. Demikian pula harga untuk produk pinjaman (kredit) juga ditentukan
berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. Penentuan harga dikenal dengan istilah spread
based.
b) Untuk jasa-jasa bank dan lainya pihak perbankan konvensional menggunakan atau
menerapkan berbagai biaya-biaya dalam nominal atau persentase tertentu. Sistem
pengenaan biaya ini di kenal dengan istilah fee based.
2. Bank yang Berdasarkan Prinsip Syariah (Islam)
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah pada Bab 1 pasal 1 dan ayat 7 di sebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas
Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank syariah adalah usaha yang
menjalankan kegiatan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam Al-Qur‟an dan Hadits, Salah
satunya yaitu prinsip “Mudharabah” yaitu akad yang dilakukan oleh pemilik modal dengan
pengelola dana atau dengan kata lain keuntungannya berdasarkan bagi hasil.
Sudarsono (2004) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Bank Syariah ialah lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam alur pembayaran
serta peredaran uang yang beroperasi pada prinsip-prinsip syariah yang sesuai dengan isi Al-
Qur’an dan Hadist.
Bank berdasarkan prinsip syariah belum lama berkembang di Indonesia karena mayoritas
masyarakat belum mengetahui keberadaan dari bank syariah, namun seiring dengan
perkembangannya sudah menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan sejak hadirnya
bank syariah saat ini yang berjumlah sekitar empat ratusan lebih kantornya. Keluarnya Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan bunga bank konvensional tahun 2003
lalu memperkuat kedudukan bank syariah.
Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah dalam penentuan harga produknya sangat
berbeda dengan bank berdasarkan prinsip konvensional. Bank berdasarkan prinsip syariah
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk
menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainya. Sedangkan bank
konvensional aturan perjanjiannya dibuat hanya berdasarkan hukum positif.
Dalam menentukan harga atau mencari keuntungan bagi bank yang berdasarkan prinsip
syariah adalah sebagai berikut :
1) Pembiayaan berdasarkan bagi hasil (mudarabah)
2) Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musaraha)
3) Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabaha)
4) Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah)
5) Dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank
atau pihak lain (ijarah wa iqtina).
Prinsip utama operasional bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah hukum Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-hadist. Kegiatan operasional bank harus
memperhatikan perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Muhammad SAW.
Larangan terutama yang berkaitan dengan kegiatan bank yang dapat diklasifikasikan sebagai
riba, riba merupakan salah satu dosa yang besar karena merupakan kegiatan yang meminta
kelebihan dari nilai atau tambahan dari kesepakatan awal. namun kenyataannya masih banyak
masyarakat yang menerapkan sistem riba tanpa mereka sadari khususnya dalam kegiatan
sehari-hari yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Perbedaan utama antara kegiatan
bank berdasarkan prinsip syariah dengan bank konvensional pada dasarnya terletak pada sistem
pemberian imbalan atau jasa dari dana.
Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, bank berdasarkan prinsip syariah tidak
menggunakan sistem bunga dalam menentukan imbalan atas dana yang digunakan atau
dititipkan oleh suatu pihak, penentuan imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana
yang disimpan di bank di dasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam.
Dalam hukum islam, bunga adalah riba dan diharamkan. Ditinjau dari sisi pelayanan
terhadap masyarakat dan pemasaran, adanya bank atas dasar prinsip syariah merupakan usaha
untuk melayani dan mendayagunakan segmen pasar perbankan yang tidak setuju atau tidak
menyukai sistem bunga.
Bank Syariah telah lama berkembang di luar negeri, seperti antara lain di Negara-negara
Saudi Arabia, Kuwait, Sudan, Yordania, Iran, Turki, Bangladesh, Malaysia, dan Swiss, Al
Baraka merupakan salah satu Bank Syariah yang telah berkembang lama dan mempunyai
kegiatan di beberapa Negara. Di Indonesia, keberadaan bank syariah dirintis sejak
diberlakukannya Undang-undang No. 07 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang
tersebut menggunakan istilah “bank bagi hasil” untuk menyebut bank yang berdasarkan prinsip
syariah. Ditinjau dari segi kuantitas Bank, BPR lebih banyak yang beroperasi atas dasar prinsip
bagi hasil dibandingkan bank umum. BPR yang beroperasi atas dasar prinsip bagi hasil sering
disebut dengan BPR Syariah. Bank umum BPR yang beroperasi atas dasar prinsip bagi hasil
sering disebut dengan BPR Syariah. Bank umum yang secara tegas menyatakan dirinya sebagai
bank syariah adalah Bank Muamalat Indonesia.
Sampai dengan akhir tahun 1998, jumlah kantor bank syariah secara nasional di
Indonesia adalah sebanyak 78 kantor, yang terdiri dari 1 kantor bank umum dan 77 kantor BPR.
Perkembangan bank berdasarkan prinsip syariah masih sangat kecil dibandingkan dengan bank
konvensional. Hingga awal tahun 2005, terdapat 3 bank umum syariah dan 16 unit usaha
syariah. Di mana Bank Umum Syariah terdiri dari Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank
Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Indonesia
Adapun Unit Usaha Syariah terdiri dari bank IFI Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank
Rakyat Indonesia Syariah, Bank Niaga Syariah, Bank Permata Syariah, Bank Nasional
Indonesia Syariah, BII Syariah, Bank Riau Syariah, Bank Jabar Syariah, BPD Sumut Syariah,
BPD DKI Syariah, PBD Lombok NTB, BPD Aceh Syariah, BPD Kalsel Syariah, HSBC
Syariah, BTN Syariah.
Peta penyebaran bank berdasarkan prinsip syariah di Indonesia saat ini masih
terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Bandung.
Perkembangan Bank Syariah justru tidak terfokus di daerah potensial, yaitu masyarakat muslim
di Banda Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa Timur. Pola pemilihan lokasi pendirian bank syariah
saat ini terlihat masih berpegang pada pola pendirian bank konvensional, yaitu daerah
pertumbuhan ekonomi dan sentra Jabotabek dan Bandung.
B. Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah
1. Perbedaan prinsip yang melandasi kegiatan usaha antara bank umum syariah dengan bank
umum konvensional adalah pada kegiatan usaha bank umum syariah harus berasaskan
prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.
Kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah yaitu tidak mengandung unsur:
a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan
(fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah
penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasi’ah)
b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan
c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur
lain dalam syariah
d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah atau
e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah kegiatan ekonomi syariah
yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan.
Sementara, arti dari “prinsip kehati-hatian” adalah pedoman pengelolaan bank yang
wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Sementara pada bank umum konvensional, kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dengan menggunakan
prinsip kehati-hatian.
2. Landasan hukum bagi bank umum syariah tidak hanya UU 21/2008, UU 4/2023, Peraturan
OJK dan Peraturan BI saja, tetapi juga harus berdasarkan pada Al-Quran, hadis dan Fatwa
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (“DSN-MUI”)[9] sebagai
konsekuensi karakter bank umum syariah yang berlandaskan pada prinsip syariah.
3. Fungsi utama bank umum syariah tidak berbeda dengan bank umum konvensional, yaitu
berfungsi sebagai lembaga intermediasi yaitu menghimpun dana masyarakat dan
menyalurkan dana kepada masyarakat.
Namun, pada bank umum syariah dan unit usaha syariah (“UUS”) juga diamanahkan
menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang
berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya
kepada organisasi pengelola zakat. Di samping itu, bank umum syariah dan UUS dapat
menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menjadi pengelola wakaf/nazir
dan/atau menyalurkannya melalui pengelola wakaf/nazir sesuai dengan kehendak pemberi
wakaf/wakif.
4. Orientasi kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank umum syariah tidak berbeda dengan
bank umum konvensional yaitu mencari untung. Tetapi pada bank umum syariah tidak
terbatas hanya mencari untung saja, tetapi juga falah oriented atau orientasi kebahagiaan
dunia akhirat.
5. Di dalam mencari keuntungan, bank umum syariah tidak menggunakan perangkat bunga
seperti pada bank umum konvensional, tetapi tergantung pada akad yang membingkai
hubungan hukum para pihak. Pada akad jual beli seperti akad murabahah maka
keuntungannya dalam bentuk margin keuntungan. Pada akad bagi hasil seperti pada akad
mudarabah dan musyarakah, maka keuntungannya diperoleh dari persentase nisbah bagi
hasil yang disepakati antara bank dengan nasabahnya. Sedangkan pada akad sewa seperti
pada akad ijarah dan ijarah muntahiyyah bittamlik, maka keuntungannya diperoleh dari
imbalan jasa (ujrah).
6. Pengawasan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank umum syariah maupun bank umum
konvensional dilakukan oleh OJK. Akan tetapi, untuk bank umum syariah ada pengawasan
khusus terhadap kepatuhan syariah yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah
(“DPS”). DPS sendiri adalah dewan yang bertugas untuk memberikan nasihat dan saran
kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Dasar
hukum DPS adalah Pasal 109 UU PT dan Pasal 32 UU 21/2008. Ketidak patuhan bank
umum syariah terhadap prinsip syariah akan berdampak pada sanksi administratif dan
sanksi pidana jika melanggarnya.
7. Kompetensi absolut penyelesaian sengketa secara litigasi antara bank umum syariah
dengan nasabahnya adalah pada pengadilan agama bukan pada pengadilan negeri.
Sedangkan, penyelesaian sengketa secara non litigasi, bank umum syariah diselesaikan
melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. Sedangkan pada
bank umum konvensional penyelesaian sengketanya dilakukan ke pengadilan negeri atau
ke BANI.
C. Pengertian Riba dan Bunga Pada Bank
Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau tambahan untuk penggunaan modal.
Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang berkaitan
dengan itu dan biasa dinamakan suku bunga modal. Sedangkan bank(perbankan) adalah suatu
lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah simpan- pinjam, memberikan kredit dan jasa-
jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi kredit
dengan modal sendiri atau orang lain. Kegiatan perbankan adalah bergerak dalam bidang
keuangan dan kredit, serta mencakup dua fungsi penting, yaitu menciptakan uang dan sebagai
perantara pemberi kredit. Adapun kata riba, secara etimologi diambil dari bahasa Arab yang
mempunyai makna Ziyadah yaitu tambahan, kelebihan, tumbuh, tinggi dan naik. Selain itu riba
juga bisa diartikan sebagai tambahan khusus yang dimiliki adalah satu dari dua pihak yang
terlibat tanpa ada imbalan tertentu. Dalam pengertian lain secara linguistik riba juga berarti
tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut terminologi, riba berarti pengambilan tambahan
dari harta pokok atau modhal secara bathil. Menurut istilah syara’ ialah suatu akad perjanjian
yang terjadi dalam tukar menukar suatu barang yang tidak diketahui sama atau tidaknya
menurut syara’ atau dalam tukar menukar itu disyaratkan dengan menerima salah satu dari dua
barang, atau ada unsur penambahan. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun
secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan prinsip muamalat dalam islam. Mengenai hal ini Allah SWT
mengingatkan dalam firmannya surah An Nisa ayat 29 yang artinya:

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”.

a. Jenis-jenis Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang
piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qaradh dan riba
Jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual-beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah.
1. Riba Qardh, Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berutang (muqtaridh)
2. Riba Jahiliyyah, Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu
membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl, Riba fadhl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran
barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bimitslin), sama
kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).
Pertukaran seperti mengandung gharar yaitu tidak jelasan bagi kedua pihak akan nilai
masing-masing barang yang di pertukarkan.
4. Riba Nasiah, Penagguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasiah muncul karena
adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang
diserahkan kemudian.

b. Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist


Larangan Riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan
diturunkan dalam empat tahap.
1) Tahap Pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub
kepada Allah SWT.
2) Tahap Kedua, riba digunakan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancamakan
memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Terdapat dalam
QS.An- Nisaa’: 160-161.
3) Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Para ahli Tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cuku
tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah
berfirman dalam QS. Ali Imran: 130.
4) Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan
yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
Terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 278-279.
c. Larangan Riba dalam Al-Hadist
a) Dari Jubair ra, Rasulullah SAW mencela penerima dan pembayar bunga orang yang
mencatat begitu pula yang menyaksikan. Beliau bersabda, “mereka semua sama-sama
berada dalam dosa”.
b) Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasulullah bersabda, “Jangan melebih-lebihkan satu dengan
lainnya, janganlah menjual perak kecuali keduanya setara, dan jangan melebih-lebihkan
satu dengan lainnya, dan jangan menjual sesuatu yang tidak tampak” (HR. Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad).
D. Hukum Bank Konvensional dan Bank Syariah
Pada dasarnya memiliki fungsi sebagai tempat untuk menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak seperti yang telah
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sehingga
masyarakat sekarang banyak yang menggunakan jasa perbankan di Indonesia, namun
masyarakat Indonesia sekarang mulai banyak yang ragu menggunakan jasa perbankan
khususnya perbankan konvensional karena menganut sistem bunga yang menurut Islam
diharamkan. Sebagai alternatif bagi masyarakat yang takut akan bunga bank maka lahirlah
perbankan syariah yang menerapkan sistem bagi hasil dalam perhitungan keuntungan dananya
dan berdasarkan hukum Islam diakui kehalalannya. Perbedaan Bank Syariah dan Bank
Konvensional : Hukum bank syariah berdasarkan syariah islam berdasarkan Al-Qur'an dan
Hadist serta Fatwa Ulama (MUI), sedangkan bank konvensional hukumnya berdasarkan
Hukum positif yang berlaku di Indonesia (Perdata dan Pidana) Bank Syariah akan menolak
pengajuan kredit yang ditujukan untuk hal-hal yang bisa melanggar hukum Islam (Hanya untuk
usaha yang halal), sedangkan Penyaluran kredit pada bank konvensional bisa dilakukan pada
berbagai bisnis yang di anggap aman dan menguntungkan. Selama tidak menyalahi aturan dan
hukum yang berlaku.
Bank Syariah lahir sebagai salah satu solusi alternatif terhadap persoalan pertentangan
antara bunga bank dengan riba. Demikian kerinduan umat islam yang ingin melepaskan diri
dari persoalan riba telah mendapat jawaban dengan lahirnya Bank Syariah di Indonesia
pada sekitar tahun 90an atau tepatnya setelah ada peraturan pemerintah No.72 tahun 1992,
direvisi dengan UU No.10 tahun 1988. Pada Bank Syariah kedudukan hubungan antara Bank
dengan para kliennya adalah sebagai mitra investor dan pedagang, sedangkan pada Bank
konvensional pada umumnya, hubungan antara Bank dengan kliennya adalah sebagai
kreditur dan debitur. Dalam beberapa hal bank konvensional dan Bank Syariah memiliki
persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer teknologi
komputer yang digunakan untuk syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan dan lain
sebagainya. Bank syariah menjalankan setiap kegiatannya berdasarkan prinsip syariah yang
bersumber dari Al-Qur’an, Hadist, dan fatwa ulama (MUI). Hukum dari bank syariah juga
diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian landasan hukum ini dengan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan Tahun 2008, UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Undang-Undang tersebut menjadi dasar hukum khusus yang mengatur
kegiatan perbankan syariah, Di samping itu, bank syariah juga tunduk pada peraturan yang
dikeluarkan oleh BI/OJK serta fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.1 Sementara itu, bank
konvensional memiliki sistem operasional yang bebas nilai. Maksudnya, bank konvensional
berdiri sendiri dan bebas dari nilai-nilai agama seperti yang dianut bank syariah. Bank
konvensional dapat menjalankan peranannya dan bebas melakukan kegiatan apa saja selama
mendatangkan keuntungan dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh BI/OJK saja.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bank konvensional yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana
maupun dalam rangka penyaluran dananya, memberikan dan mengenakan imbalan berupa
bunga atau sejumlah imbalan dalam persentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu.
Persentase tertentu ini biasanya ditetapkan per tahun. Sedangkan Bank Syariah, yaitu bank
yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya
memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi hasil.
Perbedaan Bank Konvensional dengan Bank Syariah dapat dilihat dari perbedaan falsafah,
konsep pengelolaan dana nasabah, kewajiban mengelola zakat, dan struktur organisasinya. Di
mana Bank Konvensional berinvestasi pada usaha yang halal dan haram sedangkan Bank
Syariah berinvestasi pada usaha yang halal dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang
bersumber dari AL Qur’an dan AL Hadits.

Anda mungkin juga menyukai