Anda di halaman 1dari 56

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perekonomian Indonesia telah menikmati pertumbuhan yang stabil
selama satu dasawarsa terakhir. Namun, pertumbuhan ini telah
meningkatkan penggunaan energi dan dampak lingkungan hidup yang
menyertainya. Seperti banyak negara berkembang lainnya, Indonesia
menghadapi tantangan bagaimana melanjutkan kemajuan ekonomi
sekaligus mengurangi dampak terhadap lingkungan hidup. Pengembangan
energi bersih merupakan salah satu solusi. Indonesia telah membuat
kemajuan yang signifikan di bidang ini dalam waktu lima tahun terakhir,
khususnya dalam hal memperkenalkan kebijakan dan inisiatif di sektor
publik dan swasta untuk mendorong investasi di bidang energi bersih
(energi terbarukan dan efisiensi energi).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud pembangkit listrik
2. Macam-macam pembangkit listrik
3. Bagaimana cara mengurangi emisi pada pembangkit listrik
4. Apa dampak dari emisi pembangkit listrik
5. Bagaimana cara meningkatkan efisiensi pada pembangkit listrik
6. Bagaimana peraturan yang mengatur mengenai emisi pada pembangkit
listrik
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai pembangkit listrik
2. Untuk megetahui macam-macam pembangkit listrik
3. Untuk mengetahui cara mengurangi emisi pada pembangkit
listrik
2

4. Untuk mengetahui dampak dari emisi pembangkit listrik


5. Untuk mengetahui cara meningkatkan efisiensi pada
pembangkit listrik
6. Untuk mengetahui peraturan mengenai emisi pada
pembangkit listrik
1.4 Manfaat
1. Mengetahui maksud pembangkit listrik
2. Mengethaui teknologi yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi
dan teknologi untuk mengurangi emisi pada pembangkit listrik.
3. Mengetahui dampak dari emisi
4. Mengetahui sistem peraturan yang membahas mengenai emisi pada
pembangkit listrik
3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pembangkit Listrik
Secara harfiah bahawa pembangkit adalah sesutu hal yang dapat
membangkitkan atau suatu aktivitas yang bisa membangkitkan sesuatu, atau
timbulnya efek (hasil) tertentu akibat adanya pembangkitan.
Dalam sistem tenaga listrik, yang dimaksudkan pembangkitan adalah
pembangkit tenaga listrik.
Definisi pembangkit tenaga listrik :
 Suatu sub sistem dari sistem tenaga listrik yang terdiri dari instalasielektrikal,
mekanikal, bangunan-bangunan (civil works), bangunanpelengkap serta bangunan
dan komponen bantu lainnya.
 Berfungsi untuk merubah energi (potensi) mekanik menjadi energi(potensi) listrik.
Dalam mendefinisikan pengertian pembangkit listrik, akan muncul
berbagaidefinisi/ pengertian, tergantung dari sudut mana orang melihat,
memahami,mengasumsikan dan mendefinisikannya.
2.2 Macam-Macam Pembangkit Listrik
1. PLTA
Air adalah sumber daya alam yang merupakan energi primer potensial untuk
Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA), dengan jumlah cukup besar di Indonesia. Potensi
tenaga air tersebut tersebar di seluruh Indonesia. Dengan pemanfaatan air sebagai
energi primer, terjadi penghematan penggunaan bahan bakar.
4

Gambar 2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Air


(Sumber : https://porgas.files.wordpress.com/2015/06/plta.jpg)
2. PLTU
Uap yang terjadi dari hasil pemanasan boiler/ketel uap pada Pusat Listrik Tenaga
Uap (PLTU) digunakan untuk memutar turbin yang kemudian oleh generator diubah
menjadi energi listrik. Energi primer yang digunakan oleh PLTU adalah bahan bakar
yang dapat berwujud padat, cair maupun gas. Batubara adalah wujud padat bahan
bakar dan minyak merupakan wujud cairnya.
5

Gambar 2.2 Pembangkit Listrik Tenaga Uap


(Sumber : https://tapakpakulangit.files.wordpress.com/2009/11/siklus-pltu-lengkap.jpg?
w=478&h=296)
3. PLTGU
Gas dan Uap Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) merupakan kombinasi
antara PLTG dan PLTU. Gas buang PLTG bersuhu tinggi akan dimanfaatkan kembali
sebagai pemanas uap di ketel penghasil uap bertekanan tinggi.
6

Gambar 2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap


(Sumber : https://taksekedarmenulis.files.wordpress.com/2011/07/pln_pltgu.jpg)
4. PLTP
Panas Bumi Panas bumi merupakan sumber tenaga listrik untuk pembangkit Pusat
Listrik Tenaga Panas (PLTP). Sesungguhnya, prinsip kerja PLTP sama saja dengan
PLTU. Hanya saja uap yang digunakan adalah uap panas bumi yang berasal langsung
dari perut bumi. Karena itu, PLTP biasanya dibangun di daerah pegunungan dekat
gunung berapi. Biaya operasional PLTP juga lebih murah daripada PLTU, karena tidak
perlu membeli bahan bakar, namun memerlukan biaya investasi yang besar terutama
untuk biaya eksplorasi dan pengeboran perut bumi.Ilustrasi siklus perubahan energi
pada PLTP :Uap panas bumi didapatkan dari suatu kantong uap di perut bumi.
7

Gambar 2.4 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi


(Sumber :
https://1.bp.blogspot.com/-P7bXCsWU1Co/WGP8ggSiaeI/AAAAAAAAC6s/TjywuebFJEI7l-
nIquV13m2l8KSkSF05wCEw/s400/prinsip-kerja-pltp.jpg)
5. PLTD
Diesel Pusat Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbahan bakar BBM (solar), biasanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam jumlah beban kecil, terutama untuk
daerah baru yang terpencil atau untuk listrik pedesaan. Di dalam perkembangannya
PLTD dapat juga menggunakan bahan bakar gas (BBG).Mesin diesel ini menggunakan
ruang bakar dimana ledakan pada ruang bakar tersebut menggerak torak/piston yang
kemudian pada poros engkol dirubah menjadi energi putar. Energi putar ini digunakan
untuk memutar generator yang merubahnya menjadi energi listrik. Untuk meningkatkan
efisiensi udara yang dicampur dengan bahan bakar dinaikkan tekanan dan
temperaturnya dahulu pada turbo charger. turbo charger ini digerakkan oleh gas buang
hasil pembakaran dari ruang bakar.
8

Gambar 2.5 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel


(Sumber : http://rohmattullah.student.telkomuniversity.ac.id/files/2015/09/PLTD-1.jpg)
6. PLTS
Pada prisipnya panel surya Solar Cell mengubah sinar matahari menjadi energi
listrik yang kemudia disimpan dalam batterei atau aki untuk digunakan setiap saat.
Digunakan secara besar-besaran, untuk lingkungan tertentu atau satu unit rumah atau
bangunan.

Gambar 2.6 Pembangkit Listrik Tenaga Surya


(Sumber :
http://3.bp.blogspot.com/-np27ceHPVf8/UJUcB-XZtFI/AAAAAAAAAkQ/NJws_kppi9E/s1600/
PLTS+Termal.jpg)
9

7. PLTO
Salah satu energi di laut tersebut adalah energi ombak yang merupakan sumber
energi yang cukup besar. Ombak merupakan gerakan air laut yang turun-naik atau
bergulung-gulung, merupakan energi alternatif yang dibangkitkan melalui efek gerakan
tekanan udara akibat fluktuasi pergerakan gelombang.

Gambar 2.7 Pembangkit Listrik Tenaga Ombak


(Sumber : https://niken11.files.wordpress.com/2009/09/1032148_wave_generator_inf300.gif?
w=600)
8. PLTG
Gas yang dihasilkan dalam ruang bakar pada pusat listrik tenaga gas (PLTG) akan
menggerakkan turbin dan kemudian generator, yang akan mengubahnya menjadi energi
listrik. Sama halnya dengan PLTU, bahan bakar PLTG bisa berwujud cair (BBM)
maupun gas (gas alam). Penggunaan bahan bakar menentukan tingkat efisiensi
pembakaran dan prosesnya.Prinsip kerja PLTG adalah sebagai berikut, mulamula udara
dimasukkan dalam kompresor dengan melalui air filter/penyaring udara agar partikel
debu tidak ikut masuk dalam kompresor tersebut. Pada kompresor tekanan udara
dinaikkan lalu dialirkan ke ruang bakar untuk dibakar bersama bahan bakar.
10

Gambar 2.8 Pembangkit Listrik Tenaga Gas


(Sumber : http://rohmattullah.student.telkomuniversity.ac.id/files/2015/09/PLTG.jpg)
9. PLTSa
Selain dengan cara pengelolaan tersebut di atas ada cara lain yang akan
dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung yaitu sampah dimanfaatkan menjadi
sumber energi listrik (Waste to Energy) atau yang lebih dikenal dengan PLTSa
(Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Konsep Pengolahan Sampah menjadi Energi
(Waste to Energy) atau PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga sampah).
Dikota-kota besar di Eropah, Amerika, Jepang, Belanda dll waste energy sudah
dilakukan sejak berpuluh tahun lalu, dan hasilnya diakui lebih dapat menyelesaikan
masalah sampah. Pencemaran dari PLTSa yang selama ini dikhawatirkan oleh
masyarakat sebenarnya sudah dapat diantisipasi oleh negara yang telah menggunakan
PLTSa terlebih dahulu. Pencemaran- pencemaran tersebut seperti :

 Dioxin
Dioxin adalah senyawa organik berbahaya yang merupakan hasil sampingan dari
sintesa kimia pada proses pembakaran zat organik yang bercampur dengan bahan
11

yang mengandung unsur halogen pada temperatur tinggi, misalnya plastic pada
sampah, dapat menghasilkan dioksin pada temperatur yang relatif rendah seperti
pembakaran di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) (Shocib, Rosita,
2005).PLTSa sudah dilengkapi dengan sistem pengolahan emisi dan efluen, sehingga
polutan yang dikeluarkan berada di bawah baku mutu yang berlaku di Indonesia, dan
tidak mencemari lingkungan.

 Residu
Hasil dari pembakaran sampah yang lainnya adalah berupa residu atau abu
bawah (bottom ash) dan abu terbang (fly ash) yang termasuk limbah B3, namun
hasil-hasil studi dan pengujian untuk pemanfaatan abu PLTSa sudah banyak
dilakukan di negara-negara lain. Di Singapura saat ini digunakan untuk membuat
pulau, dan pada tahun 2029 Singapura akan memiliki sebuah pulau baru seluas 350
Ha (Pasek, Ari Darmawan, 2007).PLTSa akan memanfaatkan abu tersebut sebagai
bahan baku batako atau bahan bangunan.

 Bau
Setiap sampah yang belum mengalami proses akan mengeluarkan bau yang tidak
sedap baik saat pengangkutan maupun penumpukkan dan akan mengganggu
kenyamanan bagi masyarakat umum.Untuk menghindari bau yang berasal dari
sampah akan dibuat jalan tersendiri ke lokasi PLTSa melalui jalan Tol, di sekeliling
bagunan PLTSa akan ditanami pohon sehingga membentuk greenbelt (sabuk hijau)
seluas 7 hektar.
12

Gambar 2.9 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah


(Sumber : http://beritamusi.co.id/wp-content/uploads/2016/03/PLTSa.jpg)
10. PLTN
Prinsip kerja PLTN, pada dasarnya sama dengan pembangkit listrik konvensional,
yaitu ; air diuapkan di dalam suatu ketel melalui pembakaran. Uap yang dihasilkan
dialirkan ke turbin yang akan bergerak apabila ada tekanan uap. Perputaran turbin
digunakan untuk menggerakkan generator, sehingga menghasilkan tenaga listrik.
Perbedaannya pada pembangkit listrik konvensional bahan bakar untuk menghasilkan
panas menggunakan bahan bakar fosil seperti ; batubara, minyak dan gas. Dampak dari
pembakaran bahan bakar fosil ini, akan mengeluarkan karbon dioksida (CO2), sulfur
dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (Nox), serta debu yang mengandung logam berat.
Sisa pembakaran tersebut akan ter-emisikan ke udara dan berpotensi mencemari
lingkungan hidup, yang bisa menimbulkan hujan asam dan peningkatan suhu global.
13

Gambar 2.10 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir


(Sumber :
http://3.bp.blogspot.com/-uxqxL0Uh7FM/VHFtXipYllI/AAAAAAAAAGw/auquGhgIQ1E/s1600/
PLTN.jpg)
11. PLTPS
Energi pasang surut (tidal energy) merupakan energi yang terbarukan. Prinsip kerja
nya sama dengan pembangkit listrik tenaga air, dimana air dimanfaatkan untuk memutar
turbin dan mengahasilkan energi listrik.
14

Gambar 2.11 Pembangkit Listrik Tenaga Pasang Surut


(Sumber : https://aslenv.com/images/asfm-XSection.gif)
2.3 Kontrol Emisi
Jika dibiarkan tidak terkendali, pembangkit listrik dapat mengeluarkan sejumlah
polutan udara yang menyebabkan polutan ambien tingkat melampaui standar yang
dirancang untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Misalkan pada
Pembangkit listrik 1.000 MW membakar batubara dengan kandungan mineral 10%
dan kandungan belerang 2%. Ini adalah pembangkit berbeban dasar yang bekerja
pada kapasitas 100% dan efisiensi termal 35%. Batubara memiliki nilai kalor 12.000
−1
Btu lb (≈ 28 MJ kg −1). Semua konten mineral keluar dari tumpukan asap sebagai
partikel (fly ash), dan belerang keluar sebagai SO2 sulfur dioksida. Tanaman ini akan
mengeluarkan 3.2E(5) t y –1 partikel dan 1.3E (5) t y −1 SO2 (sulfur dioksida memiliki
dua kali berat molekul sulfur). Selain itu, tanaman akan mengeluarkan banyak oksida
nitrogen, produk yang tidak lengkap pembakaran (PIC), karbon monoksida, dan
logam jejak mudah menguap. Jelas, kekuatan yang tak terkendali tanaman dapat
menimbulkan risiko besar bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, di
sebagian besar negara, peraturan lingkungan mengharuskan operator pembangkit
15

listrik memasang kontrol emisi perangkat untuk polutan ini. Perangkat ini
berkontribusi signifikan terhadap modal dan biaya operasi dari pabrik, dan
mengurangi tingkat efisiensi termal, karena perangkat menyedot beberapa dari output
daya dari pabrik. Biaya ini diteruskan kepada pelanggan sebagai biaya tambahan
listrik. Perangkat kontrol juga menghasilkan aliran limbah, karena apa yang tidak
diemisikan atmosfer biasanya berujung sebagai aliran limbah padat atau cair.
2.3.1 Pengendalian Produk Tidak Lengkap
Pembakaran dan Karbon Monoksida
Kontrol PIC dan CO relatif mudah dilakukan. Jika bahan bakar dan udara
tercampur dengan baik, begitu juga kasus dalam pembakar modern, dan bahan bakar
dibakar di udara berlebih, gas asap akan mengandung sangat sedikit, jika ada, PIC dan
CO. Adalah demi kepentingan pembangkit listrik untuk mencapai campuran yang
baik, bahan bakar yang ramping (airrich) nyala api, bukan hanya untuk mengurangi
emisi polutan ini, tetapi juga untuk membakar habis bahan bakar, yang meningkatkan
efisiensi termal dari pabrik. Emisi PIC dan CO memang terjadi kadang-kadang,
terutama selama start-up dan kerusakan komponen, ketika suhu nyala dan campuran
bahan bakar-udara tidak optimal. Di bawah kondisi tersebut, asap hitam yang terlihat
berasal dari tumpukan asap. Kejadian-kejadian ini harus langka dan tidak boleh
berkontribusi secara signifikan terhadap ambien konsentrasi polutan ini.
2.3.2 Kontrol Partikel
Partikel, juga disebut partikel (PM), akan menjadi pencemar utama yang berasal
dari pembangkit listrik itu tidak dikendalikan pada sumbernya. Ini berasal dari fakta
bahwa batubara, dan bahkan minyak, mengandung fraksi yang signifikan berdasarkan
berat mineral yang tidak tahan api. Dalam yang lebih tua, stoker-fed dan tanaman
pembakar siklon, materi mineral terakumulasi di bagian bawah boiler sebagai dasar
abu dan dibuang sebagai sampah padat atau diambil di air dan dibawa pergi. Dalam
pulverized modern pembangkit listrik tenaga batubara sebagian besar (≈ 90%) dari
bahan mineral dikeluarkan dari boiler sebagai fly ash. Fly ash mengandung (a)
sejumlah logam beracun, seperti arsenik, selenium, kadmium, mangan, kromium,
16

timbal, dan merkuri, dan (b) bahan organik nonvolatile (jelaga), termasuk polycyclic
aromatic hydrocarbons (PAHs); ini akan menimbulkan kesehatan masyarakat dan
lingkungan risiko jika dipancarkan ke atmosfer. Oleh karena itu, sebagian besar
negara memberlakukan peraturan ketat emisi partikel dari pembangkit listrik.
Di Amerika Serikat, pembangkit listrik yang dibangun antara 1970 dan 1978
harus memenuhi standar untuk PM emisi maksimum 0,03 lb per juta input panas Btu
(0,013 kg / GJ). Untuk pembangkit listrik yang dibangun setelah 1978, tidak ada
standar numerik, tetapi yang disebut Teknologi Kontrol Terbaik yang Tersedia
(BACT) standar berlaku (lihat Bagian 9.2.1). Saat ini, BACT untuk pembangkit listrik
adalah elektrostatik precipitator.
Precipitator Elektrostatik. ESP ditemukan pada awal 1900-an oleh F. G. Cottrell
di University of California, Berkeley, untuk mengumpulkan kabut asam dalam
pembuatan asam sulfat tanaman. Itu segera diterapkan untuk mengumpulkan debu di
tanur semen, peleburan timah, tar, kertas dan bubur kertas pabrik, dan pabrik lainnya.
Dimulai pada 1930-an dan 1940-an, ESP diterapkan pada tenaga batubara tanaman.
Instalasi ESP awal mendahului peraturan lingkungan; mereka diinstal melindungi
pemilik dari kemungkinan pertanggungjawaban karena emisi partikel dapat
menyebabkan kesehatan bahaya. ESP bekerja berdasarkan prinsip pengisian partikel
negatif oleh pelepasan korona dan menarik partikel bermuatan ke pelat yang diarde.
Skema ESP diberikan pada Gambar 5.6. Beberapa kabel pengisi daya ditunda di
antara dua pelat sejajar. Tegangan negatif yang tinggi, pada urutan 20 hingga 100 kV,
diterapkan pada kabel. Ini menyebabkan medan listrik terbentuk antara kabel-kabel
dan lempeng-lempeng sepanjang elektron bergerak dari kabel menuju lempengan. Ini
disebut discharge korona. Elektron bertabrakan dengan molekul gas, terutama dengan
oksigen, menciptakan ion negatif. Ion-ion molekul terus bergerak sepanjang garis
medan, bertabrakan dengan partikel dan mentransfer muatan negatif ke partikel.
Sekarang, partikel bermigrasi ke piring di mana mereka muatan dinetralisir. Partikel
netral terguncang dari pelat dengan mengetuk mereka secara berkala. Partikel jatuh ke
dalam gerbong dari mana ada yang dibawa pergi. Efisiensi pengumpulan ESP
17

tergantung pada banyak faktor, terutama diameter partikel(semakin kecil diameter,


semakin kurang efisiensi), area pelat, laju aliran volumetrik dari flue gas yang lewat di
antara lempengan, dan kecepatan migrasi partikel ke arah lempeng, Efisiensi

Gambar 2.12 Precipitator elektrostatik, skematik.


(Sumber : 2002, Energy and the Environment)

ƞ = 1 - exp (−wA / Q)
dimana w adalah kecepatan migrasi, A adalah total area lempengan, dan Q
adalah laju alir volumetrik. Kecepatan migrasi diperkirakan dari w ≈ 0.05dp ms − 1
ketika diameter partikel dp adalah diberikan dalam µm. Sebenarnya, w adalah fungsi
dari tegangan dan tahanan listrik dari partikel. Ironisnya, semakin tinggi kandungan
sulfur batubara, semakin rendah resistivitas fly ash dan lebih tinggi kecepatan migrasi.
Namun, semakin tinggi kandungan sulfur batubara, gas asam yang lebih tinggi emisi,
jadi ada trade-off.
Misalnya, pertimbangkan pembangkit listrik tenaga batubara 1000 MW
dengan efisiensi termal sebesar 36% menggunakan batubara dengan nilai pemanasan
12.000 Btu lb − 1 (7,75 kWh kg − 1). Tanaman ini akan mengkonsumsi batubara
dengan laju 99,6 kg s − 1. Dengan asumsi bahwa komposisi atom dari bagian batu
18

bara yang mudah terbakar adalah CH dan batubara dibakar dengan 20% kelebihan
udara, pembakaran menghasilkan gas buang dengan laju Q = 1260 m3 s − 1. Jika
partikel dengan diameter 1-µm dikumpulkan dengan efisiensi 95%, kita
membutuhkan area piring A = 75,500 m2. Jika masing-masing lempeng berukuran 20
× 5 m, dan dua sisi lempengan mengumpulkan partikel, kita membutuhkan 377 piring.
Gambar 5.7 memberikan efisiensi pengumpulan ESP dengan yang disebutkan di atas
spesifikasi sebagai fungsi dari diameter partikel. Terlihat bahwa untuk diameter
partikel lebih besar dari 1μm, efisiensi mendekati 100%, tetapi partikel submikron
tidak dikumpulkan secara efisien sama sekali.
Gambar cutable dari ESP besar ditunjukkan pada Gambar 5.8. Biasanya lebar
keseluruhan dari sebuah ESP sekitar 20–30 m, dan panjang keseluruhannya adalah
18-20 m. Dimensi pelat umum adalah 20 × 5 m, jarak lempeng adalah 0,25 m, dan
jumlah lempengan dalam ratusan. Setelah keluar dari boiler, gas buang dipindahkan
ke ESP dalam saluran besar. Dari ESP, gas buang yang dibersihkan masuk ke dalam
tumpukan asap. ESP, bersama dengan perumahannya, transformer, gerbong, dan teluk
truk, dapat ditempati
19

Gambar 2.13 Partikel pengumpulan efisiensi presipitator elektrostatik


(Sumber : 2002, Energy and the Environment)

Sebagai fungsi dari diameter partikel dihitung dari persamaan Deutsch (5.1). Laju
aliran volumetrik gas buang Q = 1260 m3 s − 1, luas pelat A = 75,500 m2, dan
kecepatan drift w = 0,05 dp m s − 1, di mana dp diberikan dalam mikrometer.

Gambar 2.14 Presipitator elektrostatik, cutaway


(Sumber : 2002, Energy and the Environment)
struktur setengah ukuran boiler dari pembangkit listrik. Kekuatan yang ditarik
oleh ESP, termasuk penggemar yang menggerakkan gas buang melaluinya, dan energi
mekanik untuk mengetuk pelat yang dikonsumsi kurang dari 0,1% dari output daya
pabrik. Biaya yang diratakan (modal yang diamortisasi dan operasi biaya)
menjalankan ESP dapat menambah 6-10% untuk biaya pembangkit listrik.
Efisiensi pengumpulan partikel kecil yang relatif rendah oleh ESP yang ada
menimbulkan masalah ke operator pembangkit listrik yang ada karena lembaga
perlindungan lingkungan di beberapa negara-negara, terutama Amerika Serikat,
20

berencana untuk memperkenalkan standar ambient baru untuk partikel kurang dari 2,5
μm dengan diameter. Standar baru mungkin memerlukan retrofitting pembangkit
listrik dengan perangkat itu mengumpulkan partikel kecil yang lebih efisien, seperti
filter kain.
Filter Kain. Filter kain, juga disebut baghouse, bekerja berdasarkan prinsip
vakum domestik pembersih. Gas yang bermuatan partikel dimasukkan ke dalam
kantong kain, partikel disaring keluar, dan yang bersih gas dilepaskan ke atmosfer.
Ukuran pori kain dapat dipilih untuk menyaring ukuran apa pun partikel, bahkan
partikel submikron, meskipun dengan mengorbankan daya yang diperlukan untuk
mendorong buang gas melalui penurunan tekanan yang diwakili oleh pori-pori kain.
Skema filter kain khas ditunjukkan pada Gambar 5.9. Panjang, tabung silinder
(tas) terbuat dari kain yang dipilih disegel di satu ujung dan terbuka di ujung yang
lain. Ujung tabung yang tertutup rapat digantung terbalik dari rak yang dapat
diguncang secara mekanis. Gas asap yang mengandung partikel masuk melalui bagian
bawah, ujung tabung yang terbuka. Gas buang bersih tersedot melalui kain tabung
oleh fan-induced draft atau pompa khusus dan dilepaskan melalui cerobong asap.
Sebuah baghouse untuk pembangkit listrik besar mungkin berisi beberapa ribu
tabung, masing-masing hingga 4 meter, 12,5 hingga 35 cm di
21

Gambar 2.15 Baghouse dengan mekanik shaker, skematis.


(Sumber : 2002, Energy and the Environment)
diameter. Diperlukan untuk mendistribusikan gas buang yang masuk secara
merata ke semua tabung, yang dilakukan di pleno. Tabung menyediakan luas
permukaan yang besar per unit laju alir volumetrik gas. Kebalikannya disebut rasio
udara-ke-kain atau penyaringan, yang sama dengan kecepatan gas superfisial;
biasanya berkisar antara 0,5 dan 4 cm s − 1.
Partikel-partikel yang dikumpulkan dapat dihilangkan dengan
menggoyangkan tabung secara mekanis atau sebaliknya
metode jet. Gemetar mekanis disebabkan oleh rak bergerak yang digerakkan
oleh cam di mana tabung menggantung. Dalam metode reverse jet, aliran udara yang
kuat tertiup dari bagian luar tabung ke bagian dalam,
dislokasi kue partikel yang telah dibangun. Penghilangan partikel tidak selalu
lengkap, karena partikel melekat pada kain dan bersarang di pori-pori. Hal ini
22

menyebabkan sering jeda dan membutuhkan penggantian tabung kain sekitar setahun
sekali. Ironisnya, semakin tersumbat tabung, semakin baik efisiensi penyisihan, tetapi
dengan mengorbankan daya pemompaan yang harus disediakan untuk menjaga
kecepatan gas dangkal. Partikel yang dibuang jatuh ke dalam hopper bawah dari mana
mereka diangkut dengan truk.
Gas buang di pintu masuk ke baghouse memiliki suhu yang relatif tinggi 300-
350 ◦C. Juga, gas buang dapat mengandung gas korosif dan uap air. Kondisi ini
membutuhkan panas dan kain tahan korosi. Biasanya, fiberglass dipilih untuk
pembangkit listrik tenaga batu bara, sedangkan kain lain, alami atau sintetis, berlaku
untuk fasilitas lain, seperti kiln semen, besi dan smelter nonferrous, dan pabrik kertas
dan melihat.
Filter kain dengan efisiensi pengumpulan tinggi untuk partikel kecil
diharapkan memiliki tingkat yang lebih tinggi modal dan biaya operasi daripada ESP.
2.3.3 Kontrol Sulfur
Karena organisme hidup mengandung sulfur dalam make-up selulernya, sulfur
ini sebagian besar disimpan di dalam sisa-sisa fosil dari organisme ini. Batubara dapat
mengandung hingga 6% berat sulfur, dan minyak naik hingga 3%. Namun, sebagian
besar bara dan minyak mentah mengandung persentase belerang yang jauh lebih
rendah. Umumnya, batubara bituminus, subbituminous, dan lignit digunakan dalam
pembangkit listrik. Mereka mengandung 0,7-3% oleh berat belerang. Sisa minyak
yang digunakan dalam pembangkit listrik mengandung 0,7-2% belerang. Tanpa emisi
belerang perangkat kontrol, sulfur teroksidasi, terutama SO2 sulfur dioksida, sejumlah
kecil SO3, dan asam sulfat H2SO4, akan dipancarkan melalui tumpukan asap ke
lingkungan. Oksida sulfur adalah prekursor untuk deposisi asam dan visibilitas yang
merusak kabut (lihat Bagian 9.2.3 dan 9.2.7). Karena pembangkit listrik berbahan
bakar batubara memancarkan mayoritas dari semua emisi oksida belerang di seluruh
dunia (Boiler industri, peleburan nonferrous, diesel dan minyak pemanas rumah
membentuk sisa sulfur emisi), operator dari pabrik-pabrik ini diminta untuk
membatasi emisi dengan baik beralih ke belerang rendah mengandung bahan bakar
23

atau pemasangan perangkat kontrol emisi belerang.


Pada dasarnya ada tiga pendekatan untuk mengurangi emisi sulfur: sebelum,
selama, dan sesudahnya pembakaran bahan bakar fosil.

Sebelum Pembakaran
Cuci Batubara. Ketika batubara dihapus dari lapisan batubara di tambang bawah
tanah atau permukaan, di sana selalu ada materi mineral yang termasuk dalam batu
bara. Mayoritas materi mineral tersusun silikat, oksida, dan karbonat dari unsur kerak
umum, seperti kalsium, magnesium, aluminium, dan besi, tetapi beberapa
mengandung pirit, yang merupakan sulfida dari besi, nikel, tembaga, seng, timah, dan
logam lainnya. Karena berat jenis mineral, termasuk pirit, lebih besar dari batubara
karbon, bagian dari materi mineral dapat dihilangkan dengan "Mencuci" batu bara.
Pencucian batu bara tidak hanya mengurangi kandungan sulfur batubara, tetapi juga
mengurangi kandungannya kadar abu, sehingga meningkatkan nilai kalornya (Btu / lb
atau J / kg) dan menempatkan beban yang lebih rendah pada sistem penghilang
partikel.
Pencucian batu bara biasanya dilakukan di mulut tambang. Biasanya, batu
bara mentah yang dihancurkan melayang dalam aliran air. Partikel batubara ringan
mengambang di atas, dan mineral yang lebih berat tenggelam ke bawah. Partikel
batubara basah dipindahkan ke perangkat dewatering, umumnya filter vakum,
centrifuge, atau siklon. Batubara dapat dikeringkan lebih lanjut dalam aliran udara
panas.
Satu masalah dengan pencucian batubara adalah bahwa aliran yang
mengandung zat mineral dapat mengandung logam beracun terlarut dan dapat bersifat
asam. Peraturan ketat telah diperkenalkan di United Negara dan tempat lain untuk
mencegah pembuangan aliran asam beracun ini ke lingkungan tanpa perawatan
sebelumnya.
Di Amerika Serikat, sekitar 50% dari semua batubara yang dikirim ke
pembangkit listrik dicuci. Ini adalah terutama batubara dari poros timur dan barat
24

tengah dan strip ranjau. Batubara barat umumnya memiliki kandungan mineral dan
sulfur rendah, jadi mencuci tidak perlu. Pencucian batu bara dapat menghilangkan
hingga 50% sulfur pirit, yang setara dengan 10–25% penghilangan total kandungan
sulfur dari batu bara.
Gasifikasi Batubara. Batubara dapat dikonversi dengan proses kimia menjadi
gas, yang disebut gas sintesis, atau syngas untuk jangka pendek. Dalam proses
gasifikasi batubara, sebagian besar belerang dapat dihilangkan sebelumnya tahap
akhir gasifikasi. Bersih, syngas desulfurized dapat digunakan untuk bahan bakar
turbin gas atau pembangkit listrik siklus gabungan. Proses gasifikasi batubara akan
dijelaskan dalam Bagian 5.3.2.
Desulfurisasi minyak. Kilang dapat mengurangi kandungan sulfur minyak
mentah hampir ke yang diinginkan gelar. Ini biasanya dilakukan dalam proses
reduksi-oksidasi katalitik yang disebut proses Claus. Pertama, senyawa sulfur dalam
minyak direduksi menjadi hidrogen sulfida dengan menghembuskan gas hidrogen
melalui minyak mentah dengan adanya katalis:

dimana R adalah radikal organik. Selanjutnya, H2S dioksidasi menjadi SO2


oleh oksigen atmosfer, dan secara bersamaan SO2 dikurangi oleh H2S menjadi unsur
sulfur, juga dengan adanya katalis:

Unsur belerang merupakan hasil sampingan penting dari penyulingan minyak


dan bisa sering dilihat sebagai warna kuning gundukan di dalam kompleks kilang. Ini
adalah bahan baku utama untuk produksi asam sulfat.
Meskipun sulfur dalam minyak mentah adalah hasil sampingan yang dapat
dijual dari penyulingan minyak, kilang mengisi lebih banyak untuk produk minyak
belerang rendah. Dengan demikian, utilitas membayar harga premium untuk minyak
25

belerang rendah, dan kami membayar lebih tinggi tarif untuk listrik yang dihasilkan
oleh pembangkit listrik tenaga pembakaran minyak. Namun, biasanya lebih murah
untuk utilitas untuk membeli minyak sulfur rendah daripada untuk menghapus SO2
dari gas tumpukan.

Selama Pembakaran
Fluidized Bed Combustion. Fluidized bed combustion (FBC) adalah
pembakaran batu bara (atau lainnya bahan bakar padat) tertanam dalam bahan
granular, biasanya batu kapur, menumpang di aliran udara. Yang utama Tujuan
pengembangan FBC tidak secara khusus untuk mengurangi emisi SO2, melainkan
untuk mengaktifkan pembakaran semua jenis bahan bakar, termasuk batu bara yang
tidak dapat dipungkiri, limbah padat kota, industri dan limbah medis, kayu, tar, dan
asphaltene (residu penyulingan minyak). Batu kapur yang dicampur itu bertindak
sebagai sorben, mengekstraksi belerang dan kotoran lainnya dari bahan bakar.
Skema suatu FBC dengan injeksi batubara dan sorben simultan ditunjukkan
pada Gambar 5.10. The FBC adalah retort silindris dengan parut di bagian bawah.
Batubara yang dihancurkan, berukuran 6–20 mm, bersama-sama dengan batu kapur
(CaCO3), ditiup secara pneumatis di atas jeruji. Udara pembakaran ditiup dari di
bawah jeruji. Setelah penyulutan, campuran batu bara-batu kapur yang terbakar
mengapung di atas jeruji, naik di atas bantalan udara. Campuran yang terbakar bekerja
secara dinamis seperti fluida, maka disebut unggun terfluidisasi pembakaran. Tabung
boiler dimasukkan ke dalam unggun terfluidisasi di mana ada transfer panas langsung
dari tempat tidur ke tabung. Bank lain tabung boiler dipasang di atas tempat tidur,
yang panasnya Transfer terjadi melalui konveksi dan radiasi dari gas buang.
Belerang ditangkap oleh sorben untuk membentuk campuran kalsium sulfit
(CaSO3) dan kalsium partikel sulfat (CaSO4). Partikel-partikel ini, bersama-sama
dengan CaCO3 yang tidak bereaksi dan partikel batubara yang tidak terbakar, dibawa
dengan gas buang ke dalam siklon. Partikel yang lebih besar dipisahkan dalam siklon
dan didaur ulang ke dalam unggun terfluidisasi untuk reburning. Partikel yang lebih
26

kecil keluar dari siklon dan dihapus dalam presipitator elektrostatik atau baghouse.

Gambar 2.16 Fluidized bed combustor, skematik.


(Sumber : 2002, Energy and the Environment)
Efisiensi penangkapan SO2 di FBC tergantung pada pencampuran batu bara dan
batu kapur yang intim dan juga tergantung pada kualitas mereka. Batu kapur yang
dikalsinasi yang mengandung CaO ditemukan menjadi lebih baik sorben dari batu
kapur mentah. Rata-rata, FBC dengan suntikan batu kapur hanya menangkap sekitar
40–60% sulfur dalam batu bara.
Kelebihan FBC adalah sebagai berikut:
• Batubara berkualitas rendah dan bahan bakar lain dapat digunakan.
• Memiliki efisiensi termal yang sebanding dengan pembakaran batu bara bubuk
dengan emisi kontrol.
• Sorben murah (batu kapur).
•Suhu pembakaran lebih rendah (800–900 ◦C) dibandingkan dengan pembakaran batu
bara bubuk (1900-2000 ◦C), yang mengurangi pembentukan NOx termal.
Kerugian FBC adalah sebagai berikut:
• Efisiensi penangkapan sulfur hanya sekitar 40–60%, dan mungkin tidak memenuhi
27

standar emisi untuk SO2.


• Memiliki kapasitas konstan dan tidak bisa mengikuti beban.
• Memiliki kesulitan start-up.
• Ini menyebabkan korosi dan fouling tabung boiler.
• Karena persyaratan ketat untuk pencampuran bahan bakar, batu kapur, dan udara
yang tepat, itu tidak bisa diskalakan dengan beban pembangkit listrik besar; hanya
cocok untuk boiler berkapasitas 10 hingga 100 MW.
Singkatnya, FBC paling cocok untuk pembakaran bahan bakar berkualitas
rendah, seperti yang tidak dapat dipungkiri batubara, residu minyak mentah, kayu,
dan limbah kota dan industri. Pengurangan emisi belerang-kapasitas tion terbatas.
Sulit untuk mengukur FBC dengan persyaratan beban besar terpusat pembangkit
listrik.

Setelah Pembakaran
Penghapusan oksida sulfur dari gas buang setelah pembakaran bahan bakar
dalam tungku atau boiler disebut flue gas desulfurization (FGD). Ada beberapa
metode FGD: injeksi sorben dan scrubber basah dan kering.
Sorben Injeksi. Dalam sorben injeksi (SI), sorben, biasanya kering disinter
CaCO3 atau CaO, atau a bubur, disuntikkan ke gas buang di bagian atas boiler,
melewati leher. Itu serapan SO2 berlangsung sama seperti pada FBC dengan
membentuk campuran kalsium sulfit dan sulfat. Efisiensi penangkapan tergantung
pada banyak faktor: suhu, kandungan oksigen dan kelembaban gas buang, waktu
kontak antara sorben dan SO2, dan karakteristik sorben (misalnya, sorben disinter,
porositas, pencampuran agen penyerap lainnya). Partikel yang dihasilkan, terdiri dari
hidrat kalsium sulfit dan sulfat dan sorben yang tidak bereaksi, di samping fly ash,
perlu ditangkap dalam presipitator elektrostatik atau baghouse.
Injeksi sorben dapat dipasang ke pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada,
meskipun partikel sistem penghapus mungkin harus ditingkatkan untuk
mengumpulkan beban partikel yang jauh lebih besar. Itu efisiensi penangkapan sulfur
28

adalah rata-rata 50%, yang mungkin cukup untuk memenuhi emisi pengurangan kuota
untuk pembangkit listrik yang ada, tetapi tidak cukup untuk standar emisi kekuatan
baru tanaman. Scrubber Basah. Dalam scrubber basah, gas asap diperlakukan dengan
bubur berair dari sorben, biasanya batu kapur (CaCO3) atau kapur yang dikalsinasi
(CaO), di menara terpisah. Skema dari scrubber basah ditunjukkan pada Gambar 5.11.
Setelah mengeluarkan presipitator elektrostatis, gas buang memasuki penyerapan
menara di mana disemprotkan melalui array nozel dengan bubur dari sorben. Pengikut
urutan reaksi terjadi antara SO2 dan slurry sorben:

Molekul air yang melekat pada kalsium sulfit dan sulfat disebut air kristalisasi.
Hidrat kalsium sulfat mirip dengan gipsum alami.
Campuran yang terbentuk dari kalsium sulfit terhidrasi dan sulfat, bersama
dengan beberapa yang tidak bereaksi batu kapur, jatuh ke dasar scrubber basah dalam
bentuk lumpur basah, dari tempatnya ditransfer ke dalam pengental berbentuk corong.
Minuman keras atas dari pengental dituangkan ke dalam tangki melimpah, dari
tempat itu didaur ulang untuk membuat bubur batu kapur segar. Ketebalan yang
mantap sludge dipompa ke dalam sistem penyaringan vakum di mana ia dikeringkan
sebanyak mungkin. Kedua hydrated CaSO3 dan CaSO4 sulit untuk dikeringkan;
mereka membentuk lumpur agar-agar. Lumpur ini dapat menebal lebih jauh dengan
fly ash yang berasal dari ESP, kemudian dibuang ke tempat pembuangan akhir.
Di atas nosel semprot, kabut eliminator mengembunkan air. Gas buang bersih
memasuki reheater (untuk menambah daya apung), dan kemudian keluar melalui
cerobong asap.
Meskipun disempurnakan selama beberapa dekade terakhir, para penggosok
basah masih menimbulkan banyak masalah operasional. Nosel semprot cenderung
menyumbat; lumpur sering menempel ke bagian bawah dan sisi menara absorpsi,
29

Gambar 2.17 Basah penggosok batu kapur, skematis.


(Sumber : 2002, Energy and the Environment)
dari mana ia harus dihapus secara mekanis; bubur kapur dan batu kapur sangat
korosif, sistem dewatering rentan terhadap kerusakan; endapan yang dikeringkan sulit
untuk diangkut ke situs pembuangan. Sering padam mungkin masih dialami, dan
karena pembangkit listrik tidak mampu untuk menginstal sistem ganda, selama
scrubber padam gas buang SO2 yang mengandung hanya dilewati langsung ke
tumpukan asap.
Penyerapan SO2 oleh batu kapur jauh lebih lengkap dalam bubur berair dari
scrubber basah dari pada pembakaran unggun terfluidisasi atau injeksi sorben.
Scrubber basah yang dirancang dengan baik dapat dilepas seperti sebanyak 90-99%
sulfur dalam gas buang. Persyaratan daya (pompa, filter, pemanas ulang, dll.)
dapat menyedot 2-3% dari output listrik pembangkit listrik, sehingga mengurangi
panas keseluruhan efisiensi dengan jumlah yang sama. Modal diamortisasi dan biaya
operasinya dapat menambahkan 10–15% pada biaya pembangkitan listrik.
30

Scrubber Kering. Mekanisme reaksi kimia dalam scrubber kering mirip dengan
yang di basah scrubber; yaitu CaCO3, CaO, atau keduanya digunakan untuk
menyerap SO2 dari gas buang, membentuk campuran kalsium sulfit dan sulfat.
Perbedaannya adalah bahwa dalam scrubber kering sorben diperkenalkan sebagai
semprotan yang sangat halus dari bubur encer. Gas asap panas ditiup berlawanan arah
dengan bubur semprot. Proporsi bubur dan gas asap diukur dengan cermat, sehingga
bubur sepenuhnya menguap di dalam scrubber. Sedemikian rupa, bubuk kering
kalsium sulfit, sulfat, dan sorben yang tidak bereaksi dibuat. Di sini, sistem
penghilangan partikel, biasanya filter kain, dipasang hilir scrubber, berbeda dengan
wet scrubber, tempat sistem penghilangan partikel, biasanya ESP, adalah hulu dari
scrubber. Dengan demikian, scrubber kering tidak menciptakan agar-agar lumpur
yang sulit untuk diangkut dan dibuang, tetapi itu memaksakan beban yang lebih besar
pada partikel sistem penghapus.
Efisiensi penyisihan SO2 kering scrubber tidak setinggi yang dari scrubber
basah, sebesar hingga 70–90%. Biaya modal dan operasinya agak lebih rendah
daripada penggosok basah.
Di Amerika Serikat, semua pembangkit listrik berbahan bakar batu bara baru
harus memasang scrubber, baik yang basah maupun yang basah scrubber kering,
tergantung pada kandungan sulfur batubara. Saat ini, di Amerika Serikat tentang 25%
pembangkit listrik tenaga batu bara telah memasang scrubber. Di Jerman dan Jepang
praktis semua pembangkit listrik tenaga batu bara telah memasang scrubber.
2.3.4 Pengontrolan Nitrogen Oksida
Kategori utama lainnya dari polutan yang berasal dari pembakaran bahan bakar
fosil adalah nitrogen oksida, disebut NOx, yang meliputi NO oksida nitrat, nitrogen
dioksida NO2 (dan dimer N2O4), nitrogen trioksida NO3, pentoksida N2O5, dan
nitrous oxide N2O. Selain NO dan NO2, oksida lainnya dipancarkan dalam jumlah
sangat kecil, sehingga NOx biasanya mengimplikasikan jumlah NO dan NO2.
NOx adalah polutan berbahaya karena merupakan iritan saluran pernapasan
dan merupakan pendahulu foto-oksidan, termasuk ozon, dan deposisi asam (lihat
31

Bagian 9.2.6). Saat ini, EPA AS berencana untuk memperkenalkan standar ambien
yang lebih ketat untuk ozon, yang tentu saja berarti lebih ketat pengendalian emisi
NOx dari sumber diam dan bergerak, termasuk tenaga listrik tanaman.
Batubara dan minyak mengandung nitrogen organik dalam struktur
molekulnya. Saat dibakar, bahan bakar ini menghasilkan apa yang disebut NOx BBM.
Selain itu, semua bahan bakar fosil menghasilkan NOx termal. Ini hasil dari
rekombinasi nitrogen dan oksigen atmosfer di bawah kondisi suhu tinggi yang berlaku
dalam nyala pembakaran bahan bakar fosil:

Rekombinasi ini melibatkan radikal intermediet, seperti atom oksigen dan


nitrogen, dan organik radikal, yang terbentuk pada suhu tinggi. Saat gas pembakaran
mendingin, NO terbentuk tidak kembali ke N2 dan O2, karena akan terjadi jika
keseimbangan termodinamika berlaku pada tumpukan gas suhu. Ketika gas buang
melintasi tumpukan, bagian dari NO mengoksidasi menjadi NO2 dan lainnya nitrogen
oksida.
Batubara dan pembakaran minyak menghasilkan bahan bakar dan NOx termal,
sedangkan gas alam menghasilkan hanya NOx termal. Sebagai aturan praktis,
batubara dan minyak menghasilkan jumlah bahan bakar dan panas yang sama NOx.
Gas buang dari pembakaran batubara dan minyak yang tidak terkendali mengandung
ribuan bagian per juta dengan volume NOx, sedangkan gas alam mengandung
setengah lebih banyak.
Karena nitrogen organik tidak dapat dibuang sebelum pembakaran bahan
bakar, emisi NOx Kontrol hanya dapat dicapai selama dan setelah pembakaran.

Selama Pembakaran
Low-NOx Burner. Pembakar NOx rendah (LNB) menggunakan proses yang
disebut pembakaran bertahap. Itu Kenyataan bahwa pembentukan NOx adalah fungsi
rasio udara-ke-bahan bakar (menurut berat) dalam nyala api dieksploitasi LNB. Rasio
32

ini mempengaruhi suhu nyala api dan ketersediaan radikal bebas yang berpartisipasi
dalam proses pembentukan NOx. Plot konsentrasi NOx dalam rasio api versus udara
terhadap bahan bakar

Gambar 2.18 Konsentrasi oksida nitrat dalam rasio gas buang versus rasio
massa udara-ke-bakar.
(Sumber : 2002, Energy and the Environment)
33

Gambar 2.19 Pembakar NOx rendah, skematik.


(Sumber : 2002, Energy and the Environment)
disajikan pada Gambar 5.12. Terlihat bahwa dalam kondisi stoikiometri (rasio udara /
bahan bakar ≈ 15) - yaitu, kapan tepatnya oksigen udara sebanyak yang diperlukan
untuk pembakaran sempurna bahan bakar — NOx maksimum terbentuk. Kurang NOx
terbentuk baik di bawah pembakaran kaya bahan bakar dan bahan bakar kondisi.
(Kondisi kaya bahan bakar berada di sebelah kiri pada Gambar 5.12; kondisi bahan
bakar bersandar adalah untuk hak.)
Skema LNB disajikan pada Gambar 5.13. Bahan bakar (misalnya, bubuk batu
bara) dan udara disuntikkan melalui pusat anulus pembakar. Rasio udara / bahan
bakar kurang dari stoikiometri, itu adalah, kaya bahan bakar. Ini menghasilkan nyala
bercahaya, dengan beberapa batu bara yang dihancurkan tidak terbakar, tetapi juga
dengan formasi NOx rendah, sesuai dengan sisi kiri dari Gambar 5.12. Sekunder dan
tersier udara tiba melalui annuli luar, menciptakan envelope api luar yang bahan
bakar-ramping. Di sini, semua karbon yang terbakar tidak terbakar dan kurang
terbentuk NOx, sesuai dengan sisi kanan Gambar 5.12. Hasil bersihnya adalah
habisnya bahan bakar dan kurang pembentukan NOx, menghindari puncak
Pembentukan NOx Gambar 5.12.
Retrofitting boiler dengan LNB relatif mudah dan murah untuk dicapai. Itu
tambahan biaya produksi listrik menggunakan LNB hanya 2-3%. Bahkan,
kebanyakan berbahan bakar fosil pembangkit listrik dan boiler industri telah
memasang LNB. Masalahnya adalah LNB dapat mengurangi NOx formasi hanya
sebesar 30-55% dibandingkan dengan pembakar biasa. Karena masalah asam yang
berlaku pengendapan dan konsentrasi ozon tinggi di daerah perkotaan-industri benua,
tekanan adalah memuncak pada operator pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan
boiler industri untuk mengurangi NOx lebih lanjut emisi dengan cara yang lebih
efektif daripada LNB.
34

Setelah Pembakaran
Pengurangan Catalytic Selektif. Dalam proses reduksi katalitik selektif (SCR) baik
amonia atau urea disuntikkan ke dalam reaktor katalitik melalui mana aliran gas
buang. Reaksi berikut terjadi ketika amonia disuntikkan:

Dengan demikian, NO dikurangi oleh amonia dan amonia dioksidasi oleh NO dan O2
untuk membentuk unsur nitrogen. Katalisnya adalah campuran titanium dan oksida
vanadium yang tersebar di sarang lebah struktur. Reaktor SCR ditempatkan di antara
economizer dan bagian preheater udara dari boiler, di mana suhu gas buang 300-400
◦C. Reaksinya 80-90% lengkap; dengan demikian, 10-20% NOx lolos melalui
tumpukan asap, dan 10-20% amonia yang tidak bereaksi juga lolos. Ini disebut slip
amonia. Sementara amonia adalah gas beracun, pada saat gumpalan gas buang
menyebar ke tanah, konsentrasinya tidak dianggap berbahaya.
Katalis mudah “diracuni,” terutama jika gas buang mengandung fly ash dan
sulfur oksida. (Perhatikan bahwa reaktor katalitik berada di hulu dari ESP dan
scrubber.) Oleh karena itu, katalis membutuhkan penggantian yang sering, yang
merupakan salah satu elemen biaya utama dalam mengoperasikan SCR. Untuk SCR
rekonstruksi utama diperlukan, karena reaktor katalitik harus disisipkan di antara
economizer dan bagian preheater udara dari boiler. Biaya tambahan produksi listrik di
pembangkit listrik tenaga batu bara menggunakan SCR sekitar 5–10%.
Pengurangan Nonkatalitik Selektif. Pengurangan NO dapat dilakukan pada
suhu yang lebih tinggi tanpa katalis dengan menggunakan proses reduksi nonkatalitik
selektif (SNCR). Dalam proses ini, urea digunakan sebagai pengganti amonia.
Larutan urea berair disuntikkan ke dalam superheater bagian dari boiler, dimana
suhunya sekitar 900–1000 ◦C, yang cukup tinggi untuk reaksi untuk mendekati
hampir selesai:

Banyak operator pembangkit tenaga listrik lebih memilih opsi ini karena tidak
35

memerlukan katalis. Namun, urea lebih mahal daripada amonia. Opsi ini juga lebih
mudah untuk retrofitting yang ada tanaman karena injektor urea dapat dipasang
langsung ke dinding boiler.
2.3.5 Emisi Beracun
Batubara dan (pada tingkat lebih rendah) minyak mengandung mineral yang
selama proses pembakaran mungkin menghasilkan uap dan partikel beracun. Partikel
yang lebih besar dari 1-2 mikron diameternya hampir semuanya
ditangkap oleh sistem penghilangan partikel, baik oleh presipitator elektrostatik
atau filter kain. Partikel dan uap yang lebih kecil dapat lolos melalui tumpukan asap
dan mencemari lingkungan. Merkuri, selenium, kadmium, dan arsenik adalah logam
beracun semivolatil yang sebagian dapat lolos melalui tumpukan asap sebagai uap.
Secara khusus, emisi merkuri menyebabkan kekhawatiran karena konsentrasi merkuri
yang berlebihan telah ditemukan di beberapa danau dan perairan pesisir. Ikan dan
lainnya organisme akuatik dapat membiakkan bioakumulasi merkuri dan
menyebarkannya melalui rantai makanan kepada manusia. Saat ini, di Amerika
Serikat, Eropa, dan Jepang, studi sedang dilakukan sejauh ini masalah merkuri dan
teknologi yang dapat digunakan untuk mengurangi merkuri emisi dari pembangkit
listrik.9
Masalah lain yang terkait dengan pembangkit listrik tenaga batu bara adalah
emisi radon. Radon adalah disintegrasi produk uranium, mineral yang mungkin
melekat pada batubara. Radon adalah radioaktif gas yang memancarkan partikel alfa.
Bagian radon yang ada di atmosfer dapat ditelusuri pembangkit listrik tenaga batu
bara.
2.4 Hasil Emisi yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik
Secara garis besar perusahaan pembangkit listrik di Indonesia dikelompokkan
menjadi dua, yaitu pembangkit untuk kepentingan umum dan pembangkit untuk
kepentingan sendiri. Pembangkit untuk kepentingan umum sebagian besar dipasok
oleh PT. PLN (Persero) dan sebagian kecil dipasok oleh perusahaan listrik swasta,
yang sering disebut IPP (Independent Power Producer), dan koperasi. Sedangkan
36

pembangkit untuk kepentingan sendiri sering disebut captive power, yang


diusahakan oleh swasta untuk kepentingan operasi perusahaannya.
Pada tahun 1997 kapasitas terpasang dari PT PLN mencapai 18,9 GW dengan
total produksi listrik mencapai 76,6 TWh. Dari total produksi tersebut hanya 2,3 %
dibeli dari perusahaan listrik swasta maupun koperasi. Pembangkit listrik dengan
bahan bakar batubara mempunyai pangsa yang paling besar yaitu sebesar 42,0 % dari
total pembangkitan. Pangsa yang kedua adalah pembangkit listrik yang menggunakan
gas alam yaitu sebesar 38,8 %. Sisanya adalah pembangkit listrik tenaga diesel (8,7
%), pembangkit listrik tenaga air (6,9 %) dan Pembangki listrik tenaga panas bumi
(3,6 %).
Pada tahun yang sama kapasitas terpasang captive power mencapai 12,4 GW
dengan total produksi listrik mencapai 39,1 TWh. Captive power sebagian besar
menggunakan bahan bakar diesel (42,0 %) diikuti oleh batubara (29,2 %), gas alam
(17,6 %), dan tenaga air (11,2 %). Bila pembangkit dari PT PLN dan captive power
dijumlahkan maka batubara merupakan bahan bakar yang paling banyak digunakan
untuk pembangkit listrik.
Batubara diperkirakan masih menjadi bahan bakar yang paling dominan untuk
pembangkit listrik di masa datang. Proyeksi produksi listrik untuk setiap bahan bakar
ditunjukkan pada Gambar 2. Energi listrik selama periode proyeksi diperkirakan
tumbuh rata-rata sebesar 4,9 % per tahun. Batubara mempunyai pertumbuhan yang
paling tinggi yaitu sebesar 7,6 % per tahun.
37

Gambar 2.20 Proyeksi Produksi Listrik di Indonesia


(Sumber : 2000, Prospek penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit)
Pada saat ini pangsa penggunaan batubara hanya sekitar 28,7 % dan akan
meningkat pesat menjadi 74,1 % pada tahun 2025. Disamping batubara, gas alam dan
energi air cukup berperan dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 2,7 %. Pangsa gas
alam menurun dari 21,3 % pada saat ini menjadi sekitar 11,7 % pada tahun 2025.
Tenaga air pangsanya juga mengalami sedikit penurunan dari 15,3 % pada saat ini
menjadi 13 % pada akhir periode proyeksi. Bahan bakar minyak
diperkirakan tidak akan berperan untuk masa depan.
Berdasarkan proyeksi produksi listrik dapat dihitung emisi gas buang seperti
partikel, SO2, NOx, serta CO2 dan diperlihatkan pada Gambar 3. Emisi untuk
masing-masing gas meningkat sekitar antara 6-7 % per tahun. Penggunaan batubara
yang meningkat pesat merupakan penyebab utama dari makin meningkatnya emisi
gas buang.
38

*) Dihitung dari [4] dengan memperhitungkan koefisien emisi


Gambar 2.21 Emisi dari Pembangkit Listrik di Indonesia
(Sumber : 2000, Prospek penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit)
2.5 Cara Mengurangi Emisi pada Pembangkit Listrik
2.5.1 Teknologi Bersih Lingkungan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya terlihat bahwa batubara sangat
potensial digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di masa depan. Akan
tetapi banyak kendala yang dihadapi untuk memanfaatkan batubara secara besar-
besaran. Kendala tersebut antara lain :
1. batubara berbentuk padat sehingga sulit dalam penanganannya.
2. batubara banyak mengandung unsur lain, misalnya sulfur dan nitrogen yang
bisa menimbulkan emisi polutan.
3. Batubara mengandung banyak unsur karbon yang secara alamiah bila dibakar
akan menghasilkan gas CO2.
Untuk mengatasi kendala tersebut, teknologi bersih merupakan
alternatif yang dapat diterapkan. Teknologi ini dapat dikelompokkan menjadi dua
macam kategori. Yang pertama diterapkan pada tahapan setelah pembakaran dan
yang kedua diterapkan sebelum pembakaran.
39

2.5.1.1. Penerapan Teknologi Bersih Setelah Proses Pembakaran


Batubara yang dibakar di boiler akan menghasilkan tenaga listrik serta
menghasilkan emisi seperti partikel, SO2, NOx, dan CO2. Emisi tersebut dapat
dikurangi dengan menggunakan teknologi seperti denitrifikasi, desulfurisasi,
electrostratic precipitator (penyaring debu), dan separator CO2. Kecuali teknologi
separator CO2 yang masih dalam tahap penelitian, teknologi lainnya merupakan
teknologi konvensional yang saat ini sudah banyak diterapkan. Pada Gambar 4
diperlihatkan skema penggunaan dari setiap teknologi.
1. Teknologi Denitrifikasi
Teknologi ini digunakan untuk mengurangi emisi NOx. Penerapannya dapat
berupa perbaikan sistem boiler atau dengan memasang peralatan denitrifikasi pada
saluran gas buang. Boiler dapat dimodifikasi sehingga menjadi : 1. boiler dengan
metoda pembakaran dua tingkat, 2. boiler menggunakan alat pembakaran dengan NOx
rendah, 3. boiler dengan sirkulasi gas buang, dan 4. boiler yang menggunakan alat
denitrifikasi di dalam ruang bakar. Denitrifikasi dilakukan dengan menginjeksi amonia
ke dalam peralatan denitrifikasi. Gas NOx di dalam gas buang akan bereaksi dengan
amonia (dengan bantuan katalis) sehingga emisi NOx akan berkurang. Peralatan
denitrifikasi sering disebut selective catalytic reduction (SCR). Dengan peralatan ini,
NOx dalam gas buang dapat dikurangi sebesar 80-90 %.

Gambar 2.22 Tahapan Setelah Pembakaran


40

(Sumber : 2000, Prospek penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit)


2. Teknologi Dedusting
Teknologi dedusting digunakan untuk mengurangi partikel yang berupa debu.
Peralatan ini dipasang setelah peralatan denitrifikasi. Salah satu jenis peralatan ini
adalah electrostatic precipitator (ESP). ESP berupa elektroda yang ditempatkan pada
aliran gas buang. Elektroda diberi tegangan antara 40-60 kV DC sehingga dalam
elektroda akan timbul medan magnet. Partikel debu dalam gas buang yang melewati
medan magnet akan terionisasi dan akan berinteraksi dengan elektrode yang
mengakibatkan debu akan terkumpul pada lempeng pengumpul. Lempeng pengumpul
digetarkan untuk membuang debu yang sudah terkumpul. Efisiensi ESP untuk
menghilangkan debu sangat besar yaitu mencapai 99,9 %.
3. Teknologi Desulfurisasi
Teknologi ini digunakan untuk mengurangi emisi SO2. Nama yang umum untuk
peralatan desulfurisasi adalah flue gas desulfurization (FGD). Ada dua tipe FGD yaitu
FGD basah dan FGD kering. Pada FGD basah, campuran air dan gamping
disemprotkan dalam gas buang. Cara ini dapat mengurangi emisi SO2 sampai 70-95
%. Hasil samping adalah gypsum dalam bentuk cairan.
FGD kering menggunakan campuran air dan batu kapur atau gamping yang
diinjeksikan ke dalam ruang bakar. Cara ini dapat mengurangi emisi SO2 sampai 70-
97 %. FGD kering menghasilkan produk sampingan gypsum yang bercampur dengan
limbah lainnya.
4. Teknologi CO2 Removal
Beberapa negara maju seperti Jepang telah melakukan riset untuk
memisahkan gas CO2 dari gas buang dengan menggunakan cara seperti pada
pengurangan emisi SO2 dan NOx. Pemisahan ini mengggunakan bahan kimia
amino dan memerlukan energi sebesar seperempat dari energi listrik yang
dihasilkan. Cara ini belum efisien dan masih perlu disempurnakan. Gas CO2 yang
telah dipisahkan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri atau dibuang
ke dalam laut atau ke bekas tempat penambangan.
41

2.5.1.2. Penerapan Teknologi Bersih Sebelum Proses Pembakaran


Pengurangan emisi pada tahapan setelah pembakaran batubara banyak
memerlukan energi listrik sehingga kurang efisien dalam penggunaan energi. Cara
yang lebih efisien adalah bila pengurangan emisi dilakukan pada tahap sebelum
pembakaran dan sering disebut teknologi batubara. bersih. Teknologi batubara bersih
yang dibahas dalam makalah ini diantaranya adalah teknologi fluidized bed
combustion (FBC), gasifikasi batubara, magneto hydrodynamic (MHD) dan
kombinasi IGCC dengan fuel cell.
1. Teknologi FBC
Ada dua macam teknologi FBC yaitu atmospheric fuidized bed combustion
(AFBC) dan pressurized fuidized bed combustion (PFBC). Teknologi PFBC lebih
cepat berkembang dari pada AFBC karena mempunyai efisiensi yang lebih tinggi.
Skema dari PFBC ditunjukkan pada Gambar 5.
Pada proses PFBC, batubara sebelum dimasukkan ke dalam boiler dihaluskan
hingga ukuran 6-20 mm. Batubara dimasukkan dengan cara diinjeksikan melalui
lubang yang berada sedikit di atas distributor udara. Bersamaan dengan batubara
diinjeksikan juga batu kapur yang sudah dihaluskan sehingga terjadi proses
desulfurisasi.
Pembakaran dalam boiler berlangsung pada suhu yang relatif rendah yaitu
sekitar 800 °C. Suhu yang relatif rendah ini akan mengurangi emisi NOx yang
dihasilkan. Dengan menggunakan teknologi FBC, emisi SO2 dapat dikurangi 90-
95 % sedangkan emisi NOx dapat dikurangi 70-80 %.
42

Gambar 2.23 Skema Teknologi PFBC


(Sumber : 2000, Prospek penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit)
Gas hasil pembakaran mempunyai tekanan yang cukup tinggi dan bersih
sehingga bisa digunakan untuk menggerakkan turbin gas. Disamping itu gabungan
uap yang dihasilkan dari pembakaran dengan uap hasil HRSG (Heat Recovery Steam
Generator) dapat digunakan untuk menggerakkan turbin uap. Dengan demikian dapat
diperoleh siklus ganda sehingga akan menaikkan total efisiensinya. Efisiensi dari
sistem ini berkisar antara 40-44 %.
2. Teknologi Gasifikasi Batubara
Teknologi ini merupakan inovasi terbaru dalam memperbaiki metoda
pembakaran batubara. Batubara diubah bentuk dari padat menjadi gas. Perubahan
bentuk ini meningkatkan efisiensi, yaitu dengan memperlakuan gas hasil gasifikasi
seperti penggunaan gas alam. Gas tersebut bisa dimanfaatkan untuk menggerakan
turbin gas. Gas buang dari turbin gas yang masih mempunyai suhu yang cukup tinggi
dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin uap dengan menggunakan HRSG. Siklus
kombinasi ini sering dinamakan IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle).
43

Gambar 2.24 Skema Teknologi IGCC


(Sumber : 2000, Prospek penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit)
Gasifikasi dilakukan pada tahap awal proses, yaitu setelah proses
menghalusan atau pembentukan slurry. Gasifikasi dilakukan pada suhu yang cukup
tinggi yaitu sekitar 1400-1500 oC. Abu sisa pembakaran akan meleleh pada suhu
tersebut. Gas hasil gasifikasi sebelum masuk turbin gas dibersihkan dengan
menggunakan ESP dan desulfurisasi. Proses desulfurisasi ini akan menghasilkan
belerang murni yang mempunyai nilai jual tinggi. Denitrifikasi dilakukan setelah
HRSG.
Teknologi IGCC masih dalam tahap pengembangan dan diperkirakan dalam 2-5
tahun mendatang dapat beroperasi secara komersial. Efisiensi IGCC dapat mencapai
43-47 %. Emisi SO2 dan NOx dapat dikurangi masing-masing sekitar 95-99 % dan
40-95 %.
3. Teknologi MHD
MHD bekerja berdasarkan efek Faraday yaitu arus listrik DC akan timbul bila
ada konduktor yang bergerak melewati medan magnet. Untuk mendapatkan efek ini,
batubara dibakar di ruang bakar hingga temperatur mencapai 2630 oC. Pada
temperatur ini fluida kerja potassium dapat terionisasi menjadi gas yang berperan
sebagai konduktor. Gas akan melewati medan magnet dan menghasilkan tegangan
44

listrik DC. Tegangan DC diubah menjadi tegangan AC dengan menggunakan inverter


(Gambar 8).
Gas buang setelah melewati MHD masih dapat digunakan untuk menghasilkan
uap dengan bantuan HRSG. Uap akan menggerakan turbin uap dan menghasilkan
energi listrik. Dengan siklus kombinasi ini, efisiensi total dapat mencapai 55-60 %.

Gambar 2.25 Skema Teknologi MHD


(Sumber : 2000, Prospek penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit)
Pengurangan emisi SO2 dalam MHD terjadi secara alami, Potassium sebagai
fluida kerja akan bereaksi dengan belerang dari batubara dan membentuk potassium
sulfate yang terkondensasi. Fluida ini kemudian dipisahkan dari belerang dan
diinjeksikan ulang ke dalam ruang bakar. Pengurangan emisi NOx dilakukan dengan
metode pembakaran dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada ruang bakar dan tahap
kedua dilakukan di HRSG. Emisi partikel dapat dikurangi dengan menggunakan
peralatan konvensional ESP. Sedangkan emisi CO2 akan berkurang karena
meningkatnya total efisiensi.
4. Teknologi Kombinasi IGCC dan Fuel Cell
Pada IGCC dapat ditambah satu proses lagi yaitu menggunakan teknologi fuel
cell. Konfigurasi ini menghasilkan tiga buah gabungan pembangkit listrik seperti
diperlihatkan pada Gambar 7.
45

Gambar 2.26 Skema Kombinasi IGCC dan


Fuel Cell
(Sumber : 2000, Prospek penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit)
Saat ini fuel cell yang sudah digunakan untuk temperatur tinggi adalah tipe
molten carbonate fuel cell (MCFC) dan solid electrolitic fuel cell (SOFC). Tipe
MCFC beroperasi pada suhu sekitar 650 oC sedangkan tipe SOFC dapat mencapai
1000 oC. Total efisiensi dari sistem ini diperkirakan 50-55 %.
2.6 Dampak dari Emisi Pembangkit Listrik
Salah satu teknologi konversi energi adalah pembangkit tenaga listrik. Di
Indonesia dampak lingkungan dari teknologi pembangkit listrik mendapat
perhatian yang serius. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. KEP-13/MENLH/3/1995 tentang standar emisi untuk
pembangkit listrik (Tabel 1).
Tabel 2.1 Standar Emisi untuk Pembangkit Listrik

Parameter Batas Maksimum (mg/m3)


Berlaku 1995 Berlaku 2000
Total Partikel 300 150
Sulfur Dioxida (SO2) 1500 750
Nitrogen Oksida (NO2) 1700 850
Opasitas 40% 20%
(Sumber : 2000, Prospek penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit)
46

Parameter dalam standar emisi tersebut, seperti : partikel, SO2, dan NOx
adalah bahan polutan yang berhubungan langsung dengan kesehatan manusia.
Disamping itu, masyarakat internasional juga menaruh perhatian terhadap isu
lingkungan global seperti terjadinya pemanasan global. Emisi CO2 merupakan
parameter terbesar yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global.
Emisi CO2 tidak berhubungan langsung dengan kesehatan. Meskipun Indonesia
belum mempunyai kewajiban untuk mengurangi emisi ini, namun sebagai anggota
masyarakat global, Indonesia turut serta berinisiatif melakukan studi dan membuat
strategi untuk mengurangi emisi CO2.
Penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik akan dapat
meningkatkan emisi dari partikel, SO2, NOx, dan CO2. Saat ini bahan bakar
pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar
fosil, salah satunya adalah batubara. Penggunan batubara untuk bahan bakar
pembangkit listrik diperkirakan akan terus meningkat. Meskipun kandungan sulfur
batubara Indonesia relatif kecil tetapi penggunaan dalam jumlah besar akan dapat
meningkatkan emisi SO2 sehingga dapat berdampak negatif terhadap manusia dan
lingkungan hidup. Pengaruh partikel emisi terhadap kesehatan dan lingkungan
seperti pada Tabel 2. Oleh karena ini perlu adanya kajian tentang penggunaan
teknologi bersih untuk pembangkit listrik batubara yang mempunyai prospek untuk
diterapkan di Indonesia di masa mendatang.

Tabel 2.2 Pengaruh Partikel Emisi Terhadap Kesehatan dan Lingkungan

Emisi Pengaruh terhadap Pengaruh Terhadap


Kesehatan Lingkungan
- hujan asam yang dapat
- Problem saluran merusakkan lingkungan
SO2 pernapasan danau, sungai dan hutan
- radang paru-paru me- nahun - mengganggu jarak pandang
47

- hujan asam
NOx - sakit pada saluran per- napasan - ozon menipis
yang
mengakibatkan kerusakan
hutan
- iritasi pada mata dan
Partikel/ tenggorokan - mengganggu jarak- pandang
Debu - bronkitis dan kerusak- an
saluran pernapasan
Tidak berpengaruh secara - pemanasan global
CO2 langsung - merusak ekosistem
(Sumber : 2000, Prospek penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit)
2.7 Teknologi untuk Meningkatkan Efisiensi pada Pembangkit Listrik
2.7.1 Siklus Lanjutan
Kami telah melihat bahwa pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar fosil
terbaik dapat mencapai efisiensi termal dari dekat hingga 40%, tetapi rata-rata di
Amerika Serikat adalah 36%, dan rata-rata di seluruh dunia adalah 33%. Kekuasaan
tanaman yang bekerja pada prinsip turbin gas mencapai bahkan kurang, pada urutan
termal 25-30% efisiensi. Ini berarti bahwa 60-75% dari nilai pemanasan bahan bakar
fosil yang menggerakkan mereka sia-sia. Selanjutnya, emisi per kilowatt hour listrik
yang dihasilkan berbanding terbalik dengan efisiensi termal: Semakin rendah efisiensi,
semakin banyak tanaman mencemari dan semakin tinggi CO2 emisi. Dengan
demikian, upaya dan uang yang besar dihabiskan oleh lembaga swasta dan pemerintah
untuk meningkatkan efisiensi termal pembangkit listrik dengan mengembangkan
pembangkit listrik siklus lanjutan. Di Amerika Serikat, penelitian dan pengembangan
disponsori oleh Electric Power Research Institute dan Departemen Energi Amerika
Serikat.
2.7.1.1 Cogeneration Pembangkit Listrik yang Ideal

Produksi listrik dari pembangkit yang menggunakan bahan bakar fosil


adalah proses yang relatif tidak efisien. Hal ini disebabkan karena pada operasi
pembangkit itu energi panas sebagai hasil sampingan dalam bentuk uap yang
terbuang begitu saja ternyata jauh lebih besar daripada energi listrik sebagai tujuan
utama pembangkit itu. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
Pada operasi pembangkit dapat dikatakan jika setiap kWh energi listrik yang
48

diproduksi maka ada dua kWh lainnya dalam bentuk energi termal yang akan
dibuang ke lingkungan sebagai gas buang. Adapun pembangkit yang besar
menghasilkan uap panas adalah pembangkit dengan turbin uap tekanan balik (back
pressure turbine). Di mana panas yang terbuang itu tediri dari radiasi dan kerugian
yang bertumpuk pada generator uap. Dengan demikian tenaga listriknya kecil
sehingga rasio antara listrik dan panasnya yang disebut efisiensi rendah. Perbaikan
efisiensi pada mulanya dilakukan dengan cara mengurangi biaya pembangkit,
biaya bahan bakar dan biaya pemeliharaan. Peningkatan efisiensi bisa juga
dilakukan dengan teknologi sederhana yaitu dengan cara menggunakan material
dan komponen berkualitas tinggi. Sedangkan efisiensi akan lebih tinggi jika
dilakukan dengan meningkatkan teknologi energi daripada melalui peningkatan
boiler bertekanan tinggi atau turbin kondensasi.

Gambar 2.27 Sistem Koogenerasi


(Sumber : 1998, Edoc tips efisiensi turbin uap)
Seperti pada pembangkit batu bara yang pada mulanya memiliki efisiensi 20%
kemudian setelah dilakukan perbaikan pada bagian spesifikasi penguapan maka
efisiensinya bisa meningkat menjadi 30%. Di sisi lain karena adanya kemajuan
teknologi pada pembangkit tenaga uap konvensional sehingga batu bara muda bisa
digunakan sebagai bahan bakar. Kemudian pembuangan gasnya dilakukan melalui
sebuah menara pendingin akibatnya efisiensi pembangkit bisa menjadi 45%.

Efisiensi untuk pembangkit PLTU yang kecil adalah 28% dan untuk PLTU
konvensional yang menggunakan turbin uap dan boiler umumnya mempunyai
efisiensi sekitar 35%. Untuk pembangkit tenaga turbin uap yang dapat
mengoperasikan zat cair dan gas dalam ruangan pembakaran bertekanan uap 250
49

bar dan suhu 535ºC akan menghasilkan efisiensi sebesar 40%. Sementara itu dalam
air pendingin PLTU (kondensor) mengandung panas 55%. Sementara itu PLTD
memiliki efisiensi 30%, gas buang PLTD mengandung panas 25%, dan air
pendinginnya 33%. Suatu PLTG umumnya memiliki efisiensi 25 - 30% dan PLTG
modern di mana suhunya 1110ºC memiliki efisiensi 32 - 33% sedang gas buang
PLTG mengandung panas 75%. Berarti kehilangan energi termal terbesar dalam
bentuk gas buang terjadi pada turbin gas. Dengan demikian pembangkit yang
banyak mengeluarkan (menghasilkan) panas adalah PLTG. Jika gas buang itu
mencapai suhu 500º C maka gas buang itu bisa digunakan untuk memanaskan
sebuah boiler PLTU. Berarti untuk meningkatkan efisiensi pembangkit bisa
dilakukan dengan memanfaatkan panas yang terbuang.
Untuk itu teknologi yang bisa memanfaatkan energi panas yang terbuang
adalah kogenerasi.

Gambar 2.28 Koogenerasi


(Sumber : 2000, Edoc tips efisiensi turbin uap)

Cogeneration adalah teknologi untuk meningkatkan efisiensi pembangkit.


Melalui cogeneration ini ternyata efisiensi dari bahan bakar yang digunakan
pembangkit bisa mencapai 80%, akibatnya biaya produksi menjadi murah. Hal itu
dilakukan dengan cara mengolah energi panas yang berasal dari gas buang
pembangkit termal.
Dari pengolahan itu dihasilkan dua macam energi panas :
50

1. Panas yang bisa digunakan untuk kebutuhan industri


2. Panas yang dialirkan ke pembangkit sehingga penggunaan bahan bakar untuk
pemanasan pembangkit bisa dihemat.

Hal inilah yang menyebabkan efisiensi pembangkit konvensional


meningkat. Dengan demikian biaya bahan bakar yang harus dikeluarkan
pembangkit yang menggunakan cogeneration bisa dihemat.
Sedangkan keunggulan cogeneration adalah:
1. Teknologinya bersih.
2. Penggunaan bahan bakarnya efisien.
3. Mampu mengurangi emisi terhadap lingkungan.

Dengan demikian pada saat isu lingkungan merebak di mana masyarakat


menuntut supaya pembangkit listrik mengurangi emisi pada gas perusak
lingkungan sehingga mengurangi polusi, maka penggunaan cogenerationpun
semakin meningkat sehingga cogeneration telah diterima sebagai salah satu
solusi dalam upaya mengatasi pemanasan global. Di Indonesia cogeneration
dikembangkan oleh PLN khususnya pembangkit Jawa-Bali I (PJB I).
Cogeneration ini memanfaatkan sisa panas dari pembangkit berskala kecil untuk
diubah menjadi tenaga sekunder berupa uap, udara dingin dan air panas. Dengan
digunakannya cogeneration itu maka tingkat efisiensi panas yang dihasilkan
permbangkit kecil meningkat menjadi 90%.
2.7.1.2 Cogeneration Kombinasi

Cogeneration ini menggunakan prinsip siklus uap kondensor di mana di


dalam kondensat uap panas yang berasal dari air dingin diturunkan kemudian hal
ini berakibat meningkatknya energi listrik yang dihasilkannya. Pemilihan sistim
siklus kondensasi dan sistim cogeneration berdasarkan pertimbangan ekonomis.
Seperti perusahaan listrik karena tidak membutuhkan energi termal.
Berarti energi termal yang dihasilkan oleh pembangkit listrik akan
digunakan untuk meningkatkan produksi listrik untuk itu yang tepat digunakan
51

adalah sistim siklus kombinasi. Yaitu jika siklus gas dikawinkan dengan siklus uap
sehingga menjadi siklus kombinasi maka akan menyebabkan terjadinya
peningkatan efisiensi. Pada siklus kombinasi itu boiler PLTU dipanaskan hanya
oleh gas buang PLTG. Kemudian oksigen dalam pipa pembuangan turbin gas
digunakan untuk pembakaran bahan bakar primer dalam suatu sistim boiler uap
hilir. Kompresor memasok udara terkompresi ke boiler untuk melakukan proses
super canggih, kemudian boiler itu menghasilkan uap yang dapat menggerakkan
turbin uap. Selain dari itu panas limbah dari pipa pembuangan turbin gas juga
digunakan untuk memanaskan boiler yang akan menghasilkan uap untuk
menggerakkan turbin uap. Di mana uap boiler itu digunakan untuk menggerakkan
sebuah turbin uap yang pada gilirannya merupakan tenaga penggerak mula bagi
sebuah generator listrik. Kemudian jika panas yang keluar dari pipa pembuangan
turbin gas dinaikkan dan gas buang yang meninggalkan boiler digunakan untuk
memanaskan kondensat yang menuju maka efisiensinya bisa meningkat sampai
lebih dari 50%.

Gambar 2.29 Kogenerasi Gabungan


(Sumber : 1998, Edoc tips efisiensi turbin uap)
Sebuah pembangkit batu bara yang menggunakan kombinasi dari turbin uap
dan turbin gas. Di mana limbah panas yang berasal dari turbin gas bisa
dimanfaatkan yaitu dengan bantuan sebuah boiler. Sehingga bisa membangkitkan
uap untuk mengontrol turbin uap. Dengan demikian hasil dari sistim gas dan uap
akan menghasilkan efisiensi sebesar 44%. Sedangkan pada sistim kogenerasi
52

energi termal yang dihasilkan oleh pembangkitnya selain bisa digunakan untuk
meningkatkan produksi listrik dan bisa juga digunakan untuk kebutuhan lain.
Dengan demikian sistim ini cocok dipakai di industri, hal ini karena energi termal
dibutuhkan pada industri untuk kebutuhan pemanasan.
2.7.1.3 Siklus Gabungan Gasifikasi Batubara
Pembangkit listrik siklus gabungan dapat dipicu oleh batubara, tetapi
kemudian batubara harus terlebih dahulu menjadi gasifikasi. Itu gasified coal
(syngas) menggerakkan turbin gas topping cycle. Pembangkit listrik menggunakan
gasifikasi batubara dan siklus gabungan disebut gabungan siklus siklus gabungan
gasifikasi (IGCC).
Berbagai metode gasifikasi batubara telah dikembangkan pada abad ke-19
untuk menyediakan gas pipa untuk pemanasan, memasak, dan penerangan rumah.
Ini disebut gas kota dan digunakan sebelum gas alam menjadi tersedia secara luas
pada paruh kedua abad kedua puluh. Di dalam dunia perang, Jerman menggunakan
gasified coal sebagai bahan bakar untuk mobil, truk, dan kendaraan militer.
Batubara dapat gasifikasi ke syngas nilai rendah, sedang dan tinggi-
pemanasan. Prosesnya berbeda tergantung apakah udara atau oksigen murni
digunakan untuk gasifikasi dan apakah gas produk kaya atau tanpa CO2. Untuk
pabrik IGCC, nilai-nilai panas-nilai-pemanasan lebih disukai.
Prosesnya dimulai dengan menghancurkan batubara. Jika batubara memiliki
kecenderungan untuk caking, preoxidation saya harus membuat permukaannya
lebih berpori. Batubara yang dihancurkan diumpankan ke retort, di mana, di
kehadiran katalis, terpapar dengan oksigen murni dan uap:

Oksigen murni (99% +) dipasok dari unit pemisahan udara khusus yang
dibangun di lokasi pabrik. Campuran gas yang dihasilkan mengandung sejumlah
senyawa organik dengan berat molekul tinggi, seperti juga hidrogen sulfida.
Langkah selanjutnya disebut quenching, di mana minyak berat dan tar berada
53

dihapus dari campuran dengan larutan dan larutan berair menggosok. Ini diikuti
oleh penghilangan H2S oleh Claus yang dijelaskan di atas atau proses serupa.
Syngas yang dihasilkan dari reaksi (5.10) memiliki nilai pemanasan yang
relatif rendah 250-500 Btu per kaki kubik standar (sfc), yang setara dengan 9,1–
18,2 MJ m − 3. Gas ini tidak akan cocok sebagai bahan bakar untuk IGCC. Untuk
meningkatkan nilai kalor, karbon monoksida dan hidrogen dilewatkan katalis pada
sekitar 400 ◦C untuk membentuk terutama metana, sebuah proses yang disebut
methanasi:

Syngas yang dihasilkan memiliki nilai pemanasan 950–1000 Btu / scf (36–38
MJ m − 3), serupa dengan metana. Untuk syngas ini, turbin gas konvensional
dapat digunakan. Alternatifnya adalah produksi hidrogen dalam reaksi
pergeseran gas air:

Hidrogen yang dihasilkan dapat dipisahkan dari CO2 oleh pemisahan


membran dan digunakan dalam sel bahan bakar H2 / O2 efisiensi tinggi (lihat
Bagian 3.12).

Perkiraan efisiensi termal dari pabrik siklus gabungan gasifikasi batubara


adalah pada pesanan 40–45%, termasuk energi yang dibutuhkan untuk
pemisahan udara dan gasifikasi batubara. Efisiensi ini melebihi pembangkit
listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara dengan kontrol emisi, memiliki
efisiensi 36–38%. Namun, biaya modal dan operasi dari pabrik tersebut akan
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik uap berbahan bakar batu bara yang
dihancurkan. Saat ini, biaya ini tidak diimbangi oleh yang lebih tinggi efisiensi
termal.

Di Amerika Serikat, Lembaga Penelitian Tenaga Listrik bersama dengan


konsorsium utilitas swasta membangun demonstrasi pembangkit listrik IGCC
54

termasuk unit pemisahan udara di Barstow, California, yang disebut Coolwater


Plant. Itu memiliki output daya listrik bersih 105 MW, tetapi karena tidak semua
komponen dioptimalkan dan diintegrasikan, efisiensi termal hanya 31%. Itu
emisi udara memenuhi persyaratan ketat dari Dewan Sumber Daya Udara
California. Ini dioperasikan memuaskan selama 5 tahun (1984–1989), tetapi
setelah mengunyah ngengat karena operasi yang tinggi biaya. Namun, Coolwater
Plant menunjukkan bahwa IGCC layak dan dapat sesuai standar emisi yang
ketat.

2.7.1.4 Fuel Cell

Fungsi sel bahan bakar dijelaskan dalam Bagian 3.12. Sel bahan bakar
bukan mesin panas. Di sel bahan bakar, beberapa energi kimia dari bahan bakar
secara langsung diubah menjadi energi listrik, dengan sisanya muncul sebagai
panas yang ditolak ke lingkungan. Efisiensi termal teoretisnya dalam istilah
energi listrik yang dihasilkan versus masukan energi bahan bakar kimia bisa
mendekati 100% saat menghasilkan output daya yang rendah. Namun, karena
kehilangan panas parasit (misalnya, resistensi ohmik) dan karena persyaratan
daya peralatan tambahan (mis., pompa, kipas), sel bahan bakar saat ini
menggunakan gas alam atau hidrogen dan udara (bukan oksigen) memiliki
efisiensi panas yang jauh lebih rendah saat beroperasi pada daya maksimum,
dalam rentang 45–50%. Selanjutnya, jika hidrogen digunakan sebagai bahan
bakar, itu harus dihasilkan secara terpisah dalam beberapa mode, yang
membutuhkan energi. Sebagai contoh, hidrogen dapat dihasilkan dari air dengan
elektrolisis. Tapi, pemisahan air menjadi hidrogen dan oksigen membutuhkan
sekitar 18 MJ energi listrik per kilogram air, lebih dari yang dihasilkan sel bahan
bakar oleh hidrogen elektrolitik. Hidrogen sel bahan bakar biasanya dihasilkan
oleh reformasi metana (lihat Bagian 3.14.1).
55

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
56

DAFTAR PUSTAKA

Otoritas Jasa Keuangan,2014,Buku Energi Bersih,Departemen Penelitian dan Pengaturan


Perbankan,Jakarta. (Diakses 9/10/2018 Jam 01.00)

Anda mungkin juga menyukai