Anda di halaman 1dari 3

Ya Allah, hati ini begitu kuat mencintainya.

Tetapi mengapa Engkau pertemukan kami ketika aku sudah dekat dengan makhlukmu yang lain?
Yang bersamanya aku semakin dekat dengan-Mu, semakin mencintai-Mu, semakin ingin taat
kepada-Mu.

Untuk pertama kalinya aku berpikir akhirnya aku menemukan “Anna uhibbuka fillah”ku.

Lalu bagaimana dengan hatiku yang lain?

Aku yakin, ia juga baik. Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Bersama dengannya aku
merasa diri ini cukup. Aku hebat dengan caraku sendiri. Aku tak perlu menjadi sempurna. Atau
berusaha dengan sangat keras untuk melampaui batasku agar aku pantas bersanding dengannya.

Masing-masing dari kami membawa trauma.

Sudah sekian kali patah, berdarah, tak terarah.

Permintaanku sederhana, ya Allah.

Matikanlah hatiku, kecuali untuk dia yang Engkau tuliskan di lauhul mahfudzku.

~Serenity Sera
Seseorang bilang, dunia belum benar-benar jahat jika kamu belum mendengar detak mesin ICU
lalu pasien dinyatakan meninggal.

Banyak orang bilang, aku tak punya rasa takut. Tetapi sebenarnya tidak. Hanya saja, ketakutan
terbesarku sudah terjadi. Detak mesin ICU itu telah berhenti untuk kedua orang tuaku.

Jadi, sudah tak ada lagi hal lain yang mampu menggetarkanku.

Tak mudah aku mengizinkan orang lain melihat air mataku terjatuh.

Setelah aku kehilangan bidadariku, aku menyembunyikan luka di hatiku dengan senyum.

Tapi setelah kehilangan pilar hidupku, tatapanku kosong.

Aku seperti baik-baik saja, seolah kedua hal itu tak begitu mempengaruhiku. Orang-orang pun
segan menghiburku. Tetapi sebenarnya, aku begitu mendambakan ada satu sosok yang
memelukku erat. Yang mengizinkan aku berteriak sekencang-kencangnya, yang
menyembunyikan tangisku dari sisa dunia.

Aku memandangnya dari kejauhan.

Sosok yang kuharapkan bisa mengambil peran itu.

Azkara Gemintang.

Kami berada di rumah sakit yang sama. Kadang hanya terpisahkan oleh beberapa langkah.

Tapi tak peduli seberapa dekat jarak di antara kami, justru ia yang paling jauh dibandingkan yang
lainnya.

Aku tau, ada begitu banyak orang yang mengagumi dokter muda ini.

Entah karena ketampanannya, kecerdasannya, atau karakternya yang ramah pada semua orang.

Aku tidak ingin sama seperti yang lainnya, hanya menjadi pengagumnya. Oleh karena itu,
meskipun dia adalah kakak dari sahabat dekatku, aku masih menyimpan perasaan ini rapat-rapat.
Memperlakukannya seolah aku tidak mengharapkan apa-apa.

Jika ditanya apa yang membuatku sangat menyukainya, aku juga tidak tahu. Dia bukan satu-
satunya orang hebat yang aku kenal. Semakin mengenalnya semakin aku sadar dia tidak
sesempurna bayanganku.

Aku rasa, aku menyukainya bukan karena satu atau dua hal.

Tapi karena dia adalah dia.

Seperti saat ia mengusap kepalaku.


“Kuat banget sih, adek kakak yang satu ini.”

Diam diam kalimat itu terpatri kuat di relung jiwaku.

Seolah-olah untuk pertama kalinya ada seseorang yang menyadari dan mengakui perjuanganku
untuk bisa bertahan hidup dengan kedua kakiku sendiri.

Atau caranya menatapku seolah ada bintang di matanya.

Hanya satu malam dan keesokan harinya dia pergi. Dia dipindah tugaskan ke rumah sakit yang
bermil-mil jauhnya.

Ya Allah, kenapa Engkau lagi-lagi mengambil seseorang yang aku cintai?

Apakah aku tak berhak merasakan cinta?

Apakah Engkau menakdirkan aku untuk selalu sendirian?

Aku tak sanggup, ya Allah.

Aku tau Engkau tidak akan membebani hamba-Mu di luar batas kemampuannya. Tetapi aku
ingin aku memiliki seseorang yang menggenggam tanganku. Menarikku ketika aku jatuh.
Memelukku erat ketika aku pulang. Aku ingin dia.

Anda mungkin juga menyukai