Anda di halaman 1dari 35

RINGKASAN MANDIRI BBDM SKENARIO 1

Diajukan Sebagai Pemenuhan Tugas Modul 6.3

BBDM KELOMPOK 8B

Dosen Pengampu : dr. Dimas Sindhu Wibisono, Sp. U.

Kelompok : 8B

Nama : Apriliawati

NIM : 22010120120024

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2023
DISKUSI BBDM MODUL 6.3
SKENARIO 1

JATUH

Moderator : Hayigha Atba’ Sya’nana

Notulen : Apriliawati

Ilustrasi Kasus :

Pak Sastro, usia 70 tahun, datang ke UGD dengan keluhan tidak bisa jalan. 1 bulan yang lalu
beliau jatuh saat sedang berjalan di ruang tengah karena tersandung karpet. Karena kaki terasa
nyeri jika digerakkan, Pak Sastro banyak berbaring di tempat tidur, Pada saat ini didapatkan
adanya nyeri tekan di pinggang kiri, ada pemendekan 5 cm tungkai kiri dibanding tungkai kanan.
Kemudian dilakukan pemeriksaan x-foto panggul dan tungkai kiri. Hasilnya adalah fraktur
collum femur sinistra. Sejak sakit ini Pak Sastro memakai popok dewasa karena kadang-kadang
ngompol dan BAB tidak terasa.

Daftar Pustaka :

1. Harrison’s. Principles of Internal Medicine.


2. Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology.
3. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut).
4. dll, disesuaikan dengan kebutuhan materi (dari textbook atau jurnal.
A. Klarifikasi Konsep dan Terminologi
1. X-Foto Panggul dan Tungkai
Merupakan pemeriksaan penunjang berupa imaging/pencitraan menggunakan sinar X
untuk menggambarkan daerah panggul/coxae dan tungkai/dari proksimal femur sampai
pedis.

2. Fraktur
Gangguan kontinuitas yang normal dari suatu tulang, jaringan lunak sekitar sering
terganggu. Terdapat beberapa jenis fraktur yaitu tertutup, terbuka, dan kompleksitas.
Sebagian besar akibat cedera seperti kecelakaan mobil, olahraga, atau jatuh.

3. Collum Femur Sinistra


Merupakan bagian leher pada tulang femur yang menghubungkan bagian caput dan
corpus dari tulang femur, yang panjangnya kira-kira 5 cm.

4. Ngompol
Merupakan kondisi keluarnya urine tanpa disadari atau tidak sengaja.

B. Menetapkan Masalah
1. Mengapa jatuh dapat menyebabkan fraktur pada pasien?
2. Bagaimana hubungan kejadian fraktur dengan usia pasien?
3. Mengapa tungkai kiri pasien menjadi lebih pendek?
4. Mengapa pasien menjadi kadang-kadang mengompol dan BAB tidak terasa?
5. Mengapa terdapat nyeri tekan di pinggang kiri?
6. Apakah diagnosis sementara dari skenario di atas?

C. Analisis Masalah
1. Mengapa jatuh dapat menyebabkan fraktur pada pasien?
Fraktur terjadi karena adanya tekanan atau benturan yang kuat ke tulang yang melebihi
kekuatan dari tulang itu sendiri. Hal ini umumnya disebabkan oleh cedera, seperti jatuh,
kecelakaan, atau benturan langsung yang kuat ke area tubuh, atau gerakan yang berulang
hingga menyebabkan tulang retak. Pengertian fraktur (fraktura) atau patah tulang adalah
kondisi ketika tulang menjadi patah, retak, atau pecah sehingga mengubah bentuk tulang.
Tulang yang mengalami fraktur dapat terjadi di area tubuh manapun. Namun, kasus ini
lebih sering terjadi di beberapa bagian tubuh. Misalnya, patah tulang selangka atau bahu,
patah tulang tangan (termasuk pergelangan tangan dan lengan), patah kaki (termasuk
tungkai dan engkel), patah tulang belakang, serta fraktur panggul. Fraktur adalah kondisi
yang sering terjadi serta dapat dialami oleh siapapun dan pada usia berapapun karena
tekanan kuat pada tulang, misal akibat kecelakaan. Namun, kondisi ini juga umum terjadi
pada lansia karena faktor penuaan yang membuat tulangnya cenderung rapuh
(osteoporosis) dan rentan patah. Fraktur akibat kerapuhan tulang terjadi pada 1 dari 3
wanita dan 1 dari 5 pria di dunia yang berusia di atas 50 tahun. Diperkirakan ada jutaan
orang di dunia mengalami fraktur akibat kerapuhan tulang setiap tahunnya.

Pada lansia terjadi penurunan fisiologis berbagai organ, salah satunya ialah sistem
muskuloskeletal, yaitu penurunan massa otot serta penurunan kepadatan dan kualitas
tulang yang menyebabkan terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis terjadi penurunan
massa tulang secara keseluruhan akibat ketidakmampuan tubuh dalam mengatur
kandungan mineral dalam tulang disertai rusaknya arsitektur tulang yang berakibat
penurunan kekuatan tulang sehingga berisiko mudah terjadi fraktur. Proses menua juga
mengakibatkan perubahan kontrol postural yang berperan penting pada mekanisme
kejadian jatuh. Perubahan komponen dari kapabilitas biomekanik meliputi latensi
mioelektrik, waktu untuk bereaksi, proprioseptif, lingkup gerak sendi, dan kekuatan otot.
Selain itu, terdapat pula perubahan pada postur tubuh, gaya berjalan, ayunan postural,
sistem sensorik, dan mobilitas fungsional. Usia yang lanjut dikaitkan dengan input
proprioseptif yang berkurang, proses degeneratif pada vestibuler, refleks posisi yang
melambat, dan melemahnya kekuatan otot yang penting dalam menjaga postur.
Kelemahan otot dan ketidakstabilan atau nyeri sendi dapat menjadi sumber gangguan
postural selama gerakan volunter. Semua perubahan tersebut dapat berperan untuk
terjadinya jatuh yang menjadi penyebab fraktur geriatrik.
2. Bagaimana hubungan kejadian fraktur dengan usia pasien?
Lansia lebih rentan untuk mengalami patah tulang karena berbagai faktor yang terkait
dengan proses penuaan. Beberapa faktor yang mempengaruhi termasuk :
a. Penurunan kepadatan tulang  seiring bertambahnya usia, tulang manusia
mengalami penurunan kepadatan dan kekuatan (osteoporosis). Hal ini membuat
tulang menjadi lebih mudah patah saat terkena tekanan atau cedera ringan.
b. Kurangnya aktivitas fisik  lansia cenderung menjadi kurang aktif fisik
dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Kurangnya aktivitas fisik dapat
menyebabkan penurunan kekuatan otot dan kepadatan tulang, sehingga meningkatkan
risiko patah tulang.
c. Gangguan keseimbangan  lansia lebih cenderung mengalami gangguan
keseimbangan dan koordinasi tubuh yang berhubungan dengan penuaan. Hal ini dapat
menyebabkan jatuh yang tidak disengaja dan memicu patah tulang.

3. Mengapa tungkai kiri pasien menjadi lebih pendek?


Banyak faktor yang dapat menyebabkan tidak samanya panjang kedua tungkai pada
individu antara lain trauma atau infeksi yang merusak pelat pertumbuhan tulang, patah
tulang yang tidak sembuh dengan baik, atau tumor tulang, yang semuanya dapat
memengaruhi pertumbuhan dan menyebabkan satu kaki menjadi lebih pendek dari kaki
lainnya.

Pada skenario, didapatkan pemendekan 5 cm tungkai kiri dibandingkan kanan  kasus


fraktur femur sinistra mengakibatkan otot berlekatan dengan tulang ini mengalami
spasme sehingga otot tertarik. Hal ini mengakibatkan panjang tungkai tidak sama. Bila
terjadi fraktur komplit, akan terjadi retraksi lalu tumpang tindih pada tulang yang
mengakibatkan tungkai memendek. Pada lansia, laju pertumbuhan tulang mengalami
perlambatan. Hal-hal ini yang mempengaruhi pemendekan tungkai pasien. Pada kasus
fraktur tulang, Khususnya, pada pasien geriatri (di atas usia 60 tahun) dengan kualitas
tulang yang buruk dan tipe fraktur yang tidak stabil, fraktur sering kali menimbulkan
komplikasi berupa ketimpangan panjang antar tungkai. Akan tetapi, Pada pasien yang
lebih muda dengan kualitas tulang yang lebih baik, komplikasi semacam ini jarang
terjadi.
4. Mengapa pasien menjadi kadang-kadang mengompol dan BAB tidak terasa?
Inkontinensia urin dapat terjadi karena otot sphincter uretra melemah karena usia,
pemakaian popok jangka panjang, terjadi ISK, dan jatuh. Impaksi fekal juga dapat terjadi
karena pasien tidak bisa bangun dari tempat tidur/ bed rest terlalu lama. Riwayat jatuh
bisa menyebabkan kelainan pada vertebral sacral 2-4 sehingga refleks berkemih
menurun. Pada pasien terjadi overflow inkontinensia karena pasien kehilangan sensasi
ingin kencing akibat retensi urin. Rangsangan yang terus-menerus mengurangi sensasi
yang seharusnya dirasakan. Saat pasien berdiri, gravitasi menekan VU dan menambah
stimulasi pasien ingin kencing. Kemudian BAB tidak terasa karena adanya gangguan
otonom ketika saat jatuh, reflek menahan BAB menurun.

Ketika ada suatu fraktur pada paha maka bisa menyebabkan spasme pada otot sekitarnya
termasuk spasme otot di pelvis. Ketika spasme itu terjadi, salah satunya bisa
mneyebabkan penekanan pada VU, bisa meningkatkan resiko keluarnya urine secara
involunter / seolah olah pasien tidak bisa menahan urine atau mengompol.

5. Mengapa terdapat nyeri tekan di pinggang kiri?


Pada nyeri tekan dapat disebabkan oleh 3 hal, antara lain :
a. Trauma pada otot apabila terjadi benturan yang menyebabkan otot robek atau luka.
b. Apabila terdapat benturan menyebabkan robeknya tendon.
c. Apabila terdapat fraktur atau patah tulang pada daerah tulang yang terdapat nyeri
tekan.

Pada skenario, terdapat fraktur pada pasien. Dapat disimpulkan, nyeri tekan berasal dari
fraktur collum femur kiri pasien.

6. Apakah diagnosis sementara dari skenario di atas?


Berdasarkan skenario
a. Anamnesis :
 Laki laki 70 tahun datang ke IGD
 Keluhan tidak bisa berjalan
 Riwayat jatuh 1 bulan karena tersandung karpet dan nyeri saat digerakkan
 Sering mengompol
 BAB tidak terasa
b. Pemeriksaan Fisik :
 Nyeri tekan pinggang kiri
 Pemendekan 5 cm tungkai kiri
c. Pemeriksaan Penunjang :
 X- foto tampak fraktur collum femur sinistra

Karena jatuh  terjadi patah tulang  bisa diklasifikasikan berdasarkan Garden 


karena nyeri saat digerakkan dan adanya nyeri tekan pinggnag (tidak spesifik)  kalo
nyeri tekan ada di panggul bisa diklasifikasikan Stage III atau IV.

Dengan adanya imobilitas  bisa menyebabkan konstipasi dan lainnya yaitu bisa
meningkatkan ISK, batu ginjal (ada partikel yang tertahan disana), sering mengompol,
dan inkontinensia alvi.

Pada skenario, sudah jatuh 1 bulan  terdapat komplikasi  delayed union atau non
union  sehingga bisa menetapkan diagnosis sementara yaitu Fraktur collum femoris
sinistra Stage III atau IV dengan komplikasi delayed union atau non union dan disertai
ISK dd. Nefrolitiasis dan inkontinensia alvi ec konstipasi dan penurunan reflex anal.
D. Peta Konsep

E. Sasaran Belajar
1. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai definisi, penyebab dari jatuh, imobilisasi,
inkontinensia urin, dan inkontinensia alvi
2. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai kelainan tulang dan patah tulang pada lansia
3. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai komplikasi dan kondisi akibat jatuh pada lansia
4. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai tatalaksana farmakologi dan non farmakologi
sindrom geriatri (pada kasus jatuh)
5. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai program rehabilitasi medik pada patah tulang
lansia

F. Hasil Belajar Mandiri


1. Definisi, Penyebab dari Jatuh, Imobilisasi, Inkontinensia Urin, dan Inkontinensia
Alvi
-DEFINISI-
a. Jatuh
Jatuh merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring
atau terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran atau luka. Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subjek yang
sadar menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja, tidak termasuk jatuh akibat
pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang.
b. Imobilisasi
 Imobilisasi merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak secara
bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas).
 Imobilisasi atau gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh meliputi satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah.
 Imobilisasi atau gangguan mobilitas fisik didefinisikan oleh North American
Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan di mana
individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik.
Individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik
antara lain: lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan
kesadaran lebih dari 3 hari atau lebih, dan individu yang kehilangan fungsi
anatomik akibat perubahan fisiologik.
c. Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan menahan kemih dalam vesika urinaria
yang bisa terjadi karena gangguan neurologis atau mekanis pada sistem yang
mengontrol fungsi berkemih normal sehingga orang dengan kondisi ini sering
mengompol. Inkontinensia urin paling sering terjadi pada lansia.
d. Inkontinensia Alvi
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan menahan buang air besar dikarenakan
hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui
sfingter akibat kerusakan fungsi sfingter atau persarafan di daerah anus. Orang
dengan kondisi ini biasanya tinjanya dapat keluar secara tiba-tiba tanpa disadari.

-PENYEBAB-

a. Jatuh
Untuk dapat memahami alasan jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas badan
ditentukan atau dibentuk oleh :
a) Sistem Sensorik
Sistem sensorik yang berperan di dalamnya adalah : visus (penglihatan),
pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau
perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit
telinga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering
terjadi pada lansia yang diduga karena adanya perubahan fungsi vestibuler akibat
proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan
mengganggu fungsi proprioseptif. Gangguan sensorik tersebut menyebabkan
hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi abnormal pada saat
dilakukan uji klinik.
b) Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input
sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, hidrosefalus tekanan normal
sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga
berespon tidak baik terhadap input sensorik.
c) Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatnya risiko
jatuh.
d) Muskuloskeletal
Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang benar-benar
murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan
muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini
berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi
akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh :
- Kekakuan jaringan penghubung
- Berkurangnya massa otot
- Perlembatan konduksi saraf
- Penurunan visus/lapangan pandang
- Kerusakan proprioseptif

Kesemua hal ini dapat menyebabkan :


- Penurunan range of motion sendi
- Perpanjangan waktu reaksi
- Kerusakan persepsi dalam
- Peningkatan postural sway (goyangan badan)

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah pendek,


penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak dengan
kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan
seorang lansia susah/terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti
terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba, sehingga memudahkan jatuh.

Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia dibagi dalam dua golongan besar, yaitu
faktor-faktor intrinsik (faktor dari dalam) dan faktor ekstrinsik (faktor dari luar).

-Faktor Intrinsik-
a) Sinkop  respon vasovagal, gangguan kardiovaskular, gangguan neurologis
akut, emboli paru, gangguan metabolik.
b) Drop attacks  kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh
tanpa kehilangan kesadaran, sering dikaitkan dengan insufisiensi vertebrobasiler
akibat perubahan posisi kepala.
c) Dizziness  rasa tidak stabil, adanya hipotensi postural atau deplesi volume
intravaskular.
d) Vertigo  lebih jarang menyebabkan jatuh, dikaitkan dengan kelainan telinga
dalam (labirintis, Meniere, BPPV), iskemia/infark vertebrobasiler, infark
serebelum.
e) Hipotensi ortostatik  akibat gagal jantung, hipovolemia, disfungsi otonom,
insufisiensi vena, tirah baring lama dengan deconditioning otot dan refleks serta
beberapa obat.
f) Penyakit SSP  parkinson, hidrosefalus tekanan normal menyebabkan gangguan
gait sehingga menyebabkan instabilitas dan jatuh, gangguan serebelum, tumor
intrakranial, hematoma subdural.
g) Gangguan visual, keseimbangan gait, mobilitas, dan kognitif
h) Penyakit kardiovaskuler  stenosis aorta dapat menyebabkan sinkop kemudian
lansia berisiko jatuh, peningkatan sensitivitas baroreseptor karotis menyebabkan
refleks tonus vagal meningkat kemudian terjadi bradikardi/hipotensi yang juga
dapat menyebabkan sinkop dan lansia berisiko jatuh.

-Faktor Ekstrinsik-
Faktor risiko indoor/ dalam ruangan :
a) Penerangan minim
b) Tidak ada pegangan di tangga atau kamar mandi
c) Anak tangga tidak rata
d) Penggunaan karpet lantai
e) Lantai licin
f) Transisi lantai tidak seimbang/berantakan
g) Perlengkapan rumah tangga tidak stabil/tergeletak di bawah (seperti tempat tidur
di lantai atau jamban jongkok)

Faktor risiko outdoor/ luar ruangan :


a) Trotoar rusak
b) Permukaan jalan rusak
c) Tangga rusak
d) Penerangan tidak baik (kurang atau menyilaukan)
e) Tidak ada alat bantu
f) Alat bantu yang tidak disesuaikan dengan keadaan fisik lansia
g) Tempat berpegangan tidak kuat

Selain itu :
Obat-obatan : misalnya obat diuretika yang dikonsumsi menyebabkan seseorang
berulang kali ke kamar kecil untuk buang air kecil atau efek mengantuk dari obat
sedatif sehingga seseorang menjadi waspada saat berjalan.

b. Imobilisasi
Jenis imobilisasi atau gangguan mobilitas yaitu :
a) Imobilisasi Fisik
Merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah
terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan
hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis
sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
b) Imobilisasi Intelektual
Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti
pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
c) Imobilisasi Emosional
Keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena
adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh,
keadaan stress berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang
mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling
dicintai.
d) Imobilisasi Sosial
Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi social
karena keadaan penyakit sehingga dapat memengaruhi perannya dalam
kehidupan sosial.

-Faktor Penyebab Terjadinya Imobilisasi Fisik-


a) Penurunan kendali otot
b) Penurunan kekuatan otot

c) Kekakuan sendi
d) Kontraktur
e) Gangguan muskuloskeletal
f) Gangguan neuromuskular
g) Keengganan melakukan pergerakan

c. Inkontinensia Urin
Penyebab inkontinensia urin secara garis besar adalah gangguan urologik, gangguan
neurologis, gangguan psikologis atau fungsional, dan iatrogenik atau didapat dari
lingkungan. Inkontinensia urin dapat dibagi juga menjadi inkontinensia urin akut
dan inkontinensia urin kronik persisten.
-Penyebab Inkontinensia Urin Akut-
a) DRIP
- Delirium
- Restricted mobility, retention
- Infection, inflammation, impaction
- Polyuria, pharmaceuticals
b) DIAPPERS
- Delirium
- Infection
- Atrophic vaginitis or urethritis
- Pharmaceuticals: sedative-hypnotic, loop diuretics, anticholinergic, alpha
adrenergic agonist and antagonist, calcium channel blocker
- Psychological disorder: depression
- Endocrine disorder
- Restricted mobility
- Stool impaction

-Penyebab Inkontinensia Urin Kronik Persisten-


a) Kegagalan menyimpan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif, menurunnya
kapasitas, atau lemahnya tahanan urin keluar.
b) Kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lebahnya kontraksi m. detrussor
vesicae atau meningkatnya tahanan aliran keluar.

-Penyebab Inkontinensia Urin Berdasarkan Tipe-


a) Inkontinensia Tipe Stress
Keluarnya urin secara involunter yang terjadi dengan peningkatan tekanan
intraabdomen karena lemahnya sfingter uretra dan/atau lantai pelvis.
- Melemahnya kandung kemih, terkait dengan persalinan
- Kerusakan anatomi sfingter uretra
b) Inkontinensia Tipe Urgensi
Keluarnya urin secara involunter yang diawali dengan perasaan ingin
kencing/urgensi karena overaktivitas m. detrusor vesicae.
- Dapat dipicu oleh suhu dingin & air mengalir
- Disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung
kemih
- Iritasi akibat ISK atau tumor kandung kemih

c) Inkontinensia Tipe Mix


Merupakan campuran stress dan urge urinary incontinence
d) Inkontinensia Tipe Overflow
keluarnya urin secara involunter karena kandung kemih yang terdistensi
berlebihan yang disebabkan oleh gangguan pada kontraktilitas detrusor dan/atau
obstruksi outlet kandung kemih. Penyakit neurologis seperti cedera pada medulla
spinalis, multiple sclerosis, dan diabetes dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi detrusor. Obstruksi outlet kandung kemih dapat disebabkan oleh kompresi
eksternal oleh massa pada abdomen atau pelbis dan prolaps organ pelvis. Pada
pria, penyebab yang paling sering adalah BPH (benign prostatic hyperplasia).
e) Inkontinensia Tipe Fungsional
Penurunan berat fungsi fisik dan kognitif menyebabkan pasien tidak dapat
mencapai toilet tepat waktu. Tipe ini biasanya disebabkan oleh demensia berat,
gangguan mobilitas, gangguan neurologis, dan psikologis.

d. Inkontinensia Alvi
a) Inkontinensia Alvi Akibat Konstipasi
Konstipasi (obstipasi) lama dapat mengakibatkan sumbatan atau impaksi massa
feses yang keras (skibala). Massa feses menyumbat lumen bawah anus
menyebabkan perubahan sudut anorektal dan kemampuan sensorik anus
menumpul sehingga tidak dapat membedakan flatus, cairan, atau feses. Skibala
juga mengiritasi mukosa rektum sehingga diproduksi mucus yang akan keluar
melalui sela-sela impaksi feses. Penyebab dari konstipasi antara lain diet yang
kurang baik, imobilitas, kebiasaan BAB yang tidak tertib, dan penggunaan
laksansia yang tidak tepat.
b) Inkontinensia Alvi Akibat Neurogenik
Akibat gangguan kontrol pada persarafan dari proses defekasi. Adanya gangguan
fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi rektum
menyebabkan gangguan kontrol sfingter serta berkurangnya sensibilitas
anorektal.
Karena berkurangnya unit yang berfungsi mengontrol motorik pada otot-otot
sfingter dan pubo-rektal sehingga menyebabkan hilangnya refleks anal.
c) Inkontinensia Alvi Akibat Simptomatik
Tipe ini disebabkan oleh berbagai macam kelainan patologis yang dapat
menyebabkan diare. Contohnya gastroenteritis, divertikulitis, kolitis ulseratif,
karsinoma anorectal, penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, kelainan
endokrin seperti tirotoksikosis, dan kerusakan sfingter ani.
d) Inkontinensia Alvi Akibat Hilangnya Refleks Anal
Berkurangnya unit fungsional motorik otot sfingter dan puborectal menyebabkan
hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus, dan menurunnya tonus
anus sehingga terjadi inkontinensia alvi.
e) Inkontinensia Alvi Akibat Trauma
Trauma obstetri pasca persalinan pervaginam atau trauma lain yang
menyebabkan
gangguan sfingter dan kerusakan pada persarafan dasar panggul, seperti laserasi
perineum, fraktur pelvis, cedera spinal, dan penyisipan benda asing.
2. Kelainan Tulang dan Patah Tulang Pada Lansia
-Kelainan Tulang Pada Lansia-
a. Osteoporosis
Osteoporosis adalah penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa
tulang yang rendah, disertai mikro arsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan
tulang yang dapat akhirnya menimbulkan kerapuhan tulang. Osteoporosis
postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita),
yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.
Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa
mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko
yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan
daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.

Osteoporosis senilis terjadi karena kekurangan kalsium yang berhubungan dengan


usia dan ketidakseimbangan di antara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan
tulang yang baru. Osteoporosis senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada
usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia di atas 70 tahun dan 2 kali lebih
sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan
postmenopausal. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis
sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.
Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal
(terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid,
barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang
berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini.
b. Osteoarthritis
Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Pasien
sering datang berobat pada saat sudah ada deformitas sendi yang bersifat permanen.
Secara simtomatis penyakit sendi degeneratif terjadi pada usia 50-70, diantara yang
menderita termuda ialah pada usia 20 tahun. Faktor utama yang dihubungkan dengan
kejadian osteoarthritis adalah penuaan, trauma sebelumnya, kecenderungan genetik,
dan obesitas. Ada dua jenis osteoarthritis, yang primer penyebab belum diketahui,
yang sekunder akibat trauma, infeksi, atau pernah terjadi fraktur.

Pada sendi, suatu jaringan tulang rawan yang biasa disebut kartilago biasanya
menutup ujung-ujung tulang penyusun sendi. Suatu lapisan cairan yang disebut cairan
sinovial terletak di antara tulang-tulang tersebut dan bertindak sebagai bahan pelumas
yang mencegah ujung-ujung tulang tersebut bergesekan dan saling mengikis satu
sama lain. Pada kondisi kekurangan cairan sinovial lapisan kartilago yang menutup
ujung tulang akan bergesekan satu sama lain. Gesekan tersebut akan membuat lapisan
tersebut semakin tipis dan pada akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri. Gejala yang
dikeluhkan pasien osteoarthritis biasanya nyeri pada persendian yang bergerak,
terutama sendi penerima beban (panggul-lutut), dan persendian tangan tetapi tidak
menutup kemungkinan bahwa sendi-sendi yang lain juga dapat terserang. Gejala
osteoarthritis umumnya berkembang secara perlahan-lahan dan semakin parah seiring
waktu. Tingkat keparahan gejala penyakit ini dapat berbeda-beda pada tiap penderita
serta lokasi sendi yang diserang.
c. Osteomielitis
Osteomielitis adalah suatu bentuk infeksi tulang yang menyebabkan kerusakan dan
pembentukan tulang baru. Ada beberapa mekanisme infeksi yang dapat menyebabkan
osteomielitis antara lain: infeksi (misalnya. setelah trauma, operasi, atau penyisipan
sendi prostetik), insufisiensi vaskular (misal pada diabetes melitus atau gangguan
pembuluh darah perifer), dan penyebaran hematogen dari infeksi, misalnya
diosteomielitis vertebral pada anak-anak. Penyebab utama osteomielitis adalah
bakteri Staphylococcus aureus. Bakteri ini dapat menginfeksi tulang melalui aliran
darah. Sebenarnya bakteri Staphylococcus adalah bakteri yang jarang menyebabkan
masalah kesehatan dan umum terdapat di kulit, namun bakteri ini dapat berbalik
menyerang ketika sistem kekebalan tubuh sedang lemah. Kebanyakan osteomielitis
terjadi pada orang orang yang berusia di atas 60 tahun. Biasanya pada wanita terjadi
diatas usia 50 tahun atau menopouse. Kegemukan/ obesitas juga memiliki resiko yang
besar terserang osteomielitis.
d. Gout Syndrome
Gout adalah suatu kelainan metabolik yang mana laki-laki delapan sampai sembilan
kali lebih sering terkena daripada wanita. Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai
usia, usia yang sering terkena adalah sekitar 50 tahunan. 85% dari penderita gout
mempunyai faktor genetik. Gout syndrome merupakan suatu proses inflamasi yang
terjadi karena deposisi kristal asam urat pada jaringan sekitar sendi. Gout terjadi
sebagai akibat dari hiperurisemia yang berlangsung lama (asam urat serum
meningkat) disebabkan karena penumpukan purin atau ekskresi asam urat yang
kurang dari ginjal. Gout artritis adalah suatu sindrom klinis yang mempunyai
gambaran khusus, yaitu artritis akut. Artritis akut disebabkan karena reaksi inflamasi
jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat.

Faktor resiko penyakit gout yaitu konsumsi alkohol, daging merah dan makanan yang
banyak mengandung purin. Gejala dari gout yaitu susah bergerak atau menggerakkan
anggota gerak tubuh tertentu (pada bagian yang sakit), Rasa sakit pada sendi biasanya
terjadi pada malam hari, sendi terasa sakit secara tiba-tiba (terutama sendi jempol
kaki) atau sendi ujung bagian tubuh.
e. Keganasan Pada Tulang
 Osteosarcoma (Kanker Tulang)
- Biasanya terjadi di lengan, kaki, atau panggul
- Kanker tulang yang paling umum terjadi
 Chondrosarcoma (Kanker Tulang Rawan)
- Jenis kanker tulang kedua yang paling sering
 Sarcoma Ewing
- Tumor yang biasanya berkembang di rongga kaki dan tulang lengan
- Pada gambaran radiologi  gambaran “onion skin” atau kulit bawang

Manifestasi klinis kanker tulang: rasa sakit pada lokasi tumor, nyeri tulang dalam
parah, patah tulang, BB turun, kelelahan, sulit bernapas, demam atau keringat dingin
malam hari, gejala tingginya kalsium darah (mual, muntah, haus, konstipasi,
kelelahan, gangguan kesadaran).

-Patah Tulang Pada Lansia-


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis
baik yang bersifat total maupun parsial.
a. Fraktur Tertutup
Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia
luar sehingga pada fraktur tertutup tidak terdapat luka luar. Fraktur tertutup biasanya
terjadi pada pasien yang memiliki riwayat trauma seperti terjatuh atau pernah
mengalami kecelakaan. Biasanya gejala yang dikeluhkan pasien adalah nyeri pada
tulang dan sulit digerakkan serta terjadi pembengkakan.
b. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan
luar melalui kulit sehingga ada kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri yang dapat
menimbul komplikasi berupa infeksi. Pada fraktur terbuka biasanya juga ikut terjadi
pendarahan, tulang yang patah juga ikut terlihat menonjol keluar dari permukaan
kulit, namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang terihat menonjol keluar.

3. Komplikasi dan Kondisi Akibat Jatuh Pada Lansia


Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis.
Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang panggul.
Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan,
lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis yang
ditimbulkan walaupun cedera fisik tidak terjadi yaitu, syok setelah jatuh dan rasa takut
akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa
percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-hari, dan fobia jatuh.
Beberapa komplikasi yang dapat diakibatkan oleh jatuh pada lansia adalah sebagai
berikut:
a. Cedera
Cedera mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek
atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena, patah tulang atau fraktur misalnya
fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas.
b. Imobilitas
Imobilitas merupakan proses terganggunya mobilitas pasien lanjut usia akibat adanya
fraktur. Fraktur ini menyebabkan gangguan gerak pada pasien sehingga pasien harus
menjalankan terapi tirah baring. Imobilitas ini dapat menyebabkan komplikasi yang
lebih parah seperti :
a) Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang
dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu perlukaan endotel, hiperkoagulabilitas
darah, dan hemostasis. Pada pasien fraktur karena jatuh, tirah baring akan
menyebabkan keadaan hemostasis darah karena pasien akan tidak bergerak.
Keadaan hemosatasis ini akan menyebabkan pembentukan pembekuan darah dan
bekuan darah ini akan merangsang akumulasi platelet dan leukosit yang lebih
banyak. Gejala yang dirasakan pasien dengan Deep Venous Thrombosis (DVT)
adalah kemerahan, bengkak, dan nyeri pada tungkai. DVT ini merupakan salah
satu faktor risiko terjadinya emboli paru.
b) Deep Venous Thrombosis (DVT)
Terjadi pada 16-50% pasien bahkan 14% berakibat emboli paru. DVT dapat
terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dari permukaan jaringan yang
terluka,yang akan mengaktifkan faktor pembekuan yang mengakibatkan
terbentuknya trombus dalam pembuluh darah. Imobilitas akibat nyeri atau bedrest
total juga merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya DVT. Kadang-kadang
kerusakan pembuluh darah juga berpengaruh terhadap terbentuknya bekuan darah
intravaskuler. Pemberian antikoagulan dosis penuh adalah efektif untuk
mencegah DVT tetapi akan menyebabkan perdarahan bertambah hebat dan
biasanya tidak digunakan. Profilaksis terhadap DVT dengan menggunakan
heparin atau dextran dosis kecil dengan atau tanpa obat antiplatelet hanya sedikit
efektifitasnya.
c) Emboli Paru
Merupakan keadaan dimana terjadi infark dari arteri pulmonalis pada paru paru
yang disebabkan oleh adanya trombus yang lepas dari vena profunda di tungkai
dan ikut ke dalam aliran peredaran darah sehingga mengakibatkan tersumbatnya
pembuluh darah di paru. Pasien akan mengalami imobilisasi karena fraktur
biasanya akan mengalami DVT terlebih dahulu baru terjadi emboli paru. Pasien
akan mengalami sesak nafasm nyeri dada, dan peningkatan denyut nadi yang
dapat terjadi secara mendadak.
d) Kelemahan Otot
Kelemahan otot ini terjadi akibat adanya atrofi otot karena pasien tidak
menggerakan tubuhnya. Hal ini akan menyebabkan degenerasi pada serat otot
peningkatan jaringan lemak, serta fibrosis.

e) Ulkus Dekubitus
Ulkus dekubitus merupakan luka yang terjadi akibat tekanan pada kulit. Tekanan
pada kulit yang sama secara terus menerus akan menyebabkan kompresi
pembuluh darah kapiler pada kulit. Kompresi pembuluh darah ini dalam waktu
lama akan mengakibatkan trombosis arteri dan terjadinya gumpalan fibrin yang
akan menyebabkan iskemia kulit. Keadaan iskemia ini akan menyebabkna luka
terbentuk dan akibatnya akan menyebabkan nyeri pada pasien dan pembatasan
aktivitas fisik.
f) Hipotensi Postural
Merupakan penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg dari posisi baring ke
duduk atau berdiri, yang biasanya akan menyebabkan sinkop pada pasien. Hal ini
disebabkan tubuh tidak terbiasa dalam menyesuaikan tekanan darah pada saat
keadaan berdiri, karena pasien terlalu lama tirah baring.
c. Kematian
Hanya 50% dari 40 orang yang jatuh yang akan hidup hingga satu tahun kemudian
dan sekitar 2,2% pasien lansia yang datang ke UGD karena jatuh berujung pada
kematian.
d. Infeksi
Infeksi dapat terjadi pada fraktur terbuka sehingga menyebabkan berbagai infeksi
seperti infeksi pada kulit, myositis ossificans, bursitis, dan septic arthritis. Selain itu,
karena fraktur lebih sering terjadi pada wanita, penggunaan kateter akibat imobilitas
dapat menyebabkan terjadinya infeksi traktus urinarius. Infeksi dapat diatasi dan
dicegah dengan pemberian antibiotik.
e. Gangguan Psikologi
Walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi
dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri,
pembatasan dalam aktivitas sehari-hari, dan fobia jatuh. Sekitar 25-40% lansia takut
jatuh, bahkan yang belum pernah jatuh sekalipun.
f. Gangguan Gaya Berjalan

4. Tatalaksana Farmakologi dan Non Farmakologi Sindrom Geriatri (Pada Kasus


Jatuh)
-Tatalaksana Farmakologi-
Tujuan tatalaksana dari pasien jatuh adalah mengobati impairment jika memungkinkan,
membangun suatu sistem untuk mengkompensasi kekurangan fungsi, menyediakan
bantuan untuk membantu pasien jika diperlukan. Menggunakan alat bantu dapat
meningkatkan mobilitas pasien dengan kelainan keseimbangan. Secara umum, pasien
dapat mendapat pegangan atau topangan dalam berjalan. Untuk pasien dengan kehilangan
sensasi pada ekstremitas bawah, alat bantu ini dapat menjadi sensoris tambahan untuk
membantu kesadaran posisi tubuh. Penggunaan tongkat jalan lebih mudah karena lebih
mudah digerakan dibanding walker. Walker yang model baru juga memiliki roda dengan
sistem rem, keranjang, dan kursi. Alas kaki dengan sol lebar juga bisa digunakan untuk
meningkatkan stabilitas. Penggunaan hip protector dapat mengurangi risiko terjadinya
cedera.

Komplikasi jatuh yang bisa dicegah tergantung dari kondisi pasien dan komplikasi yang
terjadi. Jika pasien jatuh akibat ketidakseimbangan gait, maka harus dicari etiologinya,
apakah dari sistem vestibuler, hipotensi ortostatik, aritmia, penyakit Meniere, BPPV,
miopati, dan kelainan sistem saraf pusat. Selain itu, untuk komplikasi seperti ulcus
decubitus dan pneumonia juga dapat dilakukan tatalaksana secara farmakologis.

Penyebab jatuh akibat kelainan mata dapat diberikan lensa korektif, operasi katarak, jika
ada glaucoma bisa diberikan timolol maleat drops. Kelainan vestibuler seperti BPPV dan
Meniere dapat diberikan obat seperti meclizine, atau penggunaan maneuver Epley,
Brandt-Daroff, dan Dix Hallpike. Pada pasien dengan neuropati perifer, bisa dilakukan
diagnosis diferensial dahulu, jika penyebab karena DM bisa diobati DMnya. Pada pasien
dengan hipotensi ortostatik dapat diawasi penggunaan obat hipertensinya. Pasien
pneumonia harus dievaluasi menggunakan CURB-65 untuk menetapkan apakah pasien
perlu dirawat inap atau rawat jalan. Pengobatan pneumonia harus disesuaikan dengan
klinis dan hasil kultur sputum, dengan ddx pneumonia tuberculosis. Pasien jatuh dengan
komplikasi fraktur collum femur dapat dilakukan pembedahan ortopedi untuk
mengkoreksi tulang yang patah, bisa menggunakan teknik ORIF (Open Reduction
Internal Fixation), atau jika tulang sudah osteoporosis parah dapat digunakan metode
total hip arthroplasty. Metode pembedahan lain yang bisa dilakukan adalah
hemiarthroplasty. Pasien pascaoperasi harus diawasi agar tidak terjadi ulcus decubitus
dengan tirah baring bergantian satu sisi setiap 2 jam. Jika pasien susah makan sendiri
dapat diberikan pipa nasogastric atau pipa orogastric, dan jika daerah mulut dan hidung
sudah susah dilakukan atau risiko infeksi pneumonia meningkat, dapat menggunakan
gastrostomy.

Beberapa tatalaksana pada sindrom geriatri yaitu :


a. Tatalaksana Fraktur
Menurut Geriatric Fracture Center, prinsip penatalaksanaan fraktur pada lansia adalah
pasien mendapatkan manfaat dari stabilisasi pembedahan terhadap fraktur yang
dialami, semakin cepat pasien mengalami operasi, semakin kecil risiko terjadinya
penyakit iatrogenik. Manajemen bersama dan komunikasi yang baik dalam tim dapat
menghindari pasien dari komplikasi medis dan fungsional. Protokol yang
terstandarisasi akan mengurangi kemungkinan variasi penyakit, dan perencanaan
yang menyeluruh sejak pasien datang berobat pertama kali juga sangat menunjang
keberhasilan terapi pada pasien.
Ada dua tahap tatalaksana fraktur pada lansia yaitu :
a) Penatalaksanaan Awal
Berfungsi untuk menstabilkan keadaan pasien, merupakan pertolongan pertama
pada pasien fraktur.
- Survei awal bertujuan untuk menilai dan memberikan pengobatan sesuai
dengan prioritas trauma yang dialami pasien.
- Fungsi vital (airway, breathing, circulation, disability, dan exposure) harus
dinilai terlebih dahulu dengan tepat dan efisien, dilakukan sebelum menilai
fraktur.
- Penilaian klinis fraktur dilakukan untuk mengetahui jenis fraktur; luka
tembus tulang, adanya trauma saraf, trauma pembuluh darah, trauma organ
dalam.
- Penanganan nyeri: Paracetamol 500 mg hingga maksimal 3000 mg per hari.
Bila dirasa respon tidak adekuat, pasien dapat ditambahkan pemberian
kodein 10mg. Selanjutnya, terapi akan menggunakan NSAID (ibuprofen)
400mg 3x sehari. Pada keadaan nyeri berat, terutama bila terjadi
osteoporosis, pasien dapat diberikan kalsitonin 50-100 IU secara subkutan
pada malam hari.
- Hindari penggunaan golongan narkotik untuk lansia karena dapat
menimbulkan delirium.
- Jika khawatir ada risiko infeksi, berikan antibiotik (spektrum luas)
perioperatif.
- Tromboemboli dapat dicegah dengan pemberian antikoagulan. Antikoagulan
diberikan selama masa perioperatif dan dapat diberikan LMWH (low
molecular weight heparin) tanpa pengontrolan aPPT terlebih dahulu.
Sebelum operasi, antikoagulan dihentikan agar luka perdarahan operasi
terkendali. Setelah operasi, antikoagulan dapat diberikan lagi hingga 2-4
minggu, atau sampai saat pasien sudah dapat mobilisasi.
b) Penatalaksanaan Definitif
- Prinsip 4R:
 Recognition (penilaian fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik,
dan pemeriksaan penunjang / radiologi)
 Reduction (bila perlu, restorasi fragmen fraktur supaya dapat posisi yang
bisa diterima dan paling mungkin untuk mobilisasi Ketika nanti sudah
mungkin digerakkan)
 Retention (imobilisasi fraktur)
 Rehabilitation (mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal
mungkin)
- Reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint.
- Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa sebelum dan
sesudah reposisi dan imobilisasi.
- Pasien dengan trauma multipel sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur
tulang panjang setelah hemodinamik pasien stabil, sedangkan
penatalaksanaan definitif fraktur adalah penggunaan gips atau dilakukan
operasi: ORIF (Open Reduction Internal Fixation) maupun OREF (Open
Reduction External Fixation).
- Reposisi bertujuan untuk mengembalikan fragmen ke posisi anatomi.
Teknik reposisi ada 2 :
 Reposisi tertutup = fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal
 Reposisi terbuka = dilakukan bila gagal dilakukan reposisi tertutup,
fragmen geser, mobilisasi dini, fraktur multiple, dan fraktur patologis.
- Imobilisasi/fiksasi bertujuan untuk mempertahankan posisi fragmen pasca
reposisi sampai terjadi union. Indikasi: shortening, fraktur unstable,
kerusakan hebat pada jaringan kulit dan jaringan sekitar fraktur.
- Pemberian suplemen kalsium dapat dilakukan dengan pemberian makanan
mengandung kalsium misalnya susu atau dalam bentuk kalsium sitrat untuk
memenuhi kebutuhan kalsium sekitar 1200 mg per hari. Untuk mencapai
dosis harian yang direkomendasikan 800-1000 IU vitamin D sering
dibutuhkan tambahan multivitamin selain produk kombinasi kalsium dan
vitamin D, yang umumnya hanya mengandung 200 IU per tablet. Pada
pasien yang kekurangan vitamin D, perlu dilakukan pendekatan yang lebih
agresif untuk penggantian vitamin D. Paparan sinar ultraviolet dari sinar
matahari pada kulit juga dapat menambah asupan vitamin D.

b. Tatalaksana Inkontinensia Urin


Tatalaksana sebaiknya dimulai dengan metode yang paling tidak invasif.
a) Stress urinary incontinence
- Manajemen konservatif: behavioral therapy (mengontrol intake cairan,
segera kencing jika terasa ingin kencing, manajemen konstipasi, dsb.),
stimulasi listrik, alat mekanik (cones, pessaries, urethral plugs), memperkuat
otot lantai panggul (Kegel and floor muscle exercises), menurunkan berat
badan.
- Manajemen farmakologis: agonis alfa-adrenergik (phenylpropolamine).
- Manajemen operasi: balon intravesikal, injeksi bulking agent trans atau
periuretral, sling procedure, urethropexy.
b) Urge urinary incontinence
- Manajemen konservatif: mirip dengan manajemen pada stress urinary
incontinence dengan pengecualian alat mekanik.
- Manajemen farmakologis: antimuskarinik (darifenacin, solifenacin,
oxybutynin, tolterodine, fesoterodine, trospium).
- Manajemen operasi: neuromodulasi, injeksi onabotulinumtoxinA.
c) Mixed urinary incontinence
- Manajemen seperti yang telah disebutkan, berfokus pada gejala yang lebih
dominan.
d) Overflow urinary incontinence
- Manajemen konservatif: kateterisasi intermiten yang bersih, indwelling
urethral catheter, manajemen terhadap obstruksi.
- Manajemen farmakologis: antagonis alfa-adrenergik (terazosin, tamsulosin)
- Manajemen operasi: kateter suprapubik
e) Functional urinary incontinence
- Faktor penyebab sebaiknya ditemukan dan diberikan tatalaksana jika
dimungkinkan.
c. Tatalaksana Inkontinensia Alvi
a) Manajemen pasien dengan inkontinensia alvi dimulai dengan tatalaksana non-
operatif.
b) Perubahan diet  untuk mengidentifikasi dan menjauhi makanan yang
menyebabkan diare atau urgensi. Pembatasan intake serat dan cairan dapat
membantu untuk mempertebal feses, namun jika berlebihan maka dapat
meningkatkan volume feses sehingga menjadi tidak produktif jika fungsi sfingter
juga lemah.
c) Kebiasaan BAB dan behavioral training  mengembangkan kebiasaan BAB yang
teratur.
d) Tatalaksana farmakologis  memperlambat gerakan usus (obat-obatan antidiare),
mengikat asam empedu (cholestyramine), atau untuk mengurangi relaksasi
reflektorik sfingter (antidepresan seperti amitriptyline).
e) Strategi operatif
f) Pilihan operasi dilakukan pada pasien dengan inkontinensia alvi yang signifikan
yang regrakter terhadap manajemen konservatif.
g) Contoh: deformitas cloaca-like, prolaps rektal atau hemoroidal, keyhole
deformity, atau ektropion mukosal.

-Tatalaksana Non Farmakologi-


Edukasi
Berikan penjelasan kepada keluarga dan kepada pasien mengenai komplikasi yang
mungkin terjadi. Pasien lansia sering mengalami komplikasi perioperatif seperti deep
vein thromboembolism (DVT), hipoksia, delirium, anemia yang membutuhkan
transfusi, gagal jantung kongestif, gangguan ginjal akut, dan infark miokard.
Komplikasi pasca operasi yang paling umum yaitu pneumonia, gangguan ginjal akut,
dan ulkus dekubitus.

-Prognosis-

Risiko komplikasi pasca operasi yaitu nyeri, lama rawat, dan kematian dapat
berkurang bila pasien lansia diberi tatalaksana operatif dalam kurun waktu tidak lebih
dari 24-48 jam, namun akan meningkat pada pasien lanjut usia dengan faktor-faktor
risiko dan komplikasi. Perawatan bedah mengurangi mortalitas dan nyeri kronis serta
meningkatkan kualitas hidup dibandingkan dengan manajemen medis. Fraktur
humerus proksimal dan fraktur lansia lainnya dapat menurunkan kualitas hidup dan
kemandirian secara kronis. Pasien yang tidak mengalami perbaikan range of motion
(ROM) dan kekuatan dalam satu tahun akan terus mengalami kesulitan kronis.
Fraktur ini dapat menurunkan kemampuan pasien untuk menggunakan peralatan
adaptif seperti alat bantu jalan, tongkat, atau pegangan. Kebutuhan perawatan
kesehatan di rumah dan penilaian keamanan harus dilakukan sebelum mengeluarkan
pasien dari rumah sakit karena pasien mungkin tidak dapat mempertahankan
independensi dengan cedera ini.

5. Program Rehabilitasi Medik Pada Patah Tulang Lansia


Rehabilitasi adalah segala tindakan fisik, penyesuaian psikososial, dan latihan vokasional
yang dilakukan sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri yang
optimal serta mempersiapkan pasien secara fisik, mental, sosial, dan vokasional untuk
suatu kehidupan penuh sesuai dengan kemampuannya. Rehabilitasi merupakan proses
jangka panjang yang memerlukan program dan sarana yang mencukupi. Keberhasilan
dari program rehabilitasi tergantung pada besarnya motivasi belajar, pola hidup sebelum
dan sesudah sakit serta dukungan dari orang-orang terdekat pasien. Tim yang menangani
rehabilitasi terdirimdari dokter, perawat, psikologi, petugas sosial, dan petugas terapi
okupasional.

a. Tujuan Tatalaksana
 Mobilisasi segera untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring yang
lama.
 Mencegah disabilitas
 Penderita dapat kembali ke tingkat fungsional sebelum terjadinya fraktur
b. Persiapan
Sebelum dilakukan terapi, penting untuk berkomunikasi dengan dokter bedah yang
melakukan tindakan pada pasien patah tulang. Edukasi mengenai program yang akan
dilakukan wajib dilakukan kepada pasien. Sehingga pasien terinfo mengenai tahapan
dan meningkatkan kepatuhan pasien saat melakukan terapi. Dokter akan menetapkan
tujuan jangka pendek dan panjang yang ditetapkan bersama dengan pasien juga.
c. Risiko dan Efek Samping
Segala tindakan memiliki risiko dan efek samping. Misalnya rasa nyeri, pegal, atau
tidak nyaman pada area tubuh yang mendapat terapi. Kondisi kesehatan, usia,
kebiasaan sehari-hari, dan aktivitas pasien juga mempengaruhi respons terhadap
terapi. Tubuh pasien akan melakukan kompensasi setelah dilakukan terapi rutin.

Pasien perlu memberitahukan hal-hal yang bisa mempengaruhi terapi, misalnya jika
sedang mengonsumsi obat atau suplemen tertentu. Begitu juga jika ada alergi atau
sedang menjalani terapi medis lain. Komunikasi adalah hal yang sangat penting
antara dokter, terapi, dan pasien yang akan dilakukan terapi. Gejala yang dirasakan
sebelum, pada saat dan setelah dilakukan terapi dapat menjadi pertimbangan bagi
dokter dan terapis untuk mengubah, menambah terapi serta menilai tingkat kemajuan
pasien.

d. Pelaksanaan
Penilaian dokter tergantung pada fungsi yang terganggu pada penderita patah tulang
tersebut. Patah tulang dapat terjadi pada anggota gerak atas atau pada anggota gerak
bawah atau keduanya, juga dapat terjadi pada tulang belakang sehingga dapat
mengganggu fungsi dari aktivitas sehari-hari pasien tersebut. Apabila patah tulang
terjadi pada anggota gerak atas dan atau tulang belakang, apakah ada masalah saraf
atau otot yang robek yang dapat mengganggu fungsi tangan. Apabila pada angota
gerak bawah, seberapa banyak mengganggu fungsi berjalan.
Jenis-jenis program yang dilakukan :
a) Program fisioterapi
- Aktivitas di tempat tidur
- Positioning, alih baring, latihan pasif dan aktif lingkup gerak sendi.
- Mobilisasi.
- Latihan bangun sendiri, duduk, transfer dari tempat tidur ke kursi, berdiri,
jalan.
- Melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, makan, berpakaian.
b) Program Okupasi Terapi
Latihan ditujukan untuk mendukung aktifitas kehidupan sehari-hari, dengan
memberikan latihan dalam bentuk aktifitas, permainan, atau langsung pada
aktifitas yang diinginkan. Misal latihan jongkok dan berdiri.
c) Program Ortotik Prostetik
Pada ortotis prostetis akan membuat alat penopang atau alat pengganti bagian
tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi penderita, misal pembuatan alat
diusahakan dari bahan yang ringan, model alat yang lebih sederhana sehingga
mudah dipakai.
d) Program Terapi Bicara
Program ini kadang-kadang tidak selalu ditujukan untuk latihan bicara saja, tetapi
diperlukan untuk memberi latihan pada penderita dengan gangguan fungsi
menelan apabila ditemukan adanya kelemahan pada otot-otot sekitar tenggorok.
Hal ini sering terjadi pada penderita stroke, di mana terjadi kelumpuhan saraf
vagus, saraf lidah, dll.
e) Program Sosial Medik
Petugas sosial medik memerlukan data pribadi maupun keluarga yang tinggal
bersama lansia, melihat bagaimana struktur atau kondisi di rumahnya yang
berkaitan dengan aktivitas yang dibutuhkan penderita, tingkat social ekonomi.
Misal seorang lansia yang tinggal di rumahnya banyak tramp/anak tangga,
bagaimana bisa dibuat landai/pindah kamar yang datar dan bisa dekat dengan
kamar mandi.
f) Program Psikologi
Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan keadaan
emosionalnya yang mempunyai ciri-ciri yang khas pada lansia, misal apakah
seorang yang tipe agresif atau konstruktif. Untuk memberikan motifasi lansia agar
lansia mau melakukan latihan, mau berkomunikasi, sosialisaai dan sebagainya.
e. Perawatan Pasca Terapi
Pasien akan menerima panduan perawatan dan saran medis setelah menjalani terapi.
Panduan dan saran ini perlu dipatuhi agar proses rehabilitasi berjalan sesuai dengan
harapan. Pasien biasanya diminta tidak terlalu memforsir kerja tulang yang baru
mendapat terapi selama beberapa waktu.

Pasien juga mungkin perlu menjadwalkan konsultasi dengan dokter rehabilitasi medis
untuk menilai progres pemulihan pada tulang yang sebelumnya patah. Berdasarkan
penilaian ini, dokter akan menentukan tingkat keberhasilan fisioterapi dan okupasi
terapi serta tindakan apa yang perlu dilakukan untuk membantu perbaikan lebih baik.
f. Nutrisi
Dibutuhkan keseimbangan antara asupan nutrisi dengan kebutuhan nutrisi, khususnya
pada proses penyembuhan fraktur.
a) Energi
Penyembuhan fraktur membutuhkan energi yang lebih banyak. Jumlah kalori
yang dibutuhkan untuk metabolisme penyembuhan tulang panjang adalah hampir
3 kali kebutuhan kalori pada manusia dewasa aktif. Untuk penyembuhan fraktur
tulang panjang multipel dibutuhkan energi hingga 6000 kalori per hari. Energi
bisa diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein.
b) Protein
Protein merupakan zat utama untuk membentuk matriks tulang. Protein
meningkatkan insulin-like growth factor-1 (IGF-1), yaitu polipeptida yang
berperan dalam integritas tulang, kekuatan otot, respon imun dan pembaharuan
tulang. Kebutuhan protein bagi tubuh per harinya 0,8 gr sampai 1,5 gr per
kilogram berat badan. Dibutuhkan peningkatan asupan protein sebanyak 10 – 20
gram untuk proses penyembuhan tulang. Kekurangan asupan protein dapat
memperlambat proses penyembuhan fraktur. Protein dapat ditemukan dalam susu,
ikan, tahu, tempe, dan putih telur.
c) Kalsium dan Fosfor
Penyembuhan jaringan tulang membutuhkan suplai kalsium dan fosfor yang
adekuat terutama pada minggu-minggu pertama proses penyembuhan fraktur.
Kalsium dan fosfor merupakan mineral utama untuk pembentukan Calcium
Hydroxyapatite pada tulang. Kebutuhan kalsium harian mencapai 1.000 mg bagi
yang berusia 19-50 tahun. Usia di atas 51 tahun memerlukan kalsium per harinya
sekitar 1.200 mg. Kebutuhan kalsium per hari untuk bayi mencapai 300-400 mg,
sementara untuk anak-anak 500-800 mg per hari.Kalsium ini dapat diperoleh dari
makanan yang sehari-hari dikonsumsi, misalnya tahu dan tempe. Kalsium juga
bisa didapatkan dari susu, telur, daging, ikan, ceker ayam, bayam dan brokoli.
d) Zinc
Zinc berperan untuk proliferasi sel. Zinc dibutuhkan untuk pembentukan kalus
pada proses penyembuhan tulang. Kebutuhan Zinc per hari adalah sebesar 8-11
mg. Zinc dapat diperoleh dari bayam, kacang-kacangan, gandum, daging ayam
atau sapi dan asparagus.
e) Vitamin D
Vitamin D memiliki peran penting dalam membantu penyerapan kalsium oleh
tulang. Vitamin D membantu meningkatkan penyerapan kalsium 2,5 kali. Vitamin
D berkonjugasi dengan vitamin K untuk menstimulasi stem cell menjadi osteoblas
pada proses penyembuhan fraktur. Vitamin D terdapat pada kerang, keju, kuning
telur, sereal, roti gandum, ikan salmon, butter dan margarin.

f) Vitamin C
Vitamin C dibutuhkan untuk sintesis kolagen pada matriks tulang dan berperan
dalam menjaga permeabilitas kapiler. Vitamin C juga berfungsi sebagai
antioksidan dan antiinflamasi. Tubuh membutuhkan vitamin C sebanyak 500 –
1000 mg per hari untuk proses penyembuhan fraktur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jatuh. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses 13 April 2023. Diunduh dari :
https://kbbi.web.id/jatuh
2. Inkontinensia. Merriam-Webster.com. Diakses 13 April 2023. Diunduh dari:
https://www.merriam-webster.com/medical/immobilization
3. Urinary incontinence. Mayo Clinic. 17 Desember 2017. Diakses 13 April 2023. Diunduh
dari: https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/urinary-incontinence/symptoms-
causes/syc-20352808
4. Fecal incontinence. Mayo Clinic. 1 Desember 2020. Diakses 13 April 2023. Diunduh dari:
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/fecal-incontinence/symptoms-causes/syc-
20351397
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing.
6. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, dan Loscalzo. 2015. Harrison's
Principles of Internal Medicine. Edisi 19. New York : McGraw Hill Education.
7. Woolf AD, Akesson K. Preventing fractures in elderly people. BMJ. 2003;327(7406):89-95.
doi:10.1136/bmj.327.7406.89
8. Sherrington C, Tiedemann A (2015) Physiotherapy in the prevention of falls in older people.
Journal of Physiotherapy 61: 54–60.
9. Felicia RK, Andriessanto CL. Fraktur Geriatrik. e-Clinic. 2020; 8 (2): 203-210.
10. Darmojo RB, Martono H. 2009. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) edisi 4.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai