Anda di halaman 1dari 20

Permasalahan dan Potensi Pengembangan Oret, Sosis Khas Bali

Problems and Development Potential of Oret, Balinese Sausage.

Oleh
Wayan Angga Pranayasa
NIM. 2282521001

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


UNIVERSITAS UDAYANA
2023
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. 1
DAFTAR ISI ......................................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 3
1.1 Latar belakang ......................................................................................... 3
1.2 Tujuan ..................................................................................................... 4
1.3 Manfaat ................................................................................................... 5
BAB II. PEMBAHASAN ..................................................................................... 6
2.1 Karakteristik Oret ................................................................................... 6
2.1.1 Jenis oret ............................................................................................ 6
2.1.2 Komponen gizi oret ........................................................................... 7
2.1.3 Metode pengolahan oret .................................................................... 8
2.2 Permasalahan .......................................................................................... 9
2.2.1 Tekstur ............................................................................................. 10
2.2.2 Pencoklatan ...................................................................................... 11
2.3 Perbaikan .............................................................................................. 12
2.3.1 Proses pembuatan ............................................................................ 12
2.3.2 Tekstur ............................................................................................. 14
2.3.3 Tampilan .......................................................................................... 16
BAB III. KESIMPULAN .................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 19

2
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Bali merupakan salah satu destinasi wisata dunia yang menawarkan keindahan
alam dan budaya. Di Bali, masyarakat hidup berdampingan dengan budaya atau tradisi
yang telah diwariskan secara turun temurun. Budaya Bali lekat kaitanya dengan kegiatan
spiritual (kegiatan keagamaan) dimana kegiatan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan
pangan tradisional (Margaretha & Sulistyawati, 2022). Hari raya Galungan dan Kuningan
merupakan hari raya besar bagi masyarakat Bali dimana sebagian besar akan merayakan
dengan menghidangkan berbagai pangan tradisional seperti lawar, tum, komoh, sate lilit,
urutan, oret dan lainnya. Setiap daerah di Bali memiliki resep atau metode yang berbeda
sehingga cita rasa setiap pangan menjadi otentik. Tidak mengherenkan bila wisatwan
yang berkunjung ke Bali menjadi penasaran dengan cita rasa pangan tersebut.
Pangan tradisional memiliki peran dalam upaya pengembangan
penganekaragaman dan ketahanan pangan daerah (Suter, 2014). Pangan tradisional
memanfaatkan sumber daya alam lokal sehingga mudah didapat dan relatif murah. Selain
itu, metode pengolahan pangan tradisional masih menerapkan cara sederhana sesuai
dengan resep yang diwariskan secara turun temurun. Menurut hasi survey Suter (1999),
Bali memiliki 528 jenis pangan tradisional yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu
masakan, camilan dan minuman. Jumlah masakan tradisional sebanyak 281 jenis
(53,2%), camilan sebanyak 174 jenis (40%) dan minuman sebanyak 73 jenis (13,8%).
Walau demikian, 478 (90,53%) jenis pangan yang telah dilaporkan belum dikaji tentang
formula, metode pengolahan, kandungan zat gizi hingga keamanannya (Suter, 2014;
Suter et al., 1999). Padahal informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan bagi
masyarakat untuk memperbaiki mutu, pengembangan dan metode pemasaran yang dapat
dilakukan.
Pangan memiliki beberapa fungsi diantaranya fungsi primer (primary function),
sekunder (secondary function) dan tersier (tertiary function) (Widyaningsih et al.,
2017).Pangan tradisional mampu memenuhi kebutuhan zat gizi tubuh sehingga
memenuhi fungsi primer. Disamping itu, bahan pangan harus memenuhi fungsi sekunder
yaitu organoleptik atau dapat diterima dari segi tampilan dan rasa. Pangan tradisional
memanfaatkan bahan alami dengan sedikit bahan tambahan pangan (BTP) sehingga
memiliki gizi yang tinggi (Suter, 2014). Walau demikian, pangan dengan gizi tinggi

3
cenderung ditolak oleh konsumen jika penampilan dan cita rasa tidak menarik atau tidak
memenuhi selera konsumen. Oleh sebab itu, kajian terkait formulasi dan metode
pengolahan yang baik perlu dilakukan agar pangan tradisional mampu memenuhi
karakteristik indrawi konsumen.
Oret atau semuuk bagi warga Badung (“semuuk”, berarti telur busuk, ) merupakan
salah satu pangan tradisional khas Bali yang kurang populer dikalangan anak muda (Desa
Abian Semal, 2018). Oret hampir sama dengan urutan karena isian dimasukkan kedalam
usus babi (casing) mirip seperti proses pembuatan sosis. Perbedaan oret dengan urutan
terletak pada jenis isian dan metode pengolahan. Jenis isian pada Urutan hanya berupa
daging sedangkan pada oret beragam mulai dari ubi, ampela, hati, jeroan, sayur, telur dan
lainnya (Desa Abian Semal, 2018). Oret tidak dikeringkan seperti urutan sehingga oret
akan dikukus ketika hendak dihidangkan. Walau demikian, popularitas oret masih kalah
dengan urutan apalagi dengan sosis modern. Hal tersebut dikarenakan isian pada oret
mengakibatkan rasa yang khas berbeda dengan urutan yang hanya berisi daging. Selain
itu, tekstur pada oret juga tidak konsisten dan tampilan yang kurang menarik.
Berbagai permasalahan pada pangan tradisional menyebabkan daya saing lebih
rendah dibandingkan pangan modern. Bagaimanapun juga, pangan tradisional memiliki
berbagai potensi untuk dikembangkan. Pengembangan pangan tradisional dapat
meningkatkan perekonomian daerah karena menggunakan bahan pangan lokal serta
melibatkan masyarakat daerah. Pemberdayaan bahan pangan lokal seperti ubi mampu
mengurangi ketergantungan (food trap) masyarakat pada bahan impor seperti gandum
dan turunannya (Suter, 2014). Perbaikan pada cita rasa dan tampilan akan mendorong
masyarakat lokal khususnya generasi muda untuk lebih mencintai produk lokal. Selain
itu, Bali merupakan destinasi wisata dunia sehingga peluang masakan lokal dikenal
wisatawan menjadi lebih tinggi.

1.2 Tujuan
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kandungan gizi, bahan serta metode pengolahan oret.
2. Mengetahui permasalahan pada mutu oret.
3. Mengetahui langkah perbaikan yang dapat dilakukan agar oret dapat memenuhi
karakeristik indrawi konsumen.

4
1.3 Manfaat
Manfaat yang mungkin diperoleh dari penelitian ini yaitu:
1. Dapat mengetahui kandungan gizi, bahan serta metode pengolahan oret.
2. Dapat mengetahui permasalahan pada mutu oret.
3. Dapat mengetahui langkah perbaikan yang dapat dilakukan agar oret dapat
memenuhi karakeristik indrawi konsumen.

5
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Oret
Oret atau disebut semuuk menurut warga Badung (dari bahasa Bali, “semuuk”,
berarti telur busuk) merupakan salah satu masakan khas Bali yang menyerupai urutan
(sosis). Oret seringkali disajikan saat hari raya besar dan dipadukan bersama Babi Guling.
Oret dan urutan secara fisik terlihat sama walaupun terdapat perbedaan diantaranya
khususnya dari sisi isian dan metode pengolahan. Urutan merupakan masakan tradisional
sejenis sosis yang difermentasi secara alami. Isian urutan umumnya menggunakan daging
yang dipotong kecil (tidak dicincang) dan dibumbui dengan bumbu lengkap. Oret dibuat
dengan isian yang beragam mulai dari ubi, ampela, hati, jeroan, sayur (umumnya daun
singkong), telur, tepung dan lainnya (Desa Abian Semal, 2018). Ada pula jenis oret yang
ditambahkan darah segar sehingga membuat tampilan oret menjadi merah gelap. Tidak
seperti urutan, oret tidak difermentasi lebih lanjut melainkan langsung dikukus atau
digoreng jika hendak dihidangkan.

2.1.1 Jenis oret


Oret memiliki ciri khas pada isiannya dimana pada setiap daerah memiliki resep
atau formulasi yang berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan rasa oret yang otentik pada
setiap daerah. Ditinjau dari jenisnya, oret dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu
oret putih dan merah. Oret merah merupakan oret yang ditambahkan darah segar untuk
memeberi warna merah sedangkan oret putih tidak menambahkan darah merah sama
sekali. Hal ini menyebabkan perbedaan yang mencolok antara oret merah dan putih,
dimana oret merah cenderung berwarna gelap setelah digoreng atau diasap. Tampilan
tersebut bagi sebagian orang kurang menarik sehingga peminat oret merah cenderung
sedikit. Oret putih memiliki tampilan yang lebih baik dimana setelah digoreng/diasap
warna kulit (casing) bervariasi dari coklat muda hingga coklat gelap, tergantung lama
pemasakan. Selain itu, penambahan darah segar kedalam oret berpotensi menjadi sumber
kontaminasi mikroba patogen, walaupun belum didukung dengan bukti yang faktual
(Gede et al., 2021). Dengan alasan tersebut, konsumen cenderung memilih oret putih
karena lebih menarik dan dianggap aman untuk dikonsumsi.

6
Gambar 1. Perbedaan tampilan oret, (kiri) oret merah dan (kanan) oret putih
(sumber: internet)

2.1.2 Komponen gizi oret


Oret memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Merujuk pada hasil penelitian
Suter (1999) dalam Suter (2014) menyatakan bahwa kandungan karbohidrat, protein dan
lemak pada oret berturut-turut sebesar 6,57 g/100g, 7,64 g/100g dan 16,39 g/100g. Secara
keseluruhan, total energi yang diperoleh ketika mengkonsumsi 100 g oret sebesar 204,35
kkal. Data tersebut menunjukkan oret memiliki energi total lebih besar dibandingkan
dengan ayam betutu sebesar 170,98 kkal, serapah sebesar 111,32 kkal dan tum sebesar
191,37 kkal. Hal tersebut dapat menjadikan oret sebagai lauk utama pendamping nasi
(Suter et al., 1999)
Kandungan nutrisi pada oret tentu disebabkan oleh bahan-bahan yang digunakan.
Tidak ada formula baku dalam membuat oret sehingga isian bervariasi sesuai dengan
selera. Umumnya isian oret terdiri dari hati, daging berlemak dan ubi (Internet). Menurut
Seong et al. (2014), hati babi mengandung beberapa nutrisi seperti lemak sebesar 2,94%,
kadar abu 1,34%, protein sebesar 22,05% dan kalori sebesar 1.850,60 kal/g. Selanjutnya,
data menenjukkan bahwa kandungan protein pada hati lebih tinggi dibandingkan dengan
jantung (17,62%), paru (16,6%), pankreas (20,98%), usus besar (8,45%) dan usus kecil
(11,99%) (Seong et al., 2014). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya kadar protein pada
oret disebabkan oleh kandungan gizi pada hati babi. Selain hati, daging babi juga berperan
penting pada tingginya kandungan nutrisi pada oret. Total kalori dan kandungan nutrisi
pada daging babi meliputi protein dan lemak berturut turut sebesar 453 kal, 11,9 g/100g
dan 45 g/100g. Selain itu, daging babi mengandung komponen mineral meliputi kalsium
(7 mg), fosfor (117 mg), besi (1,8 mg), natrium (112 mg), kalium (819 mg), tembaga

7
(0,22 mg) dan seng (0,5 mg). Daging babi juga diketahui mengandung vitamin B12
(Maiyena & Mawarnis, 2022). Kombinasi hati dan daging babi sebagai isian
menyebabkan kandungan protein dan lemak pada oret menjadi tinggi. Disamping itu,
penambahan telur sebagai pengemulsi juga berdampak pada peningkatan kandungan
protein pada oret.
Seringkali isian oret dipadukan dengan ubi (disebut juga sela bun) untuk
membentuk tekstur padat saat dimasak. Penambahan ubi sebagai isian oret dapat
meningkatkan kandungan karbohidrat pada oret. Umumnya masyarakat memilih ubi jalar
putih karena mudah didapat dan memiliki tekstur yang baik ketika dimasak. Menurut
Koswara (2013), kandungan nutrisi pada ubi meliputi protein, lemak, abu, karbohidrat,
serat berturut-turut sebesar, 0,87%, 0,95%, 0,93%, 28,79% dan 65,24%. Ubi jalar putih
memiliki kadar air sebesar 65,24% sehingga lebih tahan terhadap serangan
mikroorganisme. Selain itu, ubi jalar putih mampu menyediakan kalori sebesar 123 kal
(Koswara, 2013). Selain ubi, sumber karbohidrat pada oret diperoleh dari penambahan
tepung. Masyarakat setempat umumnya menggunakan tepung beras karena lebih murah.
Menurut USDA (2019) tepung beras mengandung 80,1 g/100g karbohidrat, 5,95 g/100g
protein dan 2,4 g/100g serat. Kadar pati dan amilosa pada tepung beras berturut-turut
71,47% dan 19,75% (Yuwono et al., 2013). Kadar amilosa pada tepung berperan penting
pada pembentukan tekstur pangan. Kadar amilosa yang tinggi menyebabkan tekstur
pangan menjadi keras (pera) sehingga menurunkan tingkat penerimaan konsumen.
Walaupun demikian, kadar amilosa tinggi memberikan keuntungan terhadap mekanisme
pelindungan terhadap dehidrasi serta mengurangi kemampuan penyerapan minyak saat
penggorengan. Disisi lain, kadar amilosa yang terlalu rendah akan menghasilkan produk
yang rapuh dengan kerapatan yang rendah (Wanita & Wisnu , 2013).

2.1.3 Metode pengolahan oret


Prinsip pembuatan oret pada dasarnya sama seperti pembuatan urutan. Perbedaan
metode pembuatan terletak pada isian oret dimana daging yang digunakan dicincang
terlebih dahulu sebelum akhirnya dicampur dengan bahan lain. Ada beberapa bahan yang
diperlukan yaitu daging jeroan, usus babi (casing), bumbu lengkap (base genep), telur,
cabai goreng, tepung beras, terasi goreng, bawang goreng (bawang merah dan putih) serta
santan. Bumbu lengkap (base genep) yang digunakan pada pembuatan oret diantaranya

8
bawang merah, bawang putih, kunyit, cabai kecil, jahe, kencur, lengkuas, serai, garam,
ketumbar, kemiri, merica hitam, buah pala dan cabai rambat (Luh Putu Ravi
Cakswindryandani et al., 2020). Seluruh rempah dihaluskan dengan cara dicincang
kemudian digoreng hingga matang. Daging jeroan seperti hati, ampela dan daging babi
dicincang hingga halus kemudian dicampur dengan bumbu lengkap. Saat pencampuran
ditambahkan juga bahan lain yaitu tepung beras, telur, cabai goreng, terasi goreng,
bawang goreng, serta santan. Setelah adonan dirasa tercampur sempurna, isian kemudian
dimasukkan kedalam usus babi. Usus babi yang telah terisi terlebih dahulu diberi lubang
menggunakan jarum untuk memberikan celah udara untuk menghindari usus robek ketika
dimasak. Usus kemudian dimasak dengan cara dikukus, atau langsung digoreng atau
dipanggang untuk dihidangkan.

2.2 Permasalahan
Oret merupakan salah satu masakan khas Bali yang tidak banyak dikenal oleh
masyarakat. Masyarakat perkotaan memiliki aktivitas yang cukup tinggi sehingga
memiliki waktu yang sedikit untuk mengolah/mempersiapkan kebutuhan makanannya
secara langsung. Bumbu yang digunakan serta proses pengolahan yang cukup ribet
menyebabkan masyarakat enggan untuk memasak oret secara mandiri. Selain itu,
menjamurnya makanan cepat saji dapat mempercepat punahnya masakan tradisional
khususnya oret. Disisi lain, tampilan fisik oret juga kalah dengan makanan cepat saji
serupa. Anak muda saat ini lebih tertarik dengan masakan yang eye catching sehingga
cenderung menolak masakan yang memiliki tampilan kurang baik. Selain itu, oret mudah
mengalami kerusakan apabila didiamkan pada suhu ruang. Hal tersebut karena kadar air
dan kandungan nutrisi yang tinggi pada oret.
Suatu produk pangan setidaknya harus memenuhi beberapa manfaat seperti
manfaat primer, sekunder dan tersier. Mampu memenuhi kebutuhan gizi konsumen
merupakan manfaat primer yang harus dimiliki. Oret memiliki kandungan gizi yang
tinggi sehingga mampu memenuhi kebutuhan energi konsumen. Akan tetapi, oret belum
mampu untuk memenuhi karakteristik indrawi (organoleptik dan tampilan) yang
diharapkan konsumen seperti tampilan yang menarik dan tekstur yang baik. Hal ini
menyebabkan oret cenderung ditolak walaupun memiliki kandungan gizi yang baik.
Selain itu, oret memiliki proses pembuatan yang ribet sehingga perlu inovasi lebih lanjut
agar oret mampu disajikan secara cepat. Hal ini dapat mengikuti produk serupa seperti

9
sosis yang dapat disimpan pada suhu beku (freeze) sehingga mampu memberikan
efisiensi waktu bagi konsumen sekaligus meningkatkan daya simpan oret.

2.2.1 Tekstur
Untuk memperbaiki tekstur pada oret, substitusi tepung beras dapat dikakukan
dengan menggunakan tepung tapioka. Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat
diamati dengan mulut ketika suatu pangan digigit, dikunyah atau ditelan. Tekstur dapat
dikategorkan menjadi kebasahan (juiciness), kering, keras, halus, kasar dan berminyak
(Surawan, 2007). Penambahan ubi dan tepung beras cenderung menyebabkan tekstur oret
menjadi padat dan keras karena adanya komponen amilosa pada pati. Kadar amilosa yang
tinggi akan menyebabkan sifat keras pada pangan. Saat pangan dipanaskan, kadar air pada
pati dengan kadar amilosa tinggi akan lebih cepat menyerap atau melepas air karena
sifatnya yang hidrofilik. Selain itu kadar amilosa pada pati berperan pada pembentukan
tekstur pada pangan. Tepung dengan kadar amilosa yang tinggi akan lebih mudah
menyerap air sehingga menyebabkan peningkatan volume pangembangan pangan. Selain
itu, semakin tinggi kadar amilosa maka sifat produk yang dihasilkan menjadi keras. Hal
ini disebabkan oleh reasosiasi kembali molekul amilosa linier melalui ikatan non kovalen
setelah proses pemanasan. Kadar amilosa yang tinggi juga dapat mengurangi tingkat
penyerapan minyak selama proses penggorengan (Wanita & Wisnu, 2013).
Tepung beras memiliki kadar amilosa yang relatif rendah. Kadar amilosa pada
tepung umumnya 20% dari kandungan pati. Menurut Yuwono et al. (2013), kadar amilosa
pada tepung beras sebesar 19,75%, lebih rendah dibandingkan tepung lain seperti mocaf
(26,77%). Kadar amilosa yang rendah dapat menyebabkan tekstur pangan menjadi kering
dan kasar (Yuwono et al., 2013). Semakin rendah kadar amilosa maka tingkat penyerapan
air semakin rendah sehingga kadar air (juiciness) dan volume pengembangan menjadi
lebih rendah. Selain itu, struktur pangan yang dihasilkan menjadi rapuh, kerapatan rendah
dan lebih berminyak karena pati tidak mampu menahan lepasanya molekul air selama
proses penggorengan (Wanita & Wisnu, 2013). Selain itu, isian oret cenderung tidak
menyatu setelah proses pemanasan. Setelah oret digoreng atau dipanggang, bagian casing
(usus babi) cenderung terpisah dengan isiannya sehingga ketika dipotong isian oret akan
lepas dan berhamburan. Selain itu, ikatan antar isian juga mengalami penurunan yang
ditandai dengan adanya rongga atau celah pada isian oret.

10
2.2.2 Pencoklatan
Usus babi pada oret ketika dimasak akan berubah menjadi coklat karena terjadinya
proses pencoklatan. Jika oret langsung dimasak, maka diperlukan waktu yang cukup lama
agar isian dalam usus menjadi matang sempurna. Durasi pemasakan yang panjang
kemudian menyebabkan reaksi pencoklatan semakin tinggi. Reaksi pencoklatan pada
usus babi terjadi akibat adanya reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino oleh
pemanasan. Reaksi ini disebut sebagi reaksi Maillard non enzimatis (Hustiany, 2016).
Reaksi ini berawal dari penambahan gugus karbonil pada rantai terbuka gula menuju
gugus amino utama (Gambar 2). Reaksi ini akan menghasilkan basa Schiff yang nantinya
akan mengalami dehidrasi selama pemasakan membentuk aldosilamin yang tersubstitusi
nitorgen. Senyawa ini kemudian mengalami reforming struktur (Amadori rearrangement)
menjadi 1-amino-1-deoksi-2-ketosa (senyawa intermediet Heyns untuk gula pereduksi
aldosa). 1-amino-1-deoksi-2-ketosa atau ARP (Amadori rearrangement produduct)
selanjutnya mengalami dehidrasi (karena pemanasan) sehingga melepaskan 3 molekul air
untuk membentuk furfural atau melepaskan 2 molekul air untuk membentuk redukton.
Selain itu, ARP juga mengalami tahap fisi dengan cara aldosilasi sehingga membentuk
produk fisi (asetol, diasetil, piruvaldeida dll). Produk fisi atau dehidroredukton (hasil
degradasi ARP) kemudian mengalami degradasi Strecker yang melibatkan interaksi
dengan asam amino. Tahap akhir dari reaksi pencoklatan adalah konversi karbonil,
furfural, produk fisi, dehidroredukton atau aldehida Strecker (hasil degradasi produk fisi)
menjadi produk bermolekul tinggi yaitu melanoidin, polimer dan kopolimer bernitrogen
berwarna coklat melalui interaksi dengan senyawa amin (Hustiany, 2016).
Reaksi pencoklatan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis gula
pereduksi (aldosa/ketosa), tingkat keasaman (pH), jenis asam amino, rasio gula
pereduksi:asam amino, suhu, kadar air dan aktivitas air (Aw) (Hustiany, 2016).
Umumnya, gula pereduksi yang terlibat dalam reaksi pencoklatan pada daging adalah dari
golongan aldosa. Perubahan warna yang diakibatkan oleh reaksi Maillard dapat
dibedakan menjadi dua kelas yaitu senyawa berwarna molekul rendah (2 – 4 cincin) dan
senyawa berwarna molekul tinggi (melanoidin) (Hustiany, 2016). Perkembangan warna
dipengaruhi oleh suhu, waktu pemanasan, pH dan aktifitas air. Semakin tinggi suhu dan
waktu pemanasan maka proses perubahan warna semakin meningkat. Hal tersebut

11
disebabkan oleh meningkatnya laju reaksi kimia dan laju dehidrasi. Selain itu, pH
semakin tinggi dan kadar air semakin rendah akan meningkatkan reaksi perubahan warna.
Perkembangan warna yang baik akan berlangsung pada pH >7 dengan aktivitas (Aw)
dalam rentang 0,3 – 0,7 (Hustiany, 2016).

Gambar 2. Tahap reaksi pencoklatan (Hustiani, 2016).

2.3 Perbaikan
Fokus permasalahan yang ditinjau dalam proses pengembangan oret dibatasi pada
permasalahan tekstur dan tampilan. Hal ini dilatarbelakangi oleh upaya untuk memenuhi
fungsi sekunder oret (organoleptik dan tampilan) agar mampu diterima oleh konsumen.
2.3.1 Proses pembuatan
Prinsip pembuatan oret pada dasarnya sama dengan pembuatan sosis pada
umumnya. Isian dimasukkan kedalam casing yang terbuat dari usus kemudian dipanaskan
jika hendak disajikan. Walaupun demikian, tampilan oret sedikit berbeda karena saat

12
setelah dimasak, isian oret cenderung tidak menyatu dan kasar. Hal ini mungkin
disebabkan oleh tekstur daging cincang yang kurang halus. Pada proses pembuatan sosis
konvensional, daging harus digiling hingga halus sehingga memudahkan daging untuk
bercampur dengan bahan lainnya. Perbaikan yang dapat dilakukan pada setiap tahap
pembuatan oret diuraikan sebagai berikut:
a) Penghalusan daging
Masyarakat umumnya mencincang daging secara manual sehingga menghasilkan
daging yang kurang halus dan seragam. Padahal, syarat utama daging isian pada proses
pengolahan sosis harus sangat halus agar menghasilkan tekstur yang lembut dan mulus.
Proses penghalusan daging dapat diganti dari metode tradisional (manual) dengan
mennggunakan alat penggiling. Daging yang digiling halus dapat meningkatkan luas
permukaan sehingga adonan akan menyatu dengan baik. Selain itu, semakin besar luas
permukaan maka interaksi molekul protein dengan gugus hidrofilik dari bahan pengikat
akan semakin kuat. Dengan demikian, struktur daging selama dan setelah proses
pemasakan dapat dipertahankan.
b) Pembuatan bumbu lengkap (base genep)
Selain daging oret, bumbu lengkap (base genep) yang ditambahkan juga harus
memiliki tekstur yang halus. Proses penghasulan base genep umumnya dilakukan secara
manual sehingga tekstur rempah menjadi kurang halus dan seragam. Hal ini dapat
berdampak pada tekstur oret yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penggilingan rempah dapat
diganti dengan menggunakan mesin. Selain mendapat hasil yang maksimal, produsen
dapat menghemat waktu dan tenaga sehingga meningkatkan efisiensi proses produksi.
c) Pencampuran
Untuk mempertahankan cita rasa khas oret maka bahan yang digunakan perlu
disesuaikan sehingga dapat diterima oleh konsumen. Bahan yang dicampur untuk isian
oret diantaranya daging, ubi, bumbu lengkap (base genep), telur, garam, tepung beras,
cabai goreng, terasi goreng, bawang goreng, santan (kalas) dan darah (untuk oret merah).
Penambahan darah kedalam oret dapat dihilangkan agar menghasilkan produk yang sehat
dan aman. Selain itu, penambahan darah dapat merubah tampilan oret menjadi merah
gelap sehingga kurang menarik bagi konsumen. Penambahan ubi juga dapat
dipertimbangkan karena dapat menghasilkan rasa khas dan tekstur yang padat. Ubi
ditambahkan kedalam oret untuk mengurangi volume daging sehingga mengurangi biaya

13
produksi. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat dahulunya sulit mendapatkan daging
sehingga lebih memilih menambahkan ubi sebagai filler. Proses pencampuran dapat
dilakukan secara manual dengan memperhatikan sanitasi dan praktik higienis pekerja
seperti menggunakan sarung tangan, celemek dan masker. Jika skala produksi besar,
maka proses pencampuran adonan dapat menggunakan mesin.
d) Penyimpanan
Untuk memperpanjang masa simpan oret, produk dapat disimpan dalam freezer
untuk menhambat laju pembusukan. Tingginya kandungan nutrisi meliputi protein, lemak
dan karbohidrat menyebabkan oret menjadi media pertumbuhan yang ideal bagi
organisme penbusuk. Dengan menyimpan oret pada kondisi beku, degradasi yang
diakibatkan oleh enzim mikroba dapat diinaktivasi. Selain itu, penyimpanan pada kondisi
beku dapat menjaga produk tetap kering dan mematikan metabolisme mikroorganisme.

2.3.2 Tekstur
Secara fisiologis tekstur oret setelah dimasak adalah kering dan kasar. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kemampuan mengikat air tepung yang rendah sehingga
berakibat pula pada tingkat pengembangan isian. Selain itu, daging akan mengalami
degradasi selama pemasakan sehingga ikatan hidrogen pada rantai polipeptida menjadi
terputus dan mengakibatkan protein menggumpal. Air yang hilang selama penggorengan
akan menyebabkan tekstur sosis menjadi kering dan rapuh.
Kombinasi bahan lain diindikasikan dapat meningkatkan kemampuan penyerapan
dan mengikat air tepung beras. Untuk mempermudah eksplorasi, komposisi dari beragam
jenis sosis telah dirangkum pada Tabel 1. Data tersebut dapat digunakan sebagai rujukan
untuk mengidentifikasi pati potensial untuk dikombinasikan dalam formulasi oret.

14
Tabel 1. Komposisi berbagai merk sosis konvensional
Merk sosis Komposisi
Champ Daging ayam, air, daging sapi, kulit ayam, minyak nabati, pati
tapioka, pati jagung, isolat protein, garam, penstabil karagenan,
pengatur keasaman, gula, penguat rasa, dan beberapa komposisi
minor.

Sonice Air, daging ayam, penstabil nabati, tepung tapioka, protein kedelai,
minyak nabati, bumbu sosis ayam dan komponen minor.

Kanzler Daging ayam, daging sapi, penstabil (hidroksipropil pati, fosfat),


putih telur, air, es, minyak nabati, garam, pengemulsi karagenan,
isolat protein kedelai dan komponen minor.

Fiesta Daging sapi, air, penstabil nabati, bumbu sosis (mengandung


penstabil , antioksidan, pengawet makanan natrium nitrit), minyak
nabati, isolat protein kedelai, pewarna makanan.

Kimbo Daging ayam, pati jagung, tepung tapioka, protein kedelai, minyak
nabati, serat pangan, bumbu rasa ayam bakar, penstabil natrium
tripolifosfat, pengawet (kalium sorbat dan natrium nitrit).

Okey Daging ayam, air, penstabil dipati fosfat, penstabil dipati adipat
terasetilasi, tvp, gula, pati tapioka, penstabil karagenan, isolat
protein kedelai, tepung sagu, garam, bawang putih, tepung beras,
rempah dan komponen minor.

Sumber: Internet

Berdasarkan data pada Tabel 1, mayoritas merk sosis menggunakan penstabil


karagenan (50,0%) dan tepung tapioka (66,6%) serta bahan lain seperti pati jagung
(maizena) sebesar 33,3%. Seluruh merk sosis (100%) menggunakan isolat protein kedelai
(IPK) sebagai emulsifier pada sosis (Asyhari et al., 2018).
Dari beberapa komponen tersebut, tepung tapioka merupakan pati yang potensial
untuk dikombinasikan dalam formula isian oret. Disamping mudah didapat dan harga
yang murah, penggunaan tepung tapioka dapat meningkatkan konsumsi bahan lokal.
Menurut penelitian Aristawati et al. (2013), subsitusi sebagian tepung tapioka terhadap
tepung terigu dapat memperbaiki tekstur nuget tempe. Nuget yang dibuat dari 100%
tepung terigu menghasilkan tekstur yang sangat kenyal sehingga menurunkan daya terima
konsumen. Substitusi tepung tapioka 40:60 (tapioka:terigu) dapat meningkatkan daya
terima konsumen karena tekstur nuget yang dihasilkan menjadi lebih empuk. Tepung
tapioka dapat berfungsi sebagai penstabil dan emulsifier. Disamping itu, tepung tapioka

15
dapat meningkatkan daya ikat air sehingga proses pengembangan (gelatinasi) menjadi
meningkat serta mengurangi tingkat penguapan air ketika penggorengan. Daya ikat air
yang baik akan menghasilkan tekstur yang basah (juiciness) sehingga lebih empuk dan
lunak (Aristawati et al., 2013).
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Surawan (2007) dimana penambahan tepung
tapioka dan tepung beras sebesar 30% mampu memperbaiki tekstur nuget ikan tuna.
Penambahan tepung hingga 50% tidak disarankan karena menyebabkan tekstur menjadi
keras dan padat (Surawan, 2007). Bulkaini et al. (2019) melaporkan substitusi tepung
tapioka sebanyak 15% dapat meningkatkan daya ikat air dan susut masak pada sosis kuda.
Daya ikat air yang baik akan menurunkan penyusutan pada proses pemanasan, sehingga
volume sosis yang dihasilkan tetap terjaga (Bulkaini et al., 2019). Menurut Peka et al.
(2021) fungsi tapioka dalam industri pembuatan sosis adalah sebagai bahan pengikat.
Putusnya ikatan hidrogen pada rantai polipeptida akan menyebabkan komponen protein
tidak larut dalam air. Oleh sebab itu, bahan pengikat akan memperbaiki ikatan antara
komponen tidak larut dan larut air sehingga menghasilkan tekstur sosis yang lembut dan
halus. Tepung tapioka memiliki kandungan amilopektin dan amilosa berturut-turut
sebesar 79,59 – 79,99% dan 20,01 – 20,47%. Karakteristik tepung tapioka adalah tidak
mudah menggumpal, daya lekat tinggi, tidak mudah pecah atau rusak, suhu gelatinasi
rendah dan mudah mengembang (swelling) dalam air panas. Selain itu, tepung tapioka
dapat meningkatkan daya ikat air, memperkecil penyusutan, menambah berat produk
(filler) dan menekan biaya produksi (Peka et al., 2021).

2.3.3 Tampilan
Laju reaksi pencoklatan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu,
waktu pemanasan, pH, kadar air dan aktivitas air. Agar menghasilkan tampilan casing
yang menarik (coklat muda) maka laju reaksi pencoklatan perlu disesuaikan. Proses
pengukusan dapat dilakukan sebelum proses penggorengan atau pemanggangan. Hal ini
bertujuan untuk mematangkan isian oret. Ketika dikukus, isian oret akan berubah menjadi
setengah matang sehingga durasi penggorengan dapat diperpendek. Selain itu, proses
pengukusan dapat membunuh mikroorganisme patogen yang terdapat pada isian oret.
Uap yang diserap selama proses pengukusan akan membantu isian oret menjadi
mengembang. Kombinasi dengan tepung tapioka diharapkan mampu meningkatkan daya
serap air sehingga volume dan tekstur oret menjadi lebih lunak (juiciness) (Aristawati et

16
al., 2013). Seperti penjelasan sebelumnya, reaksi pencoklatan juga dipengaruhi oleh
kadar air bahan. Ketika oret dikukus maka kadar air pada oret meningkat yang berakibat
pada melambatnya reaksi pencoklatan saat proses penggorengan atau pemangganan.

17
BAB III. KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, didapatkan beberapa kesimpulan
sesuai tujuan pada penelitian ini meliputi:
1. Oret memiliki kandungan karbohidrat, protein dan lemak pada oret berturut-turut
sebesar 6,57 g/100g, 7,64 g/100g dan 16,39 g/100g. Secara keseluruhan, total energi
yang diperoleh ketika mengkonsumsi 100 g oret sebesar 204,35 kkal. Bahan-bahan
yang digunakan untuk membuat oret diantaranya daging, ubi, bumbu lengkap (base
genep), telur, garam, tepung beras, cabai goreng, terasi goreng, bawang goreng,
santan (kalas) dan darah (untuk oret merah). Usus babi digunakan sebagai
pembungkus atau casing. Proses pengolahan oret terdiri dari penghalusan daging,
pembuatan bumbu lengkap dan pencampuran bahan tambahan. Adonan kemudian
dimasukkan kedalam usus untuk selanjutnya dikukus atau langsung digoreng atau
dipanggang.
2. Permasalahan oret terletak pada fungsi sekunder pangan yaitu belum memenuhi
kebutuhan organoleptik. Tekstur oret cenderung padat dan kasar dengan warna kulit
yang gelap. Selain itu, isian oret cenderung terpisah dan berhamburan ketika selesai
digoreng atau dipanggang. Hal ini disebabkan oleh bahan isian (daging dan bumbu)
yang kurang halus sehingga adonan oret tidak tercampur dengan baik. Penggunaan
tepung beras dan telur belum mampu mempertahankan ikatan antara komponen larut
dan tidak larut air. Disamping itu, Proses pencoklatan yang berlebih disebabkan oleh
proses pemasakan yang terlalu lama.
3. Seluruh bahan untuk membuat isian oret harus halus dan seragam sehingga adonan
dapat tercampur dengan baik. Penambahan tepung tapioka diindikasikan dapat
memperbaiki daya ikat dan sifat emulsi adonan oret. Adonan yang halus dapat
meningkatkan luas permukaan bahan sehingga interaksi antara bahan pengikat
dengan komponen lain menjadi lebih kuat. Proses pengukusan oret dapat
memperpendek durasi penggorengan sehingga menghasilkan warna coklat yang
menarik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Aristawati, R. W., Atmaka, W., & Muhammad, D. R. A. (2013). Subtitusi tepung tapioka
(manihot esculenta) dalam pembuatan takoyaki. Jurnal Teknosains Pangan, 2(1), 1–
5. www.ilmupangan.fp.uns.ac.id
Bulkaini, Kisworo, D., & Yasin, M. (2019). Karakteristik fisik dan nilai organoleptik
sosis daging kuda berdasarkan level subtitusi tepung tapioka. Jurnal Veteriner,
20(4), 548–557. https://doi.org/10.19087/jveteriner.2019.20.4.548
Desa Abian Semal. (2018). Oret, Kuliner Khas Abiansemal Yang Patut Dilestarikan.
Pemerintah Desa Abian Semal.
Dewi Surawan, F. E. (2007). Penggunaan tepung terigu, tepung beras, tepung tapioka dan
tepung maizena terhadap tekstur dan sifat sensoris fish nugget ikan tuna. Jurnal Sain
Peternakan Indonesia, 2(2), 78–84. https://doi.org/10.31186/jspi.id.2.2.78-84
Gede, I., Murthi, P. W., Agus Hendrayana, M., Nengah, N., Fatmawati2, D., Nyoman,
N., & Budayanti, S. (2021). Identifikasi bakteri Sreptococcus suis serotipe 2 dengan
metode polymerase chain reaction pada darah babi di rumah potong hewan kota
denpasar. Jurnal Media Udayana, 10(4), 68–74.
https://doi.org/10.24843.MU.2021.V10.i4.P11
Hasriandy Asyhari, M., Sri Palupi, N., & Nur Faridah, D. (2018). Karakteristik kimia
konjugat isolat protein kedelai-laktosa yang berpotensi dalam penurunan
alergenisitas. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, 29(1), 39–48.
https://doi.org/10.6066/jtip.2018.29.1.39
Hustiany, R. (2016). Reaksi Maillard Pembentuk Citarasa Dan Warna Pada Produk
Pangan. Lambung Mangkurat University Press.
https://www.researchgate.net/publication/342802067
Ketut Suter, I. (2014). Pangan Tradisional : Potensi dan Prospek Pengembangannya
Traditional food : Potential and Prospects for Development.
Koswara, S. (2013). Teknologi Pengolahan Umbi-umbian: Ubi Jalar. UNIMED IPB.
Luh Putu Ravi Cakswindryandani, N., Putu Wrasiati, L., Lutfi Suhendra Program Studi
Magister Ilmu dan Teknologi Pangan, dan, & Teknologi Pertanian, F. (2020).
Characteristics of “base genep” extracts on treatment temperature and extraction
time. Media Ilmiah Teknologi Pangan (Scientific Journal of Food Technology), 7(1),
10–16.
Maiyena, S., & Mawarnis, E. R. (2022). Kajian analisis konsumsi daging sapi dan daging
babi ditinjau dari kesehatan. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(1), 3131–3136.
https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/3359
Margaretha, E. L., & Sulistyawati, A. (2022). Lawar kuliner bairawa menuju kuliner
pariwisata khas bali. Journey : Journal of Tourismpreneurship, Culinary,
Hospitality, Convention and Event Management, 5(1), 51–62.
https://doi.org/10.46837/journey.v5i1.105

19
Peka, S. M., Malelak, G. E. M., & Kale, P. R. (2021). Pengaruh penggunaan tepung keladi
(colocasia esculenta) sebagai pengganti tapioka terhadap kualitas organoleptik sosis
babi masak. Jurnal Nukleus Peternakan, 8(1), 2656–2792.
Seong, P. N., Park, K. M., Cho, S. H., Kang, S. M., Kang, G. H., Park, B. Y., Moon, S.
S., & Van Ba, H. (2014). Characterization of edible pork by-products by means of
yield and nutritional composition. Korean Journal for Food Science of Animal
Resources, 34(3), 297–306. https://doi.org/10.5851/kosfa.2014.34.3.297
Suter, I. K. (2014). Pangan Tradisional : Potensi dan Prospek Pengembangannya. Media
Ilmiah Teknologi Pangan, 1(1), 96–109.
Suter, I. K., Arga, I. W., Kencana Putra, I. N., Semadi Antara, I. N., Sudira Jelantik, A.
A. M., Hartawan, M., & Setiawan, I. K. (1999). Inventarisasi 50 Jenis Makanan dan
Minuman Daerah.
Wanita, P. Y., & Wisnu, E. (2013). Pengaruh cara pembuatan mocaf terhadap
kandungan amilosa dan derajat putih tepung. Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi.
Widyaningsih, T. D., Wijayanti, N., & Nugrahini, N. I. P. (2017). Pangan Fungsional:
Aspek Kesehatan, Evaluasi, dan Regulasi. Universitas Brawijawa Press.
Yuwono, S. S., Febrianto, K., & Dewi, N. S. (2013). Pembuatan beras tiruan berbasis
modified cassava flour (mocaf): kajian proporsi mocaf : tepung beras dan
penambahan tepung porang mocaf (modified cassava flour). Jurnal Teknologi
Pertanian, 14(3), 175–182.

20

Anda mungkin juga menyukai