Anda di halaman 1dari 33

FENOMENA BERBAHASA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT

“MAKNA DALAM FILSAFAT”


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ilmu Filsafat
Dosen Pengampu: Dr. Miftakhul Huda

Disusun Oleh:
Dewi Sartika (S200220010)
Janatin Alfafa (S200230006)

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023
BAB I
MAKNA DALAM FENOMENA MENINGKATNYA BERITA
PALSU (HOAKS) PADA MASA KAMPANYE PILPRES 2024

Berita palsu (hoaks) kerap muncul di lingkungan masyarakat secara langsung dan
jagad dunia maya. Beredarnya berita palsu semakin gencar dilakukan secara rapi oleh buzzer
yang memang dipelihara oleh individu, politikus, ataupun kelompok demi mengamankan
kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Bahkan tak jarang berita palsu (hoaks) yang
disebarkan mendiskreditkan pemerintah tanpa disertai data dan fakta yang teruji validitasnya
(Prayitno, 2018). Berita palsu dapat mempengaruhi pemikiran, tindakan, atau keputusan
individu atau kelompok yang menyebabkan pemahaman yang salah tanpa disadari, sehingga
sangat penting untuk selalu berhati-hati dan mengecek kebenaran berita sebelum
mempercayainya (Yunanto dkk., 2021.) Berita palsu (hoaks) yang sedang meningkat di
Indonesia adalah penyebaran berita palsu yang berkaitan dengan pemilihan umum calon
presiden dan wakil presiden tahun 2024 mendatang. Banyaknya atensi oknum masyarakat
yang menyebarkan berita palsu, fitnah, dan sikap intoleran untuk menjatuhkan nama baik
pasangan capres-cawapres yang tidak mereka sukai. Hal ini dapat dilihat pada judul berita
yang sering kali memiliki bombastis dan berlebihan untuk memancing pengguna media
digital ikut menyebarluaskan dengan membagikan (share) dan menyiarkan (broadcast) ke
akun-akun lain, termasuk grup-grup yang berada dalam jaringan mereka. Aktivitas ini sering
kali tidak didahului dengan klarifikasi atau pengecekan terhadap kebenaran isi informasi
tersebut. Fenomena ini disebut sebagai clicking monkey (Priyambodo,2013). Masyarakat
tidak bisa memberikan benang merah atau cut off yang jelas antara kebenaran, dan bukan
karena terbiasa menerima kebenaran sebagai sebuah produk jadi. Maka tujuan penulisan ini
adalah membahas disiplin ilmu filsafat terkait pengungkapan kebenaran perspektif filsafat
kemudian menyuguhkan cara pengimplementasian teori kebenaran persepektif filsafat dalam
hal penyaringan berita agar masyarakat dapat menerima kebenaran yang semestinya.

A. MAKNA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT


Perspektif makna filsafat adalah roh dari semua ilmu termasuk ilmu bahasa. Kajian
bahasa pertama kalipun justru dilakukan oleh filosof dan bukan oleh ahli bahasa (Nawawi &
N, 2019). Pada jaman dulu, para filosof memecahkan berbagai macam problem filsafat
melalui pendekatan analisis bahasa. "Percaturan Politik Genealogi Kekuasaan dalam Sistem
Pemilu ‘2024’ di Indonesia Menurut Etika Michel Foucault" mencerminkan pemahaman
1
yang mendalam tentang analisis politik, pemilu, genealogi kekuasaan, dan konsep etika
Michel Foucault. Dalam konteks pemilu 2024 di Indonesia, analisis etika politik genealogi
kekuasaan menurut Michel Foucault dapat memberikan wawasan yang berharga dalam
membangun sistem yang lebih baik dalam sistem politik di Indonesia (Susanto, 2021).
Contoh problem filsafat yang menyangkut pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan
mendasar seperti yang ada, reality, eksistensi, sensi substansi, materi, bentuk kausalitas,
makna pernyataan dan verifikasinya dan pertanyaan-peranyaan fundamental lainnya dapat
dijelaskan dengan menggunakan analisis data bahasa. Dalam setiap pemilihan umum, konteks
politik menjadi penting karena memengaruhi dinamika kekuasaan di dalam masyarakat.
Dalam tulisan ini, penulis akan menjelajahi percaturan politik genealogi kekuasaan dalam
sistem pemilu 2024 di Indonesia dari perspektif etika Michel Foucault.
Filsafat didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari segala sesuatu
secara mendalam tentang Tuhan, alam semesta, dan kemanusiaan guna memberikan
informasi tentang teknik-teknik yang diperoleh pikiran manusia dan sikap manusia setelah
memperoleh ilmu tersebut (Adnan, 2020).
Salah satu perbedaan utama antara manusia dan makhluk lain adalah manusia
mempunyai akal. Manusia mempunyai kecenderungan terhadap pemikiran rasional. Ulasan
ini merangkum esensi filsafat. Filsafat dicirikan sebagai meditasi logis, kritis, dan kritis
terhadap fundamental kehidupan (Otolua & Katili, 2023). Yang dimaksud dengan berpikir
rasional dalam konteks ini adalah refleksi, yaitu refleksi ilmiah yang tidak menyimpang dari
wahyu atau tradisi, apalagi mitos, tetapi semata-mata berdasarkan kognisi. Kedalaman
penegasan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan menjadi pembeda atau pembeda. Pemikiran
yang mendalam tentang apa pun akan menghasilkan atau menimbulkan makna yang luas.
Pandangan terhadap makna sangat mempengaruhi filsafat pada abad ke-20. Berbagai
solusi terhadap persoalan-persoalan yang sangat kuno telah dikembangkan berdasarkan
interpretasi makna yang berbeda-beda. Bab ini membahas bagaimana penyelidikan tiga
perspektif makna ini telah mengubah cara yang mungkin digunakan untuk meneliti kesulitan-
kesulitan filosofis. Ini adalah sebuah "pandangan" tentang makna dan bukan sebuah "teori"
karena tidak satupun dari sudut pandang ini mencoba untuk memberikan solusi penuh
terhadap kekhawatiran yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai makna. Banyak
perspektif lain mengenai makna juga sangat berpengaruh. Berikut ini hanya akan dibahas tiga
di antaranya, yang dianggap paling penting dari semua sudut pandang tersebut.

2
1.1 Verifikasionisme
Teori Verifikasionisme makna menyatakan bahwa identifikasi makna suatu frasa
dilakukan dengan mendeskripsikan cara untuk memverifikasi kebenaran kalimat (Aliano dkk.,
2022). Morris Schlick adalah pendukung utama hipotesis seperti berikut sehubungan dengan
pemahaman ini:

Setiap kali kita bertanya tentang apa yang menjadi makna dari sebuah
kalimat….yang kita cari sebenarnya adalah deskripsi dari kondisi-kondisi yakni di
mana kalimat itu akan menjadi proposisi yang benar, dan kondisi-kondisi di mana
kalimat itu salah…Makna dari sebuah proposisi adalah metode bagi verifikasi
terhadap proposisi itu.

Pembahasan teori ini belum cukup berkembang untuk dianggap serius. Sebuah contoh
menunjukkan bahwa hipotesis ini masih memiliki kelemahan. Satu-satunya cara untuk
memastikan bahwa seseorang mengalami spiritualitas adalah dengan mendengarkan apa yang
dia katakan, mendengarkan tangisan yang dia hasilkan, atau mengamati tindakannya. Jika arti
dari pernyataan “dia kesakitan” setara dengan teknik verifikasi jenis ini, maka arti kalimat ini
telah berubah seiring dengan meningkatnya ilmu saraf (Cooper, 2018). Arti kalimat ini akan
berbeda-beda setiap kali Anda menghadapi ujian verifikasi jenis baru. Namun, karena
konsekuensinya tidak pasti, kita bisa mengabaikan gagasan ini.
Selain teori verifikasi makna, masih ada prinsip verifikasi. Prinsip verifikasi adalah
konsep yang menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi kalimat agar memiliki makna,
namun tidak menjelaskan apa arti frasa tersebut atau apa yang membuat banyak kalimat
menjadi sinonim atau sama (Cooper, 2018). Shilck (1936) dalam (Utami, 2018)
mendefinisikan suatu pernyataan baru sebagai mempunyai makna ketika pernyataan tersebut
menunjukkan bagaimana menilai benar atau salahnya. Akibatnya, makna suatu pernyataan
mungkin merupakan gambaran mental yang rumit. Suatu pernyataan harus diverifikasi
menurut prinsip verifikasi ini.
Beberapa properti lagi yang harus disebutkan saat menjelaskan prinsip verifikasi
adalah sebagai berikut:
1. Hanya frasa yang bersifat sugestif yang dapat dianggap signifikan jika dapat diverifikasi.
Karena pernyataan pertanyaan dan perintah tidak benar atau salah, pernyataan tersebut
tidak dapat divalidasi, meskipun signifikan. Agar bermakna, kalimat tersebut harus
mempunyai keterkaitan sistematis dengan kalimat indikatif yang dapat diverifikasi.
3
2. Tidak semua pernyataan indikatif harus dapat diverifikasi secara empiris karena kita sudah
mengetahui benar atau salahnya berdasarkan makna kata yang menyusunnya. Contohnya
termasuk “semua bujangan adalah orang yang belum menikah” atau bahkan “segitiga
memiliki tiga sisi”. Pengecualian lainnya adalah pernyataan seperti "Aku berjanji akan
menikah denganmu", yang tidak berfungsi untuk mengatakan kebenaran melainkan untuk
melakukan tindak tutur tersendiri. Frasa seperti ini dikenal sebagai kalimat “performatif”
(Cooper, 2018). Menurut prinsip verifikasi, semua frasa non-analitis dan non-performatif
harus dapat diverifikasi secara empiris agar bermakna. Prinsip verifikasi ini merupakan
landasan positivisme logis, sebuah gerakan filosofis yang muncul pada tahun 1920-an dan
1930-an. Aliran positivis ini berupaya menunjukkan bahwa banyak kata yang dianggap
penting ternyata tidak ada artinya. Aliran positivis bertujuan untuk menunjukkan bahwa
banyak ungkapan yang diucapkan oleh para filsuf dan ilmuwan filosofis yang tidak dikenal
tidak masuk akal. Berikut beberapa pernyataan penulis:
a) Ketidakadilan adalah ketiadaan itu sendiri. (M. Heidegger).
b) Ide akan mengungkapkan dirinya sendiri dalam sejarah (G. Hegel).
c) Semua objek fisik berusaha untuk mencapai kesempurnaan.
d) Semua kejadian fisik adalah disebabkan oleh aktivitas dari kekuatan mistik.

Banyak perselisihan filosofis yang tampaknya rasional di masa lalu ternyata tidak ada
artinya atau tidak masuk akal. Konflik antara aliran pemikiran dualis dan materialis. Menurut
aliran dualis, ada dua macam substansi: substansi mental dan substansi fisik, namun aliran
materialis meyakini hanya ada satu jenis substansi fisik. Para filsuf menyepakati dua aliran
pemikiran tentang apa yang dimaksud dengan realitas empiris. Kedua aliran pemikiran
tersebut sepakat bahwa manusia mempunyai pikiran dan perasaan, dan perasaan serta
gagasan manusia terjadi bersamaan dengan gerakan fisik tertentu (Atmadja, 2013).
Tantangan utama yang dihadapi oleh kaum positivis ketika menilai prinsip verifikasi,
yaitu bagaimana menggambarkan suatu prinsip secara tepat dan dapat diterima sehingga apa
yang tidak bermakna dapat dideteksi dan dihapus, sedangkan apa yang bermakna dapat
dipertahankan. Menurut kaum positivis tertentu, ungkapan seperti “Saya melihat apel jatuh”
merupakan gambaran observasi empiris. Positivis lainnya, yang mempunyai standar lebih
ketat mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilihat, berpendapat bahwa kalimat tersebut
merupakan kesimpulan atau kesimpulan yang diambil dari kalimat observasi yang lebih
langsung. Laporan yang lebih langsung ini dapat berupa laporan mengenai warna, bentuk,
aroma, dan ciri-ciri lainnya.
4
Semua filsuf positivis berpendapat bahwa observasi empiris terjadi melalui panca
indera, introspeksi, atau refleksi. Ketidaksepakatan mengenai apa yang sebenarnya dirasakan
oleh indera, apakah benda berwujud, atribut benda, atau tidak lebih dari perasaan perhatian.
Perhatikan prinsip verifikasi, yang menunjukkan bahwa suatu pernyataan baru dapat
dikonfirmasi melalui penggunaan panca indera atau introspeksi. Meskipun Prinsip Verifikasi
berpotensi memperbaiki keadaan percakapan filosofis, namun Prinsip Verifikasi tidak dapat
digunakan untuk menentukan penting atau tidaknya suatu kalimat. Tidak ada prinsip lain
yang serupa dengan prinsip verifikasi.

1.2 Emotivisme
Emotivisme adalah sudut pandang etika filosofis yang berpendapat bahwa pernyataan
etika tidak mengandung proposisi kebenaran yang dapat dibuktikan, melainkan hanya
manifestasi emosi, sentimen (Hidayat, 2002), atau keinginan subjektif seseorang. Menurut
gagasan ini, ketika seseorang membuat pernyataan etis, mereka hanya mengekspresikan
reaksi emosional pribadinya terhadap suatu keadaan atau tindakan, bukan menyampaikan
kebenaran objektif tentang kebenaran moral (Huda & Maharani, 2021).
Pengertian “makna emotif” merupakan interpretasi makna filosofis yang mempunyai
pengaruh signifikan, khususnya dalam disiplin etika dan estetika (Pusat dkk., 2007) dalam
(Padli & Mustofa, 2021). Secara historis, makna emotif ini adalah seorang pemikir yang
melihat makna sebagai hasil reaksi khas yang diciptakan oleh ucapan (Cooper, 2018).
Alasannya adalah bahwa beberapa kata mungkin menimbulkan reaksi "emosional", yang
mengarah pada kesimpulan bahwa ucapan tersebut memiliki makna emosional. Seorang
pendukung emotivisme (Stevenson, 1963) dalam (Alfariz, 2020) memberikan penjelasan
definisi sebagai berikut:

Makna emotif dari sebuah kata merupakan kecenderungan dari sebuah kata, yang
terbentuk karena sejarah dari penggunaan kata itu, untuk menimbulkan atau
ditimbulkan oleh respons afektif dari orang. Makna emotif merupakan aura dan rasa
yang meliputi sebuah kata….karena kecenderungan afektif ini bisa dianggap sebagai
“makna”.

5
1.3 Paradigma dan Pengutuban
Dalam beberapa tahun terakhir, ada dua bentuk argumen filosofis yang paling
berpengaruh (Nur, 2012). Para filsuf tidak menggunakan argumen-argumen ini secara
terbuka(Purwosaputro, 2023); namun, sebagian besar dari apa yang mereka katakan tentang
kehendak bebas, pengetahuan, validitas, dan problematis didasarkan pada kepercayaan pada
salah satu dari dua argumen tersebut. Argumen kasus paradigmatik dan argumen oposisi
kutub adalah nama yang diberikan untuk kedua argumen ini. Kedua argumen ini didasarkan
pada penafsiran makna yang berbeda. Ada beberapa kesamaan antara kedua argumen tersebut.
Kedua argumen ini telah memainkan peran penting dalam sejarah filsafat analitis.

1.1.1 Argumen Berdasarkan Kasus Paradigmatis


Logika berikut ini dimaksudkan untuk menunjukkan keberadaan kehendak bebas:
untuk memahami arti kata "Kehendak bebas", kita harus mampu menjelaskan keadaan di
mana ungkapan tersebut dapat digunakan tanpa ragu-ragu (Nurhikam dkk., 2023). Ilustrasi
klasik dari tindakan bebas adalah ketika seorang pemuda menikahi wanita yang dicintainya
tanpa adanya tekanan dari orang tua atau lingkungannya (Sutarto, 2018). Dapat dipahami
dengan baik bahwa ungkapan tersebut merujuk pada skenario seperti itu dan tidak berlaku
bagi seorang pria yang dipaksa menikahi seorang gadis sambil pistol diarahkan ke
punggungnya.
Ada kemungkinan untuk berpendapat bahwa kehendak bebas itu ada, yang
bertentangan dengan pandangan kaum determinis (yang berpendapat bahwa orang-orang
berperilaku bukan karena pilihan bebas mereka sendiri tetapi karena mereka dipengaruhi atau
diputuskan (ditentukan) oleh sesuatu di luar diri mereka sendiri). Menolak konsep kehendak
bebas berarti menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang pernah menikah tanpa tekanan
dan bahwa seseorang harus menikah atas dasar pilihan bebasnya sendiri (Sudjatnika, 2017).
Dapat disimpulkan bahwa mengakui bahwa orang menikah tanpa paksaan namun menolak
gagasan kebebasan berkehendak menunjukkan kurangnya pemahaman tentang apa yang
dimaksud dengan “kehendak bebas”.
Argumen di atas merupakan contoh argumen paradigmatik berbasis kasus. Alasannya
sebagai berikut: jika suatu ekspresi baru dapat dipahami dengan memeriksa keadaan aktual di
mana pernyataan tersebut dapat digunakan tanpa ragu-ragu, maka pernyataan tersebut pasti
benar. Bahwa jika frasa yang dimaksud adalah “kehendak bebas”, “pengetahuan”, atau
“validitas”, maka harus dibuktikan bahwa pengetahuan itu ada dan argumen spesifiknya
harus valid. Para filsuf yang menyangkal keberadaan entitas tersebut dianggap salah
6
memahami makna frasa yang digunakan untuk menyebut mereka. Mereka diasumsikan tidak
menyadari bahwa makna dari frasa-frasa tersebut terkait erat.

Jika ternyata ada kata yang maknanya bisa diajarkan dengan merujuk pada kasus-
kasus paradigmatis, maka tidak akan ada ergumen yang bisa membuktikan bahwa
kasus seperti itu tidak ada.

Kaitan antara makna dan kasus paradigmatik tidak dapat mendukung argumen bahwa
ketika suatu istilah diterapkan pada contoh paradigmatik, maka istilah tersebut pasti benar.
Untuk memulainya, penting untuk menyadari bahwa mengajarkan definisi suatu istilah juga
dapat menggunakan contoh semu, yaitu keadaan di mana kata tersebut tidak dapat benar-
benar digunakan. Seorang anak muda, misalnya, dapat mempelajari definisi istilah "mata-
mata" dengan mengamati para pemain dalam film tersebut.
Istilah penting secara filosofis "kehendak bebas" dan "pengetahuan" juga dapat
didefinisikan tanpa menggunakan paradigm (Sosiawan & Wibowo, 2019). “Kehendak bebas”
dapat dipahami sebagai (secara kasar) “sesuatu yang dapat dihindari oleh agen jika dia
menginginkannya” (Abu, 2010). Dapat dibuktikan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat
dihindari oleh manusia meskipun ia ingin menghindarinya. Bahkan para determinis pun
melihat dan mencoba membuktikan dengan cukup masuk akal bahwa tidak ada yang bisa
dihindari. Kesimpulannya, dalam membuat suatu kata dapat diterapkan, makna sebenarnya
adalah harus ada hal-hal yang uraiannya sesuai dengan definisi atau makna kata tersebut.
Menurut Watkins (1957), ia menyimpulkan bahwa:

Spesifikasi…dari sebuah ekspresi harus ditentukan lebih dulu dan contoh-contoh


yang memenuhi spesifikasi itu baru diajukan kemudian…Tetapi, akan selalu ada
kemungkinan bahwa contoh-contoh paradigmatis itu ialah contoh yang semu yang
sebenarnya tidak sesuai dengan spesifikasi atau persyratan tadi.

Kesimpulannya argumen yang didasarkan pada situasi paradigmatik tidak bisa


menjadi dasar yang tepat untuk membantah kritik yang diarahkan pada penilaian akal sehat.

7
1.1.2 Argumen dari Pertentangan Kutub
Para skeptis sering menyatakan bahwa kebenaran empiris tidak mutlak dan hanya
mempunyai kemungkinan untuk menjadi benar (Taurus Tamaji, 2020). Argumen ini
mengabaikan fakta bahwa "probabilitas" adalah kebalikan (satu-satunya kebalikan langsung)
dari "mutlak" (pasti). Sesuatu akan diklaim mempunyai kemungkinan ada atau benar secara
khusus untuk membedakannya dengan keadaan lain yang kita anggap “pasti” atau “mutlak”
ada atau bena (Fakhruddin dkk., 2018).
Jika benar maka tidak dapat dikatakan bahwa semua kebenaran empiris adalah benar,
karena hal ini akan bertentangan dengan konsep “probabilitas” atau “mungkin benar”, karena
definisi probabilitas harus dibandingkan dengan definisi lain yang dianggap “pasti”. " Ketika
kita gagal menyadari bahwa kebenaran tertentu adalah “pasti”, kita benar-benar meremehkan
arti dari “mungkin benar”. Menurut Malcom (1951), hal berikut ini benar:

Satu hal yang sangat mendasar bagi makna dari “mungkin” atau “sangat mungkin”
adalah bahwa di situ kemungkinan atau probabilitas dikontraskan dengan
kepastian …jika penerapan kata “pasti” bagi pernyataan-pernyataan empiris
dihapuskan, maka kata “mungkin” juga tidak bisa berlaku juga bagi pernyataan-
pernyataan empiris.

Kesimpulannya, kaum skeptis yang menolak kemungkinan kepastian dalam subjek


empiris mungkin dianggap mengungkapkan sesuatu yang tidak benar atau tidak masuk akal.
Akibat kurang tepatnya uraian argumen tersebut, berbagai persoalan pun terjadi dalam
argumen tersebut. Kesulitan pertama adalah sebagai berikut: Ketika beberapa kata dinyatakan
berlawanan atau bertentangan secara polar, maka dibuatlah pernyataan tentang jenis
pertentangan yang terjadi di antara kata-kata tersebut, karena jelas terdapat lebih dari satu
bentuk pertentangan. Tidak dapat dikatakan bahwa kedua istilah dalam oposisi harus relevan
untuk jenis oposisi tertentu. Contoh istilah "sekuler" dan "spiritual". Tidak dapat dikatakan
bahwa dalam suatu masyarakat, sebagian orang harus melakukan kegiatan sekuler, sementara
sebagian lainnya melakukan kegiatan spiritual karena masih ada orang yang tidak memiliki
pengetahuan tentang Tuhan (Rio Adiwijaya, 2011).
Persoalan kedua muncul akibat ketidakjelasan argumen tersebut, yaitu lingkup
penerapan manakah yang dimaksud ketika dikatakan bahwa masing-masing dari dua
pernyataan yang bertentangan tersebut pasti dapat diterapkan? Dalam bidang penerapan
tertentu, kita tidak dapat menyatakan bahwa dua istilah yang bertentangan memberikan
8
makna pada saat yang bersamaan. Misalnya, keras dan lunak adalah kata sifat yang
berlawanan secara diametris, namun tidak masuk akal jika menyatakan bahwa meskipun batu
zamrud tertentu keras, batu zamrud lainnya pasti lunak (Nurul Huda, 2021). Hasilnya adalah
tidak ada alasan untuk percaya bahwa "keras" dan "lunak" harus sama-sama relevan dalam
bidang zamrud. Kegagalan untuk memahami atau mengapresiasi hal ini telah merusak
berbagai argumen oposisi kutub atau polar oposisi yang sejenisnya.
Argumen-argumen paradigmatis yang berbasis kasus dan yang berbasis oposisi polar
juga melakukan kesalahan yang sama: mereka membuat generalisasi yang salah dari hal-hal
yang hanya berkaitan dengan keadaan tertentu. Menurut Gelner (1963), kedua argumen
tersebut merupakan dua pilar utama filsafat linguistik.

B. MAKNA FILSAFAT DALAM FENOMENA MENINGKATNYA BERITA PALSU


(HOAKS) PADA PILPRES 2024 DI MEDIA SOSIAL
Fenomena peningkatan berita palsu (hoaks) pada Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres
2024) di media sosial yakni instagram, facebook dan twitter memiliki relevansi dengan
berbagai konsep filsafat, terutama dalam konteks etika, epistemologi, dan politik. Berikut
adalah beberapa aspek penting yang dapat dijelaskan:
a) Permasalahan (Rumusan Masalah)
Berdasarkan pada pembahasan makna dalam fenomena peningkatan berita palsu
(Hoaks) pada pilpres 2024 maka dapat dipaparkan rumusan masalahnya sebagai berikut;
1. Bagaimana makna filsafat dalam fenomena meningkatnya berita palsu (hoaks) pada
pilpres 2024 di media sosial?
2. Bagaimana makna filsafat dalam fenomena meningkatnya berita palsu (hoaks) pada
pilpres 2024 di media tradisional?
3. Bagaimana makna filsafat dalam fenomena meningkatnya berita palsu (hoaks) pada
pilpres 2024 di kampanye politik dan iklan?
4. Bagaimana makna filsafat dalam fenomena peningkatan berita palsu (hoaks) pada
pilpres 2024 di ruang publik?
b) Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka (kajian terdahulu) yang relevan berkaian dengan kajian hasil
pembahasan yang dilakukan penelti-peneliti sebelumnya yang terdapat kesamaan dengan
pembahasan ini. Baik dari segi objek yang dikaji maupun dari segi pendekatan yang
digunakan. Penelitian yang relevan dengan Pembahasan ini dignakan untuk membuktikan

9
orisinalitasnya bahwa kajian pembahasan ini belum pernah diteliti dari segi makna dalam
fenomena peningkatan berita palsu (hoaks) pada pilpres 2024.
Penelitian yang dilakukan oleh (Siswadi et al., 2021) dengan judul penelitian
“Abhyasa Dan Vairagya Dalam Filsafat Yoga Sutra Patanjali Sebagai Upaya Menghindari
Berita Palsu Di Media Sosial”. Hasil penelitiannya yaitu hoaks dapat dihindari melalui jalan
spiritual yang diajarkan oleh Maha Rsi Patañjali. Berita palsu dapat dihindari dengan
menerapkan konsep abhyāsa yaitu dengan menyerap berbagai informasi yang diperoleh di
media sosial dan mengendalikan benih pikiran serta mawas diri terhadap informasi yang
diperoleh tersebut. Selanjutnya dengan jalan vairāgya yaitu dengan menolak berbagai
informasi yang diperoleh dengan cara skeptis radikal dan meragukan informasi yang
diperoleh tersebut. Sumber pengetahuan menurut Yoga Sūtra Patañjali adalah dengan
pratyaksa (pengamatan langsung melalui panca indera), anumāna (melalui penyimpulan)
dan agama pramana (pihak yang berwenang/ kitab suci.
Penelitian yang dilakukan oleh (Rukayah, 2019), pada penelitiannya “Teori-Teori
Kebenaran Dalam Filsafat: Aplikasinya Mengukur dalam Fenomena Penyebran Hoax pada
Media Sosial”. Hasil penelitiannya yaitu memberikan wawasan yang berharga tentang
bagaimana teori-teori kebenaran dalam filsafat dapat diterapkan untuk mengatasi masalah
penyebaran berita palsu dan hoax. Selain itu, artikel ini juga memberikan saran dan
rekomendasi yang bermanfaat untuk membangun kemampuan kritis dan literasi informasi
masyarakat Indonesia agar dapat lebih mampu dalam membedakan fakta dan berita palsu.
Penelitian yang dilakukan oleh (Swaradesy, 2018), pada penelitiannya tentang “hoaks
Dan Logika Bahasa: Fenomena Tipu Muslihat”. Hasil penelitiannya yaitu fenomena hoaks
berkaitan dengan logika penggunaan bahasa. Hoaks yang disebarluaskan dapat
mempengaruhi persepsi negatif penerima informasi. Persepsi negatif tersebut akan memiliki
dapak negatif pula pada pihak-pihak lain. Hoaks pada dasarnya merupakan masalah dalam
berpikir dan berlogika yang digunakan. Pada akhirnya, logika baik adalah alat yang dapat
digunakan dalam mengatasi dan memerangi hoaks.
c) Metode Kajian
Kajian ini menggunakan kajian deskriptif kualitatif, khususnya bentuk penelitian yang
digunakan untuk memastikan signifikansi fenomena melalui penggunaan deskripsi verbal
atau tertulis (Moleong, 2010: 6). Kajian ini mempelajari bahasa dalam pemberitaan wacana
berita palsu (hoaks) di media sosial, media tradisonal, media kampanye politik dan iklan,
serta ruang publik. Data pada kajian ini berupa tuturan yang diambil dari judul pemberitaan
wacana berita palsu (hoaks), yang di dalam tuturan tersebut mengandung maksud makna
10
persepektif dalam filsafat. Adapun sumber data pada penelitian ini yaitu judul pemberitaan
wacana media sosial berupa twitter, facebook, Instagram, dan koran. Teknik pengumpulan
data menggunakan teknik simak dan catat. Data yang dikumpulkan berupa kata, ungkapan
atau kalimat judul pemberitaan wacana berita palsu (hoaks) pada media sosial. Metode yang
digunakan pada penelitian ini ialah metode padan pragmatis, sebagaimana dijelaskan oleh
Sudaryanto (2015:15), faktor penentunya terletak di luar, terlepas dari, dan tidak menjadi
bagian dari bahasa yang bersangkutan. Pendekatan ini digunakan untuk mengenali, misalnya,
unsur-unsur kebahasaan berdasarkan tanggapan atau hasil yang terjadi pada mitra tutur ketika
unsur bahasa itu diucapkan oleh penutur. Keabsahan data pada penelitian ini menggunakan
triangulasi teori.

Tabel 1.1 Kutipan contoh data berita berita palsu (hoaks) pada Pemilihan Presiden 2024
(Pilpres 2024) di media social

Data-Data Berita Sumber Penyebaran Bukti Penyebaran Berita


No
Hoaks Berita Palsu (Hoaks) Palsu (Hoaks)
1 “Kaulah yang pantas Instagram
jadi RI 1” (https://www.instagram.c
om/reel/Cya334Pp7Ix/?ig
shid=MzRlODBiNWFlZ
A==)

11
2 “Megawati Soekarno Instagram
Putri beserta ribuan (https://www.instagram.c
kader om/reel/CyVvSTeSlRv/?i
mengampanyekan gshid=ZWI2YzEzYmMx
Baswedan” Yg== )

3 “Kerap diserang isu Instagram


HAM, relawan ingin (https://www.instagram.c
Prabowo Subianto om/p/CwkDRoZJToI/?igs
Buktikan Kebenaran” hid=MmU2YjMzNjRlOQ
==)

12
4 “Putusan MK Twitter
menolak batas usia (https://twitter.com/armin
capres/cawapres sunardi/status/171384947
cawapres, lagi-lagi 6904087665?t=W_FZg1S
semua pasti gara-gara CjDyGoyGggAxvvA&s=
Jokowi” 19)

5 “Prabowo Menampar Facebook


Wakil Mentri (https://fb.watch/oKNenC
Pertanian dalam tMg0/?mibextid=Nif5oz )
Rapat”

Penjelasan konteks dalam makna filsafat kutipan tuturan berita palsu (Hoaks) pilpress
2023 di media sosial, sebagai berikut:
D-1: “Kaulah yang pantas jadi RI 1”
Makna dalam filsafatnya: Kutipan tuturan tersebut yaitu merujuk kepada pak Ginanjar.
Dapat diartikan pengakuan terhadap sesorang yaitu pak ginanjar, bahwa yang dianggap layak
atau pantas untuk menjadi presiden Republik Indonesia.

13
D-2: “Megawati Soekarno Putri beserta ribuan kader mengampanyekan Baswedan”
Makna dalam filsafatnya: kutipan tuturan kalimat tersebut diartikan sebagai kegiatan
kampanye politik yang melibatkan Megawati Soekarno Putri dan ribuan kader Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
atau yang dikenal dengan nama Baswedan. Kampanye ini mungkin terkait dengan pemilihan
umum atau proses politik tertentu di Indonesia.

D-3: “Kerap diserang isu HAM, relawan ingin Prabowo Subianto Buktikan Kebenaran”
Makna dalam filsafatnya: kutipan Kalimat "Kerap diserang isu HAM, relawan ingin
Prabowo Subianto buktikan kebenaran" mencerminkan suatu situasi di mana Prabowo
Subianto sering kali dihadapkan pada isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyerang atau
mencemarkan reputasinya. Dalam konteks ini, relawan-relawan yang mendukung Prabowo
ingin membantu atau memastikan bahwa Prabowo dapat membuktikan kebenaran atau fakta-
fakta yang mendukungnya terkait isu HAM tersebut.

D-4: “Putusan MK menolak batas usia capres/cawapres cawapres, lagi-lagi semua pasti
gara-gara Jokowi”
Makna dalam filsafatnya: kutipan Kalimat "Putusan MK menolak batas usia
capres/cawapres, lagi-lagi semua pasti gara-gara Jokowi" mencerminkan suatu pandangan
atau pendapat yang menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak
batas usia untuk calon presiden/wakil presiden (capres/cawapres) bisa disalahkan atau
dikaitkan dengan Jokowi (Presiden saat itu).

D-5: “Prabowo Menampar Wakil Mentri Pertanian dalam Rapat”


Makna dalam filsafatnya: Tuturan kalimat "Prabowo menampar Wakil Menteri
Pertanian dalam rapat" menciptakan citra kejadian konkret di mana Prabowo Subianto, yang
mungkin merupakan tokoh atau pemimpin politik, melakukan tindakan fisik terhadap Wakil
Menteri Pertanian selama rapat.

14
1.1 Konteks Etika dalam Konsep Makna Filsafat
Dalam filsafat, etika adalah kajian mengenai apa yang dianggap benar dan salah.
Penyebaran berita palsu di Instagram dalam konteks Pilpres 2024 berkaitan dengan etika
dalam beberapa cara. Pertama, para penyebar berita palsu seringkali melanggar prinsip moral
seperti kejujuran dan tanggung jawab sosial. Ini mengangkat pertanyaan etika tentang
bagaimana individu dan masyarakat seharusnya bertindak dalam menyebarluaskan informasi.
Penyebaran berita bohong (hoax) di Instagram pada Pilpres 2024 mempunyai
berbagai konsekuensi dan permasalahan utama dalam konteks etika dalam arti filosofis.
Ketidakjujuran dalam menyebarkan berita palsu seringkali memerlukan perilaku tidak jujur.
Dalam etika, salah satu nilai moral yang penting adalah kejujuran. Penyebar berita palsu
melanggar konsep ini, sehingga menimbulkan permasalahan mengenai bagaimana
masyarakat dan masyarakat seharusnya berperilaku dalam menyebarkan informasi yang
berpotensi mempengaruhi opini publik dan hasil pemilu. Etika juga berkaitan dengan masalah
tanggung jawab sosial.
Penyebar berita palsu mempunyai kewajiban moral untuk tidak menyebarkan
informasi palsu yang dapat merugikan individu, kandidat, atau proses demokrasi. Individu
diharapkan untuk mengevaluasi implikasi sosial dari aktivitas mereka dalam penalaran etis.
Konsep keadilan seringkali menjadi fokus utama dalam etika politik. Dengan mendistorsi
informasi, penyebaran berita palsu dapat melemahkan proses demokrasi. Hal ini
menyebabkan ketidakadilan dan ketidakadilan dalam pemilu, dan filsafat etika mengkaji
bagaimana masyarakat harus menangani ketidakadilan tersebut.
Ketidakberpihakan dalam penyampaian berita palsu juga dapat dilihat sebagai
dukungan yang tidak memihak (bias) terhadap satu kandidat atau organisasi terhadap
kandidat atau organisasi lainnya. Konsep ketidakberpihakan dan keadilan dalam proses
pemilu dibahas dalam etika politik. Penyebaran berita palsu yang bertujuan untuk merugikan
atau mendukung salah satu pihak akan menimbulkan permasalahan kesetiaan dan keadilan
politik. Dari semua faktor tersebut, etika dalam filsafat berperan penting dalam menilai dan
memahami fenomena penyebaran berita bohong di Instagram pada Pilpres 2024. Etika
menawarkan kerangka untuk menilai tindakan masyarakat, kelompok, dan lembaga dalam
menjaga integritas proses politik dan demokrasi, serta bereaksi terhadap kesulitan etika yang
ditimbulkan oleh penyebaran berita palsu.

15
1.2 Konteks Epistemologi dalam Konsep Makna Filsafat
Epistemologi adalah disiplin filsafat yang berkaitan dengan pengetahuan dan cara kita
memahami dunia. Berita palsu berpotensi mengubah cara kita memandang dunia dan
membuat penilaian politik. Hal ini menggarisbawahi kesulitan epistemologi, di mana kita
harus menyelidiki sumber informasi dan prosedur validasi untuk menjamin bahwa apa yang
kita terima sebagai pengetahuan adalah benar. Topik maraknya berita bohong (hoax) di
Instagram pada Pilpres 2024 mempunyai implikasi besar dalam kerangka epistemologi dalam
filsafat.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sifat, asal, dan batasan
pengetahuan. Berikut adalah beberapa pertimbangan epistemologi yang berkaitan dengan
penyebaran berita palsu. Sumber Pengetahuan Epistemologi membantu kita memahami
sumber-sumber pengetahuan. Penyebaran berita palsu di Instagram menimbulkan pertanyaan
tentang sumber-sumber informasi yang dapat diandalkan. Bagaimana kita memastikan
keandalan sumber informasi dalam era di mana hoaks dapat dengan mudah disebarkan.
Epistemologi berkaitan dengan kriteria kebenaran, atau bagaimana kita menentukan
apakah suatu proposisi itu benar atau tidak. Berita palsu seringkali disamarkan sebagai berita
sebenarnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kita mengevaluasi apa yang
dapat diandalkan dan tidak dalam informasi politik. Ketidakpastian Informasi Tingkat
ketidakpastian dalam mengetahui juga diselidiki oleh epistemologi. Maraknya berita palsu
mengaburkan pemahaman masyarakat terhadap realitas politik. Hal ini menimbulkan
pertanyaan seberapa kuat kita mempercayai suatu pernyataan atau berita. Epistemologi juga
membahas kualitas epistemik seperti kejujuran, kehati-hatian, dan keadilan kognitif. Ketika
orang menyebarkan berita palsu dengan sengaja, mereka melanggar kualitas ini dan
menekankan pentingnya mengambil sikap etis dalam mencari informasi.
Epistemologi mendorong pembentukan kebiasaan berpikir kritis. Mengenali dan
memerangi berita palsu memerlukan kapasitas untuk menilai dan mengevaluasi data secara
menyeluruh. Hal ini memicu perdebatan filosofis epistemologis tentang bagaimana kita dapat
membangun kapasitas kritis di era informasi digital. Kita dapat menyelami lebih dalam
kompleksitas masalah penyebaran berita palsu dan bagaimana kita dapat berperilaku, berpikir,
dan memahami informasi dalam lingkungan politik yang selalu berubah dengan mengadopsi
kerangka epistemologis.

16
1.3 Konteks Politik dalam Konsep Makna Filsafat
Berita palsu dapat dijadikan senjata politik untuk mempengaruhi pemilih dan
mengubah hasil pemilu dalam konteks Pilpres 2024. Ini mencakup unsur-unsur politik seperti
propaganda, manipulasi opini publik, dan kekuasaan. Dalam filsafat politik, muncul
permasalahan mengenai bagaimana mempertahankan dan meningkatkan demokrasi dan
keterlibatan politik dalam menghadapi berkembangnya berita palsu. Fenomena maraknya
berita bohong (hoaks) di Instagram pada Pemilihan Presiden (Pilpres 2024) tahun 2024
mempunyai beberapa konsekuensi terkait dalam kerangka filsafat politik. Filsafat politik
adalah studi tentang konsep dan teori tentang kekuasaan, pemerintahan, masyarakat, dan
demokrasi. Berikut beberapa keprihatinan filosofis politik yang dapat diterapkan pada
kejadian ini.
Penyebaran berita palsu seringkali merupakan upaya untuk memanipulasi opini publik
dan mempengaruhi hasil pemilu. Hal ini mewakili pertanyaan tentang siapa yang mempunyai
kekuasaan dalam masyarakat dan bagaimana otoritas tersebut dapat dieksploitasi dengan
mengatur arus informasi dalam filsafat politik. Filsafat politik adalah studi tentang cita-cita
dan nilai-nilai demokrasi. Berkembangnya berita bohong berpotensi merusak proses
demokrasi dengan mempengaruhi pemilih. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana kita
dapat mempertahankan demokrasi yang sehat dan transparan dalam menghadapi
permasalahan tersebut.
Propaganda adalah taktik yang sering digunakan dalam politik untuk mencapai tujuan
politik. Berita palsu sering kali digunakan sebagai semacam propaganda, mengganggu
komunikasi politik yang jujur. Hal ini memicu perdebatan mengenai etika propaganda dan
pengaruhnya terhadap proses demokrasi. Filsafat politik juga mempelajari pembentukan dan
dampak opini publik. Berita palsu berpotensi mengubah persepsi masyarakat terhadap
kandidat dan topik politik. Hal ini mengangkat topik tentang bagaimana masyarakat harus
menangani informasi politik dan menjadi lebih skeptis dalam mengonsumsi berita.
Dalam filsafat politik, hak asasi manusia merupakan suatu hal yang penting.
Penyebaran berita palsu yang merugikan reputasi seseorang atau kandidat dapat melanggar
hak asasi manusia, seperti hak atas privasi dan hak untuk tidak dihukum. Filsafat politik,
dalam semua dimensi ini, memberikan landasan teoretis untuk mengkaji dan memahami
pengaruh berita palsu dalam situasi politik. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran
mengenai peran masyarakat, media, dan pemerintah dalam membela demokrasi dan hak asasi
manusia dalam menghadapi berita palsu.

17
1.4 Konteks Kebenaran dan Realitas dalam Makna Filsafat
Keprihatinan filosofis juga membahas isu-isu mendasar seperti apa yang dimaksud
dengan kebenaran dan bagaimana kita dapat memahami realitas. Berita palsu di media sosial
menimbulkan keraguan terhadap realitas yang ada, sehingga menimbulkan pertanyaan
tentang bagaimana kita dapat memahami realitas politik dan sosial di era di mana informasi
mudah dimanipulasi. Pertimbangan mengenai kebenaran dan realitas diperdebatkan dengan
hangat dalam filsafat, dan banyak gagasan serta pandangan berbeda yang terlibat. Dengan
latar belakang pemilu presiden dan maraknya berita palsu (hoaks), diskusi mengenai
kebenaran dan kenyataan mungkin berpusat pada berbagai isu media sosial.
Kepastian sebagai Kebenaran Beberapa tradisi filosofis, seperti positivisme, percaya
bahwa kebenaran dapat ditemukan melalui cara-cara ilmiah dan observasi aktual. Topik
tentang bagaimana kita memeriksa validitas informasi politik menggunakan metode ilmiah
dan fakta yang dapat diverifikasi muncul dalam konteks berita palsu. Tradisi filosofis lainnya,
seperti relativisme, menekankan bahwa kebenaran bersifat subjektif dan berfluktuasi menurut
orang atau kelompok. Selama pemilu, perspektif pemilih terhadap politisi dan topik politik
mungkin berbeda. Berita palsu dapat digunakan untuk mempengaruhi opini orang, dan
definisi tentang apa yang "benar" sangat bervariasi.
Beberapa teori sosial dan postmodernisme menekankan penciptaan realitas sosial.
Dalam situasi ini, realitas politik Pilpres 2024 bisa saja dianggap sebagai hasil narasi dan
konstruksi sejumlah pelaku politik dan media. Berita palsu merupakan salah satu metode
untuk mengubah narasi dan persepsi masyarakat terhadap realitas politik. Dalam filsafat
politik, teori representasi menyelidiki sejauh mana media dan berita mencerminkan realitas
politik yang sebenarnya. Berita palsu dapat menyebabkan misinformasi dan memutarbalikkan
pemahaman masyarakat terhadap realitas politik.
Kritik terhadap Politik Pasca-Kebenaran didasarkan pada pertimbangan filosofis
terhadap "politik pasca-kebenaran", di mana emosi, opini, dan cerita sering kali lebih
memengaruhi pemilih daripada fakta dan realitas objektif. Pertanyaan mengenai bagaimana
berita palsu dan narasi politik yang menggambarkan kenyataan secara keliru dapat
berdampak pada proses politik dan pemilu adalah salah satu topik yang dibahas. Meskipun
berita palsu berdampak besar pada pemilu, hal ini penting dalam kerangka filsafat untuk
memahami bagaimana masyarakat menafsirkan dan memahami pengetahuan, kebenaran, dan
realitas politik. Hal ini juga menekankan pentingnya pemikiran kritis, kritik, dan pendekatan
epistemologis menyeluruh dalam menyikapi informasi politik di era digital.

18
C. MAKNA FILSAFAT DALAM FENOMENA MENINGKATNYA BERITA PALSU
(HOAKS) PADA PILPRES 2024 DI MEDIA TRADISIONAL
Filsafat tetap relevan dalam menganalisis fenomena peningkatan berita palsu (hoaks)
dalam konteks Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) di media tradisional. Meskipun media
sosial telah menjadi sumber utama informasi politik, media tradisional seperti televisi, radio,
surat kabar, dan majalah masih memiliki peran yang signifikan dalam peliputan Pemilu.
Mereka sering mengadakan debat kandidat, wawancara eksklusif, dan pemantauan berita
yang dapat memengaruhi pandangan publik.

Tabel 1.2 Kutipan contoh data berita berita palsu (hoaks) pada Pemilihan Presiden 2024
(Pilpres 2024) di media tradisional.
Bukti Penyebaran
Sumber Penyebaran
No Data-Data Berita Hoaks Berita Palsu (Hoaks)
Berita Palsu (Hoaks)

6 “Pilpress 2024 dibatalkan Koran


dan ditunda sampai 2029” (https://images.app.goo.g
l/34c76j41Hr6szjB9A)

7 “Foto surat suara Koran


pemilihan presiden (https://images.app.goo.g
(Pilpress) dengan lambang l/L6PfDNbDDSSy8aoj7)
KPU RI beredar di media
sosial, KPU memastikan
jika gambar tersebut
hoaks”.

Penjelasan konteks dalam makna filsafat kutipan tuturan berita palsu (hoaks) pilpress
2024 di media tradisional, sebagai berikut:

19
D-6: “Pilpress 2024 dibatalkan dan ditunda sampai 2029”
Makna dalam filsafatnya: Tuturan kalimat "Pilpres 2024 dibatalkan dan ditunda
sampai 2029" mencerminkan suatu keputusan yang tidak lazim dalam konteks demokrasi, di
mana pemilihan presiden yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2024 dibatalkan dan
ditunda hingga tahun 2029.
D-7: “Foto surat suara pemilihan presiden (Pilpress) dengan lambang KPU RI beredar di
media sosial, KPU memastikan jika gambar tersebut hoaks”.
Makna dalam filsafatnya: Tuturan kalimat "Foto surat suara pemilihan presiden
(Pilpress) dengan lambang KPU RI beredar di media sosial, KPU memastikan jika gambar
tersebut hoaks" mencerminkan suatu kejadian di mana foto surat suara pemilihan presiden
yang beredar di media sosial dianggap palsu (hoaks) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Topik standar kebenaran sangat penting dalam filsafat. Ketika berita palsu menyebar
melalui media tradisional, pertanyaan apakah berita itu benar dan dapat diandalkan menjadi
semakin mendesak. Dalam lingkungan media tradisional, filsafat dapat membantu
pengembangan norma-norma epistemik yang digunakan untuk menilai kebenaran sebuah
berita. Ketika menangani tugas media dan jurnalistik, filosofi etika sangatlah penting. Ketika
media arus utama menyebarkan berita palsu secara tidak sengaja atau sengaja, timbul
pertimbangan etis. Filsafat membantu perumusan prinsip-prinsip moral yang harus diikuti
media saat memberitakan berita.
Filsafat politik membahas masalah kekuasaan dan manipulasi. Penyebaran berita
palsu di media tradisional dapat disebut sebagai manipulasi informasi, yang memiliki
konsekuensi politik yang besar. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan filosofis mengenai
penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam situasi media. Filsafat berkaitan dengan
sifat realitas dan representasinya. Media tradisional mempengaruhi persepsi populer tentang
dunia politik. Ketika berita palsu muncul, hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai
seberapa baik penggambaran tersebut mewakili situasi politik yang mendasarinya.
Kebebasan pers merupakan konsep penting dalam filsafat politik. Mengingat
banyaknya berita palsu, pertanyaan apakah media harus dikontrol atau diatur sendiri untuk
menjaga kebebasan pers merupakan masalah etika yang penting dalam filsafat. Filsafat
mendorong pemikiran kritis. Sangat penting untuk menyerap informasi dengan hati-hati saat
menghadapi berita palsu di media tradisional. Filsafat dapat membantu menanamkan gagasan
bahwa semua informasi harus dipertanyakan dan dinilai dengan benar. Dalam melihat
pengaruh berita palsu pada media tradisional, filsafat menawarkan kerangka diskusi yang
20
kaya dan bijaksana. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk lebih memahami konsekuensi
etika, epistemologis, dan politik dari penyebaran berita palsu, serta mencari metode yang
lebih baik dalam menilai, mengonsumsi, dan memproses informasi di era digital.

D. MAKNA FILSAFAT DALAM FENOMENA MENINGKATNYA BERITA PALSU


(HOAKS) PADA PILPRES 2024 DI KAMPANYE POLITIK DAN IKLAN
Makna filsafat dalam fenomena peningkatan berita palsu (hoaks) dalam kampanye
politik dan iklan dalam konteks Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) sangat relevan. Di
bawah ini, saya akan menjelaskan bagaimana filsafat dapat memberikan wawasan tentang
aspek-aspek kunci dalam konteks kampanye politik dan iklan. Dalam makna filsafat,
kampanye politik dan iklan adalah dua aspek penting dalam politik kontemporer yang dapat
dianalisis dan dimaknai dari berbagai perspektif filosofis.

Tabel 1.3 Kutipan contoh data berita berita palsu (hoaks) pada Pemilihan Presiden 2024
(Pilpres 2024) di Kampanye Politik dan Iklan.

Data-Data Berita Sumber Penyebaran Bukti Penyebaran


No
Hoaks Berita Palsu (Hoaks) Berita Palsu (Hoaks)
8 “Ketua Umum PDIP Iklan
Resmi Usung Ganjar (https://images.app.goo.g
Pranowo dan Mahfud l/SsgWV1HxsvagS8xa8)
MD Sebagai Bakal
Capres dan Cawapres
pada 2024”

21
9 “PDIP Resmikan Capress Iklan
dan Cawapress pada (https://images.app.goo.g
Pilpress 2024”. l/yTdvsy9Kgr4oNbV37)

10 “DPR Resmi Tunda Iklan


Pemilu 2024” (https://images.app.goo.g
l/jXwVj4jLxFrHRnjE9)

22
Penjelasan konteks dalam makna filsafat kutipan tuturan berita palsu (hoaks) pilpress
2024 di kampanye politik dan iklan, sebagai berikut:

D-8: “Ketua Umum PDIP Resmi Usung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD Sebagai Bakal
Capres dan Cawapres pada 2024”.
Makna dalam filsafatnya: Tuturan kalimat "Ketua Umum PDIP resmi usung Ganjar
Pranowo dan Mahfud MD sebagai bakal capres dan cawapres pada 2024" menyatakan bahwa
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) secara resmi mendukung
Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) dan Mahfud MD sebagai calon wakil
presiden (cawapres) dalam pemilihan presiden tahun 2024.

D-9: “PDIP Resmikan Capress dan Cawapress pada Pilpress 2024”.


Makna dalam filsafatnya: Tuturan kalimat "PDIP resmikan Capres dan Cawapres pada
Pilpres 2024" menyatakan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) secara resmi
menetapkan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) untuk Pemilihan
Presiden (Pilpres) tahun 2024.

D-10: “DPR Resmi Tunda Pemilu 2024”


Makna dalam filsafatnya: Tuturan kalimat "DPR resmi tunda Pemilu 2024" menyiratkan
bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengambil keputusan untuk menunda
pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang seharusnya diadakan pada tahun 2024.

Filsafat berkaitan dengan konsep-konsep seperti kebenaran dan kejujuran. Berita palsu
yang melanggar standar kejujuran sering kali beredar dalam inisiatif politik dan periklanan.
Filsafat mengajarkan kita cara menempatkan kebenaran dan kejujuran sebagai inti politik dan
periklanan, serta cara mengatasi pelanggaran etika. Kampanye politik dan periklanan seringkali
menggunakan manipulasi untuk meyakinkan pemilih. Filsafat etika politik menganalisis
batasan etika pada wacana politik, manipulasi emosional, dan penampilan publik. Pertumbuhan
berita palsu dalam periklanan menciptakan pertimbangan etis mengenai aktivitas apa yang
dapat diterima.
Kekuasaan dan kontrol narasi dalam politik dibahas dalam filsafat politik. Kampanye
dan periklanan politik sering kali digunakan untuk membentuk narasi politik. Penyebaran berita
palsu dapat digunakan untuk mengubah narasi dengan sengaja. Filsafat dapat membantu kita
berpikir tentang bagaimana kekuasaan digunakan untuk mempengaruhi narasi politik. Filsafat
23
politik juga membahas isu-isu seperti demokrasi dan keterlibatan pemilih yang terinformasi.
Kampanye politik dan periklanan harus membantu proses demokrasi dengan menyampaikan
informasi yang benar kepada pemilih. Penyebaran berita palsu berpotensi menghambat
partisipasi pemilih terpelajar, yang merupakan ciri penting filsafat politik.
Berpikir kritis didorong oleh filsafat. Sikap kritis dan pendidikan pemilih sangat penting
dalam menghadapi maraknya berita bohong dalam kampanye politik dan periklanan. Fungsi
berpikir kritis dalam menganalisis pesan kampanye dan periklanan dapat lebih dipahami
melalui filosofi. Dengan menggunakan kerangka filosofis, kita dapat menyelidiki dan
memahami permasalahan etika, politik, dan epistemologis yang muncul akibat berkembangnya
berita palsu dalam kampanye dan periklanan politik. Hal ini juga membantu kita dalam
menyampaikan keprihatinan utama tentang bagaimana kita dapat menjaga integritas kampanye
politik dan periklanan untuk mempertahankan demokrasi yang kuat dan keterlibatan pemilih
yang terinformasi.

E. MAKNA FILSAFAT DALAM FENOMENA MENINGKATNYA BERITA PALSU


(HOAKS) PADA PILPRES 2024 DI RUANG PUBLIK
Dalam konteks fenomena peningkatan berita palsu (hoaks) pada Pemilihan Presiden
2024 (Pilpres 2024) di ruang publik, filsafat memiliki makna yang sangat penting dalam
pemahaman dan analisis masalah ini. Dalam filsafat, pertimbangan tentang kebenaran dan
realitas adalah perdebatan sentral yang telah menjadi fokus sejak zaman kuno. Kebenaran
adalah konsep mendasar yang melibatkan pertanyaan tentang apa yang benar-benar ada dan
bagaimana kita dapat memahami dunia di sekitar kita. Realitas, di sisi lain, berkaitan dengan
apa yang ada di dunia ini, termasuk segala hal yang dapat kita alami dan observasi.

24
Tabel 1.4 Kutipan contoh data berita berita palsu (hoaks) pada Pemilihan Presiden 2024
(Pilpres 2024) di Ruang Publik.
Data-Data Berita Sumber Penyebaran Bukti Penyebaran Berita Palsu
No
Hoaks Berita Palsu (Hoaks) (Hoaks)
11 “Jokowi dan Gibran https://blitarkota.go.id
Khianati PDIP,jadi /id/node/67079
Cawapress Prabowo”

12 “Panas! Yusril Bongkar https://ppid.diskominf


Awal Nama Gibran jadi o.jatengprov.go.id/isu-
Cawapress Prabowo”. hoaks-disinformasi-
19-mei-2023/

25
13 “Hoaks jelang pilpress https://www.rri.go.id/c
meningkat, penebarnya irebon/cek-
kebanyakan kaum ibu- fakta/298085/hoax-
ibu” jokowi-prabowo-siap-
berpasangan-pada-
pilpres-2024

14 “Hoaks Poster https://blitarkota.go.id


Deklarasi Anies /id/node/67079
Baswedan dan Ganjar
Pranowo untuk
CAPRES dan
CAWAPRES 2024-
2029”

Penjelasan konteks dalam makna filsafat kutipan tuturan berita palsu (hoaks) pilpress
2024 di ruang publik, sebagai berikut:

D-11: “Jokowi dan Gibran Khianati PDIP,jadi Cawapress Prabowo”


Makna filsafatnya: Tuturan kalimat "Jokowi dan Gibran khianati PDIP, jadi Cawapres
Prabowo" menggambarkan suatu situasi di mana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gibran
Rakabuming, yang sebelumnya terafiliasi dengan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan), dianggap melakukan pengkhianatan (khianati) terhadap partai tersebut dan
kemudian menjadi calon wakil presiden (Cawapres) mendukung Prabowo Subianto.

D-12: “Panas! Yusril Bongkar Awal Nama Gibran jadi Cawapress Prabowo”.
Makna filsafatnya: Tuturan kalimat "Panas! Yusril Bongkar Awal Nama Gibran jadi
Cawapres Prabowo" menciptakan citra kejadian atau pengungkapan yang hangat atau
kontroversial, di mana Yusril, tokoh atau figur tertentu, mengungkapkan informasi atau fakta
terkait awal mula pencalonan Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden (Cawapres)
mendukung Prabowo Subianto.

26
D-13: “Hoaks jelang pilpress meningkat, penebarnya kebanyakan kaum ibu-ibu”
Makna filsafatnya: Tuturan kalimat " hoaks jelang pilpress meningkat, penebarnya
kebanyakan kaum ibu-ibu" menciptakan gambaran bahwa penyebaran informasi palsu atau
hoaks meningkat menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres), dan yang terlibat dalam
penyebaran tersebut kebanyakan adalah kaum ibu-ibu.

D-14: “Hoaks Poster Deklarasi Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo untuk CAPRES dan
CAWAPRES 2024-2029”
Makna filsafatnya: Tuturan kalimat "Hoaks Poster Deklarasi Anies Baswedan dan
Ganjar Pranowo untuk CAPRES dan CAWAPRES 2024-2029" menyiratkan bahwa ada
klaim palsu atau informasi palsu yang menyebar mengenai deklarasi Anies Baswedan dan
Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) untuk
periode 2024-2029.
Filsafat adalah disiplin ilmu yang menyelidiki prinsip-prinsip yang mendasari
kebenaran dan realitas. Menjamurnya berita bohong di ranah publik seringkali mengarah
pada konstruksi realitas palsu dan mempersulit pemahaman akan kebenaran. Filsafat dapat
membantu kita menyelidiki bagaimana kita dapat menentukan kebenaran dalam situasi di
mana banyak informasi yang salah. Fokus mendasar dari filsafat etika adalah pada masalah
tugas dan moralitas. Menyebarkan berita palsu melanggar etika dan akuntabilitas dengan
menyebarkan informasi yang dapat merugikan masyarakat, masyarakat, atau proses politik.
Filsafat memungkinkan kita untuk mempertimbangkan peran individu dan media dalam
menegakkan integritas ranah publik.
Filosofi epistemologi yang membahas asal usul, sifat, dan batasan pengetahuan dapat
membantu kita memahami betapa sulitnya memerangi berita palsu di masyarakat. Dalam
lingkungan ini, muncul pertanyaan mengenai sumber informasi, metodologi validasi, dan
ketidakpastian pengetahuan. Pembahasan mengenai kekuasaan dan politik terjadi dalam
filsafat politik. Berita palsu sering kali digunakan sebagai senjata politik untuk mencapai
tujuan tertentu. Filsafat memungkinkan kita memahami bagaimana berita palsu digunakan
untuk mempengaruhi opini publik dan proses politik. Nilai demokrasi dan keterlibatan publik
dalam pengambilan keputusan politik ditekankan dalam filsafat politik. Berita palsu dapat
membahayakan demokrasi karena menyesatkan pemilih dan mengganggu proses pemungutan
suara. Filsafat membahas bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam politik dengan
cara yang terpelajar dan berpengetahuan.

27
Dalam semua hal tersebut, filsafat membantu kita dalam memahami, menganalisis,
dan mengembangkan strategi yang lebih cerdas dan etis dalam menghadapi maraknya berita
palsu di ranah publik, khususnya dalam konteks pemilu presiden 2024. Filsafat membantu
kita merenungkan jawaban-jawaban dan langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi
persoalan-persoalan ini dengan merefleksikan dimensi-dimensi mendasar yang berbeda dari
kebenaran, etika, politik, dan pengetahuan yang terlibat dalam kejadian-kejadian ini.
Beberapa tradisi filosofis, seperti positivisme, percaya bahwa kebenaran dapat
ditemukan melalui cara ilmiah dan observasi aktual. Mereka berpendapat bahwa hanya hal-
hal yang terbukti secara empiris yang benar. Dalam pengertian ini, realitas diartikan sebagai
dunia yang dapat dilihat dan diukur secara objektif. Menurut filsafat sosial dan
postmodernisme, realitas merupakan rekayasa sosial. Mereka berpendapat bahwa realitas
tidak ada tanpa hasil rekayasa manusia dan bahwa realitas merupakan hasil cerita dan
penafsiran. Realitas, menurut pandangan ini, merupakan hasil persepsi kolektif dan
konstruksi sosial.
Mempromosikan premis bahwa kebenaran itu subjektif, khususnya dalam
epistemologi. Mereka berpendapat bahwa kebenaran bergantung pada sudut pandang, opini,
atau penilaian individu. Dalam kerangka ini, realitas menjadi sesuatu yang ditafsirkan secara
subyektif oleh setiap individu. Kebenaran dan realitas juga dibahas dalam filsafat etika dan
politik. Hal ini mencakup cita-cita moral dan prinsip-prinsip yang mendasari perilaku dan
kebijakan. Dalam situasi ini, diskusi tentang kebenaran menghubungkan realitas politik dan
moral dengan kebijaksanaan dan etika.
Topik tentang bagaimana kebenaran diakui dan diterima menjadi penting dalam
masyarakat heterogen dengan keyakinan agama, budaya, dan etnis yang beragam. Dalam
budaya kita yang beragam, filsafat membantu eksplorasi kompleksitas kebenaran. Dalam
konteks kebenaran dan realitas, makna filsafat adalah merangsang pemikiran kritis,
merefleksikan kompleksitas gagasan tersebut, dan memahami bagaimana perspektif kita
terhadap kebenaran dan realitas memengaruhi persepsi kita terhadap dunia. Filsafat juga
membantu pengembangan sikap etis untuk memahami realitas, yang mungkin subjektif atau
heterogen dalam komunitas yang beragam.

28
F. Rangkuman
Filsafat adalah suatu disiplin ilmu yang menganalisis segala sesuatu secara mendalam
tentang ketuhanan, semesta, dan kemanusiaan guna menciptakan informasi tentang teknik-
teknik yang digunakan oleh pikiran manusia dan sikap manusia sebagai hasil pemahaman
tersebut. Pandangan terhadap makna sangat mempengaruhi filsafat pada abad ke-20.
Berbagai solusi terhadap persoalan-persoalan yang sangat kuno telah dikembangkan
berdasarkan interpretasi makna yang berbeda-beda. Bab ini membahas bagaimana
penyelidikan tiga perspektif makna ini telah mengubah cara yang mungkin digunakan untuk
meneliti kesulitan-kesulitan filosofis. Ini adalah sebuah "pandangan" tentang makna dan
bukan sebuah "teori".
Teori dalam filsafat ada tiga, yaitu (1) Teori Verifikasionisme yaitu. Teori verifikasi
makna yang terkait menyatakan bahwa mengidentifikasi makna suatu frasa sama dengan
mendeskripsikan teknik untuk memverifikasi kebenaran kalimat tersebut. (2) Teori
emotivisme berpendapat bahwa ketika orang membuat pernyataan etis, mereka hanya
mengekspresikan reaksi emosional pribadi mereka terhadap suatu keadaan atau tindakan, dan
bukan menyampaikan kebenaran objektif tentang kebenaran moral. serta (3) Paradigma dan
teori pangutuban, yaitu argumentasi filosofis mengenai kehendak bebas, pengetahuan,
validitas, dan persoalan. Teori paradigma dan polarisasi ini didasarkan pada penerimaan salah
satu dari dua argumen: argumen kasus paradigmatik atau argumen oposisi kutub. Kedua
argumen ini didasarkan pada penafsiran makna yang berbeda.
Filsafat dari kacamata lingkungan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah Fenomena
meningkatkannya berita palsu (hoaks) pada masa kampanye pilpres 2024. Makna filsafat
dalam fenomena ini dapat tergambar dengan meningkatkannya penyebaran fenomena berita
palsu (hoaks) melalui beberapa media. Pertama, Fenomena meningkatkannya berita palsu
(hoaks) pada masa kampanye pilpres 2024 di media sosial yakni instagram, facebook dan
twitter memiliki relevansi dengan berbagai konsep filsafat, terutama dalam konteks etika,
epistemologi, dan politik. Dalam filsafat, etika adalah kajian mengenai apa yang dianggap
benar dan salah. Penyebaran berita palsu di Instagram dalam konteks Pilpres 2024 berkaitan
dengan etika dalam beberapa cara. Salah satunya para penyebar berita palsu seringkali
melanggar prinsip moral seperti kejujuran dan tanggung jawab sosial. Ini mengangkat
pertanyaan etika tentang bagaimana individu dan masyarakat seharusnya bertindak dalam
menyebarluaskan informasi. Dalam filsafat, Epistemologi adalah disiplin filsafat yang
berkaitan dengan pengetahuan dan cara kita memahami dunia. Berita palsu berpotensi
mengubah cara kita memandang dunia dan membuat penilaian politik. Hal ini
29
menggarisbawahi kesulitan epistemologi, di mana kita harus menyelidiki sumber informasi
dan prosedur validasi untuk menjamin bahwa apa yang kita terima sebagai pengetahuan
adalah benar.
Topik maraknya berita palsu (hoax) di Instagram pada Pilpres 2024 mempunyai
implikasi besar dalam kerangka epistemologi dalam filsafat. Dalam filsafat, politik, muncul
permasalahan mengenai bagaimana mempertahankan dan meningkatkan demokrasi dan
keterlibatan politik dalam menghadapi berkembangnya berita palsu. Ini mencakup unsur-
unsur politik seperti propaganda, manipulasi opini publik, dan kekuasaan. Kedua, Fenomena
meningkatkannya berita palsu (hoaks) pada masa kampanye pilpres 2024 di media tradisional.
Media tradisional seperti televisi, radio, surat kabar, dan majalah masih memiliki peran yang
signifikan dalam peliputan Pemilu. Mereka sering mengadakan debat kandidat, wawancara
eksklusif, dan pemantauan berita yang dapat memengaruhi pandangan publik. Ketiga,
Fenomena meningkatkannya berita palsu (hoaks) pada masa kampanye pilpres 2024 dalam
kampanye politik dan iklan. Fenomena ini sangat relevan karena dalam makna filsafat,
kampanye politik dan iklan adalah dua aspek penting dalam politik kontemporer yang dapat
dianalisis dan dimaknai dari berbagai perspektif filosofis. Keempat, Fenomena
meningkatkannya berita palsu (hoaks) pada masa kampanye pilpres 2024 di ruang publik,
filsafat memiliki makna yang sangat penting dalam pemahaman dan analisis masalah ini.
Dalam filsafat, pertimbangan tentang kebenaran dan realitas. Kebenaran adalah konsep
mendasar yang melibatkan pertanyaan tentang apa yang benar-benar ada dan bagaimana kita
dapat memahami dunia di sekitar kita. Realitas, di sisi lain, berkaitan dengan apa yang ada di
dunia ini, termasuk segala hal yang dapat kita alami dan observasi.

G. Daftar Pustaka
Abu, Y. (2010). Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia. Jurnal Hukum, 17,
589–614.
Adib, H. M. (2010) Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Adnan, G (2020) Filsafat Umum. Banda Aceh: Ar-Raniry Press.
Alfariz, F. (2020). Tradisi Panai dalam Perspektif Filsafat Nilai. Jurnal Filsafat Indonesia,
3(2), 35–39. https://doi.org/10.23887/jfi.v3i2.23952
Aliano, Y. A., Adon, M. J., Sekolah, K., Filsafat, T., Widya, T., & Malang, S. (2022).
Percaturan Politik Genealogi Kekuasaan dalam Sistem Pemilu ‘ 2024 ’ di Indonesia
Menurut Etika Michel Foucault. 6(3), 474–485.
30
Atmadja, A. T. (2013). Pergulatan Metodologi dan Penelitian Kualitatif dalam Ranah Ilmu
Akuntansi. Anantawikrama Tungga Atmadja Jurnal Akuntansi Profesi, 3(2), 122–138.
Cooper, D,E. (2018). Filsafat dan Sifat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka peljar.
Huda, N., & Maharani, S. D. (2021). Meta-Etika Politik di ERA Post Truth (Studi Prilaku
Elit politik Perspektif Etika Emotivis Bertrand Russell). Al-Banjari: Jurnal Ilmiah
Ilmu-Ilmu Keislaman, 20(2).
Fakhruddin, U., Bahrudin, E., & Mujahidin, E. (2018). Konsep Integrasi dalam Sistem
Pembelajaran Mata Pelajaran Umum di Pesantren. Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Islam,
7(2), 214. https://doi.org/10.32832/tadibuna.v7i2.1394
Hidayat, D. N. (2002). Metodologi Penelitian dalam Sebuah “Multi-Paradigm Science.”
Mediator: Jurnal Komunikasi, 3(2), 197–220.
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/view/766/430
Nawawi, M. A., & N, A. M. (2019). Konstruksi Wacana Rasionalitas Dalam Buku Argumen
Kesetaraan Jender Karya Nasaruddin Umar. Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya
Islam, 2(02), 196–210. https://doi.org/10.36670/alamin.v2i02.27
Nur, M. (2012). Revivalisasi Epistemologi Falsifikasi. Jurnal Agama Dan Hak Azazi
Manusia In Right, 2(1), 1–14. http://ejournal.uin-
suka.ac.id/syariah/inright/article/view/1230
Nurhikam, A. S., Syaputra, R., Rohman, S., & ... (2023). Deteksi Berita Palsu pada Pemilu
2024 dengan Menggunakan Algoritma Random Forest. … of Computer and …, 7(1), 41–
50. http://e journal.unipma.ac.id/index.php/doubleclick/article/view/15456%0Ahttp://e-
journal.unipma.ac.id/index.php/doubleclick/article/download/15456/5393
Nurul Huda, S. D. M. (2021). Meta-Etika Politik Di Era Post Truth Studi Prilaku Elit politik
Perspektif Etika Emotivis Bertrand Russell. Angewandte Chemie International Edition,
6(11), 951–952., 17, 2013–2015.
Padli, Ms., & Mustofa, Ml. (2021). Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Serta Aktualisasinya
dalam Men-Screening Berita. Jurnal Filsafat Indonesia, 4(1), 78–88.
https://doi.org/10.23887/jfi.v4i1.31892
Prayitno, B. (2018). Langkah Pemerintah Menangkal Diseminasi Berita Palsu. Jurnal
Wacana Kinerja: Kajian Praktis-Akademis Kinerja Dan Administrasi Pelayanan Publik,
20(2), 17. https://doi.org/10.31845/jwk.v20i2.19
Purwosaputro, S. (2023). Falsifikasi Sebagai Dasar Epistemologi Karl Raymund Popper
dalam Melihat Problem Ilmu Pengetahuan. XII(2).
Pusat, D., Anak, T., Kebutuhan, D., & Khusus, A. (2007). Fakultas psikologi universitas
31
islam negeri malang 2007. 02.
Rio Adiwijaya, D. (2011). Semiologi, Strukturalisme, Post-Strukturalisme, Dan Kajian
Desain Komunikasi Visual? Humaniora, 2(1), 803–813.
Rukayah. (2019). Teori-teori Kebenaran Dalam Filsafat. Jurnal Publikasi Pendidikan, 11, 2.
Siswadi, G. A., Mada, U. G., Palsu, B., Sosial, M., & Pendahuluan, I. (2021). Abhyāsa dan
Vairāgya Dalam Filsafat Yoga. 12(2), 52–62.
Sosiawan, E. A., & Wibowo, R. (2019). Kontestasi Berita Hoax Pemilu Presiden Tahun 2019
di Media Daring dan Media Sosial. 133–142.
Sudjatnika, T. (2017). Nilai-Nilai Karakter Yang Membangun Peradaban Manusia. Al-
Tsaqafa: Jurnal Ilmiah Peradaban Islam, 14(1), 127–140. https://doi.org/10.15575/al-
tsaqafa.v14i1.1796
Sutarto, D. (2018). SOSIAL PENDAHULUAN Abad Ketujuh Belas Merupakan Periode
Perubahan Sudut Pandang yang Sangat Krusial , Terutama Kelahiran Ilmu Pengetahuan .
Dua Hal yang Sangat Menonjol dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Baru Tersebut
Adalah Dialoque ( 1632 ) Karangan Ga. Trias Politika, 2(1), 29–39.
Swaradesy, R. G. (2018). Hoax dan Logika Bahasa: Fenomena Niat Baik Dimanfaatkan
Untuk Tipu Muslihat. WASKITA: Jurnal Pendidikan Nilai Dan Pembangunan Karakter,
2(1), 47–56 https://doi.org/10.21776/ub.waskita.2018.002.01.4
Taurus Tamaji, S. (2020). Pembelajaran Bahasa Arab dalam Perspektif Filsafat Ilmu. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Bahasa Arab, 1(2), 80.
Utami, S. (2018). Kuliner sebagai Identitas Budaya. Journal of Strategic Communication,
8(2), 36–44.

32

Anda mungkin juga menyukai