Anda di halaman 1dari 2

Uma Lengge, Bangunan Adat Khas Bima yang Kental dengan Unsur Spiritual

Ahmad Girindra Wardhana


Selasa, 29 Juni 2021 | 17662 kali

Uma Lengge merupakan bangunan tradisional suku Mbojo yang berada di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. Bangunan yang mirip
rumah ini sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Walau terlihat sederhana, bangunan ini membutuhkan artistik yang unik
dan harus ada keahlian khusus
untuk membuatnya, semua bahan bangunannya berupa kayu dan bambu serta rumbia atau ilalang sebagai bahan atap dan dindingnya.
Pada zaman dahulu, Uma Lengge digunakan sebagai tempat tinggal oleh
masyarakat Wawo dan sebagian digunakan juga sebagai lumbung.

Uma Lengge umumnya menggunakan empat tiang yang menumpu pada fondasi berupa sebuah batu sebagai tumpuan tiang.
Konstruksi bangunan ini agar tahan gempa dan angin kencang atau dalam arti lainnya tidak mudah runtuh. Seluruh bagian merupakan
satu kesatuan yang diletakkan di atas batu begitu saja. Tiang atau dalam bahasa Bima nya Ri'i Uma berbentuk huruf A. Setiap Ri'i
diberi Wole semacam pasak untuk mengunci tiangnya. Ukuran fondasi biasanya bervariasi, tergantung besar tiang penyangga bangunan,
pada pemasangan fondasi, lansung diletakkan di permukaan tanah.

Dalam Bahasa Mbojo, uma berarti "rumah", dan lengge mengacu pada bentuk "tinggi dan mengerucut". Jadi, uma lengge adalah
rumah yang (atapnya) tinggi mengerucut. Namun, orang Donggo melafalkan kata lengge sebagai leme. Maka orang Donggo menyebut
lumbung sekaligus rumah yang ditempatinya itu sebagai uma leme. Bedanya, atap uma leme tampak lebih
runcing daripada atap uma lengge. Lengge sendiri sebenarnya nama bahan utama dalam pembuatan rumah tradisional ini. Lengge
berbahan kayu yang berukuran 40x40 cm, sebanyak empat buah yang diletakkan pada bagian atas tiang utama. Lengge tersebut
berfungsi sebagai penopang bagian atas bagunan. Uma Lengge sangat sulit untuk dinaiki ataupun dipanjat begitu saja kecuali
dengan menggunakan tangga. Yang menarik dari Uma Lengge yaitu tikus tidak dapat naik ke atas rumah karena terhalang
oleh Ngapi, dan batu fondasi pun konon katanya dimantrai oleh para sando (Dukun) supaya tikus tidak bisa naik ke atas rumah.

Selain Uma Lengge, tradisi di Bima juga mengenal jompa, bangunan lain di pekarangan warga yang (umumnya) tinggal di rumah
panggung, dan dikhususkan sebagai lumbung (bukan untuk tempat tinggal) penyimpan hasil panen dan bahan pangan. Oleh
masyarakat tradisional sukum Mbojo, Jompa atau lumbung tidak hanya untuk menyimpan padi ikat namun juga untuk menyimpan
padi gabah dan jenis palawija lainnya. Lumbung padi tradisional ini mempunya lokasi khusus yang jauh dari rumah- rumah penduduk
hal ini dilakukan untuk menjaga bila terjadi kebakaran. Walaupun jauh dari permukiman penduduk tidak serta merta ditinggal begitu
saja namun ada petugas khusus yang menjaganya. Secara adat setempat disebut sebagai Wadu Pamali.

Di masa lalu, Uma Lengge dan Jompa dibangun bersanding. Jompa harus berada di belakang Uma Lengge karena kehidupan masa
lampau masyarakat Bima tak terpisahkan dengan pertanian. Hasil panen baik berupa padi, gandung, jagung, dan lainnya selalu
disimpan di Jompa. Untuk mengambil padi atau hasil panen di Uma Lengge hanya diperkenankan bagi ibu-ibu karena mereka yang
bisa mengetahui akan kebutuhan keluarganya. Menaiki Uma Lengge diperlukan sebuah tangga dari kayu ataupun dari bambu. Jika suda
h selesai menyimpan atau mengambil padi maka tangganya akan dibawa kembali dan disimpan di tempat yang aman, hal ini dilakukan
agar terhindar dari aksi pencurian.

Seiring hilangnya Uma Lengge sebagai rumah tempat tinggal, Jompa pun dibangun bersama-sama
di sebuah lahan kosong oleh warga Desa Maria. Ada sekitar 200 Jompa yang masih berdiri dan menjadi lumbung padi warga Maria.
Hampir setiap kepala keluarga memiliki lumbung padi dan untuk membedakannya mereka menandai dengan nomor. Uma Lengge dan
Jompa dibedakan oleh bentuk dan atapnya. Uma Lengge berbentuk kerucut, berdinding dan beratap alang-alang. Sedangkan Jompa
berbentuk seperti bangunan rumah
tidak berdinding dan beratap seng atau genteng. Ukurannya hampir sama 2,5 meter kali 2,5 meter atau 3 kali tiga meter.

Memiliki Uma Lengge merupakan suatu keharusan bagi masyarakat Wawo. Kepemilikan rumah itu tidak menjadi simbolisasi
seseorang kaya harta atau tidak. Kenyataannya, setiap orang yang
rajin bekerja bisa memiliki Uma Lengge dan lumbung yang selalu terisi di bagian atasnya.

Referensi

1. Budiono, Muhsin (2017). Tangguh Bersama, Jepretan Lensa dan Catatan Sederhana
Pekerja Terminal BBM Tentang Bencana Banjir Bandang Kota Bima. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo,
Kelompok Gramedia.
2. Bunyamin, Bunyamin (2018). Ampa fare: kearifan budaya lokal masyarakat Wawo
Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
3. "Desain Bentuk Rumah Adat Bima dan Penjelasannya". Rumah Perumahan. Diakses pada 26 Juni 2021.
4. "Mengintip Uma Lengge Wawo, Rumah Adat Suku Bima yang Wajib Kamu Kunjungi".
Heriand.com (dalam bahasa Inggris). Diakses pada 27 Juni 2021.
5. Nickyrawi, Faruk. "Mengenal Rumah Adat Warisan Leluhur Bima". detikTravel. Diakses pada 27 Juni 2021.
6. "Filosofi Uma Lengge Suku Mbojo". kampung-media.com. Portal Jurnalisme Warga NTB. Indonesia Best Citizen Journalism
(dalam bahasa Inggris). Diakses pada 27 Juni 2021
7. Putriani, Intan (2020). “Uma Lengge: Lumbung Padi yang Dilestarikan Pemuda Bima sebagai Cagar Budaya NTB”. Info Dompu.
Diakses pada 28 Juni 2021. https://kumparan.com/infodompu/uma-lengge-lumbung-padi-yang-dilestarikan-pemuda-bima-
sebagai-cagar-budaya-ntb-1szS8uwmrvs

Anda mungkin juga menyukai