Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN JURNAL MANAJEMEN PRAKTIK

Teledentistry, 4 Handed Dentistry, Manajemen Praktik Era Pandemi

KELOMPOK 28

Aisyah Fitri Qurrata ‘Ayun 195160100111016

Annisa Putri 195160100111022

Dharmapadmi Pradnya Kasilani 195160100111028

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyusun laporan ini dengan tepat waktu. Laporan ini dibuat dalam rangka

memenuhi tugas jurnal manajemen praktik.

Penyusunan laporan ini tentunya tidak lepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat

kerjasama teman-teman, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Terkait dengan hal ini, penyusun

menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pembuatan tugas

laporan ini. Penyusun menyadari bahwa penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, sehingga dapat

memperbaiki penulisan karya tulis selanjutnya. Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak.

Penulis
Pemanfaatan Teledentistry Untuk Deteksi Karies Gigi Di Masa Pandemi COVID-19 : A Scoping

Review

PENDAHULUAN

Masa pandemi COVID-19 menyebabkan jumlah kunjungan ke dokter gigi menurun dikarenakan

masyarakat merasa takut untuk pergi ke dokter gigi. PDGI mengeluarkan Surat Edaran No.4072/PB-

PDGI/VII-2/2021 yang menghimbau praktik dokter gigi hanya dilakukan untuk kasus-kasus darurat saja

dan menganjurkan dokter gigi untuk memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada pasien

melalui teledentistry. Hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan KKI Nomor 74 Tahun 2020,

PERMENKES RI Nomor 20 Tahun 2019 dan KMK No. HK.01.07/Menkes/4829/2021 mengenai

telemedicine.

Teledentistry merupakan gabungan dari bidang kedokteran gigi dengan teknologi dan komunikasi

yang meliputi pertukaran informasi klinis dan gambar jarak jauh dengan tujuan untuk konsultasi gigi serta

rencana perawatan. Keberhasilan penggunaan teledentistry telah dibuktikan dalam meningkatkan

kepuasan kepada pasien. Penelitian Amtha R, et al. (2021) menunjukkan tingkat kepuasan pasien sebesar

98% dalam menggunakan metode teledentistry. Salah satu pemanfaatan teledentistry yaitu untuk

mendeteksi karies gigi. Penelitian yang dilakukan oleh Daniel SJ, et al.(2016), mengatakan bahwa

teledentistry dapat digunakan untuk mendeteksi karies gigi dalam upaya memberikan perawatan secara

dini untuk mencegah keparahan lebih lanjut. Selain itu, hasil systematic review oleh Estai M, et al. (2016)

dikatakan bahwa teledentistry efektif mendiagnosis karies gigi secara akurat dengan pendekatan deteksi

karies gigi, dimana berdasarkan RISKESDAS tahun 2018 prevalensi karies gigi di Indonesia masih

terbilang tinggi, yakni sebesar 88,8%.

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian ini adalah observasional deskriptif melalui scoping review. Peneliti menggunakan

kriteria Population, Concept, and Context (PCC) untuk mengidentifikasi jurnal-jurnal yang terdapat

dalam basis data yang digunakan. Population pada penelitian ini yaitu seluruh orang yang berpotensi
mengalami karies gigi dan dapat menggunakan teknologi komunikasi serta dilakukan pemeriksaan

menggunakan teledentistry. Concept yang digunakan pada penelitian ini adalah deteksi karies gigi dan

untuk Context yang digunakan adalah teledentistry.

Kriteria inklusi pada penelitian ini terdiri dari jurnal dengan desain studi randomized control trial dan

cross-sectional, jurnal yang membahas tentang penggunaan teledentistry untuk mendeteksi karies gigi

yang diterbitkan tahun 2016–2021 dan ditulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa

Inggris. Sedangkan, untuk kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu jurnal yang tidak dapat diakses.

Penelitian ini diawali dengan pencarian jurnal melalui basis data yaitu Google Scholar dengan boolean

search “teledentistry and screening caries”. Jurnal yang didapatkan akan diseleksi apabila terdapat

duplikasi dan dilanjutkan seleksi pada judul dan abstrak yang tidak sesuai dengan kriteria inklusi.

Selanjutnya, jurnal yang ada ditinjau dengan membaca secara keseluruhan dan ditentukan apakah jurnal

tersebut dapat disertakan atau tidak dalam penelitian ini.

HASIL

Hasil pencarian melalui basis data yaitu Google Scholar dengan boolean search “teledentistry and

screening caries” didapatkan sebanyak 539 jurnal. Dari 539 jurnal, ditemukan sebanyak 22 jurnal yang

merupakan jurnal duplikasi. Total jurnal yang ditemukan setelah dilakukan penghapusan duplikasi yaitu

sebanyak 517 jurnal. Jurnal tersebut ditinjau dengan membaca judul dan abstraknya kemudian

disesuaikan dengan kriteria inklusi dan ditemukan sebanyak 24 jurnal. Dari 24 jurnal, terdapat 6 jurnal

yang tidak dapat diakses secara lengkap sehingga total jurnal lengkap yang memenuhi syarat yaitu

sebanyak 18 jurnal. Kemudian, 18 jurnal tersebut ditinjau kembali secara lengkap dan ditemukan

sebanyak 12 jurnal yang tidak memenuhi kriteria inklusi, dimana 9 jurnal memiliki desain studi selain

randomized control trial dan cross-sectional dan 3 jurnal menggunakan bahasa selain Bahasa Indonesia

dan Bahasa Inggris. Dengan demikian, total jurnal yang dapat disertakan pada penelitian ini yaitu

sebanyak 6 jurnal.
Setelah mendapatkan 6 jurnal yang dapat disertakan, jurnal-jurnal tersebut dimasukkan ke dalam tabel

ekstraksi. Tabel ini memuat nama jurnal, nama peneliti dan tahun, wilayah penelitian, desain studi,

jumlah sampel, dan hasil penelitian. Jurnal pertama dan kedua menyatakan bahwa penggunaan

teledentistry dengan kamera intraoral dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi dan menjadi sarana untuk

mendiagnosis karies gigi anak. Pada jurnal ketiga dan keempat dikatakan bahwa pendeteksian karies gigi

anak dapat dilakukan melalui teledentistry dengan metode pengambilan foto menggunakan kamera

smartphone. Jurnal kelima menunjukkan bahwa teledentistry dengan memanfaatkan fitur video pada

smartphone dapat digunakan untuk mendeteksi karies gigi dan secara efektif dapat diaplikasikan untuk

konsultasi jarak jauh serta perencanaan pengobatan antara dokter gigi dengan pasien. Pada jurnal keenam

dikatakan bahwa pendeteksian karies gigi melalui teledentistry dengan metode pengambilan foto

menggunakan kamera smartphonemjuga dapat dilakukan pada dewasa serta lansia (0-65 tahun.

PEMBAHASAN

Penelitian yang dilakukan oleh T Subbalekshmi, et al. memanfaatkan teledentistry dengan

menggunakan kamera intraoral untuk mendeteksi serta mendiagnosis karies gigi pada anak dengan

rentang usia 3-6 tahun. Penelitian yang lainnya juga meneliti teledentistry menggunakan kamera intraoral

untuk mendeteksi serta mendiagnosis karies gigi pada anak berusia 6-8 tahun. Dari kedua penelitian

diatas dapat disimpulkan bahwa teledentistry dengan menggunakan kamera intraoral terbukti dapat

dimanfaatkan untuk mendeteksi dan menjadi sarana untuk mendiagnosis karies gigi anak.

Pengambilan foto menggunakan kamera intraoral dapat dilakukan dari kelima bagian yaitu anterior,

lateral kanan dan kiri serta oklusal rahang atas dan bawah. Kamera intraoral memiliki kapabilitas untuk

membesarkan gambar dan jika disertai dengan pencahayaan yang baik, maka hasil foto intraoral dapat

menjadi lebih jelas. Selain itu, hasil foto intraoral yang diperoleh dapat disimpan dan dievaluasi meskipun

dari jarak jauh. Kamera intraoral diketahui memiliki keterbatasan dalam mendeteksi karies di daerah yang
sulit seperti pit dan fissure dan interproksimal gigi, sehingga dibutuhkan pemeriksaan radiografi untuk

memastikan letak serta kedalaman karies gigi.

Selain kamera intraoral, penggunaan teledentistry untuk mendeteksi karies gigi juga dapat dilakukan

dengan menggunakan kamera smartphone. Penelitian yang dilakukan oleh Daniel SJ, et al. menunjukkan

bahwa pemeriksaan secara langsung sebanding dengan pemeriksaan melalui teledentistry menggunakan

kamera smartphone sehingga pendeteksian karies gigi pada anak dapat dilakukan.Selain dapat mengambil

foto intraoral, smartphone juga memiliki fitur video yang dapat merekam keadaan intraoral sehingga

pendeteksian karies gigi tetap dapat dilakukan.

Smartphone memiliki kemampuan untuk menyimpan, memproses, dan mengirimkan data dari satu

orang ke orang lain. Sama seperti kamera intraoral, pengambilan foto intraoral menggunakan kamera

smartphone juga dapat dilakukan dari kelima bagian sedangkan jika pendeteksian dilakukan dengan

menggunakan metode videografi. Pengambilan gambar bisa menjadi lebih jelas jika dibantu oleh lampu

senter pada smartphone. Smartphone juga memiliki harga yang lebih terjangkau, mudah dioperasikan

serta dapat meminimalsir waktu dan peralatan. Metode pengambilan gambar intraoral untuk mendeteksi

karies gigi lebih mudah dilakukan pada anak-anak dengan gigi sulung dikarena anak-anak mempunyai

daerah interproksimal serta gigi-gigi posterior yang lebih sedikit. Pendeteksian karies gigi melalui

teledentistry dengan kamera smartphone juga dapat dilakukan pada dewasa dan lansia (0-65 tahun

keatas).

Kamera smartphone memiliki keterbatasan dalam mendeteksi karies gigi pada daerah permukaan akar

dan interproksimal terutama gigi molar dikarenakan hasil gambar yang didapatkan yaitu tampilan dua

dimensi dimana bagian yang tampak yaitu bagian oklusal, bukal dan lingual saja sehingga pemeriksaan

pendukung seperti radiografi juga perlu dilakukan. Keterbatasan lainnya adalah apabila tidak terdapat

perubahan warna pada permukaan email gigi, maka kavitas sulit untuk dibedakan.

Keterbatasan teledentistry tidak mengurangi efektivitas penggunaannya dalam mendeteksi karies gigi

terutama di masa pandemi COVID-19 dimana pemeriksaan awal dapat dilakukan dengan menggunakan
teledentistry. Selain itu, diketahui teledentistry sudah digunakan oleh sebagian dokter gigi sebagai metode

alternatif untuk mendeteksi awal karies gigi sebelum menentukan rencana perawatan selanjutnya.

KESIMPULAN

Di masa pandemi COVID-19, pemeriksaan awal dapat dilakukan dengan menggunakan teledentistry

yang terbukti efektif untuk mendeteksi karies gigi sebelum pasien dilakukan perawatan lebih lanjut oleh

dokter gigi meskipun masih terdapat beberapa keterbatasan.


Ergonomics in Dentistry: A Review

Setiap dokter gigi harus mempertahankan postur dan bentuk yang ideal untuk menjaga struktur,

kapasitas, dan kesehatan yang baik. Pekerjaan gigi membutuhkan konsentrasi fisik dan mental yang tinggi

serta jam kerja yang panjang dapat menyebabkan postur tubuh yang buruk. Professional gigi rentan

terhadap berbagai penyakit dan gangguan akibat kerja, yang paling sering adalah Musculoskeletal

Disorders (MSDs), yang dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang. Berdasarkan penelitian, cedera

yang paling umum adalah pada pergelangan tangan, siku, bahu, leher, serta punggung dan tulang

belakang. Dokter gigi semakin sering dikaitkan dengan sindrom carpal tunnel, linu panggul, tendinitis,

dan Tension Neck Syndrome.

Ergonomi berasal dari dua kata Yunani: Ergon, yang berarti "tenaga kerja", dan Nomo's, yang

berarti "prinsip atau hukum". Ini adalah metode bekerja lebih cerdas dengan menyediakan alat, peralatan,

dan workstation yang memungkinkan praktisi untuk beroperasi seefisien dan seaman mungkin. Desain

ergonomis meningkatkan produktivitas, mengurangi cedera, dan meningkatkan kebahagiaan pekerja.

Oleh karena itu, sangat penting bagi calon dokter gigi untuk mempraktikkan kedokteran gigi dengan

desain ergonomis yang sesuai. Prinsip-prinsip ergonomis dimaksudkan untuk memberikan para praktisi

lingkungan kerja yang aman dan sehat secara umum, yang menghasilkan peningkatan produktivitas.

Musculoskeletal Disorders (MSDS) adalah penyakit muskuloskeletal terkait pekerjaan dengan

perkembangan progresif kronis yang melibatkan ligamen, cakram tulang belakang, otot, tulang rawan,

saraf, sendi dan tendon. MSD juga dikenal sebagai Repetitive Motion Injuries/RMI atau Cumulative

Trauma Disorders/CTD. MSD adalah penyebab kecacatan nomor dua di dunia dan dengan cepat menjadi

masalah kesehatan global. Menurut ulasan jurnal kedokteran gigi di seluruh dunia, sekitar 65% dokter

gigi mengalami manifestasi otot luar seperti rasa sakit, gelisah, hambatan praktis, dan durasi bekerja yang

lebih lama. Pada tahun 1998, Bramson menemukan bahwa hingga delapan puluh satu persen dari operator

gigi menderita nyeri punggung, leher, bahu, atau lengan. Menurut analisis Biro Tenaga Kerja, ahli

kesehatan gigi mendapat skor pertama di antara semua profesi dalam hal jumlah kasus carpal tunnel

syndrome per 1.000 karyawan.


Klasifikasi Musculoskeletal Disorders (MSDS)

- Penyakit saraf: Neuropati ulnaris, carpal tunnel syndrome.

- Penyakit leher: Spondylosis serviks, Tension Neck Syndrome, cervical disc disease, kompresi

pleksus brakialis.

- Penyakit bahu: Trapezius myalgia, Rotator cuff tendonitis, Rotator cuff tear, dan adhesive

capsulitis.

- Penyakit Lengan Bawah, Siku dan Pergelangan Tangan: penyakit de Quervains, Epicondylitis,

Tendonitis, Tenosinovitis.

- Sindrom getaran Tangan-Lengan: penyakit Reynaud.

- Penyakit punggung : Low Back Pain (LBP), Nyeri punggung bagian atas.

Beberapa faktor risiko MSDs di kalangan pekerja gigi

- Posisi tubuh yang sulit dalam waktu lama

Dokter gigi memakai sikap tidak nyaman untuk mendapatkan pandangan yang baik tentang gigi

pasien dan untuk menjaga ritme dokter gigi dan asistennya. Cakram tulang belakang berada di

bawah tekanan yang lebih tinggi saat punggung ditekuk atau dipelintir. Saat duduk dengan posisi

membungkuk dan memutar ke depan, tekanan cakram akan meningkat dengan cepat. Jika

dilakukan berulang kali dan dalam jangka waktu yang lama, tindakan berulang dapat

menyebabkan kelelahan dan ketegangan otot. Semakin lama waktu kerja, semakin lama waktu

istirahat yang dibutuhkan.

- Penerangan yang buruk

Penerangan yang tidak memadai di tempat kerja dapat secara tidak sengaja menyebabkan postur

tubuh yang tidak tepat. Selain faktor risiko yang disebutkan di atas, ada beberapa faktor lain yang

berkontribusi terhadap MSDs, seperti stres, kurangnya fleksibilitas, istirahat yang tidak memadai,

dan penyesuaian peralatan yang buruk. Menurut survei tahun 2016, 44 persen dokter gigi

mengalami Repetitive Motion Injury.


Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah penyakit saraf yang diinduksi akibat paparan getaran yang

sebagian besar mengenai saraf median pergelangan tangan. Pekerjaan berulang dan berat telah

dikaitkan dengan CTS. CTS telah dikaitkan dengan persalinan yang sangat berulang, baik sendiri

atau dalam kombinasi dengan faktor lain.

MSDs dapat menyebabkan kelelahan dini, pegal, dan sikap pesimistis terhadap pekerjaan.

Workstation yang dibangun dengan buruk memiliki dampak terbesar pada leher. Penglihatan rongga

mulut pasien yang tidak tepat bisa menjadi salah satu alasan di balik ini. Operator memiliki

kecenderungan untuk membungkuk ke posisi yang tidak wajar, mengakibatkan pergeseran dari sikap

seimbang. Selain itu, postur leher yang salah dapat menjalar ke punggung, menyebabkan sakit punggung.

Studi tahun 2018 tentang postur ergonomis selama tipikal menemukan bahwa tidak ada operator yang

memiliki posisi leher optimal. Sejumlah besar dokter gigi juga menyebutkan sakit punggung bawah dan

atas. Sakit punggung bagian bawah dapat terganggu oleh kekakuan di sekitar korset panggul, serta

kekurangan relatif otot perut dan gluteal. Aktivitas fleksi dan augmentasi yang konsisten pada tangan dan

pergelangan tangan tanpa istirahat menghasilkan beban mekanis pada saraf lanjut. MSD dapat dihindari

dengan bekerja di lingkungan yang dirancang secara ergonomis.

Gambaran klinis gangguan muskuloskeletal (MSDS)

- Tanda

 Jangkauan gerak berkurang

 Hilangnya sensasi normal

 Kekuatan cengkeraman yang tidak normal

 Hilangnya daya gerak yang normal

 Hilangnya koordinasi.

- Gejala
 Hipersensitivitas pada tangan dan jari

 Kelelahan yang berlebihan pada bahu dan leher

 Kesemutan dan sensasi terbakar pada tangan

 Pegangan lemah, kram tangan

 Mati rasa pada jari dan tangan

 Kecanggungan dan jatuhnya benda

Tujuan Ergonomi

- Mengurangi kemungkinan masalah muskuloskeletal.

- Meningkatkan kenyamanan pekerja sekaligus meningkatkan keselamatan pekerja.

- Keletihan karyawan harus dijaga seminimal mungkin.

- Tingkatkan pekerjaan kelas tinggi.

Intervensi dan pencegahan

"Pencegahan lebih baik daripada pengobatan." Setiap penyakit dapat dicegah, yang menghemat

waktu, uang, dan rasa sakit. Gangguan muskuloskeletal (MSDs) adalah kondisi umum (penyakit) di

kalangan dokter gigi, dan Ergonomi adalah solusi untuk masalah tersebut. Mempertahankan postur dan

simetri yang tepat membutuhkan hubungan yang kuat antara dokter gigi dan zona kerja intraoral.

Ergonomi harus dipertimbangkan saat membangun instrumen dan merencanakan ruang kerja, serta dalam

praktik klinis. Selalu disarankan untuk memberikan jarak 35-40 cm antara bidang kerja dan mata dokter

gigi.

Perubahan berikut dapat membantu penerapan prinsip ergonomis

- Postur

Penyelarasan postur tubuh yang tidak tepat memberikan tekanan pada saraf dan pembuluh darah,

menghasilkan ketegangan otot yang tidak perlu dan keausan pada persendian. Mempertahankan

postur tegak harus menjadi prioritas setiap saat. Gunakan kursi dengan penyangga yang tepat,

serta sandaran kaki yang dapat disesuaikan. Ketinggian kursi harus disesuaikan dengan tingkat
yang nyaman. Gerakan pergelangan tangan yang berlebihan harus dihindari. Kursi gigi harus

dinaikkan cukup tinggi agar paha administrator dapat berputar tanpa hambatan di bawahnya.

Berikut ciri-ciri postur yang seimbang:

 Menghormati kesimetrisan tubuh dan punggung yang lurus.

 Hindari tubuh miring ke depan dengan meletakkan lengan di sepanjang tubuh.

 Kaki operator diposisikan secara simetris di bawah tangannya.

- Pemilihan instrumen

Saat tepi yang bekerja tidak tumpul, perangkat melakukan sebagian besar pekerjaan,

membutuhkan lebih sedikit tenaga. Saat menggunakan perangkat dengan tepi tumpul, diperlukan

kekuatan ekstra. Selain itu, alih-alih menggunakan instrumen tangan manual, penggunaan hand

piece mekanis yang ringan dan tahan lama dianjurkan.

- Pembesaran dan pencahayaan

Penerangan bebas bayangan disediakan oleh penjajaran paralel berkas cahaya dalam arah

pengamatan, yang meningkatkan kualitas pekerjaan. Dental loupe dan mikroskop dengan

berbagai tingkat pembesaran memungkinkan postur tubuh lebih tegak, mengurangi nyeri

punggung dan leher.

- Istirahat mikro dokter gigi

Sering-seringlah beristirahat untuk mengendurkan bagian tubuh Anda. Memindahkan beban kerja

otot dari satu lokasi ke lokasi lain harus dilakukan secara teratur. Seorang dokter gigi dapat

beristirahat di sisi kursi dan melakukan peregangan.

- Penjadwalan
Janji temu harus dijadwalkan untuk memungkinkan waktu pemulihan yang memadai dan untuk

menghindari kelelahan otot. Dengan interval penyangga di antaranya, situasi menantang harus

ditangani.

- Pelatihan personel gigi

Setiap situasi perawatan kesehatan membutuhkan pelatihan. Ini memastikan bahwa personel

mendapat informasi yang baik tentang bahaya di tempat kerja dan mampu secara sukarela

mengidentifikasi dan meminimalkan potensi bahaya.

Beberapa aspek dari pengaturan tempat kerja yang salah

 Kursi dokter gigi atau dudukan secara bergantian terlalu tinggi atau terlalu rendah.

 Tidak ada dukungan yang tepat di kursi dokter gigi.

 Posisi meja peralatan salah.

 Pencahayaan tidak memadai untuk bekerja.

 Tepi permukaan meja/kerja tajam dan tidak nyaman.

 Tempat kerja lembab dan dingin.

 Ventilasi membuat ruang kerja menjadi dingin.

- Pembesaran pengaturan gigi yang ideal: Pembesaran memungkinkan dokter untuk beroperasi

pada jarak yang lebih jauh dari pasien, memperbaiki postur leher dengan meminimalkan condong

ke depan, dan meningkatkan penglihatan. Sistem pembesaran termasuk pembesar gigi, teleskop

operasional, dan mikroskop. Menggunakan teknologi tersebut memungkinkan dokter gigi untuk

memusatkan pandangannya hanya pada bidang kerja. Untuk lebih mengembangkan persepsi,

tidak ada alasan bagus untuk meregangkan kepala dan tulang punggung Anda.
- Kursi pasien: Tujuan utamanya adalah memberikan pasien akses terbaik sekaligus memastikan

kenyamanan mereka.

Carilah:

 Manfaatkan kursi yang memiliki permukaan rata.

 Konsistensi.

 Sandaran tangan yang berporos.

 Dukungan leher dan sandaran kepala

 Dukungan untuk pergelangan tangan dan lengan bawah.

- Bangku operator: Idenya adalah untuk meningkatkan pergerakan dan akses pasien sambil

mengakomodasi berbagai ukuran tubuh.

Carilah:

 Penyangga pinggang yang dapat disesuaikan.

 Ketinggian tempat duduk dapat diatur.

 Pijakan kaki yang bisa disesuaikan.

 Penyangga bodi melilit

 Pelapis tanpa jahitan

Bangku operator tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran.

Bangku sadel, bangku operator Brewer, bangku Posiflex, dan kursi Kobo adalah beberapa

pilihannya. Dengan memperluas sudut panggul 130 derajat dan memposisikan sakrum pada posisi

netral, bangku tipe pelana mempertahankan kelengkungan punggung bawah. Ini sempurna untuk

ruang operasi yang sempit

- Ergonomi dalam kedokteran gigi: kemajuan dan strategi Kedokteran gigi empat tangan: Ini

adalah metode di mana dokter gigi dan bawahannya bekerja sama untuk melaksanakan prosedur
yang dirancang dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik pasien. Asisten yang terampil

selama perawatan gigi apa pun yang dilakukan dalam praktik gigi mendukung dokter gigi dalam

melakukan prosedur teknis. Dalam pengaturan kedokteran gigi empat tangan, penggunaan yang

tepat dari sepasang tangan tambahan gigi secara luas diakui sebagai cara optimal dalam

memberikan layanan gigi. Persyaratan berikut harus dipenuhi untuk dapat mempraktikkan

kedokteran gigi empat tangan yang benar.

 Semua peralatan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan ergonomi.

 Tim bedah dan pasien harus duduk dalam peralatan yang dirancang secara ergonomis.

 Anda harus menggunakan baki yang sudah jadi.

Berdasarkan persyaratan negara bagian, dokter gigi harus mendelegasikan semua tugas yang

dapat didelegasikan secara hukum ke asisten sertifikasi. Perawatan untuk pasien harus

direncanakan sebelumnya dan disusun secara logis.

- Zona aktivitas: Area kerja di sekitar pasien dibagi menjadi 4 "zona aktivitas". Untuk mendeteksi

zona aktivitas, wajah pasien digunakan untuk mensimulasikan wajah jam. Keempat zona aktivitas

tersebut adalah Operator’s zone, Transfer Zone, Static Zone, Assistant’s Zone.

- Bergantian antara berdiri dan duduk

 Anda dapat meredakan tekanan punggung dengan berdiri. Tetapi selama beberapa

prosedur, praktisi gigi diharuskan duduk. Saat seseorang duduk, seluruh berat badannya

dipindahkan ke area ikat pinggangnya.

 Dengan berputar di antara 2 postur, satu set otot mendapat jeda sementara upaya

dipindahkan ke yang lain. Bergantian antara duduk dan berdiri mungkin merupakan

pendekatan yang baik untuk menghindari cedera.


- Ukuran sarung tangan yang tepat dan pas: Sarung tangan dengan ukuran yang tepat, ringan, dan

lentur sangat penting. Sindrom carpal tunnel dapat menjadi lebih buruk dengan sarung tangan

yang tidak pas, hal ini menyebabkan ketidaknyamanan pada tangan, terutama pada titik di dekat

bagian bawah pollex.

- Suhu yang tepat: Untuk menjaga ketangkasan dan kekuatan cengkeraman agar tidak memburuk,

tangan dan jari harus dijaga pada suhu minimal 25°C (77°F). Suhu, di sisi lain, tidak diatur.

- Peregangan dan latihan: Latihan, peregangan, dan latihan relaksasi (meditasi, biofeedback, dan

yoga) dapat membantu Anda menghindari cedera dan mengurangi stres, sehingga meningkatkan

kualitas hidup Anda. Latihan penguatan tubuh adalah:

 Menjaga kesehatan fisik otot-otot yang menopang leher dan punggung, serta yang

menopang lengan bawah, pergelangan tangan, dan tangan, dengan meregangkan dan

memperkuatnya.

 Peregangan sepanjang hari secara berkala.

 Salah satu hal terpenting dalam mencegah CTS adalah mengistirahatkan tangan secara

teratur.

 Beristirahatlah dari aktivitas Anda dan fokuskan mata Anda pada jarak tertentu selama 20

detik untuk menghilangkan kelelahan mata yang disebabkan oleh fokus yang keras pada

satu kedalaman penglihatan untuk waktu yang lama.

 Turunkan kepala secara bertahap dan biarkan lengan dan kepala jatuh di antara kedua

lutut; berhenti selama beberapa detik sebelum perlahan mengangkat kepala dengan

mengontraksikan otot perut dan berguling, dengan kepala muncul terakhir.


 Jika leher Anda kaku, putar kepala Anda. Rotasi kepala memerlukan memutar kepala

dalam rentang gerakan yang nyaman dari depan dan belakang, kanan dan kiri.

 Penggulingan bahu dapat membantu meregangkan otot bahu yang lelah akibat memegang

evakuator oral, peralatan, atau gagang telepon.

 Tarik bahu ke arah telinga lalu gulung membentuk lingkaran ke depan dan ke belakang.

Kesimpulan

Produktivitas tinggi, pencegahan cedera, dan kepuasan pasien yang lebih besar adalah semua manfaat

ergonomi yang berhasil dalam operasi gigi. MSD dapat dihindari dengan mengikuti beberapa prinsip

dasar dan menjaga postur tubuh yang sehat. Seminar dan ceramah pendidikan kedokteran gigi yang

berkelanjutan harus dipromosikan untuk meningkatkan kesadaran di kalangan praktisi gigi. Kedokteran

gigi empat tangan harus digunakan secara teratur untuk meningkatkan efisiensi dan kenyamanan. Oleh

karena itu, bercita-citalah untuk menginspirasi sebelum Anda kedaluwarsa.


Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri oleh Dokter Gigi Selama Pandemi

COVID-19

Abstrak

Abstak beisi ringkasan artikel tentang analisis berbagai faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan penggunaan APD oleh dokter gigi di RSIGM Sultan Agung Semarang. Dari penelitian ini,

dapat disimpulkan bahwa hubungan kejelasan informasi dan faktor kepemimpinan dengan kepatuhan

penggunaan APD, sedangkan umur, masa kerja, dan jenis kelamin tidak ada hubungan dengan kepatuhan

penggunaan APD.

Pendahuluan

Virus Covid-19 saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia yang telah

berlangsung cukup lama. Kelompok yang rentan tertular virus ini meliputi, lansia, orang yang mempunyai

penyakit komorbid, serta petugas kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan memiliki risiko potensial

penularan virus Covid-19. Potensi tertular dan menularkan dapat terjadi antara petugas kesehatan dengan

pasien dan antara petugas kesehatan. Mekanisme pencegahan penularan Covid-19, yang diatur

pemerintah, di tempat kerja yaitu, menjaga higienisitas semua ruangan (lantai, dinding, dan barang-

barang di dalamnya), tenaga medis wajib mematuhi semua prosedur kewaspadaan standar (menjaga

kebersihan diri melalui prosedur cuci tangan yang benar, menggunakan APD, membatasi kontak yang

tidak perlu dengan pasien, mengatur jam kerja, menata ulang ruangan dan meningkatkan daya tubuh

masing-masing).

Standar Keselamatan Pasien menurut Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) adalah rumah

sakit harus merancang atau memperbaiki proses layanan, secara rutin memonitor dan mengevaluasi

kinerja, menganalisis insiden secara intensif dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja dan

keselamatan pasien. Rumah sakit harus mempunyai program yang melindungi tenaga kesehatan dan

pasien dari bahaya infeksi, dengan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di rumah sakit.
Dokter gigi dan perawat gigi berisiko tinggi tertular virus karena harus melakukan kontak

langsung dengan pasien ketika memberikan pelayanan gigi dan mulut, menggunakan aerosol dan

berhubungan dengan droplet serta cairan liur dan membran mukosa pada hidung dan mulut. Pada masa

adaptasi kebiasaan baru, dokter gigi wajib memenuhi Juknis Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang dikeluarkan Kemenkes dan SE No.2776 Tahun 2020 tentang

Pedoman Pelayanan Kedokteran Gigi selama Pandemi Virus SARS CoV-2.

Tingginya kasus Covid-19 menyebabkan penurunan kunjungan pasien, meningkatnya ketakutan

dokter gigi dan perawat gigi memberikan layanan (sehingga membatasi, menjaga jarak dan berimplikasi

pada ketidakpuasan masyarakat ketika mendapatkan layanan), serta menyebabkan banyak pasien yang

merasa takut dan cemas ke tempat pelayanan.

Berbagai studi membuktikan bahwa dokter, dokter gigi dan perawat masih belum optimal dalam

melaksanakan kewaspadaan standar terutama dalam penggunaan alat pelindung diri (APD). Survei

pendahuluan menunjukkan beberapa dokter gigi di RSIGM Sultan Agung kurang mematuhi penggunaan

APD sesuai standar dengan berbagai alasan. Tujuan penelitian pada artikel ini untuk mengetahui factor-

faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dokter gigi dalam penggunaan APD ketika memberikan

pelayanan.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan metode kuantitatif dengan

pendekatan potong lintang (Cross Sectional). Populasi penelitian semua dokter gigi yang memberikan

pelayanan di RSIGM Sultan Agung Semarang sebanyak 51 orang (termasuk dokter gigi muda). Sampel

penelitian adalah total populasi. Sehingga jumlah sampel dan populasi sama yaitu sebanyak 51 orang. Hal

tersebut dikarenakan situasi pandemi dan adanya pembatasan, pengumpulan data primer dilakukan secara

online menggunakan google-form melalui kuesioner yang dikirimkan melalui Whats-App (WA).

Kuesioner telah diuji validitas dan reliabilitasnya dalam uji coba pada tenaga dokter di RSGM

Muhammadiyah Semarang. Penelitian dilaksanakan bulan Juni sampai dengan Desember 2021. Kriteria
inklusi penelitian ini adalah semua dokter gigi RSIGM yang memberikan pelayanan langsung dan kriteria

eksklusinya adalah mereka yang menolak berpartisipasi. Semua responden telah menyatakan persetujuan

berpartisipasi pada penelitian ini melalui dokumen informed-consent yang telah disampaikan sebelumnya.

Variabel bebas penelitian meliputi umur, masa kerja, jenis kelamin, kejelasan informasi, dan

kepemimpinan, sedangkan variabel terikat yaitu kepatuhan dalam menggunakan APD. Data dianalisis

secara univariat dengan tabel distribusi frekuensi dan bivariat menggunakan uji Chi-square dengan

menggunakan aplikasi SPSS untuk melihat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

Penelitian ini telah memenuhi kaji etik penelitian melalui sertifikat No.1291/UN25.8/KEPK/DL/2021

yang dikeluarkan oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Jember.

Hasil dan Pembahasan

Sebagian besar responden menyatakan bahwa informasi yang diterima terkait penggunaan APD

sudah baik dan 54,9% menyatakan kepemimpinan selama ini sudah baik. Sebanyak 51% responden

memiliki kepatuhan penggunaan alat pelindung diri (APD) yang sudah baik dan sisanya masih kurang

baik kepatuhannya. Kejelasan informasi dan kepemimpinan secara statistik berhubungan signifikan

dengan kepatuhan penggunaan APD. Hasil uji hubungan menunjukkan tidak ada hubungan antara umur,

masa kerja dan jenis kelamin dengan kepatuhan penggunaan APD. Hasil ini sejalan dengan penelitian

sebelumnya yang menyatakan tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kepatuhan penggunaan APD

pada perawat rawat jalan dan rawat inap serta umur dan masa kerja tidak berhubungan dengan kepatuhan

perawat menggunakan APD, kecuali dukungan teman sejawat. Variabel yang juga berhubungan dengan

kepatuhan penggunaan APD antara lain sikap, fasilitas yang tersedia, pelatihan dan pengawasan

pengendalian.

Umur masih muda dan masa kerja yang belum terlalu lama secara psikologis belum terlalu

memahami karakteristik pekerjaan profesional yang harus dilakukan, termasuk semua risiko bahaya

pekerjaannya yang mungkin dialami, termasuk kemungkinan mengalami kecelakaan kerja maupun infeksi

nosokomial atau infeksi lain akibat kelalaian penggunaan APD. Namun berdasarkan ebberapa penelitian
terdahulu, mereka yang berumur lebih tua ataupun yang masa kerjanya lama juga cenderung kurang

mematuhi penggunaan APD. Beberapa alasan yang diduga berkontribusi terhadap keengganan

penggunaan APD karena perasaan gerah, panas, repot dan ketidaknyamanan yang dirasakan tenaga medis

ketika harus menggunakan APD secara lengkap. Penelitian yang dilakukan oleh Hajjij dkk menunjukkan

penggunaan APD menimbulkan rasa sakit kepala dari nyeri ringan sampai dengan nyeri kepala berat

bilamana bekerja lebih dari 12 jam bagi tenaga kesehatan. Selain itu juga mengakibatkan rasa

tidaknyaman, penglihatan kabur dan konsentrasi berkurang. Kinerja profesional tenaga kesehatan terasa

berkurang dan terganggu dengan penggunaan APD selama pandemi Covid-19.

Kejelasan informasi yang diterima berhubungan positif dengan kepatuhan penggunaan APD.

Semakin jelas informasi maka kepatuhan akan semakin baik. Pengetahuan dan pemahaman mengenai

pentingnya APD dan manfaat APD menjadi faktor penting seseorang mau patuh dalam menggunakan

APD. Kejelasan informasi menjadi prediktor untuk peningkatan persepsi tentang risiko bahaya. Beberapa

upaya dapat dilakukan untuk meningkatkan kejelasan informasi sekaligus pengetahuan petugas kesehatan

tentang APD yaitu melalui sosialisasi secara terus menerus, diseminasi informasi dan pelatihan standar

yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam menggunakan APD sesuai

ketentuannya.

Dukungan kepemimpinan yang kuat di fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai pengaruh

terhadap kepatuhan penggunaan APD. Pemimpin harus mampu membangun iklim kerja dan budaya

partisipatif guna menjamin keselamatan dan kesehatan semua stafnya agar tidak terjadi suatu kondisi

yang dapat merugikan baik kerugian personal maupun institusional. Menjamin semua petugas kesehatan

di rumah sakit disiplin menggunakan APD ketika melayani pasien menjadi peran sentral pimpinan

(manajemen) melalui implementasi fungsi pemantauan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi yang

harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Menerapkan metode reward dan punishment dari hasil evaluasi yang

dilaksanakan menjadi salah satu strategi yang dapat diterapkan. Perubahan rutinitas kerja di rumah sakit

selama pandemi juga menjadi tanggung jawab manajemen seperti perubahan jam kerja, jadwal, tugas,

kewajiban memakai APD dengan kriteria tertentu dan pengaturan jam kerja, termasuk pembagian beban
kerja yang merata karena adanya peningkatan beban kerja dalam memberikan pelayanan selama pandemi

Covid-19.

Penggunaan alat pelindung diri (APD) merupakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang

efektif terutama dari risiko penularan virus selama pandemi Covid-19 yang secara global menimbulkan

rasa kekuatiran dan ketakutan bagi tenaga kesehatan. kemudahan akses mendapatkan APD dan

penggunaan yang benar dari jenis, ukuran dan kecocokan APD yang tepat sangat penting diperhatikan

guna menjaga keselamatan para tenaga kesehatan. Kejelasan prosedur penggunaan APD mulai dari

pengadaan, distribusi, pemakaian dan penglepasannya harus diperhatikan seksama oleh manajemen.

Dalam sosialisasi penggunaan APD juga dijelaskan semua risiko dan efek yang mungkin akan dirasakan

ketika menggunakan APD tersebut, sekaligus bagaimana upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk

mengatasi berbagai kendala tersebut agar dapat mengurangi potensi keengganan menggunakan APD dan

keputusan tidak menggunakan APD karena faktor ketidaknyamanan. Kebingungan dan ambiguitas adalah

alasan umum yang dipakai untuk ketidakpatuhan terhadap pedoman dan ketidakpatuhan meningkatkan

risiko bahaya.

Seseorang dikatakan patuh apabila norma-norma atau nilai-nilai suatu peraturan diwujudkan

dalam perbuatan. Terdapat 3 (tiga) aspek kepatuhan yaitu: a) sikap mental (mental attitude), b)

pemahaman yang baik, dan c) sikap kelakuan. Ketika tenaga kesehatan mau menggunakan alat pelindung

diri (APD), menjadi indikasi bahwa kepatuhan untuk menjaga keselamatan telah muncul pada sikap

pekerja, baik sikap mental maupun sikap kelakuannya. Dalam konteks pelayanan kesehatan di rumah

sakit, upaya menjaga keselamatan selalu berkaitan dengan pencegahan infeksi nosokomial dan infeksi

lainnya. Aspek penting dalam meningkatkan kepatuhan adalah konformitas dan kontrol diri.

Konformitas adalah perilaku seseorang karena orang lain juga melakukan hal yang sama atau

dengan kata lain konformitas adalah upaya perubahan perilaku yang dihasilkan tekanan kelompok. Aspek

penting konformitas adalah:

a) kekompakan, yang berkaitan dengan kemampuan penyesuaian diri dan perhatian dari kelompok;
b) kesepakatan, yang berkaitan dengan persamaan pendapat, penyimpangan terhadap pendapat

kelompok dan kepercayaan;

c) ketaatan, yang berkaitan dengan harapan orang lain dan adanya penghargaan (reward) dan sanksi

(punishment).

Kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk mengontrol dirinya supaya tidak berperilaku

yang dianggap melanggar ketentuan. Dari pemahaman tersebut maka, pengaruh variabel kepemimpinan

terhadap kepatuhan penggunaan APD pada penelitian ini merupakan penjabaran dari konsep konformitas

yang mengarah pada ketaatan dokter gigi karena adanya pengawasan manajemen dalam bentuk reward

dan punishment yang akan diterima ketika tidak mematuhi peraturan. Sedangkan variabel kejelasan

informasi berkaitan dengan kemampuan dokter gigi melakukan kontrol diri melalui kemampuan

menerima, mengelola dan memahami berbagai informasi yang diterima sehingga mampu

mengidentifikasi semua risiko positif ataupun negatif bilamana tidak menggunakan APD. Jadi,

manajemen RS perlu melakukan berbagai upaya tentang cara meningkatkan sosialisasi manfaat

penggunaan APD dan melakukan pengawasan melalui mekanisme penghargaan dan saknsi jika terjadi

pelanggaran. Hasil ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

Penutup

Sebanyak 51% dokter gigi di RSIGM Sultan Agung mempunyai kepatuhan baik dalam

penggunaan APD. Sebagian besar ternyata berumur muda (≤25 tahun), dengan masa kerja <3 tahun dan

berjenis kelamin perempuan. Sebanyak 52,9% menyatakan informasi yang diterima baik dan 54,9%

menyatakan kepemimpinan baik. Secara parsial diketahui kejelasan informasi dan kepemimpinan secara

statistik terbukti berhubungan signifikan dengan kepatuhan penggunaan APD, sedangkan umur, masa

kerja dan jenis kelamin tidak berhubungan.

Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu, penyebaran kuesioner hanya melalui Google Form

sehingga kurang dapat menggali informasi yang lebih lengkap dari responden serta responden hanya

dokter gigi di RSIGM Sultan Agung Semarang saja sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi.
Penelitian selanjutnya dapat menggunakan sampel penelitian dokter gigi rumah sakit lainnya sehingga

dapat dijadikan perbandingan dalam penelitian ini, juga bisa menggunakan penelitian kualitatif untuk

dapat menggali lebih banyak data dari responden sehingga dapat menjadi pelengkap dalam penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai