Anda di halaman 1dari 10

Nama : Alya Shakira Putri Irawan

NPM : 2101103010065

Mata Kuliah : Manajemen Stratejik

Tanggung Jawab Sosial dan Etika Dalam Manajemen Strategis

Perusahaan swasta memiliki tanggung jawab kepada masyarakat yang lebih dari sekadar
mencari keuntungan. Terdapat dua perspektif mengenai tanggung jawab perusahaan bisnis
terhadap masyarakat.

Pandangan Tradisional Friedman tentang Tanggung Jawab Bisnis


Urgensi ekonomi global laissez-faire, yaitu teori ekonomi yang menentang partisipasi
pemerintah dalam bisnis. Milton Friedman tidak menyukai konsep tanggung jawab sosial.
Menurut Friedman, seorang pebisnis yang "bertanggung jawab" dengan memotong harga produk
perusahaan untuk mencegah inflasi, melakukan tindakan untuk mengurangi polusi, atau
mempekerjakan pengangguran, hanya menghabiskan uang pemegang saham untuk kepentingan
sosial secara umum. Menurut Friedman:

Hanya ada satu tanggung jawab sosial bisnis, yaitu menggunakan sumber dayanya dan terlibat
dalam kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan keuntungannya selama tetap berada dalam
aturan main, yaitu, terlibat dalam persaingan terbuka dan bebas tanpa penipuan atau
kecurangan.

Empat Tanggung Jawab Bisnis Menurut Carroll

Archie Carroll mengusulkan para manajer organisasi perusahaan untuk memiliki empat
tanggung jawab:
1. Tanggung jawab ekonomi
Salah satu tanggung jawab ekonomi manajemen perusahaan adalah menghasilkan barang
dan jasa yang bernilai bagi masyarakat sehingga perusahaan dapat membayar kreditur dan
pemegang saham.
2. Tanggung jawab hukum
Tanggung jawab hukum ditetapkan oleh pemerintah, dan manajemen diharapkan dapat
mematuhi hukum tersebut. Sebagai contoh, perusahaan bisnis di Amerika Serikat diwajibkan
untuk mempekerjakan dan mempromosikan kandidat berdasarkan kemampuan mereka
dengan tidak mendiskriminasi ras, jenis kelamin, atau agama, atau kriteria lain yang tidak
terkait dengan pekerjaan.

3. Tanggung jawab etis


Keyakinan umum mengenai perilaku masyarakat harus dipatuhi dan diikuti oleh
manajemen organisasi. Contohnya, meskipun tidak ada undang-undang atau peraturan yang
mewajibkan perusahaan untuk bekerja sama dengan masyarakat dan karyawan dalam
merencanakan pemutusan hubungan kerja, masyarakat biasanya mengharapkan perusahaan
melakukannya. Respon negatif dari masyarakat bisa timbul jika manajemen suatu organisasi
tidak berperilaku sesuai dengan standar moral yang umum

4. Tanggung jawab diskresioner


Tanggung jawab diskresioner adalah kewajiban yang bersifat sukarela yang ditanggung
oleh perusahaan. Contohnya adalah kontribusi filantropi, pelatihan bagi para pengangguran,
dan penyediaan tempat penitipan anak. Orang-orang lebih banyak mengharapkan organisasi
untuk melakukan tanggung jawab etis dibandingkan tanggung jawab diskresioner.
Keempat daftar tanggung jawab ini dibuat oleh Carrol dalam urutan prioritas. Untuk
memenuhi tanggung jawab ekonominya, perusahaan harus menghasilkan laba. Perusahaan
harus mematuhi hukum dan memenuhi tanggung jawabnya agar dapat bertahan. Perusahaan
yang terbukti bersalah melanggar hukum akan kehilangan keuntungan dan penjualan setelah
dihukum. Selanjutnya, Carroll mengatakan bahwa para pelaku bisnis memiliki tanggung
jawab yang lebih besar daripada tanggung jawab hukum dan ekonomi, yaitu tanggung jawab
etis dan tanggung jawab kebijaksanaan.
Perusahaan dapat memenuhi tanggung jawab etisnya dengan mengambil tindakan yang
dianggap baik oleh masyarakat tetapi tidak diatur oleh hukum. Setelah memenuhi tanggung
jawab etis, perusahaan dapat melaksanakan tanggung jawab diskresioner, yaitu tindakan
berdasarkan inisiatif perusahaan sendiri yang belum diputuskan oleh masyarakat sebagai
tindakan penting.
Seiring dengan berkembangnya nilai-nilai masyarakat, tanggung jawab diskresioner hari
ini dapat menjadi tanggung jawab etis di masa depan. Sebagai contoh, pada tahun 1990, 86%
orang di Amerika Serikat percaya bahwa obesitas disebabkan oleh individu itu sendiri, dan
hanya 14% yang menyalahkan perusahaan atau pedoman pemerintah. Namun, pada tahun
2003, hanya 54% yang menyalahkan obesitas pada individu dan 46% menyalahkan
pemasaran korporat dan pedoman pemerintah. Dengan demikian, penawaran makanan sehat
dan rendah kalori oleh pengolah makanan dan restoran bergerak dengan cepat dari sebuah
kebijaksanaan menjadi sebuah tanggung jawab etis.
Carroll menyatakan jika perusahaan gagal untuk melaksanakan tanggung jawab diskresi
atau etika, masyarakat akan menuntut agar perusahaan bertanggung jawab secara hukum.
Pemerintah memiliki kemampuan untuk membuat perusahaan bertanggung jawab secara
hukum tanpa memperhatikan dampak tanggung jawab ekonomi perusahaan. Akibat hal itu,
perusahaan akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk memperole keuntungan
dibandingkan jika perusahaan tersebut berinisiatif mengemban tanggung jawab etis dan
kebijaksanaan.
Berdasarkan bagaimana dampak tanggung jawab sosial pada keuntungan perusahaan, hal
itu diperdebatkan oleh Friedman dan Carroll. Friedman berpendapat kalau tindakan yang
bertanggung jawab secara sosial menurunkan efisiensi perusahaan, sedangkan Carroll
berpendapat bahwa kurangnya tanggung jawab sosial menyebabkan lebih banyak peraturan
pemerintah, yang pada gilirannya mengurangi efisiensi perusahaan.
Eksekutif bisnis tampaknya tidak lagi tertarik dengan teori tanggung jawab sosial
Friedman. Menurut survei Economist Intelligence Unit tahun 2007, persentase perusahaan
yang memprioritaskan tanggung jawab sosial perusahaan meningkat lebih dari 50% pada
tahun 2007 dan diprediksi akan meningkat menjadi hampir 70% pada tahun 2010. Sebuah
analisis mendalam yang dilakukan baru-baru ini oleh Margolis dan Walsh terhadap 127
penelitian menemukan bahwa "terdapat hubungan yang positif dan sangat sedikit bukti adanya
hubungan negatif antara kinerja sosial perusahaan dengan kinerja keuangannya." Temuan
yang sama juga ditemukan dalam 52 meta-analisis lain terhadap tanggung jawab sosial dan
kinerja.
Porter dan Kramer menyatakan bahwa tujuan ekonomi dan sosial saling terkait, bukan
bertentangan. Perusahaan yang dketahui sebagai perusahaan yang bertanggung jawab secara
sosial akan memberikan keunggulan kompetitif dengan modal sosial, yaitu niat baik para
pemangku kepentingan utama. Misalnya, perusahaan Target berusaha menarik pembeli dari
generasi muda yang peduli secara sosial dengan menawarkan merek perusahaan yang dapat
mendorong partisipasi masyarakat.
Sebuah Survei yang dilakukan oleh Conference Board terhadap 700 lebih perusahaan di
seluruh dunia menemukan bahwa 60% manajer menyatakan bahwa kegiatan tanggung jawab
sosial perusahaan telah menghasilkan:
1. niat baik yang membuka peluang bagi masyarakat setempat
2. reputasi yang lebih baik di mata konsumen.
Menurut Survei tambahan terhadap 140 perusahaan di Amerika Serikat melaporkan
bahwa bertanggung jawab secara sosial terkait kelestarian lingkungan tidak hanya
memberikan keunggulan kompetitif, tetapi juga menghemat biaya.
Contoh dari manfaat yang diperoleh dengan menerapkan tanggung jawab sosial pada
perusahaan adalah:
 Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan mendapatkan loyalitan dari konsumen dan
memungkinkan mereka untuk mengenakan harga tinngi pada produknya (misalnya, Ben
& Jerry's Ice Cream).
 Kepercayaan dapat membantu perusahaan membangun hubungan yang berkelanjutan
dengan pemasok dan distributor tanpa harus menghabiskan banyak waktu dan uang untuk
mengatur persetujuan atau izin.
 Perusahaan dapat merekrut pekerja berprestasi dengan moralitas tinggi yang lebih suka
bekerja di perusahaan yang bertanggung jawab (misalnya, Procter & Gamble dan
Starbucks).
 Memungkinkan perushaan untuk diterima di negara asing (misalnya, Levi Strauss).
 Perusahaan dapat memanfaatkan niat baik pejabat publik untuk memperoleh bantuan
ketika perusahaan sedang berada disituasi yang rumit.
 Perusahaan cenderung mendapatkan suntikan modal dari para investor yang melihat
perusahaan-perusahaan terkemuka sebagai investasi jangka panjang yang akan
menguntungkannya. Sebagai contoh, reksa dana yang hanya berinvestasi pada
perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial meningkat lebih dari dua
kali lipat dari tahun 1995 hingga 2007 dan mengungguli perusahaan dalam daftar saham
S&P 500.

Konsep Keberlanjutan
Ekologi dan lingkungan alam bukan satu-satunya aspek keberlanjutan. Crane dan Matten
menyatakan bahwa konsep keberlanjutan dapat ditingkatkan untuk mencakup masalah
lingkungan dan ekonomi. Mereka percaya bahwa menangani keberlanjutan lingkungan alam
terkadang tidak mungkin tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi dari masyarakat
yang bersangkutan dan kegiatan masyarakat tersebut. Contohnya, meskipun program
pembangunan jalan dapat membahayakan satwa liar dan upaya konservasi, tetapi bagi
masyarakan pembangunan jalan tersebut bermanfaat karena menghasilkan lebih banyak lapangan
pekerjaan dan mengurangi kemacetan lalu lintas.
Daftar tanggung jawab bisnis Carroll memiliki banyak kesamaan dengan konsep
keberlanjutan yang lebih luas. Sebuah perusahaan harus memenuhi kewajiban ekonomi, hukum,
etika, dan kebijaksananya jika mereka ingin bertahan lama dan sukses. Oleh karena itu,
keberlanjutan melibatkan banyak masalah, tantangan, dan pengorbanan. Akibatnya, perusahaan
harus melakukan pemeriksaan terhadap pemangku kepentingan perusahaan.

Pemangku Kepentingan Perusahaan


Dalam lingkungan tugas perusahaan, ada banyak kelompok yang berkepentingan dengan
operasi perusahaan. Yang mana kelompok-kelompok tersebut dapat dipengaruhi atau
mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan. Kelompok ini dikenal sebagai pemangku
kepentingan.
Kepentingan setiap kelompok pemangku kepentingan dapat bertentangan saat membuat
keputusan strategis. Contohnya, keputusan menggunakan bahan daur ulang dapat
menguntungkan kelompok lingkungan namun merugikan pemegang saham. Demikian pula,
pemindahan produksi Maytag Corporation dapat mengurangi biaya dan menyenangkan
pemegang saham, tetapi merugikan pekerja di lokasi asal produksi. Dalam situasi semacam ini,
perusahaan perlu merumuskan strategi perusahaan yang mengartikulasikan hubungan etis dengan
pemangku kepentingannya. Ini melibatkan klarifikasi nilai-nilai etika perusahaan, pemahaman
konteks sosial, dan analisis pemangku kepentingan untuk menemukan keseimbangan yang tepat
di antara mereka.

Analisis Pemangku Kepentingan


Identifikasi dan evaluasi pemangku kepentingan perusahaan adalah bagian dari analisis
pemangku kepentingan. Hal ini dapat dicapai dalam tiga tahap:
1. Langkah pertama dalam analisis pemangku kepentingan, adalah mengenali atau menemukan
pemangku kepentingan utama, yaitu orang yang memiliki hubungan langsung dengan
perusahaan dan mempunyai pengaruh terhadap kegiatan perusahaan. Pemangku kepentingan
utama umumnya termasuk pelanggan, karyawan, pemasok, pemegang saham, dan kreditur.
Selain itu, perusahaan biasanya memahami keinginan dan kebutuhan pemangku kepentingan
utama mereka. Para karyawan menginginkan kompensasi yang adil, pelanggan
menginginkan produk berkualitas dengan harga yang sepadan, pemegang saham
menginginkan keuntungan dan apresiasi saham, pemasok menginginkan kepastian pesanan
dan pembayaran, dan kreditur menginginkan kepatuhan terhadap komitmen pembayaran.
Hubungan antara perusahaan dan pemangku kepentingan utamanya sering diatur oleh
perjanjian hukum atau lisan, dan negosiasi biasanya dilakukan berdasarkan biaya dan
manfaat bagi kedua belah pihak.

2. Langkah kedua dalam analisis pemangku kepentingan adalah menemukan pemangku


kepentingan sekunder, yaitu orang yang memiliki kepentingan tidak langsung terhadap
perusahaan tetapi juga terpengaruh oleh kegiatan perusahaan. Orang-orang yang termasuk
kategori ini mencakup LSM, aktivis, komunitas lokal, asosiasi perdagangan, pesaing, dan
pemerintah. Seringkali terdapat kesalahpahaman dalam hubungan dengan pemangku
kepentingan sekunder karena biasanya tidak tercakup dalam perjanjian formal. Meskipun
tindakan pemangku kepentingan ini biasanya tidak langsung berdampak pada profitabilitas
jangka pendek perusahaan, tetapi tindakan mereka dapat berdampak pada reputasi dan
kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Hubungan yang terjalin seringkali dikaitkan pada
asumsi yang tidak jelas tentang kebutuhan dan keinginan satu sama lain, karena seringkali
tidak dipantau secara sistematis oleh perusahaan.
3. Langkah ketiga dalam analisis pemangku kepentingan yaitu memprediksikan akibat dari
keputusan strategis pada semua kelompok pemangku kepentingan. Meskipun keputusan
utama seringkali didasarkan pada pertimbangan ekonomis, perusahaan wajib
mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan pemangku kepentingan sekunder untuk
memenuhi tanggung jawab etis atau kebijaksanaan perusahaan. Dalam analisis ini,
perusahaan harus mempertimbangkan berapa banyak yang akan hilang atau bertambah bagi
setiap kelompok pemangku kepentingan, serta alternatif lain yang mungkin tersedia bagi
mereka.
Setelah dampak pemangku kepentingan diidentifikasi, manajerstrategis harus
mempertimbangkan dampak setiap alternatif terhadap berbagai kelompok pemangku
kepentingan sebelum membuat keputusan strategis, karena apa yang terlihat menguntungkan
pada awalnya bisa memiliki konsekuensi terburuk bagi perusahaan.

Pengambilan Keputusan Etis


Sebuah survei menunjukkan bahwa banyak karyawan di Amerika Serikat terlibat dalam
perilaku tidak etis atau ilegal di tempat kerja, seperti mengambil jalan pintas dalam hal kualitas,
menutupi insiden, atau berbohong kepada pelanggan. Manajer puncak di banyak perusahaan juga
terlibat dalam manipulasi pemberian opsi saham. Di bidang keuangan, sejumlah CFO dan
manajer keuangan dilaporkan telah ditekan oleh CEO mereka untuk menyajikan laporan
keuangan yang salah. Terdapat juga kasus penipuan dalam industri hipotek, di mana agen real
estate menggunakan dokumen palsu untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Selain itu,
kecurangan juga umum terjadi di kalangan mahasiswa, baik di program bisnis maupun non-
bisnis. Kecurangan cenderung terjadi lebih sering ketika rekan-rekan juga terlibat dalam perilaku
serupa. Semua ini menunjukkan adanya masalah serius dengan etika bisnis dan pendidikan moral
di berbagai sektor, yang dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak etis dan menyebabkan
masalah seperti skandal perusahaan besar seperti Enron, WorldCom, dan Tyco.

Beberapa Alasan Perilaku Tidak Etis


Adapun berbagai alasan mengapa banyak pelaku bisnis dianggap bertindak tidak etis:
1. Karena perbedaan budaya dan norma di antara negara dan wilayah, praktik yang
dianggap tidak etis dalam satu tempat bisa dianggap wajar di tempat lain. Selain itu,
sistem tata kelola negara yang berbasis aturan atau hubungan juga dapat memengaruhi
praktik bisnis, dengan negara berbasis hubungan cenderung memiliki tingkat korupsi
yang lebih tinggi.
2. Perbedaan nilai antara pelaku bisnis dan pemangku kepentingan juga menjadi faktor, di
mana beberapa pelaku bisnis mungkin memprioritaskan keuntungan ekonomi sementara
pemangku kepentingan lain memiliki prioritas lain seperti keadilan sosial atau
lingkungan. Hal ini juga terkait dengan nilai yang dianut oleh individu, dengan eksekutif
bisnis cenderung memiliki nilai ekonomi dan politik yang tinggi sementara nilai-nilai
sosial dan agama lebih rendah.
3. Kontroversi juga muncul dalam hal produk yang dianggap berpotensi berbahaya seperti
rokok, minuman beralkohol, dan perjudian, di mana pelaku bisnis mungkin berargumen
bahwa konsumen memiliki hak untuk memilih.
4. Tekanan untuk mencapai kinerja organisasi, ketidakjelasan atau ketinggalan zaman dalam
peraturan, dan tekanan dari orang lain juga dapat mendorong pelaku bisnis untuk
bertindak tidak etis.
5. Penelitian menunjukkan bahwa ada tekanan besar pada eksekutif untuk mencapai atau
melebihi target laba kuartalan, yang bisa menyebabkan manipulasi laporan keuangan.
6. Analisis kasus seperti Enron menunjukkan bahwa lingkungan bisnis yang
memperbolehkan transisi dari praktik yang kreatif hingga agresif dan akhirnya ke
penipuan dapat menciptakan kondisi di mana tindakan tidak etis menjadi lebih mungkin
terjadi.

Relativisme Moral
Menurut relativisme moral, moralitas berkaitan dengan norma sosial, budaya, atau
pribadi, dan tidak ada cara pasti untuk mengetahui pilihan mana yang lebih baik. Manajer
biasanya menggunakan empat jenis relativisme moral:
1. Relativisme naif: Setiap orang memiliki hak untuk dapat memahami keadaan dan
bertindak sesuai dengan prinsip moral mereka sendiri. Ini sering digunakan sebagai
alasan untuk tidak bertindak ketika melihat perilaku tidak etis.
2. Relativisme peran: Manajer harus mengesampingkan keyakinan pribadi dan bertindak
sesuai dengan kewajiban yang terkait dengan peran sosial mereka, bahkan jika
bertentangan dengan nilai pribadi mereka. Ini dapat menyebabkan tindakan yang tidak
etis dalam konteks tugas atau peran yang ditugaskan.
3. Relativisme kelompok sosial: Suatu keputusan dianggap sah jika dilakukan oleh banyak
orang dalam suatu kelompok sosial, tanpa mempertimbangkan etika atau prinsip yang
umum. Ini dapat menyebabkan adopsi perilaku tidak etis karena alasan "semua orang
melakukannya".
4. Relativisme budaya: Moralitas dipandang relatif terhadap budaya atau masyarakat
tertentu, dan individu diharapkan memahami praktik budaya lain tanpa menghakiminya.
Ini bisa mengarah pada penggunaan norma budaya sebagai justifikasi untuk perilaku
tidak etis, dengan alasan "ketika berada di Roma, lakukan seperti yang dilakukan orang
Roma."

Tingkat Perkembangan Moral Kohlberg


Menurut Kohlberg, individu mengalami tiga tingkat perkembangan moral:
1. Tingkat prakonvensional: Tahap ini ditandai dengan kepedulian dengan diri sendiri. Pada
tahap ini, anak kecil dan orang lain yang belum berkembang mengevaluasi perilaku mereka
berdasarkan kepentingan pribadi, yaitu menghindari hukuman atau imbalan..
2. Tingkat konvensional: Tahap ini ditandai dengan hukum dan norma-norma dalam
masyarakat. dan pada tahap ini kode etik eksternal memberikan legitimasi untuk suatu
tindakan.
3. Tingkat berprinsip: Pada Tahap ini, kepatuhan seseorang terhadap kode moral internal
menunjukkan bahwa seseorang menemukan nilai atau prinsip universal dengan melampaui
hukum dan norma.
Mayoritas orang ditempatkan pada tingkat konvensional, dengan hanya sedikit orang
dewasa yang mencapai tingkat berprinsip.

Mendorong Perilaku Etis


Perilaku etis ini berdasarkan penelitian Carroll yang menyatakan bahwa pemerintah akan
mengeluarkan undang-undang yang mengatur perusahaan jika perusahaan tersebut tidak
bertindak secara etis, yang pada akhirnya akan meningkatkan biaya perusahaan itu sendiri.
Mengembangkan kode etik dan memberikan pedoman perilaku etis adalah salah satu cara untuk
mendorong perilaku etis.

Kode Etik
Kode etik membantu mengklarifikasi harapan perusahaan terhadap perilaku karyawan
dan menekankan pentingnya pengambilan keputusan dan tindakan yang etis. Meskipun banyak
perusahaan telah mengembangkan kode etik dan melaksanakan pelatihan etika, manajer
cenderung mengabaikan kode etik dalam menghadapi dilema etika. Untuk mengatasi ini,
perusahaan perlu mengkomunikasikan kode etik melalui berbagai program, kebijakan, prosedur,
dan tindakan, serta mendukung para peniup peluit yang melaporkan perilaku ilegal atau tidak
etis. Penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki budaya etika yang kuat dan
menegakkan kode etik memiliki lebih sedikit pilihan tidak etis bagi karyawan, serta keuntungan
jangka panjang dalam reputasi. Namun, tidak semua perusahaan menerapkan kode etik dengan
ketat, terutama dalam hal menegakkan standar etika terhadap pemasok mereka. Meskipun
memiliki kode etik untuk pemasok, masih ada risiko kerusakan reputasi jika pelanggaran tidak
terdeteksi. Oleh karena itu, perusahaan perlu memperhatikan implementasi dan penegakan kode
etik, terutama dalam mengatur perilaku pemasok di luar negeri.

Pedoman Perilaku Etis


Moralitas adalah prinsip yang mengarahkan bagaimana seseorang berperilaku, sementara
etika adalah standar perilaku yang umum dalam suatu profesi, perdagangan, atau pekerjaan.
Hukum adalah aturan formal yang memungkinkan atau melarang tindakan tertentu, tetapi tidak
selalu sesuai dengan etika atau moralitas. Ada tiga pendekatan dasar terhadap perilaku etis:

1. Utilitarianisme, menilai tindakan berdasarkan konsekuensinya


2. Hak-hak individu, menekankan penghormatan terhadap hak dasar individu
3. Keadilan, menekankan kesetaraan dan konsistensi dalam mendistribusikan biaya dan
manfaat.

Cavanagh mengusulkan tiga pertanyaan untuk memandu tindakan atau keputusan etis:
1. Apakah itu mengoptimalkan kepuasan semua pemangku kepentingan?
2. Apakah menghormati hak-hak individu?
3. Apakah konsisten dengan aturan keadilan?

Immanuel Kant menawarkan dua prinsip etis, yaitu imperatif kategoris:


1. Tindakan hanya etis jika kita bersedia untuk semua orang melakukan hal yang sama
dalam situasi yang sama,
2. Manusia tidak boleh diperlakukan hanya sebagai alat, tetapi selalu sebagai tujuan dalam
dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai