Anda di halaman 1dari 39

Case Report

Uveitis Anterior dan Katarak

Disusun oleh:

Donny Hiskia Turnip


2265050012

Pembimbing
dr. Lely Eliana, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA RUMAH SAKIT PELABUHAN


JAKARTA PERIODE 5 FEBRUARI – 17 FEBRUARI 2024
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA 2024
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
UVEITIS ANTERIOR DAN KATARAK

Disusun dan diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Mata
Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
5 Februari – 17 Februari 2024

Disusun Oleh :
Donny Hiskia Turnip
2265050012

Jakarta, 12 Februari 2024

Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing

dr. Lely Eliana, Sp.M


BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Usia : 58 tahun

II. Anamnesis
II.1 Keluhan utama
Mata kiri merah, nyeri, dan berair sejak 1 minggu sebelum masuk rumahsakit
II.2 Keluhan tambahan
Penglihatan kedua mata buram seperti berawan
II.3 Perjalanan Penyakit
Seorang pasien laki-laki berusia 58 tahun datang ke Poli Mata RS Pelabuhan
Jakarta dengan keluhan mata kiri merah, nyeri, dan berair sejak 1 minggu
sebelum masuk rumahsakit. Keluhan lain yang dirasakan buram pada kedua mata
seperti berkabut dan berawan. Saat melihat cahaya pasien tidak merasakan silau,
keluhan belekan dan gatal disangkal. Keluhan seperti gigi berluang, pusing, mual
dan muntah disangkal oleh pasien. Pasien tidak pernah memakai kacamata.
II.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat diabetes melitus dan hipertensi disangkal. Riwayat trauma dan penggunaan
kacamata disangkal.
II.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat diabetes melitus dan hipertensi disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik


III.1 Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit
sedang Kesadaran : Compos mentis
III.2 Status Oftalmologis
III.2.1 Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan OD OS
Keadaan sekitar Tenang (-), benjolan (-), Tenang (-), benjolan (-),
mata sikatriks (-), trauma (-), sikatriks (-), trauma (-),
perubahan warna kulit perubahan warna kulit
sekitar mata (-) sekitar mata (-)
Keadaan umum Merah (+), nyeri (+),
Tenang
epifora (+), belekan (-)
mata
Kedudukan bola Simetris, ortoforia Simetris, ortoforia
mata

Gerakan bola mata Pergerakan bola mata ke Pergerakan bola mata ke


segala arah baik segala arah baik
Lapang pandang
Normal, sama dengan Normal, sama dengan
pemeriksa pemeriksa
Tekanan bola mata Normal (17,3 mmHg) Normal (17,3 mmHg)

I.1.1 Pemeriksaan Sistemik


Pemeriksaan OD OS
Visus sebelum 6/45 6/60
koreksi
Koreksi dengan 6/24 Sulit koreksi
pinhole
Supersilia Berwarna hitam, Berwarna hitam,
pertumbuhan baik dan pertumbuhan baik dan
merata merata
Silia Berwarna hitam, Berwarna hitam,
pertumbuhan baik dan pertumbuhan baik dan
merata, trikiasis (-), merata, trikiasis (-),
distrikriasis (-), distrikriasis (-),
madarosis (-) madarosis (-)
Palpebra superior Sesuai dengan warna Sesuai dengan warna kulit
et inferior kulit sekitar, edema (-), sekitar, edema (+),
ektropion (-), ektropion (-),
entropion (-), ptosis (-), entropion (-), ptosis (-),
lagoftalmus (-), lagoftalmus (-),
sikatriks (-), sikatriks (-),
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

Konjungtiva tarsal Permukaan licin, Permukaan licin,


superior et inferior hiperemis (-), hiperemis (-),
benjolan (-), sikatriks (-), benjolan (-), sikatriks (-),
sekret (-), perdarahan (-), sekret (-), perdarahan (-),
hipertrofi papilar (-), hipertrofi papilar (-),
hipertrofi folikel (-) hipertrofi folikel (-)
Konjungtiva Permukaan licin, Permukaan licin,
forniks superior et hiperemis (-), hiperemis (-),
inferior benjolan (-), sikatriks (-), benjolan (-), sikatriks (-),
sekret (-), perdarahan (-), sekret (-), perdarahan (-),
hipertrofi papilar (-), hipertrofi papilar (-),
hipertrofi folikel (-) hipertrofi folikel (-)
Konjungtiva bulbi Permukaan licin, Permukaan licin,
hiperemis (-), benjolan (-), hiperemis (+),
sikatrik (-), injeksi siliar benjolan (-), sikatrik (-),
(-), injeksi perikorneal (-) injeksi konjungtiva (+),
injeksi siliar (+),injeksi
perikorneal (+)
Sklera Putih Putih
Kornea Jernih, arkus senilis (-), Jernih, arkus senilis (-),
infiltrat (-), ulkus (-), infiltrat (-), ulkus (-),
sikatrik (-), keratic sikatrik (-),keratic
percipitate (-), refleks percipitate (-), refleks
berkedip (+) berkedip (+)
Bilik mata depan Dalam, flare (-), sel Dalam, flare (+),sel
inflamasi (-), hipopion (-) inflamasi (-), hipopion (-)
Iris Radier, coklat kehitaman, Radier, coklat kehitaman,
reguler, sinekia (-) ireguler, sinekia (+)
jam 5 dan 8
Pupil Bulat, reguler, isokor
ireguler, sinekia (-),
3 mm, sinekia (-),
refleks cahaya langsung
refleks cahaya (+),
langsung (+),
refleks cahaya
refleks cahaya tidak
langsung (+) tidak langsung (+)
Lensa Keruh Keruh
II. Resume
Seorang pasien laki-laki berusia 58 tahun datang ke Poli Mata RS Pelabuhan
Jakarta dengan keluhan mata kanan merah, nyeri, dan berair sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan lain yang dirasakan buram pada kedua mata seperti berkabut
dan berawan. Saat melihat cahaya pasien tidak merasakan silau, keluhan belekan dan
gatal disangkal. Keluhan seperti gigi berluang, pusing, mual dan muntah disangkal oleh
pasien. Pasien tidak pernah memakai kacamata. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum tampak sakit ringan, keadaan umum mata merah, nyeri, epifora (+)
pada mata kiri. Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD 6/45 koreksi dengan pinhole
menjadi 6/24, VOS 6/60 pinhole tetap. Pada konjungtiva bulbi OS hiperemis (+),
injeksi konjungtiva (+), dan injeksi perikorneal (+). Pada bilik mata depan OS flare
(+).Pada pupil OS irreguler, pada iris terdapat sinekia (+) pada arah jam 5,8. Lensa ODS
ditemukan keruh.

III. Diagnosa Klinik


Uveitis Anterior Akut OS dan Katarak Senilis Imatur ODS

IV. Diagnosa Banding


 Keratitis OS
 Konjungtivitis akutt OS
 Glaukoma Akut OS

V. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan slit-lamp
 Pemeriksaan funduskopi
 Pemeriksaan Shadow Test
VII. Tatalaksana
VII.1 Medikamentosa
 Cendo P-Pred Eye Drop 1 tetes setiap 1 jam pada mata kiri
 Cendo Tropin Eye Drop 1% 3 x 1 tetes pada mata kiri
 Prednison 2 x 5 mg tab

VII.2 Non-medikamentosa
 Mengedukasi pasien mengenai penyakit yang diderita pada saat ini
 Mengedukasi pasien untuk menggunakan obat dengan benar
 Mengedukasi pasien untuk tidak menyentuh dan menggosok-gosok mata
dengan tangan

 Menjelaskan dan menganjurkan kepada pasien jika saat beraktivitas diluar


rumah pada saat siang hari untuk menggunkaan kacamata hitam agar keluhan
tidak semakin bertambah berat

 Menjelaskan kepada pasien akibat yang dapat timbul apabila tidak dilakukan
penanganan pada lensa mata pasien yang mengalami kekeruhan yaitu
penglihatan dapat semakin buruk sehingga menganggu aktivitas sehari-hari
sehingga merujuk pasien ke dokter Spesialis Mata untuk penatalaksanaan dan
pemeriksaan lanjutan

VIII. Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam

IX. Komplikasi
 Sinekia posterior OS
 Glaukoma sekunder ODS
 Katarak senilis matur ODS
 Edema makula ODS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. UVEITIS

I.1. Definisi dan Epidemiologi


Uveitis adalah inflamasi di uvea yaitu, iris, badan siliar, dan koroid.
Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar biasanya unilateral
dengan onset akut. Inflamasi di iris saja disebut iritis sedangkan bila inflamasi
meliputi iris dan badan siliar maka disebut iridosiklitis. Uveitis dapat
disebabkan oleh kelainan di mata saja atau merupakan bagian dari kelainan
sistemik, trauma, iatrogenik atau infeksi, dan idiopatik. Secara anatomi,
uveitis dibagi menjadi uveitis anterior, intermediet, posterior, dan
panuveitis.1,2

Gambar 1. Uveitis

Insidens uveitis anterior dinegara maju lebih tinggi dibandingkan negara


berkembang karena ekspresi human leukocyte antigen (HLA-B27). Walaupun
kasus uveitis jarang ditemukan, namun uveitis menduduki urutan ke-3 dari
penyebab kebutaan yang dapat dicegah di dunia. Sekitar 2 juta penduduk
dunia mengalami uveitis, dengan prevalensi 38-730 per 100.000. Uveitis dapat
menemukan prevalensi tertinggi pada orang dewasa di usia kerja, kebanyakan
penderita berusia20-50 tahun dan menurun insidennya pada usia diatas 70
tahun. Di Amerika diperkirakan terdapat 14-17 kasus per 100.000 penduduk,
dimana kasus barunya ditemukan 38.000 pertahun. Berdasarkan penelitian
epidemiologi uveitis di Amerika yang dilakukan oleh Gonzalez et al
didapatkan prevalensi sebesar 5,4 per 10 peserta.3
I.2 Etiologi
Meskipun sebagian besar kasus uveitis bersifat idiopatik, beberapa etiologi
mencakup spektrum penyebab infeksi dan non-infeksi.
 Immune-mediated : spondiloatropati seronegatif HLA-B27,
ankylosing spondylitis, atritis psoriatis, inflammatory bowel syndrome,
juvenile idiopathic arthritis, sarkoidosis, lupus eritematosus, Bechet’s
disease, Vogt-Koyanagi-Harada, Fuch’s heterochromic iridocyclitis,
dan sklerosis multipel.
 Infeksi
o Bakteri/spirochete : Bartonella sp., Lyme disease, sifilis,
tuberkulosis
o Virus : HSV-1, HSV-2, VZV, HIV
o Jamur : histoplasma
o Parasit : Toxoplasma gondii, Toxocara sp.
 Lain-lain : limfoma, drug-induced uveitis
 Trauma
 Idiopatik4

I.3. Klasifikasi
Klasifikasi uveitis menurut Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN),
dibagiberdasarkan anatomi, onset, durasi, perjalanan klinis, dan derajat aktivitas
klinis.5
 Berdasarkan anatomi:
Tabel 1. Uveitis berdasarkan anatomi

Tipe Lokasi Inflamasi Termasuk


Uveitis Anterior Bilik mata depan Iritis
Iridosiklitis
Siklitis
anterior
Uveitis Intermediet Vitreous Pars planitis
Siklitis posterior
Hialitis

Uveitis Posterior Retina atau koroid Koroiditis fokal,


multifokal, atau difus
Korioretinitis
Retinokoroiditis
Retinitis
Neuroretinitis
Panuveitis Bilik mata depan,
vitreous, dan retina
atau koroid
 Berdasarkan onset, durasi, dan perjalanan klinis uveitis:
Tabel 2. Klasifikasi SUN berdasarkan onset, durasi, dan perjalanan klinis

 Berdasarkan derajat aktivitas klinis uveitis:


Tabel 3. Klasifikasi SUN berdasarkan gambaran klinis
Terdapat 2 tipe uveitis:
 Uveitis granulomatosa
 Uveitis non-granulomatosa
Tabel 4. Tipe Uveitis

I.4 Patofisiologi
Patofisiologi uveitis secara umum belum dipahami dengan baik. Banyak
kelompok yang berhipotesis bahwa trauma pada mata dapat menyebabkan
cedera atau kematian sel yang menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi yang
menyebabkan uveitis pasca-trauma. Uveitis yang disebabkan oleh penyakit
inflamasi diperkirakan disebabkan oleh mimikri molekuler, dimana agen
infeksi bereaksi silang dengan antigen spesifik mata. Peradangan yang
mengancam penglihatan dimediasi oleh sel CD4 Th1. Biasanya, hanya
limfosit teraktivasi yang diperbolehkan melewati sawar darah-retina, sehingga
mengurangi sensitisasi sel T naif terhadap protein mata. Para peneliti telah
mengusulkan adanya mimikri molekuler antara peptida S-Ag retina dan
peptida dari antigen HLA-B yang terkaitdengan penyakit, yang mengarah
pada penargetan protein mata dan respons inflamasi.1
Adapun literalur lain mengatakan bahwa patologi uveitis anterior dapat
berupa granulomatosa atau nongranulomatosa. Peradangan granulomatosa
berhubungan dengan mutton-fat keratic percipitate (KP) berukuran besar yang
sebagian besar terdiri dari sel epiteloid pada endotel kornea. uveitis
granulomatosa cenderung bersifat kronis dan sering dikaitkan dengan kondisi
sistemik dan reaksi autoimun. Penyakit ini mungkin juga berhubungan
dengan etiologi infeksi seperti sifilis,
penyakit Lyme, tuberkulosis (TB), dan infeksi virus herpes. Infeksi herpes
biasanya menyebabkan uveitis nongranulomatosa pada kasus akut dan uveitis
granulomatosa pada kasus kronis. Sebaliknya, peradangan nongranulomatosa
cenderung berhubungan dengan sel limfositik yang lebih kecil di bilik mata
depan. Penyakit ini paling sering bersifat akut dan idiopatik atau berhubungan
dengan kondisi antigen leukosit manusia B27 (HLA-B27). Meskipun
perbedaan ini berguna dalam mengarahkan pengobatan dan menargetkan
pemeriksaan sistemik, uveitis granulomatosa pada awalnya mungkin muncul
sebagai nongranulomatosa, begitu pula sebaliknya.5

I.5 Diagnosis
Riwayat medis, keluarga, dan oftalmik masa lalu yang lengkap (khususnya
bedah) diperlukan untuk diagnosis. Tinjauan lengkap terhadap sistem juga
dapat membantu mengidentifikasi penyakit sistemik dengan manifestasi mata.
Gejalanya akan bervariasi tergantung pada struktur yang meradang. Tanda-
tanda uveitis anterior antara lain:

- Sel inflamasi

- Flare

- Hipopion

- Benang fibrin di bilik mata depan

- Keratic percipitate (KP)

- Nodul iris

- Atrofi iris atau heterokromia

- Miosis pupil

- Sinekia anterior dan posterior

- Dispersi pigmen5
Tanda-tanda umum uveitis anterior akut meliputi injeksi sirkumlimbal dan sel
bilik mata depan serta flare. Injeksi sirkumlimbal terjadi akibat pembesaran
pembuluh darah episklera yang berdekatan dengan badan siliaris yang
meradang. Pasien mungkin juga datang dengan suntikan difus atau pola
campuran. Sel dan flare pada cairan aqueous disebabkan oleh sel inflamasi
dan protein pada bilik mata depan. Flare adalah peningkatan konsentrasi
protein dalam aqueous humour akibat perubahan vaskular yang
mengakibatkan tampilan "berkabut" di dalam bilik mata depan. Dengan
menggunakan latar belakang hitam pada pupil, tampilan berkabut untuk flare
dan/atau sel yang mengambang dapat dilihat dengan paparan cahaya bersudut
dengan perbesaran lampu celah maksimum. Sel bilik anterior merupakan
diagnosis uveitis anterior dan mungkin disertai atau tidak disertai flare. Flare
tidakselalu mengindikasikan peradangan aktif, karena uveitis kronis dapat
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah iris dan badan siliaris sehingga
meningkatkan permeabilitas protein. Jika sel cukup padat, dapat terbentuk
hipopion, yang merupakan kumpulan sel inflamasi yang berkumpul di bagian
inferior bilik mata depan. Untuk memvisualisasikan sel dan flare, bilik mata
depan harus diamati dengan sinar kecil (1 mm) dengan pencahayaan dan
pembesaran tinggi. Skema penilaian SUN untuk bilik mata depan saat penting
dalam memulai dan memantaurespon terhadap pengobatan.

Gambar 2. Skema penilaian SUN untuk sel dan flare pada bilik mata depan
Flare juga dapat divisualisasikan dengan fotometri laser flare, yang
mungkin berperan dalam menyediakan metode kualitatif untuk mengukur dan
mengikuti peradangan bilik mata depan. Selain entitas seluler di bilik mata
depan, sering juga terdapat endapan seluler pada endotel yang dikenal sebagai
keratic precipitate (KP). Penampilannya dapat menjadi diagnostik yang penting
dalam membedakan etiologi peradangan. KP yang halus umumnya
berhubungan dengan peradangan nongranulomatosa, sedangkan KP yang lebih
besar, berminyak, dan mutton-fat berhubungan dengan peradangan
granulomatosa. KP berpigmen pada endotel merupakan indikasi episode
sebelumnya atau peradangan kronis.

Struktur penting lainnya dalam evaluasi uveitis anterior adalah iris. Miosis
dapat terjadi akibat spasme sfingter iris atau distensi pembuluh darah iris.
Nodul iris merupakan indikasi peradangan granulomatosa dan terlihat dalam dua
bentuk – Nodul Busacca terlihat pada stroma anterior sedangkan nodul Koeppe
terlihat pada tepi pupil. Keduanya terdiri dari leukosit dan harus dibedakan
dari nodul yang terinfeksi. Nodul Busacca lebih sering terlihat pada uveitis
anterior bentuk granulomatosa, sedangkan nodul Koeppe terlihat pada uveitis
anterior granulomatosa dan nongranulomatosa. Dengan peradangan kronis
dan iskemia, atrofi iris dapat terjadi. Sinekia posterior – perlengketan antara lensa
dan iris – pada akhirnya dapat meluas 360°, sehingga menghambat aliran
cairan melalui jalur ini. Akhirnya, neovaskularisasi stroma iris dapat terjadi
dengan peradangan yang berkepanjangan.
Pasien dengan uveitis anterior dapat mengalami perubahan tekanan
intraocular (TIO). Ada beberapa mekanisme yang dapat berkontribusi
terhadap perubahan ini. Yang pertama dan paling sering ditemui adalah
penurunan TIO. Hal ini terjadi ketika badan siliaris mengalami peradangan
sehingga mengakibatkan rendahnya produksi aqueous humor pada badan
siliaris. TIO dapat meningkat jika aliran keluar aqueous humor terhambat
melalui trabecular meshwork (TM) seperti pada trabeculitis atau ketika sel
inflamasi dan pigmen menyumbat TM.
Komplikasi yang lebih parah adalah ketika TIO meningkat karena sinekia
anterior perifer menghalangi TM atau jika sinekia posterior menimbulkan
blokade pupil. Mekanisme lain peningkatan TIO termasuk pengobatan steroid
jangka panjang atau neovaskularisasi, yang juga dapat terjadi pada sudut dan
dapat menyebabkan peningkatan TIO karena penutupan sudut sekunder.1,4

Gambar 3. Injeksi konjungtiva dan injeksi


sirkumlimbal

Gambar 4. Flare

Gambar 5. Sel pada bilik mata depan


Gambar 6. Keratic percipitate

Gambar 7. Mutton-fat keratic percipitate

Gambar 8. Hipopion
Gambar 9. Nodul Busacca (kiri) dan nodul Koeppe
(kanan)

Gambar 10. Sinekia Posterior

Gambar 11. Atrofi iris


I.6 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan uveitis adalah untuk menekan reaksi inflamasi,
mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur, memperbaiki fungsi
penglihatan serta menghilangkan nyeri dan fotofobia. Kortikosteroid topikal
merupakan terapi pilihan untuk mengurangi inflamasi yaitu prednisolon 0,5%,
prednisolon asetat 1%, betametason 1%, deksametason 0,1%, dan
fluorometolon 0,1%. Ketika pasien datang dengan uveitis anterior akut,
praktisi perawatan mata harus meresepkan kortikosteroid setiap jam saat
pasien terjaga selama minimal 1 minggu.2,4

Pasien biasanya dijadwalkan untuk tindak lanjut setelah 1 minggu pengobatan


dengan kortikosteroid. Selama kunjungan ini dan setiap kunjungan berikutnya,
jumlah sel bilik mata depan/high-power field (HPF) harus setengah dari
jumlah pada pemeriksaan awal. Jika jumlah sel tidak berkurang, maka praktisi
perawatan mata primer harus mencurigai satu dari dua hal: pasien tidak
menggunakan obat tetes dengan benar atau harus dicurigai adanya etiologi
infeksi, seperti herpes. Penting juga bagi pasien untuk mengocok suspensi
steroid dengan benar karena kegagalan dalam melakukannya dapat
mengakibatkan respons subterapuetik. Pasien harus melanjutkan pemberian
kortikosteroid topikal setiap jam dengan kunjungan tindak lanjut mingguan
sampai terdapat lima sel/HPF atau kurang. Ketika terdapat lima atau lebih
sedikit sel/HPF di bilik mata depan,frekuensi pemberian tetes harus dikurangi
menjadi setiap 2 jam. Pada setiap kunjungan berikutnya, peradangan akan
terus membaik. Setelah peradangan berkurang dan menunjukkan tanda-tanda
perbaikan berkelanjutan, jadwal pemeriksaan lanjutan dapat diperpanjang
menjadi 2 minggu sekali. Jadwal pengurangan kortikosteroid topikal yang
tepat adalah satu tetes setiap 2 jam selama 2 minggu, satu tetes empat kali sehari
selama 2 minggu, satu tetes tiga kali sehari selama 2 minggu, satu tetes dua
kali sehari selama 2 minggu, satu tetes satu tetes. waktu per hari selama 2
minggu, dan kemudian terapi topikal harus dihentikan. Jika penyakit ini kambuh
kapan saja selama proses tindak lanjut atau peradangan mulai meningkat,
praktisi perawatan mata primer harus mempertimbangkan pengurangan bertahap
atau rujukan untuk suntikan kortikosteroid periokular.
Cycloplegia, biasanya homatropin 5%, juga biasanya diresepkan satu tetes dua
kali sehari sampai jumlah sel/HPF di bilik mata depan kurang dari lima dan
kemudian dihentikan. Cycloplegia membantu mengurangi rasa sakit yang
mungkin dialami pasien akibat peningkatan spasme silia. Cycloplegia juga
mengurangi risiko perkembangan sinekia posterior.4
Dalam kasus tertentu, terapi tambahan mungkin diperlukan bersamaan
dengan terapi kortikosteroid topikal dan terapi sikloplegik. Pasien yang HLA-
B27 positif mungkin mengalami hipopion bersamaan dengan peradangannya
dan seringkali memerlukan kortikosteroid selama berminggu-minggu setiap jam
sebelum pengurangan dosis dimulai. Selain kortikosteroid topikal setiap jam,
pasien ini juga mungkin diberi resep kortikosteroid oral, yang setara dengan
prednison 1 mg/kg/hari selama 7 hari pertama atau suntikan periokular
(deksametason 2 mg, 0,5 mL). Pasien yang mengalami hipopion perlu diberikan
pengurangan steroid sebanyak satu kali setiap bulannya karena penyakit ini
dapat kambuh dengan cepattanpa pengurangan yang lambat.4

Terapi tambahan apa pun bergantung pada proses terkait. Misalnya, obat
anti- virus diperlukan untuk uveitis herpetik, bactrim digunakan untuk
korioretinitis toksoplasma, penisilin untuk uveitis oleh infeksi bakteri, dan
antijamur untuk uveitis oleh infeksi jamur. Antimetabolit, obat biologis, dan
obat imunosupresif lainnya (misalnya metotreksat, azatioprin, mikofenolat,
siklosporin, adalimumab, dan infliximab) seringkali diperlukan untuk kasus
kronis dan tidak menular, terutama pada kasus yang berhubungan dengan
penyakit inflamasi sistemik.2
Pengendalian jangka panjang bisa sangat sulit pada pasien dengan uveitis
anterior. Tujuan terapi jangka panjang adalah menjaga mata bebas dari
peradangan, yang merupakan aspek tersulit dalam menangani uveitis. Dalam
banyak kasus uveitis anterior, terapi jangka panjang tidak diperlukan, dan
proses inflamasi tidak akan terulang kembali. Namun, dalam beberapa kasus,
iritis dapat kambuh kembali selama pengurangan dosis kortikosteroid awal
atau dalam waktu 3 bulan setelah penghentiannya.
Kortikosteroid adalah pilihan yang dapat diterima untuk mempertahankan
pengendalian peradangan jangka panjang jika dosis yang diperlukan rendah
(tiga kali sehari atau lebih rendah) dan kemungkinan dapat ditoleransi dengan
baik, dan iritis pasien tidak dipercaya. dikaitkan dengan penyakit sistemik.
TIO pada responden kortikosteroid harus diidentifikasi dan dipantau secara
ketat. Terapi imunomodulator dapat digunakan untuk pengendalian uveitis
jangka panjang ketika pasien tidak dapat mentoleransi kortikosteroid baik
karena peningkatan TIO atau pembentukan katarak dini atau dalam keadaan
penyakit sistemik.1,4

I.7 Komplikasi
Komplikasi pada uveitis anterior antara lain:
- Keratitis
- Abrasi kornea
- Katarak
- Sinekia posterior
- Glaucoma akut sudut tertutup
- Epiretinal membrane (ERM)
- Cystoid maculae edema (CME)1,4
II. KATARAK

II.1. Definisi

Katarak adalah segala kekeruhan atau perubahan warna pada lensa, baik yang
kecil, yang bersifat opasitas lokal atau hilangnya kejernihan sepenuhnya. Secara klinis,
istilah katarak biasanya diperuntukkan bagi kekeruhan yang mempengaruhi ketajaman
penglihatan, karena banyak lensa normal memiliki kekeruhan yang sedikit dan tidak
signifikan secara visual. Katarak digambarkan berdasarkan zona lensa yang terlibat di
dalamnya. Zona kekeruhan ini mungkin subkapsular, kortikal, atau nuklir dan mungkin
terletak di anterior atau posterior. Selain kekeruhan nukleus dan korteks, mungkin ada
perubahan warna kuning atau kuning pada lensa. Katarak juga dapat digambarkan
berdasarkan tahap perkembangannya. katarak dengan sisa korteks bening disebut
dengan katarak immature, sedangkan katarak dengan opasitas yang memenuhi korteks
disebut sebagai kortek mature.6
Patogenesis katarak belum sepenuhnya dipahami. Mereka dicirikan oleh
agregat protein yang menyebarkan cahaya dan mengurangi transparansi serta
perubahan protein lainnya yang mengakibatkan perubahan warna kuning atau coklat.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pembentukan katarak termasuk kerusakan
oksidatif (akibat reaksi radikal bebas), kerusakan akibat sinar ultraviolet, dan
malnutrisi. Tidak ada perawatan medis yang dilakukan untuk memperlambat atau
membalikkan perubahan kimia yang mendasarinya. Saat ini, bukti mengenai efek
perlindungan dari vitamin B, multivitamin, atau karotenoid masih belum meyakinkan.6
 Klasifikasi2,4
1. Klasifikasi berdasarkan Etiologi

Berdasarkan etiologinya katarak dibagi menjadi 2 yaitu, Katarak kongenital dan


Katarak yang didapat, meliputi (Katarak senile, katarak yang disebabkan karena
trauma, katara metabolik, dan lain sebagainya.)6

2. Klasifikasi berdasarkan Morfologi


Berdasarkan lesinya katarak dibagi menjadi 4 yaitu:6
a. Katarak kapsuler: Melibatkan kapsul dan dapat berupa: Katarak kapsuler
anteriordan Katarak kapsuler posterior
b. Katarak kortikal: Melibatkan korteks lensa
c. Katarak nuklear: Melibatkan inti lensa kristalin
d. Katarak kutub: Melibatkan kapsul dan bagian superfisial korteks di daerah kutub
dan dapat berupa: Katarak kutub anterior Katarak kutub posterior

Gambar 4. Klasifikasi katarak berdasarkan letak lesinya


 Etiologi

Penyebab tersering dari katarak adalah proses degenerasi, yang menyebabkan lensa
mata menjadi keras dan keruh. Pengeruhan lensa dapat dipercepat oleh faktor risiko
seperti merokok, paparan sinar UV yang tinggi, alkohol, defisiensi vit E, radang
menahun dalam bola mata, danpolusi asap motor/pabrik yang mengandung timbal.7

Cedera pada mata seperti pukulan keras, tusukan benda, panas yang tinggi, dan
trauma kimia dapat merusak lensa sehingga menimbulkan gejala seperti katarak.6

Katarak juga dapat terjadi pada bayi dan anak-anak, disebut sebagai katarak
kongenital. Katarak kongenital terjadi akibat adanya peradangan/infeksi ketika hamil,
atau penyebab lainnya. Katarak juga dapat terjadi sebagai komplikasi penyakit infeksi
dan metabolik lainnyaseperti diabetes mellitus.6

 Patofisiologi8

Lensa adalah struktur transparan yang terdiri dari serat (sel epitel termodifikasi)
yang dibungkus dalam struktur membran yang disebut kapsul lensa. Materi lensa
terdiri dari dua bagian utama:

a. Korteks (bagian dangkal) - mengandung serat yang lebih muda

b. Nukleus (bagian lebih dalam) - mengandung serat yang lebih tua

Banyak proses degeneratif yang mengubah sifat dan mengkoagulasi protein lensa yang
terdapatdalam serat lensa melalui mekanisme berbeda, yang mengakibatkan hilangnya
transparansi dan, pada akhirnya, pembentukan katarak. Berbagai mekanisme yang
terlibat adalah sebagai berikut:

a. Gangguan yang terjadi pada semua tingkat pertumbuhan lensa (katarak


kongenital)

b. Metaplasia fibrosa epitel lensa (katarak subkapsular)

c. Hidrasi kortikal antara serat lensa (katarak kortikal)

d. Deposisi pigmen tertentu, misalnya urokrom (katarak nuklir)

Semua proses ini pada akhirnya menyebabkan lensa buram di belakang pupil, sehingga
sangatsulit bagi pasien untuk melakukan aktivitas rutin.8
 Manifestasi Klinis

Berbagai jenis katarak memiliki efek yang berbeda pada gejala visual. Pasien sering
mengeluhkan pandangan buram, silau, dan halo dari cahaya. Kekaburan yang
dirasakan bersifat perlahan dan penderita merasa melihat melalui kaca yang buram.
Pada tahap awal kekeruhan lensa penderita dapat melihat bentuk akan tetapi tidak
dapat melihat detail. Katarak menyebabkan gangguan pembiasan lensa akibat
perubahan bentuk, struktur, dan indeks bias lensa. Segala jenis katarak pada umunya
akan mengeluh silau akan tetapi terbanyak pada katarak sub kapsular posterior.
Katarak menyebabkan gangguan penglihatan warna, lensa yang bertambah kuning atau
kecokelatan akan menyebabkan gangguan diskriminasi warna, terutama pada spektrum
cahaya biru. Katarak menyebabkan gejala penurunan tajam penglihatan baik jauh
maupun dekat tanpa rasa nyeri. Berikut kriteria tajam penglihatan menurut WHO : 5

 Kriteria baik : 6/6-6/18


 Kriteria sedang : <6/18-6/60
 Kriteria buruk : <6/60
Pada kasus stadium katarak imatur, opasitas lensa bertambah dan visus mulai
menurun menjadi 5/60 sampai 1/60. Pada pemeriksaan didapatkan shadow test positif.
Sedangkan pada stadium katarak matur, jika katarak dibiarkan, lensa akan menjadi
keruh seluruhnya dan visus menurun drastic menjadi 1/300 atau hanya dapat melihat
lambaian tangan dalam jarak 1 meter. Pada pemeriksaan didapatkan shadow test
negatif.5,6
Katarak Senilis6
Katarak Senilis adalah perkembangan kekeruhan di dalam lensa yang berkaitan
dengan usia. Seiring bertambahnya usia, terjadi gangguan pada struktur lensa dan
akumulasi pigmen. Kejernihan lensa normal dipertahankan melalui pengaturan
struktural yang tepat serat dan keseimbangan unsur kimia. Perubahan ini menjadi
struktur mikro menghasilkan kekeruhan, yang akibatnya mengubah penetrasi dan
pembiasan cahaya. Ini diilustrasikan pada Gambar 5. Kekeruhan pada lensa akan
menyebabkan tingkat hamburan cahaya daripada memfokuskannya ke titik di retina.
Semakin buram warnanya, semakin besar semakin besar penyebarannya dan semakin
buruk penglihatannya. Katarak senilis dibagi menjadi 2 tipe berdasarkan morfologinya,
yaitu katarak kortikal (katarak lunak), dan katarak nuclear (katatak keras).6

Gambar 5. Ilustrasi katarak seiring bertambahnya usia

 Etiologi Katarak Senilis

Katarak senilis pada dasarnya disebabkan karena adanya proses penuaan, namun
terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi onset, tipe dan pada stadium apa
seseorangmendapatkan katarak ini yaitu.6

a. Genetik
b. Radiasi sinar UV
c. Merokok
d. Diabetes Melitus
e. Dermatitis atopik
 Mekanisme dan Gambaran kekeruhan

Mekanisme kekeruhan yang terjadi pada katarak bervariasi tergantung pada jenis
kataraknya,yaitu:6

1. Katarak Senilis kortikal.

Terjadi karena ada perubahan kimiawi pada tubuh ciri-cirinyaadalah penurunan kadar
protein total, asam amino dan kalium yang berkaitan dengan peningkatan konsentrasi
natrium dan hidrasi dari lensa, diikuti oleh koagulasi protein. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar II.7.

Gambar 7. Pathway mekanisme kekeruhan pada katarak

senilis Pada katarak senilis tipe kortika terdapat derajat-derajat maturasi, yang

meliputi:

 Derajat Separasi lamellar

Tahap yang terjadi pertama kali pada katarak tipe ini ialah demarkasi serat kortikal
yang dipicu oleh pemisahan cairan. Pada tahap ini sifatnya masih reversible.

 Derajat Katarak insipient

Merupakan tahap dimana kekeruhan lensa dapat terdeteksi dengan adanya area yang
jernih diantaranya. Kekeruhan dapat dimulai dari ekuator ke arah sentral (kuneiform)
atau dapat dimulai dari sentral (kupuliform).
 Katarak Senilis Imatur
Opasitas yang muncul sifatnya lebih tebal dibandingkan sebelumnya. Penebalan yang
terjadi lebih difus dan berbatas tidak tegas. Gambaran lensa berwarna putih keabuan
namun iris dan korteks masih terlihat.

 Katarak Senilis Matur

Penebalan yang muncul pada stadium ini menjadi komplit, seluruh kortex tertutup,
dan lensa berwarna putih.

 Katarak Senilis Hipermatur

Pada stadium ini protein-protein di bagian korteks lensa sudah mencair. Cairan keluar
dari kapsul dan menyebabkan lensa menjadi mengerut.

Gambar 8. Stadium Maturasi pada Katarak Senilis Kortikal

2. Katarak Senilis Nuklear. Perubahan degenerative yang terjadi berupa intensifikasi


terkait usia sklerosis nuklir yang berhubungan dengan dehidrasi dan pemadatan inti
sehingga mengakibatkan katarak yang dihasilkan keras. Hal ini dibarengi dengan
peningkatan yang cukup signifikan dalam protein yang tidak larut dalam air. Namun,
total proteinnya kandungan dan distribusi kation tetap normal.
II.2. Manifestasi Klinis

Gejala umum gangguan katarak meliputi: 1. Penglihatan tidak jelas, seperti


terdapat kabut mengalangi objek 2. Peka terhadap sinar atau cahaya 3. Dapat melihat
dobel pada satu mata 4. Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca
5. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.6

Ciri-ciri dan gambaran pada Katarak Senilis dapat dilihat secara rinci melalui gambar
tabel dibawah ini.

II.3. Diagnosa
Katarak dapat dievaluasi dengan beberapa langkah sebagai berikut:6

a. Anamnesis
 Keluhan utama pasien yaitu penurunan penglihatan
 Riwayat oftalmik masa lalu
 Penyakit sistemik apa pun yang menyebabkan atau memperparah gejala

b. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

 Ketajaman penglihatan: dapat dinilai dengan Snellen chart untuk mengidentifikasi


tingkat keparahan penyakit dan keterbatasan dalam aktivitas rutin kehidupan
 Refraksi: Faktor penting untuk merencanakan manajemen
 Tes sampul: penglihatan buruk yang disebabkan oleh katarak dapat menjadi penyebab
terjadinya mata juling yang berbeda
 Pemeriksaan slit-lamp
 Respon pupil: untuk memeriksa bentuk pupil, jalur aferen dan eferen serta cacat pupil
aferen relatif
 Pemeriksaan adneksa: pemeriksaan menyeluruh diperlukan untuk menyingkirkan
adanya patologi adneksa, misalnya dakriosistitis, blefaritis, konjungtivitis kronis,
lagophthalmos, ektropion, entropion, dan kelainan lapisan air mata - kondisi ini
mungkin merupakan predisposisi endoftalmitis, sehingga diagnosis dan
optimalisasinya diperlukan untuk mengobati katarak
 Kornea: penting untuk menilai apakah kornea mampu menangani trauma operasi -
arcus senilis merupakan temuan penting karena dapat mengganggu kejelasan lapangan
operasi
 Ruang Anterior: ruang anterior yang dangkal dapat membuat operasi katarak menjadi
sangat sulit
 Lensa: bagian lensa yang terlibat dapat menjadi faktor penting dalam merencanakan
teknik bedah kita - katarak nukleus lebih keras sedangkan katarak kortikal
konsistensinya lebih lembut
 Pemeriksaan Fundus: kelainan apa pun pada fundus, misalnya degenerasi makula
terkait usia, dapat menjadi faktor penting untuk menentukan hasil penglihatan setelah
operasi, oleh karena itu pemeriksaan fundus secara menyeluruh sangat penting
 Tekanan intraokular: untuk menyingkirkan kemungkinan glaukoma
 Tes ruangan gelap: oftalmoskopi langsung dan tidak langsung
 Fundoskopi: untuk menyingkirkan adanya patologi vitreous atau retinal
 Biometri: untuk penempatan lensa intraokular (IOL) selama operasi
 Penilaian Retina Perifer: menguji proyeksi cahaya di semua kuadran
 Tes fungsi makula: seperti tes karton (diskriminasi dua titik), tes batang Maddox,
interferometri laser, elektroretinogram foveal, tes stres foto
 Pemindaian ultrasonografi: Pemindaian B disarankan untuk melihat ablasi retina atau
patologi vitreous lainnya
 Penyakit sistemik: Kadar glukosa darah, elektrokardiografi, ekokardiografi,
ultrasonografi
 Tes dasar: Hitung darah lengkap, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, profil perdarahan,
skrining Hepatitis B dan C, rontgen dada
II.4. Tata Laksana
Penatalaksanaan katarak adalah dengan tindakan operasi mengeluarkan lensa yang
keruh dan menggantinya dengan lensa tanam intraokular. Terdapat beberapa jenis operasi
yangdapat dilakukan pada katarak, yaitu:6

a. Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE) Tindakan pembedahan dengan


mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul. Sekarang metode ini hanya dilakukan
pada kasus lensa subluksasio dan luksasio. Tindakan ICCE tanpa pemasangan IOL
merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama populer. Tajam penglihatan pasca
operasi ICCE tanpa IOL memberikan hasil yang kurang baik sehingga tindakan ini
sudah mulai ditinggalkan. Pada kondisi khusus yang disebutkan di atas, ICCE dapat
dilakukan tentunya dengan pemasangan IOL baik secara primer maupun sekunder.9

b. Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE) Tindakan pembedahan pada lensa


katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa dengan merobek kapsul lensa anterior
sehingga massa lensa dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan. Ukuran lensa
yang dikeluarkan pada ECCE cukup besar, yaitu sekitar 9-12 mm, sehingga untuk
menutup luka membutuhkan 5-7 jahitan. Oleh karena luka yang relatif besar dan
adanya jahitan untuk menutup luka, risiko astigmatisma pasca operasi menjadi cukup
besar. Tindakan ECCE ini dilakukan pada pasien dengan katarak matur. Pada pasien
dengan katarak matur yang disertai kelainan endotel yang berat, tindakan ECCE
bersamaan dengan keratoplasti dapat menjadi pilihan. ECCE menjadi pilihan terapi
pada katarak matur atau saat indikasi kebutaan menurut WHO terpenuhi.9

c. Small Incision Cataract Surgery (SICS) Teknik operasi Small Incision Cataract
Surgery (SICS) yang merupakan operasi katarak manual dengan luka insisi yang lebih
kecil dibandingkan ECCE. Berbeda dengan ECCE, luka insisi pada SICS dibuat lebih
ke arah sklera dan dengan membuat terowongan (tunnel) dari sklera ke kornea untuk
kemudian menembus bilik mata depan. Luka insisi yang lebih kecil sebesar 6-9 mm
dan tunnel berukuran 4 mm menyebabkan luka menjadi kedap meskipun tanpa
jahitan, sehingga dapat menurunkan risiko astigmatisma pasca operasi.9
d. Fakoemulsifikasi Operasi katarak dengan menggunakan mesin fakoemulsifikasi
(Phacoemulsification) adalah tindakan menghancurkan lensa mata menjadi bentuk yang lebih
lunak, sehingga mudah dikeluarkan melalui luka yang lebih kecil (2-3 mm).Getaran kristal
piezzo electric dengan frekuensi ultrasound pada phaco handpiece digunakan untuk
menghancurkan katarak. Katarak yang telah melunak atau menjadi segmen yang lebih kecil
kemudian akan diaspirasi oleh mekanisme pompa peristaltik maupun venturi sampai bersih.
Pemasangan IOL sudah menjadi standar pelayanan operasi fakoemulsifikasi. Pemilihan lensa
yang dapat dilipat (foldable) merupakan bakuemas untuk tindakan operasi fakoemulsifikasi.
Insisi yang kecil tidak memerlukan jahitan dan akan pulih dengan sendirinya. Hal ini
memungkinkan pasien dapat dengancepat kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Namun
jika karena adanya keterbatasanpilihan IOL yang tersedia, maka penggunan IOL non-
foldable masih dapat diterima, tentunya dengan penambahan jahitan pada luka. Teknik ini
bermanfaat pada katarakkongenital, traumatik dan kebanyakan katarak senilis.9
II.5. Diagnosa Banding

1. Katarak Senilis Imatur

Katarak senilis imatur dapat dibedakan dengan sclerosis nuclear tanpa katarak dengan
melihat gambar tabel yang tercantum dibawah ini.6

2. Katarak Senilis Matur

Katarak senilis matur dapat dibedakan dari penyebab lain dari refleks pupil putih
(leukocoria) melalui gambar tabel dibawah ini.6
II.6. Komplikasi
Komplikasi operasi katarak dapat terjadi sebelum operasi, selama operasi maupun
setelah operasi. Pemeriksaan periodik pasca operasi katarak sangat penting untuk
mendeteksi komplikasi operasi.6,7

a. Komplikasi Sebelum Operasi

1. Uveitis fakoanafilaksis. Terjadi Ketika katarak hipermatur menyebabkan protein


keluar dari lensa ke ruang anterior karena adanya kebocoran. Protein ini dapat
bertindak sebagai antigen dan menginduksi reaksi antigen antibodi yang
menyebabkan uveitis.6

2. Glaukoma akibat lensa. Ini mungkin terjadi karena mekanisme yang bervariasi
misalnya, karena lensa intumescent (glaukoma fakomorfik) dan kebocoran protein
ke dalam bilik mata depan karena katarak hipermatur (glaukoma fakolitik).6

3. Subluksasi atau dislokasi lensa. Hal ini mungkin saja terjadi karena degenerasi
zonula zinii pada stadium katarak hipermatur.6

b. Komplikasi Selama Operasi7

1. Pendangkalan kamera okuli anterior Pada saat operasi katarak, pendangkalan


kamera okuli anterior (KOA) dapat terjadi karena cairan yang masuk ke KOA tidak
cukup, kebocoran melalui insisi yang terlalu besar, tekanan dari luar bola mata,
tekanan vitreus positif, efusi suprakoroid, atau perdarahan suprakoroid.

2. Posterior Capsule Rupture (PCR) PCR dengan atau tanpa vitreous loss adalah
komplikasi intraoperatif yang sering terjadi.

3. Nucleus drop Salah satu komplikasi teknik fakoemulsifikasi, yaitu jatuhnya

seluruhatau bagian nukleus lensa ke dalam rongga vitreus. Jika hal ini tidak ditangani
dengan baik, lensa yang tertinggal dapat menyebabkan peradangan intraokular berat,
dekompensasi endotel, glaukoma sekunder, ablasio retina, nyeri, bahkan kebutaan.
c. Komplikasi Setelah Operasi7
1. Edema kornea, Edema stromal atau epitelial dapat terjadi segera setelah operasi
katarak. Kombinasi dari trauma mekanik, waktu operasi yang lama, trauma kimia,
radang, atau peningkatan tekanan intraokular (TIO), dapat menyebabkan edema
kornea.

2. Perdarahan, Komplikasi perdarahan pasca operasi katarak antara lain perdarahan


retrobulbar, perdarahan atau efusi suprakoroid, dan hifema.

3. Glaukoma sekunder, Bahan viskoelastik hialuronat yang tertinggal di dalam KOA


pasca operasi katarak dapat meningkatkan tekanan intraokular (TIO), peningkatan
TIO ringan bisa terjadi 4 sampai 6 jam setelah operasi, umumnya dapat hilang sendiri
dan tidak memerlukan terapi anti glaukoma, sebaliknya jika peningkatan TIO
menetap, diperlukan terapi antiglaukoma.

4. Uveitis kronik, Inflamasi normal akan menghilang setelah 3 sampai 4 minggu


operasi katarak dengan pemakaian steroid topikal. Inflamasi yang menetap lebih dari
4 minggu, didukung dengan penemuan keratik presipitat granulomatosa yang
terkadang disertai hipopion, dinamai uveitis kronik. Kondisi seperti malposisi LIO,
vitreus inkarserata, dan fragmen lensa yang tertinggal, menjadi penyebab uveitis
kronik.

5. Edema Makula Kistoid (EMK), EMK ditandai dengan penurunan visus setelah
operasi katarak, gambaran karakteristik makula pada pemeriksaan oftalmoskopi atau
FFA, atau gambaran penebalan retina pada pemeriksaan OCT.

6. Ablasio retina, Ablasio retina terjadi pada 2-3% pasca EKIK, 0,5-2% pasca
EKEK, dan 3 mm), lokasi insisi di superior, jahitan, derajat astigmatisma tinggi
sebelum operasi, usia tua, serta kamera okuli anterior dangkal. AAO menyarankan
untuk membuka jahitan setelah 6-8 minggu postoperatif untuk mengurangi
astigmatisma berlebihan.

7. Endoftalmitis, Endoftalmitis termasuk komplikasi pasca operasi katarak yang


jarang, namun sangat berat. Gejala endoftalmitis terdiri atas nyeri ringan hingga berat,
hilangnya penglihatan, floaters, fotofobia, inflamasi vitreus, edem palpebra atau
periorbita, injeksi siliar, kemosis, reaksi bilik mata depan, hipopion, penurunan tajam
penglihatan, edema kornea, serta perdarahan retina. Gejala muncul setelah 3 sampai
10 hari operasi katarak. Penyebab terbanyak adalah Staphylococcus epidermidis,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus.
8. Posterior Capsule Opacification (PCO) / kekeruhan kapsul posterior PCO
merupakan komplikasi pasca operasi katarak yang paling sering. Mekanisme PCO
adalah karena tertinggalnya sel-sel epitel lensa di kantong kapsul anterior lensa, yang
selanjutnya berproliferasi, lalu bermigrasi ke kapsul posterior lensa.

9. Surgically Induced Astigmatism (SIA) Operasi katarak, terutama teknik EKIK


dan EKEK konvensional, mengubah topografi kornea dan akibatnya timbul
astigmatisma pasca operasi. Risiko SIA meningkat dengan besarnya insisi (> 3 mm),
lokasi insisi di superior, jahitan, derajat astigmatisma tinggi sebelum operasi, usia tua,
serta kamera okuli anterior dangkal. AAO menyarankan untuk membuka jahitan
setelah 6-8 minggu postoperatif untuk mengurangi astigmatisma berlebihan.

II.7. Prognosis
Dalam kebanyakan kasus, pembedahan mengembalikan penglihatan dengan sangat
efektif. Adanya penyakit sistemik lain, waktu intervensi, dan cara pembedahan dapat
berperan penting dalam menentukan hasil visual. Penelitian terbaru mengungkapkan
bahwa pada sebagian besar kasus, prognosis setelah operasi sangat baik hampir 70
hingga 80%. Kebanyakan pasien menunjukkan hasil yang sangat baik setelah operasi
jika mereka secara ketat mengikuti instruksi pasca operasi dan rejimen pengobatan
yang disarankan oleh dokter mata mereka. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
mata secara rutin, yang akan mendeteksi perkembangan katarak pada mata lainnya.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Duplechain A, Conrady CD, Patel BC, et al. Uveitis. [Updated 2023 Aug 8]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK540993/
2. Sitompul R. Tinjauan Pustaka. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya
Mencegah Kebutaan. Departemen Ilmu Kesehatan Mata, FK Universitas Indonesia
RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. 2016.
3. Rinasari, Kusumawaty S, Anggara A. Uveitis Anterior dengan Katarak Komplikata.
Jurnal Medical Profession. 2020;2(3)
4. Harthan JS, Opitz DL, Fromstein SR, Morettin CE. Diagnosis and treatment of anterior
uveitis: optometric management. Clin Optom (Auckl). 2016;8:23-35. Published 2016
Mar 31. doi:10.2147/OPTO.S72079
5. American Academy of Ophtalmology. Diagnostic Consideration in Uveitis:
Classification of Uveitis.
6. American Academy of Ophtalmology. Diagnostic Consideration in Uveitis: Sign of
Uveitis.
7. Kolb H. Gross anatomy of the eye. University of Utah Health Sciences Center; 2007.

8. Valverde, P., Healy, E., Jackson, I., Rees, J. L., & Thody, A. J. (1995). Variants
of themelanocyte-stimulating hormone receptor gene are associated with red hair
and fair skin in humans. Nature genetics, 11(3), 328–330.
9. Rehman I, Hazhirkarzar B, Patel BC. Anatomy, head and neck, eye. StatPearls
Publishing; 2023.
10. Knight, B., Lopez, M. J., & Patel, B. C. (2023). Anatomy, Head and Neck: Eye
LevatorPalpebrae Superioris Muscles. In StatPearls. StatPearls Publishing.
11. Karpinich, N. O., & Caron, K. M. (2014). Schlemm's canal: more than meets the
eye, lymphatics in disguise. The Journal of clinical investigation, 124(9), 3701–
3703.

12. Khurana A. K. Khurana A. K. & Khurana B. (2007). Comprehensive


ophthalmology (4th ed.). Jaypee The Health Sciences. Retrieved September 21
2023
13. Astari P. Katarak: Klasifikasi, Tatalaksana, dan Komplikasi Operasi [Internet].
Neliti.com.[cited 2023 Sep 21].

14. Nizami AA, Gulani AC. Cataract. StatPearls Publishing; 2022.

15. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor


Hk.01.07/Menkes/557/2018 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Katarak Pada Dewasa

Anda mungkin juga menyukai