Anda di halaman 1dari 48

PENGARUH PENERAPAN METODE ROLE PLAYING

TERHADAP MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK


PADA PEMBELAJARAN IPS KELAS V DALAM SATU GUGUS
SEKOLAH DASAR

SKRIPSI

Oleh
Oktarini
2020406405145

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
2024
HALAMAN PERSETUJUAN
PENGARUH PENERAPAN METODE ROLE PLAYING
TERHADAP MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK
PADA PEMBELAJARAN IPS KELAS V SD

Skripsi
Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan
Sarjana
Pada jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh
OKTARINI
NIM. 2020406405145

Pembimbing I Pembimbing II

YESI BUDIARTI, M.Pd Santi Hendayani, M.Pd


NIDN 022905860 NIDN 0231017401

Ketua Program Studi


Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Yunni Arnidha,M.Pd
NIDN 0229097801
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan


rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan
proposal penelitian dengan Judul "Pengaruh Penerapan Metode Role
Playing Terhadap Motivasi Belajar Peserta Didik Pada Pembelajaran IPS
Kelas V SD" guna memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana
pendidikan pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Penulis dalam menyelesaikan penyusunan Proposal penelitian ini
tidak lepas dari dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Drs. Wanawir A.M. MM.,M.Pd selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Pringsewu Lampung.
2. Ibu Rahma Faelasofi, S.Si.,S.Mc, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung.
3. Ibu Yunni Arnidha, S.Pd., M.Pd selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Muhammadiyah
Pringsewu Lampung.
4. Ibu Yesi Budiarti, M.Pd., selaku Pembimbing I yang telah memberikan
arahan dalam penulisan proposal ini.
5. Ibu Santi Hendayani, M.Pd., selaku Pembimbing II yang telah
memberikan dorongan serta banyak ilmu dalam penulisan proposal ini.
6. Kedua orangtuaku yang senantiasa memberikan doa, serta dukungan
yang tidak henti-hentinya kepada peneliti.
7. Seluruh teman-teman seperjuangan yang telah memberikan semangat
dan motivasi dalam penyelesaian proposal ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan proposal ini masih


banyak kekurangan baik isi maupun cara penulisannya, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca guna
menyempurnakan segala kekurangan dalam penyusunan proposal ini.

Pringsewu, 02 Mei 2023

Oktarini
NIM.2020406405145
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 3
D. Ruang Lingkup Penelitian 3
E. Manfaat Penelitian 4

BAB II LANDASAN TEORI


A. Kajian Teori 5
B. Penelitian yang Relevan 23
C. Kerangka Konsep 25
D. Hipotesis 26

BAB III METODE PENELITIAN


A. Jenis Dan Desain Penelitian 27
B. Populasi Dan Sampel Penelitian 28
C. Definisi Operasional Variabel 29
D. Teknik Dan Instrumen Pengumpulan Data 30
E. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen 31
F. Teknik Analisis Data 32

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penguasaan konsep waktu dalam sejarah sangat penting dalam


pembelajaran IPS untuk mengetahui peristiwa masa lalu dan
perkembangannya hingga saat ini. Dengan adanya konsep waktu masa
lampau yang tentu saja tidak dialami oleh siswa dan peristiwa di masa
lampau tidak dapat diulang kembali sehingga pelajaran sejarah mudah
dilupakan siswa. Namun dengan menerapkan suatu metode, peristiwa
tersebut dapat diperankan kembali seperti cerita sebenarnya.

Salah satu cabang dari ilmu sejarah yaitu sejarah lokal yang mengkaji
peristiwa-peristiwa dalam masyarakat pada masa lampau di suatu tempat
saja. Dalam pembelajaran IPS SD, sejarah lokal dapat dijadikan tema
pembelajaran. Hal ini bertujuan agar siswa memiliki rasa cinta tanah air dan
menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap pelestarian budaya daerah.

Kurikulum IPS di Sekolah Dasar dalam pelaksanaannya, selain


menuntut para guru untuk memiliki wawasan pengetahuan yang luas dalam
mengembangkan materi, juga mampu menentukan teknik dan strategi
pembelajaran yang beragam sehingga pembelajaran lebih bermakna dan
berguna dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan amanat Undang-
Undang SISDIKNAS nomor 20 tahun 2003 Salah satu tujuan pembelajaran
IPS dalam rangka menyusun rasa nasionalisme adalah menguatkan wawasan
nasionalisme itu kepekaan serta kesadaran peserta didik mengenai fenomena
lingkungan fisik maupun sosial.

Secara umum di dalam proses belajar mengajar di sekolah peserta


didik cenderung kurang termotivasi dalam pembelajaran IPS, peserta didik
menganggap bahwa pelajaran IPS merupakan suatu pembelajaran yang sulit
dan tidak menyenangkan. Siswa hanya sebatas menghafal, dengan kata lain
proses belajar terperangkap kepada “proses menghafalnya” tanpa

1
dihadapkan kepada masalah untuk lebih banyak berpikir dan bertindak.
Namun berbeda jika peserta didik sudah memiliki motivasi dalam belajar,
secara bertahap peserta didik akan mulai memahami materi dan dapat
menyelesaikan tugas-tugas mulai dari tingkat yang mudah sampai ke tingkat
sulit dengan mudah dan menyenangkan.

Berdasarkan hasil pra penelitian yang peneliti lakukan pada tanggal


tanggal 1 ,2, dan 4 Maret 2024 dalam Satu Gugus Sekolah Dasar di
Kecamatan Banyumas, ditemukan bahwa tingkat motivasi belajar peserta
didik cenderung masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hal,
seperti : (1) Kurangnya partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, (2)
Banyaknya peserta didik yang tidak fokus dan mudah teralihkan
perhatiannya saat pembelajaran IPS berlangsung, (3) Rendahnya tingkat
partisipasi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran IPS, (4) Keaktifan
siswa dalam menjawab dan mengajukan pertanyaan masih kurang, (5)
Keaktifan siswa dalam diskusi belum terlihat.

Hal tersebut terlihat ketika guru menjelaskan materi, banyak siswa


yang ramai dan berbicara sendiri sendiri. Sebagian ada yang mengantuk
bahkan ada sebagian lagi yang membuat gaduh. Ketika guru bertanya,
sebagian besar siswa hanya diam, serta tidak tahu harus menjawab apa.

Melihat permasalahan rendahnya motivasi belajar peserta didik


dalam pembelajaran IPS, maka diperlukan suatu inovasi dalam
pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan motivasi belajar
peserta didik tentunya dalam pembelajaran IPS. Salah satu solusi untuk
meningkatkan motivasi belajar peserta didik pada pembelajaran IPS adalah
dengan menggunakan metode Role Playing.

Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik melakukan suatu


penelitian dengan judul “PENGARUH PENERAPAN METODE ROLE
PLAYING TERHADAP MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK
PADA PEMBELAJARAN IPS KELAS V DALAM SATU GUGUS
SEKOLAH DASAR”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi di atas, maka masalah


yang dapat diteliti dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat pengaruh
metode role playing terhadap motivasi belajar peserta didik pada
pembelajaran IPS kelas V Dalam Satu Gugus Sekolah Dasar?”.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini


adalah untuk mengetahui pengaruh metode role playing terhadap motivasi
belajar peserta didik pada pembelajaran IPS kelas V Satu Gugus Sekolah
Dasar.

D. Ruang Lingkup Penelitian


1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif.
2. Subyek Penelitian
Peserta didik kelas V SD.
3. Objek Penelitian
Motivasi belajar peserta didik pada pembelajaran IPS
4. Lokasi Penelitian
SDN 1 Banyuurip, SDN 1 Banyumas, SDN 1 Sinarmulya, SDN 2
Sinarmulya.
5. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 1-4 Maret 2024.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan
terkait pengaruh metode role playing terhadap motivasi belajar peserta
didik pada pembelajaran IPS kelas V SD.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
Dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk memaksimalkan
metode role playing dalam meningkatkan motivasi belajar bagi
peserta didik kelas V SD.
b. Bagi peserta didik
Bagi peserta didik hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan serta wawasan peserta didik dalam meningkatkan
motivasi belajar khususnya pada mata pelajaran IPS.
c. Bagi Sekolah
Dengan adanya metode pembelajaran yang baru dapat membuat
proses pembelajaran menjadi lebih menarik sehingga peserta didk
termotivasi dalam proses pembelajaran.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori
1. Motivasi Belajar Siswa Sekolah Dasar
a. Definisi Motivasi Belajar
Motivasi merupakan perubahan energi dalam diri seseorang
yang ditandai dengan munculnya ”feeling” dan didahului dengan
tanggapan terhadap adanya tujuan. Motivasi juga dapat diartikan
sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan dan semangat yang
mendorong seseorang untuk mencapai hasil yang sesuai. Siswa yang
memiliki motivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk
melakukan kegiatan belajar. Maka dari itu hasil belajar akan optimal
kalau ada motivasi yang tepat (Sardiman, 2018:73). Menurut Susanti
(2019:4) motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan
seseorang untuk masuk dalam sebuah proses dan mampu
mempertahankan tingkah lakunya sampai pada pencapaian
tujuannya.
Peserta didik yang memiliki motivasi akan berupaya
menggunakan kemampuannya untuk bekerja terus menerus dan
ketika menghadapi tantangan mereka akan bertahan, bahkan
berjuang untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Motivasi juga
dapat menentukan seberapa banyak peserta didik akan belajar,
seberapa banyak kegiatan yang akan mereka ikuti, seberapa cepat
pencapaian tujuan yang didapat, atau seberapa banyak mereka
mendapatkan informasi yang dapat diperoleh dan digunakan untuk
mencapai tujuannya. (Susanti, 2019:3).
Berdasarkan pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa motivasi
belajar merupakan kemauan yang muncul dalam diri setiap individu
untuk ingin terus terdorong dalam melakukan sebuah kegiatan baik
dalam belajar maupun dalam pekerjaan. Motivasi belajar menjadi

5
penentu pencapaian tujuan pembelajaran yang baik. Apabila siswa
memiliki motivasi yang buruk maka siswa tidak dapat secara
maksimal mendapatkan hasil belajar yang baik.
Istilah motivasi berasal dari kata ”motif” yang dapat diartikan
sebagai “kekuatan” yang terdapat dalam diri individu, yang dapat
merangsang setiap individu untuk bertindak. Motif tersebut tidak
dapat diamati secara langsung, akan tetapi dapat diinterpretasikan
melalui tindakan, dorongan (Nurjan, 2015:151). Berkaitan dengan
pengertian motivasi tersebut beberapa psikolog menyebutkan bahwa
motivasi sebagai wujud dari dugaan yang digunakan untuk
menjelaskan keinginan, arah, intensitas dan keajegan perilaku siswa.
Dalam motivasi mencakup beberapa konsep-konsep seperti
kebutuhan berprestasi, kebiasaan, keingintahuan seseorang terhadap
sesuatu.
Motivasi mempunyai peranan penting dalam proses belajar
mengajar baik bagi guru maupun siswa. Bagi guru mengetahui
motivasi belajar dari siswa sangat diperlukan guna memelihara dan
meningkat semangat belajar siswa. Bagi siswa motivasi belajar dapat
menumbuhkan semangat belajar siswa sehingga siswa terdorong
untuk melakukan kegiatan belajar. Siswa melakukan aktivitas belajar
dengan senang karena didorong motivasi (Arianti, 2018:117-118).
Berdasarkan paparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
motivasi belajar merupakan dorongan dari diri siswa baik dari dalam
maupun dari luar untuk mencapai tujuan belajar. Dengan adanya
motivasi belajar, siswa akan senantiasa semangat untuk terus belajar
tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Berikut ini merupakan
indikator dari motivasi belajar (Muafiah, 2020:209), (1) Adanya
hasrat dan keinginan untuk berhasil, (2) Adanya dorongan dan
kebutuhan untuk belajar, (3) Adanya harapan dan cita-cita masa
depan, (4) Adanya penghargaan dalam belajar, (5) Adanya kegiatan
yang menarik dalam belajar, (6) Adanya situasi belajar yang
kondusif.
Motivasi merupakan serangkaian kegiatan yang menyediakan
kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin
melakukan sesuatu dan bila ia tidak suka maka akan berusaha
meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka tersebut (Emda,
2017:175). Jadi dapat dipahami bahwa motivasi belajar dapat
dirangsang faktor dari luar dan motivasi dapat tumbuh didalam diri
seseorang. Lingkungan menjadi salah satu faktor dari luar yang
dapat menumbuhkan motivasi dalam diri seseorang untuk belajar.
Motivasi merupakan tujuan atau pendorong, dengan tujuan
sebenarnya dengan menjadi daya penggerak utama bagi seseorang
berupaya dalam mendapatkan atau mencapai apa yang diinginkan
(Atmojo, 2018:107). Merujuk pada pernyataan tersebut dapat
dipahami bahwa setiap individu yang termotivasi baik secara
intrinsik maupun ekstrinsik dapat terdorong untuk selalu belajar dan
menyelesaikan tugas tanpa disuruh atas dasar kemauan diri sendiri.
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak
menentukan kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam
konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.
Berdasarkan beberapa pernyataan yang sudah dijelaskan
diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar memiliki
kedudukan yang penting dalam mencapai tujuan pembelajaran yang
sudah ditetapkan. Munculnya motivasi tidak semata-mata dari diri
siswa itu sendiri tetapi guru harus melibatkan diri untuk memotivasi
siswa dalam belajar. Adanya motivasi akan memberikan semangat
sehingga siswa akan belajar dengan baik. Motivasi belajar dapat
muncul apabila siswa memiliki keinginan untuk belajar, oleh karena
itu seorang guru yang merupakan faktor ekstrinsik harus mampu
memberikan dorongan agar faktor intrinsik dalam diri siswa muncul
dengan begitu siswa akan memiliki semangat dalam belajar sehingga
tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan dapat tercapai dengan
baik.

b. Fungsi motivasi belajar

Motivasi memiliki fungsi dan tujuannya, maka dibawah ini


akan dijelaskan mengenai fungsi dan tujuan motivasi belajar. Pada
saat proses belajar mengajar motivasi belajar sangatlah penting agar
siswa dapat giat dan semangat dalam belajar. Selain itu motivasi
belajar memiliki beberapa fungsi sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh (Nurjan, 2015:157).

1) Membuat manusia untuk berbuat. Motivasi dalam hal ini


merupakan penggerak dalam setiap kegiatan yang dikerjakan.
2) Menentukan arah perbuatan, artinya motivasi menentukan arah
dan tujuan yang akan dicapai.
3) Menyeleksi perbuatan, artinya motivasi dalam hal ini membantu
dalam menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus
dikerjakan agar tujuan belajar dapat tercapai.

Disamping itu, ada juga fungsi-fungsi lain. Motivasi dapat


berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi.
Seseorang melakukan usaha karena adanya motivasi. Adanya
motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik.
Dengan kata lain, dengan adanya usaha yang tekun dan terutama
didasari adanya motivasi maka seseorang yang belajar itu akan dapat
melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa
akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya
(Sardiman, 2018:85-86). Motivasi mengandung tiga elemen penting
dalam pembelajaran (Sardiman, 2018:74), yaitu :

1) Bahwa motivasi itu mengawali perubahan energi pada diri setiap


individu manusia.
2) Motivasi ditandai dengan munculnya rasa atau feeling pada diri
seseorang.
3) Motivasi akan dirancang karena adanya tujuan, motivasi
memang muncul dalam diri manusia, tetapi kemunculannya
karena terangsang atau terdorong karena adanya unsur lain,
dalam hal ini adalah tujuan.

Berdasarkan dari ketiga elemen diatas dapat disimpulkan


bahwa motivasi belajar siswa dapat dapat terangsang secara internal
dan eksternal. Motivasi belajar merupakan penggerak di dalam diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin
kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberi arah pada kegiatan
belajar sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar dapat
tercapai dengan baik.

c. Karakteristik motivasi belajar


Motivasi belajar memiliki karakteristik, terdapat tiga macam
dari karakteristik motivasi belajar yang berkenaan dengan siswa,
yaitu usaha, ketekunan dan arah.
1) Usaha (Effort), merupakan kekuatan perilaku siswa atau
seberapa besar upaya yang dikeluarkan siswa dalam
melaksanakan tugasnya.
2) Ketekunan (persistence), yaitu ketekunan siswa dalam
menjalankan tugasnya.
3) Arah (direction), yaitu yang mengarah pada kualitas belajar
dalam perilaku belajarnya (Priansa, 2019:114).
Dengan melihat ketiga karakteristik pokok motivasi di atas
maka motivasi dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana usaha
dan kemauan keras seseorang diarahkan kepada pencapaian hasil-
hasil atau tujuan tertentu. Hasil-hasil yang dimaksud bisa berupa
produktivitas, kehadiran atau perilaku kerja kreatif lainnya. Motivasi
dipandang sebagai langkah awal seseorang melakukan tindakan
akibat kekurangan secara fisik dan psikis atau dengan kata lain
adalah suatu dorongan yang ditujukan untuk memenuhi tujuan
tertentu. Motivasi adalah keadaan kejiwaan dan sikap mental
manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan atau gerakan
dan mengarahkan atau menyalurkan perilaku kearah mencapai
kebutuhan yang memberi kepuasan atau mengurangi keseimbangan,
seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat akan mempunyai
tanggung jawab untuk menghasilkan prestasi yang lebih baik.

d. Sumber motivasi belajar siswa


Dalam teori terdapat sumber-sumber motivasi intrinsik dan
ekstrinsik, teori yang lazim untuk menjelaskan sumber motivasi
belajar siswa digolongkan menjadi dua, yaitu :
1) Motivasi intrinsik (rangsangan dari dalam diri siswa)
Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau
berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar karena dalam setiap
siswa terdapat dorongan untuk melakukan sesuatu. Oleh sebab
itu, motivasi intrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk
motivasi yang mendorong dimulainya aktivitas dan diteruskan
berdasarkan dorongan dalam diri dan secara mutlak terkait
dengan aktivitas belajarnya. Faktor individual yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu adalah sebagai berikut :
a) Minat, siswa merasa terdorong untuk belajar jika kegiatan
belajar tersebut sesuai dengan minatnya.
b) Sikap positif, siswa yang memiliki sikap positif terhadap
suatu kegiatan akan berusaha sebisa mungkin
menyelesaikan kegiatan tersebut dengan sebaik-baiknya.
c) Kebutuhan, siswa mempunyai kebutuhan tertentu dan akan
melakukan kegiatan apapun sesuai dengan kebutuhannya.
Motivasi pada dasarnya sudah ada dalam diri setiap siswa.

2) Motivasi ekstrinsik (rangsangan dari luar siswa)


Motivasi ekstrinsik adalah moti-motif yang aktif dan berfungsi
karena adanya rangsangan dari luar. Motivasi ekstrinsik dapat
juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang aktivitasnya
dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang
tidak berkaitan dengan dirinya. Motivasi ekstrinsik ini muncul
sebagai akibat pengaruh dari luar siswa, baik ajakan suruhan
maupun paksaan dari orang lain sehingga siswa bersedia
melakukan sesuatu, contohnya belajar. Bagi siswa yang motivasi
intrinsik yang lemah misalnya kurangnya rasa ingin tahunya, ia
perlu diberi motivasi ekstrinsik (Priansa, (2019:111-112).

Motivasi dalam pembelajaran sangatlah penting dalam mencapai


tujuan pembelajaran. Ada beberapa bentuk dan cara untuk
menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah
sebagaimana yang dijelaskan oleh (Priansa, 2019:124)
a) Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan
belajarnya. Banyak siswa belajar, yang utama justru untuk
mencapai angka atau nilai yang baik. Sehingga siswa
biasanya yang dikejar adalah nilai ulangan atau nilai-nilai
pada raport yang angkanya baik-baik. Angka-angka yang
baik itu bagi siswa merupakan motivasi yang sangat kuat.
b) Hadiah
Hadiah juga dapat dikatakan motivasi, tetapi tidak selalu
demikian. Karena hadiah untuk suatu pekerjaan, mungkin
tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak senang dan
tidak berbakat untuk suatu pekerjaan tersebut.
c) Saingan atau kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat untuk
mendorong motivasi belajar siswa. Persaingan, baik
persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa.
d) Ego-involvement
Menumbuhkan kesadaran bagi siswa agar merasakan
pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan
sehingga bekerja keras mempertaruhkan harga diri adalah
salah satu bentuk motivasi yang sangat penting.
1) Memberi ulangan, para siswa akan menjadi giat belajar
kalau mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu,
memberi ulangan juga merupakan sarana motivasi.
Tetapi yang harus diingat oleh guru jangan terlalu
sering memberi ulangan karena dapat membosankan
dan bersifat rutinitas.
2) Mengetahui hasil, dengan mengetahui hasil pekerjaan,
apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa
akan lebih giat dalam belajar. Semakin mengetahui
hasil belajarnya meningkat, maka akan ada motivasi
dalam diri siswa untuk terus belajar dengan suatu
harapan hasilnya akan terus meningkat.
3) Pujian. Apabila ada siswa yang sukses berhasil
menyelesaikan tugasnya dengan baik perlu diberikan
pujian. Pujian ini adalah bentuk yang positif dan
sekaligus merupakan motivasi yang bagus.
4) Hukuman. Hukuman sebagai respon negatif tetapi
kalau diberikan secara bijak dan tepat akan menjadi
sarana motivasi.
5) Hasrat. Hasrat untuk belajar berarti dalam diri siswa itu
memang ada motivasi untuk belajar sehingga tentu
hasilnya akan lebih baik.
6) Minat. Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu
juga minat sehingga tepatlah minat merupakan alat
motivasi yang pokok. Proses belajar itu akan berjalan
lancar jika disertai dengan minat.
7) Tujuan yang diakui. Rumusan tujuan yang diakui dan
diterima baik oleh siswa, merupakan alat motivasi yang
sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang
harus dicapai, karena dirasa sangat berguna dan
menguntungkan maka akan timbul keinginan untuk
terus belajar.
Berdasarkan langkah-langkah diatas dapat disimpulkan
bahwa proses belajar akan berhasil apabila siswa mempunyai
motivasi dalam belajar. Oleh karena itu, guru perlu menumbuhkan
motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang
optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar
siswa.

2. Metode Role Playing


a. Pengertian Metode Role Playing
Roleplay secara harfiah bisa diartikan sebagai berpura-pura
menjadi orang lain. Permainan ini mensyaratkan para pemain
memainkan peran khayalan, bekerja sama menyusun cerita dan
memainkan cerita tersebut. Pemain melakukan aksi seperti peran
yang dipilih sesuai karakter peran. Keberhasilan pemain
memerankan peran yang dipilih tergantung pada aturan dan sistem
yang telah ditentukan sebelum bermain. Permainan akan berjalan
sesuai rencana sampai akhir, asalkan tetap mengikuti peraturan yang
ditentukan. Selama permainan berlangsung, para pemain harus
berimprovisasi dalam kerangka peraturan yang telah ditetapkan.
Subagiyo Heru (2017:3) menyatakan bahwa Role playing
diartikan mengacu pada perubahan perilaku seseorang untuk
menjalankan peran, baik peran sosial sebagai masyarakat ataupun
peran khayalan seperti di dalam teater. Kamus Oxford
mendefinisikan roleplay sebagai perubahan perilaku seseorang untuk
memenuhi peran sosial. Sedangkan di bidang psikologi, role playing
lebih merujuk pada bermain peran secara umum seperti teater atau di
dalam metode pembelajaran, berpura-pura menjadi orang lain, untuk
menyebutkan jenis permainan (permainan play-by-mail, permainan
anak-anak (dokter-dokteran, pasar-pasaran, polisi-penjahat dan lain-
lain)) dan merujuk arti secara khusus kepada permainan peran.
Dalam pembelajaran, dengan bermain peran atau role playing
diharapkan peserta didik akan menjadi penemu bentuk berikutnya,
karena mereka diperkenalkan dengan nilai sosial dan nilai pribadi.
Dengan bermain peran, secara pribadi, peserta didik akan dibantu
untuk mendapatkan jati dirinya, sedangkan dalam kelompok, peserta
didik akan mampu menyelesaikan masalahnya secara kelompok.
Sehingga, dengan bermain peran, peserta didik akan memiliki
kesadaran bahwa peran-peran orang yang disekitarnya itu beragam.
Sehingga, metode pembelajaran dengan bermain peran akan
membantu peserta didik dalam menghadapi masa depannya. Dengan
bermain peran pula, peserta didik dapat melakukan perbaikan pada
situasi sosial, isu moral serta lebih terampil dalam bidang sosial.
Peserta didik diperkenalkan pada olah rasa, berlatih untuk
mendapatkan inspirasi, belajar untuk mendapatkan solusi dari sebuah
problematika, serta membantu dalam pengembangan keterampilan
kebahasaan. Bermain peran didefinisikan pula sebagai kegiatan
peserta didik berupa gerak, tingkah laku dan ekspresi yang
menirukan atau memperagakan orang lain (Sa`diyah Halimatus,
2018:6).
Sa`diyah Halimatus, ( 2018:7) menyatakan bahwa Role
playing atau bermain peran dapat digolongkan pada upaya
membangkitkan motivasi belajar yang tidak hanya berorientasi pada
pengembangan kognitif siswa, namun juga afektif melalui peragaan
sikap yang baik begitu juga pengembangan psikomotoriknya melalui
kegiatan pembiasaan berbahasa yang diperagakan langsung sesuai
dengan imajinasinya yang dapat dilihat pasca proses pembelajaran.
Bermain peran disebut seni karena masing-masing individu memiliki
pola dan cara yang berbeda-beda tergantung pengalaman dan
gayanya untuk dapat mengekspresikan setiap apa yang ia miliki
untuk mengembangkan kemampuan bahasanya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa metode pembelajaran role playing atau bermain peran adalah
cara yang digunakan guru dalam proses pembelajaran dengan
memberikan suatu topik atau permasalahan yang dipecahkan oleh
peserta didik dengan memainkan peran dalam hal ini terkait
pembelajaran. Melalui metode role playing, peserta didik mencoba
untuk memainkan perasaan, perspektif, ide-ide orang lain, dan
kemudian mendiskusikan hasilnya di kelas.

b. Sejarah Role Playing


Permainan role playing diadopsi dari bidang psikologi
khususnya psikoterapi atau terapi kejiwaan. Santrock (1995:272)
menyatakan role playing merupakan kegiatan yang menyenangkan
dan dilakukan oleh seseorang atau sekumpulan orang untuk
memperoleh kesenangan. Dalam bidang psikologi, role playing
merupakan salah satu metode yang digunakan untuk bimbingan dan
konseling kelompok yang dilakukan secara sadar. Santrock juga
menyatakan, dengan metode role playing akan memungkinkan anak
mengatasi frustasi dan merupakan suatu medium bagi ahli terapi
untuk menganalisis konflik-konflik dan cara mengatasinya.
Sejarah panjang role playing sebelum diadopsi untuk latihan
calon pemeran adalah acara simulasi yang dilakukan oleh para raja
dan panglima perang sebelum melakukan perang yang sebenarnya.
Setelah raja dan panglima perang mengatur strategi perang yang
dilakukan di meja strategi (berisi peta dan keadaan alam dalam
bentuk miniatur) kemudian melakukan simulasi perang sesuai
dengan rencana strategi. Pelaku simulasi ini mewakili kekuatan yang
dibayangkan dalam rencana strategi perang. Meja strategi sekarang
diwujudkan dalam bentuk kerangka cerita atau teks lakon bagi calon
pemeran. Raja dan panglima perang pengatur strategi, sekarang
berwujud menjadi penulis lakon dan sutradara sebagai pelatih calon
pemeran.
Simulasi perang dilakukan selama ribuan tahun oleh bangsa
China dari suku Han, bangsa Romawi dan bangsa Eropa abad
pertengahan. Pada waktu itu bangsa Romawi dan Eropa sering
menyelenggarakan acara, dimana semua orang akan berpura-pura
menjadi orang lain. Konsep ini kemudian diadopsi oleh Dr. Jacob
Levy Moreno pada bidang psikologi. Pada tahun 1920-an, Dr.
Moreno menciptakan “eksperimental teater” untuk membantu setiap
orang memahami aspek yang berbeda dari kepribadian mereka
sendiri dan orang lain. Tahun 1932 konsep role playing
diperkenalkan kepada masyarakat luas, dengan anggapan bahwa
orang akan bisa lebih banyak belajar tentang dirinya dan orang lain
dalam menyelesaikan masalah sosial daripada hanya
membicarakannya saja.
Konsep dasar dari role playing adalah suatu cara yang
memungkinkan mengasah spontanitas kreatif dan mengekspresikan
dari kemampuan emosional tanpa menimbulkan kehebohan. Dr.
Moreno mengundang peserta pelatihan dan menyarankan untuk
bertindak keluar dari kebiasaan keseharian. Peserta pelatihan
tersebut pada gilirannya akan memainkan peran yang berbeda dari
kebiasaan kehidupan keseharian. Konsep itu kemudian menjadi
populer dengan sebutan “role playing”.
Pada akhir tahun 1960 role-playing dipandang sebagai
bentuk relaksasi yang menyenangkan dari psikoterapi masyarakat.
Gary Gygax dari Universitas Minnesota dianggap sebagai bapak role
playing modern. Dia mengembangkan seperangkat aturan tentang
role playing dan memasyarakatkan. Aturan itu kemudian pada tahun
1971 diterbit dan dipublikasikan kepada masyarakat dengan nama
chainmail (surat berantai). Dari konsep dasar role playing yang
sederhana kemudian berkembang menjadi permainan modern dan
berkembang luas di masyarakat. Konsep ini kemudian diadopsi oleh
teater sebagai media pelatihan calon pemeran. Konsep ini juga
diadopsi oleh dunia pendidikan sebagai salah satu metode
pembelajaran memecahkan masalah yang dihadapi oleh peserta
didik.
Permainan anak-anak pada waktu kecil juga dianggap
sebagai embrio dari role playing. Anak-anak sering bermain ‘pasar-
pasaran’, bermain ‘polisi-polisian’, bermain ‘bapak-ibu’, bermain
‘dokter-dokteran’, ‘guru-guruan’ dan lain-lain. Permainan pasar-
pasaran menuntut anak anak seperti di suasana pasar, dimana ada
penjual, pembeli dan peran-peran lain. Permainan polisi-polisian,
menuntut anak-anak seperti seorang polisi dan penjahat yang dikejar.
Semua permainan itu kalau dicermati, akan diidentifikasikan adanya
peran yang dimainkan, status dari peran yang dimainkan dan konteks
atau suasana dalam permainan. Ketika sedang bermain, anak-anak
tidak menjadi dirinya sendiri, melainkan keluar dari dirinya untuk
menjadi peran yang sedang dimainkan. Mereka berusaha untuk
menyakinkan diri bahwa mereka adalah polisi atau penjahat ketika
bermain ‘polisi-polisian’ atau menganggap sebagai dokter dan pasien
ketika bermain ‘dokter dokteran’. Semua kegiatan bermain itu untuk
mendapatkan rasa senang.
Konsep role playing kemudian digunakan oleh Commedia
dell’Arte pada abad 16 sebagai konsep pertunjukan. Pemeran dalam
Commedia dell’Arte tidak mengetahui berperan sebagai apa ketika
hendak pentas, tetapi peran dan cerita yang hendak dimainkan
ditentukan beberapa saat sebelum pementasan. Pada tahun 1950-an,
Viola Spolin dan Keith Johnstone mengembangkan role playing
sebagai konsep pelatihan aktornya. Mereka dan rombongan (Second
City) membuka kelas pelatihan aktor dengan menggunakan metode
“teater game”. Metode ini berisi permainan dimana calon pemeran
terlibat dalam permainan yang sedang dimainkan. Spolin
berkeyakinan bahwa pelatihan pemeran harus menyenangkan
sekaligus mulai memasuki peran lain.

c. Prinsip Dasar Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing)


Prinsip dasar proses bermain peran adalah bagaimana
komunikasi simbolik yang dialami oleh masing-masing siswa dapat
terjaga selama memerankannya. Untuk mempraktekkan
pembelajaran dengan bermain peran (Role Playing), maka terdapat
prinsip-prinsip dasar yang harus dimiliki oleh setiap pemeran
(Sa`diyah Halimatus, 2018:10), yaitu:
1) Masing-masing pemeran (peserta didik) bertanggung jawab pada
setiap yang dilakukan oleh kelompok permainan.
2) Masing-masing pemeran menyadari bahwa mereka adalah satu
kelompok dan satu tim.
3) Setiap kelompok bermain peran memiliki tujuan yang sama.
4) Pemberian tanggung jawab dan tugas pada setiap anggota
kelompok adalah sama.
5) Pemberian evaluasi pada setiap anggota kelompok.
6) Adanya pembagian kepemimpinan dan diperlukan adanya
keterampilan ketika proses pembelajaran role playing
berlangsung.
7) Permintaan pertanggung jawaban oleh setiap anggota kelompok
dari tugas peran yang telah dimainkannya.
Berdasarkan prinsip metode bermain peran menurut pendapat
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode bermain peran ini
harus melibatkan semua peserta didik yang berada di dalam kelas,
peserta didik juga mendapatkan perannya masing-masing, topik dari
materi harus juga dipersiapkan dan disesuaikan dengan metode yang
akan digunakan, guru dalam hal ini berperan sebagai sutradara dan
guru berperan untuk menentukan peran masing-masing peserta didik
di dalam kelas, secara tidak langsung metode ini juga memberikan
pembelajaran terhadap peserta didik dan membuat peserta didik
merasa bahagia karena merasa dirinya dihargai oleh lingkungannya.

d. Tujuan Metode Role Playing


(Mutiah, 2016) mengemukakan bahwa tujuan bermain peran
ditinjau dari aspek perkembangan dapat dioptimalkan,antara lain
adalah:
1) Bermain untuk Pengembangan Kognitif Anak.
a. Bermain membantu anak membangun konsep dan
pengetahuan Anak-anak tidak membangun konsep atau
pengetahuan dalam kondisi yang terisolasi, melainkan
melalui interaksi dengan orang lain.
b. Bermain membantu anak mengembangkan kemampuan
berpikir abstrak.Proses ini terjadi ketika anak bermain peran
dan bermain pura-pura. Makna dan objek masih berbaur
menjadi satu. Ketika anak bermain telepon-teleponan, anak
belajar bagaimana memahami perspektif orang lain,
menemukan strategi bermain bersama orang lain, dan
memecahkan masalah.
c. Bermain mendorong anak untuk berpikir kreatif. Bermain
mendukung tumbuhnya pikiran kreatif, karena dalam
bermain anak memilih sendiri kegiatan yang mereka sukai
belajar membuat identifikasi tentang banyak hal, belajar
menikmati proses sebuah kegiatan, belajar mengontrol diri
mereka sendiri dan belajar mengenali makna sosial dan
keberadaan diri di antara teman sebaya.
2) Bermain untuk mengembangkan Sosial-Emosional pada peserta
didik.
a. Bermain membantu anak mengembangkan kemampuan
mengorganisasi dan menyelesaikan masalah. Anak-anak
yang bermain mesti berpikir tentang bagaimana
mengorganisasi materi sesuai dengan tujuan mereka bermain.
Anak-anak yang bermain “dokter-dokteran”. Misalnya, harus
berpikir dimana ruang dokter, apa yang digunakan sebagai
stetoskop anak juga akan memikirkan tugas dokter dan
mempertimbangkan materi-materi tertentu, seperti warna,
ukuran, dan bentuk agar sesuai dengan karakteristik dokter
yang diperankan. Selama bermain itu, menurut Catron dan
Allen.
b. Bermain meningkatkan kompetensi sosial anak
Menurut Catron dan Allen dalam buku yang sama, bermain
mendukung perkembangan sosialisasi, seperti: interaksi
sosial, kerjasama, menghemat sumber daya dan peduli
terhadap orang lain.
c. Bermain membantu anak mengekspresikan dan mengurangi
rasa takut. Dengan menggunakan metode ini anak menjadi
lebih percaya diri dan mampu untuk mengekspresikan
pengetahuannya.

e. Langkah-langkah Bermain Peran (Role Playing)


Berikut adalah langkah-langkah metode pembelajaran Bermain
Peran (Role Playing) dalam pembelajaran (Sa`diyah Halimatus,
2018:8).
1) Langkah pertama adalah warming up atau pemanasan, yaitu
peserta didik diperkenalkan dengan situasi atau kondisi peran
tertentu yang disertai dengan contoh, sehingga peserta didik
tersebut mendapatkan gambaran imajinasi.
2) Langkah kedua adalah pemilihan pemeran, yaitu peserta didik
diberi karakter tokoh yang akan dimainkan. Pada langkah kedua
ini, ada dua cara yang dapat dilakukan. Apabila peserta didik
dalam kelas tersebut pasif, maka pengajar dapat menentukan siapa
berperan sebagai siapa atau apa. Tetapi, apabila peserta didik
dalam sebuah kelas telah mampu untuk menentukan perannya,
maka pengajar memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk
memilih dan memerankan peran masing-masing sesuai
kesepakatan mereka dengan anggota kelas yang lain.
3) Langkah ketiga yaitu penataan panggung. Dalam hal ini,
panggung dapat ditata secara sederhana maupun kompleks.
Konsep kesederhanaan adalah cukup mempersiapkan naskah
skenario, bahkan tanpa dialog. Sedangkan penataan panggung
yang kompleks cenderung memperhatikan kebutuhan pentas
secara detail, seperti kebutuhan kostum para pemeran. Meskipun
demikian, perlu diingat bahwa inti dari role playing bukan
kemewahan sebuah panggung tetapi peserta didik mampu
berperan dengan baik dan pesan dari setiap peran yang ada dapat
tersampaikan secara utuh.
4) Langkah keempat adalah pemilihan pengamat. Pada langkah
keempat ini, pengajar memilih beberapa peserta didik menjadi
pengamat. Peserta didik yang dijadikan sebagai pengamat juga
tetap diberi peran dalam permainan.
5) Langkah kelima adalah dimulainya permainan peran. Secara
spontanitas, permainan peran dilaksanakan. Di awal permainan,
akan ditemukan kebingungan pada peserta didik dalam bermain.
Apabila terjadi keluar jalur dari permainan, maka pengajar dapat
mengingatkan, bahkan menghentikan permainan.
6) Langkah keenam adalah tahap evaluasi. Pada langkah ini,
pengajar dan peserta didik mendiskusikan kelebihan serta
kekurangan dari permainan peran yang sudah dilakukan, misalkan
adanya peserta didik yang menginginkan berganti peran. Apapun
hasil dari evaluasi tidak menjadi problem.
7) Langkah ketujuh adalah permainan peran ulang. Pada langkah ini,
peserta didik bermain kembali dan seharusnya sudah sesuai
dengan skenario yang ada.
8) Langkah kedelapan adalah diskusi dan evaluasi. Evaluasi yang
kedua ini lebih mengarah pada hal-hal yang realistis. Sebagai
contoh, evaluasi terhadap peran pembeli yang membeli barang
dagangan dengan harga yang fantastis. Jual beli seperti itu dapat
dijadikan bahan diskusi dan evaluasi.
9) Langkah kesembilan adalah kesimpulan. Peserta didik diarahkan
untuk membuat konklusi dari peran yang telah dimainkan. Hal ini
dilakukan untuk memberikan arahan sikap yang seharusnya
dilakukan para pemeran dalam dunia nyata dan menjadi
pengalaman tersendiri bagi peserta didik.

Kesembilan langkah sebagaimana dijelaskan sebelumnya,


memacu semangat peserta didik untuk mengembangkan kemampuan
belajarnya. Pentingnya belajar kontekstual yang diwujudkan dalam
bentuk bermain peran akan dapat membantu mengingat pesan yang
seharusnya dilakukan begitu pula mengasah kemampuan bahasanya
yang secara spontan diajak untuk berproduksi secara optimal.
Meningkatkan motivasi tidak boleh diabaikan dan harus dituangkan
dalam langkah di atas untuk diperoleh hasil belajar yang optimal.

f. Kelebihan Metode Role Playing


Roleplay banyak digunakan dalam bidang psikologi, bidang
pendidikan, bidang komunikasi dan kemudian diadopsi oleh teater
sebagai metode pelatihan calon pemeran. Metode ini memiliki
kelebihan yang tidak dimiliki oleh metode lain. Kelebihan metode
roleplay (Subagiyo Heru, 2017:6) yaitu:
1) Media belajar kerjasama antar personal.
2) Media belajar bahasa yang baik dan benar.
3) Peserta bisa mengambil keputusan dengan cepat dan berekspresi
secara utuh.
4) Media evaluasi pengalaman pada waktu permainan berlangsung
5) Memberi kesan yang kuat dan tahan lama dalam ingatan.
6) Memberi pengalaman yang menyenangkan.
7) Membangkitkan gairah dan semangat optimis dalam diri peserta.
8) Menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang
tinggi.
9) Peserta dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan
mudah dan dapat memetik makna yang terkandung dalam
permainan tersebut.
10) Meningkat kemampuan profesional peserta

Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa metode


role playing dapat membantu peserta didik menjadi lebih mudah
dalam memahami materi yang diberikan dan juga akan lebih semangat
dalam mengikuti pembelajaran, hal ini disebabkan peserta didik yang
duduk di bangku sekolah dasar memiliki kesenangan bermain
sehingga jika pembelajaran dilaksanakan dengan bermain maka
peserta didik akan lebih semangat untuk mengikuti proses
pembelajaran.

g. Kekurangan Metode Role Playing


Kelemahan dari metode pembelajaran bermain peran (role
playing) (Imanizar Lulu, 2021) antara lain:
1) Pemain mungkin akan tidak berjalan dengan baik jika kondisi
kelas tidak mendukung. Untuk mengatasi masalah diatas maka
terlebih dahulu guru mengatur posisi tempat duduk sesuai
kelompoknya.
2) Masih sering mengalami kesulitan dalam memainkan peran secara
baik, khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak
difungsikan dengan baik. Maka dari itu guru harus menjelaskan
dengan detail terlebih dahulu tentang apa yang akan diperankan
dalam skenario.
3) Memakan banyak waktu untuk lancarnya dalam bermain peran,
diperlukan kelompok yang saling mengerti, daya imajinasi yang
tinggi, jujur, saling mengetahui lebih dalam masing-masing
pribadi. Dengan ini perlu disiapkan jam pelajaran matematika
yang benar-benar cukup untuk metode role playing.

3. Pembelajaran IPS
a. Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata
pelajaran yang diajarkan di Sekolah Dasar sesuai dengan kurikulum
Merdeka. Susanto (2016:138), menyatakan hakikat IPS adalah ilmu
pengetahuan yang mengkaji berbagai disiplin ilmu sosial dan
humaniora serta kegiatan dasar manusia yang dikemas secara ilmiah
dalam rangka memberi wawasan dan pemahaman yang mendalam
kepada peserta didik, khususnya di tingkat dasar dan menengah.
Winataputra (2009:117) mengungkapkan bahwa pengertian Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) atau social studies adalah ilmu pengetahuan
sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan, sedangkan isinya
adalah aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, sosiologi.
antropologi, psikologi, ilmu geografi dan filsafat yang dalam praktik
dipilih untuk tujuan pembelajaran di sekolah. Selanjutnya Sapriya
(2007:5), menjelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
merupakan bidang studi yang mempelajari, menelaah dan
menganalisis gejala dan masalah sosial di masyarakat ditinjau dari
berbagai aspek kehidupan secara terpadu.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat peneliti simpulkan bahwa
IPS merupakan salah satu ilmu yang mempelajari berbagai kejadian di
masyarakat dari berbagai aspek kehidupan manusia yang memuat
masalah sosial dalam rangka memberi wawasan dan pemahaman
kepada peserta didik. Melalui mata pelajaran IPS siswa diarahkan
menjadi warga yang bisa berpikir kritis terhadap masalah yang
dijumpai dalam kehidupan dan melatih untuk menemukan solusi dari
masalah tersebut.

b. Tujuan Pembelajaran IPS


Pembelajaran IPS memiliki beberapa tujuan yang ingin
dicapai. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22
tahun 2006 mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut :
a) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dan lingkungannya.
b) Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa
ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah dan keterampilan dalam
kehidupan sosial.
c) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.
d) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan
berkompetisi dalam masyarakat majemuk di tingkat lokal,
nasional dan global.

Susanto (2016:145) mengemukakan tujuan utama dari


pembelajaran IPS adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat,
memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan
yang terjadi dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi
sehari-hari baik menimpa dirinya sendiri maupun menimpa
masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa tujuan pembelajaran IPS adalah untuk mengembangkan
kemampuan berpikir siswa dalam memecahkan masalah yang
berkaitan dengan kehidupan sosial serta peserta didik memiliki
kemampuan yang baik dari aspek pengetahuan, keterampilan maupun
sikap sebagai bagian dari masyarakat dan warga negara. Setiap
disiplin ilmu yang bergabung dengan ilmu-ilmu sosial berusaha untuk
mengembangkan kajiannya sesuai dengan alur keilmuannya dan
menumbuhkan pengetahuan yang utuh.

c. Ruang Lingkup IPS


Semua mata pelajaran memiliki ruang lingkupnya masing-
masing disemua jenjang pendidikan. Ruang lingkup IPS menurut
PERMENDIKNAS nomor 22 tahun 2006 yaitu :
1) Manusia, tempat dan lingkungannya.
2) Waktu, keberlanjutan dan perubahan
3) Sistem sosial dan budaya
4) Perilaku ekonomi dan kesejahteraan.

d. Pembelajaran IPS di SD
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang
diajarkan pada anak di Sekolah Dasar. IPS di Sekolah Dasar tidak
bersifat keilmuan melainkan bersifat pengetahuan. Sapriya (2009:20),
mengemukakan bahwa IPS di SD merupakan mata pelajaran yang
berdiri sendiri sebagai integrasi dari sejumlah konsep disiplin ilmu
sosial, humaniora, sains bahkan berbagai isu dan masalah sosial
kehidupan. Susanto (2016:143), menyatakan bahwa pendidikan IPS di
SD merupakan bidang studi yang mempelajari manusia dalam semua
aspek kehidupan dan interaksinya dalam masyarakat.
Menurut Bruner dan Supriatna (2007:38), terdapat tiga prinsip
pembelajaran IPS di SD yaitu :
1) Pembelajaran harus berhubungan dengan pengalaman serta
konteks sehingga dapat mendorong mereka untuk belajar.
2) Pembelajaran harus terstruktur sehingga siswa belajar dari hal-hal
mudah kepada yang sulit.
3) Pembelajaran harus disusun sedemikian rupa sehingga
memungkinkan siswa dapat melakukan eksplorasi sendiri dalam
mengkonstruksi pengetahuannya.

4. Karakteristik Peserta Didik SD


Karakteristik peserta didik adalah salah satu hal yang penting
diketahui oleh pendidik, hal ini disebabkan karena karakteristik ini
merupakan acuan dalam membuat strategi mengajar. Instruksi strategis
meliputi metode serta teknik atau prosedur yang memastikan peserta
didik mencapai indikator keberhasilan dari kegiatan pembelajaran.
Karakteristik peserta didik mengacu pada sifat-sifat tertentu yang
dimiliki peserta didik, yang dimana sifat-sifat tersebut dapat
mempengaruhi tingkat keberhasilan peserta didik untuk mencapai tujuan
pembelajaran (Septianti & Afiani, 2020).
Perkembangan peserta didik untuk anak usia sekolah dasar terdiri
dari perkembangan usia, psikomotorik, fisik dan akademik. Karakteristik
perkembangan fisik masa kanak-kanak berusia 5 8 tahun, perkembangan
lebih lambat jika dibandingkan dengan pada masa kanak-kanak,
koordinasi mata berkembang dengan baik, otot-otot kecil masih belum
berkembang, kesehatan anak masih belum stabil atau mudah sakit.
Selanjutnya pada saat peserta didik berusia 8-9 tahun, koordinasi tubuh
meningkat, daya tahan tubuh meningkat, anak- anak biasanya menyukai
aktivitas fisik misalnya berkelahi atau gulat, koordinasi antara mata dan
juga tangan lebih baik, namun pada usia ini sistem peredaran darah
belum kuat dan koordinasi otot-saraf belum bagus. Dan pada usia 10-11
tahun, anak laki-laki lebih kuat jika dibandingkan dengan anak
perempuan, mengalami peningkatan pada tekanan darah dan
metabolisme tubuh.
Selain perkembangan fisik peserta didik sekolah dasar, adapun
perkembangan kognitifnya yakni, pada peserta didik usia 7 – 11 tahun
peserta didik sudah bisa menggunakan logikanya dalam menalar suatu
hal. Tahap ini dinamakan tahap operasional konkrit, dimana peserta didik
belajar untuk berpikir dengan menggunakan bantuan benda kongkrit.
Selanjutnya pada usia 12-15 peserta didik berada pada fase operasional
formal, peserta didik sudah bisa berfikir secara abstrak, dapat berfikir
logis dan juga mampu untuk menyimpulkan informasi yang di dapat
(Hayatil, 2021).
Pada dasarnya peserta didik sekolah dasar masih sangat menyukai
kegiatan yang menyenangkan, seperti bermain. Berdasarkan hal itu guru
tentunya harus bisa merancang pembelajaran dengan memfasilitasi
peserta didik untuk dapat bergerak dengan bebas dengan tetap berada
pada lingkungan atau situasi edukasi. peserta didik juga sangat menyukai
kegiatan belajar yang dilaksanakan secara berkelompok dan melakukan
peragaan langsung. Dengan mengetahui karakter karakter peserta didik
tersebut guru diharapkan mampu dapat menciptakan suasana belajar yang
dapat meningkatkan kualitas atau efektivitas pembelajaran. Dan hal ini
disesuaikan dengan kebutuhan serta kemampuan peserta didik di Sekolah
Dasar.
Peserta didik SD biasanya memiliki karakteristik yang dapat
terlihat ketika dalam proses belajar yaitu kecenderungan untuk belajar
secara konkret, integratif, dan hierarkis. Belajar secara konkret yaitu
peserta didik dapat mencapai pembelajaran yang maksimal melalui
proses belajar dengan memanfaatkan lingkungan sekitarnya.
Pembelajaran dapat lebih bermakna dan bernilai karena peserta didik
berkesempatan untuk menghadapi keadaan nyata dan faktual secara
langsung. Integratif dimaksudkan bahwa anak usia SD masih
memandang suatu hal dalam pembelajaran sebagai kesatuan dan terpadu.
Hierarkis bermakna bahwa peserta didik SD belajar mulai dari sesuatu
yang sederhana kemudian bertahap pada hal yang kompleks (Prawoto,
2014).

B. Penelitian yang Relevan


Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:
1. Aulia Ikhsan. 2022. “Improving the Speaking Skills of Junior High
School Students Through the Role Play Method”. The results showed
that the average score of students before the use of role-play was 57.3
which then increased in the first cycle with an average score of 66.7 with
an increase of 14%. Then the second cycle was carried out which showed
the average score of students to be 77 with an increase of 12.7% from the
first cycle.
2. Manan, Fazman. 2023. “The Effect of Role Playing Method on Student
Learning Outcomes in Social Studies Lessons in Grade IV Elementary
School”. The results showed that there was a significant influence on the
learning outcomes of experimental class students who received special
treatment with the Role Playing method compared to classes that were
treated with regular learning using varied lectures. The results of
affective observations in the experimental class were in the score range
of 18.71 which means it was in the high category and the control class
was in the score range of 11.9 which means it was in the low category.
The experimental class obtained an average improvement in learning
outcomes of 19.1 while the learning outcomes in the control class
increased by an average of 9.35.
3. Eva Sohifah. 2022. “Implementasi Metode Role Playing dalam
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V Dalam Pembelajaran IPS”.
Hasil Menunjukan bahwa penggunaan metode role playing dalam
pembelajaran IPS menemukan adanya peningkatan hasil belajar siswa.
Data yang ditemukan berdasarkan hasil persentase penggunaan role
playing oleh siswa pada siklus I diperoleh persentase sebesar 78,9% dan
pada siklus II persentasenya meningkat menjadi 100% dengan kategori
sangat baik. Sedangkan untuk nilai rata-rata tes hasil belajar siswa pada
siklus II 55% pada siklus I meningkat menjadi 70% kemudian dilakukan
perbaikan sehingga pada siklus II nilai rata-rata kelas meningkat menjadi
100% dengan kategori sangat baik.
4. Ainur Rofiq. 2021. "Pengaruh Penggunaan Metode Role Playing
Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama
Islam di SMP Bustanul Makmur Genteng". Berdasarkan hasil analisis,
diketahui bahwa data hasil belajar siswa dengan menerapkan metode role
playing di PAI kelas VIII A di SMP Bustanul Makmur Genteng, nilai ini
dapat dilihat bahwa nilai t count > t tabel (11.925> 2.026), tingkat
signifikansi 5% (0,05) lebih besar dari sig. (2-tailed) sebesar 0,000
(0,05> 0,000), Artinya ada pengaruh dalam penerapan metode role
playing terhadap hasil belajar siswa kelas VIII A di SMP Bustanul
Makmur Genteng. Nilai korelasi dari T test adalah 0,777 yang berarti
berada dalam kategori kuat atau tinggi.
5. Khairatul Insani. 2019. “Pengaruh Metode Role Playing Terhadap
Pemahaman Sejarah Pada Pembelajaran IPS Kelas V Mi Al Islam Kota
Bengkulu”. Hasil penelitian ini adalah t hitung ˃ t tabel (2,115 ˃ 2,002)
yang berarti hipotesis kerja (Ha) dalam penelitian ini diterima, yaitu
terdapat pengaruh metode Role Playing terhadap pemahaman sejarah
pada pembelajaran IPS kelas V MI Al Islam Kota Bengkulu. Sedangkan
hipotesis nihil (Ho) ditolak. Perbandingan hasil dari posttest nilai rata-
rata kelas eksperimen dan kontrol. Pada kelas eksperimen sebesar
69,83% sedangkan pada kelas kontrol sebesar 64,16%. Dengan demikian
melihat hasil nilai rata-rata dari kedua kelas tersebut,maka dapat
diketahui bahwa nilai rata-rata posttest hasil belajar peserta didik kelas
eksperimen yang menggunakan metode role playing lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil rata-rata posttest pada kelas kontrol.

C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan suatu hubungan yang berkaitan antara
variabel satu dengan variabel yang lain dalam penelitian (Sugiyono, 2019).
Kerangka konsep dalam penelitian ini yaitu variabel bebas (X) dengan
variabel terikat (Y) yang akan diamati atau diukur melalui penelitian yang
akan dilaksanakan.
Bagan 2.1
Kerangka Konsep

x Y
Keterangan :
X : Metode Role Playing
Y : Motivasi Belajar

Berdasarkan pernyataan diatas dapat dijelaskan bahwa peneliti akan


mencari Pengaruh Penerapan Metode Role Playing Terhadap Motivasi
Belajar Peserta Didik Pada pembelajaran IPS Kelas V Dalam Satu Gugus
Sekolah Dasar.

D. Hipotesis
Hipotesis penelitian berdasarkan deskripsi teori dan kerangka konsep
yang telah diuraikan di atas, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Ha: Terdapat pengaruh penerapan metode Role Playing terhadap


motivasi belajar peserta didik pada pembelajaran IPS kelas V Dalam
Satu Gugus Sekolah Dasar.

2. Ho: Tidak terdapat pengaruh penerapan metode Role Playing terhadap


motivasi belajar peserta didik pada pembelajaran IPS kelas V Dalam
Satu Gugus Sekolah Dasar.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif sebagai prosedur penelitian yang akan menghasilkan data berupa
angka-angka dan umumnya dianalisis menggunakan statistic deskriptif atau
inferensial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Pre-
Experimental Designs dengan one group pretest-posttest design merupakan
desain untuk melihat perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan
treatment/intervensi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh metode role playing terhadap motivasi belajar peserta didik pada
pembelajaran IPS kelas V dalam satuan gugus sekolah dasar.

Penggunaan desain penelitian one-group pretest-posttest design


ini dapat mengetahui keberhasilan dari metode yang diterapkan secara lebih
pasti dengan melakukan pemberian angket dan observasi. Selain itu dengan
menggunakan metode ini maka hasil yang diperoleh akan lebih akurat
karena ada tahapan sebelum dan sesudah diberi perlakuan terhadap
penerapan metode pembelajaran. Desain ini dapat digambarkan sebagai
berikut.

Tabel 3.1
Desain Penelitian

Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test

Eksperimen O1 X O2

(Sumber: Sugiono, 2019:79)

Keterangan:

27
O1 : kelas eksperimen sebelum diberikan perlakuan
O2 : kelas eksperimen setelah diberikan perlakuan

B. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari objek atau individu yang memiliki


karakteristik tertentu yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh peserta didik kelas V dalam Satuan Gugus Sekolah
Dasar yang berjumlah 100 siswa.

Alasan kelas V dijadikan populasi karena permasalahan mengenai


rendahnya motivasi belajar peserta didik pada pembelajaran IPS yang
ditemukan oleh peneliti berada di kelas dan di sekolah tersebut.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki pada populasi. Sampel yang
dijadikan penelitian adalah semua anggota dari populasi. Alasan
pengambilan sampel secara keseluruhan adalah jumlah populasi yang
diteliti relatif kecil dan homogen, sehingga pengambilan sampel
sebanyak 103 siswa sudah cukup untuk mewakili populasi tersebut.

Tabel 3.2

Nama Sekolah Jumlah Peserta Didik

SD Negeri 1 Banyuurip 34

SD Negeri 1 Banyumas 28

SD Negeri 1 Sinarmulya 23

SD Negeri 2 Sinarmulya 15

Total 100

(Sumber: Wali Kelas V SD )


3. Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel kelas pada penelitian ini dilakukan dengan


menggunakan sampling jenuh (purposive sampling).

Alasan menggunakan teknik sampling ini adalah untuk mengetahui


serta mengumpulkan data secara keseluruhan karena jumlahnya yang
masih sedikit dan dengan teknik sampling ini maka semua responden
dapat memberikan informasi data.

C. Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional variabel adalah penjelasan tentang variabel-
variabel yang diamati dalam penelitian, dengan tujuan untuk menciptakan
kesepadanan antara peneliti dan pembaca, serta menghindari
kesalahpahaman maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Penelitian ini terdiri
dari 2 variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat.

No Variabel Defini Operasional Indikator Alat Ukur

1 Variabel bebas (X) Metode pembelajaran 1. Mampu memerankan Tes performance


dalam penelitian ini role playing tokoh sesuai karakter
adalah metode role merupakan cara yang yang dituntut pe
playing, variabel bebas digunakan guru dengan lafal yang
merupakan variabel dalam proses jelas dan intonasi
yang memungkinkan, pembelajaran dengan yang tepat.
menyebabkan, memberikan suatu 2. Mampu memberi
memengaruhi, atau topik atau tanggapan dari
berefek terhadap permasalahan yang pementasan yang
variabel Y. dipecahkan oleh dilaksanakan
peserta didik dengan kelompok lain dengan
memainkan peran tepat dan bahasa yang
dalam hal ini terkait sopan.
pembelajaran.

2 Variabel terikat (Y) Motivasi juga dapat 1. Adanya hasrat dan Angket motivasi
dalam penelitian ini keinginan berhasil; belajar
diartikan sebagai
adalah motivasi 2. Adanya dorongan dan
belajar, variabel terikat keadaan internal kebutuhan dalam
merupakan hasil dari belajar;
dalam diri peserta
pengaruh variabel 3. Adanya harapan dan
bebas X. didik yang
cita-cita masa depan;
4. Adanya penghargaan
mendorongnya untuk
dalam belajar;
belajar. 5. Adanya kegiatan
menarik dalam
belajar;
6. Adanya lingkungan
belajar yang kondusif
sehingga
memungkinkan
seseorang siswa dapat
belajar dengan baik.

D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang disebutkan dalam penelitian ini
adalah salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan data empiris
pada saat penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
a. Angket
Angket atau kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau
pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Tujuan
penyebaran angket adalah untuk mengumpulkan data tentang sikap,
pendapat, perilaku, dan karakteristik responden. Angket diberikan
kepada kelas eksperimen bertujuan untuk mengetahui perbedaan
antara motivasi belajar peserta didik pada pembelajaran IPS kelas 5
yang menggunakan metode role playing dan yang menggunakan
metode konvensional. Angket ini berupa 15 butir daftar pernyataan
tentang motivasi belajar siswa sebelum diberi perlakuan dan setelah
diberi perlakuan, 15 butir pernyataan tentang pengaruh metode role
playing terhadap motivasi belajar siswa pada mata pelajaran IPS.
Untuk mengukur motivasi belajar siswa peneliti menggunakan
Skala Likert.
Pernyataan setiap item instrumen dengan menggunakan skala
Likert terdiri dari dua kategori yaitu pernyataan positif dan
pernyataan negatif dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1
Skala Likert

Bobot Bobot
N Pilih skor skor
o. an
(+) (-)
1 SS : Sangat Setuju 4 1
2 S : Setuju 3 2
3 KS: Kurang Setuju 2 3
4 TS : Tidak Setuju 1 4

Adapun kisi-kisi angket instrumen penelitian dapat dilihat pada tabel


3.2 berikut:
No. soal Juml
N Variabel Indikator ah
o. + -
1 Pengaruh a. Aktif belajar 2, 9 8, 4
. dengan metode 14

role playing
metode role
b. Peserta didik lebih
playing 5, 6, 5
termotivasi belajar
12,
dengan metode 13,
role playing 15
c. Pendidik
menciptakan suasana 1, 7, 6
10, 11
yang
3, 4
menyenangkan

2 Motivasi a. Menunjukkan minat 1, 3, 5, 4


. belajar siswa b. Adanya hasrat dan 4, 10 13 2
keinginan berhasil
c. Lebih senang bekerja 6 2
mandiri 12
d. Adanya dorongan dan 2, 15 3
kebutuhan dalam 11
belajar 9 4
e. Tekun menghadapi 7,
tugas 8,
14
Jumlah 30

b. Observasi
Observasi yaitu alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengamati dan mencatat sistematik gejala-gejala yang diselidiki.
Observasi ini merupakan data pendukung untuk memperoleh data
mengenai motivasi belajar siswa kelas V di beberapa Sekolah
Dasar pada mata pelajaran IPS. Peneliti melihat dan mengamati
secara langsung dalam kegiatan belajar mengajar terutama pada
mata pelajaran IPS. Observasi yang dilakukan adalah observasi non
partisipatif pengamat tidak ikut langsung dalam kegiatan yang
berlangsung, pengamat hanya mengamati kegiatan yang sedang
berlangsung. Dalam penelitian ini yang menjadi observer adalah
teman sejawat.

E. Validitas dan Reliabilitas Instrumen


a. Uji Validitas
Uji validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana
pengukur dapat mengukur apa yang ingin diukur. Suatu instrumen bisa
dikatakan valid jika mempunyai dukungan yang kuat terhadap skor
soal. Uji validitas pada penelitian ini, menggunakan uji Korelasi
Product Moment. Uji Korelasi Product Moment dilakukan dengan cara
mengukur Korelasi, yaitu korelasi antara butir-butir pertanyaan dengan
skor pertanyaan secara keseluruhan. Adapun cara menghitungnya yaitu
dengan menggunakan rumus Korelasi Product Moment sebagai berikut:
Keterangan:
Rxy : Koefisien korelasi Product Moment
N : Jumlah Peserta tes
∑x : Jumlah skor item X
∑y : Jumlah skor item Y
∑xy : Jumlah perkalian antara X dan Y

1. Jika r hitung > r tabel maka pernyataan tersebut dinyatakan valid.


2. Jika r hitung < r tabel maka pernyataan tersebut dinyatakan tidak
valid.
3. Nilai r hitung dapat dilihat pada kolom corrected item total
correlation.

b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas merupakan suatu ukuran yang menunjukan pada tingkat
kepercayaan atau konsistensi suatu instrumen. Menurut Sugiyono
(2017: 130) menyatakan bahwa uji reliabilitas adalah sejauh mana hasil
pengukuran dengan menggunakan objek yang sama, akan menghasilkan
data yang sama. Pada penelitian ini cara menentukan instrumen reliabel
atau tidak menurut Arikunto (2010: 231) yakni dengan menggunakan
rumus KR 20:

Keterangan:
r11 = reliabilitas instrumen
k = banyaknya butir soal
Σσb 2 = jumlah varians butir

σt2 = varian total

Kriteria suatu instrumen penelitian dapat dikatakan reliabel, jika


koefisien ( r 11) > 0,6.

F. Teknik Analisis Data


1. Uji Pra syarat
a. Uji Normalitas Data
Uji normalitas data dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
apakah data kelas sampel dapat berdistribusi atau tidak. Dalam
penelitian ini uji normalitas data dilakukan dengan bantuan SPSS
(Statistical Product and service Solution). Untuk menguji
normalitas data, peneliti menggunakan metode uji Kolmogorov
Smirnov.

Keterangan:
n = jumlah data
fi = frekuensi
fki = frekuensi kumulatif
y−μ
z
σ
Dtabel = Da(n)

Keputusan:
Ho ditolak apabila Dhitung ≥ Dtabel
2. Uji Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu pernyataan sementara yang belum kuat
kebenarannya, oleh sebab itu perlu dilakukan uji t. Uji hipotesis
dilakukan setelah melakukan uji normalitas dan uji homogenitas.
Hipotesis nol (Ho) sebenarnya harus diuji secara statistika dan
merupakan pernyataan yang bertentangan dengan keyakinan penelitian.
Sedangkan hipotesis alternatif (Ha atau H1) atau hipotesis kerja hanya
mengekspresikan keyakinan peneliti tentang ukuran populasi. Uji
hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji-t berpasangan
(Paired t-test), artinya apabila t hitung > t tabel maka Ho (ditolak).
Alasan penulis menggunakan alat analisis ini adalah karena dalam
penelitian ini digunakan dua sampel yang berpasangan. Sampel
berpasangan ini sebagai sebuah subjek yang sama namun mengalami dua
perlakuan atau pengukuran yang berbeda, yaitu sebelum dan setelah
diberi perlakuan (treatment).
Rumus yang digunakan dalam uji-tes berupa uji Paired Sample t-Test
sebagai berikut:

t = Nilai t hitung
D = Rata-Rata pengukuran sampel 1 dan 2

SD = Standar deviasi pengukuran sampel 1 dan 2


N = Jumlah sampel

Untuk menginterpretasikan Paired sample t-test terlebih dahulu harus


ditentukan:
- Nilai α
- df (degree of freedom) = N-k
Untuk paired sample t-test df = N - 1
- Bandingkan nilai t-hitung dengan nilai t-tabel
Selanjutnya t hitung tersebut dibandingkan dengan t tabel dengan tingkat
signifikansi 95%. kriteria pengambilan keputusannya adalah:
T tabel > T hitung = Ho diterima atau Ha ditolak.
T tabel < T hitung = Ho ditolak atau Ha diterima.
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, N. A., Abidin, Y., & Rahmayanti, F. 2022. Analisis Penggunaan


Metode Pembelajaran Role Playing dalam Meningkatkan Hasil
Belajar Kelas V di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Tambusai,
6(2), 9010-9018.
Amna Emda. 2017. Kedudukan Motivasi Belajar Siswa Dalam
Pembelajaran. Lantanida Journal 5(2): 93–196.
A.M, Sardiman, 2018. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Depok :
Rajawali Pers.
Arianti. 2018. Peranan Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar
Siswa.Jurnal. Kependidikan: Didaktika, Vol. 12, No. 2.
Nurjan, Syarifah. 2015. Psikologi Belajar. Ponorogo: Wide Group.
Aulia, C., Intiana, S. R. H., & Tahir, M. 2022. Pengaruh Metode Bermain
Peran terhadap Hasil Belajar Bahasa Indonesia Siswa. Journal of
Classroom Action Research, 4(1), 58-61.
Gusmuliana, P., Apriani, E., & Syafrudin, S. 2021. Improving Students
Speaking Motivation by Using Role Play Technique at Institute
Islamic in Indonesia.
Imanizar, L., Manalu, S., & Napitupulu, N. L. (2021). Penerapan
role playing pada pembelajaran Matematika Sekolah Dasar.
Himpunan: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Matematika, 1(1),
41-46.
Insani, K. 2019. Pengaruh Metode Role Playing Terhadap Pemahaman
Sejarah Pada Pembelajaran IPS Kelas V Mi Al Islam Kota Bengkulu
(Doctoral Dissertation, Iain Bengkulu
Latifah, L. 2019. Peningkatan motivasi belajar Ips Melalui Metode Role
Playing Di Kelas Tinggi Sekolah Dasar. Ummi, 13(3), 163-172.
Manan, M., Fazman, F., & Kamarudin, K. 2023. The Effect of Role Playing
Method on Student Learning Outcomes in Social Studies Lessons in
Grade IV Elementary School. Riwayat: Educational Journal of
History and Humanities, 6(1).
Nugroho, A. S. 2013. Meningkatkan Penguasaan Konsep Dengan metode
Pembelajaran Konsep Dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.
Jurnal Penelitian Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 1(2), 1-11.

35
Nurjanna, N. 2021. Pengaruh Metode Role Playing Terhadap Hasil Belajar
Siswa Pada Mata Pelajaran Ips Kelas Iv Sdn 229 Lamunre
(Doctoral Dissertation, Universitas Cokroaminoto Palopo).
Oemar Hamalik. 2012. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Pratiwi, H. N. 2013. Peningkatan Hasil Belajar Melalui Metode Role
Playing Dalam Pembelajaran IPS Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 1(2), 1-10.
Rahmad, R. (2016). Kedudukan ilmu pengetahuan sosial (IPS) pada
sekolah dasar. Muallimin: Jurnal Madrasah Ibtidaiyah, 2(1), 67-78.
Rofiq, Ainur; Mashuri, Imam. Pengaruh Penggunaan Metode Role Playing
Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan
Agama Islam Di Smp Bustanul Makmur Genteng. Mumtaz : Jurnal
Pendidikan Agama Islam, [S.L.], V. 1, N. 1, P. 001-011, Dec. 2021.
Issn 2809-204x. Available At:
<Https://Ejournal.Iaiibrahimy.Ac.Id/Index.Php/Mumtaz/Article/Vie
w/1123>. Date Accessed: 10 July 2023.

Sa`diyah Halimatus, 2018. Bermain Peran (Role Playing) Dalam


Pembelajaran Maharah Al-Kalam Di Pkpba Uin Maliki Malang.
Jurnal Tarbiyatuna Volume 3 Nomor 2 Hlm. 1 - 29.
Sahifah, E., & Ridwan, I. R. 2022. Implementasi Metode Bermain Peran
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V Dalam
Pembelajaran IPS. In Prosiding Didaktis: Seminar Nasional
Pendidikan Dasar (Vol. 7, No. 1, pp. 249-259).

Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Manajemen. Bandung: Alfabeta,cv.


Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan RND.
Bandung: Alfabeta.

Susanto, A. 2014. Pengembangan pembelajaran IPS di SD.


Kencana.

Syaharuddin, S., & Mutiani, M. 2020. Strategi Pembelajaran IPS: Konsep


dan Aplikasi.
Yusup, F. 2018. Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian
kuantitatif. Tarbiyah: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 7(1).

Anda mungkin juga menyukai