Anda di halaman 1dari 7

Kehujjaan Hadis dan

Pandangan Orientalis
Dosen Pengampu: Dr. Kaharuddin, M.Pd.I.

Oleh:

Dian Rahmawati (21 0101 0010)


Ananda Syafitri (21 0101 0021)
A. Kehujjaan Hadis
Diterima dan ditolaknya sebuah hadis hingga menjadi hadis
yang berkualitas butuh beberapa syarat agar bisa dijadikan hujjah
(dasar hukum) agama, baik itu dari hadis shahih, hasan, dan dha’if.
Karena dari sini bisa dilihat mana yang harus dijadikan hujjah dan
tidak bisa sama sekali dijadikan hujjah. Beberapa syarat dan
penjelasan mengenai hadis-hadis yang bisa dijadikan hujjah, hanya
hadis yang dilihat dari segi kualitasnya saja, yaitu:
1. Kehujjaan Hadis Shahih 2. Kehujjaan Hadis Hasan
Kehujjahan hadis Shahih sudah disepakati Sebagaimana pandangan ulama hadis tentang hadis
Shahih dan hadis hasan yang keduanya sama-sama bisa
oleh ulama, dari ulama hadis, ushul, maupun fiqh
dijadikan hujjah Ketika sudah diketahui kualitas hadisnya baik
bahwa bisa dijadikan hujjah atau hukum secara
dari hadis Hasan li dzatihi dan Hasan li ghairihi. Tetapi disisi
umum, tetapi pernyataan ini dibatasi ketika
lain para ulama berbeda pendapat dalam hal rutbah atau
menetapkan masalah halal dan haram, berbeda
urutannya untuk diamalkan dan dijadikan hujjah, karena
ketika berhubungan dengan masalah akidah. perbedaan kualitas dari hadis tersebut berbeda-beda.
Karena masih ada perselisihan ketika Kesimpulannya, hanya hadis secara kualitas perawi dan matan
menggunakan hadis Shahih sebagai hujjah dalam dapat dipercaya maka hadis tersebut telah disepakati oleh para
masalah akidah, ketika dilihat dari segi ulama untuk bisa diamalkan dan bisa dijadikan dasar hukum
kualitasnya. Bagi sebagian para ulama dalam hal (syariat Islam). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa
akidah hadis yang dijadikan hujjah atau dasar hadis hasan lidzatihi dan hasan lighairihi yang bisa mencapai
hukum harus berasal dari al-Qur‟an dan juga kualitas sehingga bisa dijadikan hujjah harus mencapai beberapa
hadis mutawatir, bukan dari hadis Ahad dan kriteria, karena hakikat dari hadis ini hanya karena tidak
Shahih yang tidak tercela karena tetap saja bukan kuatnya hafalan (kurang dhabit) dari perawi yang meriwayatkan
dalil qath‟i. tetapi dari segi sanad bersambung, rawinya adil, tidak ada syadz,
dan tidak ada illat hanya lemahnya daya ingat perawi.
3. Kehujjahan Hadis Dho’if
Tingkatan sanad paling bawah setelah hadis hasan untuk dijadikan hujjah. para ulama membagi dalam
tiga pendapat mengenai pengamalan hadis dha’if:

2. Menurut Imam Ibn Hajar al-


1. Menurut pendapat Asqalani: 3. Mengenai kehujjahan
madzhab Imam Malik, a. Hadis tersebut khusus hanya hadis menurut pendapat
Syafi‟i, Yahya bin Ma‟in, untuk fadha ilul a‟mal atau Abu Daud dan Imam
Abdurrahman bin Mahdi, targhib dan arhib, tidak
diperbolehkan untuk hal-hal
Ahmad berpendapat hadis
Bukhari, Muslim, Ibnu yang berkaitan dengan akidah, dha’if boleh diamalkan
Abdil Bar, Ibnu Hazm, dan ahkam, atau tafsir al-qur’an. secara mutlak dan lebih
para ahli hadis yang lain b.Saat menyampaikan atau disukai dari pada
membawakannya wajib
menyatakan secara mutlak memberikan bayan (penjelasan) berpedoman pada akal
bahwa hadis dha‟if tidak bahwa hadis tersebut dha‟if dan qiyas.
bisa dijadikan hujjah c. Hadis tersebut tidak boleh
meskipun untuk digunakan diyakini sebagai sabda Nabi
SAW dan tidak boleh
sebagai fadhailul a’mal. dimasyhurkan.
B. Pandangan Orientalis
Orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran Hongaria (1850-
1920 M.) melalui karyanya berjudul: Muhamedanische Studien pada tahun 1980 yang berisi pandangannya tentang hadis ini
menurut M. Musthafa Azami.Tetapi Pendapat ini dibantah oleh A.J. Wensinck bahwa orientalis pertama yang mengkaji hadis
adalah Snouck Hurgronje yang menerbitkan bukunya: Revre Coloniale Internationale tahun 1886. dari banyaknya pendapat
bahwa Goldziher lah yang telah berhasil menanamkan keraguan terhadap otentisitas hadis yang dilengkapi dengan studi-studi
ilmiah yang dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai ’kitab suci’ oleh para orientalis sendiri.

Goldziher menyatakan bahwa kebanyakan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab koleksi hadis mengandung ’semacam
keraguan ketimbang dapat dipercaya’. Ia menyimpulkan bahwa hadis-hadis itu bukan merupakan dokumen sejarah awal Islam,
akan tetapi lebih merupakan refleksi dari tendensi-tendensi (kepentingan-kepentingan) yang timbul dalam masyarakat selama
masa kematangan dalam perkembangan masyarakat. Kemudian .Dalam pandangan kebanyakan orientalis, adalah hadis hanya
merupakan hasil karya ulama dan ahli fiqh yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multi dimensional. Mereka
menganggap bahwa hadis tidak lebih dari sekedar ungkapan manusia atau jiblakan dari ajaran Yahudi dan Kristen. Hamilton Gibb
menyatakan bahwa hadis hanya merupakan jiblakan Muhammad dan pengikutnya dari ajaran Yahuudi dan Kristen. Sementara
Ignaz Goldziher dan Joseph Schatch, dua pemuka orientalis, menyatakan bahwa hadis tidak bersumber dari Nabi Muhammad,
melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua Hijriyah sebagai akibat dari perkembangan Islam.
Kesimpulan
Sikap dan pandangan orientalis yang menyangsikan atau
meragukan kebenaran hadis tersebut dapat berdampak negatif
baik bagi ajaran Islam, umat Islam, maupun non muslim.
Dampak-dampak itu salah satunya adalah Adanya kesan negatif
tentang Islam dan khususnya hadis di mata orang-orang Barat
yang membaca dan bahkan terpengaruh oleh pemikiran-
pemikiran para orientalis itu. Hal ini dapat menyebabkan salah
pengertian (misunderstanding) dan salah persepsi
(misperception) mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai