Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN

PENYAKIT CONGENITAL PADA PASIEN HISFRUNG

A. KONSEP DASAR PENYAKIT HISFRUNG


1. DEFINISI
Penyakit Hirschsprung merupakan suatu penyakit yang menyerang sistem pencernaan
manusia, terutama menyerang usus besar (colon). Pada penyakit ini, dijumpai pembesaran
usus besar (megacolon), akibat absennya sel ganglion pada bagian distal usus. Penyakit
Hirschsprung sering menyerang neonatus bahkan anak-anak, yang sering ditandai dengan
keterlambatan pengeluaran mekonium pertama, muntah bilious, distensi abdomen .
Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan menekan feses hingga ke rectum. Pada
penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk mengontrol otot pada organ
usus tidak ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak dapat terdorong, seperti fungsi
fisiologis seharusnya (Henna N, 2011)
Segmen yang terkena bisa sangat pendek. Tampil pada usia muda dengan konstipasi
parah Enema barium bisa menunjukkan penyempitan segmen dengan dilatasi colon di
proksimalBiopsi rectum bisa mengkonfirmasi diagnosisjika jaringan submukosa di
cakupTerapi simtomatik bisa bermanfaat tetapi kebanyakan pasien memerlukan
pembedahan.

2. PENYEBAB/FAKTOR PREDISPOSISI
Penyebab belum diketahui tetapi diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan, sering
terjadi pada anak down syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio pada dinding anus,
gagal eksistensi, kranio kaudal pada menyentrik dan submukosa dinding plexus (Nurarif dan
Kusuma, 2019).
1) Gangguan Migrasi Sel Krista Saraf
Enteric nervous system (ENS) merupakan persarafan pada dinding usus yang
berperan mengatur fungsi normal usus. Pembentukan ENS terjadi dari prekursor sel
krista vagal yang bermigrasi di usus dari rostral ke kaudal, pada usia gestasi 3–8
minggu. Adanya kegagalan selama migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel krista
menyebabkan sel-sel prekursor ENS tidak dapat mengkolonisasi usus bagian distal.
Kegagalan tersebut mengakibatkan tidak adanya sel-sel ganglion, atau
aganglionik, pada pleksus saraf, sehingga terjadi aktivitas berlebihan pada usus dengan
pelepasan asetilkolin secara persisten. Hal ini mengakibatkan kontraksi terus-menerus
pada bagian usus aganglionik, biasanya di kolon bagian distal, dan dilatasi sekunder
progresif pada kolon proksimal yang sehat.[4,5,7]
2) Faktor Genetik
Berbagai faktor trofik, reseptor sel, faktor transkripsi, dan pensinyalan antar
molekul diperlukan agar ENS dapat berkolonisasi pada usus janin. Oleh sebab itu, defek
genetik merupakan faktor predisposisi terjadinya Hirschsprung disease.
Beberapa gen yang diduga berhubungan dengan Hirschsprung disease, dan telah
banyak diteliti, antara lain RET, GDNF, dan GFRα1. Gen RET merupakan proto-
onkogen, yang mengkode reseptor tirosin kinase RET. Gen GDNF mengkode protein
GDNF, yang merupakan ligand bagi RET. GDNF dan GFRα1 akan membentuk
kompleks, yang mengaktifkan RET. Selanjutnya, RET akan mengalami autofosforilasi,
dan mengaktifkan jalur RET yang mengatur peran embrionik dari sel krista saraf
enterik, termasuk migrasi, pertahanan, proliferasi, dan diferensiasi.
Pada keadaan normal, GDNF diekspresikan pada mesenkim usus yang sedang
berkembang, dan memberi sinyal kepada RET dan GFRα1. Ekspresi GDNF terjadi ke
arah kaudal, sehingga sel krista enterik dapat mengkolonisasi usus. Terjadinya mutasi
pada salah satu gen tersebut menyebabkan sel krista saraf tidak bisa bermigrasi dan
berkembang dengan normal.

3. PATOFISIOLOGI
Penyakit Hirschprung ditimbulkan karena kegagalan migrasi kranio-kaudal dari cikal
bakal sel ganglion sepanjang usus pada minggu ke 5 sampai minggu ke 12., yang
mengakibatkan terdapatnya segmen aganglionik. Dalam segmen ini, peristalsis propulsif
yang terkoordinasi akan hilang dan sfingter anal internal gagal untuk mengendor pada saat
distensi rektum. Hal ini menimbulkan obstruksi, distensi abdomen dan konstipasi. Segmen
aganglionik distal tetap menyempit dan segmen ganglionik proksimal mengalami dilatasi.
Hal ini tampak pada enema barium sebagai zona transisi. (Fardah,2006)
Aganglionosis bawaan dari usus distal mendefinisikan penyakit Hirschsprung.
Aganglionosis dimulai dengan anus, yang selalu terlibat, dan terus proksimal untuk jarak
variabel. Baik myenteric (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) pleksus tidak hadir,
sehingga peristaltik usus berkurang dan fungsi. Mekanisme yang tepat yang mendasari
perkembangan penyakit Hirschsprung tidak diketahui. sel ganglion enterik berasal dari
puncaksaraf. Dalam perkembangan normal, neuroblasts akan ditemukan di usus kecil pada
ke-7 kehamilan dan akan mencapai usus besar pada minggu 12 gestation. Satu etiologi
yang mungkin untuk penyakit Hirschsprung adalah sebuah cacat dalam migrasi ini
neuroblasts menyusuri jalan setapak mereka usus distal. Atau, migrasi yang normal dapat
terjadi dengan kegagalan neuroblasts untuk bertahan hidup, berkembang biak, atau
membedakan di segmen aganglionik distal. distribusi abnormal di usus yang terkena
komponen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan neuronal dan pembangunan, seperti
fibronektin, laminin, sel saraf adhesion molecule (NCAM), dan faktor neurotropik,
mungkin bertanggung jawab untuk teori ini. Selain itu, pengamatan bahwa sel-sel otot
polos usus aganglionik adalah elektrik tidak aktif ketika menjalani studi elektrofisiologik
juga menunjukkan komponen myogenic dalam pengembangan Hirschsprung disease.
Akhirnya, kelainan pada sel-sel interstitial, sel saraf enterik menghubungkan alat pacu
jantung dan usus halus otot, juga telah didalilkan sebagai factor. Kontribusi penting Tiga
pleksus saraf usus innervate: yang submukosa (yaitu, Meissner) pleksus, (yaitu, Auerbach)
intermuskularis pleksus, dan mukosa pleksus lebih kecil. Semua pleksus yang halus
terintegrasi dan terlibat dalam semua aspek fungsi usus, termasuk penyerapan, sekresi,
motilitas, dan aliran darah (Lee,2009).
Motilitas normal terutama di bawah kendali neuron intrinsik. fungsi usus
memadai, meskipun kehilangan persarafan ekstrinsik. ganglia ini mengontrol kontraksi dan
relaksasi otot polos, dengan relaksasi mendominasi. kontrol ekstrinsik terutama melalui
serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menyebabkan kontraksi, dan serat
terutama menyebabkan inhibisi adrenergik. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung,
sel-sel ganglion tidak hadir, yang mengarah ke peningkatan yang ditandai dalam usus
persarafan ekstrinsik. Persarafan dari kedua sistem kolinergik dan sistem adrenergik 2-3
kali dari persarafan normal. Sistem (rangsang) adrenergik diperkirakan mendominasi atas
sistem (penghambat) kolinergik, menyebabkan peningkatan nada otot polos. Dengan
hilangnya penghambatan saraf intrinsik enterik, nada yang meningkat
4. PATHWAY

o
Hisprung

Tidak adanya neuron meissner


dan aurbach sdi segmen
rectosigmoid colon

Serabut serat dan otot polos


menebal

Tidak adanya peristaltic serta


spingter rectum sehingga tidak
mempunyai daya dorong

Daya propulsit tak ada, proses


evakuasi feses dan udara
terganggu

Pasase usus terganggu

Obstruksi dan dilatasi bagian


proksimal

Refleks inhibisi rektrospingter


Feses lama dalam kolon rektum
terganggu. Sehingga Spingter ani
interna tidak relaksasi

Peregangan secara kronik saat Pelepasan isi rectum tanpa


Konstipasi Inkontinensia Fekal
defekasi disadari
5. KLASIFIKASI
Pemeriksaan patologi anatomi dari penyakit hirschprung, sel ganglion Auerbach dan Meissner
tidak ditemukan serabut saraf menebal dan serabut otot hipertofik. Aganglionis ini mulai dari
anus kearah oral. Berdasarkan (Tang & Li, 2018) panjang segmen yang terkena, penyakit
hirschprung dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori:
1) Penyakit hirschprung segmen pendek / short-segment HSCR (80%) segmen
aganglionosis dari anus sampai sigmoid. Merupakan 80% dari kasus penyakit
hirschprung dan sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
2) Penyakit hirschprung segmen panjang / long-segment HSCR (15%) daerah
aganglionosis dapat melebihi sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh kolon dan
sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan.
3) Total colonic aganglionosis (5%) bila segmen mengenai seluruh kolon.

6. GEJALA KLINIS
Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
1) Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti pita.
2) Obstruksi usus dalam periode neonatal
3) Nyeri abdomen dan distensi
4) Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evaluai
meconium
5) Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang membaik secara
spontan maupun dengan edema
6) Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut.
7) Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam.
8) Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.
9) Gejala hanya konstipasi ringan
Manifestasi klinis penyakit hirschsprung terbagi menjadi dua periode, yaitu periode neonatal
dan periode anak-anak.
a) Periode Neonatal.
Trias gejala klinis yang sering ditemukan pada penyakit hirschsprung yaitu,
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau, dan distensi abdomen. Muntah
hijau dan distensi abdomen biasanya dapat dikeluarkan segera. Pengeluaran mekonium
yang terlambat lebih dari 24 jam merupakan tanda klinis yang signifikan pada
HSCRNamun, pengeluaran normal mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan
didapatkan pada sebagian besar kasus TCA, yang mana tidak menunjukkan gejala
klasik seperti seharusnya sesuai dengan jenis HSCR lainnya (Setiadi, Haikal, &
Sunanto, 2021).
b) Periode Anak-anak.
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive)Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di
dinding abdomen, jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feses biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau busuk, penderita biasanya buang air
besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi
(Setiadi, Haikal, & Sunanto, 2021).

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema
merupakan pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi PH secara dini pada neonatus.
Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung pada kesadaran
dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, disamping teknik yang baik dalam
memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakkan diagnosis
a. Poto Polos Abdomen
PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah.
Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara (gambar1). Gambaran obstruksi usus letak
rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti
atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya
enterokolitis nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis
lain seperti peritonitis intrauterine ataupun perforasi gaster. Pada foto polos abdomen
neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu mudah dibedakan. Pada
pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran masa feses lebih jelas
dapat terlihat.Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi usus karena
adanya gas.Enterokolitis pada PH dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang
ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang
disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut
dapat terlihat jelas dengan barium enema.

Gambar 1. Foto polos abdomen pada


b. Barium noenatus
enema dengan PH.
Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan keterlambatan
evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan muntah hijau, meskipun
dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah mereda atau
menghilang. Tanda klasik khas untuk PH adalah segmen sempit darisfingter anal dengan
panjang segmen tertentu, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi (zona
transisi), dan segmen dilatasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Theodore, Polley, dan Arnold dari tahun 1974
sampai 1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema dapat mendiagnosis 60% dari 99
pasien dengan PH. Dalam literatur dikatakan bahwa pemeriksaan ini mempunyai
sensitivitas 65-80% dan spesifisitas 65-100%.8 Hal terpenting dalam foto barium enema
adalah terlihatnya zona transisi.
Zona transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan pada foto barium
enema yaitu 1. Abrupt, perubahan mendadak; 2. Cone, berbentuk seperti corong atau
kerucut; 3. Funnel, bentuk seperti cerobong. Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat
juga dilihat pada foto barium enema dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak
teratur. Juga terlihat gambar garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium
mengisi lumen kolon yang berada dalam keadaan kosong.Pemerikasaan barium enema
tidak direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis karena adanya resiko
perforasi dinding kolon.
c. Foto retensi barium
Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema merupakan hal
yang penting pada PH, khusunya pada masa neonatus. Foto retensi barium dilakukan
dengan cara melakukan pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat retensi barium.
Gambaran yang terlihat yaitu barium membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam
kolon berganglion normal. Retensi barium dengan obtipasi kronik yang bukan
disebabkan PH terlihat semakin ke distal, menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema barium ataupun yang dibuat
pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda PH.Apabila terdapat jumlah retensi barium
yang cukup signifikan di kolon, hal ini juga meningkatkan kecurigaan PH
2. Anorectal manometry
Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson pada tahun 1949
dengan memasukkan balón kecil dengan kedalaman yang berbeda- beda dalam rektum dan
kolon. Alat ini melakukan pemeriksaan objektif terhadap fungsi fisiologi defekasi pada
penyakit yang melibatkan spingter anorektal. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen
dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta
sistem pencatat seperti poligraph atau komputer.
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
1) Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2) Tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik; Motilitas usus normal digantikan oleh kontraksi yang tidak
terkoordinasi denganintensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda.
3) Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal tidak berkembang. Tidak
dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feses.
Tidakdijumpai relaksasi spontan
Keuntungan metode pemeriksaan anorektal manometri adalah aman, tidak invasif dan
dapat segera dilakukan sehingga pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan
anestesi umum

gambaran manometri anorekatal,yang memakai balon berisi


udara sebagai transducernya. Padapenderita Hirschsprung
(kanan), tidak terlihat relaksasi sfingter ani.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Standar diagnosis untuk PH adalah pemeriksaan histopatologi yang dapat dikerjakan
dengan open surgery atau biopsi isap rektum. Pada kolon yang normal menampilkan adanya
sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner).
Diagnosis histopatologi PH didasarkan atas absennya sel ganglion pada kedua pleksus
tersebut. Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf
(parasimpatis). Pada beberapa pusat pediatric dengan adanya peningkatan asetilkolinesterase
di mukosa dan submukosa disertai dengan manifestasi gejala yang khas dan adanya foto
barium enema yang menunjukkan adanya zona transisi sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis PH. Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi
umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit
tindakan bedah definitif selanjutnya.

Pengecatan Acetylcholinesterase dari


biopsy hisap rectum. Normal rektum
menunjukan minimal aktivitas
Acetylcholinesterase dari lamina
propia dan ganglion submukosa

Penyakit Hirschsprung
dikarakteristikan dengan peningkatan
positif acetylcholinesterase di lamina
propia dan penebalan serabut saraf di
submukosa.
8. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pembedahan pada kasus yang parah atau bayi yang sakit biasanya meliputi
kolostomi sementara pada bagian usus yang memiliki inervasi normal dan pengangkatan
usus aganglionik. Pembedahan korektif definitif (prosedur penyembuhan) dilakukan 3-6
bulan kemudian dan ostomi ditutupPada bayi yang mengalami penyakit Hirscsprung sebagai
penyakit kronis, perawatan pembedahan, medis, dan psikososial yang dilakukan seumur
hidup mungkin diperlukan untuk memperbaiki kualitas hidup(Axton Sharon,2018)
a) Pembedahan Korelatif Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi
pelvik pada prosedur Swenson dalam penanganan penyakit Hirschprung. Pemilihan
prosedur Duhamel pada penanganan hirschprung karena dianggap lebih aman dan
komplikasi pasca operasi lebih minimal Prosedur Duhamel dilakukan pada penyakit
hiresprung tipe klasik atau tipe rektosigmoidprinsip dasar prosedur ini adalah menarik.
kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang
aganglionik menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding
anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side (bagian kolon yang mengalami gangguan diangkat dan dua
bagian yang sehat akan disambungkan kembali) sfingter ani internus. Anastomosis
dilakukan dengan pemasangan 2 buah klem Kocher dimana: dalam jangka waktu 6-8
hari anastomosis telah terjadiStenosis dapat terjadi akibat pemotongan septum yang
tidak sempurnaProsedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering
terjadi stenosis (penyempitan), inkontinensia dan pembentukan fekaloma (struktur
menyerupai batu) di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.
(Holschneider & Langer,2019)
2. Penatalaksanaan keperawatan
mencakup memberikan asuhan pasca opersi melaksanaan perawatan ostomidan memberikan
edukasi kepada anak dan keluarga Penatalaksanaan prapembedahan pada klien Hirschsprung
adalah
1) Memantau fungsi usus (peristaltik) dan karakteristik feses
2) Memberikan spooling dengan air garam fisiologis bila tidak ada kontraindikasi
3) Penatalaksanaan medis dalam rencana pembedah
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERWATAN PADA ANAK PENYAKIT HISFRUNG
1. PENGKAJIAN
1. Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan
tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada
segmen aganglionsis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh
kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan(Ngastiyah,
1997)
2. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir Trias yang sering ditemukan
adalah meconium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung,
muntah berwarna hijau Gejala lain adalah muntah dan diare.
b) Riwayat penyakit sekarang
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional Obstruksi total saat lahir
dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi meconium bayi sering
mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama
beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga
konstipasi ringan, enterocolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare
berbau busuk dapat terjadi.
c) Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit Hisrchprung.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.
e) Riwayat Persalinan
Proses persalinan apa yang dilalui seorang bayi apakah aterm atau preterm
f) Riwayat imunisasi
Imunisasi dilakukan agar anak dapat mencegah virus maupun bakteri ke tubuh anak
yang rentan. 14 imunisasi wajib dilakukan sejak bayi sampai anak-anak
3. Pemeriksaaan Fisik
Pemeriksaan yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis. Pada survey umum terlihat
lemah dan gelisah. TTV biasa didapatkan hipertermi dan takikardia dimana menandakan
terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi dan demam bisa
didapatkan pada kondisi syok atau sepsis.
Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipatan paha, dan rectum akan didapatkan :
• Inspeksi : tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan
rectum dan feses akan didapatkan adanya perubahan feses seperti pita dan berbau
busuk.
• Auskultasi : pada fase awal didapatkan penurunan bisisng usus, dan berlanjut
denganhilangnya bising usus.
• Perkusi : timpani akibat abdominal mengalami kembung
• Palpasi : teraba dilatasi kolon abdominal
1. Sistem kardiovaskuler
Takikardia
2. Sistem pernafasan
Sesak nafas, distress pernafasan
3. Sistem pencemaan
Umumnya obstipasi. Perut kembung/ perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada
anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan
dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja
yang menyemprot
4. Sistem saraf
Tidak ada kelainan
5. Sistem muskuloskeletal
Gangguan rasa nyaman: nyeri
6. Sistem endokrin
Tidak ada kelainan
7. Sistem integumen
Akral hangat, hipertermi

2. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
a) Konstipasi b.d aganglionik d.d defekasi kurang dari 2 kali semnggu , pengeluaran
feses lama dan sulit , feses keras, peristaltic usus menurun , mengejan saat defekasi,
distensi abdomen , kelemahan umum, dan teraba massa pada rektal
b) Inkontinensia fekal b.d Kehilangan fungsi pengendalian sfingter rectum d.d tidak
mampu mengontrol pengeluaran feses , tidak mampu menunda defekasi, feses keluar
sedkit- sedikit dan sering, bau feses, dan kulit perianal kemerahan
3. PERENCANAAN

No Diagnosis Tujuan / Kriteria hasil Intervensi Rasional


1. Konstipasi (D.0049) b.d Setelah di lakukan intervensi Intervensi Utama Intervensi Utama
aganglionik d.d keperwatan selama ..x.. jam Manejemen Eliminasi Fekal (I.04151) Manajemen Eliminasi Fekal (I.04151)
defekasi kurang dari 2 maka diharapkan Eliminasi Observasi : Observasi :
kali seminggu, fekal (L.04033) membaik 1) Identifikasi masalah usus dan 1. Untuk menentukan obat pencahar
pengeluaran feses lama dengan kriteria hasil : penggunaan obat pencahar yang di gunakan / di berikan
dan sulit, feses keras, 1) Control pengeluaran 2) Identifikasi pengobatan yang 2. Untuk mencegah efek yang
peristaltic usus feses meningkat berefek pada kondisi timbul dan berefek pada
menurun, mengejan 2) Keluhan defekasi lama gastrointestinal gastrointestinal
saat defekasi, distensi dan sulit menrun 3) Monitor buang air besar(mis,warna, 3. Untuk menentukan apakah
abdomen, kelemahan 3) Mengejan saat defekasi frekuensi,konsistensi , volume ) pasientersebut konstipasi / tidak
umum, teraba massa menurun 4) Monitor tanda dan gejala diare, 4. Untuk mengetahui tanda dan
pada rektal 4) Distensi abdomen konstipasi, atau impaksi gejala konstipasi
menurun Terapeutik : Terapeutik :
5) Teraba massa pada rektal 1) Berikan air hangat setelah makan 1. Karena air hangat dapat
menurun 2) Jadwalkan waktu defekasi membantu konsentrasi jauh lebih
6) Urgency menurun Bersama pasien lunak dan membantu pergerakan
7) Nyeri abdomen menruun 3) Sediakan makanan tinggi serat usus, sehingga kotoran mudah
8) Kram abdomen menurun dikeluarkan
9) Konsistensi feses
membaik
10) Frekuensi BAB 2. Agar jadwal sesuai dengan
membaik keinginan pasien
11) Peristaltic usus membaik 3. Untuk mencegah terjadinya
konstipasi

Edukasi : Edukasi :
1) Jelaskan jenis makanan yang 1. Agar klien mengetahui jenis
membantu meningkatkan makanan yang dapat membantu
keteraturan peristaltic usus meningkatkan keteraturan
2) Anjurkan mencatat warna, peristaltic usus
frekuensi,konsistensi, volume feses 2. Untuk mengetahui masalah BAB
3) Anjurkan meningkatkan aktivitas 3. Aktivitas fisik dapat
fisik sesuai toleransi mempengaruhi kinerja tonus otot
4) Anjurkan pengurangan asupan abdomen ,pelvi dan diafragma
makanan yang meningkatkan sehingga dapat membantu
pembentukan gas kelancaran proses defekasi
5) Anjurkan mengonsumsi makanan 4. Gas hasil fermentasi meyebabkan
yang mengandung tinggi serat kembung dan sakit perut
6) Anjurkan meningkatkan asupan 5. Untuk merangsang usus besar
cairan, jika tidak ada kontra untuk bekerja lebih aktif dan
indikasi melunakkan tekstur feses agar
tidak kering dan padat sehingga
mudah di keluarkan
6. Meningkatkan asupan cairan
untuk mempermudah kinerja
usus

Kolaborasi : Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian obat 1. Untuk mengatasi konstipasi
supositoria anal, jika perlu

Manajemen Konstipasi ( I.04155) Manajemen Konstipasi ( I.04155)


Observasi : Observasi :
1) Periksa tanda dan geala konstipasi 1. Untuk memonitor tada dan
2) Periksa pergerakan usus gejala adanya konstipasi
,karakteristik feses (konsistensi, 2. Untuk mengecek peristaltic uusu
bentuk, volume dan warna) apakah ada peningkatan bunyi
3) Identifikasi factor resiko konstipasi usus
(mis obat- obatan ,tirah baring dan 3. untuk mengetahui penyebab
diet rendah serat) pasien tersebut konstipasi
4) Monitor tanda dan gejala ruptor 4. untuk mengetahui apakah ada
ususdan atau peritonitis terjadinya rupor usus atau
peritonitis
Terapeutik : Terapeutik :
1) Anjurkan diet tinggi serat 1. Merangsang usus besar
2) Lakukan massage abdomen, jika utukbekeja lebih aktf dan
perlu melunakkan tekstur feses agar
3) Lakukan evakuasi feses secara tidak kering dan padat shingga
manual, jika perlu lebih mudah di keluarkan
4) Berikan enema atau irigasi, jika 2. Membantu untuk merangsang
perlu peristaltic usus dan memperkuat
otot – otot abdomen serta
membantu system pencernaan
sehingga dapat berlangsung
dengan lancar serta salah satu
terpai komplementer yang mampu
mencegah dan mengurangi
gangguan pada system
gastrointestinal
3. Untuk mengeluarkan feses yang
keras
4. Merangsang mekanisme
peristaltic kolon sehingga
merangsang buang air besar .
Edukasi : Edukasi :
1) Jelaskan etiologic masalah dan 1. Agar klien mengetahui penyebab
alasan tindakan dari masalah yang dialamai dan
2) Anjurkan peningkatan asupan Tindakan yang di lakukan
cairan, jika tidak ada kontra 2. Meningkatkan asupan cairan
indikasi untuk mempermudah kinerja usus
3) Latih buang air besar secara teratur 3. Agar pasien mengetahui jadwal
4) Ajarkan cara mengatasi yang untuk BAB
konstipasi/impaksi 4. Agar tidak terjadi konstipasi

Kolaborasi :
Kolaborasi :
1. Untuk mencegah dan mengobati
1) Konsultasi dengan tim medis
konstipasi
tentang penurunan / peningkatan
2. Mengolaborasikan pemberian
frekuensi suara usus
obat pada pasien utuk mengobati
2) Kolaborasi peggunaan obat
konstipasi
pencahar, jika perlu

2. Inkontinensia fekal Setelah di lakukan intervensi Intervensi Utama Intervensi Utama


(D.0041) keperawatan selama …x.. jam Latihan Eliminasi Fekal (I. 04150) Latihan Eliminasi Fekal (I. 04150)
b.d Kehilangan maka diharapkan Kontinensia Observasi : Observasi :
fungsi pengendalian Fekal (L.04035) membaik 1) Monitor peristaltic usus secara 1. Untuk mengetahui peningkatan
sfingter dengan kriteria hasil : teratur atau penurunan peristaltic usus
rectum d.d tidak
mampu mengontrol 1) Kemampuan mengontrol Terapeutik : Terapeutik :
pengeluaran feses, pengeluaran feses 1) Anjurkan waktu yang konsisten 1. Agar frekuensi BAB dapat
tidak mampu meningkat untuk buang air besar berjalan dengan teratur
menunda defekasi, 2) Kemampuan menunda 2) Berikan privasi, kenyamanan dan 2. Agar pasien dapat melakukan
feses keluar sedkit- pengeluaran feses posisi yang meningkatkan proses BAB dengan baik
sedikit dan sering, bau membaik defekasi 3. Untuk meningkatkan peristaltic
feses, dan kulit 3) Frekuensi BAK 3) Gunakan enema rendah, jika perlu usus
perianal kemerahan membaik 4) Anjurkan dilatasi rektal digital, jika 4. Untuk mengevauasi struktur anus
4) Kondisi kulit perianal perlu 5. Agar frekuensi BAB teratur
membaik 5) Ubah program latihan eliminasi
fekal, jika perlu
Edukasi : Edukasi :
1) Anjurkan mengonsumsi makanan 1. Agar dapat mencegah terjadinya
tertentu , sesuai program atau hasil konstipsi
konsultasi 2. Meningkatkan asupan cairan
2) Anjurkan asupan cairan yang untukmeningkatkan kinerja usus
adekuat sesuai kebutuhan 3. Aktivitas fisik dapat
3) Anjurkan olahraga sesuai toleransi mempengaruhi kinerja tonus otot
abdomen ,pelvi dan diafragma
sehingga dapat membantu
kelancaran proses defekasi
Kolaborasi : Kolaborasi :
1) Kolaboasi penggunaan supositoria, 1. Sebagai obat pencahar untuk
jika perlu mengatasi konstipasi

Perawatan Inkotinensia Fekal (I.04162) Perawatan Inkotinensia Fekal


(I.04162)
Observasi : Observasi :
1) Identifikasi penyebab 1. Untuk mengetahui penyebab dari
inkontinensisa fekal baik fisik inkontinensia fekal
maupun psikologis (mis. gangguan 2. Untuk mengetahui perubahan
saraf motoric bawah, penurunan frekuensi defekasi dan konsistensi
tonus otot, gangguan sfingter feses
rectum, diare kronis, gangguan 3. Untuk mengetahui kondisi kulit
kongnitif, stress berlebihan ) perianal pasien
2) Identifikasi perubahan frekuensi 4. Untuk mengetahui keadekuatan
defekasi dan konsistensi feses evakuasi feses
3) Monitor kondisi kulit perianal 5. Untuk mengetahui obat yang
4) Monitor keadekuatan evakuasi feses menyebabkan gangguan
5) Monitor diet dan kebutuhan cairan gastrointestinal
6) Monitor efek samping pemberian 6. Untuk mengetahui efek obat
obat terhadap tubuh pasien
Terapeutik : Terapeutik :
1) Bersihkan daerah perianal dengan 1. Agar daerah tetap bersih dan
sabun dan air terawat
2) Jaga kebersihan tempat tidur dan 2. Agar pasien merasa nyaman dan
pakaian terawatt
3) Laksanakan program Latihan usus 3. Untuk mendorong pergerakan
(bowel training ), jika perlu usus yang normal
4) Jadwalkan BAB di tempat tidur , 4. Dilakukan jika pasien bedrest dan
jika perlu proses defekasi tetep berjalan
5) Berikan celana dengan baik
pelindung/pembalut/popok, sesuai 5. Agar pasein tetap bersih pada saat
kebutuhan BAB
6) Hindari makanan yang 6. Mencegah tejadinya diare
menyebabkan diare
Edukasi : Edukasi :
1) Jelaskan definisi, jenis 1. Agar pasien menegtahui apa yang
inkontinensia, penyebab di maksud dengan inkotinensia
inkontinensia fekal fekal
2) Anjurkan mencatat karakteristik 2. Untuk mengetahui karakteristik
feses feses pada saat BAB
Kolaborasi : Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian obat diare 1. Untuk mengobati diare dan
(mis loperamide, atropine ) mencegah terjadinya diare
• Referensi
Pasumarthy L and Srour JW. Hirschsprung’s Disease:A Case To Remember. Practical
Gastroenterology. 2008:42-45
Theodore Z, Polley JR, Coran GA. Hirschsprung's Disease In The Newborn. Pediatric
Surgery International. 1986:80-83.
Tamboyong.Jan.2012. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta:EGC
Kessmann : J. 20013 . Hisfrung’s Disease: Diagnosis and Management. American Family
Physician; 74:1319-1322
Ayu ines. 2011 “ Gejala dan Diagnosis Penyakit Hisfrung “
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/5351/4100/ . di akses pada
tanggal 5 Oktober 2023.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.Jakarta Selatan:
Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.Jakarta Selatan:
Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.Jakarta Selatan:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

Anda mungkin juga menyukai