13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja
Februari 4, 2021 LBH Sembada 0 Comments
Kehadiran RUU Cipta Kerja atau biasa disebut Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi polemik
di Indonesia karena materi muatannya yang memicu banyak pro dan kontra. Namun Undang-
Undang a quo tetap disahkan oleh DPR-Pemerintah tanggal 5 Oktober 2020 dalam rapat
peripurna DPR dengan 6 fraksi menyetujui, 1 fraksi menyetujui dengan catatan dan 2 fraksi
menolak. Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang terkesan mengejutkan dan ditutup-
tutupi mendapat penolakan dari sejumlah kalangan. Mulai dari akademisi yang menyatakan
sikap, organisasi masyarakat, mahasiswa, hingga kalangan buruh yang merasa haknya terancam.
Puncaknya, terjadi sejumlah aksi demonstrasi menolak UU sapu jagad ini.
Banyak sekali norma hukum yang ada di pasal UU Cipta Kerja yang menimbulkan
kekhawatiran, salah satunya dibidang Ketenagakerjaan. Berikut beberapa pasal yang berubah
dari UU Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja:
Undang-Undang 13 Tahun 2003 ttg Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 ttg Cipta
Ketenagakerjaan Kerja
Pasal 59
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya
Ayat (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
menurut jenis dan sifat atau kegiatan
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu sebagai berikut: Pekerjaan yang sekali
yaitu: Pekerjaan yang sekali selesai atau yang
selesai atau yang sementara sifatnya;Pekerjaan
sementara sifatnya;Pekerjaan yang diperkirakan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
yang tidak terlalu lama;Pekerjaan yang bersifat
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;Pekerjaan
musiman;Pekerjaan yang berhubungan dengan
yang bersifat musiman; atauPekerjaan yang
produk baru, kegiatan baru, atau produk
berhubungan dengan produk baru, kegiatan
tambahan yang masih dalam percobaan atau
baru, atau produk tambahan yang masih dalam
penjajakan; atauPekerjaan yang jenis dan sifat
percobaan atau penjajakan.
atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
Berdasarkan table diatas, bisa dilihat bahwa pada huruf b, UU Cipta Kerja menghilangkan frasa
“paling lama 3 (tiga) tahun”. Pada UU Cipta Kerja juga menghapuskan ketentuan mengenai
PKWT atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang sudah melewati jangka waktu
maksimal 2 tahun ditambah 1 tahun yang akan berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu secara hukum (perjanjian kerja tetap). Hal ini akan berimplikasi pada hilangnya
kesempatan pekerja kontrak untuk merubah status dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.
Dalam tabel diatas, terlihat bahwa frasa “kebutuhan hidup layak” sebagai pertimbangan
penetapan upah minimun dihilangkan. Yang dimaksud kebutuhan hidup layak adalah standar
kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 bulan.[1]
Perhitungan upah minimun dihitung berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
Padahal variabel tersebut bisa saja belum mempresentasikan kebutuhan hidup layak bagi para
pekerja. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri karena ketentuan yang diubah seperti ini bisa
saja menjauhkan kebijakan pengupahan minimum yang pada dasarnya ditujukan untuk
memberikan penghidupan yang layak bagi para pekerjanya.
Pasal 151 pada dasarnya merupakan upaya perlindungan bagi para pekerja agar tidak terjadi
PHK sepihak. Ketika terjadi ketidaksepakatan antara pihak terkait saat melakukan PHK, maka
negara akan hadir lewat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Tetapi hal ini berubah dengan hadirnya Pasal 151 ayat (2), tepatnya pada frasa “Dalam hal
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja
diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh/dan/atau serikat pekerja/serikat buruh”.
Adanya frasa ini dikhawatirkan akan menimbulkan perilaku PHK sepihak oleh perusahaan
tanpa melakukan perundingan sebelumnya.
Perbedaan yang mencolok dari kedua rumusan pasal tersebut adalah hilangnya kalimat “dapat
mengajukan pemutusan hubungan kerja”. Hal ini tentu berdampak pada pindahnya kewenangan
untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Jika pada Pasal 172 UU Ketenagakerjaan,
kewenangan untuk menentukan PHK ada di tangan pekerja yang mengalami cacat akibat
kecelakaan kerja maka pada Pasal 154 A UU Cipta Kerja menjadi kewenangan tersebut menjadi
berpindah ke tangan pengusaha. Hal ini tentu akan memberikan ketidakadilan untuk pekerja
yang menjadi disabilitas karena kecelakaan kerja. Padahal jika menelaah lebih lanjut, pada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang DIsabilitas, Pasal 11 huruf d
menegaskan bahwa para penyandang disabilitas tidak diberhentikan karena alasan disabilitas.[2]