Anda di halaman 1dari 64

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL

DENGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA


KELAS V SD NEGERI 1 WAMEO

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Untuk Menyelesaikan Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Meteologi Penelitian

DISUSUN OLEH:
YONGKY INDRAWAN

NPM. 032101035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON
BAUBAU
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL

DENGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA

KELAS V SD NEGERI 1 WAMEO

Oleh:

YONGKY INDRAWAN
NPM. 032101035

Telah diperiksa dan disetujui Oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Fitriani B S.Pd.,M.Pd
NIDN. NIDN.

Mengetahui,
Ketua Program Studi

Acoci S.Pd.,M.Pd
NIDN.

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL.......................................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN.......................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................iv
DAFTAR TABEL........................................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................vi
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................5
C. Tujuan penelitian..............................................................................................6
D. Manfaat Penelitian...........................................................................................8
BAB II KAJIAN PUSTAKA......................................................................................9
A. Kecerdasan Emosianal.....................................................................................9
B. Perliaku Bullying............................................................................................15
C. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Perikalu Bullying............28
D. Penelitian Relevan..........................................................................................31
E. Kerangka Berpikir.........................................................................................32
F. Hipotesis..........................................................................................................33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...............................................................34
A. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................................34
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian...................................................................34
C. Variabel Penelitian dan Definisi Variabel....................................................35
D. Definisi Operasional.......................................................................................36
E. Populasi dan Sampel......................................................................................37
F. Teknik Pengumpulan Data............................................................................39
G. Kisi-kisi Instrument........................................................................................39

iii
H. Teknik Validasi Instrumen Penelitian..........................................................41
I. Teknik Analisis Data......................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................47
LAMPIRAN ..............................................................................................................49

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ............................................................................49

Gambar 2 ............................................................................49

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1 ............................................................................40

Tabel 2 ............................................................................40

Tabel 3 ............................................................................41

Tabel 4 ............................................................................44

vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 ............................................................................46

Lampiran 2 ............................................................................48

vii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya yang

sadar dan terencana untuk menciptakan lingkungan belajar dan proses

pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi mereka dalam hal spiritualitas, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan untuk diri mereka

sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pendidikan memiliki tujuan yang mulia, yaitu untuk mengembangkan

kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang

berkepribadian tinggi, dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan

bangsa. Selain itu, tujuan pendidikan juga meliputi pengembangan potensi

peserta didik agar menjadi individu yang memiliki iman dan takwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berpengetahuan, berkompeten, kreatif,

mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Pendidikan tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga mencakup aspek-

aspek karakter dan emosional siswa. Oleh karena itu, pemahaman dan

pengembangan kecerdasan emosional menjadi bagian integral dalam mencapai

tujuan pendidikan yang komprehensif.

1
2

Kecerdasan emosional memainkan peran yang sangat penting dalam

menentukan keberhasilan siswa. Emosi yang tidak terkendali dapat menghambat

siswa yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi untuk mencapai potensi

maksimal mereka. Tanpa kecerdasan emosional, siswa mungkin tidak mampu

mengelola emosi mereka dengan baik, yang dapat mempengaruhi kemampuan

mereka dalam menggunakan kecerdasan mereka secara efektif (Melida, 2021).

Daniel Goleman, seorang ahli psikologi, menyatakan bahwa kecerdasan

emosional (EQ) berkontribusi sebanyak 80% terhadap keberhasilan seseorang

dalam kehidupan, sedangkan kecerdasan intelektual (IQ) hanya berkontribusi

sebanyak 20% (Sumiati, 2012). Temuan ini menunjukkan betapa pentingnya

pengembangan kecerdasan emosional bagi siswa dalam mencapai keberhasilan

baik di sekolah maupun dalam kehidupan secara keseluruhan.

Tujuan utama dari pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan

kapabilitas dan bakat peserta didik. Efektivitas dalam penyelenggaraan

pendidikan sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang kondusif, yang dihasilkan

oleh kerjasama semua elemen dalam membimbing peserta didik mencapai tujuan

yang ditargetkan. Dengan cara ini, peserta didik dapat mengembangkan

kecerdasan emosional mereka secara positif dan terlindungi dari tindakan

intimidasi atau bullying.


3

Bullying, menurut Komnas HAM (Hak Asasi Manusia), merupakan

bentuk kekerasan fisik dan psikologis jangka panjang yang dilakukan oleh

seseorang atau kelompok terhadap individu yang tidak mampu mempertahankan

diri dalam situasi di mana ada niat untuk melukai, menakuti, atau membuat orang

tersebut tertekan, trauma, dan merasa tidak berdaya. Di kalangan pelajar, terlihat

prevalensi yang tinggi dalam bentuk pengeroyokan sebagai bentuk penyelesaian

konflik dengan main hakim sendiri. Fenomena ini sangat memprihatinkan karena

mencerminkan kurangnya budaya yang seharusnya ada dalam menyelesaikan

masalah dengan cara yang bermartabat. Pelaku sering kali meniru situasi serupa

yang terjadi di sekitarnya atau melalui paparan media seperti televisi (Putra,

2022).

Berdasarkan informasi yang ditemukan dari Republika Online, Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat sebanyak 2.355 kasus

pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI hingga Agustus

2023. Rincian kasus tersebut meliputi 87 kasus anak sebagai korban

bullying/perundungan, 27 kasus anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan, 24

kasus anak korban kebijakan pendidikan, 236 kasus anak korban kekerasan fisik

dan/atau psikis, serta 487 kasus anak korban kekerasan seksual. Terdapat pula

kasus-kasus lainnya yang tidak dilaporkan ke KPAI.

Komisioner KPAI Pj Kluster Kekerasan Fisik/Psikis Anak, Diyah

Puspitarini, menjelaskan bahwa beberapa faktor penyebab tingginya angka


4

kekerasan di lingkungan satuan pendidikan antara lain adalah dampak

pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama masa pandemi COVID-19 yang

menyebabkan learning loss, pengaruh game online dan media sosial yang masih

banyak menampilkan konten kekerasan yang tidak ramah anak, serta

penyimpangan relasi kuasa antara pendidik dengan peserta didik.

Selain itu, masih terdapat masalah dalam struktur kurikulum dan metode

pembelajaran yang terlalu fokus pada capaian target kognitif saja, kurangnya

perhatian terhadap pendidikan penguatan karakter, pengawasan yang lemah dari

satuan pendidikan, serta kendali kebijakan dan regulasi dalam implementasi dari

dinas pendidikan. Masalah lainnya termasuk rendahnya kontrol diri anak,

kehidupan keluarga yang tidak harmonis, kebijakan sekolah dalam menciptakan

rasa aman dan ramah terhadap siswa, serta rendahnya pengawasan dan disiplin

positif di satuan pendidikan.

KPAI menganggap bahwa kekerasan anak di lingkungan satuan

pendidikan merupakan kondisi darurat yang harus ditangani melalui pendekatan

perlindungan khusus.

Fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika sekolah,

maraknya kasus bullying di lakukan di sekolah yang beritakan di televisi dan

media sosial hanyalah sebagian dari gunung es yang muncul di permukaan.

Apalagi saat ini dengan penggunaan gadget yang digunakan unutuk pengunaan
5

media sosial yang membuat mereka sering mendapatkan bullying di media sosial

atau dikenal dengan nama cyberbullying.

Dari hasil observasi yang di lakakukan peneliti di SD Negeri 1 Wameo

khususnya di kelas V menunjukan beberapa siswa memang melakukan tindakan

bullying baik mereka sadari ataupun tanpa mereka sadari. Seperti contohnya ada

anak yang kurang pintar dalam kelas yang selalu mendapatkan ejekan oleh

beberapa temannya, seperti mendapatkan hinaan, makian dari temannya yang

biasa di ikuti dengan kekerasan fisik karena anak tersebut bertubuh kecil.

Kecerdasan emosional memainkan peran penting dalam terjadinya

perilaku bullying. Perilaku bullying sering kali muncul sebagai hasil dari kondisi

emosional seseorang. Emosi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap fungsi

psikologis, sehingga individu cenderung memberikan respons atau perilaku yang

lebih baik jika mereka memiliki keseimbangan emosi yang baik. Media massa,

baik media cetak maupun media elektronik, belakangan ini sering kali

mengangkat kasus-kasus bullying yang terjadi di kalangan pelajar. Hal ini terlihat

dari peningkatan tindakan kekerasan, baik yang dilakukan secara individu

maupun dalam kelompok, bahkan ada yang dilakukan secara massal. Sejak lahir,

manusia merupakan kesatuan psikofisik yang terus mengalami pertumbuhan dan

perkembangan, dan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut,

manusia memiliki karakteristik yang unik.


6

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, solusi empiris

yang diajukan adalah dengan meningkatkan pemahaman dan pengembangan

kecerdasan emosional siswa. Teori-teori pendukung, seperti teori kecerdasan

emosional Daniel Goleman, telah terbukti berhasil dalam meningkatkan kualitas

interaksi sosial dan emosional individu. Penelitian empiris sebelumnya

menunjukkan bahwa implementasi program pendidikan kecerdasan emosional

dapat mengurangi tingkat perilaku bullying di sekolah dasar. Dalam konteks ini,

diperlukan upaya untuk menyusun dan menerapkan program yang sesuai dengan

karakteristik siswa SD guna meningkatkan pemahaman dan keterampilan

kecerdasan emosional mereka.

Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Winda dan Endang (2019)

menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan

emosional dengan perilaku bullying. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa

semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang, semakin rendah perilaku

bullying yang mereka tunjukkan. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan

emosional, semakin tinggi perilaku bullying yang muncul. Penelitian ini juga

menemukan bahwa kecerdasan emosional memberikan sumbangan sebesar

12,4% terhadap perilaku bullying, sedangkan sisanya sebesar 87,6% dipengaruhi

oleh faktor-faktor lain.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul "Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan


7

Perilaku Bullying pada Siswa Kelas V SD Negeri 1 Wameo". Penelitian

ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara kecerdasan emosional dengan

perilaku bullying pada siswa kelas V di SD Negeri 1 Wameo. Dengan melakukan

penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih lanjut tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying dan pentingnya

pengembangan kecerdasan emosional dalam mencegah dan mengurangi kasus

bullying di kalangan siswa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dari penelitian ini

adalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional

dengan perilaku bullying pada siswa SD Negeri 1 Wameo?

C. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya keterkaitan atau

hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku bullying pada siswa

kelas V di SD Negeri 1 Wameo. Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan

dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana

kecerdasan emosional siswa berhubungan dengan perilaku bullying yang mereka

tunjukkan. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk mengembangkan

program atau intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan

emosional siswa dan mengurangi kasus bullying di lingkungan sekolah.


8

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis dalam

bidang pendidikan dan perkembangan, serta memperkaya hasil penelitian yang

telah ada sebelumnya. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan

pemahaman yang lebih mendalam mengenai hubungan antara kecerdasan

emosional dengan perilaku bullying pada anak. Hasil penelitian ini dapat menjadi

kontribusi dalam pengembangan teori dan pemahaman tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku bullying.

Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi yang berguna, terutama bagi orang tua, konselor sekolah, dan guru.

Informasi ini dapat digunakan sebagai panduan dalam upaya membimbing siswa

untuk mengatasi dan mencegah perilaku bullying di Sekolah Dasar. Dengan

pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara kecerdasan emosional dan

perilaku bullying, para orang tua dan pendidik dapat mengambil langkah-langkah

yang tepat dalam membantu siswa mengembangkan kecerdasan emosional dan

mencegah terjadinya kasus bullying di lingkungan sekolah.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kecerdasan Emosianal

a. Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk

memecahkan masalah dan membuat keputusan yang terbaik dengan

menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan penyesuaian terhadap

lingkungan. Emosi, di sisi lain, adalah perasaan yang mendorong individu

untuk merespons rangsangan baik dari dalam dirinya maupun dari lingkungan

luar. Emosi mempengaruhi perubahan sistem fisik dan psikologis individu

dengan cepat.

Kecerdasan emosional mengacu pada kemampuan individu untuk

memahami dan mengelola emosi, baik emosi diri sendiri maupun emosi orang

lain. Ini melibatkan kemampuan untuk mengenali dan memahami perasaan,

memotivasi diri sendiri, dan mengatur emosi dengan baik dalam hubungan

dengan orang lain. Menurut Goleman (Saragi, 2019), kecerdasan emosional

juga melibatkan kemampuan untuk mengenali, memahami, dan

mengungkapkan emosi dengan proporsi yang tepat. Selain itu, kecerdasan

emosional juga melibatkan upaya untuk mengelola emosi agar tetap terkendali

dan dapat digunakan untuk memecahkan masalah kehidupan, terutama dalam

konteks hubungan antar manusia.

9
10

Reuven Bar-On (Goleman, 1997) menggambarkan kecerdasan

emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang

memungkinkan individu untuk berhasil menghadapi tuntutan dan tekanan dari

lingkungan. Salovey dan Mayer (1990) mendefinisikan kecerdasan emosional

sebagai kemampuan untuk mengenali dan mengatur emosi diri sendiri dan

orang lain, serta menggunakan informasi emosi tersebut untuk membimbing

proses berpikir dan perilaku.

Menurut Goleman (1997), IQ (Intelligence Quotient) hanya

menyumbang sekitar 20% dari keberhasilan seseorang dalam hidup,

sedangkan kecerdasan emosional (EQ atau Emotional Intelligence)

menyumbang sekitar 80% dari keberhasilan tersebut. IQ dan kecerdasan

emosional bukanlah keterampilan yang saling bertentangan, tetapi

keterampilan yang sedikit terpisah. Seseorang dapat menggabungkan

kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional; individu dengan IQ

tinggi namun kecerdasan emosional rendah (atau sebaliknya, IQ rendah

namun kecerdasan emosional tinggi) relatif jarang, meskipun ada stereotip

yang beredar. Terdapat sedikit korelasi antara IQ dan beberapa aspek

kecerdasan emosional, namun korelasi tersebut cukup kecil sehingga jelas

bahwa kedua hal tersebut umumnya terpisah.

Dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan

kemampuan seseorang dalam mengenali, mengelola, dan mengendalikan

emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain, serta mampu
11

memecahkan masalah dan berpikir realistis. Kecerdasan emosional

memungkinkan individu untuk merespons secara positif setiap situasi yang

memicu munculnya emosi-emosi tersebut.

b. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Salovey (Gitosaroso, 2012) membagi kecerdasan emosional dalam

lima wilayah :

1) Mengenal Emosi Diri

Kesadaran diri adalah dasar dari kecerdasan emosional. Dengan

memiliki kesadaran diri yang tinggi, seseorang dapat mengenali dan

memperhatikan perasaan yang mereka alami. Kesadaran diri yang tinggi

memungkinkan individu untuk menggunakan perasaan sebagai panduan

dalam mengambil keputusan pribadi. Individu yang memiliki kepekaan

yang lebih tinggi terhadap perasaan mereka sendiri dapat membuat

keputusan yang lebih tepat berdasarkan pemahaman yang lebih baik

terhadap nilai-nilai dan kebutuhan mereka. Kesadaran diri yang baik juga

membantu individu dalam mengelola emosi dengan efektif, sehingga

mereka dapat mengatasi masalah pribadi dengan lebih baik. Kesadaran diri

merupakan komponen penting dalam pengembangan kecerdasan emosional

dan memberikan manfaat yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari.


12

2) Mengelolah Emosi

Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan baik,

dimana penguasaan diri yaitu kemampuan untuk menghadapi badai emosi

yang ada, pengendalian tindakan emosi yang berlebihan.

3) Memotivasi Diri

Memberikan perhatian dan motivasi pada diri sendiri, serta memiliki

penguasaan diri yang baik dan kreatif, merupakan hal yang sangat penting.

Kemampuan untuk mengendalikan emosi, menahan diri dari kepuasan

instan, dan mengendalikan dorongan hati adalah faktor kunci dalam

mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang. Hal ini merupakan dasar

yang kuat untuk mencapai tujuan dan meraih kesuksesan dalam kehidupan.

4) Mengenali Emosi Orang Lain

Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin kita terbuka

terhadap emosi diri sendiri, semakin terampil kita dalam membaca

perasaan orang lain. Kemampuan berempati adalah kemampuan untuk

memahami dan merasakan bagaimana perasaan orang lain. Ini melibatkan

kemampuan untuk berperan serta dalam segala bentuk kegiatan dalam

kehidupan kita dengan mempertimbangkan perasaan dan perspektif orang

lain. Dengan berempati, kita dapat mengembangkan hubungan yang lebih

baik dengan orang lain, memahami kebutuhan mereka, dan memberikan

dukungan yang tepat. Kesadaran diri yang tinggi memainkan peran penting

dalam memperkuat kemampuan berempati kita.


13

5) Membina Hubungan

Dalam membina hubungan dengan orang lain, penting untuk memiliki

landasan keterampilan yang kuat. Salah satu keterampilan yang penting

adalah kemampuan untuk menangani emosi orang lain. Kemampuan ini

menjadi inti dalam membina hubungan yang baik.

Dengan kemampuan untuk menangani emosi orang lain, seseorang

dapat mempengaruhi dan menggerakkan orang lain, membentuk hubungan

yang dekat, meyakinkan dan mempengaruhi, serta membuat orang lain

merasa nyaman. Kemampuan ini memungkinkan seseorang untuk

memahami dan merespons perasaan orang lain dengan empati dan

kepekaan. Selain itu, dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan orang lain,

penting untuk memiliki ketenangan dalam diri. Ketika seseorang memiliki

ketenangan dalam dirinya, ia dapat lebih baik mengelola emosi sendiri dan

merespons dengan bijaksana terhadap situasi dan kebutuhan orang lain.

Dengan demikian, kemampuan untuk menangani emosi orang lain dan

memiliki ketenangan dalam diri sendiri merupakan faktor penting dalam

membina hubungan yang baik dan mempengaruhi orang lain secara positif.

Secara keseluruhan, kecerdasan emosional pada anak melibatkan

berbagai keterampilan dan kemampuan. Berikut adalah beberapa keterampilan

yang terkait dengan kecerdasan emosional pada anak yaitu keterampilan

berpikir realistis dan optimis, keterampilan memecahkan masalah,

keterampilan social, keterampilan untuk memotivasi diri dan berprestasi,


14

kemampuan mengenali emosi diri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan

mengenali emosi orang lain dan membina hubungan:

Keseluruhan, kecerdasan emosional pada anak melibatkan berbagai

keterampilan dan kemampuan yang penting untuk perkembangan pribadi,

hubungan sosial, dan kesejahteraan emosional mereka. Faktor-faktor

Kecerdasan emosional

Goleman (Septiyana, 2019) mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:

1) Faktor internal: Faktor ini timbul dari dalam individu dan dipengaruhi oleh

keadaan otak emosional seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh

berbagai komponen seperti amigdala, sistem limbik, lobus prefrontal, dan

lain-lain.

2) Faktor eksternal: Faktor ini datang dari luar individu dan mempengaruhi

atau mengubah sikap individu. Pengaruh eksternal dapat bersifat individu,

kelompok, atau melalui media massa dan internet.

Dalam konteks kecerdasan emosional pada anak, terdapat beberapa

faktor yang dapat mempengaruhinya, termasuk:

1) Faktor lingkungan keluarga: Lingkungan keluarga yang mendukung, penuh

kasih sayang, dan memberikan keteladanan emosional yang baik dapat

mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosional anak.


15

2) Faktor lingkungan non-keluarga: Interaksi dengan teman sebaya, guru, dan

lingkungan sekolah juga dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan

emosional anak.

3) Kondisi fisik: Kondisi fisik yang baik, seperti pola tidur yang cukup, pola

makan yang sehat, dan gaya hidup aktif, dapat berkontribusi pada

kecerdasan emosional anak.

4) Kondisi kesehatan: Kesehatan fisik dan kesehatan mental yang baik juga

dapat mempengaruhi kecerdasan emosional anak.

5) Tingkat kecerdasan (inteligensi): Tingkat kecerdasan anak juga dapat

memengaruhi perkembangan kecerdasan emosional mereka.

Kesimpulannya, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosional pada anak, termasuk faktor lingkungan keluarga,

lingkungan non-keluarga, kondisi fisik, kondisi kesehatan, dan tingkat

kecerdasan.

B. Perilaku Bullying

1. Pengertian Perilaku Bullying

Bullying berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada

pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain

yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya berupa stress.

Perilaku bullying adalah suatu keinginan atau tindakan negatif untuk

melukai baik fisik verbal ataupun psikologis yang dilakukan oleh seseorang
16

atau sekelompok orang kepada orang lain secara berulang-ulang, terjadi

ketidak seimbangan kekuatan antara pelaku dan korban dan menimbulkan

kepuasan dari pelaku dalam melakukan perilaku tersebut (Septiyana, 2019).

Bullying adalah pola perilaku agresif yang melibatkan ketidak seimbangan

kekuatan yang didesain untuk membuat orang lain merasa tidak nyaman,

takut, dan terluka. Hal ini seringkali didasarkan padaperbedaan penampilan,

budaya, ras, agama,orientasi seksual dan identitas serta jenis kelamin orang

lain (Masyithoh, 2023).

Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang

dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu pendek,

bullying biasanya terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu cukup

lama, sehingga korbannya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan

terintimidasi. Hal ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan Djuwita

(Mellor, 2007) bahwa bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan

untuk menyakiti seseorang atau kelompok, sehingga korban merasa tertekan,

trauma, dan tidak berdaya, dan peristiwanya mungkin terjadi berulang.

Hal yang penting di sini bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi

apa dampak tindakan tersebut terhadap korbannya. Misalnya, seorang siswa

mendorong bahu temannya dengan kasar; bila yang didorong merasa

terintimidasi, apalagi bila tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka


17

perilaku bullying telah terjadi. Bila siswa yang didorong tak merasa takut atau

terintimidasi, maka tindakan tersebut belum dapat dikatakan bullying.

Definisi yang diterima secara luas adalah yang dibuat Olweus (Saragi,

2019) yang menyatakan bahwa siswa yang melakukan bullying adalah ketika

siswa secara berulang-ulang dan setiap saat berperilaku negatif terhadap

seorang atau lebih siswa lain. Tindakan negatif di sini adalah ketika seseorang

secara sengaja melukai atau mencoba melukai, atau membuat seseorang tidak

nyaman. Intinya secara tidak langsung tersirat dalam definisi perilaku agresif.

Dari berbagai pengertian bullying, maka dapat disimpulkan bahwa

perilaku bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan dengan

sengaja dengan tujuan untuk melukai atau mencoba melukai, atau membuat

seseorang tidak nyaman. Perilaku tersebut dilakukan secara berulang-ulang.

2. Bentuk-Bentuk Bullying

Menurut Storey, dkk (Hertinjung, 2013) bahwa bullying terjadi dalam

beberapa bentuk, dengan variasi keparahan yang berbeda-beda. Bentuk-

bentuk bullying adalah bullying fisik, verbal, dan bullying tidak langsung.

Bullying fisik misalnya menonjok ,mendorong, memukul, menendang, dan

menggigit; bullying verbal antara lain menyoraki, menyindir, mengolok-olok,

menghina, dan mengancam. Bullying tidak langsung antara lain berbentuk

mengabaikan, tidak mengikut sertakan, menyebarkan rumor/gosip, dan

meminta orang lain untuk menyakiti.


18

Sejiwa (Septiyana, 2019) menyebutkan bentuk bullying ada 3 (tiga)

yaitu :

a. Bullying fisik yang secara kasat mata bisa dilihat karena terjadi sentuhan

fisik antara pelaku bullying dan korbannya, misalnya menampar,

menimpuk, menginjak kaki dan memalak.

b. Bullying verbal yang juga bisa terdeteksi karena bisa ditangkap indra

pendengaran, misalnya memaki, menghina, menjuluki dan menolak.

c. Bullying mental atau psikologis. Bentuk bullying ini yang paling berbahaya

karena tidak tertangkap mata atau telinga jika individu tidak cukup awas

mendeteksinnya. Contoh dari bullying psikologis adalah memandang sinis,

mendiamkan, mengucilkan, meneror lewat pesan, memandang yang

merendahkan, memelototi, dan mencibir.

Berdasarkan uraian dan penjelasan mengenai aspek-aspek bullying di

atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa prilaku bullying mencakup

diantaranya yaitu: bullying fisik, bullying verbal dan bullying mental atau

psikologis atau psikis, karena bentuk-bentuk bullying tersebut sudah

mencakup seluruh perilaku bullying.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying

Menurut Davidoff (Nadeak, 2016) perilaku bullying anak dipengaruhi

oleh beberapa faktor :


19

a. Faktor biologis

Ada beberapa factor biologis yang mempengaruhi perilaku bullying,

yaitu :

1) Gen: tampaknya berpengaruh pada pembentukan system neural

otak yang mengatur perilaku bullying.

2) Sistem Otak : Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata

dapat memperkuat atau menghambat sirkuit netral yang

mengendalikan agresi dari perilaku bullying.

3) Kimia Darah: Kimia darah (khususnya hormone seks yang

sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi

perilaku bullying.

b. Faktor Lingkungan

Yang mempengaruhi perilaku bullying anak adalah :

1) Kemiskinan : Anak yang tumbuh dalam lingkungan kemiskinan,

maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan.

Hal yang dapat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut

terjadinya krisis ekonomi dan moneter menyebabkan

pembengkakan kemiskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini

berarti potensi meledaknya tingkat agresi perilaku bullying

semakin besar.

2) Anoniomitas: Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif

membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara 1 orang


20

dengan orang lain tidak lagi saling mengenal. Lebih jauh lagi,

setiap individu cenderung menjadi anonym (tidak mempunyai

identitas diri). Jika seseorang merasa anonym ia cenderung

berperilaku semuanya sendiri, karena ia merasa tidak terikat

dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati dengan orang

lain.

3) Suhu udara yang panas: Suhu lingkungan yang tinggi memiliki

dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan

agresifitas yang menyebabkan perilaku bullying.

4) Kesenjangan generasi : Adanya perbedaan atau jurang pemisah

(gap) antara generasi anak dengan orangtuanya dapat terlihat alam

bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan

seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi antara

orangtua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya

perilaku bullying pada anak.

5) Amarah: Marah merupakah emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas

sistim saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak

suka yang kuat yang biasanya disebabkan karena adanya

kesalahan yang mungkin nyata atau mungkin tidak. Pada saat

marah, ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan,

atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikirian yang kejam.

Bila hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku bullying.


21

6) Peran belajar model kekerasan: Tokoh pahlawan di berbagai film

seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak

kekerasan. Hal ini menjadikan penonton akan semakin mendapat

penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan

dan dapat dijadikan suatu sistim nilai bagi dirinya. Dengan

menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar

peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk

terciptanya perilaku bullying.

7) Frustasi : Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu hal

dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan

atau tindakan tertentu. Bullying merupakan salah satu merespon

terhadap frustasi. Anak miskin yang nakal adalah akibat dari

frustasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur,

keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus

segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka

menjadi mudah marah dan berperilaku bullying.

8) Proses pendisiplinan yang keliru : Pendidikan disiplin yang

otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan

memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai

pengaruh yang buruk bagi anak. Pendidikan disiplin seperti itu

akan membuat anak menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan

orang lain, membenci orang yang memberikan hukuman,


22

kehilangan spontanitas serta kehilangan inisiatif dan pada

akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk bullying

kepada orang lain.

9) Kecerdasan emosional : Kecerdasan emosi adalah kemampuan-

kemampuan yang mencakup pengendalian diri, semangat,

ketekunan, dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.

Menurut Ariesto (Sebtiya, 2019) penyebab terjadinya bullying antara

lain:

1) Keluarga

Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang

bermasalah : orang tua yang sering menghukum anaknya secara

berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan

permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika

mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka,

dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada

konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-

cobanya itu, anak akan belajar bahwa mereka yang memiliki

kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku

agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang.

Dari sini anak mengembangkan perilaku bullying.


23

2) Sekolah

Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying

ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan

penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi

terhadap anak lain. Bullying berkembang dengan pesat dalam

lingkungan sekolah sering memberikan masukan negatif pada

siswanya, misalnya berupa hukuman yang tidak membangun

sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan

menghormati antar sesama anggota sekolah.

3) Faktor Kelompok Sebaya

Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan

teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan

bullying. Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk

membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu,

meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku

tersebut. Bullying termasuk tindakan yang disengaja oleh pelaku

pada korbannya, yang dimaksudkan untuk menggangu seorang

yang lebih lemah. Faktor individu dimana kurangnya pengetahuan

menjadi salah satu penyebab timbulnya perilaku bullying, semakin

baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying maka akan dapat

meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.


24

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi perilaku bullying adalah faktor biologis seperti : gen, sistem

otak kimia darah, dan faktor lingkungan seperti : kemiskinan, anoniomitas,

dan suhu udara yang panas, kesenjangan generasi, amarah, peran belajar

model kekerasan, frustasi dan proses pendisiplinan yang keliru, keluarga yang

bermasalah, lingkungan sekolah, faktor kelompok sebaya dan juga disebabkan

oleh adanya pengaruh media massa, faktor budaya dan kematangan atau

kecerdasan emosi.

4. Dampak Bullying

a. Dampak Perilaku Bullying Terhadap Kehidupan Individu

SEJIWA (Saragi, 2019) menyebutkan penelitian tentang bullying telah

dilakukan baik didalam maupun di luar negeri. Penelitian-penelitian

tersebut mengungkapkan bahwa bullying memiliki efek-efek negatif

sebagai berikut:

1) Gangguan psikologis (seperti cemas dan kesepian).

2) Konsep diri korban bullying menjadi lebih negatif karena korban

merasa tidak diterima oleh teman-temannya.

3) Menjadi penganiaya ketika dewasa.

4) Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal.

5) Korban bullying merasakan stress, depresi, benci terhadap pelaku,

dendam, ingin keluar sekolah, merana, malu, tertekan, terancam,

bahkan ada yang menyilet-nyilet lengannya.


25

6) Menggunakan obat-obatan atau alkohol.

7) Membenci lingkungan sosialnya.

8) Korban akan merasa rendah diri dan tidak berharga.

9) Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan

kepribadian.

10) Keinginan untuk bunuh diri.

b. Dampak perilaku bullying terhadap kehidupan akademis

Bullying berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi,

penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. Bullying juga

menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis para siswa.

c. Dampak perilaku bullying terhadap kehidupan sosial

Aksi bullying menyebabkan seseorang menjadi terisolasi dari

kelompok sebayanya karena teman sebaya pelaku bullying tidak mau

berteman karna akhirnya mereka akan menjadi target bullying, hal ini

sejalan dengan Glew, Rivara, & Feudtner (Sonia, 2009) bullying dapat

menyebabkan sekolah menjadi tempat yang tidak menyenangkan dan

berbahaya. Ketakutan yang mereka alami dapat menimbulkan depresi,

harga diri rendah, dan sering absen.

Dampak bullying menurut Maretna, (2021) yaitu adanya rasa tidak

suka satu sama lain antara siswa yang di bully dan yang membully pada

akhirnya timbullah permusuhan di antara keduanya, walaupun permusuhan

itu tidak mereka tampakkan di depan kelas namun sangat jelas terlihat
26

bahwa siswa yang sering di-bully sangat risih untuk dekat dengan pelaku.

Adapun dampak lainnya yaitu, siswa menjadi tidak suka bermain bersama

dengan teman-teman yang lainnya, siswa yang sering di-bully lebih suka

bermain sendirian atau mencari teman yang sejalan dengan nya. Siswa

lebih merasa menjadi percaya diri apabila tidak terlalu banyak teman.

Menurut beberapa siswa, apabila mempunyai banyak teman, ia akan

kesulitan untuk menjadi diri sendiri, ia akan ikut-ikutan dengan teman nya,

karena menurut pemikiran beberapa siswa teman adalah orang yang akan

berpengaruh di kehidupannya, apabila ia berteman dengan seorang juara

kelas, tidak menutup kemungkinan dia juga akan menjadi juara kelas atau

paling tidak nilai nya akan semakin tinggi, begitupula apabila seseorang

berteman dengan seorang pemalas, tidak menutup kemungkinan, cepat atau

lambat ia juga akan menjadi pemalas seperti temannya, namun rata- rata

siswa tidak saling bermusuhan hanya saja mereka tidak terlalu akrab,

berbicara ketika ada yang penting saja, saling memperingati apabila salah

satu dari mereka ada yang salah dan sebagainya.

Bullying tidak hanya berdampak pada korban saja tetapi juga di

rasakan oleh pelaku Sanders (Anesty, 2009) National Youth Violence

Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini

memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula,

cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan,

tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang
27

rendah terhadap frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan

kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap

targetnya. Apa yang diungkapkan tersebut sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Coloroso (2006) mengungkapkan bahwa siswa akan

terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan

hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain,

tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai

sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan

datang. Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa

mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-

menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan

terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku

kriminal lainnya.

Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang

menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang

diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan

bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan

beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun

dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.

Berdasarkan dampak bullying dapat disimpulkan bahwa bullying

memiliki dampak negatif bagi kehidupan baik bagi korban, pelaku maupun

orang lain yang menyaksikannya. Dapat kita lihat bahwa bullying


28

memiliki dampak yang luas terhadap semua orang yang terlibat di

dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam jangka

pendek dan dalam jangka panjang.

C. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Perikalu Bullying

Anak adalah makhluk yang membutuhkan kasih sayang, pemeliharaan

dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari

keluarga, dan keluarga memberi kesempatan kepada anak untuk belajar tingkah

laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan

bersama. Hurlock (2003) menjelaskan bahwa masa kanak-kanak merupakan

masa terpanjang dalam rentang kehidupan saat di mana individu relatif tidak

berdaya dan bergantung pada orang lain.

Perilaku bullying erat kaitannya dengan kekerasan, penindasan, dan

intimidasi yang seharusnya tidak terjadi, jika seseorang itu mampu

mengendalikan, mengelola emosi, memahami diri sendiri, berempati serta tidak

bersikap dendam dan iri hati kepada orang lain (Astuti, 2008). Kemampuan

mengelola emosi dan mengendalikan diri merupakan salah satu kunci untuk

mengurangi terjadinya perilaku bullying, karena individu dengan pengendalian

diri, dapat merasakan bangga dan senang pada keadaan dirinya Astuti

(Septiyanah, 2019).
29

Menurut Davidoff (Nadeak, 2016) salah satu faktor lingkungan yang

mempengaruhi terjadinya bullying adalah kecerdasan emosional. Kecerdasan

emosional adalah kemampuan-kemampuan yang mencakup pengendalian diri,

semangat, ketekunan, dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Menurut

Baron (Dayaksini & Hudaniah, 2006) bullying dalam bentuk perilaku agresif

merupakan tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau

mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku

tersebut. Dalam definisi tersebut terdapat empat faktor tingkah laku antara lain :

tujuan untuk melukai, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi

korban, dan ketidakinginan korban mendapat tingkah laku tersebut. Semua emosi

pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk

mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi

(Goleman, 1997).

Menurut Goleman (1997) kecerdasan emosional adalah kemampuan

untuk mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk

memotivasi diri sendiri, dan kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik

pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Keberhasilan siswa

tidak hanya ditandai dengan prestasi akademisnya saja, tetapi juga harus dilihat

dari kemampuan dalam mengendalikan perilakunya dalam beretika di lingkungan

sekolah. Emosional dalam hal ini sangat dibutuhkan, emosional menentukan

apakah seseorang dapat atau tidak mengendalikan perilakunya, khususnya


30

perilaku bullying. Goleman (1997) menyatakan bahwa dengan adanya

pengelolaan emosional, maka akan berkurangnya ejekan verbal, perkelahian dan

gangguan lainnya, lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa

berkelahi, berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri, lingkungan

kampus maupun keluarga, lebih baik dalam menangani ketenangan jiwa, dan

berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Sri Wahyuni Saragi (2019)

“Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Perilaku Bullying Pada Siswa

SD N 068003 Medan.” Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

metode kuantitatif dengan menggunakan teknik yaitu suatu penelitian yang

menekankan analisisnya pada data-data numeral atau angka-angka dari program

SPSSVersi 21.0 for Windows. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh yang sangat signifikan antara perilaku bullying terhadap kecerdasan

emosi pada siswa SDN 068003 Medan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang

menjadi akar dari perilaku bullying adalah ketidakmampuan anak dalam

mengatasi emosinya. Apabila seorang anak yang memiliki kecerdasan emosi

yang tinggi, maka anak tidak akan mudah marah dan berperilaku kasar terhadap

temannya. Sebaliknya jika anak memiliki kecerdasan emosi yang rendah akan

cenderung mudah marah dan berperilaku kasar kepada teman-temannya.


31

D. Penelitian Relevan

Hasil penelitian relevan milik Saragi (2019) menyatakan terdapat

Hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku

bullying anak dilihat dari p = 0,001 dimana p < 0,05) dengan nilai korelasional

antara Kecerdasan emosional dengan Perilaku bullying sebesar r = -. Koefisien

determinan (r²) dari hubungan antara variabel kecerdasan emosional dengan

Variabel perilaku bullying karyawan adalah sebesar 0,247. Ini menunjukkan

bahwa perilaku bullying anak dipengaruhi oleh kecerdasan emosional

sebesar 24,7%, yang artinya masih ada 75,3 % faktor lain..

Septiyanah (2019) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Antara

Kecerdasan Emosi dan Konformitas Teman Sebaya Dengan Perilaku Bullying

Pada Siswa SMP Nusantara Bandar Lampung”. Dalam penelitiannya

mendapatkan hasil penelitian menunjukan bahwa, rx1-y =-0,365 dan p = 0,002

dimana (p < 0,01), yang berarti, ada hubungan negatif yang signifikan antara

kecerdasan emosi dengan perilaku bullying pada siswa. Hasil tersebut

memberikan sumbangan efektif sebesar 12,8%. Yang artinya semakin rendah

kecerdasan emosi siswa, maka semakin tinggi perilaku bullying yang terjadi.

Rahmah (2021) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Antara

Kecerdasan Emosional (EQ) Dengan Perilaku Bullying Di Mi Assa’adiyah At

Tahiriyah Jakarta Timur. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa


32

setelah dilakukan uji hipotesis, diperoleh nilai signifikan sebesar 0,682 lebih

besar dari >0,05. Hal ini menunjukkan kedua variabel tidak memiliki hubungan

atau korelasi yang signifikan. Tidak ada korelasi berarti meningkat atau

menurunnya variabel kecerdasan emosi tidak memberikan pengaruh apapun pada

variabel bullying. Begitu juga sebaliknya, meningkat atau menurunnya variabel

bullying tidak memberikan pengaruh apapun pada variabel kecerdasan emosi.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan atau kolerasi

antara kecerdasan emosi dengan perilaku bullying siswa kelas VI Madrasah

Ibtidaiyah Assa’adiyah Attahiriyah.

E. Kerangka Berpikir

Kecerdasan Emosional
(X) Perilaku Bullying (Y)

Terdapat dua variable dalam penelitian ini. Diketahui variable (X) yaitu

kecerdasan emosional dan variable (Y) yaitu bullying. Berdasarkan landasan

teoritis yang telah dipaparkan diatas dari variable independen (X) dan variable

dependen (Y), maka hubungan dari ke dua varabel tersebut dideskripsikan oleh

peneliti dalam kerangka berpikir ialah:

1. Hubungan kecerdasan emosional (EQ) dengan tindak perilaku bullying

Kecerdasan emosi yang dimiliki oleh siswa sekolah dasar masih dalam tahap

perkembangan dan masih belum stabil. Kecerdasan emosi yang tinggi akan
33

diikuti juga dengan hasil prestasi belajar yang tinggi. Kemampuan

pengelolaan kecerdasan emosi yang baik bagi siswa juga akan mempengaruhi

perilaku dari individu tersebut.

Bullying merupakan masalah yang serius yang terjadi di sekolah dasar. Siswa

sekolah dasar tidak luput dari masalah bullying baik itu verbal, fisik maupun

mental. Bullying di sekolah akan berdampak buruk pada pelaku bullying,

korban bullying dan juga saksi dari tindak bullying. Yang paling parah

dampak dari bullying adalah siswa menjadi pelaku criminal, meminum

alkohol dan mengonsumsi obat terlarang. Selain itu mental siswa yang terlibat

dalam tindakan bullying juga akan terganggu.

F. Hipotesis

Hipotesis penelitian merupakan suatu kesimpulan sementara yang belum

final; suatu jawaban sementara; suatu dugaan sementara; yang merupakan

konstruk peneliti terhadap masalah peneitian, yang menyatakan hubungan antara

dua atau lebih variabel. Dalam hal ini penulis merumuskan hipotesa sebagai

berikut:

H1: Terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku bullying

siswa kelas V SDN 1 Wameo.

H0: Tidak terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku

bullying siswa kelas V SDN 1 Wameo.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri 1 Wameo yang

terletak di Kelurahan Wameo, Kecamatan Wolio, Kota Bau-bau.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran

2023/2024, waktu yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari bulan

Agustus 2023 sampai dengan bulan Januari 2024.

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan

korelasi yang bertujuan untuk menentukan adakah hubungan antara dua variable

atau lebih dan kearah manakah hubungan tersebut negative atau positif. Dalam

rancangan penelitian korelasional, peneliti menggunakan uji statistic korelasional

untuk mendeskripsikan dan mengukur derajat keterkaitan (atau hubungan) antara

dua variable atau lebih, atau beberapa set.

Menurut Creswell (Rahma, 2021) metode korelasi adalah uji statistic

untuk menentukan kecenderungan atau pola untuk dua variable atau lebih atau

dua set data untuk bervariasi secara konsisten. Lohen dalam bukunya

34
35

menjelaskan bahwa dalam penelitian korelasi setelah koefisien korelasi dihitung,

pertanyaan yang sering diajukan dalam hubungan ini adalah seberapa besar

koefisiensi seharusnya bermakna. Pertanyaannya dapat didekati dengan tiga cara:

dengan memeriksa kekuatan hubungan; dengan memeriksa signifikansi statistik

hubungan (dibahas sebelumnya); dan dengan memeriksa kuadrat dari koefisien

korelasi. Mertents (Rahma, 2021) membagi langkah-langkah untuk melakukan

penelitian korelasional adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi masalah yang sesuai.

2. Identifikasi variabel yang akan dimasukkan dalam penelitian.

3. Identifikasi peserta penelitian yang sesuai.

4. Kumpulkan data yang dapat diukur.

5. Analisis data dan interpretasikan hasilnya.

Metode penelitian korelasional dipilih untuk mendeskripsikan dan

mengukur derajat keterkaitan (hubungan) antara dua variabel atau lebih. Dalam

hal ini akan melihat tingkat kecerdasan emosional siswa-siswi kelas V SDN 1

Wameo yang dikaitkan dengan perilaku bullying.

C. Variabel Penelitian dan Definisi Variabel

1. Variabel

Variable penelitian adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik

perhatian suatu penelitian. Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel

bebas (X) dan variabel terikat (Y) yang dapat diuaraikan sebagai berikut:
36

a. Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas (independent variable) adalah suatu atribut atau ciri

khusus yang berefek pada atau memengaruhi hasil atau variabel dependen.

Variabel bebas (X) pada penelitian ini adalah Kecerdasan Emosional.

b. Variabel Terikat (Dependen Variabel)

Variabel terikat (dependen variabel) adalah suatu atribut atau ciri

khusus yang dependen atau bergantung pada atau dipengaruhi oleh variabel

bebas (variabel independen). Variabel terikat (Y) pada penelitian ini adalah

Perilaku Bullying.

D. Definisi Operasional

1. Perilaku Bullying

Perilaku bullying adalah keinginan atau tindakan negatif untuk

melukai seseorang baik secara fisik, verbal ataupun psikologis yang dilakukan

oleh seseorang atau sekelompok orang kepada orang yang lemah, yang

dilakukan secara berulang-ulang. Pada penelitian ini perilaku bullying

diungkap menggunakan skala perilaku bullying berdasarkan aspek-aspek

perilaku bullying menurut Sejiwa (Septiyanah, 2019) yaitu aspek fisik, verbal

dan psikologis. Sehingga semakin tinggi skor yang diperoleh subjek maka

menunjukan semakin tingginya perilaku bullying yang terjadi. Indikator

bullying meliputi: (1) Bullying verbal, seperti mengejek nama, menghina,

mengancam, dan menggoda (2) Bullying fisik, seperti memukul, meninju,


37

menendang, mendorong, atau mencoba melukai korban secara fisik (3) Sosial

bullying, seperti sengaja mengecualikan seseorang dari grup atau

menyebarkan desas-desus tentang seseorang dan cyberbullying yaitu

dilecehkan, dihina, diancam, atau disiksa oleh orang-orang menggunakan

Internet dan teknologi interaktif lainnya seperti handphone.

2. Kecerdasan Emosiaonal

Kecerdasan emosional adalah kecerdasaan emosi adalah kemampuan

individu berhubungan dengan kemampuan memahami, mengelola dan

mengendalikan emosi serta kemampuan dalam merubah dorongan emosi

negatif menjadi positif. Indikator kecerdasan emosi meliputi: (1) Kesadaran

diri (2) Pengaturan diri (3) Motivasi (4) Mengenali emosi orang lain (5)

Keterampilan sosial. Semakin tinggi skor yang diperoleh siswa, maka semakin

tinggi tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki siswa, begitupun

sebaliknya.

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Tulus Winarsunu (2009), populasi adalah seluruh individu

yang dimasukkan untuk diteliti, dan yang nantinya akan dikenai generalisasi.

Generalisasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan terhadap kelompok

individu yang lebih luas jumlahnya berdasarkan data yang diperoleh dari
38

kelompok individu yang sedikit jumlahnya. Populasi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah seluruh siswa SD 1 Wameo Kelas V.

2. Sampel

Menurut Tulus Winarsunu (2009) sampel adalah sebagian kelompok

individu yang dijadikan wakil dalam penelitian. Sugiyono (2022)

menambahkan bahwa sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi tersebut.

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan peneliti adalah Non

Probability Sampling, yaitu peneliti memilih partisipan karena mereka mau dan

bersedia diteliti. Dalam kasus ini, peneliti tidak dapat mengatakan dengan

penuh keyakinan bahwa individu tersebut mewakili populasi. Akan tetapi,

sampelnya dapat memberikan informasi yang berguna untuk menjawab

pertanyaan dan hipotesis penelitian.

Maka sampel dalam penelitian ini adalah siswa siswi kelas V SDN 1

Waameo tahun pelajaran 2023/2024 yang terdiri dari 2 kelas yaitu Va yang

terdiri dari 29 siswa dan Vb terdiri dari 26 siswa. Sehingga jumlah keseluruhan

siswa kelas V SDN 1 Wameo 55 siswa atau partisipan. Dari 55 siswa terdapat

27 siswa yang bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini.


39

F. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang melibatkan

pengamatan langsung terhadap partisipan dan konteks yang terlibat dalam

fenomena penelitian. Observasi kualitatif dapat dilakukan dalam situasi nyata

atau di lingkungan yang telah dirancang secara khusus untuk penelitian.

Observasi memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengamati interaksi

sosial, perilaku, dan konteks yang relevan dengan fenomena yang diteliti

Creswell (Rahmah, 2021).

2. Kuesioner (Angket)

Kuesioner atau angket didefinisikan sebagai sekumpulan pertanyaan

yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden terkait dengan

pribadinya maupun hal-hal lain yang terkait dengan materi penelitian. Angket

yang digunakan oleh peneliti menggunakakan skala likert yang mempunyai

empat kemungkinan pilihan jawaban. Informasi yang diperoleh skala likert

berupa skala pengukuran ordinal, hasilnya dapat dibuat ranking tanpa dapat

diketahui berapa besarnya selisih antara satu tanggapan ke tanggapan lainnya.

G. Kisi-kisi Instrument

Instrument penelitian adalah “suatu alat yang digunakan mengukur

fenomena-fenomena alam maupun sosial yang diamati” (Sugiono, 2016).


40

Mengembangkan instrument terdiri atas beberapa langkah, seperti

mengidentifikasi maksud instrument, melakukan tinjauan kepustakaan, menulis

pertanyaan, dan menguji pertanyaan pada individu yang serupa dengan yang

direncanakan untuk diteliti. Berdasarkan definisi operasional, maka disusun kisi-

kisi untuk butir-butir pernyataan yang dapat mengukur tentang:

1. Kecerdasan Emosional (X)

Tabel 1 Kisi-kisi Instrumen Kecerdasan Emosional.

Variabel Indikator Nomor Butir Jumlah


Kesadaran diri 1, 2, 15 3
Pengaturan diri 3, 6, 11, 13, 14 6
Motivasi 10,12,19 4
Kecerdasan Emosi Mengernali emosi
4,5 2
orang lain
Keterampilan
7, 8, 16,17 4
sosial
Jumlah 19

2. Bullying (Y)

Tabel 2 Kisi-kisi Instrumen Bullying

Variabel Indikator Nomor Butir Jumlah


Bullying Bullying verbal:
mengejek nama,
1, 2, 13, 15 4
menghina, mengancam
dan menggoda.
Bullying fisik: memukul,
meninju, menendang,
mendorong atau mencoba 3, 6, 11, 12, 19 5
melukai korban dengan
sengaja.
Sosial bullying: sengaja 4, 7, 8, 14, 16, 18 6
41

mengecualikan seseorang
dari grup atau
menyebarakan desas-desus
tentang seseorang
Cyberbullying: dilecehkan,
dihina, diancam atau
disiksa oleh orang-orang
9, 10, 15, 17 4
menggunakan internet dan
teknologi interaktif lainnya
seperti handphone
Jumlah 19

Tabel 3 Skala Likert dalam Koersioner

Pertanyaan
Jawaban
Positif Negatif
Selalu 4 4
Sering 3 3
Jarang 2 2
Tidak Pernah 1 1

H. Teknik Validasi Instrumen Penelitian

Hakikatnya pada setiap pengukuran selalu diharapkan untuk mendapat

hasil ukur yang akurat dan objektif. Salah satu upaya untuk mencapainya

adalah alat ukur yang digunakan harus valid atau sahih dan reliabel atau

handal ( S a r a g i , 2 0 1 9 ) .

1. Validitas Alat Ukur


40

Validitas berasal dari kata Validity yang memiliki arti sejauh mana

ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.
37

Pengujian validitas penelitian ini menggunakan Statistical Package For The

Sosial Sciences (SPSS) versi 25.

Untuk mengetahui sejauh mana kejauhan kevalidan alat ukur,

dilakukan perhitungan korelasi setiap butir alat ukur dengan

menggunakan rumus Personal/Product Moment dengan menghitung korelasi

yaitu setiap butir alat ukur dihitung dengan rumus Pearson Product Moment.

ryx=N ∑ XY −¿ ¿ ¿

Keterangan:

rxy = Koefisien kolelasi antara X dan Y

N = Judul sampel

∑X = Jumlah seluruh skor X

∑Y = Jumlah seluruh skor Y

∑XY = Jumlah perkalian antara skor X dan skor Y

Untuk mengetahui valid atau tidaknya soal, maka r hitung

dibandingkan dengan rumus r tabel Pearson Product Moment dengan taraf

signifikan 5% (α = 0.05). Adapun kriteria pengujiannya adalah sebagai

berikut:

1) R hitung > r tabel maka butir item valid.

2) R hitung < r tabel maka butir item tidak valid.


38

2. Reliabilitas Alat ukur

Reliabilitas adalah suatu alat yang memberikan hasil tetap sama.

Tinggi rendahnya realibilitas secara empirik, oleh suatu angka yang disebut

koefisien realibilitas. Semakin tinggi koefisien antara hasil ukur dari dua alat

yang parallel berarti konsisten antara keduanya semakin baik (Rostina, 2014).

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat

dipercaya. Menurut Azhar (Saragi, 2019) hasil suatu pengkuran dapat

dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap

kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek

yang diukur dalam diri subjek belum berubah.

Dalam penelitian ini koefeisien realibilitas diperoleh

denganmenggunakan teknik korelasi Alpha Cornbach pada SPSS 25.

( )
n

n
∑ si2
i−1
r 11 = 1=
n−1 st 2

Keterangan:

r11 = Koefisien reabilitas

n = Banyak butir soal

∑si2 = Jumlah butir variabel

St2 = Variabel Total


43

Kriteria pengujian realibilitas instrument dilakukan dengan cara

membandingkan r hitung dengan r table pada taraf signifikan α = 0,05. Jika

hasil perhitungan ternyata r hitung > r table, maka instrument dinyatakan


44

reliable, sebaliknya jika r hitung < r table, maka instrument dinyatakan tidak

reliable. Guilford dan Spearman Brown, keduanya sependapat bahwa

koefisien reliabilitas adalah>0,60.

Tabel 4 Koefisien Reabilitas (Rahmah, 2021)

Guilford Koefisien Reliabilitas Spearman Brown


0 Tidak Realibel
Hubungan Sangat Kecil 0,0<r<0,20 Sedikit Reliabel
Hubungan Kecil 0,20<r<0,40 Agak Realibel
Hubungan Cukup Erat 0,40<r<0,60 Cukup Realibel
Hubungan Erat/Realibel 0,60<r<0,80 Realiabel
Hubungan Sangat Erat 0,80<r<1,00 Sangat Reliabel
Hubungan Sempurna 1,00

I. Teknik Analisis Data

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan memenuhi apakah populasi yang diambil

dalam penelitian ini berasal dari populasi distribusi normal atau tidak normal.

Pengujian normalitas data hasil penelitian dengan uji kolmogorov-smirnov

satu sampel dengan SPSS 25.0 for windows, untuk menguji normalitas.

2. Uji Linearitas
45

Uji linieritas secara umum berguna untuk mengetahui apakah korelasi

antar variabel bersifat linear atau tidak. Data yang baik seharusnya

terdapat hubungan yang linear antara variabel x dengan variabel y.

Teknik pengambilan keputusan pada uji linearitas penelitian ini

berpedoman dengan melihat nilai signifikansi. Jika nilai signifikansi lebih dari

> 0,05 maka terdapat hubungan linear secara signifikan antara variabel

independent dengan variabel dependen.

3. Uji Hipotesis

Pada penelitian ini dilakukan uji hipotesis untuk menemukan hubungan n

antara dua variabel. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini

menggunakan teknik analisis korelasi Spearman’s rho. Berikut adalah rumus

korelasi Spearman’s rho:

6 ∑ bi
2
ρ=1− 2
n(n −1)

Keterangan:

ρ = Koefisien kerelasi sperman rank

bi = Beda anatara dua pengamatan berpasangan

n = total pengamatan

4. Hipotesis Statistik

Untuk menguji hipotesis penelitian, maka data yang telah terkumpul

dianalisis dengan analisis statistic. Kedua hipotesis ini diuji dengan teknik
44

analisis korelasi dan regresi sederhana. Hipotesis statistic yang diuji dalam

penelitian ini adalah:

H0 = Tidak terdapat hubungan antara Kecerdasan Emosi (EQ) dengan

Perilaku Bullying diSDN 1 Wameo.


41

H1 = Terdapat hubungan Kecerdasan Emosi (EQ) dengan Perilaku

Bullying di SDN 1 Wameo.

Apabila hasil penelitian setelah uji hipotesis menunjukkan H0 diterima

dan H1 ditolak maka tidak terdapat hubungan antara kecerdasan emosi (EQ)

dengan perilaku bullying di SDN 1 Wameo. Apabila hasil penelitian setelah

uji hipotesis menunjukkan h1 diterima dan h0 ditolak maka terdapat hubungan

antara kecerdasan emosi (EQ) dengan perilaku bullying di SDN 1 Wameo.


48

DAFTAR PUSTAKA

Saragi, S. W. (2019). Hubungan Antara Kecerdasan Eosional Dengan Perilaku


Bullying pada Siswa SDN 068003 Medan. Skripsi. Medan: Fakultas Psikologi
Universitas Medan Area
Septiyanah. (2019). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dan Konformitas Teman
Sebaya Dengan Perilaku Bullying Pada Siswa SMP Nusantara Bandar
Lampung. Skripsi. Lampung: Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama
Universitas Islam Negeri Raden Intan
Chairani, D. (2005). Gambaran proses kelompok pada sebuah peer group pelaku
bullying di SMA “Z”. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Rahmah, S. F. (2021). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional (Eq) Dengan
Perilaku Bullying Di Mi Assa’adiyah At Tahiriyah Jakarta Timur. Skripsi.
Jakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta
KPAI Catat Ada Sebanyak 2.355 Kasus Pelanggaran Perlindungan Anak Pada 2023.
(2023, Oktober Senin). Dipetik Desember Rabu, 2023, Dari Republika :
Https://News.Republika.Co.Id/Berita/S29ndx349/Kpai-Catat-Ada-Sebanyak-
2355-Kasus-Pelanggaran-Perlindungan-Anak-Pada-2023
Bahruddin, A. S. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Deepublish.
Cintyakarin Cikal Agustanadea, D. P. (2019). Hubungan Antara Tingkat Stres Dan
Kecerdasan Emosi Dengan Perilaku Bullying Pada Remaja Di Kota
Pontianak.
Daniel, G. (1996). Emotional Intelligence Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih
Penting Daripada IQ. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Gitosaroso, M. (2012). Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence) Dalam Tasawuf .
Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies , 182-199.
Goleman, C. C. (2001). Emotional Intelligence: Issues In Paradigm Building . Dalam
D. Goleman, The Emotionally Intelligent Workplace. New York:
Communicationcache.
Hertinjung, W. S. ( 2013 ). Bentuk-Bentuk Perilaku Bullying Di Sekolah Dasar .
Prosiding Seminar Nasional Parenting, 450-458.

42
45

Imanuel Sairo Awang, M. M. (2019). Kecerdasan Emosional Peserta Didik Sekolah


Dasar . Profesi Pendidikan Dasar, 41-50.
Lestari, S. D. (2021). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Alfabeta .
Nasihah, D. (2021). Hubungan Verbal Bullying Dengan Kecerdasan Emosional Anak
Diekolah Dasar Negeri Siranggap Cigudeg Bogor Barat. Jurnal
Pendidikanguru Madrasah Ibtidayah, 21-27.
Pipih Muhopilah, F. T. (2019). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Bullying. Jurnal Psikologi Terapan Dan Pendidikan, 99-107.
Putra, Y. B. (2022). Training Dan Edukasi Anti – Bullying Siswa Di Sekolah Sebagai
Bentuk Implementasi Nilai Hak Asasi Manusia (Ham) .
Rif Budi Nugraha, I. W. (2019). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan
Perilaku Bullying. Jurnal penelitian bk Consila, 66-74.
Rustiana, E. R. (2013). Upaya Peningkatan Kecerdasan Emosi Siswa Sekolah Dasar
Melalui Pendidikan Jasmani Harmoni. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 138-
147.
Siti, M. (2023). Studi Literatur: Hubungan Antara Kecerdasan Emosional. Elementar:
Jurnal Pendidikan Dasar,, 57-67.
Sumiati. (2012). Hubungan Antara Pemenuhan Kebutuhan Afeksi Dengan
Kecerdasan Emosional Siswa Smp Negeri 4 Pasarwajo. Skripsi. Baubau:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendididkan Universitas Muhammadiyah Buton
Winda Putri Dwi Jayanti, E. S. (2019). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional
Dengan Perilaku Bullying Pada Siswa Kelas Xi Smk X Semarang. Jurnal
Empati, 253-259 .
Yuliani, N. (2019). Fenomena Kasus Bullying Di Sekolah. Published online.

47
LAMPIRAN 1
Observasi

Gambar 1 Observasi Awal

Gambar 2

44
47

LAMPIRAN 2

ANGKET

INSTRUMEN PENELITIAN

Petunjuk Pengisian Kuesioner (Angket)

Cara Pengisian :

1. Siswa/Siswi dipersilahkan mengisi data diri terlebih dahulu lalu

memilih salah satu jawaban yang dianggap tepat dan paling sesuai

dengan keadaan yang sebenarnya dengan memberi tanda ceklis pada

salah satu kolom yang telah disediakan.

2. Jawaban: Selalu (SL), Sering (S), Kadang-kadang (KD) dan Tidak

Pernah (TP).

Data Diri Responden:

Nama Lengkap :

Kelas :

Jenis Kelamin:

Usia:

INSTRUMEN ANGKET
KECERDASAN EMOSIONAL (X)

No Pernyataan Variabel Kecerdasan Emosi SL S KD TP

1 Saya tahu kapan saya merasa sedih dan


kapan saya merasa gembira
2 Saya tahu penyebab kemarahan saya
50

3 Meskipun sedang marah, saya berusaha


untuk tetap menguasai diri
4 Saya berusaha untuk menghibur teman
yang sedang sedih
5 Saya dapat mengerti perasaan teman
saya melalui mimik wajah
6 Saya berusaha untuk tidak marah ketika
teman saya mengejek saya dengan julukan
aneh-aneh
7 Saya senang memiliki teman yang banyak

8 Ketika teman sedang berbicara saya


berusaha menjadi pendengar yang baik
9 Saya sabar bila menghadapi orang lain
yang membuat saya kesal
10 Ketika teman saya mendapatkan nilai
ujianyang lebih bagus, saya menjadi
termotivasi untuk belajar yang lebih giat lagi
11 Saya dapat bersikap tenang dan
mengontrol diri ketika berada pada situasi
yang sulit
12 Saya yakin setelah kesulitan pasti selalu
ada kemudahan
13 Saya berusaha menghindari perkelahian
dengan teman walaupun saya sedang marah
dengannya
14 Saya selalu mencari apa penyebab dari
masalah yang menimpah saya
15 Saya tahu dengan benar penyebab kesedihan
saya
16 Saya berusaha berteman dengan siapa saja

17 Saya berusaha tidak memiliki musuh

18 Saya yakin mendapat nilai bagus pada saat


mengerjakan ulangan
19 Saya tidak mudah menyerah ketika
mengalami kesulitan dalam mengerjakan
tugas
51
51

INSRUMEN BULLYING (Y)

No Pernyataan Variabel Bullying SL S KD TP


1 Saya suka memanggil teman saya
dengan
2 Saya suka mengejek orang lain
(teman) terlebih dengan kekurangan dan
kelemahan diri yang dimilikinya
3 Saya ingin memukul teman saya ketika
teman
4 Saya bersama teman kelompok
saya,
mengucilkan teman yang saya tidak sukai
5 Saya menyindir teman yang tidak saya sukai

6 Saya akan memukul atau menyakiti


teman saya jika permintaan saya tidak
terpenuhi
7 Saya meminta uang atau barang kepada
teman saya dengan cara memaksa
8 Saya mengadu domba teman saya agar
dijauhi dengan teman yang lainnya
9 Saya mengirimkan kata-kata ejekan
kepada
teman melalui sosial media
(whatsapp,
instagram, tiktok, dll)
10 Saya melakukan terror kepada teman
yang tidak saya sukai dengan memberi
pesan menakut-nakuti dan mengancam
melalui sosial media (whatsapp, Instagram,
tiktok, dll)
11 Saya suka menjegal teman saya ketika
sedang berjalan
12 Saya suka menjitak atau melukai teman
yang lebih muda usia nya dari saya
13 Jika teman melakukan kesalahan,
saya
langsung menertawakannya di depan
teman
14 Saya meniru salah satu kebiasaan teman
saya dengan tujuan untuk menghina
52

15 Saya berkomentar dengan kata-kata kasar di


sosial media (whatsapp, instagram,
tiktok,dll)
16 Saya melihat dengan sinis kepada teman
yang tidak saya sukai ketika berpapasan
17 Saya menyindir teman yang tidak saya sukai
melalui status whatsapp/Instagram
18 Saya akan mempengaruhi teman saya untuk
membenci teman yang tidak saya sukai
19 Saya merasa puas memukul teman yang
tidak saya sukai di depan teman-teman saya

Anda mungkin juga menyukai