Anda di halaman 1dari 21

Pengalaman Mistik, Doktrin Mistik, dan Teknik Mistik Menurut Peter Moore

Nama Kelompok :
1. Sajidatul Musanna (1733143066)
2. Sofi Maphiyoh (17331430)
3. Syafi'ah Wulan S. (1733143070)

Analisis filosofis tentang mistisisme terdiri dari dua alur penyelidikan yang tumpang
tindih: pada satu sisi adalah identifikasi dan klasifikasi ciri-ciri fenomenologis dari pengalaman
mistis, dan pada sisi yang lain adalah penyelidikan status epistemologis dan ontologis dari
pengalaman ini. Alur penyelidikan pertama ummnya difokuskan pada pernyataan, apakah
pengalaman mistis yang dilaporkan dalam berbagai kebudayaan dan tradisi religious yang
berbeda-beda pada dasarnya merupakan satu jenis, ataukah ada perbedaan jenis yang
signifikan. Alur kedua penyelidikan ini berpusat pada pernyataan, apakah pengalaman mistis
adalah fenomena yang murni subyektif, ataukah ia mempunyai semacam validitas objektif dan
signifikansi metafisik yang diklaim oleh para mistikus dan yang lainnya. Sekarang, fakta bahwa
pertanyaan-pertanyaan ini terus dijawab dengan cara yang beragam dan bertentangan, mau tak
mau memunculkan dua pertanyaan yang lebih fundamental lagi: pertama, apakah data untuk
analisis filosofis mistisisme, benar-benar merupakan sebuah landasan yang cukup kuat bagi jenis
penyelidikan yang dipilih? Kedua, apakah metode dan persangkaan teoritis dari penyelidikan ini
dengan tepat disesuaikan dengan kehalusan dan kompleksitas pokok persoalan? Dalam artikel ini
saya harus mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan metodologis ini, dengan begitu saya akan
menjernihkan jalan agar dapat ditemukan jawaban yang memuaskan terhadap dua pertanyaan
yang sesungguhnya tadi.
Tampaknya seringkali dilupakan bahwa data serta-merta dari analisis filosofis terhadap
mistisisme bukanlah pengalaman mistik itu sendiri, tapi catatan-catatan mistik tentang
pengalaman-pengalaman ini. Jadi, keberhasilan analisis filososfis utamanya bergantung pada
seberapa luas catatan-catatan ini membuat bisa diakses oleh penyelidikan non-mistis kepada
pengalaman-pengalaman yang dirujuknya. Sekarang sejumlah filosof telah berpendapat bahwa
catatan mistikus tentang pengalaman mereka tidak memungkinkan bisa diakses oleh
penyelidikan rasional. Bagi mereka, batasan penyelidikan rasional adalah penemuan bahwa
setidaknya sejauh berkaitan dengan non-mistik pengalaman mistik adalah tidak terkatakan.
Argumen-argumen tentang ketidakterkatakannya pengalaman mistis memberikan sebuah titik
awal yang tepat sekali lagi sebuah penyelidikan tentang asal mula dan hakekat bahasa dan
literature mistik.
Alasan-alasan yang dipertanyakan, mengambil isyarat mereka baik dari rujukan eksplisit
pada ketidakterkatakannya tulisan mistik dan ciri-ciri bahasa mistik yang memberi kesan atau
menyatakan secara tidak langsung ketidakterkatakannya itu. Sekarang pertanyaan pertama
tentang ketidakterkataan yang harus dijawab sebagai berikut: jika pengalaman mistis adalah
tidak terkatakan, mengapakah dalam kenyataannya para mistikus menulis begitu banyak tentang
itu? Jawaban yang paling radikal yang telah diajukan adalah bahwa tulisan-tulisan mistik harus

1
dianggap bukan sebagai sebuah catatan deskriptif, tapi utamanya lebih sebagai kegunaan teologis
atau kebaktian, atau diperuntukkan bagi pemberian saran praktis dan dorongan semangat untuk
para mistikus yang berkeinginan kuat. Fakta bahwa para mistikus mempunyai motif dalam
menulis selain daripada keinginan untuk mengkomunikasikan informasi tentang pengalaman
mereka, tentu perlu penekanan dalam konteks analisis filosofis, di mana ada tendensi untuk
memperlakukan tulisan-tulisan mistik seolah-olah semua itu dimaksudkan sebagai laporan klinis
dari pengalaman. Tapi alasan bahwa tulisan mistik utamanya berciri non-deskriptif, tidaklah
dapat dipertahankan. Sebab sejak awal penggunaan deskriptifnya dan khas terjadi dalam konteks
yang terakhir. Menafsirkan makan sebuah pengalaman, mengungkapkan respons seseorang
kepada penagalaman itu, atau menganjurkan orang lain untuk mengusahakan pengalaman seperti
itu untuk diri mereka sendiri-semuanya adalah operasi lingusitik yang membutuhkan setidaknya
sebuah deskripsi minimum dari apa yang sedang ditafsirkan, direspon atau dianjurkan. Kedua,
sangat jelas bahwa begitu banyak tulisan mistis yang kenyataannya benar-benar deskriptif. Hal
ini terjadi tidak hanya pada catatan-catatan mereka yang mempunyai pengalaman, karena mereka
terjadi secara bebas dari praktek agama apapun, yang dapat disebut pengalaman mistik 'alami',
tapi juga tulisan-tulisan para mistikus, yang karena pengalaman mereka 'diusahakan' disiplin-
disiplin tradisi agama tertentu, nyata sekali mempunyai motif untuk menulis selain daripada
keinginan untuk menjelaskan pengalaman mereka. Maksudnya, meskipun tulisan-tulisan ini
utamanya mempunyai kegunaan teologis, kebaktian atau praktis, mereka juga mengandung-
selain minimum deskriptif yang tidak terkatakan dan sekalipun demikian tendensi di antara
mistikus religious untuk menahan diri dari memberikan banyak detail tentang pengalaman
mereka sendiri secara khusus-sejumlah penjelasan detail tentang pengalaman itu, yang
kebanyakan darinya sangat canggih bahkan menurut standar psikologi dan ilmiah modern. Jadi,
mistik dianggap sebgai setidaknya secara substansial bersifat deskriptif, maka alasan tentang
ketidakterkatakannya pada hakekatnya adalah: bahwa para mistikus, entah ia mengakui
kenyataan ataupun tidak, secara fundamental telah gagal dalam usaha mereka untuk
mengkomunikasikan pengalaman mereka, kepada orang nin-mistikus. Apa yang ingin saya
kemukakan adalah, bahwa tidak ada bukti nyata untuk pandangan yang ekstrim ini.
Saya pikir, penting untuk membedakan tiga kategori dasar dari tulisan mistik: 1) laporan
otobiografis tentang contoh atau jenis khas dari pengalaman mistis. 2) catatan yang tidak pribadi,
yang tidak perlu secara khusus berdasar pada pengalaman penulis sendiri, dimana pengalama
mistis cenderung diterangkan secara umum dan dalam istilah-istilah abstrak. Sebuah sub-
kategori disini akan berupa catatan streotipe atau terkonvensionalisasi tentang pengalaman mistis
yang terdapat dalam Kitab-kitab Suci dan seringkali buka merupakan karya seorang penulis
tunggal, atau tidak diketahui penulisnya. 3) tulisan dari tiga jenis teologis atau liturgis yang
meskipun merujuk pada sejumlah objek atau realitas mistis, namun tidak merujuk- setidaknya
secara tidak langsung-pada pengalaman mistis itu sendiri. Tiga kategori tulian mistis ini akan
saya sebut secara berturut-turut sebagai golongan pertama, golongan kedua, dan golongan ketiga.
Sekarang menjadi jelas jika hanya tulisan golongan pertama dan kedua yang relevan dengan
analisis filosofis terhadap pengalaman mistis (dan kadangkala, tulisan golongan kedua tidak
boleh dianggap lebih rendah daripada tulisan golongan pertama, karena ia dapat meliputi

2
wawasan dan perspektif dari suatu jenis yang tidak dapat ditemukan dalam tulisan otobiografis).
Mengapa pembedaan antara tiga kaegori tulisan ini menjadi penting, adalah karena sebuah teks
tunggal mungkin berisi tulisan dari lebih dari satu kategori.
Sebuah proporsi yang besar dari pernyataan-pernyataan yang disebutkan untuk
mendukung argument radikal inefabilitas, kanyataannya harus diabaikan karena mereka berasal
dari tulisan golongan ketiga. Lebih jauh lagi, dari pernyataan-pernyataan yang tidak terkatakan
yang diambil dari kategori golongan pertama dan kedua yang relevan, banyak yang merujuk
pada jenis inefabilitas yang tidak mempunyai muatan langsung pada argument bahwa para
mistikus gagal mengkomunikasikan informasi tentang pengalaman mereka. Dua jenis seperti itu
layak dikenali disini. Pertama, adalah apa yang mungkin disebut sebagai jenis inefabilitas
'emosional'. Disini, pengertian normal dan sepele yang diterima, dimana tidak ada pengalaman
yang secara litereter dapat 'diberikan' dengan atau 'disampaikan' kepada orang lain, menjadi
sebuah batasan yang sangat menghalangi orang yang ingin mengkomunikasikan suatu
pengalaman yang dirasakan dengan dalam dan dihargai dengan mendalam (misalnya, rasa
syukur, cinta, keindahan, atau pengalaman religius). St Teresa dari Avila menulis tentang suatu
konteks:
Saya hanya pernah mengatakan betapa perlunya menjelaskan jenis visi dan tanda-tanda
yang diberikan Tuhan kepada jiwa; tetapi saya tidak dapat menjelaskan perasaan jiwa
ketika Tuhan menganugerahkan kepadanya sebuah pemahaman tentang rahasia dan
keajaibannya-sebuah kebahagiaan yang jauh di atas semua kebahagiaan yang dapat
dicapai di bumi, yang mengisi kita dengan sebuah perasaan jijik akan kesenangan hidup,
semuanya tak lain hanyalah kotoran.

Pengertian inefabilitas ini mungkin jenis yang paling sering diungkapkan dalam tulisan
mistik golongan pertama dan kedua-jika sesuatu merangsang si penulis pada usaha-usaha yang
lebih besar untuk mengkomunikasikan dan mungkin disanalah keberhasilan yang lebih besar.
Inefabilitas jenis kedua mungkin dapat disebut jenis 'sebab-musabab', di mana seorang mistikus
menyatakan bahwa ia tidak dapat memahami kapan atau bagaimana sejumlah pengalaman
muncul, atau kondisi apa yang melatarbelakangi pengalaman itu. Tapi jenis inefabilitas ini tidak
harus mempengaruhi kemampuan mistikus untuk menjelaskan isi sebenarnya dari pengalaman
itu. 'Saya tidak bisa menjelaskan, bagaimana datangnya apa yang kita sebuat sebagai penyatuan
itu, dan apa hakekat serta sumbernya' tulis St. Teresa; dan ia mempunyai hak yang bisa dikatakan
disini tentang struktur, isi, dan efek pengalaman jenis ini.
Ketika pengertian-pengertian inefabilitas yang snagat tidak relevan telah ditiadakan, kita
kemudian berada dalam sebuah posisi untuk menilai tingkat masalah yang diajukan oleh apa
yang sekarang dapat diidentifikasi sebagai jenis inefabilitas deskriptif. Dan segera menjadi jelas
bahwa pernyataan-pernyataan tentang inefabilitas deskriptif tidak mendukung pengalaman mistis
adalah secara radikal tidak terkatakan. Dibandingkan dengan pernytaan inefabilitas golongan
ketiga, yang pada khususnya komprehensif dan tidak bekrompomi dalam rujukan mereka
('Brahman bukanlah ini, bukan itu,' dan lain-lain), pernyataan-pernyataan inefabilitas deskriptif
biasanya memihak memenuhi syarat dalam rujukannya. Satu hal, jarang sekali pengalaman

3
sebagai satu keseluruhan tidak bisa digambarkan. Sekali lagi, ada aspek-aspek yang berlainan
dan setidaknya dalam mistisisme yang diusahakan tahapan yang berbeda-berbeda dari
pengalaman dan sangat berlainan pula dalam bagaimana mereka dapat dikomunikasikan. Para
mistikus tidak hanya menegaskan bahwa tidak ada kesulitan untuk menjelaskan pengalaman
mereka kepada sesama mistikus; mereka juga yakin jika pengalaman mereka dapat dijelaskan
dalam tingkat tertentu pada non-mistikus. Misalnya, tentang satu dari tahapan yang lebih rendah
dalam pengalaman kontemplatifnya, St. Teresa dari Avila menulis: 'Ini akan dengan mudah
dipahami oleh siapapun yang telah dianugerahi oleh Tuhan, tapi orang lain pun akan berhasil
menemukan banyak kata perbandingan. Kebutuhan akan banyak kata dan perbandingan ini,
merupakan sebuah alasan prinsipil akan banyaknya tulisan mistis. Namun, pada tingkat
pengalamannya yang lebih tinggi, St. Teresa menulis: 'Saya tidak tahu jika telah menyampaikan
kesan apapun tentang hakekat keterpesonaan: untuk memberikan gagasan yang utuh tentang itu,
sebagaimana pernah saya katakan, adalah tidak mungkin. 'Jika mistikus dalam konteks tertentu
berpendapat bahwa sebuah pengalaman adalah dapat dijelaskan dan pada kesempatan yang lain
tidak dapat dilukiskan, ini tidak menjadi bukti kepastian atau ketidakkonsistenannya, tapi sangat
mungkin menjadi bukti bagi fakta bahwa ada tahap tertentu atau aspek pengalaman yang sedang
dirujuk (meskipun tidak diragukan lagi bahwa para mistikus berbeda-beda keahlian mereka
dengan kata-kata dan dalam optimism mereka tentang kemampuan orang non-mistikus untuk
memahami apa yang mereka katakan). Lebih jauh lagi, meski aspek-aspek atau tahap-tahap
pengalaman mistis itu diakui sulit atau tidak mungkin untuk dijelaskan, namun tidak menjadikan
semua itu diluar kemungkinan untuk dikomunikasikan. Sebab jika para mistikus memakai bahasa
dengan semua pertanggungjawaban sehingga bahkan apa yang mereka katakana tentang
ketidaktergambaran jenis atau aspek pengalaman tertentu, setidaknya berguna untuk menjelaskan
mereka dalam hubungannya dengan sebuah kelas pengalaman yang diketahui. Jadi, ketika St
John sang salib menganggap keterlukiskannya pengalaman 'tersentuhnya Dzat Tuhan dalam dzat
jiwa', ia setidaknya mengkomunikasikan sesuatu dari pengalaman itu dengan menjelaskannya
melalui istilah-istilah seperti 'dzat', 'sentuhan', dan lain-lain. Demikian juga, pernyataannya
bahwa halusnya kegembiraan yang terasakan dalam pengalaman adalah 'tidak mungkin
dijelaskan', sejauh itu bukan kasus inefabilitas 'perasaan', setidaknya ia menjelaskan pengalaman
dalam kelompok 'kebahagiaan yang tidak mungkin digambarkan', yang jauh dari tanpa makna
bagi orang non-mistikus.
Telah diketahui secara luas bahwa para mistikus menggunakan banyak bahasa
perlambang dan simbolik untuk mendukung pernyataan-pernyataan literer mereka. Kekuatan
gaya bahasa semacam itu untuk menimbulkan atau mengkomunikasikan pengalaman, jelas
sangat besar dalam konteks non-mistik, dan tidak ada alasan untuk menduga bahwa para
mistikus tidak menggunakannya dengan efektif dan seimbang. Dalam konteks tertentu, tentu saja
penggunaan gambaran-gambaran dan symbol-simbol oleh para mistikus mungkin tidak lebih
memberi harapan atau membantu dibandingkan usaha untuk menyampaikan gagasan tentang
warna merah pada orang yang tidak dapat membedakannya dengan mengatakan bahwa itu adalah
'hangat dan menyolok mata'. Intinya adalah bahwa keberhasilan bahasa figurative maupun literer
tergantung pada sejumlah kontinuitas pengalaman dan kosakata antara penulis dengan pembaca.

4
Sekarang para mistikus kenyataannya menulis seakan-akan kontinuitas semacam ini ada. Dalam
kasus ini, hubungan antara mistikus dan non-mistikus bukanlah - sebagaimana sering diduga –
seperti hubungan antara orang yang melihat dengan orang buta, tapi lebih sebagai hubungan
orang yang melihat dengan orang yang setidaknya mempunyai pandangan samar-samar. Kaum
mistikus bukanlah termasuk kelompok orang-orang yang terputus sama sekali dari orang-orang
non-mistikus; harus diingat bahwa mereka pernah menjadi orang non-mistikus. Karena itu dalam
menuliskannya, mereka harus selalu sadar akan keterbatasan dan kemampuan usaha mereka
untuk mengkomunikasikan pengalaman mereka kepada orang non-mistikus.
Dengan mengesampingkan observasi sebelumnya, mungkin masih bisa diperdebatkan
bahwa betapapun ahlinya usaha mistikus untuk mengkomunikasikan pengalamannya, apa yang
paling esensial darinya adalah selalu menghindarkan konseptualisasi rasional. Salah satu ciri
bahasa mistik yang biasa dipakai sebagai bukti ini adalah penggunaan paradox. Tentu saja ada
berbagai cara untuk menunjukkan bahwa paradoks tidaklah diharapkan secara literer. Tapi
alasannya adalah bahwa teori-teori seperti itu tidak sesuai dengan paradox mistik. Apa yang
ingin dijelaskan oleh mistikus tidak dapat dijelaskan tanpa jatuh pada kontradiksi, meskipun
orang mungkin mempertimbangkan sistem bahasa lain di mana pengalaman dapat dijelaskan
tanpa kontradiksi seperti itu. Alternatif satu-satunya adalah dengan mengadopsi teori yangagak
eksentrik, bahwa paradox mistik mencerminkan deskriptif akurat dari sebuah pengalaman yang
secara literer memang kontradiktif dengan dirinya sendiri.
Tetapi sebelum kebutuhan untuk memilih sebuah teori tentang paradox mistis, muncul
sebuah kebutuhan yang lebih mendasar-yaitu, untuk menetapkan kebenaran dari pandangan yang
diterima luas, seperti seorang yang terkenal berkeyakinan bahwa:
Paradoks-paradoks mistikus adalah pusat pengalamannya, dan penggambaran yang
kontradiktif adalah satu ciri yang paling menentukan dari usahanya untuk mengatakan
seperti apa pengalamannya. Lebih buruk lagi, nyata bahwa mistikus tidak hanya
merasakan bahwa pengalaman itu memang berjenis kontradiktif, tapi… bahwa objek dari
pengalamannya mempunyai sifat-sifat kontradiktif.
Penulis yang sama mengutip baris berikut dari Isha Upnishad (agama Hindu) sebagai
satu contoh:
Yang Satu, meskipun tidak pernah menggerakkan, ia lebih cepat daripada pikiran…
Meskipun diam, ia menyusul mereka yang berlari…
Ia bergerak dan diam.
Ia jauh sekali, sekaligus dekat.
Ia di dalam semua ini, dan ia diluar semua ini pula.

Ini adalah kekhasan dari bukti yang dikemukakan untuk kemenyeluruhan dan
ketidakdapatterpecahnya paradox mistis. Maka tidak dipertanyakan apakah bagian seperti diatas
menjadi penjelasan dari sebuah pengalaman yang tampak kontradiktif, dengan alasan sederhana
bahwa mereka bukan merupakan penggambaran pengalaman jenis apapun. Kenyataanya, bagian
yang dikutip tadi tepatnya merupakan jenis kategori golongan ketiga tulisan mistis. Jenis paradox
yang dikandungnya dengan mudah dapat dijelaskan, sekali konteksnya yang serta merta dan

5
lebih luas dipertimbangkan, sebagai sebuah penjajaran retoris tentang wawasan komplementer
perihal imanensi dan transedensi Brahman.
Sekarang, sebuah penelitian mendalam tentang tulisan mistis akan menunjukkan bahwa,
tatkala paradox dengan jujur ditempatkan dalam golongan ketiga tulisan mistis, maka terlalu
sedikit bukti yang tersedia untuk konteks golongan kedua, sedangkan tulisan golongan pertama
tampaknya tidak ada sama sekali. Ini tidak hanya berarti bahwa paradox tidak dapat diperlakukan
sebagai halangan utama pada analisis filosofis terhadap pengalaman mistis; tapi juga
mengajukan sebuah cara penjelasan paradox kapanpun ia muncul dalam tulisan mistis. Karena
jika benar bahwa semakin tidak berterus-terang penjelasan sebuah konteks, maka semakin sering
muncul paradox, maka tampaknya masuk akal untuk mengasumsikan bahwa paradox sendiri
tidaklah deskriptif dan berterus-terang, dan inipun terjadi meski ketika menghasilkan penjelasan
konteks secara terus terang. Dengan kata lain, paradox mistis paling masuk akal dijelaskan sesuai
dengan jenis teori yang sama, dengan cara paradox dijelaskan dalam konteks non-mistis.
Sesungguhnya hampir semua paradox mistis hanya membutuhkan dorongan kecil sebelum
makna yang sesungguhnya dapat disingkap, ketika banyak ungkapan perlambang yang
digunakan oleh para mistikus-seperti membicarakan kebutaan karena cahaya yang berlebihan
atau terluka karena manisnya kesakitan cinta-hampir tidak dapat dianggap sebagai paradoksal
meski permukaan saja. Singkatnya, tidak ada bukti bahwa para mistikus dipaksa oleh
pengalamannya untuk melanggar aturan nin-kontradiksi dalam tulisan merek. Dan ketika makna
sesungguhnya dari sebuah paradox masih samar-samar, tampaknya masuk akal untuk
mengasumsikan bahwa sebuah paradox tidaklah disengaja secara literer, kecuali para mistikus
menegaskan kebebasannya untuk menggunakan paradox itu sendiri. Jika para mistikus benar-
benar mempunyai pengalaman yang secara literer kontradiktif dari jenis yang dikesankan tadi,
orang akan mengharap untuk mendengarnya lebih banyak daripada sekadar keberadaan paradox
dalam tulisan itu saja. Dalam mistisisme, sebagaimana dalam konteks lain, penggunaan paradox
tampaknya bukan menjadi contoh sebuah kegagalan bahasa, melainkan penerapan bahasa yang
efektif. Bukan, istilah 'paradoks' dalam penggunaan bahasa Inggris yang ketat berarti 'sebuah
pernyataan yang bertentangan yang tidak dimaksudkan secara literer.'
Para mistikus tidak merahasiakan kesulitan mereka dengan bahasa, dan hakekat
kesulitan-kesulitan ini tidak boleh diremehkan. Tapi saya tidak berpikir bahwa ada satu bukti,
entah dalam bentuk bahasa mistis itu sendiri ataupun dalam apa yang dikatakan dalam
mengomentari tulisan mereka, untuk memberikan dukungan kepada pandangan bahwa
pengalaman mistis adalah tidak dapat dicapai hingga pada tingkat pemahaman yang substansial
dan analisis kritis oleh non-mistikus. Tidak ada seorang pun yag berkenalan dengan tulisan
mistis pernah gagal terpengaruhi oleh ketelitian dan kehalusan yang ditulis oleh banyak mistikus
tentang pengalaman mereka. Dan khususnya tidak ada bukti yang menyatakan bahwa mistikus
tidak mematuhi peraturan yang sama dalam bahasa dan logika yang diterapkan dalam tulisan
non-mistik. Alasan mengapa tulisan mistis seringkali tampak samar-samar adalah karena ia harus
dianalisa dengan layak berkaitan dengan doktrin-doktrin, praktik-praktik, dan lembaga-lembaga
yang membentuk kerangka rujukannya yang lebih luas.

6
Jika pengalaman mistis dapat dijangkau oleh analisis filosofis, maka kebutuhan
metodologis prinsipil dari analisa ini adalah sebuah pemahaman yang sebaik-baiknya terhadap
perbedaan antara pengalaman mistis dengan cara-cara penafsirannya. Sayangnya perbedaan
krusial ini seringkali terlalu disederhanakan dan percabangannya yang lebih luas diabaikan.
Penulis karyanya mungkin telah meneliti pengaruh terbesar terhadap studi mistisisme dalam
tahun-tahun terakhir, mendefinisikan penafsiran sebagai 'segala sesuatu yang ditambahkan oleh
intelek konseptual kepada pengalaman dengan kegunaan untuk memahaminya, entah apa yang
ditambahkan itu hanya konsep-konsep pengklasifikasi, atau sebuah kesimpulan logis, atau
sebuah hipotesis penjelasan', dan pencariannya akan sebuah 'aras universal' dari pengalaman
mistis dipahami sebagai sebuah usaha 'untuk menembus selubung kata-kata menuju tubuh
pengalaman. 'Ketidakcukupan mendasar dari pemahaman tentang perbedaan ini jarang sekali
dikurangi oleh pengakuan bahwa pengalaman dan penafsiran adalah 'dapat dibedakan meskipun
tidak sepenuhnya dipisahkan', atau bahwa perbedaan itu tidaknya tampak jelas dalam praktek
tapi hanya dalam prinsip, atau tidak mungkin untuk memberikan sebuah deskripsi tentang
pengalaman mistis secara lengkap yang bebas dari penafsiran. Karena intinya adalah, bahwa
dalam mistisisme-sebagaimana dalam konteks 'pengalaman' dan 'penafsiran' yang lain-pada
prinsipnya tidak ada kategori-kategori epsitemologis mutual yang khusus. Banyak
ketidaksetujuan tentang berbagai ragam atau sebaliknya tandan pengalaman mistis, dari sebuah
kegagalan dalam analisa teoritis dan penerapan metodologis dari perbedaan-atau, lebih tepatnya,
hunungan yang kompleks ini antara pengalaman dan penafsiran.
Kompleksitas perbedaan ini paling bagus ditelusuri dalam konteks tulisan mistis yang
membentuk data langsung untuk analisa filosofis terhadap mistisisme. Saya menyaranka bahwa
tulisan-tulisan ini tampaknya terdiri dari empat elemen teoritis yang berbeda:
1) Rujukan pada penafsiran doktrinal yang disusun sesudah pengalaman itu berakhir. Ini
membentuk apa yang saya sebut penafsiran retrospektif.
2) Rujukan pada penafsiran yang disusun secara spontan atau selama pengalaman itu sendiri
atau segera sesudahnya. Ini adalah elemen penafsiran refleksif.
3) Rujukan pada ciri-ciri pengalaman yang telah disebabkan atau dikondisikan oleh keyakinan-
keyakinan, harapan dan niatan mistikus sebelumnya. Ini saya sebut penafsiran gabungan.
Ada dua jenis dari golongan ini yang tampaknya serupa:
a) Gagasan-gagasan dan imaji-imaji yang tercermin dalam sebuah pengalaman dalam
bentuk visi dan cara pengungkapan dan seterusnya (penafsiran reflektif).
b) Ciri-ciri pengalaman yang dibentuk ke dalam apa yang dapat disebut analog-analog
fenomenologis terhadap sejumlah keyakinan dan doktrin (penafsiran asimilasi).
c) Rujukan pada ciri-ciri pengalaman yang tidak disebabkan oleh keyakinan-keyakinan,
harapan dan niatan mistikus sebelumnya. Ini membentuk pengalaman mentah (sebuah
istilah yang tidak terlalu tendensius dibandingkan istilah pengalaman 'murni').
Skema hubungan antara pengalaman dan penafsiran ini bersesuaian dengan prinsip-
prinsip umum psikologi dan epistemology, dan sesuai dengan teori apapun asal-mula dan
signifikasi mistisisme. Secara khusus layak ditekankan bahwa skema ini tidak lalu menyatakan
pendapat seorang reduksionis tentang pengalaman mistis (meskipun sekalil lagi ini akan sesuai

7
dengan pendapat yang diajukan para reduksionis maupun). Kategori pengalaman mentah
membiarkan terbukanya semua pernyataan penting tentang sumber tertinggi dan signifikasi dari
pengalaman mistis. Bahkan tidak juga teolog mistis paling supranatural dari Katolik Roma akan
memperdebatkan keberadaan dalam pengalaman mistis apa yang telah saya definisikan sebagai
penafsiran gabungan. Tidak juga seorang doctor dalam Abhidama Theravada akan menemukan
skema itu tidak cocok dengan analisisnya sendiri tentang tingkat kesadaran yang lebihn tinggi.
Masalah utamanya tentu saja adalah sungguh-sungguh membedakan antarelemen yang berbeda-
beda dalam catatan pengalaman mistis tertentu. Kemudian, hingga usaha dilakukan bahkan jika
hanya dalam sebuah cara yang spekulatif dan bersifat sementara ada sedikit peluang untuk
mendekati kesimpulan yang sah tentang fenomenologi atau epistemologi pengalaman mistis.
Lebih jauh lagi, jika sebuah analisa dari teks tertentu ingin berhasil, ia harus dipandang dalam
hubungan engan doktrin, praktik, dan lembaga-lembaga yang tampaknya mempengaruhi baik
pengalaman itu sendiri maupun cara pengalaman itu diingat kembali dan diterangkan. Dan
pengaruh yang dipertanyakan itu meliputi tidak hanya penafsiran tapi juga pemilihan; karena
seorang mistikus tampaknya selektif, tidak hanya dalam apa yang diingatnya tentang
pengalamannya tapi juga kususnya dalam tulisan golongan kedua, detail-detail apa yang
diingatnya dari pengalamannya yang dianggapnya layak untuk dicatat. Berikutnya, saya harus
mempertimbangkan jenis pengaruh yang mungkin diharapkan dari setiap sumber yang
disebutkan diatas, sebelum meneruskan sejumlah obsernasi tentang hakekat pengalaman mistis.
Mereka yang membayangkan bahwa perbedaan antara pengalaman dan penafsiran,
setidaknya dalam prinsip adalah nyata, dengan bukti yang sama yang cenderung untuk
memperlakukan elemen doktrinal dalam sebuah catatan sebagai faktor-faktor yang tidak relevan,
jika tidak membuat kesukaran, pada analsisis fenomenologis dari pengalaman yang ditanyakan.
Maka, mengabaikan elemen-elemen doktrinal dalam sebuah tulisan adalah beresiko
mengabaikan ciri-ciri penting dari pengalaman itu sendiri. Karena ada sebuah saling
mempengaruhiyang kompleks antara pengalaman dan doktrin, baik pada level eksternal dimana
doktrin mempengaruhi pemaparan sebuah pengalaman, dan pada level internal di mana doktrin
dapat mempengaruhi substansi pengalaman itu sendiri. Pendapat bahwa elemen doktrinal dalam
sebuah tulisan akan mengaburkan hakekat sesungguhnya dari pengalaman yang dijelaskan, sama
saja dengan seumpama mengatakan bahwa jika kita ingin mengetahui seperti apa ayam itu,
pertamakali kita harus mencabut semua bulunya.
Lebih dulu kita harus mempertimbangkan perihal saling mempengaruhi secara internal
antara pengalaman dan doktrin. Bahwa sampai pada tingkat sebuah perbedaan yang nyata dapat
ditarik antara pengalaman dan penafsiran (seperti dalam prinsip dapat antara pengalaman mentah
dengan penafiran retrospektif), orang non-mistikus tidak seperti halnya mistikus masih belum
berada pada posisi untuk memandang pengalaman secara bebas dari kategori-kategori doktrinal
untuk menafsirkannya. Karena, meski tidak dapat ditekankan terlalu sering, sumber data non-
mistikus adalah catatan mistikus tentang pengalamannya yang telah ditafsirkan, dan orang non-
mistikus tidak dapat mengecek yang terakhir tadi dengan pengalaman aslinya. Hal yang paling
mendekati ideal adalah dengan membandingkan catatan yang diteliti dengan catatan lain dari
mistikus yang sama atau mistikus yang lain dari tradisi yang sama. Tapi perhatian utama adalah

8
bahwa elemen-elemen doktrinal dalam sebuah tulisan sendiri dapat menengahi informasi tentang
ciri-ciri fenomenologis dari pengalaman, dan karenanya tidak dapat diabaikan sebagai sebuah
tambahan yang tidak berguna atau sebagai pengkaburan yang problematis. Jadi, meskipun dalam
sejumlah catatan elemen doktrinal dan elemen fenomenologis dapat disejajarkan, dalam hal lain
(khususnya dalam tulisan golongan kedua) mereka dapat dipadukan. Dalam sejumlah tulisan
mistis misalnya, istilah-istilah doktrinal dan kutipan-kutipan atau perlambang dari kitab suci apat
digunakan sebagai semacam bahasa singkat dalam mendeskripsikan pengalaman mistis, sehingga
sebuah pemahaman terhadap terminology dan kitab suci dari tradisi seorang penulis seringkali
memberikan petunjuk tambahan tentang hakekat atau ciri-ciri pengalaman yang sedang
diselidiki. Singkatnya, kategori-kategori doktrinal dapat menjadi bahan analisis fenomenologis
tersendiri.
Perhatian berikutnya berhubungan dengan kesalingpengaruhan internal antara
pengalaman dan doktrin. Penafsiran seringkali menggambarkan seakan-akan ia adalah sesuatu
yang sekadar ditambahkan, atau dilapiskan, kepada inti pengalaman yang ada dan bebas. Secara
garis besar ini mungkin benar dalam kasus sejumlah catatan golongan pertama dari pengalaman
mistis 'natural', tapi ia sangat tidak mencukupi dalam kasus kebanyakan laporan dari pengalaman
yang diperoleh dalam sebuah tradisi religious, khususnya ketika laporan itu termasuk kategori
tulisan golongan kedua. Jadi, pandangan penafsiran seperti itu bahkan tidak akan diterapkan pada
penafsiran retrospektif; karena ini bisa dikembangkan sepanjang periode waktu dan dalam
hubungannya dengan keseluruhan urutan pengalaman, meskipun ia dapat dilekatkan pada
pengalaman tertentu yang diterangkan dalam sebuah catatan tertentu. Hubungan antara
penafsiran dengan pengalaman masih lebih kompleks lagi; karena seperti halnya penafsiran
dapat berubah atau berkembang dalam reaksinya terhadap ciri baru pengalaman atau dalam
kerangka pemahaman doktrinal baru, sehingga demikian juga pengalaman sendiri dapat
berkembang dalam kesesusaian dengan perubahan dalam keyakinan, pengharapan, dan tujuan
mistikus. Elemen ini dalam pengalaman yang saya sebut penafsiran gabungan jadi memperkuat
dan diperkuat oleh keyakinan-keyakinan mistikus, sehingga keyakinan ini sungguh dapat 'dibaca'
dari sebuah pengalaman ketika ditambahkan kepadanya (meskipun tentu saja tidak terbaca dalam
cara yang diduga oleh supranaturalis yang naif). Dan kemudian siklus saling mmeperkuat antara
pengalaman dan penafsirannya ini tidak perlu berupa siklus yang tertutup dan tidak berubah;
sifat-sifat baru dari pengalaman dan penafsirannyya dengan konstan akan tetap dimasukkan.
Tentu masih bisa dipertanyakan lagi, apakah memang dalam proses hubungan kompleks mereka
itu, pengalaman menjadi semakin dalam atau semakin dangkal, dan penafsiran menjadi semakin
akurat atau sebaliknya.
Kadangkala ada pendapat bahwa doktrin religious menyumbangkan kekaburan-
kekaburan pada pemahaman para mistikus sendiri terhadap pengalaman mereka, akibat wajarnya
adalah semakin sedikit persangkaan doktrinal yang dimiliki seorang mistikus, semakin ia
memahami hakekat sesungguhnya dari pengalamannya dan semakin ia dapat melaporkannya
secara akurat. Tapi ketika tidak diragukan lagi bahwa keyakinan dan pengaharapan seorang
mistikus tampaknya berpengaruh pada hakekat pengalaman maupun laporannya tentang
pengalaman itu, ini bukan lagi merupakan sebuah masalah dalam kasus mistisisme saja, namun

9
ada dalam kasus bentuk pengalaman yang lain. Karenanya, latar belakang doktrinal seorang
mistikus harus dipandang sebagai sebuah kunci menuju pengalamannya, dan bukannya sebagai
pintu yang memisahkan kita dari semua itu. Jika laporan mistikus tentang pengalamannya
tampak kabur, ini seringkali karena peneliti telah lalai untuk secara cukup mempelajari hakekat
tradisi tempat mistikus itu menulis. Namun, ada sebuah perkara yang lebih fundamental tentang
isu ini. Sangat jauh dari fakta bahwa keyakinan dan niatan seorang mistikuslah yang pertama kali
memotivasi dirinya untuk mendapatkan pengalaman, ada kemungkinan bahwa keyakinan-
keyakinan dan niatan ini tidak hanya sekedar mempengaruhi pengalaman dalam bentuk
penafsiran gabungan, tapi sebenarnya memudahkan dan secara literer 'mendidik' pengalaman
sebagai satu keseluruhan. Dalam kasus ini. pandangan bahwa laporan pengalaman mistis 'natural'
pastilah lebih informatif berkaitan dengan hakekat sesungguhnya dari pengalaman mistis
daripada laporan pengalaman yang diusahakan', adalah sangat salah. Tiadanya persangkaan
doktrinal mungkin mencegah seorang mistikus bukan hanya dari pemahaman dan penjelasan
keadaan mistisnya, tapi juga pertama-tama mencegahnya dari mengalami keutuhan keadaan ini.
Kepemilikan akan apa yang dapat disebut 'kosakata doktrinal' mungkin benar-benar berfaedah
untuk mengendapkan ciri-ciri hakekat pengalaman yang karenanya akan tetap pada batas
kesadaran jika tidak benar-benar berada di bawahnya. Pengalaman yang paling utuh dan
informatif mungkin adalah ketika subjek telah mempersiapkan diri sebelumnya-dipersiapkan,
dalam pengertian latar belakang doktrinal yang pasti. Akhirnya, jika doktrin benar-benar
mengaburkan pemahaman mistikus sendiri terhadap pengalamannya, orang dapat berharap
menemukan cukup bukti untuk ini dalam tradisi mistik; tapi buktinya adalah sebaliknya, bahwa
mistikus menganggap kosakata doktrinal mereka sebagai satu bantuan dan bukannya sebuah
halangan untuk mendapatkan dan menafsirkan pengalaman mereka.
Kemudian, saya harus mengalihkan perhatian pada hubungan antara pengalaman mistis
dan teknik-teknik mistis darimana ia dimunculkan. (Istilah 'dimunculkan' cukup ambigu di sini,
karena ia membukakan apa yang dalam konteks tertentu akan menjadi pertanyaan teologis yang
bersifat krusial: apakah pengalaman tertentu semata-mata merupakan hasil dari sebuah praktik
dari sekumpulan teknik tertentu, atau apakah praktik-praktik ini hanya mempersiapkan jalan bagi
kemunculan pengalaman itu melalui anugerah Tuhan). Kecenderungan untuk mengabaikan tenik
mistik dalam analisis filosofis adalah konsekuensi lebih lanjut dari memandang pengalaman ini
seakan-akan ia merupakan inti yang mencukupi dirinya sendiri. Dan alasan-alasan yang
berhubungan bahwa teknik mistik seperti itu adalah salah, bukan hanya sekedar karena ia
berhubungan dengan asumsi yang tidak terjamin bahwa kondisi sebab-musabab dari sebuah
teknik mistik tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap pengalaman itu sendiri, tapi lebih
radikal lagi karena ia menyatakan secara tidak langsung bahwa kondisi yang menyebabkan dari
sebuah pengalaman dan pengalaman itu sendiri, keduanya adalah dimensi khusus mistisisme.
Lebih jauh lagi, prinsip 'ketidakacuhan pada sebab-musabab' dalam analisis pengalaman mistis,
yang telah dipertanyakan dalam dirinya sendiri, dapat dengan mudah mengarah pada sebuah
ketidakacuhan pada data atau pertimbangan-pertimbangan yang relevan dengan pernafsiran yang
benar dari pengalaman ini. Pandangan akan hubungan antara praktik mistik dan pengalaman

10
mistis ini hanya dapat mengarah pada gambaran yang menyimpang dan gersang dari pengalaman
mistis.
Setiap catatan yang adekuat tentang praktik mistis harus mengandung keseluruhan
rencana praktik-praktik etis, asketis dan teknis yang biasanya diikuti oleh para mistikus dalam
agama tradisi tertentu. Di sini saya akan membatasi perkataan saya pada teknik-teknik yang
kurang lebih dikhususkan, yang merupakan persiapan langsung dari pengalaman mistis. Teknik-
teknik ini terbagi menjadi dua kelompok utama, yang bisa saya sebut meditasi dan yang kedua
adalah kontemplasi. Meditasi melibatkan aplikasi imajinasi yang tertib namun kreatif dan
pemikiran diskursif terhadap tema-tema religious atau pokok persoalan yang biasanya kompleks.
Sedangkan kontemplasi, meskipun dalam pengertian tertentu merupakan perkembangan dari
meditasi, kenyataannya berusaha untuk melampaui aktifitas imajinasi dan intelek melalui sebuah
konsentrasi intuitif pada objek, imaji atau gagasan yang sederhana. Pada saat aktifitas
kontemplasi inilah, biasanya pengalaman mistis biasanya dicapai. Jenis-jenis teknik ini tidak
dapat disepelekan dalam kajian pengalaman mistis. Perhatian kepada metode-metode dan pokok
perhatian dari sistem-sistem meditasi secara jelas, relevan dengan pengenalan dan pemahaman
penafsiran yang direfleksikannya, karena imaji dan gagasan yang diciptakan dengan sengaja
dalam meditasi tampaknya memberikan basis material bagi visi-visi dan perkataan-perkataan
yang disajikan secara objektif, yang seringkali membentuk bagian integral dari kesadaran mistis.
Tidaklah mengejutkan ketika memandang fakta bahwa bagi banyak mistikus, tindakan meditasi
akan perlu berisi, dalam bagian yang besar, dalam menghadirkan, memanggil, dan sejauh
dimungkinkan, memperbaiki dan selalu memperbarui banyak gagasan dominan tertentu, dan
dalam usaha dengan segala cara untuk memnuhi imajinasi dengan imaji dan gambaran-
gambaran, historis dan simbolis, seperti begitu banyak perwujudan dari kebenaran yang agung
ini.
Sedangkan kontemplasi, relevan dengan pemahaman akan pencernaan penafsiran, karena
setidaknya selama tahap yang lebih rendah dari pengalaman mistis, mistikus terus-menerus
membentuk atau mengontrol ciri-ciri tertentu dari pengalamannya. Jadi, tidak ada pembatas tegas
yang bisa ditarik antara kontemplasi sebagai sebuah aktifitas dan sebagai sebuah keadaan
kesadaran, seperti halnya jelas dari penggunaan kata 'kontemplasi' sendiri, sebagai satu istilah
yang serupa (dari bahasa Sanskrit, samadhi). Patut dicatat pula bahwa salah satu istilah yang
paling umum dipakai dalam tradisi Kristen untuk menunjukkan keadaan pengalaman mistis
adalah 'doa', yang dalam konteks non-mistik biasanya mempunyai konotasi aktif semata-mata.
Jadi, nama-nama yang diberikan pada keadaan tertentu dari 'doa' ('doa perhatian cinta', 'doa yang
hening', dan lain-lain) mengisyaratkan sifat aktif dan disengaja dari pengalaman-pengalaman
yang mungkin sebaliknya dianggap sebagai keadaan yang murni pasif. Bahkan dalam catatan-
catatan pengalaman mistis natural, ada indikasi bahwa pengalaman itu muncul dalam konteks
sebuah aktifitas yang dapat disamakan dengan teknik-teknik meditasi dan kontemplasi formal
dalam tradisi tertentu. Sebuah contoh yang bagus diberikan oleh pengalaman R. M. Bucke yang
dipopulerkan oleh Willian James. Pengalaman ini, meskipun sangat tiba-tiba dan tidak diduga-
duga, sangat jelas terjadi ketika Bucke sedang dalam keadaan pikiran yan gtenang dan pasif
setelah sesorean mendiskusikan puisi dan filsafat dengan beberapa kawan. Sekali lagi, ada

11
sejumlah bukti bahwa pengalaman ekstatik St. Paul mungkin tidak terlalu 'tidak diusahakan'
daripada yang diduga selama ini. Jadi, pengalaman penting St. Paul di jalanan Damaskus
tampaknya memotong sejumlah pembagian klasifikasi yang diinginkan-mistis/spiritual,
alami/diusahakan, individual, komunal, dan bahkan Yahudi/Kristen.
Akhirnya, penting untuk menyadari kemungkinan pengaruh latarbelakang intitusional
dan budaya yang lebih luas lagi dari seorang mistikus terhadap pengalaman mistis. Pengaruh-
pengaruh ini dalam banyak cara tidak lain adalah doktrin dan teknik. Jadi, dengan pandangan
bahwa mistikus entah bagaimana terbelenggu oleh doktrin-doktrin tradisi mereka, seringkali
dikaitkan dengan klaim bahwa para mistikus biasanya berada di bawah tekanan penguasa
kependetaan yang menjelaskan pengalama mereka dalam istilah ortodoks, sehingga sebuah
catatan mistikus tentang pengalamannya tidak dapat selalu dipercaya sebagai deskripsi akurat
dari pengalamannya, namun lebih sebagai sebuah penjelasan yang disesuaikan dengan konvensi-
konvensi. Ini kebanyakan diduga terjadi pada mistikus teistik, seringkali karena peneliti telah
mempunyai pemikiran sendiri sebelumnya bahwa teisme dan mistisisme tidak cocok, atau
setidaknya bukan partner yang damai. Kenyataannya, mistikus dari tradisi tertentu tidak lagi
menunjukkan kecenderungan kepada heterodoksi daripada yang dilakukan non-mistikus dalam
tradisi itu. Jadi, para mistikus seringkali terkenal karena keteguhan mereka mempertahankan
tradisi melawan keyakinan dan praktik-praktik heterodoks. Namun, tidak masuk akal untuk
menduga bahwa mistikus dari tradisi apapun harus menemukan pengalaman mereka sesuai
dengan doktrin-doktrin institusi di mana pengalaman mereka muncul; sementara interaksi
kompleks antara pengalaman dan penafsirannya benar-benar mengecualikan setiap
ketidakcocokan yang jelas antara sebuah 'pengalaman' pada satu sisi dan 'penafsiran' di sisi yang
lain.
Salah satu pengaruh institusional dan kultural yang penting terhadap pemaparan
pengalaman mistis adalah bahasa yang dipakai oleh mistikus, khususnya bahasa dari mereka
yang menulis dari dalam tradisi yang mapan. Saya telah mengatakan, tidak ada bukti bahwa
mistikus tidak menggunakan bahasa dengan sama hati-hati dan bertanggungjawabnya
dibandingkan kelompok penulis dibidang lain. Tapi tetap ada kemungkinan bahwa
kecenderungan (kalimat terakhir hlm. 169 terpotong)
-digemakan oleh tradisi mereka, mungkin bertindak menentang akurasi atau kepercayaan catatan
mereka. Meskipun kemungkinan ini tidak dapat diabaikan, khususnya dalam konteks tulisan
golongan kedua, masih tidak ada alasan untuk menduga bahwa mistikus yang menggunakan
kosakata konvensional tidak memilih kata-kata dan imaji tertentu yang sesuai dengan sifat asli
pengalaman mereka. Jadi, benar-benar karena kecocokan deskriptiflah sebuah kosakata
konvensional seketika menjadi konvensional. Kekaburan terhadap akurasi komunikasi
pengalaman mistis tampaknya timbul ketika kata-kata dan imaji konvensional tertentu, yang
dalam dirinya benar-benar cocok dengan pemaparan jenis atau aspek tertentu dari pengalaman,
pada akhirnya menjadi menyesatkan, entah karena pengaruh mereka telah ditumpulkan karena
digunakan secara berlebih-lebihan, atau karena dalam jangka penggunaanya terjadi pengertian
berlawanan yang ditambahkan terhadap mereka. Karenanya istilah-istilah demikian besar
kemungkinannya menyampaikan kesan yang salah, atau bahkan tidak memberikan kesan sama

12
sekali kepada pembaca. Sekali lagi, sebuah konsep atau imaji dapat menjadi efektif hanya ketika
diketahui konteks penggunaanya yang lebih luas. Seorang mistikus dapat diharapkan untuk
memilih kata-kata yang tepat dengan pemahaman pembacanya, hanya jika ia mengetahui
siapakah orang yang akan menjadi pembacanya. Tapi tentu saja apa yang tidak bisa diharapkan
dilakukan oleh seorang mistikus, adalah menuliskan untuk masa depan atau kebudayaan yang
tidak diketahuinya. Dalam kenyataanya, kebanyakan tulisan mistis yang diteliti sekarang ini
datang dari masa lalu, atau dari kultur yang cenderung tidak dikenal dengan baik. Salah satu
alasan mengapa bahasa para mistikus seringkali disalahtafsirkan, atau ditolak karena kabur atau
bahkan dianggap mengada-ada, adalah karena peneliti tidak memberikan cukup perhatian pada
latar belakang kultural dan kebahasaan dari catatan-catatan itu. Misalnya saja, kebanyakan
pelambang mistis yang seringkali ditafsirkan sebagai bukti bagi sifat seksual tersembunyi dari
pengalaman mistis, sesungguhnya berasal dari kosakata konvensional tentang cinta yang sopan,
kesatriaan, dan seterusnya yang tidak berurusan dengan jenis seksualitas yang ada dalam pikiran
pembaca modern. Bahasa mistik di sini lebih cenderung romantic daripada erotis, dan perbedaan
ini mungkin yang terpenting bahkan utntuk analisis fenomenologis dari pengalaman mistis yang
di teliti. (Dan bahkan ketika bahasa mistik dlaam kenyataanya jelas-jelas bersifat seks atau erotis,
pembacaan teks yang peka dan perhatian yang cermat terhadap konteks umumnya akan
memperlihatkan bahwa penulis, alih-alih menunjukkan gejala-gejala neurotic atau patologis, ia
menggunakan bahasa demikian dalam sebuah cara yang jelas sadar dan disengaja, yang
seringkali sebagai bagian dari sebuah simbolisme tradisional). Demikian juga, aoa yang
sesungguhnya dimaksudkan oleh mistikus ketika menjelaskan sebuah pengalaman yang lebih
tinggi dari pengetahuan atau pemahaman, sebagian akan bergantung pada konsep dan teori
pengetahuan apa yang ada pada masa atau budaya tempatnya hidup. Demikian seterusnya.
Akhirnya, ada kemungkinan bahwa faktor-faktor institusional dan kultural dapat
mempengaruhi tidak hanya cara mistikus melaporkan pengalamannya, tapi juga sifat asli
pengalaman itu sendiri. Pengaruh demikian mungkin termasuk konvensi-konvensi bahasa dan
ikonografi, bentuk dan ritme musik dan arsitektur, struktur politik dan pejabat agama, kebiasaan
dan tata karma sosial, dan sebagainya-semua yang pasti meresapi tulisan mistis di seluruh dunia.
Faktor-faktor ini akan dicerminkan dalam, atau dicernakan ke dalam subsatansi sebuah
pengalaman, dengan cara yang sama ketika saya mengatakan bahwa doktrin-doktrin
terefleksikan atau tercernakan. Seperti yang diamati oleh seorang sejarawan sosial terkenal,
'bahkan cara pikiran kita melaporkan pengalaman kepada kita dapat disusun oleh aturan-aturan
bahasa, seni, dan sebagainya,' sehingga 'ketika symbol-simbol kita ciptakan, ciptaan-ciptaan ini
dengan cara yang aneh menjadi hidup, mengatasi kita, dan menyebabkan kita dan pengalaman
kita menyesuaikan diri dengan anatomi mereka. Tapi, di sini juga harus ditekankan bahwa
pengaruh seperti itu tidak mengisyaratkan perubahan dari apa yang sebaliknya akan menjadi
sebuah pengalaman 'murni'. Jika sebuah pengalaman tidak dikondisikan oleh sekumpulan faktor-
faktor kultural maka ia akan dikondisikan oleh sesuatu yang lain, sebab ketika ia telah (atau
dapat) bebas dari semua pengkondisian kultural apapun, ia mungkin tidak menjadi 'murni' karena
tanpa bentuk dan tidak berkembang. Dalam kasus sepeti itu, subjek pengalaman tidak hanya
akan kekurangan cara untuk mengkomunikasikan pengalamannya secara masuk akal kepada

13
orang lain, tapi juga kesulitan untuk menggambarkannya baik secara refleksif maupun
retorpekstif, kepada pemahamannya sendiri.
Terlepas dari pengaruh yang diberikan pada pengalaman mistis oleh ketentuan-ketentuan
bahasa, seni, dan lain-lain, tidak ada keraguan adanya pengaruh yang lebih umum dan kurang
nyata pada karya. Atmosfer dan sikap masyarakat secara keseluruhan, dengan cara yang halus
dapat mempengaruhi pengalaman mistis para anggota masyarakat. Timbulnya pengalaman,
intensitasnya, dan bahkan isi dari sebuah pengalaman tampaknya berubah-ubah sesuai dengan
adanya stereotip sosial yang menyenangkan ataupun tidak terhadap pengalaman mistis (atau
jenis pengalaman mistis tertentu) dan sesuai dengan apakah pengalaman mistis itu didukung,
tidak didukung, atau sekedar diacuhkan. Dalam konteks ini, penting (dan juga menarik) untuk
dicatat bahwa sebuah monograf yang diterbitkan oleh seorang anggota Institut Leningrad yang
diabdikan untuk kajian interdisipliner tentang:
(a) Alasan-alasan muncul dan berkembangnya pengalaman religious, (b) ciri-ciri khas
dan bentuk perwujudan mereka, (c) ciri-ciri yang menandai pengalaman religious
dalam kondisi masyarakat sosialis, dan (d) cara untuk menaggulanginya.
Dan dalam kajian yang lain, penulis yang sama menyatakan sebuah penghargaan yang cerdas
terhadap setidaknya satu aspek dari pengalaman religius dalam pendapatnya bahwa
Untuk mengatasi keadaan emosional religius, propaganda ateistik harus berdasarkan pada
‘persediaan pengalaman-pengalaman dari orang yang belum dibentuk oleh agama, dan
yang dengan arahan yang tepat dapat meniadakan pengalaman religius’, karena dunia
psikologis orang yang beriman mengandung sebuah system ‘organisasi dan pengaturan
sendiri’ yang sangat sulit untuk ditanggulangi secara langsung.
Jika sebuah pemahaman yang tepat terhadap hubungan antara pengalaman dan penafsiran adalah
prasyarat utama untuk analisa fenomenologis yang akurat terhadap pengalama mistis, apa yang
juga dibutuhkan adalah sebuah kosakata deskriptif yang adekuat, yang bisa menampung hasil
analisis ini tanpa mengalami penyimpangan. Kosakata demikian harus bersesuaian dengan
deskripsi mistikus sendiri tentang pengalaman mereka, sambil tetap netral untuk memahami
signifikansi metafisik yang dikatakannya. Misalnya, jika seorang mistikus melaporkan
pengalaman hilangnya diri, diterjemahkan dalam istilah-istilah seorang penganut metafisika
monistik, maka si peneliti fenomenologi tidak dapat beranjak lebih jauh daripada sekedar
menggolongkan jenis atau sifat pengalaman ini sebagai hilangnya rasa atau jiwa, atau hilangnya
kesadaran diri. Namun, sebuah laporan tentang penyatuan dengan Tuhan, tampaknya lebih sulit
untuk diurai secara fenomenologis, tergantung pada detail-detail tertentu dari klaim itu dan pada
petunjuk-petunjuk yang diberikan di suatu tempat oleh laporan itu, dan salah satu dari berbagai
macam penggolongan mungkin cukup tepat. Pengalaman ini mungkin sekedar sejenis hilangnya
perasaan atau jiwa yang secara retrospektif ditafsirkan sebagai kesatuan atau penyatuan dengan
Tuhan. Atau ia mungkin sebuah pengalaman yang gamblang dari sosok spiritual yang dengan
tidak tepat ditafsirkan sebagai sebuah penyatuan dengan sosok tersebut-identifikasi sosok ini
sebagai ‘Tuhan’ secara teoritis menjadi bagian tersendiri dalam penafsiran. Atau juga dapat
dijelaskan dari catatan ini, bahwa pengalaman itu secara fenomenologis benar-benar sebuah
perasaan hubungan atau penyatuan dengan sosok personal yang dirasakan sebagai penuh cinta,

14
Kuasa, dan lain-lai. Dan bahkan contoh-contoh dari jenis ini terakhir ini, ketika secara alamiah
mereka akan dipakai untuk mendukung klaim metafisik yang sangat kuat tentang keberadaan dan
sifat-sifat Tuhan, sesungguhnya ia tidak pernah dapat menutup jurang antara fenomenologi dan
metafisika, karena istilah ‘Tuhan’ dalam tradisi teistik apapun secara metafisik menyatakan lebih
daripada yang dapat dikuatkan oleh data pengalaman individual ataupun sekumpulan
pengalaman. Para mistikus sendiri akan menjadi orang pertama yang membenarkan hal ini.
Akhirnya, dengan mengesampingkan netralitas metafisik dari kosakata deskriptif,
kosakata ini tetap akan berisi rujukan-rujukan kepada elemen-elemen metafisik, yaitu pada
elemen-elemen yang ada dalam pengalaman melalui penafsiran gabungan. Karena meskipun
elemen-elemen ini dapat dikenali seperti itu, mereka masih menjadi bagian dari pengalaman,
sebagai bagian dari pengalaman mentah, yang didalamnya mereka terikat kuat dan mendalam.
Namun, dalam kebanyakan kasus, adalah persoalan keraguan dan spekulasi, tentang apakah
aspek tertentu dari pengalaman mencerminkan penafsiran gabungan. Satu metode kasar dan telah
siap akan berupa: di mana ada keraguan bahwa sifat tertentu dari pengalaman-sebut saja x-
merupakan satu contoh dari penafsiran gabungan, maka ia sekadar digolongkan sebagai ‘x’; dan
ketika hamper pasti bahwa itu adalah penafsiran gabungan-misalnya, sebuah visi tentang Kristus
dalam gaya Duccio-maka ia akan digolongkan (x), tapi apapum tingkat yang diberikan oleh
penglaman atau aspek dari pengalaman yang dapat dikelompokkan sebagai ‘gabungan’, meski
demikian tersisa kemungkinan ia mempunyai sebuah sumber atau rujukan transenden (non-
subjektif).
Detail kepelikan yang dalam dari kebanyakan tulisan mistisime, kenyataannya
membutuhkan kosakata yang sangat kompleks dan terpilih dari analisin fenomenologis, begitu
sulitnya sehingga seorang peneliti sangat mungkin melupakan detail tertentu yang ada pada
laporan, ataupun menganggap ada detail yang sebenarnya tidak ada. Di sisi lain, kemungkinan
untuk membuat pemilahan yang terperinci akan membawa resiko kegagalan untuk melihat inti
persoalan dari analisa tulisan mistik. Untuk menghindari hal ini, sebuah kosakata deskriptif harus
terdiri dari istilah-istilah yang menegaskan strukutur dasar dari sebuah pengalaman dan juga
istilah-istilah yang mencakup kandungan khusus pengalaman itu. Tapi sejauh ini kesalahan
paling serius yang dialami dalam analisis filosofis terhadap pengalaman mistis, adalah
pengabaian ciri tertentu dari pengalaman-sesuatu yang umumnya akibat dari pemilihan sifat yang
disesuaikan dengan sejumlah gagasan atau teori mistisisme yang diyakini sebelumnya, atau dari
kegagalan untuk memandang mistisisme dalam konteks doktrin, teknik, dan institusi darimana ia
secara organis terikat. Ada dua contoh penting layak untuk dibahas secara singkat disini.
Satu kategori pengalaman yang sering diabaikan dari pertimbangan serius adalah visi,
yang merupakan contoh yang paling jelas dari penafsiran gabungan jenis ‘terefleksi’. Alas an
khas yang diberikan atas pengabaian ini adalah bahwa visi adalah fenomena cenayang dan panca
indera yang sekedar ‘kebetulan’ dari substansi utama pengalaman mistis, dan selain itu
dipandang seperti itu oleh para mistikus sendiri. Padahal, meniadakan visi, suara-suara dan
fenomena sejenis dari kajian filosofis pengalaman mistis atas alas an semacam diatas, sama
halnya dengan meniadakan semua perhatian terhadap mimpi dari kajian psikologi manusia
dengan alas an bahwa mimpi tidak merupakan bagian yang esensial dalam struktur pikiran dan

15
dalam setiap kasus ditolak karena dianggap sepele dan tidak penting oleh kebanyakan orang
yang mengalaminya. Visi pada hakekatnya telah memainkan peranan yang cukup penting dalam
kehidupan pribadi banyak mistikus, dan dalam sejumlah tradisi mistis, telah menjadi fenomena
pusat dan karenanya dengan sengaja diusahakan terjadinya. Penjelasan-penjelasan tentang
berbagai jenis dan beragam isi catatan pengalaman visioner telah menempati bagian besar dalam
tulisan-tulisan mistik, dank arena alasan ini saja pengalaman seperti itu tentu patut mendapatkan
perhatian serius dalam kajian filosofis tentang mistisisme. Memang benar bahwa para mistikus,
dengan manfaat dari introspeksi yang panjaang atas pengalaman-pengalaman mereka, biasanya
mempunyai pandangan yang jauh lebih kritis dan skeptic terhadap visi-visi mereka daripada
yang biasa diduga. Tapi jika mudah untuk melihat mengapa para mistikus dengan suara bulat
menolak visi jenis eksternal ‘badaniya’ karena isinya yang tidak penting dan nilainya yang
meragukan, jelas juga mengapa tidak mungkin bagi mereka untuk tidak menganggap serius dan
menilai terlalu tinggi jenis visi yang lebih halus-jenis ‘imajinal’ dan khususnya jenis
‘intelektual’. Karena ini seingkali membentuk bagian yang sangat integral dari kesadaran mistik,
maka tidak ada alasan mengapa mereka tidak diberi perhatian yang menonjol baik dalam analisis
fenomenologis terhadap pengalaman mistis maupun dalam penilaian filosofis terhadap klaim-
klaim mistis. Dan akhirnya, bahkan dalam kasus visi-visi itu yang mungkin dengan logis dan sah
dipandang sebagai fenomena sekunder atau ‘kebetulan’, tidak berarti bahwa mereka tidak dapat
memberi petunjuk pada sifat yang lebih inti dari pengalaman mistis.
Kerusakan lain yang umum dalam analisis filosofis mistisisme adalah kecenderungan
untuk mengabaikan fakta bahwa mistikus dalam tradisi-tradisi kontemplatif biasanya melaporkan
serangkaian tahapan pengalaman mistis yang secara fenomenologis berbeda-beda. Bahkan ketika
fakta ini didasari, masih ada sebuah kecenderungan untuk memusatkan perhatian semata-mata
pada ‘yang lebih tinggi’. Asumsinya, tahapan ini pastilah yang paling informative tentang
hakekat dan signifikansi pengalaman mistis. Sekarang asumsi ini, meskipun didukung oleh
banyak tulisan-tulisan mistik, tidak dapat dianggap benar secara universal. Bahkan jika memang
dianggap benar, tentu saja tidak ada pembenaran untuk mengabaikan tingkatan pengalaman
mistik yang lebih rendah. Ada tiga tingkatan pertimbangan yang bersangkutan disini. Pertama,
tingkatan yang lebih rendah mengandung sifat-sifat yang tidak ada dalam tahap yang lebih
tinggi. Kedua, tahapan yang lebih tinggi tidak selalu mempunyai kandungan yang lebih kaya
atau lebih informative. Ketiga, pengalaman mistis hanya dapat dipahami ketika semua itu dapat
dilihat dengan bantuan teknik meditasi dan kontemplasi yang melaluinya pengalaman ini
dihasilkan dan dipertahankan.
Satu hal yang timbul dari apa yang telah dikatakan sejauh ini adalah bahwa klasifikasi
pengalaman mistis harus bekerja pada tiga tingkatan: kandungan pokok dari sebuah pengalaman
harus dipandang dalam pengertian struktur-nya secara keseluruhan, dan strukturnya harus
dipandang dalam pengertian berbagai tahap pengalaman yang muncul dalam tradisi tertentu.
Metide klasifikasi ini, tidak dapat dielakkan meruntuhkan pandangan bahwa pengalaman mistis
berisi serangkaian gambaran mental, intuisi dan perasaan yang tidak bersambungan. Karena
pengalaman mistis dijelaskan sebagai sebuah bentuk total dan integral dari pengalaman, yang
mengandung kesamaan susunan dan koordinasi yang kompleks dari sifat-sifat yang ada dalam

16
jenis pengalaman manusia yang lain: yaitu kesadaran, persepsi, kehendak, emosi, perasaan, dsb,
yang dengan berbagai cara dihubungkan pada data eksternal yang langsung dipahami oleh
subjek, pada sebab-sebab eksternal yang berada di luar pemahaman langsung si subjek, atau pada
peristiwa atau proses di dalam pikiran atau tubuh si subjek sendiri. Pengalaman mistis tidak
digambarkan oleh mistikus sebagai murni fenomena ‘mental’ atau keadaam pikiran yang ‘bebas’,
melainkan juga berisi dimensi-dimensi yang nyata, substansial dan badaniah.
Pengalaman mistik dilaporkan oleh mistikus sebagai mempunyai ciri-ciri struktur
dinamis dan kompleksitas kandungan sebagaimana pada jenis-jenis pengalaman manusia
lainnya. Struktur da nisi yang oleh para filosof, psikolog, dan peneliti lain sedang dianalisis,
tampaknya hanya pada permulaan analisis dalam kedalaman yang sesungguhnya dan pada
landasan perbandingan yang memadai. Sampai tingkat ini, terlalu dini untuk mengharapkan
jawaban definitif apapun atas pertanyaan apakah ada sejumlah jenis yang secara fenomenologis
berbeda dari pengalaman mistik atau hanya sekedar satu jenis saja. Di lain pihak, bentuk
pertanyaan ini sendiri tampaknya menyesatkan, khususnya ketika dikerangkakan pada istilah
konteks institusional yang berbeda-beda dari pengalaman mistis. Karena perbedaan
fenomenologis yang akan menegaskan beragam jenis pengalaman telah ada dalam tradisi-tradisi,
apapun perbedaan lebih lanjut yang muncul dari perbndingan antartradisi. Demikian juga, ketika
ada persesuaian structural yang kuat antara pengalaman mistis yang dihasilkan dalam berbagai
macam tradisi, ada variasi yang besar dalam isi yang lebih spesifik dari pengalaman-pengalaman
ini. Jawabannya boleh jadi, bahwa tradisi yang berbeda-beda mempunyai sebuah variasi
pengalaman yang umum, yang mengasumsikan sebuah pola khusus dalam sebuah tradisi tertentu
sesuai dengan sejumlah faktor-tentu saja termasuk kemungkinan faktor-faktor supranatural-yang
bekerja dalam tradisi itu. Lebih jauh lagi, perbedaan antarpengalaman, bahkan perbedaan yang
kecil dan tampak tidak penting, dapat berubah menjadi lebih penting daripada kesamaan. Dalam
kasus ini, usaha untuk memisahkan ciri umum dari pengalaman mistis-entah untuk mendukung
tesis tentang kesatuan mistisisme ataupun dalam rangka memberikan sebuah landasan untuk
argument dari kebulatan suara-secara metodologis akan berat sebelah untuyk mengatakan yang
terakhir. Daftar ciri-ciri umum yang diberikan dalam banyak kajian, khususnya ketika utamanya
berlandaskan pada sebuah analisis tentang tahapan yang lebih tinggi dari pengalaman mistis,
biasanya membantu menghisupkan pandagan mistisisme sebagai sebuah dimensi pengalaman
manusia yang sangat abstrak dan tanpa warna.
Jelas sekali bahwa tidak ada batu feenomenologis yang belum terbalik ketika tiba
waktunya untuk menilai status fenomenologis dan ontologis dari pengalaman mistis. Namun titik
awal dari tahap kedua dari penyelidikan filosofis ini harus berupa sebuah analisis yang cermat
terhadap berbagai macam klaim yang dibuat oleh atau atas nama mistikus berkait pengalaman
mereka. Sayangnya berbagai jenis klaim yang berbeda-beda seringkali dikacaukan atau
disalahpahami, termasuk oleh mereka yang bertujuan mempertahankan validitas dan
kemasukakalannya. Klaim yang paling khas adalah yang dikerangkakan dalam sejumlah bentuk
argument dari pengalaman religius, yang bukan satu hal yang umumnya diajukan oleh para
mistikus sendiri; dan bahkan ketika argument ini dapat diambil dari klaim-klaim yang benar-
benar dibuat oleh para mistikus, atau terbukti sesuai dengan mereka, ia jarang sekali

17
mencerminkan klaim mistik secara keseluruhan. Karenanya, ada sebuah aturan penting sebagai
berikut: klaim yang dibuat atas nama mistikus harus selalu dibandingkan dengan klaim yang
dibuat oleh para mistikus sendiri.
Tahap pertama dalam penyelidikan klaim-klaim mistik-entah itu penyelidikan terhadap
klaim terhadap seorang mistikus, atau dari kelompok mistikus tertentu, atau para mistikus secara
umum-adalah formulasi sebuah tipologi akurat tentang berbagai macam klaim implisit maupun
eksplisit dalam catatan-catatan mistik yang menjadi data. Disini saya akan menandai empat
kategori utama, dimana berbagai macam klaim mistik dapat dipilah-pilah. Pertama, ada klaim
subjektif yang dibuat oleh para mistikus. Kedua, klaim sebab-musabab (casual). Ketiga, klaim
eksistensial. Keempat, klaim kognitif. Ini terbagi dalam dua kelompok: (a) klaim bahwa
pengalaman mistik memperlihatkan fakta-fakta atau kebenaran-kebenaran tentang hakekat atau
sifat-sifat entitas atau realitas metafisik, dan (b) klaim bahwa pengalaman mistis memperlihatkan
fakta-fakta atau kebenaran-kebenaran tentang dunia biasa dari pengalaman non-mistik. Dalam
kedua kasus, fakta-fakta atau kebenaran-kebenaran yang dinyatakan, dapat dilaporkan sebagai
bagian dari data yang ada dari sebuah pengalaman atau sebagai kesimpulan yang dibuat
berlandaskan data pengalaman mistik.
Jika sebuah klaim mistik dipahami dengan benar dan dinilai dengan adil, pertama ia harus
diidentifikasi secara tipologis, dan logika serta isinya dianalisi. Ini khususnya penting dalam
memandang fakta bahwa mistikus seringkali menggabungkan dua atau lebih klaim yang secara
teoritis tidak berhubungan, menjadi klaim tunggal yang kompleks. Atau, membuat klaim yang
mengisyaratkan atau membawakan klaim yang lain. Lebih jauh lagi, meskipun sebuah klaim
mistik harus dianalisis dalam istilah-istilah formal, tidak berarti bahwa ia dapat dengan tepat
dinalai tanpa rujukan pada konteks dan kondisi pengungkapan aslinya. Variasi kondisi dari klaim
tertentu akan menentukan keterpahaman klaim dengan segera, keseriusan yang layak diberikan
pada klaim itu, metode yang tepat untuk mengujinya, dll. Salah satu variasi yang paling jelas dari
sebuah klaim, adalah dalam banyaknya detail yang dikandungnya. Sedang yang lain berbeda
pada universalitasnya: sebuah klaim dapat dibuat oleh seorang mistikus saja, oleh sejumlah
mistikus dari tradisi yang sama, atau oleh mistikus-mistikus dari tradisi yang berbeda-beda.
Sekali lagi, dasar pengalaman tempat klaim dibuat, sangat bervariasi: sebuah klaim dapat
berdasarkan satu pengalaman, sekelompok pengalaman, atau pada keseluruhan jangka waktu
pengalaman mistis. Dan dalam konteks ini, perhatian khusus harus diberikan pada cara mistikus
mengembangkan dan memodifikasi klaim mereka sepanjang satu masa, dan bahkan menarik
kembali atau membuat klaim yang bertentangan dengan yang telah dibuat sebelumnya.
Akhirnya, karena sedikit sekali klaim mistik yang secara khusus hanya berdasarkan pada
pengalaman mistis, maka penilaian sebuah klaim biasanya akan melibatkan sebuah pertimbangan
terhadap berbagai macam persangkaan dan referensi non-mistik.
Argument-argumen, baik yang mengkritisi maupun mendukung klaim non-subjektif
mistikus, cukup dikenal dan seringkali diulang-ulang. Di sini saya ingin sekedar memusatkan
perhatian pada sejumlah kekeliruan dan salah paham metodologis yang mendasar, khususnya
berkaitan dengan klaim jenis eksistensial dan kognitif. Hal pertama yang akan ditekankan adalah
bahwa klaim yang berdasar pada pengalaman mistis, seperti halnya yang berdasar pada bentuk

18
pengalaman yang lain, adalah berjenis inferensial dan non-inferensial, sehingga penting untuk
tidak mengelirukan satu dengan yang lain. Pengalaman mistis seringkali diperlakukan seakan-
akan ia berisi gambaran-gambaran mental yang kemudian dijadikan dasar bagi kesimpulan yang
tidak terjamin dan tidak bisa diverifikasi, berkaitan dengan entitas atau realitas yang bukan diri
mereka sendiri yang menjadi objek pengalaman. Bukan hanya karena jenis analisis ini tidak
benar ketika kita kembali meneliti tulisan-tulisan para mistikus sendiri; tambahan lagi ia
menciptakan sebuah kesulitan bagi klaim mistik ketika tidak ada sesuatu yang ada, atau
setidaknya memunculkan keberatan yang tidak lagi mempunyai kekuatan dalam konteks
mistisisme daripada dalam konteks non-mistik. Untuk mengemukakan problem-problem
universal tentang persepsi sebagai landasan untuk meragukan keabsahan klaim mistik pada
khususnya merupakan sebuah kasus memainkan kartu yang sama dua kali. seperti yang telah
ditunjukkan oleh seorang penulis, mistikus bukanlah seperti orang yang menduga keberadaan api
dari nampaknya asap ketika ia tidak mempunyai peran independen untuk menarik kesimpulan
yang meng-absahkan hubungan antara keduanya, tapi seperti orang yang ‘menyimpulkan’ asap
dari penglihatan asap-yaitu seperti seorang yang melihat asap secara langsung.
Ketika tentu saja kasus bahwa sejumlah klaim mistik disajikan sebagai kesimpulan-
kesimpulan, yang lain tidak kurang pastinya merujuk pada persepsi objek-objek atau realitas-
realitas yang segera dipahami.
Pengertian kesegaran atau objektivitas dari apa yang dipahami dalam pengalaman mistis
menyilang sangat kuat dalam tulisan mistik, dan para mistikus menekankan bahwa ia telah
berlangsung lama sesudah pengalaman itu selesai. Sekarang, menegaskan bahwa pengertian
kesegeraan atau objektivitas tidak sama dengan sebuah klaim bahwa pengalaman mistis adalah
membuktikan dirinya sendiri; ia bukan berarti kepastian tentang status yang benar atau
penafsiran yang benar dari pengalaman. Memang seorang mistikus mungkin akan berkeras
bahwa pengalamannya adalah gambling nyata, dan kemudian ia mampu mengatakan segala
sesuatu tentang kandungan spesifiknya atau tentang arti pentingnya. Namun, rasa objektivitas
pada satu sisi dan kepastian yang dimiliki atau tidak dimiliki seorang mistikus tentang
signifikansi dari sebuah pengalaman dibandingkan dengan yang lain, adalah berbeda dengan
kepastian doctrinal yang mungkin dimiliki seorang mistikus dari latar belakang yang lain.
Karenanya, pengertian kesegeraan atau objektivitas, kepastian dalam penafsiran, kepastian
doctrinal, ketiga-tiganya merupakan faktor yang berbeda secara logis dalam klaim mistik, meski
betapa dekat hubungan mereka dalam catatan yang sebenarnya. Satu titik yang lebih jauh: para
filosof kadangkala mengeluh bahwa para mistikus tampaknya terlalu sering tidak mampu
menyusun kebenaran-kebenaran yang mereka klaim telah diterima atau dipahami selama
pegalaman mereka. Nyatanya, ada banyak mistikus yang telah merekam dengan sangat spesifik
dan menguraikan klaim-klaim atau wahyu berkenaan dengan kandungan atau objek pengalaman
mereka, dan di sini pun para filosof menemukan banyak hal untuk dikeluhkan. Di sini mungkin
ada sebuah alasan yang bagus bagi ketidakinformatifan ketika ia terjadi. Sejumlah perumpamaan
non-mistik mungkin bisa membantu: orang mungkin mengetahui seseorang bertemu dengan
seseorang dan kemudian tidak mampu mengingat apapun yang khas tentang dia; ia mungkin
mencoba mengingat nada, atau nama, atau sebuah angka yang menurut pikirannya cocok dalam

19
benak orang tersebut; dst. Dalam beberapa kasus, sebuah pengalaman mungkin begitu singkat,
sangat asing, atau secara literer begitu mengherankan, sehingga lebih sedikit yang bisa
dipertahankan dibandingkan sebuah perasaan yang hidup dari realitas yang objektif dan jelas arti
pentingnya.
Penyelidikan terdahulu menyatakan bahwa klaim istik, entah itu inferensial atau non-
inferensial, adalah membuktikan dirinya sendiri dalam pengertian yang normal dipahami dari
istilah ini. Para mistikus benar-benar akan menjadi orang pertama yang mempunyai keyakinan
ini. Seringkali mereka akui keliru atau salah tafsir atas pengalaman mereka, mereka mengkritisi
kesalahan penafsiran mistikus lain, mereka mengembangkan dan memodifikasi klaim dan
penafsiran mereka dengan bantuan pengalaman mereka yang baru dan lebih dalam, dsb. Dengan
kata lain, seorang mistikus berkelakuan menurut pengalamannya dengan jenis cara yang sama
dengan seorang naturalis atau astronom yang berkelakuan menurut bentuk pengalaman khusus
yang relevan dengan disiplin tertentunya, entah itu pengalaman mereka sendiri ataupun
pengalaman yang dilaporkan oleh orang lain. Tentu saja, ketika validitas objektif ata penafsiran
yang benar dari pengalaman mistik bentuk apapun diragukan, jalan lain haruslah berbagai
macam pengujian dan prosedur pengecekan, meskipun ini tidak selalu menyelesaikan keraguan
atau perselisihan. Tapi para mistikus sendiri juga mempunya pengujian dan prosedur pengecekan
yang serupa untuk menilai pengalaman mistis. Ini pada satu sisi berupa saran dan instruksi-
instruksi yang diberikan oleh para mistikus tentnag persiapan etis, asketis dan teknis dari
pengalaman misti, dan di sisi yang lain pada kriteria moral dan psikologis terperinci yang
digunakan dalam tradisi-tradisi mistik untuk memutuskan keabsahan dan nilai dari keadaan-
keadaan dan ilham-ilham mistik. Pada prinsipnya, tidak ada halangan bagi seorang filosof untuk
mempelajari pengalaman mistis dengan mengikuti prosedur-prosedur yang relevan, atau dari
penerapan kriteria yang relevan pada hasil apapun yang dicapai. Tapi sejauh sebagaimana klaim
mistik akan dinilai pada tahap kedua, melalui perantaraan tulisan mistik, yang paling dekat yang
didapat untuk menguji klaim ini secara langsung akan berupa mengumpulkan dan meneliti
laporan-laporan individual yang dalam kenyataanya telah mengambil resiko dengan melakukan
tes-tes dan prosedur pengecekan yang relevan. Sekarang memang banyak laporan eksperimental
seperti itu. Hal ini karena seorang mistikus pada dasarnya adalah seseorang yang melalui
pengalamannya sendiri telah menguji klaim-klaim yang dibuat oleh para mkistikus generasi
sebelumnya. Akhirnya, dalam tulisan-tulisan mistik terdapat banyak bukti akan stabilitas
epistemologis dan karenanya validitas objektif dari pengalaman mistik: konkordansi di antara
laporan dari mistikus yang berbeda-beda, penghalusan pengamatan, perkembangan teori,
perbaikan teknik, dll. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa kebanyakan-jika tidak semuanya-
kondisi yang ditemui dalam kasus pengalaman, diketahui mempunyai validitas objektif yang
tampak dari catatan-catatan yang diberikan oleh mistikus untuk didapatkan dalam kasus
pengalaman mistik juga. Tapi orang tidak dapat mengharapkan penegasan sifat kebenaran
pengalaman mistis dari catatan mistik aja, lebih dari penegasan yang dapat diharapkan orang dari
sifat kebenaran dari bentuk lain pengalaman non-mistik, jika semuanya harus bersandar pada
catatan-catatan pengalaman ini.

20
Bahkan jika diterima bahwa pengalaman mistis mempunyai validitas objektif, pertanyaan
yang tersisa tentang signifikansi metafisika yang lebih luas dari pengalaman ini. Klaim yang
dibuat oleh para mistikus, berkaitan dengan system doctrinal dari agama-agama yang
hubungannya dengan pengalaman individual atau sekumpulan penglaaman dibatasi menjadi
sebuah hubungan yang kompleks. Tapi meskipu system-sistem doctrinal tentu saja tidak dapat
dianggap sebagai sekadar ramalan dari pengalaman religius, justifikasi tertinggi mereka pastilah
dapat diduga terletak pada pengalaman religius. Maka diragukan-dalam pandangan kompleksitas
historis dan organis agama-apakah keseluruhan kumpulan pengalaman penting bagi validasi total
dari sebuah system doctrinal tertentu, dapat selalu tersedia bagi setiap individu atau bahkan
sekelompok individu dalam masa tertentu. Hubungan antara pengalaman mistis dan doktrin,
tampaknya berupa integrasi terus-menerus dan koosrdinasi wawasan dan pengalaman baru
dengan doktrin dan praktik-praktik yang diterima dari tradisi. Dan bahakan dalam system yang
paling lengkap, selalu ada wilayah untuk ketidakpastian dan ambiguitas, yang mencerminkan
ketidakpastian dan ambiguitas yang alami dalam semua pengalaman manusia, termasuk
pengalaman religius. Akhirnya, masih ada isu-isu yang lebih luas tentang kebenaran religius.
Karena sistem-sistem religius dimana pengalaman mistis terkaitkan, tidak tampak konsisten satu
dengan yang lain.

Sumber : Steven T. Katz. Memperebutkan Tuhan. (Unggun Religi: Yogyakarta. 2007). Hlm
149-188

21

Anda mungkin juga menyukai