Anda di halaman 1dari 27

Kelompok 6

Nama Anggota : Evi Triana (1733143018)

Moh. Zakka Cahyadin (1733143042)

Nofiana W. (1733143072)

Kelas : FUAD/ TP 5B

Filsafat Mistisisme : Mistisisme dan Meditasi


Robert M Gimello

Ada sebuah asumsi, biasanya implisit tapi kadangkala eksplisit, bahwa mistisisme dan
meditasi adalah satu hal yang sama. Satu versi umum dari asumsi ini adalah bahwa meditasi
adalah sejenis mistisisme, sebentuk pengalaman mistik. Jadi, mereka yang mencari bukti
mistisisme dalam tradisi-tradisi yang menekankan meditasi seringkali memandang pada literatur
meditasinya, dan menganggap apa saja yang ada di sana yang bersifat meditatif sebagai bersifat
mistis pula. Versi asumsi lain yang lebih pantas adalah pandangan bahwa meditasi sekadar satu
cara untuk pada akhirnya memperoleh pengalaman mistis, seakan-akan meditasi hanyalah
peralatan praktis yang digunakan para mistikus. Saya harus berpendapat bahwa—setidaknya
dalam kasus Buddhisme, namun boleh jadi dalam tradisi-tradisi lain pula—secara filosofis
bijaksana dan secara historis terjamin untuk membentuk perbedaan yang lebih tegas antara
meditasi dan mistisisme daripada pendapat yang terkesan konvensional. Jaminan historis bagi
perbedaan itu terletak dalam jenis komentar kritis dan peringatan yang ditemukan dalam literatur
meditasi Buddhisme berkait jenis-jenis pengalaman yang sangat sesuai dengan deskripsi
pengalaman mistis yang telah ada. Komentar- komentar dan deskripsi-deskripsi seperti itu, jika
diambil bersama akan menyatakan jika meditasi Buddhis pada hakekatnya adalah disiplin yang
menggunakan pengalaman mistis dengan bijaksana, bahkan berhati-hati. Tapi, tidak ada maksud
untuk sekadar diperluas dengan pengalaman mistis, bukan pula hanya sekadar seperangkat alat
untuk mempercepat munculnya pengalaman mistis. Orang bahkan mungkin berkata bahwa
keistimewaan Buddha di antara tradisi keagamaan lain, adalah kekhasan mereka dalam
mempraktekkan meditasi yang diterapkan untuk pengalaman mistis. Namun, bagi para pembaca
1
buku ini, kemungkinan kegunaan filosofis dari pembedaan seorang Buddhis akan mistisisme dan
meditasilah yang tampaknya paling menarik. Dan saya yakin ini terletak pada petunjuk ketika
perbedaan itu dapat dilepaskan pada sejumlah problem yang tampaknya paling menyita
penelitian filosofis terhadap mistisisme. Di antara yang layak dicatat adalah:

1. Problem bagaimana membedakan pengalaman mistis dan penafsirannya yang ditawarkan


oleh mistikus sendiri, oleh orang lain dalam tradisi tempat mistikus tergabung, atau orang-
orang lain tempatnya berada di luar tradisi si mistikus.
2. Problem tentang ya tidaknya, atau seberapa jauh pengalaman mistis dapat dibangkitkan
untuk membenarkan klaim- kebenaran dari dalil tertentu keyakinan religius atau metafisik.
3. Bermacam-macam problem dalam menentukan hubungan antara pengalaman mistis dan
wilayah perhatian manusia yang lain seperti moralitas, estetika, kesehatan mental, dan lain-
lain.
Perbedaan yang akan diusulkan di sini tentu saja tidak menyelesaikan problem-problem ini,
tapi mungkin akan cukup baik dalam memudahkan penyelesaiannya. Akhirnya, akan dibuktikan
bahwa perbedaan ini lebih penting daripada pilihan- pilihan lainnya, yang akan sekadar
mengusulkan bahwa meditasi Buddhis adalah jenis khusus mistisisme atau sebuah metode yang
membantu mistisisme.
Penempatan Buddhisme dan meditasi Buddhis dalam kategori umum mistisisme, ketika
dilakukan dengan kualifikasi yang tepat dan hati-hati, dapat memberi manfaat baik dalam studi
agama. Profesor Ninian Smart misalnya, telah berpendapat yang amat berguna bagi filosof dan
sejarawan agama bahwa aliran Buddhisme tertentu (bersama-sama dengan beberapa jenis
Taoisme, Hinduisme, dan lain-lain) menyolok perbedaannya dengan agama-agama wahyu
seperti Yahudi, Islam, dan Kristen, yaitu bahwa pengalaman religius untuk kelompok pertama
adalah berciri mistis, sedang untuk kelompok terakhir lebih berciri ‘supranatural {nominous}
Dari dua istilah ini, Smart memandang yang terakhirlah yang tampaknya dapat dipahami, lebih
mudah dijelaskan. Smart mendukung pendapat Otto, bahwa sebuah pengalaman supranatural,
adalah pengalaman perjumpaan dengan sebuah wujud yang sepenuhnya lain daripada diri
seseorang dan sama sekali berbeda dari segala sesuatu yang lain. Perjumpaan seperti itu biasanya
dikatakan secara serampangan, dalam pengertian bahwa orang-orang yang mengalaminya tidak
bertanggung-jawab atas terjadinya, dan biasanya pengalaman itu dipaparkan sebagai meliputi
2
seluruhnya dan membenarkan sendiri. Pengalaman mistis, sebaliknya, tidak sejauh sebuah
perjumpaan dengan Yang lain yang suci, karena ia adalah pencapaian batin dan keadaan pikiran
puncak (ilahiyah) tertentu. Capaian seperti itu biasanya dipertahankan, kecuali oleh mistikus
dalam tradisi-tradisi yang dengan kuat menjalankan nominous, sebagai hasil usaha sendiri dari
subjek dalam mengikuti disiplin atau metode kontemplatif tertentu. Di antara sifat-sifat yang
khusus disandangkan pada capaian mistik adalah kebahagiaan, takterlukiskan, ketiadaan
perbedaan antara subjek dengan objek, ketanpawaktuan, dan lain-lain. Hakekat tepatnya tujuan
mistik dalam kasus khusus apapun Smart memberi alasan yang meyakinkan ditentukan oleh
aturan-aturan yang diperintahkan untuk pencapaiannya dan dengan persangkaan yang implisit
dalam aturan-aturan itu. Smart lebih jauh berpendapat bahwa salah satu dan dua bentuk utama
pengalaman religius ini, yang numirious maupun yang mistik, bisa dikurangi kepada yang lain
dan bahwa masing-masing membangkitkan cara yang berbeda-beda dalam diskursus religius.
Analisa filosofis terhadap keyakinan-keyakinan religius dan kegunaannya, dikatakan tergantung
pada sebuah apresiasi perbedaan antara berbagai cara diskursus dan ketegangan antara mereka
dalam tradisi di mana mereka digabungkan.
Pembedaan Smart atas yang numinous dengan yang mistik, menurut saya merupakan
terobosan dalam studi agama-agama. Ia menyediakan kriteria bagi penelitian yang jauh lebih
teliti tentang perbedaan dan hubungan antara pengalaman religius dengan doktrin religius.
Berkaitan dengan ini, mereka yang akan menilai hal-hal demikian sebagai keyakinan religius,
ucapan- ucapan religius, atau pengetahuan religius, pertama-tama harus mengenali konteks
praktis dari aktivitas-aktivitas seperti itu. Ketika melakukannya, orang harus waspada pada
kemiripan ‘pengetahuan seperti itu dalam tradisi religius, aktivitas utama yang berupa
sembahyang, dapat berarti sesuatu yang sangat berbeda dan ‘pengetahuan dalam sebuah tradisi di
mana meditasi atau mistisisme merupakan praktik yang lazim. Hanya setelah berbagai ragam
pengetahuan yang disingkapkan tadi disusun barulah orang dapat diharapkan secara memadai
membedakan antara pengetahuan religius dan jenis pengetahuan yang tersedia melalui sains atau
pengertian umum. Mengenai mistisisme secara khusus, Smart mampu menerapkan perbedaan
antara yang mmmous dengan yang mistik untuk menunjukkan bahwa kesulitan yang perlu
diketahui yang mengelilingi penafsiran teologis terhadap pengalaman mistis adalah hasil dari
ketegangan di dalam, jika bukan ketidakcocokan, antara keduanya; seperti dalam kasus seorang

3
mistikus yang tradisi theistiknya dengan berbagai cara memaksakan padanya kebutuhan untuk
menyusun pengungkap- an-pengungkapan pengalamannya dalam bahasa numinous. Kegunaan
berikutnya dari kategori Smart, adalah yang menekankan keistimewaan tradisi religius tertentu,
dengan cara demikian untuk merintangi tendensi untuk menghomogenkan pengalaman dan
diskursus mistis, serta untuk memadukan tradisi- tradisi religius. Setelah kecocokan kategori-
kategori ini telah dimengerti dengan segera, akan semakin sedikit kesia-siaan yang tertuju pada
pertanyaan tentang kesatuan fundamental dari agama-agama; bukan untuk menyebutkan isu
khusus seperti itu sebagai apakah Buddhisme itu theistik yang samar-samar atau tidak, apakah
penganut Buddha benar-benar menyangkal jiwa {almari) atau tidak, dan seterusnya. Kita juga
mungkin segera menghilangkan paksaan untuk mendefinisikan agama secara mendasar sebagai
sesuatu yang selalu berurusan dengan ‘yang suci’ atau ‘transenden’. Karenanya berguna untuk
menamai Buddhisme sebagai ‘bersifat mistis—jika tanpa alasan lain, maka setidaknya untuk
memisahkannya dan cara diskursusnya dari tradisi yang secara fundamental berbeda seperti
Kristen dan Vedanta.
Meski demikian, tanpa bermaksud menumbangkan tujuan sebuah pembedaan seperti Smart,
sungguh dalam memajukan mereka, saya pikir harus diakui bahwa ada sejumlah kecil
ketidaktepatan dalam melabeli pengalaman Buddhis dan diskursus mistik yang paling khas.
Adalah benar bahwa numinous adalah sebuah kategori yang bertentangan dengan mainstrem
pemikiran dan praktik Buddhis. Adalah juga benar bahwa pengalaman yang secara konvensional
dideskripsikan sebagai bersifat mistis, mempunyai peran yang signifikan dalam hampir semua
bentuk Buddhisme. Namun, bukan berarti semua yang tidak numinous lalu digolongkan sebagai
bersifat mistis, dan akan ditunjukan bahwa ada ciri-ciri penting Buddhisme, khususnya disiplin-
disiplin meditasinya, yang tampaknya tidak cocok untuk dimasukkan di bawah rubrik
mistisisme. Lebih jauh lagi, tradisi- tradisi normatif meditasi Buddhis mempunyai ambivalensi
(kemenduaan) yang mendalam terhadap komponen-komponen disiplin itu, yang sangat nyata
bersesuaian dengan deskripsi lintas- budaya dan fenomenologis dari pengalaman mistis. Jadi,
saya berpendapat bahwa sulit untuk menerapkan definisi atau penjelasan apapun yang diterima
secara luas tentang prakdk- praktik mistisisme Buddhis tanpa menimbulkan keberatan yang
sangat serius. Tampaknya selalu ada sejumlah elemen definisi yang krusial, suatu bagian esensial
dari deskripsi yang tidak cocok dengan kasus Buddhis. Tentu saja akan diantisipasi bahwa

4
perbedaan ini tidak semata-mata antara pengalaman mistis dan pengalaman meditatif Buddhis,
dengan pengalaman mistis dan penafsiran doktrin Buddhisme terhadap pengalaman itu. Tapi
saya ingin berpendapat bahwa dalam praktik dan pengalaman meditasi-lah perbedaan antara
pengalaman meditatif dan mistik tampak nyata, bukan hanya dalam penafsiran pasca atau ekstra-
pengalaman yang diberikan penganut Buddha terhadap meditasi mereka. Jika kemudian kita
akan tetap menganggap Buddhisme dan praktik meditasi mereka sebagai bersifat mistis—
mungkin karena alasan-alasan yang sangat bagus di atas—kita harus berhati-hati dalam
menentukan cara yang tepat dalam menilai Buddhisme sebagai sebuah agama mistis. Lalu,
apakah pengalaman mistis itu, dan apakah meditasi Buddhis itu?
Ini bukanlah dimaksudkan untuk menyusun jawaban terhadap pertanyaan pertama yang
sengaja dibuat untuk mendukung pandangan seseorang tentang meditasi Buddhis. Tapi, ini juga
bukan sebuah pemikiran yang tidak sah meskipun adalah sebuah kelicikan menarik yang penting.
Artikel yang telah ada akan mencukupi. Orang hanya perlu mempejari literatur standar dan
terbaru tentang persoalan ini. Deskripsi, jika bukan definisi, dari pengalaman mistis—khususnya
dalam pandangan klaim yang hampir universal, bahwa ia takterlukiskan—adalah sebuah usaha
yang terkenal sulit. Karena kesulitan ini, patut dipuji karena banyaknya usaha yang pernah
dilakukan. Bahkan ada suatu konsensus di antara mereka yang telah menawarkan deskripsi
seperti itu, walaupun ada banyak perbedaan di antara penafsiran- penafsiran dan penilaian
mereka tentang apa yang mereka deskripsikan. Berikut ini adalah khas, jika tidak mendalam.
W T. Stace, yang bukunya Mysticism and Philosophy sering disebut-sebut dalam diskusi
filosofis tentang mistisisme sejak diterbitkan limabelas tahun yang lalu, 4 memberikan pijakan
awal yang baik sekali. Ia menyatakan bahwa mistisisme merupakan salah satu jenis pengalaman
manusia yang dapat dibedakan, yang terlepas dan beberapa perbedaan kecil yang dapat dibuat
antara dua spesies utama dan jenis ini, di mana-mana selalu diputuskan oleh sejumlah minimal
sifat-sifat yang sama. Ini akan membentuk ‘arus utama’ mistisisme. Stace beralasan, namun tidak
meyakinkan, bahwa karakteristik-karakteristik yang telah dipilihnya secara empiris dari catatan
khas tentang mistisisme, adalah bersifat ‘psikologis’, yang dengan ini tampaknya ia maksudkan
bahwa, bahkan jika sifat-sifat itu secara harafiah tidak deskriptif dan pra-interpretatif, maka
setidaknya mereka mewujudkan penafsiran hanya pada ‘tingkatan-rendah’. Telah ditunjukkan
bahwa pengambilan Stace atas catatan-catatan mistisisme mungkin tidak cukup luas untuk

5
mendukung klaimnya, yang telah mengidentifikasi inti umum semua mistisisme, dan bahwa
kriterianya untuk membedakan antara laporan dan penafsiran adalah terlalu menyederhanakan. 5
Meski demikian, kekurangan-kekurangan ini tampaknya mempunyai konsekuensi yang lebih
serius bagi penilaian filosofisnya atas mistisisme, dari pada bagi penggambarannya akan ciri-ciri
umumnya. Karena meskipun orang lain mugkin memberi tambahan atas daftar ciri- ciri umum
Stace, hanya sedikit yang telah meragukan relevansi yang luas dari ciri-ciri yang telah ia pilih.
Bagi Stace, pengalaman mistis selalu membangkitkan pengasalan pada ciri-ciri sebagai berikut:
takterlukiskan, paradoksalitas, sebuah perasaan keramat, keberkahan atau kedamaian, rasa
objektivitas atau realitas, dan kualitas ketunggalan. Karakter yang terakhir memuat sejumlah
variasi tergantung pada jenis mistisisme yang dipertanyakan. Dalam mistisisme ‘kontrovertif’,
ketunggalan adalah sebuah visi penyatuan yang dengannya semua benda dipandang sebagai satu
dan mempunyai vitalitas spiritual. Sedangkan untuk mistisisme ‘introvertif ’, ketunggalan adalah
sebuah kesatuan atau kesadaran murni yang dirasakan dalam dirinya keseluruhan realitas dan
yang ditegaskan sebagai tahan terhadap perbedaan ruang dan waktu. Dalam bentuk yang
manapun, ketunggalan inilah yang diyakini oleh Stace sebagai kunci atau karakter ‘inti’ dari
semua pengalaman. Namun, ia telah memberikan tempat yang membanggakan pada versi
introvertif dengan dasar bahwa jenis ini secara historis lebih penting, dan karena tampak baginya
sebagai lebih konsisten serta sepenuhnya diakui mengejawantahkan gagasan ketunggalan.
Jelasnya, mereka yang menerima pembedaan Stace antara yang nwrwious dengan yang mistis
harus menghilangkan karakter perasaan keramat dari daftar. Asal mula sifat ini, di mana ia
dibuat, tampaknya merupakan hasil dari otointerpretasi rmrmnous terhadap pengalaman mistis.
Orang mungkin juga mempermasalahkan penafsiran keberkahan atau kedamaian, dengan
menyebutkan klaim orang-orang yang menyebut mistik untuk pengalaman mistis yang sangat
mendalam atau membawa kebahagiaan yang besar. Tapi empat sifat yang tersisa tampaknya
memadai secara umum dan lintas-budaya. Kenyataannya, semua sifat itu tampaknya, dalam
beberapa bentuk, mendekati hampir semua deskripsi modern atas pengalaman mistis. Dalam
kasus sifat ketunggalan, ada (cukup memadai) kebulatan suara di antara mereka yang berani
mengeluarkan penjelasan tentang pengaman mistis, bahwa ketunggalan, dalam sejumlah
pengertian, adalah selalu menjadi esensi dari pengalaman seperti itu. Beberapa orang akan lebih
suka untuk membedakan antara berbagai macam ketunggalan, misalnya antara penyatuan atau

6
penggabungan, yang tampaknya mengisyaratkan sebuah keanekaragaman yang disatukan, dan
kesamaan atau sebuah pengalaman tentang yang Satu sebagai semuanya, yang tampaknya
sekaligus menyangkal keanekaragaman. Tapi mereka yang beralasan bahwa ada perbedaan
kualitatif yang dibuat di antara berbagai jenis ketunggalan yang dicapai para mistikus, mereka
harus bertanya pada diri sendiri apakah mereka tidak berurusan dengan perbedaan-perbedaan
dalam penafsiran doktrinal, daripada dengan perbedaan pengalaman yang asli. Ini pada
gilirannya akan membutuhkan pengertian penuh bahwa penafsiran sebenarnya dapat terkandung
dalam pengalaman dan bukan hanya sekadar sesuatuyang ditambahkan pada pengalaman oleh
pemikiran reflektif. Dengan kata lain, boleh jadi mistikus Kristen atau Yahudi yang menjelaskan
pengalamannya tentang penyatuan (komuni) dengan Tuhan, daripada sebagai sebuah
pengejawantahan bahwa Tuhan dan ia adalah satu. Hal ini terjadi karena yang pertama
merupakan kategori-kategori yang datang seketikake dalam pikiran, bukan hanya setelah
pengalaman dalam keadaan refleksi yang bijaksana, tapi bahkan pada saat mengalaminya.
Dengan kata lain, kategori-kategori itu dapat menjadf carayang diambil oleh intelek untuk
berperanserta dalam pengalaman, dan karenanya memberitahukan pengalaman itu. Tidak dapat
disangkalm jika kita hendak memperhitungkan catatan-catatan pengalaman yang diberikan oleh
hampir semua mistikus, cara intelek (pikiran) berpartisipasi dalam mistisisme jelas luar biasa.
Pengalaman mistis umumnya dianggap non- diskursif, lebih bersifat intuitif daripada kogitatif
(perenungan), non-konseptual, dan lain-lain. Para komentator melangkah sejauh mengambil
kesimpulan dari laporan-laporan itu dengan tidak logis, saya kira bahwa pengalaman mistis
adalah irasional, atau meniadakan peran intelek. Namun, sulit membayangkan bahwa intelek
sepenuhnya mangkir dari tranport mistis, khususnya ketika orang menyadari carayang dipakai
oleh pengalaman mistis, entah sahih ataupun tidak, berfungsi secara teratur untuk memperkuat
kembali komitmen pada keimanan tertentu. Pengalaman mistis bukanlah kebodohan, dan di
dalamnya pikiran jelas-jelas memainkan peran tertentu. Satu-satunya problem adalah
menentukan peran seperti apa, dan tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa apayang
seringkali disebut sebagai penafsiran, dan yang ditaruh di bawah label demikian dianggap faktor
luar (ekstrinsik) dari pengalaman murni, sesungguhnya adalah bagian yang esensial dari
pengalaman.
Jika semua ini permasalahannya, yaitu jika ketunggalan dari jenis yang dikenali oleh semua

7
pengalaman mistik, dan jika akan tanpa guna untuk berusaha membedakan beragam ketunggalan
karena pengalaman dan penafsiran mampu saling membentuk, dan karenanya jelas-jelas terpisah,
maka akan bijaksana untuk dimuati, setidaknya untuk keperluan deskriptif umum, dengan
karakterisasi yang relatif tidak jelas. Ini saya jadikan pendorong utama dari usaha terbaru yang
lain, yang dilakukan Agehananda Bharati, untuk memisahkan pengalaman mistis dari segala
macam pengalaman religius dan non-religius: ‘ia merupakan intuisi seseorang terhadap
ketunggalan numerik dengan kemutlakan kosmik, dengan matriks universal, atau dengan intisari
apapun yang ditentukan oleh berbagai macam sistem teologis dan spekulatif di dunia. Sekali lagi,
sifat ketunggalan dijadikan sentral pengalaman mistis, tapi tidak ada usaha untuk menjelaskan
hakekat dari ketunggalan dengan penggunaan istilah-istilah dengan percabangan doktrinal.
Tujuan serupa tampak dalam identifikasi Ben-Ami Scharfstein terhadap ‘kesamaan’ sebagai
bagian pertama dari ‘sebelas saripati jenjang mistik’. Yang dimaksudkannya dengan ‘kesamaan’
adalah keyakinan para mistikus bahwa perbedaan yang tampak di antara benda-benda hanyalah
hayalan. Tapi akan berarti semua itu, tergantung pada problematika intelektual dari mistikus
tertentu. Bagi Proclus, akan berarti bahwa yang nyata adalah sama sekali tunggal; bagi Shankara,
akan berarti di luar pengenaan (adhyasa); bagi Nagarjuna, akan berarti bahwa semua benda
adalah sama sekali tanpa memiliki wujud (suabha va-sunyata). Lalu, apapun makna yang ada
dalam kasus tertentu, kejadian pengalaman di mana makna dipandang terlekat di sana, masihlah
dapat digolongkan sebagai sebuah pengalaman ketunggalan. Bukan suatu kebetulan jika hampir
semua mistikus, betapapun banyaknya ia tidak setuju dengan yang lain tentang arti penting sejati
dari pengalamannya atau pengalaman mereka, dengan mengambil jalan terminologi dapat
dengan masuk akal diorganisasikan oleh seorang pengamat yang menggolongkan di bawah satu
judul umum: ketunggalan. Pastilah ada sejumlah faktor umum dalam semua pengalaman ini
betapapun mereka berbeda-beda—, karena ada semacam kesamaan dalam pengungkapannya. Ini
bukan berarti hendak mengatakan bahwa pengalaman adalah identik, karena klaim yang
bersandar pada pemisahan yang naif atas pengalaman dan penafsiranyang dikritik di atas. Lebih
cenderung untuk dikatakan bahwa pengalaman-pengalaman itu pastilah mempunyai sesuatu yang
umum. Dan elemen umum inilah yang telah membawa tidak hanya Stace, Bharati, dan
Scharfstein, tapi juga (meskipun dari perspektif yang berbeda) Maslow, Danto, Eliade, Fingarette,
Happold, Hepburn, dan lainnya, untuk mengenai ketunggalan sebagai sifatyang menegaskan dari

8
pengalaman mistis. Saya pikir sebaiknya kita menerima kesimpulan mereka dalam persoalan ini
Merekayang telah mendorong agar kita menolaknya, misalnya R C. Zaehner, telah menyimpang
jauh untuk menegakkan bahwa sejumlah bentuk mistisisme membawakan kebenaran tertinggi,
sementara yang lain tidak, atau bahwa sebagian mereka ‘luarbiasa—supranatural’ sementara
yang lain dianggap sekadar natural. Tapi Smart telah menunjukkan dengan meyakinkan
pengalaman mistis, entah itu penafsiran teistik, monistik atau apapun, tidak dapat ditegakkan
pada landasan pengalaman mistis itu sendiri. Pertanyaan tentang kebenaran mistisisme sama
sekali berbeda dari pertanyaan tentang homogenitas atau heterogenitas mistisisme, dan orang
tidak boleh menjadikan ketertarikan dalam menemukan jawaban tertentu untuk pertanyaan
pertama, akan menentukan pendekatan seseorang pada pertanyaan yang lain. Dalam kasus
apapun, menerima sebuah ‘perasaan ketunggalan’ yang didefinisikan dengan samar-samar,
sebagai sebuah elemen penanda yang umum di antara semua pengalaman mistis, sangat
mengandung penilaian bahwa semua pengalaman mistis adalah sama. Ini masih diperbolehkan
dalam kemungkinan alasan-alasan, meskipun pada kriteria yang lain daripada yang tampaknya
implisit dalam karya Zaehner, bahwa sejumlah pengalaman mistis adalah lebih sejati atau lebih
asli dan informatif daripada yang lain.
Dari alasan yang sama ini, saya akan berpendapat bahwa ciri-ciri lain yang secara
konvensional diberikan pada pengalaman mistis, juga dapat diterima dengan kecermatan
sesedikit mungkin. Penelitian atas aspek mistisisme yang secara filosofis paling menarik tidak
perlu menunggu pembuatan sebuah deskripsi universal yang mutlak tanpa kesalahan tentang
hakekat esensial dari pengalaman mistis, bahkan jika deskripsi seperti itu memang terbukti
dimungkinkan. Maka, marilah kemudian kita mengasumsikan, tanpa adanya keberatan terhadap
kasus mistisisme tertentu, bahwa pengalaman mistis secara kasarnya adalah jenis perkara yang
ditunjuk oleh Smart, Stace, Bharati, Scharfstein, dan lain-lain, dalam definisi karya mereka dan
daftar karakteristiknya. Bagi mereka yang tidak begitu mudah meredakan keberatannya, marilah
kita membuat ketentuan bahwa item-item tertentu yang dapat dicoret dari karakterisasi ini, yang
muncul karena kebutuhan khusus dan orang lain mungkin menambahkan item-item tertentu jika
bukti-bukti menunjukkan demikian. Kita juga perlu memikirkan bahwa karakterisasi ini hanya
terdin dari sebuah fenomenologi dari pengalaman mistis dan karenanya tidak menyatakan
kebenaran atau kekeliruan laporan-laporan mistik, tidak juga pada penafsiran laporan-laporan itu.

9
Jadi, pengalaman mistis merupakan keadaan pikiran (state of mind), yang umumnya dicapai
melalui sejenis pelatihan diri, yang mengandung ciri-ciri menonjol (meski tidak harus ada)
sebagai berikut:
Perasaan ketunggalan atau kesatuan, dengan berbagai macam definisinya.
Keyakinan yang kuat atas ‘realitas’ atau ‘objektivitas’ pengalaman itu, yaitu sebuah
keyakinan bahwa bagaimanapun juga ia berfungsi untuk menyingkapkan ‘kebenaran’.
Perasaan tidak bisa diterapkannya bahasa konvensional kepada pengalaman itu, yaitu
perasaan bahwa pengalaman itu takterlukiskan.
Berhentinya kerja intelektual normal (misalnya deduksi, pembedaan, rasionalisasi, praduga,
dan lain-lain) atau digantikannya semua itu dengan jenis intelek yang ‘lebih tinggi’ atau
kualitasnya berbeda (yaitu intuisi).
Sebuah perasaan adanyakejadian kebetulan yang berlawanan, dari berbagai macam jenis
(paradoksalitas).
Sebuah sifat emosional yang luar biasa kuat, terhadap berbagai macam hal (misalnya
kebahagiaan yang dalam, ketenteraman, kekhawatiran yang besar, keasyikan yang tidak
dapat dibandingkan, dan lain-lain sering kali berupa kombinasi luar biasa dari semua ini).
Dalam hampir semua kasus pengalaman mistis, karakter- karakter ini dan lainnya
mengasumsikan ‘bentuk’ makna tertentu, yaitu bahwa semua itu terjadi dalam sebuah konteks
oto- interpretatif, elemen-elemen yang dibawa oleh para mistikus sendiri ke dalam pengalaman
adalah dalam bentuk pengharapan dan persangkaan yang terpatri dengan dalam. Yang terakhir
ini, pada gilirannya seringkali diperoleh para mistikus dan tradisi tempat ia dibesarkan, atau
mereka mungkin ‘diprogram ke dalam aliran-aliran yang diikutinya.
Jika hal di atas dapat diterima sebagai sebuah deskripsi yang adil sekalipun kasar dan sangat
menggeneralisasi tentang pengalaman mistis, kita kemudian akan menuju pada pertanyaan
apakah meditasi Buddha itu, bagaimana ia dibedakan dari pengalaman mistis, dan peran apa
yang dimainkan pengalaman mistis dalam meditasi Buddha. Menjawab pertanyaan seperti itu
merupakan sebuah pekerjaan yang tidak terlalu mengecilkan hati dibandingkan menjelaskan
mistisisme. Meditasi telah menjadi praktik religius normatif dalam Buddhisme sejak lahirnya
tradisi ini. Dalam perjalanan perkembangan Buddhisme selama dua setengah milenium, dan
dalam proses penyebaran dan modifikasi di seluruh Asia, telah terkumpul begitu banyak literatur

10
Buddhis bertema meditasi. Meskipun banyak karya tentang meditasi yang telah diterbitkan oleh
para sarjana Barat dan penganjur Buddhisme, dengan membandingkan sumber-sumber utama—
kita masih mempunyai sedikit sekali literatur berbahasa Barat tentang tema ini. Terlebih lagi,
kebanyakan literatur di Barat tentang meditasi Buddhis, telah ditulis dengan asumsi—yang
seharusnya kita tentang—bahwa meditasi Buddhisme adalah sebentuk mistisisme atau suatu cara
untuk mencapai pengalaman mistis. Oleh karena itu, setidaknya ada dua desakan utama untuk
menjernihkan hubungan antara meditasi dan mistisisme dalam Buddhisme: pengenalan yang
tidak cukup terhadap luasnya dan anekaragam tradisi meditasi Buddha, dan pengaruh lazim dari
asumsi tertentu—yang saya pikir menyimpang—tentang praktiknya. Karena tekanan-tekanan ini,
orang harus membuat penggunaan yang paling genting dari mayoritas sumber sekunder,
membedakan khususnya antara karya ahli filologi yang melakukan usaha sekadar menghadirkan
tradisi semeyakinkan mungkin, dan mereka yang melangkah terlalu jauh pada pekerjaan
penafsiran dan penilaian. Yang terakhir ini sah dan merupakan usaha yang diperlukan sekali.
Namun mengingat masa pertumbuhan kajian Buddha, dan kajian agama Asia secara umum di
kalangan sarjana Barat, mereka yang secara teoritis akan menafsirkan atau secara filosofis
menilai subjek-subjek ini, harus memadamkan antusiasme dan kepercayaan diri mereka dengan
dosis umum yang dipaksakan secara ilmiah sebagai Indologi, Buddhologi, Sinologi, dan lain-
lain. Sebagai gantinya, mereka dapat berharap lebih. Bukan hanya karena mereka mungkin
meningkatkan penyimpanan informasi mereka, tapi mereka juga menemukan, melekatkannya
pada kajian tradisi-tradisi itu sendiri, kategori- kategori penafsiran baru, kriteria penilaian bara
Pada gilirannya ini tidak hanya amat cocok dengan subjek-subjek Asia, tapi juga secara lintas-
budaya terbukti lebih berguna daripada rekan mereka yang berasal dari Barat Dalam kasus
mistisisme atau kehidupan kontemplatif, hal ini secara khusus telah diantisipasi. Mistisisme dan
seni kehidupan.spiritual yang kontemplatif selalu dianggap sebagai aktivitas pinggiran dalam
tradisi Barat, biasanya dianggap lebih rendah dibandingkan doa, ritual, kehidupan menurut
sakramen, ibadah, usaha-usaha moral, kajian hukum, dan lain- lain. Sebaliknya, dalam
Buddhisme meditasi selalu menjadi satu (atau bahkan satu-satunya) bentuk sentral dari praktik
yang ada. Maka, orang tidak boleh terkejut jika ditemukan bahwa Buddhisme menawarkan
serangkaian peralatan analisis yang lebih rumit untuk meneliti fenomena yang dialami dalam
disiplin pengolahan mental. Tradisi-tradisi di Asia telah memberikan perhatian yang lebih dalam

11
kepada perkara-perkara seperti di atas dibandingkan Yahudi atau Kristen. Buddhisme khususnya,
jelas-jelas telah memelihara sikap yang reflektif dan berkesadaran diri ke arah menjalani hidup
yang kontemplatif, dengan dorongan bahwa refleksitas itu bukan hanya dijalani, tapi juga harus
diuji dengan ketepatan yang seksama dan formal.
Dari susunan kategori tradisional Buddha untuk mengklasifikasi dan meneliti kehidupan
kontemplatif inilah, saya akan menarik beberapa konsep fundamental. Dengannya, saya akan
berusaha dengan jelas mengkarakterisasi meditasi Buddha dan membedakannya dari pengalaman
mistis. Kemudian, tinggal dilihat apakah konsep-konsep yang dikhususkan untuk Buddha ini
dapat menjadi pertimbangan filosofis secara umum dalam khazanah mistisisme.
Kategori pertama yang hendak dibahas ada dua hal, yang membentuk pasangan yang
digunakan dalam semua Buddhisme untuk mengklasifikasi komponen utama meditasi. Mereka
adalah ‘ketenangan’ (sanskrit: samatha; Pali: samatha; China: chihf ; Jepang: shi) dan
‘ketajaman’ (sanskrit: vipasyana; Pali: vipassana; China: kuan; Jepang: kan). Sebaiknya, kita
dapat memanfaatkan satu dari definisi-definisi resmi terhadap pasangan istilah ini. Berikut ini
sudah cukup lama (abad keempat Masehi) namun mencerminkan mainstream tradisi yang ada:
Apakah ketenangan itu? Ia adalah mengumpulan bagian dalam pikiran, ketika pikiran
disusun, diseimbangkan, ditenangkan, dipelihara, diatur dan menjadi hening, untuk satu titik
tujuan, ketenangan hati dan kesabaran.
Apakah ketajaman itu? Ia adalah pemeriksaan, yang paling teliti, dengan pertimbangan yang
lengkap, dan penelitian yang bijaksana tentang dharma, yang dilakukan dengan tujuan
meniadakan perhambaan yang kotor, untuk menguasai pikiran yang jahat, dan menghasilkan
ketenangan dalam berteguh di dalam pikiran yang benar.
Semua elemen meditasi Buddha mendapatkan tempat di bawah salah satu dari dua rubrik
umum ini. Seorang ahli meditasi Buddhis, dengan kata lain, berbeda-beda keikutsertaannya
dalam ketenangan, dalam ketajamannya, atau dalam kombinasi dari keduanya, meskipun yang
pertama biasanya dianggap sebagai pendahuluan bagi yang terakhir. Dalam bahasa yang tidak
terlalu teknis, meditasi Buddhis adalah semacam disiplin yang dimulai seseorang dengan
pertama-tama menenangkan atau menjernihkan pikiran dan tubuh. Tingkat ketenangan yang
dianjurkan adalah beragam dari teknik yang satu dengan teknik yang lain. Namun ketika
ketenangan yang cukup memadai tercapai, maka seseorang secara analitis akan mulai meninjau

12
makna dari ajaran fundamental Buddhisme, sebagaimana mereka terapkan pada fokus apapun
dalam latihan meditatifnya. Ketajaman adalah yang terakhir dan paling mencirikan bagian
Buddhis dalam disiplin ini. Berikut merupakan contoh kanonik yang terdahulu dan klasik tentang
hubungan antara keduanya:
Ketika pikirannya dipusatkan, disucikan, dibersihkan, tanpa noda, dengan hilangnya segala
kekotoran, ia menjadi luwes, siap bertindak, teguh, dan tidak dapat dilalui [semua adalah
hasil dari samatha], ia [orang yang bermeditasi] mengarahkan pikirannya pada pengetahuan
dan wawasan. Ia kemudian akan memahami: ‘ini adalah tubuhku; mempunyai bentuk, terdiri
dari empat bagian, dilahirkan dari ibu dan ayah, merupakan kumpulan sari makanan, selalu
mengalami perubahan, rusak, dan terurai; kesadaranku bersandar pada tubuh ini, pada tubuh
inilah kesadaranku terikat.. .
Dalam contoh ini kita lihat bahwa konsentrasi dan pengheningan diri, yang seringkali salah
diasumsikan sebagai keseluruhan meditasi Buddhis atau puncak dari meditasi itu, sesungguhnya
hanyalah pendahuluan yang penting bagi sebuah ketajaman pikiran analitis tentang ‘kebenaran'
dari asal mula yang bergantung (pratityasamutpadd) dan kefanaan (anitya) sebagaimana berlaku
pada ‘diri' psikosomatis (terdiri dari hubungan antara psikhis dengan tubuh). Jenis analisis seperti
inilah yang merupakan puncak sesungguhnya dari latihan-latihan itu.
Di antara prosedur tertentu yang menyumbang ‘ketenangan’ adalah perangkat khusus yang
terkenal seperti sikap (asana) meditasi (misalnya sikap tubuh bersila yang disebut ‘bunga
teratai’), pengekangan indera (indriyesu guptadvaratd), olah nafas, mengatur perhatian indera
dan batin pada objek-objek meditasi konkret maupun konseptual seperti sepuluh alat (sanskrit:
krtsnayatana; Pali: kasinayatana), atau peniadaan kekotoran tertentu dengan mengintensifkan
tindakan-tindakan luhur. Yang terpenting sebagaimana metode-metode penenangan, adalah
tahap-tahap ‘kekhusukan’ atau ‘trance’ (Sanskrit: dhyana; Pali: jhana), yang secara klasik
dideskripsikan sebagai berikut:25
1. Gerbang menuju kekhusyukan pertama (dhyana) ketika orang yang bermeditasi terpisahkan
diri dari kehendak-nafsu dan dharma yang tidak bermanfaat, dan ketika lima faktor (anga)
berikut tumbuh di dalam dirinya:
(a) Pemakaian pikiran (vitarka), sebagai hasil dan penaklukan ketumpulan dan kemalasan.
(b) Pemikiran diskursif (viatra), sebagai hasil dari penaklukan pikiran yang kebingungan.

13
(c) Semangat (priti), sebagai hasil dari penaklukan perasaan yang tidak baik.
(d) Kebahagiaan (sukha), sebagai hasil dari penaklukan kebingungan dan penyesalan.
(e)Pikiran yang tertuju satu arah (ekagratacitta), sebagai hasil dari penaklukan nafsu indera.
2. Gerbang menuju kekhusyukan kedua, ketika pemakaian daya pikir dan pikiran yang diskursif
dilepaskan; sedangkan semangat, kebahagiaan dan pikiran yang tertuju satu arah— semuanya
yang menghasilkan konsentrasi (samadhi) — dipertahan-kan. Orang yang bermeditasi akan
mengalami ketenteraman batin (adhydtmasamprasada) dan kemuliaan tertinggi (ekotibhvi).
3. Kekhusyukan ketiga ketika semangat dilepaskan, sedangkan kebahagiaan dan pikiran yang
tertuju satu arah dipertahankan. Orang yang bermeditasi berdiam dalam ketenangan hati
(upeksa), kesadaran (smrti), dan pemahaman yang jernih (samprajanya).
4. Kekhusyukan keempat ketika kebahagiaan dilepaskan, dan hanya pikiran yang tertuju satu
arah yang dipertahankan. Orang yang bermeditasi disucikan dari ketenangan hati dan
kesadaran (upeksasmrtiparisuddiha) dan memperoleh kebebasan batin (oetovimukti).
5. Kekhusyukan kelima atau pencapaian tanpa bentuk yang pertama (arupyasamapatti), ketika
orang yang bermeditasi akan melampaui pikiran bentuk-materi (rupasamjna), menekan
semua pikiran yang bertentangan (pratighasamjna) dan keanekaragaman (nanatvasamjria),
merenungkan ketidak- terbatasan ruang, dan bertempat di lingkungan ruang tak terbatas
(akasanatyayatana).
6. Kekhusyukan keenam atau pencapaian tanpa bentuk yang kedua, ketika orang yang
bermeditasi melampaui wilayah ruang tak terbatas, merenungkan ketidakterbatasan
kesadaran, dan tinggal di dalamnya (vijnananatyayatana).
7. Kekhusyukan ketujuh atau pencapaian tanpa bentuk yang ketiga, ketika orang yang
bermeditasi melampaui dunia ketidakterbatasan kesadaran, merenungkan bahwa tidak ada
sesuatupun yang ada; dan tinggal di dalam dunia di mana tidak ada sesuatupun yang wujud
(akimcanyayatana).
8. Kekhusyukan kedelapan atau pencapaian tanpa bentuk yang keempat, ketika orang yang
bermeditasi melampaui dunia tempat tak ada sesuatu pun yang wujud, dan memasuki dunia
tanpa kesadaran maupun ketidaksadaran (naivasamjnana- samjnayatana).
Kedelapan tahap kekhusyukan tersebut juga masuk dalam rubrik yang lain—yang
mungkin lebih dikenal—yaitu rubrik meditatif, ‘konsentrasi’ atau ketenangan’ (samadhi),

14
yang dalam banyak keadaan sinonim dengan samatha.
Dari sedikit contoh ini, yang dijelaskan sesederhana mungkin, orang
mendapatkan bahwa seni samatha dan samadhi menawarkan pada para pelakunya
berbagai macam pengalaman luarbiasa. Banyak pengalaman ini tergolong—yang secara
umum dinamai— pengalaman ekstatik, atau lebih tepatnya, enstatik. Dalam keadaan ini,
pemahaman terhadap dunia luar dan bahkan mawas diri ataukesadaran diri yang normal,
akan disingkirkan. Aktivitas fisik dan pikiran dikurangi sampai tingkat minimal.
Pergolakan dan sesaknya aliran pikiran dan perasaan yang membentuk kesadaran
normal, secara drastis disederhanakan dan dan lajunya diperlambat hingga mendekati
statis. Istilah aneh seperti ketakterbatasan ‘kesadaran’, ‘dunia di mana tidak ada
sesuatupun yang wujud’, ‘dunia tanpa kesadaran maupun ketaksadaran’, bukan berarti
untuk menyebut dunia lain yang sesungguhnya dicapai oleh orang yang bermeditasi, tapi
hanyalah untuk mengisyaratkan sifat pengalaman dalam kondisi yang tidak normal dan
mendalam itu. Terlebih lagi, keadaan-keadaan pikiran ini diyakini mempunyai kekuatan,
untuk membuat mereka yang melakukannya mempunyai kekuatan supranatural (abhijna,
harafiahnya berarti ‘supra-pengetahuan’ dunia magis, transformasi, mengindera yang
tidak terindera, mengetahui sebelum terjadi, dan lain-lain. Berikut adalah pemaparan
khas dari keadaan di atas:
Orang yang bermeditasi, secara bertahap merenung, sampai ia memperoleh penguasaan
atas berbagai macam perubahan. Berwujud satu, ia akan menjadi banyak. Berwujud
banyak, ia akan menjadi satu. Ia tampak [dan menghilang]. Ia berjalan menembus
tembok, halangan-halangan, gunung-gunung. Tubuhnya bergerak tanpa halangan, seakan-
akan melampaui ruang. Ia tenggelam ke dalam bumi dan timbul dari sana, seakan-akan
berada dalam air. Ia berjalan di atas air seakan- akan berada di atas tanah, dan bergerak
di udara seakan burung yang sedang terbang. Ia menimang matahari dan rembulan
dengan tangannya. Yang demikian merupakan kekuatan supranatural, kekuatan yang
dimilikinya begitu agung, hingga ia naik bahkan ke dunia Brahma. Entah dipakai secara
harafiah dalam tradisi ataupun tidak, klaim-klaim ini secara jelas menandakan bahwa
pengalaman konsentrasi dan kekhusyukan—setidaknya tampak bagi mereka yang
mengalaminya—seakan-akan mereka merupakan dunia lain yang lebih tinggi. Dan kita

15
akan melihat, bahwa semuanya cukup serius ditanggapi dan diyakini mengandung bahaya.
Meski demikian, tradisi meditasi Buddhis sebenarnya bersepakat dalam keyakinan
bahwa ketenangan dan konsentrasi, bahkan dalam tingkatyang paling tinggi, bukanlah
tujuan meditasi itu sendiri. Dan kekuatan-kekuatan supranatural yang ditimbulkan oleh
keadaan seperti itu, dipandang sekadar sebagai hasil dari meditasi, yang seringkali sangat
berguna di tangan orang yang tercerahkan, namun kemungkinan besar menggiurkan bagi
yang lain. Kegunaan sesungguhnya dari disiplin-disiplin ini adalah sekadar
mempersiapkan orang yang bermeditasi menuju latihan ketajaman yang lebih penting lagi
(vipasyana). Analisa terhadap doktrin Buddhis dan penerapannya pada data pengalaman
tidak dapat dilakukan oleh orang yang pikiran dan tubuhnya tetap terkepung oleh
pergolakan dari dalam dan gangguan dari luar, dan mereka yang karenanya mati rasa
terhadap kedalaman alami dari pengalaman itu. Perpindahan dari samatha, chyarn, dan
samadhi utamanya berfungsi mengebalkan orang yang bermeditasi dari gangguan-
gangguan tadi dan mengasah kecakapan perhatiannya. Namun, terpisah dari fungsi-fungsi
ini, pengalaman luarbiasa berupa ketenangan, kekhusyukan, dan konsentrasi sendiri
hanyalah fakta lebih lebih jauh yang ditawarkan oleh orang yang bermeditasi atas
kecermatan kewaskitaannya. Kewaskitaan, pada gilirannya akan menunjukkan bahwa
fakta-fakta ini ‘berasal tidak bebas’, ‘fana’, ‘tanpa kedirian’, ‘dibuat-buat’, dan lain-lain.
Khususnya perlu digarisbawahi, samadhi dan pengalaman yang diasosiasikan dengannya
bukanlah berfungsi untuk menyingkapkan kebenaran perkara-perkara, dan tidak juga
memadai untuk membebaskan diri dari penderitaan. Tugas-tugas penting ini diselesaikan
oleh kewaskitaan atau wawasan, di mana ketenangan dan konsentrasi hanyalah
mempertahankan kondisi mental yang sesuai. Jadi:
Seorang pe-yogi, ketika menata pikirannya pada bentuk fisik
Tathagata (Buddha yang dibayangkan dalam meditasi)
seakan-akan tampak oleh indera, ia akan melakukan penenangan. Ia terus-menerus akan
menghadirkan bentuk Tathagata, cerlang seperti emas murni, dihiasi dengan tanda- tanda
besar maupun kecil (penanda orang yang mulia), berada di tengah-tengah perkumpulan,
menyelesaikan tugas- tugas manusia dengan berbagai cara yang bijaksana. Karena tertarik
oleh sifat-sifat ini, seorang yogin akan mengakhiri semua gangguan dan gejolak, dan tetap

16
terpikat selama semua itu tampak jelas baginya, seakan-akan semuanya adalah nyata.
Kemudian, seorang yogin melakukan kewakitaan dengan mencermati lintasan refleksi
tentang bentuk Tathagata ini. Ia akan berpikir demikian: karena bayangan bentuk Tathagata
ini bukan berasal dari manapun atau pergi ke manapun, maka ia adalah kosong dari wujudnya
sendiri dan kosong dari diri dan sifat-sifatnya, sehingga semua dhctrrn kosong dari wujudnya
sendiri, tanpa datang ataupun pergi sebagaimana sebuah bayangan, dan tidak mempunyai
ciri- ciri benda yang wujud.30
Di sini kita mempunyai contoh sebuah latihan dalam kekhusyukan, yang meskipun tampak
hidup dan megah, telah dengan sengaja dibuat untuk menunjukkan doktrin Buddha tertentu.
Kehebatan dan visualisasi meditatif terus-menerus akan Buddha, lebih dari sekadar
menumbuhkan dan memperkuat keyakinan religius atau metafisik atas keberadaan wujud
tersebut sebagai Buddha, sesungguhnya berfungsi menggambarkan doktrin bahwa Buddha
dan hal-hal lainnya adalah kosong dari eksistensi substansial yang independen, bahwa
semuanya adalah seperti bayangan pada cermin. Penilaian hati-hati bahwa mereka adalah
demikian, ‘memandang’ mereka seperti itu, adalah kewaskitaan, dan inilah yang
membebaskan. Secara khusus, menurut Buddhisme, ia membebaskan dari pandangan yang
salah tentang sifat asli wujud dan yang tidak wujud.
Dalam semua versi kisah hidup Buddha dan dalam semua kurikulum meditasi, adalah
kewaskitaannya, atau penyempurnaannya sebagai wawasan (prajna),n yang kurang-lebih sebagai
penyebab pencerahan, dan bukannya samatha atau samadhi?2 Jika benar bahwa kewaskitaan
tidak akan dicapai tanpa beberapa derajat ketenangan sebagai prasyaratnya, tidak kurang
benarnya bahwa ketenangan sendiri, tanpa kewaskitaan, tidak mempunyai faedah soterik apapun.
Perbedaan di antara berbagai macam jenis meditasi Buddhis tidak mempertanyakan hal ini.
Perbedaan- perbedaan itu hanya berkait dengan proporsi relatif dari dua kandungan tadi:
beberapa meniscayakan pengolahan ketenangan yang panjang dan istimewa, sementara yang lain
hanya sedikit mempraktekkan ketenangan sebelum langsung meloncat menuju kewaskitaan.33
Seakan menguatkan keunggulan kewaskitaan dibanding ketenangan dalam meditasi Buddhis,
tradisi-tradisi skolastik Buddhisme yang belakangan (abhidharrm) membuat perbedaan antara
pengolahan (bhawna) yang bersifat duniawi (laukika) dan supra-duniawi (lokottara)?4
Pengolahan duniawi adalah praktik delapan kekhusyukan dan pencapaiannyayang disebutkan

17
di atas. Orang akan mendaki melalui semua itu dengan memelihara pada satu titik manapun pada
jalan ketidaksukaan pada tahap yang lebih rendah, ketika tahap itu sudah dicapai, dan dengan
membayangkan cita-cita menuju tingkatan selanjutnyayang lebih tinggi. Misalnya, setelah
mencapai kekhusyukan pertama dan memperoleh manfaatnya, orang mengetahui bahwa ada
kesalahan atau bahaya tertentu di dalamnya. Dua dari lima faktornya—pemakaian pikiran
(vitarka) dan pemikiran terus-menerus (vkzm)—rentan terhadap gangguan ketidakbersambungan
pikiran. Karenanya orang menginginkan tingkat kekhusyukan berikutnya, dan karena dua faktor
ini tidak ada, ia menawarkan tingkat ketenangan dan konsentrasi yang lebih besar. Bahasa yang
digunakan untuk menerangkan prosedur ini menunjukkan bahwa para pelakunya meningkat dan
dunia pengalaman yang dikuasai oleh hawa nafsu (kamadhatu) menuju dunia pemahaman bentuk
material murni yang terpisahkan dan hawa nafsu (rupadhatu), dan kemudian menuju dunia
immateri dan murni abstrak (arupadbatu). Sejumlah teks mengatakan tentang keadaan non-
abstrak (anoetic transic) yang lebih murni lagi {samjmvedita-mroda, hilangnya konsep dan
perasaan) yang sebenarnya merupakan tiadanya kesadaran sama sekali yang mendekati
kematian. Dinamika kemajuan dari jalan ini masih merupakan dinamika hasrat, tapi karena
tujuan yang mengarahkan cita-cita orang yang bermeditasi adalah ketenangan yang setinggi
mungkin, maka kemajuan ditandai oleh pembersihan besar-besaran keinginan yang lebih rendah
hingga hanya tinggal sejumlah kecil keinginan yang paling murni, yaitu berdiam dalam
keheningan puncak. Namun, pelaku masih mempunyai sisa-sisa keinginan hawa nafsu, dan lebih
serius lagi, masih dirintangi oleh kesalahpahaman dan ketidaktahuan tentang ‘empat kebenaran
yang mulia’, dan akibat wajarnya. Halang anyang terakhir muncul kembali dalam pikiran orang
yang bermeditasi ketika ia muncul dari kekhusyukan yang dilakukan dengan sementara, dan
inilah yang menghalangi pembebasan final.
Pengolahan supra-duniawi dalam pandangan ‘kebenaran’ Buddhisme—penderitaan,
kefanaan, ketidakpentingan—dengan menerapkan konsep-konsep ini, baik untuk pengalaman
konvensional maupun pengalaman kekhusyukan yang dimurnikan. Bahkan dhyzna sendiri harus
dipandang sebagai sejenis kesakitan (dubkha), yang munculnya tidak bebas, berlangsung hanya
sebentar, dan lain-lain. Meskipun bagi ‘kebenaran’ ini, ukuran konsentrasi tertentu penting untuk
dipandang dari segi kemurniannya, pemberantasan pandangan yang keliru tidak dengan
sendirinya menghendaki masuk ke dalam kekhusyukan yang lebih tinggi. Dan pembasmian

18
pandangan yang salah inilah, keterikatan untuk menjelaskan teori-teori atau gagasan-gagasan
tentang realitas, yang dianggap syarat yang paling penting bagi pembebasan final.
Jelasnya, hubungan antara pengolahan duniawi dan non- duniawi adalah analog dengan
hubungan antara penenangan dan kewaskitaan. Dan sebagaimana pasangan yang terakhir,
demikian juga pada yang pertama, yang ideal adalah gabungan dari kedua elemen, sebuah
keseimbangan yang arif dari ketenangan dan wawasan. Proporsi yang pasti, sebagian besar
tergantung pada temperamen atau kecerdasan individu pelaku. Meskipun demikian, ada
kesetujuan yang luas dalam perlakuan sistematis terhadap meditasi yang mendapat tempat
terhormatyang dimiliki analisis doktrinal sebagaimana dipraktekkan dalam aliran supra- duniawi.
Nyatanya ini adalah point yang sering dijadikan pembeda Buddisme dari tradisi meditatif yang
lain. Telah diakui bahwa bahkan capaian kekhusyukan yang tertinggi sekalipun, terdapat dalam
praktik aliran heterodoks (misalnya yang diajarkan oleh sejumlah guru-guru 3uddha masa pra-
pencerahan), tapi kualifikasi selalu dibuat bahwa tanpa adanya wawasan kepada kebenaran*
yang disusun oleh Buddha, parayogi kafir ini masih terkerangkeng samsara.
Sekumpulan kategori tradisional terakhir dapat dipakai untuk menjelaskan isi dari aliran
meditatif Buddha. Dalam konteks yang sama di mana orang-orang Buddha membedakan antara
ketenangan dan ketajaman, atau aliran duniawi dan supra-duniawi, mereka juga sering
membedakan antara dua jenis penghalang menuju kebebasan: halangan emosional (klesazarana)
dan halangan intelektual (jneyavtraria). Halangan emosional adalah kekotoran nafsu seperti
syahwat, kemarahan, kebencian; sedang halangan intelektual bersifat konseptual, dan terdiri dari
kesalahpahaman seperti meyakini kedirian atau keabadian dan substansialitas makhluk.
Ketenangan, konsentrasi dan kekhusukan dalam meditasi-lah yang mengakibatkan hampir
hilangnya halangan-halangan emosional. Namun, hanya kewaskitaan atau analisis doktrinal yang
didukung oleh konsentrasilah yang sama sekali menghilangkan halangan emosional itu, termasuk
juga halangan intelektual. Nirwana dicapai hanya ketika jenis halangan itu dihilangkan.
Pembedaan ini sekali lagi menyoroti kelebihan kewaskitaan dibandingkan dengan ketenangan.
Berdasar tiga pembedaan yang telah saya paparkan—antara ketenangan dan kewaskitaan,
pengolahan duniawi dan supraduniawi, serta halangan emosional dan intelektual menuju
pembebasan—marilah kita merangkum karakterisasi kita atas meditasi Buddhis. Secara umum,
meditasi tersusun dalam dua disiplin. Pada satu sisi, adalah apa yang mungkin disebut sebagai

19
komponen psikosomatis dan afektif. Ini terkandung dalam seni penenangan dan konsentrasi
tubuh-pikiran kompleks seorang meditator, biasanya dengan sengaja membuat ketertarikan pada
keadaan pikiran tertentu yang dimurnikan. Keadaan ini dicirikan oleh sifat-sifat seperti ekstase,
kebahagiaan, keheningan, semangat, ketenangan hati, dan pikiran yang terfokus. Semua ini pada
gilirannya akan menimbulkan atau menyertai pengalaman luarbiasa di mana kondisi-kondisi
normal wujud materi, keruangan, kewaktuan, dan mental tampaknya terhenti. Keanekaragaman,
daya tahan material, berbedaan antara subjek dan objek, dan sebagainya—semuanya akan hilang.
Orang yang bermeditasi merasa dirinya dianugerahi dengan sekumpulan kekuatan supranatural
yang berhubungan dengan pengalaman- pengalaman ini. Kegunaan praktik-praktik ini adalah
penghentian—jika bukan pemusnahan—nafsu, keterikatan, dan elemen-elemen kehidupan
perasaan. Pada sisi yang lain, adalah komponen meditasi yang bersifat intelektual atau analitik.
Ini terkandung dalam refleksi meditatif yang mendalam terhadap kategori dasar doktrin Buddha
dan penerapannya pada data pengalaman meditatif. Ini merupakan sebentuk pembedaan, yang
bernada kritis dan skeptis, yang selalu membantu mencegah spekulasi atau penyusunan
pandangan tentang hakikat realitas. Ia tidak memakai konsep-konsep—gagasan seperti
penderitaan, kefanaan, kekosongan, kesalingtergantungan, dan lain-lain-tapi memakai
homeopatik, sebagai peralatan konseptual untuk melawan kecenderungan pikiran untuk
mengaitkan dirinya dengan konsep-konsep.35 Kunci terakhir menuju pembebasan bagi penganut
Buddha menurut analisis ini adalah penghancuran pandangan-pandangan yang keliru. Dua
komponen utama meditasi Buddha pada dasarnya saling berhubungan dalam dua cara.
Penenangan dan konsentrasi pada tingkat tertentu secara praktis penting bagi pelatihan
kewaskitaan: mereka memantapkan kondisi mental untuk kewaskitaan. Namun, kewaskitaan
sendiri adalah sikap kritis terhadap ketenangan dan konsentrasi, yang memungkinkannya dan
membutuhkan sebuah kecerdasan, ‘jarak’ kesadaran diri dari mereka.
Arah yang hendak dituju oleh semua hal di atas—baik karakterisasi derivatif dari pengalaman
mistis dan deskripsi umum meditasi Buddhis—sekarang mungkin terlihat jelas. Sederhananya
begini: pengalaman mistis sebagaimana biasanya dipahami, berhubungan erat dengan hanya satu
dari dua komponen utama meditasi Buddhisme. Ia mirip dengan jenis pengalaman yang dalam
Buddhisme masuk dalam golongan umum penenangan dan golongan khusus kekhusyukan atau
konsentrasi. Dalam praktek penenangan inilah orang akan mendapatkan pengalaman seperti

20
‘perasaan penyatuan atau ketunggalan, ‘terhentinya kerja- kerja pikiran normal’, ‘paradoks,
‘nada perasaan yang kuat’, dan semangat yang mendorong yang dapat secara bertahap
memasukkan ke dalam pikiran ‘keyakinan yang kuat akan “realitas” atau “objektivitas”
pengalaman’ jika tidak diteliti dengan seksama. Sebaliknya, di antara pengalaman yang secara
konvensional dianggap sebagai mistik, orang akan menemukan analogi non-buddhis terhadap
pengalaman seperti itu dengan ‘semangat’, ketenangan batin, kemuliaan tertinggi’, ketiadaan
semua pikiran tentang ketahanan dan keanekaragaman’, dan gerbang menuju ‘dunia di mana
tidak ada sesuatupun yang ada. Karenanya, saya akan berpendapat bahwa jika kata ‘mistisisme’
dan ‘mistis’ hendak digunakan terhadap Buddhisme dan meditasi Buddhis, penggunaannya harus
dibatasi pada ciri-ciri samatha.
samadhi, dan sub-jenis lainnya. Lalu, apakah kewaskitaan itu? Menurut saya, ini adalah
sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang normalnya diartikan sebagai ‘pengalaman mistis’. Ia
lebih sebagai sebuah kerja intelektual, yang meskipun dapat dijalankan bersama pengalaman
mistis, ia juga diselenggarakan di atas pengalaman mistis itu. Ia adalah sebentuk analisis meditatif,
yang memakai konsep-konsep dan dalil-dalil doktrin Buddhisme, di mana pengalaman mistis
memungkinkan kondisi itu sekaligus pokok persoalan, khususnya untuk yang terakhir. Namun,
dengan mengesampingkan kesalingtergantungan kewaskitaan dan pengalaman mistis dalam
meditasi Buddha, keduanya secara kategoris berbeda. Jadi, pemaparan-pemaparan di atas
menandakan bahwa kewaskitaan merupakan sebuah kategori pengalaman religius, atau tindakan
religius yang dibedakan dari pengalaman mistik sebagaimana kategori-kategori wahyu kenabian,
doa, ibadah, dan ritual. Hakekat perbedaan dalam tradisi Buddhisme tampak nyata dalam
penetapan kewaskitaan sebagai yang berperan menentukan atas semua elemen meditasi.
Kewaskitaan adalah prosedur meditatif yang digunakan penganut Buddha untuk secara kritis
menilai pengalaman mistis mereka, mengecewakan diri dengan semua itu, dan menggunakan
pengalaman-pengalaman itu sebagai hubungan pengejawantahan doktrin-doktrin tertentu.
Tegasnya, kewaskitaan memerangi tendensi yang ada dalam tradisi-tradisi ‘mistik yang lain,
meng ontologi-kan kandungan pengalaman mistis. Sebagaimana diamati oleh Bharati, penganut
Buddhis tampaknya telah lama menyadari apayang ‘diketahui oleh sangat-sedikit mistikus
selama berabad-abad, yaitu bahwa pengalaman mistis ‘tidak dapat membedakan keadaan
eksistensial kandungannya.36 Apa yang tampaknya tidak sepenuhnya diapresiasi oleh Bharati

21
adalah mekanisme yang dipakai oleh Buddhis untuk mencegah tendensi kecenderungan yang
sangat alamiah tadi. Mekanisme itu adalah kewaskitaan.
Mereka yang telah mengikuti debat filsafat terbaru tentang mistisisme mungkin berpendapat
bahwa perbedaan yang telah saya buat dengan susah-payah hanyalah sekadar satu variasi dari
perbedaan antara pengalaman mistis dengan penafsirannya. Saya tidak akan menganggap
pendapat ini tidak dapat disetujui, karena juga diakui bahwa penafsiran memerlukan bukan
hanya sekadar rasionalisasi yang dibuat sesudah fakta pengalaman mistik, tapi sesungguhnya
dapat selaras dengan dan menentukan pengalaman. Kenyataannya, saya berkeyakinan bahwa
pengunggulan Buddhis akan komponen meditasi samatha terhadap vipasyana, merupakan satu
contoh dari hal di atas. Lebih jauh lagi, meskipun telah diamati bahwa pengalaman dan
penafsiran-nya seringkali sulit untuk dibedakan, namun Buddhisme dengan pembagian
meditasinya menjadi keheningan dan analisis, memberikan kita setidaknya satu contoh ketika
tersedia kriteria pembedaan yang jelas.
Keberatan lain yang dimungkinkan harus juga diantisipasi. Buddhisme mengakui bahwa kedua
komponen meditasi yang telah kita diskusikan, adalah sebagai bagian dari ‘aliran (bodhi) menuju
pencerahan atau pembebasan. Tidakkah bisa kemudian bahwa ‘pengalaman mistis yang sejati
dalam Buddhisme bukanlah penenangan maupun kewaskitaan, tapi lebih sebagai pencerahan
(bodhi) itu sendiri, tujuan dari aliran tadi? Keberatan ini, diakui tidak begitu saja berhubungan
denganyang pertama— setidaknya bukan tanpa semacam pembedaan historis di antara jenis
Buddhisme yang hingga sekarang dengan berhati-hati telah kita hindari. Hipotesa saya adalah
bahwa pembebasan (vhnoksa, miana, bodhi, dan lain-lain) dalam semua Buddhisme bukanlah
semacam perkara yang biasanya ditunjukkan oleh istilah ‘pengalaman mistis. Dalam kasus
Theravada atau Buddhisme ‘Hinayana, hipotesa seperti itu sulit dibuktikan. Tidak diragukan lagi,
kesulitan akan berkaitan dengan penolakan atau ketidakmampuan Buddha Theravada untuk
mendefinisikan miana. Ini merupakan klaim ketakterlukisan, yang menjadi ciri umum
pengalaman mistis. Tapi ini tidak membuktikan apa-apa. Jika kita tidak dapat berbicara, maka
kita bahkan tidak bisa mengatakan ‘mistis’. Semua kediaman tidak dapat mengindikasikan hal
yang sama.37 Dalam kasus Buddhisme Mayahana, hipotesa saya lebih mudah disokong. Kunci
dukungannya terletak pada klaim universal Mahayana bahwa tujuan esoterisnya (biasanya bodhig
bukan rarzana) sama sekali bukanlah sebuah ‘pengalaman’. Lalu bagaimana ia bisa menjadi

22
sebuah ‘pengalaman mistis’? lebih tepatnya, pencerahan Mahayana disebut sebagai jalan hidup
sebuah tuntunan perilaku, sebuah cara bertindak. Manusia ideal dalam Mahayana, bodhisattva,
tepatnya merupakan makhluk yang tidak berdiam atau mengalah pada pengalaman-pengalaman
keselamatannya (sdvatic) sendiri, tapi cenderung mengubah pengalaman itu dengan penuh
penghiburan untuk dicatat dalam karya yang ditujukan buat sesama manusia. Dialah yang
dengan sengaja, dengan usaha keras kehendak dan kecerdasan, menahan diri dari rwrvzna
sehingga ia tetap berada dalam samsam, ‘batasan yang satu menjadi batasan yang lain. 38
Sebaliknya, Buddhis Hinayana (sravzka atau arhant) yang—sebagai pokok polemik Mahayana—
menjadi ‘mabuk oleh anggur samadhi’39 dan dalam keadaan mabuk mistis tersebut, mengelirukan
(memistikkan?) kebodohannya, kekhusyukan diri yang seperti trance sebagai sesuatu yang jelas
rwrwm. Satu-satunya rnrvzna yang layak bagi seorang bodhisattva adalah apratisthita nirvma, 'rirwm
tanpa kediaman tetap’,yang tidak menghalangi kehidupan duniawiyang penuh aktivitas yang
menggembirakan, tapi sesungguhnya itulah hidup yang sejati. Bahkan kearifan yang didapatkan
oleh bodhisattva dalam pencariannya akan pencerahan, tidak memenuhi syarat sebagai sebuah
capaian mistis. Bodhisattva harus mencapai kearifan yang tidak membeda-bedakan
(nirvialpajriaria), ketika perbedaan-perbedaan tidak dimungkinkan dan kesamaan’ (samata) akan
muncul, sehingga ia dapat membebaskan dirinya dari ikatan nafsu dan kesalahpahaman. Meski
demikian, ia tidak boleh berdiam dalam keadaan ini. Ia sebaiknya mengakhirinya dengan
pengolahan kearifan yang terikat kemudian’ {tatprstha- iMijmm),yang didefinisikan sebagai
penguasaannya atas kasih (karuna) dan keahlian-dalam-tujuan (upaya-kausalya) yang dignn-.lran
untuk kembalinya’ menuju samsara dan ketidak- samaannya’ (asarmta). 40 Untuk menjalankan
proses kembali ini, iamenambahkan dimensi lebih jauh pada perbedaan klasik antara ketenangan
dan kewaskitaan. Jadi:
Ketika boddhisattva tanpa kesalahan dapat membedakan dharrm, ini dikenal sebagai
ketenangan. Tapi ketika ia menggabungkan pengetahuan yang benar tentang dharma sesuai
dengan kebenaran tertinggi, dengan kearifan duniawi dari kemanfaatan universal, ini dinamakan
kewaskitaan.41
Di sini kita lihat dampak seutuhnya dari pengunggulan Buddhis terhadap kewakitaan analisa
dibandingkan dengan perjalanan mistik. Jenjang meditatif sendiri, bukan hanya tujuannya,
menjadi sebuah jalan tindakan lebih daripada sekadar sebuah penarikan kontemplatif. Perhatikan

23
kesaksian Vimalakirti tentang topik kekhusyukan meditatif (pratisamlayana):
O sanputra (srazaka), engkau tidak perlu duduk dengan cara ini untuk mempraktekkan
duduk-diam (meditasi tanpa gerak). Karena duduk-diam: tidak hendak menunjukkan tubuh
atau jiwa dalam salah satu dari tiga alam (alam hawa nafsu, alam bentuk, alam tanpa bentuk)
dengan mempraktekkan duduk-diam. Menampilkan semua kelakuan dengan perilaku yang
bermartabat tanpa bangun dari pencapaian penghentian, inilah praktek duduk diam.
Menampilkan ciri- ciri duniawi tanpa mengabaikan sifat-sifat keagamaan, inilah
mempraktekkan duduk diam. Pikiran yang diam tidak simpang-siur, inilah mempraktekkan
duduk diam. Menjalankan tigapuluh tujuh bantuan menuju pencerahan tanpa melarikan diri
dari berbagai macam pandangan, adalah praktek duduk diam. Memasuki virvma tanpa
memadamkan kekotoran, ini adalah praktek duduk diam. Barangsiapa duduk dengan cara ini,
akan mendapatkan segel restu dari
Buddha.
Vimalakirti, penyair bodhisatva, berbicara untuk semua Mahayana dalam penolakannya atas
asumsi bahwa meditasi hanyalah sekadar pencarian pengalaman supranormal Ia bahkan
mengatakan bahwa seorang bodhisatva tidak boleh memadamkan kekotoran nafsu (klesa), yang
sebagaimana kita lihat merupakan penghalang yang dihancurkan oleh praktik penenangan atau
^mistis’ dalam meditasi.
Jenis komentar Mahayana terhadap meditasi dan jenis -pengalaman yang orang mungkin
menyebutnya sebagai bersifat mistik inilah, yang melatarbelakangi karakteristik klaim Zen,
bahwa Zen adalah ‘membawa air dan menebang pohon’ bahwa ‘pikiran Zen adalah pikiran
biasa sehari-hari’, atau bahwa ‘pencerahan adalah praktik itu sendiri’. Perhatikan bahwa dalam
‘Sepuluh Gambar Penggembalaan* terkenal yang digunakan dalam Zen untuk melambangkan
perkembangan meditator menuju pencerahan, tahap-tahap yang mungkin kita kenali sebagai
sebuah capaian mistik dilambangkan dengan sebuah lingkaran kosong—sebuah simbol yang
tepat untuk ketunggalan’ dan lain-lain. Namun tahap yang tertinggi digambarkan dalam
lukisan-lukisan yang kaya detail dan tindakan, dan yang terakhir diberi judul ‘Kembali ke
Pasar dengan Buah Tangan’.
Contoh lebih lanjut yang dapat kita tambahkan adalah khususnya di Buddhisme Mahayana,
bukan meditasi maupun tujuannya berupa pencerahanyang menjadi perkara mendapatkan

24
pengalaman mistis; meski demikian, jelas bahwa pengalaman mistis memainkan peran penting
dalam disiplin ini. Dengan kata lain, dalam kata-kata tradisi itu sendiri, tujuan praktik
Mahayana adalah sebuah pencerahanyang benar-benar terjadi sehari-hari— perubahan pribadi
yang terus-menerus mengejawantah bukan dalam pencapaian pengalaman tertentu, meski
jarang dan menakjubkan—tapi dalam sikap terus-menerus pada kehidupan yang
diartikulasikan dalam aktivitas kehidupan setiap hari. Sifat- sifat kehidupan ini juga bukan
sekadar konsekuensi dari sebuah pengalaman pencerahan; amat ditegaskan bahwa hidup itu
sendiri merupakan pencerahan. Jadi:
Lalu Dogen berkata: ‘Kita harus mendapatkan pencerahan sebelum kita mencapai
pencerahan\ Bukan setelah memperoleh pencerahan kita menemukan makna sesungguhnya;
usaha untuk melakukan sesuatu dalam mendapatkan pencerahan, merupakan pencerahan itu
sendiri.45
Dengan mengasumsikan bahwa orang dapat menerima, atau setidaknya mengerti kunci
perbedaan yang ditarik di atas—antara ketenangan dan kewaskitaan, dan antara pengalaman
mistis dengan meditasi Buddhis—untuk kegunaan apakah, jika memang ada, perbedaan
demikian jika dipakai dalam penelitian filosofis terhadap mistisisme? Pada permulaan esai ini
telah riikaralcan bahwa mereka mungkin mempunyai suatu kegunaan untuk tiga kelompok
problem filosofis berkaitan dengan mistisisme. Marilah kita simpulkan secara singkat membahas
masing-masing, bukan dengan harapan bahwa mereka dapat sepenuhnya diteliti, tapi dengan
suatu pandangan yang menyarankan pemahaman yang lebih tepat terhadap contoh Buddhis di
sini.
Mengenai masalah pembedaan antara pengalaman mistik dan penafsirannya, meditasi Buddhis
berguna sebagai sebuah contoh disiplin kontemplatif di mana oto-interpretasi pengalaman mistis
secara sistematis dan berkesadaran diri diterapkan pada pengalaman ini. Penerapan ini terjadi
ketika gambaran dari pengalaman secara langsung masih ada dalam perhatian orang yang
bermeditasi, dan bukannya sesudah pengalaman dalam keadaan dingin’dari refleksi yang
tendensius. Terlebih lagi, disiplin meditasi dirancang untuk menghasilkan pengalaman-
pengalaman mistis khusus, yang ketika dianalisis, akan memberi teladan yang terbaik terhadap
doktrin Buddha yang paling dasar. Jadi, alih-alih membicarakan doktrin Buddhis sebagai
penafsiran pengalaman mistis Buddhis, orang mungkin lebih baik membicarakan pengalaman

25
mistis Buddhis sebagai secara sengaja mengusahakan pemerian contoh doktrin Buddhis. Dalam
pandangan kemungkinan ini, tampaknya layak untuk dipertimbangkan apakah pengalaman mistis
dalam tradisi lain juga tidak mengusahakannya, meskipun kurang disengaja; dan apakah doktrin
serupa sebagai penentu dari pengalaman religius, lebih daripada ditentukan olehnya. 46
Berkait dengan permasalahan tentang apakah atau bagaimana pengalaman mistis dapat
diambil untuk mendukung klaim kebenaran dari dalil-dalil keimanan tertentu; meditasi
Buddhis menunjukkan sebuah kecenderungan pada kehati-hatian dan perhatian pada potensi
hayalan yang kuat dalam pengalaman mistis. Dalam menjelaskan praktik-praktik seperti
trance, kekhusyukan, dan konsentrasi, Buddhis dengan jelas mengakui bahwa mereka sedang
berurusan dengan obat yang mengandung bahaya, yang penyalahgunaannya dapat lebih
berbahaya daripada penyakit yang hendak mereka obati Mereka khususnya berusaha untuk
mengendalikan pengalaman seperti itu, dengan kekuatan pikiran yang dilatih dan dibentuk
oleh doktrin, sehingga bukan menjadi peristiwa untuk penyusunan keyakinan-keyakinan
tentang hakekat realitas, dan lebih sedikit lagi untuk komitmen pada keyakinan-keyakinan itu
atau untuk memperkuatnya. Kenyataannya, kewaskitaan dianggap bersifat merusak semua
pandangan, bahkan khususnya yang diilhami oleh pengalaman mistis. Pengalaman mistis
digunakan dalam Buddhisme dengan cara yang sama sebagaimana doktrin digunakan,
sebagai sarana yang sangat berguna, lebih daripada sebagai objek keimanan. Satu-satunya
pandangan yang didukung oleh penggunaan Buddhis akan pengalaman mistis, adalah refleksi
yang negatif, yaitu pandangan bahwa tidak ada pandangan yang dapat menangkap hakekat
realitas. Dan ini sendiri bukan sebuah 'pandangan tentang realitas, tapi hanya ‘pandangan
tentang pandangan. Demikian juga dapat dipastikan bahwa Buddhis tidak meng-ontologi-
kon kandungan pengalaman mistis mereka, bukan pula orang-crang-orang dari alam
entitas mistik, karena kegunaan pengalaman itu adalah untuk ‘melihat hayalan-
hayalan mereka. Semua ini mungkin memberikan gagasan pada peneliti filosofi
mistisisme bahwa adalah sebuah legitimasi atas kecurigaan yang diperkuat oleh
sejumlah filosof tentang kegunaan pengalaman mistis untuk ‘membuktikan’ kebenaran
theisme, monisme, panteisme, panenteisme, atau apapun juga. Setidaknya dalam kasus
Buddhisme kita mempunyai satu tradisi mistis reflektif yang menyangkal keabsahan
kegunaan seperti itu.

26
Akhirnya mengenai masalah hubungan antara pengalaman mistis dan perhatian
manusia lainnya, Meditasi Buddha, khususnya sebagaimana didefinisikan dalam
Mahayana, menyatakan bahwa mungkin hubungan antara mereka lebih dalam
daripada yang biasanya diduga. Point meditasi Buddha, termasuk pengalaman mistis
yang memungkinkannya, yaitu sebagai dikatakan Dogen, bukan untuk mendapatkan
sesuatu hal’ tapi untuk ‘menjadi seseorang [manusia]. Jadi, pengalaman mistis tidak
mempunyai otonomi kekuasaan dalam Buddhisme.
Ia lebih dipandang sebagai mempunyai konsekuensi penting bagi semua wilayah
kehidupan manusia—setidak-tidaknya moralitas— dan dinilai sesuai dengan
konsekuensi-konsekuensi itu. Buddhis meyakini bahwa pengalaman mistis mempengaruhi
kehidupan moral, dan karenanya mereka bersusah-payah dalam disiplin meditasinya
untuk memastikan bahwa efek pengalaman itu merupakan yang paling tepat dan
menggembirakan. Dalam melakukannya, mereka mungkin menawarkan instruksi kepada
mereka yang meneliti klaim mistik tentang antinomianisme atau transendensi kebaikan
dan kejahatan, dan dapat memberikan peringatan pada mereka yang berkeyakinan
bahwa mistisisme dapat menjadi sebuah tempat perlindungan dari kehidupan dan
tanggung-jawab moral.
Paparan di atas sesungguhnya hanyalah merupakan kemimgkinan-kemungjrinan yang
ditawarkan untuk penelitian lebih lanjut, tapi mungkin sudah cukup menunjukkan bahwa analisa
filsafat atas pengalaman mistis dapat diperoleh dengan perhatian yang saksama terhadap ‘analisa
meditatif ’ umat Buddha terhadap pengalaman mistis.

27

Anda mungkin juga menyukai