Anda di halaman 1dari 112

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

INSTRUMEN PENGENDALIAN TATA RUANG EFEKTIF,


ALTERNATIF DI TENGAH KONSEPSI OTONOMI DAERAH:
FORMULASI KEBIJAKAN INSENTIF DAN DISINSENTIF

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
2019
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

PENELITIAN INSTRUMEN PENGENDALIAN TATA RUANG EFEKTIF, ALTERNATIF DI TENGAH


KONSEPSI OTONOMI DAERAH: FORMULASI KEBIJAKAN INSENTIF DAN DISINSENTIF

Diterbitkan Oleh:
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Jl. Akses Tol Cimanggis, Cikeas Udik, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16966

Cetakan Pertama - Desember 2019


ISBN: 978-979-1069-76-2

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

TIM PENYUSUN
1. Koordinator : Arditya Wicaksono, S.IP., M.Si.
2. Pembantu Peneliti : Ambar Nur Hadi, S.T., M.P.P., M.Eng.

ii
Kata Pengantar
&
Prakata Penulis

PENELITIAN iii
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
KATA PENGANTAR

Pelaksanaan pembangunan, khususnya pembangunan fisik tidak selalu berjalan sesuai


dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa
untuk mewujudkan terciptanya pembangunan yang “tertib ruang”, diperlukan tindakan
pengendalian pemanfaatan ruang yang sungguh-sungguh. Kecenderungan penyimpangan
tersebut dapat terjadi karena produk rencana tata ruang kurang memerhatikan aspek-
aspek pelaksanaan (pemanfaatan ruang), atau sebaliknya pemanfaatan ruang kurang
memerhatikan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan.

Era otonomi daerah paradigma keberlanjutan kelihatannya akan semakin sulit dicapai.
Karena setiap daerah ingin memberdayakan sumber daya alamnya seringkali melampaui
daya dukungnya. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari proses penataan ruang. Pemanfaatan ruang dalam pelaksanaannya
tidak selalu sejalan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Ketidaksesuaian
atau pelanggaran tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya tekanan
perkembangan pasar terhadap ruang, belum jelasnya mekanisme pengendalian, dan
lemahnya penegakan hukum, serta sulitnya daerah menetapkan zona-zona di setiap
daerah untuk diprioritaskan untuk dorong, di batasi, dan dikendalikan pembangunan
nya.

Kajian ini melihat penataan ruang belum mendapat proporsi perhatian utama sebagai
instrumen dasar penyusunan Rencana Program Pembangunan Daerah, baik yang
dilakukan pemerintah maupun masyarakat dan dunia usaha. Penyusunan Rencana Tata
Ruang telah terjadi dikotomi kebutuhan antara menggali sumber-sumber pendapatan
asli daerah dari sumberdaya alam lewat mekanisme perizinan yang dimiliki tanpa/kurang
memperhatikan dampak lingkungan dan penyelamatan ruang.

Proses formulasi riset ini menggunakan instrumen power (kekuasaan) dan authority
(kewenangan). Tujuan dari formulasi ini terbagi menjadi antisipasi dan problem solving.
Tujuan dari analisis ini mendeskripsikan bagaimana kondisi di masing-masing kuadran
disertai treatment dan langkah-langkah terbaik yang perlu diambil. Insntrumen power
di sini diambil karena peran dinas PUPR, Tim TKPRD dan Pemimpin daerah memiliki
andil yang krusial untuk keberhasilan formulasi kebijakan. Di sisi lain, secara dejure
ada wewenang yang berasal dari peraturan yang sifatnya hierarki dan yuridis normatif
membuat institusi tersebut memiliki dasar untuk melakukan dan tidak melakukan
sebuah formulasi sampai implementasi kebijakan.

Berdasarkan analisis formulasi kebijakan tersebut konsen terbesar terdapat pada kuadran
ketiga dimana di daerah tersebut memerlukan pembinaan dan pengawasan lebih
kompleks, sebab di daerah tersebut tidak terjadi pengarusutamaan tata ruang dengan
baik. Pada kuadran satu daerah tersebut memiliki tugas untuk lebih mensosialisasikan
kebijakan insentif dan disinsentif secara lebih seksama ke seluruh stakeholder dan civil
society. Kedepan perlu dibentuk pranata/unit teknis (lembaga) yang ada di daerah
yang terintegrasi dalam kementerian ATR/BPN mengingat dampak yang timbulkan dari
kebijakan ini sangat signifikan.

Bogor, Desember 2019

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan

iv
PRAKATA PENULIS

Ahamdulillahirabbil’aalamin, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada


Allah Yang Maha Penyayang. Tanpa karunia-Nya, mustahillah naskah buku ini
terselesaikan tepat waktu mengingat tugas dan kewajiban lain yang bersamaan
hadir. Penulis benar-benar merasa tertantang untuk mewujudkan naskah buku ini
sebagai bagian untuk mempertahankan slogan pribadi belajar tanpa henti. Buku
ini ditulis berdasarkan fakta sulitnya melakukan pengendalian pemanfaatan ruang
di tengah konsep otonomi daerah. penulis yang sering mengamati di 7 provinsi
sampling. Begitu banyak potensi masalah dan alternatif penyelesaian yang secara
teknis mungkin bisa saja diambil tentu dengan konsekuensi yang harus ditanggung
pula sehingga pengendalian pemanfaatan ruang dapat digambarkan kedalam satu
kata yakni kompleks.

Otonomi daerah perlu rambu-rambu yang obyektif dan tujuan keberlanjutan wajib
menjadi pedoman daerah dalam pengelolaan ruang yang semakin kompleks dan
secara faktual tentu terbatas. Dikotomi pusat dan daerah dirasa kurang pas sehingga
perlu adanya kolaborasi dalam penyusunan RTRW dan RDTR yang ideal dan sesuai
faktual didaerah. Perlu jalan tengah aturan main segera di ambil dan rencana tata
ruang sesuai dengan daya tampung yang menjadi dasar pembangunan atas nama
kepentingan pusat maupun daerah.

Kepada pimpinan terimakasih atas dorongan kritik, saran dan masukannya, buat
teman-teman puslitbang, direktorat pengendalian pemanfaatan ruang terima kasih
banyak atas atensi dan masukannya, semoga kajian ini menambah wawasan jikalau
pembuat kebijakan terkadang perlu coersif /coercion policy sesekali dilakukan meski
tidak ke semua daerah. Terima kasih juga kepada seluruh narasumber, responden
dan informan sehingga penelitian ini terlaksana.

Peneliti

PENELITIAN v
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

vi
Daftar Isi

PENELITIAN vii
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... IV
PRAKATA PENULIS..................................................................................................... V
DAFTAR ISI...............................................................................................................VIII
DAFTAR TABEL.......................................................................................................... XII
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................... XII
BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................... 2
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian..................................................................................................4
1.5 Ruang lingkup Penelitian.........................................................................................5
1.6 Ruang Lingkup Wilayah ...........................................................................................5
1.6.1 Ruang lingkup makro ....................................................................................5
1.6.2 Ruang lingkup mikro .....................................................................................5
BAB 2. KAJIAN TEORI............................................................................................ 8
2.1 Kebijakan Publik.......................................................................................................8
2.2 Definisi Kebijakan Publik .........................................................................................8
2.3 Model Analisis Kebijakan...................................................................................... 10
2.4 Implementasi Kebijakan....................................................................................... 12
2.5 Pengendalian Pemanfaatan Ruang....................................................................... 13
2.5.1 Arahan Peraturan Zonasi ........................................................................... 13
2.5.2 Perizinan .................................................................................................... 13
2.5.3 Pemberian Insentif dan Disinsentif ........................................................... 14
2.5.4 Konsep Insentif dan Disinsentif Pemanfaatan Ruang ............................... 15
BAB 3. METODE PENELITIAN............................................................................. 18
3.1 Pendekatan Penelitian.......................................................................................... 18
3.2 Sumber Data......................................................................................................... 20
3.3 Teknik Pengumpulan data.................................................................................... 21
3.3.1 Observasi.................................................................................................... 21
3.3.2 Wawancara................................................................................................. 21
3.3.3 Dokumentasi.............................................................................................. 21
3.4 Teknik Pengecekan Keabsahan Data..................................................................... 21
3.4.1 Triangulasi................................................................................................... 21
3.5 Teknik Analisis Data.............................................................................................. 22
BAB 4. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN.......................................................... 26
4.1 Provinsi Bali ......................................................................................................... 26
4.1.1 Kota Denpasar ........................................................................................... 26
4.1.2 Kabupaten Badung .................................................................................... 30
4.2 Provinsi Jawa Timur ............................................................................................. 33
4.2.1 Kota Surabaya ............................................................................................ 33
4.2.2 Kabupaten Banyuwangi ............................................................................. 37
4.3 Provinsi Kalimantan Timur.................................................................................... 41
4.3.1 Kota Samarinda.......................................................................................... 41
4.3.2 Kota Balikpapan.......................................................................................... 42

viii
4.4 Provinsi Sulawsi Selatan........................................................................................ 44
4.4.1 Kota Makassar............................................................................................ 44
4.4.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah........................................................ 44
4.4.1.2 Potensi Pengembangan Wilayah................................................... 47
4.4.2 Kabupaten Gowa ....................................................................................... 50
4.5 Provinsi Sumatera Utara ...................................................................................... 52
4.5.1 Kota Medan................................................................................................ 52
4.5.2 Kabupaten Deli Serdang............................................................................. 55
4.6 Provinsi DKI Jakarta .............................................................................................. 56
4.7 Provinsi Jawa Barat............................................................................................... 59
4.7.1 Kota Bandung............................................................................................. 59
BAB 5. TEMUAN DATA ........................................................................................ 62
5.1 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Bali ............................ 62
5.2 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Jawa Timur ............... 64
5.3 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Sulawesi Selatan......... 67
5.4 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi DKI Jakarta ................ 69
5.5 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Sumatera Utara ........ 71
5.6 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Kalimantan Timur ..... 72
5.7 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Jawa Barat................. 73
BAB 6. ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN INSENTIF DAN DISINSENTIF TATA
RUANG DAN KENDALA KEBIJAKAN INSENTIF DAN DISIINSENTIF...... 76
6.1 Formulasi Kebijakan untuk Memahami Insentif dan Disinsentif ........................ 77
6.2 Analisis Kendala Kebijakan Insentif dan Disiinsentif ............................................ 80
6.3 Implikasi Kebijakan Insentif Disinsentif Tata Ruang di Daerah ............................ 82
BAB 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI........................................................ 86
7.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 86
7.2 Rekomendasi ........................................................................................................ 86
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 88
LAMPIRAN................................................................................................................ 92

PENELITIAN ix
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

x
Daftar Tabel
&
Daftar Gambar

PENELITIAN xi
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Temuan Indikasi Pelanggaran Pemanfaatan Ruang................................. 3


Tabel 2. Empat Tipe Pengambilan Keputusan....................................................... 12
Tabel 3. Skema Insentif dan Disinsentif................................................................. 54
Tabel 4. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Bali ................................................. 63
Tabel 5. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Jawa Timur .................................... 65
Tabel 6. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Sulawesi Selatan ............................ 67
Tabel 7. Responden Dinas Teknis Di Provinsi DKI Jakarta ..................................... 69
Tabel 8. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Sumatera Utara ............................. 71
Tabel 9. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Kalimantan Timur .......................... 72
Tabel 10. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Jawa Barat ..................................... 73
Tabel 11. Bentuk Kebijakan Insentif dan Disinsentif Tata Ruang............................. 76
Tabel 12. Arahan Peraturan Daerah Tata Ruang yang Belum Mengatur Insentif
Disinsentif di Wilayah Sampling............................................................... 81

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tiga Elemen Sistem Kebijakan............................................................... 9


Gambar 2. Dimensi Gaya Kebijakan......................................................................... 9
Gambar 3. Peta Kawasan Mangrove Pamurbaya.................................................... 36
Gambar 4. Peta Rencana Pola Ruang Kota Makassar.............................................. 46
Gambar 5. Peta Rencana Struktur Ruang Kota Makassar....................................... 49
Gambar 6. Bonus Zoning DKI Jakarta....................................................................... 59
Gambar 7. Dimensi Gaya Kebijakan......................................................................... 78
Gambar 8. Hasil Analisis Gaya Pengambilan Keputusan di Lokasi Sampling
Penelitian............................................................................................... 79

xii
PENELITIAN
Pendahuluan

1
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Ruang wilayah Negara yang meliputi ruang lautan, ruang udara, dan ruang daratan
merupakan sumber daya alam dan suatu subsistem. Dalam subsistem terdapat
sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya
alam, dan sumber daya buatan. Kegiatan pemanfaatan sumber daya tersebut memiliki
perbedaan tingkatan yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah
ketidakseimbangan penanganan serta ketidaklestarian lingkungan hidup. Pengaturan
ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya.
Ini berarti perlu adanya suatu kebijakan nasional penataan ruang yang memadukan
berbagai kebijakan penataan ruang.

Pelaksanaan pembangunan, khususnya pembangunan fisik tidak selalu berjalan


sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pelanggaran pemanfaatan
ruang ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor teknis operasional,
administratif/politis, dan perkembangan pasar. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa
untuk mewujudkan terciptanya pembangunan yang “tertib ruang”, diperlukan
tindakan pengendalian pemanfaatan ruang yang sungguh-sungguh. Kecenderungan
penyimpangan tersebut dapat terjadi karena produk rencana tata ruang kurang
memerhatikan aspek-aspek pelaksanaan (pemanfaatan ruang), atau sebaliknya
pemanfaatan ruang kurang memerhatikan rencana tata ruang yang telah disusun
dan ditetapkan.

Era otonomi daerah seperti saat ini, paradigma keberlanjutan kelihatannya


akan semakin sulit dicapai. Karena dalam pelaksanaanya setiap daerah ingin
memberdayakan sumber daya alamnya seringkali melampaui daya dukungnya.
Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaanya setiap daerah ingin memberdayakan
sumber daya alamnya seringkali melampaui daya dukungnya. Salah satu prinsip
pembangunan berkelanjutan adalah memperbaiki kualitas kehidupan manusia
dengan tetap mempertahankan daya dukung ekosistem-ekosistem pendukungnya.
Pertimbangan ekosistem selalu bersifat fungsional – global yang berarti lintas
batas administrasi daerah dan lintas batas negara. Dalam praktiknya heterogenitas
dan kemajemukan unsur-unsur pembentuk daerah di Indonesia seringkali justru
menimbulkan daerahisme dan kompetisi yang tidak perlu. Oleh karena itu pandangan
sempit kedaerahan yang didukung wewenang formil yang berlebihan (dengan UU)
justru akan kontra produktif bagi usaha menjaga keberlanjutan pembangunan. Ekses
negatif otonomi daerah yang terlalu kuat di bawah, akibat tekanan pembangunan1,
seringkali lebih menonjol daripada tujuan luhurnya untuk menyesuaikan dengan
kearifan tradisional yang biasanya lebih ramah lingkungan.

Hasil kajian Agus Sugiarto 2017 di Kabupaten Sidoarjo Pengendalian masih sulit
ditegakkan berkaitan dengan pengawasan bangunan, pada Dinas Pekerjaan Umum
1 Perselisihan antar daerah merupakan issue yang seringkali muncul terutama yang berkenaan dengan pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Sebagai contoh di Kabupaten “A” wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten “B” ditetapkan sebagai kawasan
lindung, tetapi di Kabupaten “B” ditetapkan sebagai kawasan budidaya. Padahal wilayah yang berbatasan tersebut berada dalam
ekosistem yang sama. Boleh jadi pemikiran berkelanjutan sebatas pada masa jabatan tiap Bupati/Walikota dan anggota DPRD, sehingga
jika diperlukan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menghambat program peningkatan PAD dan APBD harus ditinjau ulang/diubah,
atau cukup dilanggar begitu saja. Artinya pada kasus seperti ini pengendalian pemanfaatan ruang masih sangat lemah. Blue print berupa
RTRW seharusnya sepenuhnya menjadi rujukan penyelenggaraan pemanfaatan ruang di daerah.

2
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Cipta Karya dan Tata Ruang, sebagai contoh terdapat Bidang Pengawasan Bangunan
yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dinas di bidang pengawasan
bangunan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 35 Tahun 2011
tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan
Tata Ruang. Bidang pengawasan bangunan mempunyai 2 (dua) seksi salah satunya
adalah Seksi Pengawasan dan Penertiban Bangunan. Berdasarkan hasil laporan
pengawasan, dapat kami sampaikan data temuan indikasi pelanggaran pemanfaatan
ruang dan tindaklanjut pengenaan sanksi administrasinya sebagai berikut2:

Tabel 1. Temuan Indikasi Pelanggaran Pemanfaatan Ruang

Tindak Lanjut Pemberian Sanksi Administratif


Tahun Temuan
SP1 SP2 SP3 Penyegelan Pembongkaran
2012 257 27 21 17 8 -
2013 236 56 41 27 6 -
2014 350 74 49 16 2 -
2015 432 200 100 2 2 -
2016 362 76 25 14 - -

Berdasarkan data tersebut di atas, penerapan sanksi administrasi terhadap


pelanggaran pemanfaatan ruang masih sebatas pemberian surat peringatan sampai
dengan penyegelan. Sampai saat ini belum pernah dilakukan pengenaan sanksi
administratif berupa pembongkaran bangunan. Hal ini terjadi karena sebagaian besar
pelanggar sudah menyelesaikan perijinannya setelah mendapatkan surat peringatan
dari Pemerintah Kabupaten.

Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari


proses penataan ruang. Pemanfaatan ruang dalam pelaksanaannya tidak selalu
sejalan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Ketidaksesuaian atau
pelanggaran tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya tekanan
perkembangan pasar terhadap ruang3, belum jelasnya mekanisme pengendalian, dan
lemahnya penegakan hukum. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan
terciptanya pembangunan yang tertib ruang diperlukan tindakan pengendalian
pemanfaatan ruang. Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena
produk rencana tata ruang kurang memerhatikan aspek pelaksanaan atau sebaliknya
bahwa pemanfaatan ruang kurang memerhatikan rencana tata ruang. Pengendalian
pemanfaatan tata ruang dilakukan agar pemanfaatan tata ruang dapat berjalan
sesuai dengan rencana tata ruang.

2 Agus Sugiarto Implementasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dan Sanksi Administratif Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Sidoarjo JKMP (Jurnal Kebijakan Dan Manajemen Publik), 5 (1), Maret 2017, 41-60 Issn 2338-445x (Print), Issn 2527-9246 (Online)
3 Proses perijinan yang ditujukan sebagai alat pengendalian pemanfaatan ruang lebih dilihat dari sudut pandang sumber PAD. Jumlah
perijinan yang dikeluarkan mulai ditargetkan berdasarkan ’kuota’ untuk pemenuhan PAD. Sehingga ketidaksesuaian dengan RTRW bukan
merupakan persoalan. Oleh karena itu keberlanjutan sebagai prinsip dan good governance sebagai praktik merupakan dua aspek kembar
dari penataan ruang yang baik, boleh jadi cuma ada dalam konsep. Alih-alih menjadi acuan pembangunan berkelanjutan, sebaliknya justru
menjadi alat legitimasi malpraktik sektor publik dalam pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya.

3
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

1.2 Rumusan Masalah


Pengendalian pemanfaatan ruang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor
15 tahun 2010 dilakukan salah satunya melalui Arahan pemberian insentif dan
disinsentif Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah. Merujuk Undang-undang Nomor 26 tahun
2007 dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah. Penerapan insentif atau disinsentif secara terpisah dilakukan untuk perizinan
skala kecil/individual sesuai dengan peraturan zonasi, sedangkan penerapan insentif
dan disinsentif secara bersamaan diberikan untuk perizinan skala besar/kawasan
karena dalam skala besar/kawasan dimungkinkan adanya pemanfaatan ruang
yang dikendalikan dan didorong pengembangannya secara bersamaan. Kebijakan
insentif dan disinsentif merupakan salah satu pilihan alternatif sebagai jalan tengah
pengendalian dan pemanfaatan ruang, oleh sebab itu penelitian ini fokus untuk
melihat:
1. Bagaimana Formulasi kebijakan insentif dan disinsentif di daerah
2. Apa yang menjadi kendala daerah dalam pelaksanakan kebijakan insentif dan
disinsentif

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini ingin mengidenfifikasi prioritas bentuk insentif dan dis-insentif
di lokasi penelitian. Sesuai pasal 38 undang-undang penataan ruang dan Peraturan
Pemerintah No 15 tahun 2010 pasal 174 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Pemerintah daerah memungkinkan memberikan insentif sesuai dengan karakteristik
wilayah dan lingkungan sekitarnya.
1. Memberikan gambaran kesulitan daerah dalam perumusan/formulasi kebijakan
insentif dan disinsentif .
2. Memberikan Treatment terbaik berdasarkan kondisi lapangan.

Apabila kebijakan insentif dan disinsentif hasil di lapangan belum terlaksana apa
yang menjadi kendala. Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati
hak masyarakat. Sehingga dapat memberikan masukan dalam penyusunan peraturan
di kemudian hari.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagaimana berikut:
1. Memberikan deskripsi pola formulasi kebijakan di daerah.
2. Menjadi bahan masukan bagi Kementerian ATR/BPN dalam menentukan
Formulasi kebijakan pemberian insentif kepada pengguna ruang di provinsi dan
kabupaten/kota.
3. Memperkaya literatur akademis sehingga dapat dijadikan pijakan bagi penelitian
selanjutnya yang membahas lebih mendalam tentang kebijakan pengendalian
pemanfaatan ruang.

4
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

1.5 Ruang lingkup Penelitian


Batasan substansi pada penelitian ini melingkupi pada identifikasi peran dan fungsi
stakeholder terhadap pengendalian ruang, dengan tolak ukur aspek formulasi
produk pengendalian ruang. Bentuk pengendalian ruang yang dikaji yaitu insentif
dan disinsentif. Aspek formulasi tersebut akan menentukan prioritas bentuk insentif
dan disinsentif sesuai harapan baik masyarakat maupun stakeholder. Penelitian ini
tidak membahas tentang besaran insentif disinsentif secara detail spesifik.

1.6 Ruang Lingkup Wilayah

1.6.1 Ruang lingkup makro


Ruang lingkup makro dalam penelitian adalah Kabupaten / Kota yang dipilih
berdasarkan pertimbangan Aturan hukum dan mekanisme yang ada, Rencana
kajian indis, aturan versi pemerintah daerah dipadukan dengan Data perubahan
penggunaan dan pemanfaatan tanah/ruang, Data perizinan di PTSP, Data Sosial dan
Ekonomi.

1.6.2 Ruang lingkup mikro


Ruang lingkup mikro dalam penelitian adalah level kecamatan atau desa yang dari
data makro di temukan indikasi pelanggaran ruang kemudian di identifikasi lewat
dinas yang terkait yang kemudian di analisis dengan metode yang sudah ditetapkan.

5
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

6
2
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Kajian Teori

7
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

BAB 2. KAJIAN TEORI

2.1 Kebijakan Publik


Wacana teori ada banyak pengertian dan definisi tentang kebijakan publik,
sebagaimana pernah dinyatakan oleh para ahli dari sudut pandang masing-masing.
Untuk memperkaya pengetahuan kita dalam mengartikan dan mendefinisikan
kebijakan publik, berikut ini dikemukakan beberapa definisi menurut para ahli.
Berkenaan dengan itu maka kebijakan publik perlu adanya penafsiran dan
penyelarasan definisi, konsep, dan makna yang bersumber dari kajian menurut para
ahli kebijakan publik. Memahami beberapa definisi dari pakar kebijakan publik,
kita dapat melihat bahwa kebijakan publik itu merupakan sebuah konsep yang
masih memiliki dimensi pemahaman yang sangat luas sehingga jika ingin sebuah
pemahaman yang lengkap maka kita harus memahami karakteristik sebuah policy
itu sendiri. Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini upaya penulis memaparkan
secara singkat tentang segala yang berkaitan dengan kebijakan publik.

2.2 Definisi Kebijakan Publik


Problem sosial adalah fakta, bisa diukur dan ditangani secara ilmiah dimana
dengan menganalisa sebab berarti memecahkan masalah. Pandangan fungsionalis
memandang problem pada dasarnya adalah disfungsi pelaksanaan fungsi masyarakat
sebagai sebuah sistem. Problem dalam pengertian ini dapat dianalisis dari segi asal-
usulnya dalam kondisi sosial tertentu, setelah mengidentifikasi kondisi-kondisi yang
menimbulkan disfungsi para pembuat kebijakan dapat menangani problem yang
tampak maupun yang laten4.

Untuk dapat menciptakan suatu keadaan masyarakat yang sejahtera, salah satu
cara yang harus diambil oleh pemerintah adalah dengan membuat suatu kebijakan
publik. Setiap kebijakan negara harus selalu berorientasi pada kepentingan publik
(public interes)5. Ilmu kebijakan menggunakan dua pendekatan utama yang menurut
Lasswell dapat didefinisikan dalam terminologi pengetahuan sebagai proses politik
dan pengetahuan proses politik. Pertama; analisis kebijakan berkaitan dengan
pengetahuan dalam, dan untuk proses politik, kedua; analisis proses kebijakan
berkaitan dengan pengetahuan tentang formasi dan implementasi kebijakan publik6.

Pada penelitian bentuk kebijakan insentif dan dis-insentif yang merujuk pada
pendapat W.I. Jenkin yaitu serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil
oleh seseorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan
tujuan yang telah dipilih serta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi,
dimana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas
kewenangan, kekuasaan dari pada aktor tersebut. Terdapat tiga elemen dalam
sistem kebijakan yang saling berinteraksi. Sebuah sistem kebijakan (policy system)
atau seluruh pola dimana kebijakan dibuat mencakup hubungan timbal balik antara
tiga unsur yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan.7

4 Parsons Wayne, Public Policy, (Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan) 2006, Prenada Media. Jakarta. Hal 97
5 Irfan Islamy, 1994, Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hal 10
6 Parsons Wayne, ibid. Hal 21
7 William N. Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, edisi II Gajah Mada University Press, Yokyakarta, 1998, hal 109.

8
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Gambar 1. Tiga Elemen Sistem Kebijakan

Pelaku
Kebijakan

Pelaku Pelaku
Kebijakan Kebijakan

Interaksi ketiga elemen tersebut akan menentukan tujuan kebijakan itu sendiri.
Uraian dari ketiga unsur itu adalah pertama pelaku kebijakan yaitu pihak-pihak baik
individu atau kelompok baik pemerintah maupun nonpemerintah yang terlibat
dalam pembuatan kebijakan. Mereka dapat memengaruhi sekaligus dipengaruhi
oleh kebijakan tersebut. Kedua lingkungan kebijakan yaitu merupakan bidang-
bidang kehidupan masyarakat yang dapat atau perlu dipengaruhi oleh pelaku
kebijakan. Ketiga kebijakan publik itu sendiri yaitu serangkaian pilihan tindakan
pemerintah untuk menjawab tantangan atau memecahkan kebutuhan penataan
ruang yang efektif. Penjelasan tersebut akan memberikan gambaran bahwa suatu
kebijakan merupakan usaha-usaha dari pemerintah sebagai penentu akhir dari
kebijakan untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut ditentukan
oleh banyak faktor yang dapat digolongkan dalam ketiga unsur di atas. Ketiganya
kemudian memengaruhi arah kebijakan publik dalam usaha mencapai tujuan. Tujuan
yang ingin dicapai pemerintah adalah menciptakan pengelolaan tata ruang yang
sustainable. Seringkali pembuat kebijakan terkesan lebih mengedepankan nilai-
nilai politik dibandingkan nilai ekonomi dimana kepentingan politik menjadi dasar
untuk mengambil keputusan tata ruang sehingga terkesan populis, mercusuar tetapi
tidak memiliki kesiapan secara konsep dan teknis. Untuk memudahkan pemahaman
terhadap kebijakan insentif dan disinsentif sebagaimana menurut pakar ini
Richardson menjelaskan dimensi gaya kebijakan sebagai berikut8

Gambar 2. Dimensi Gaya Kebijakan

Pembuat Kebijakan
Berusaha Konsensus

1 2
Antisipasi Problem Problem Solving
4 3

Pembuat Kebijakan Menerapkan


Coercion Policy

Kuadran 1 menjelaskan pemerintah lebih berdiskusi dengan tim ahli atau komunitasnya
untuk mengambil sebuah keputusan; kuadran 2 asosiasi politik inkrementalis
dengan pola pluralistik; kuadran 3 reaksi terhadap problem dan memandang media
pemaksaan sebagai sebuah media yang pas; kuadran 4 kombinasi antara strategic
plan dikombinasikan dengan coercion approach hal ini didasari oleh kewenangan
yang dimiliki oleh pemerintah secara legal. Penjelasan tersebut sekiranya dapat
8 Richardson. JJ. Policy Style in Western Europe, Allen & Unwin. London 1982. hal 13

9
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

dijadikan refleksi yang dilakukan oleh pengambil kebijakan dengan pertimbangan


tertentu dengan mempertimbangkan ruang dan waktu.

2.3 Model Analisis Kebijakan


Analisis kebijakan muncul akibat banyaknya kebijakan yang diambil tetapi tidak
menyelesaikan masalah justru menambah permasalahan baru. Seringkali antara
harapan dan realita di lapangan bertolak belakang. Oleh karena itu, diperlukan
analisis sebuah polisi yang komprehenif sehingga ditemukan sebuah metode yang
relevan sebagai problem solving sebuah permasalahan. Kepastian bahwa kebijakan
yang diambil dilandaskan atas manfaat yang optimal akan diterima oleh publik,
bukan semata secara politis menguntungkan atau karena desakan elit politik
tertentu. Dalam pembuatan keputusan kebijakan publik atau yang disebut sebagai
decision making process dikenal dengan adanya dua teori yaitu teori inkremental dan
teori rasional komprehensif9 .

Pada model rasional komprehensif dikemukakan bahwa proses perumusan


kebijakaan publik akan membuahkan hasil atau dampak yang baik apabila didasarkan
atas proses pemikiran yang rasional, didukung oleh data atau informasi yang cukup
lengkap dimana teori ini mempunyai karakter sebagai berikut:
1. Penentuan nilai-nilai dan tujuan berbeda dan biasanya merupakan prasyarat
untuk melakukan analisis empiris terhadap alternatif-alternatif kebijakan
2. Perumusan kebijakan oleh karenanya dapat didekati melalui analisis cara dan
tujuan. Terlebih dahulu ditentukan kemudian dicari cara-cara untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut
3. Penentuan suatu kebijakan dianggap baik bila didasarkan atas pemilihan cara-
cara yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan
4. Analisis dilakukan secara paripurna (komprehensif) dimana setiap faktor yang
relevan dan penting harus dipertimbangkan secara seksama
5. Sangat melandaskan diri kepada teori

Sebuah model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik secara rasional terdiri
dari ‘seorang individu rasional’ yang menempuh aktifitas-aktifitas berikut ini secara
berurutan:
1. Menentukan sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah
2. Seluruh alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar
3. Segala konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan
kemungkinan munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan.
4. Terakhir, strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa
memecahkan masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi
tersebut.10

Model rasional adalah ‘rasional’ dalam pengertian bahwa model tersebut memberikan
preskripsi berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan
pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori
9 William N. Dunn,Analisa Kebijakan Publik Yogyakarta :Gajah Mada University Press. Hal 1995, hal 417-419
10 Diadaptasi Dari Michael Carley, Rational Techniques In Policy Analysis. London Heinemann, 1980: 11.

10
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

rasionalis berakar dalam aliran-aliran pemikiran positifisme dan rasionalisme jaman


pencerahan yang berusaha untuk mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk
meningkatkan kondisi hidup manusia.11 Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa
berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’ dan
‘rasional’, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai alternatif
solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik.12

Teori inkremental (terputus-putus) teori ini boleh kita sebut sebagai teori tambal
sulam, karena dapat dijelaskan sebagaimana ketika suatu kebijakan ternyata tidak
sesuai atau dalam pelaksanaan nya mengalami kekurangan-kekurangan atau
hambatan maka kebijakan tersebut tidak harus diubah secara keseluruhan melainkan
adanya sebuah perbaikan/penambalan pada posisi tertentu saja. Menurut teori
inkremental para pembuat keputusan individu/kolektif:
1. Mempertimbangkan hanya tujuan yang secara inkremental berbeda (yaitu sedikit
berbeda) dengan keadaan yang ada / status quo
2. Membatasi jumlah frekuensi yang diramal dari setiap alternatif
3. Membatasi penyesuaian secara timbal balik dalam hal tujuan dan sasaran di satu
pihak dan alternatif pada pihak lain
4. Secara terus-menerus memformulasikan kembali masalah, dan alternatif sesuai
dengan informasi baru
5. Menganalisis dan mengevaluasi alternatif-alternatif dan langkah-langkah yang
berurutan sedemikian rupa, sehingga pilihan-pilihan diubah terus-menerus
sepanjang waktu, daripada dibuat pada satu titik sebelum diambil suatu
keputusan
6. Tanggung jawab untuk analisis dan evaluasi dengan banyak kelompok dalam
masyarakat, sehingga proses pembuatan pilihan-pilihan kebijakan terbagi-bagi
atau terputus-putus.

Teori inkremental, pembuatan keputusan pemerintah tidak me-review kebijakan


yang lalu atau yang ada secara keluruhan, tetapi mereka hanya melihat sebagian
untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan yang ada secara bertahap. Hal ini
dilakukan Pertama, mereka tidak memiliki waktu dan sumber dana untuk mendapat
berbagai alternatif dari kebijakan yang ada. Kedua, konsekuensi yang tidak pasti dari
membuat kebijakan yang benar-benar baru. Ketiga, perlunya biaya yang sangat besar
dengan adanya perubahan kebijakan secara menyeluruh. Keempat, secara politik hal
tersebut merupakan hal yang penting tepat, karena mengandung resiko yang sangat
kecil.13

Lindbolm dan para koleganya berkeyakinan bahwa kemungkinan pengambilan


keputusan secara inkremental sangat mungkin ada-bersama dengan upaya-upaya
untuk mencapai keputusan secara lebih rasional. Dengan demikian, Braybrooke dan
Lindbolm berpendapat bahwa empat tipe pengambilan kuputusan bisa digunakan
bergantung pada pengetahuan yang dimiliki oleh para pengambil keputusan, dan
11 Bruce Jennings, ‘Interpretation And The Practice Of Policy Analysis’ dalam Frank Fischer & John Forester (Eds.), Confronting Values In
Policy Analysis: The Politics Of Criteria. Newbury Park: Sage, 1987: 128-52; Douglas Torgerson, ‘Between Knowledge And Politics: Three
Faces Of Policy Analysis’, Policy Sciences 19, 1, 1986: 33-59.
12 Carol H. Weiss, ‘Research For Policy’s Sake: The Enlightenment Od Social Science Research’, Policy Analysis 3, 4, 1977: 531-45.
13 Islamy,op.cit, hal 38

11
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

seberapa besar perbedaan alternatif kebijakan dengan kebijakan yang sudah ada.14
Ini memunculkan matrik yang ditunjukkan sebagai berikut:

Tabel 2. Empat Tipe Pengambilan Keputusan


Tingkat pengetahuan yang ada
Tinggi Rendah
Perbedaan yang ada antara Tinggi Revolusioner Analitis
kebijakan alternatif dan yang Inkremental, terpisah-pisah
terdahulu Rendah Rasional
(disjointed incremental)

2.4 Implementasi Kebijakan


Mazmanian dan Sabatier menyatakan: “implementation is the carrying out of a
basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the
from of important executive orders or court decisions”.15 Dari pengertian tersebut,
implementasi dibatasi pada pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, umumnya
berbentuk undang-undang, tetapi dapat juga merupakan eksekutif ataupun
keputusan peradilan. Idealnya keputusan itu mengidentifikasikan masalah yang
ingin diselesaikan, menetapkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai
dan dalam berbagai cara untuk mengatur proses pelaksanaannya. Umumnya,
proses implementasi berjalan melalui sejumlah tahap, dimulai dengan disahkannya
undang-undang, diikuti oleh output kebijakan (keputusan-keputusan) dalam bentuk
pelaksanaannya keputusan oleh agen-agen yang mengimplementasikannya. Lebih
lanjut, proses implementasi kebijakan sesungguhnya tidak hanya menyangkut
perilaku badan-badan administrasi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan
program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran. Melainkan pula
menyangkut masalah ekonomi sosial yang langsung maupun tidak langsung dapat
memengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirya berpengaruh
dan berdampak, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Secara singkat
untuk memudahkan mengetahui implementasi kebijakan insentif dan dis-insentif
George C.Edward III mengemukakan dua pertanyaan pokok yaitu:
1. Hal-hal apa saja yang merupakan pra syarat bagi suatu implementasi yang
berhasil.
2. Apa yang merupakan penghambat utama terhadap berhasilnya implementasi
dalam sebuah kebijakan

Berkenaan dua pernyataan di atas menurut G Edward III ada beberapa hal yang dapat
mencerminkan keberhasilan implementasi kebijakan diantaranya yaitu Komunikasi,
hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, transmisi kejelasan dan
konsistensi informasi yang disampaikan. Disposisi, mengenai sikap dan komitmen dari
para pelaksana terhadap program khususnya dari mereka yang menjadi implementer
dari suatu kebijakan dan program, terutama adalah aparatur birokrasi. Sumber Daya,
Meliputi: 1) Staf yang cukup (jumlah dan mutunya) 2) Informasi yang dibutuhkan
guna pengambilan keputusan. 3) Kewenangan atau authority yang cukup dalam
melaksanakan tanggung jawab. 4) Fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.
14 David Braybrooke & Charles Lindblom. A Strategy Of Decision: Policy Evaluation As A Social Process. New York: Free Press Of Glencoe,
1963.lihat pula dalam Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik: Menembus Batas Rasionalisme, Inkrementalisme dan Irasionalisme
Diterjemahkan oleh: Joash Tapiheru. Hal 4-8
15 Daniel A. Mazmanian dan Paul A.Sabatier, Implementation and Public Policy (IIIinois: Scott Foresman and Company, 1983, h.45.

12
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Struktur Birokrasi, Terdapatnya suatu SOP (Standart Operating Procedure) yang


mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksana program.16

2.5 Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Dasar-dasar pengendalian pemanfaatan ruang memiliki tujuan menjamin
tercapainya tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang mencakup berbagai
perangkat untuk memastikan rencana tata ruang dan pelaksanaannya berlangsung
sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan. Prasyarat pengendalian berjalan
efektif dan efisien; 1) produk rencana yang baik, berkualitas; 2) informasi yang
akurat terhadap praktek-praktek pemanfaatan ruang yang berlangsung (informasi,
perijinan, partisipasi). Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 bahwa
pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang
agar pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah sesuai dengan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan Secara Umum Rencana Tata Ruang, diselenggarakan
melalui 4 tahapan:

2.5.1 Arahan Peraturan Zonasi


Kebijaksanaan dan kegiatan penatagunaan tanah dan bangunan mutlak diperlukan
untuk menjalankan program pemanfaatan ruang. Perwujudan penatagunaan
tanah memerlukan instrumen khusus yang disebut peraturan zoning dan semacam
pedoman penerapan peraturan tersebut dalam pelayanan umum harian. Peraturan
zoning ini tidak hanya mengatur objek tanah, tetapi juga objek-objek bangunan dan
objek kegiatan. Selain itu, peraturan zoning tidak hanya mengatur ijin, tetapi juga
mengatur masalah-masalah pelayanan nonperijinan. Arahan peraturan zonasi disusun
sebagai dasar pelaksanaan pemanfaatan ruang, menyeragamkan arahan peruntukan
ruang yang sama, dan sebagai arahan peruntukan fungsi ruang yang diperbolehkan,
diperbolehkan dengan syarat, dan dilarang, serta intensitas pemanfaatan ruang.

Undang-undang No.26 tahun 2007 Pasal 36 (Ayat 1) menyebutkan Peraturan


zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur
pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana
rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh
dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang
amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai
bangunan, dan garis sempadan bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta
ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan. Ketentuan lain yang dibutuhkan, antara lain, ketentuan
pemanfaatan ruang yang terkait dengan keselamatan penerbangan, pembangunan
pemancar alat komunikasi, dan pembangunan jaringan listrik tegangan tinggi.

2.5.2 Perizinan
Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 UU No.26 tahun
2007 adalah perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan
16 George C.Edward III, Implementing Public Policy, Congressional Quarterly Inc.1980. Washington D.C .hal 17-25

13
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

pemanfaatan ruang. Izin dimaksud adalah izin lokasi/fungsi ruang, amplop


ruang, dan kualitas ruang, ketentuan ini diatur oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Kegiatan penunjang terhadap penertiban pemanfaatan ruang adalah dengan


menetapkan prosedur perijinan bagi setiap kegiatan melalui mekanisme perijinan
kegiatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara dini. Pada mekanisme
perijinan segala bentuk rekomendasi atau penetapan tentang lokasi akan diteliti
dan diperiksa sesuai dengan perijinan, pengendalian terhadap pemanfaatan ruang
wilayah dengan mekanisme/tata cara perijinan

2.5.3 Pemberian Insentif dan Disinsentif


Pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah dalam Undang-undang No.26 tahun 2007 dapat diberikan insentif
dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Penerapan insentif
atau disinsentif secara terpisah dilakukan untuk perizinan skala kecil/individual
sesuai dengan peraturan zonasi, sedangkan penerapan insentif dan disinsentif
secara bersamaan diberikan untuk perizinan skala besar/kawasan karena dalam
skala besar/kawasan dimungkinkan adanya pemanfaatan ruang yang dikendalikan
dan didorong pengembangannya secara bersamaan. Insentif dapat diberikan
antarpemerintah daerah yang saling berhubungan berupa subsidi silang dari daerah
yang penyelenggaraan penataan ruangnya memberikan dampak kepada daerah yang
dirugikan, atau antara pemerintah dan swasta dalam hal pemerintah memberikan
preferensi kepada swasta sebagai imbalan dalam mendukung perwujudan rencana
tata ruang. Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak
masyarakat. Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh:
1. Pemerintah kepada pemerintah daerah;
2. Pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan
3. Pemerintah kepada masyarakat.

Adapun pengertian insentif dan disinsentif yang tertuang dalam undang-undang


penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Undang-undang No.26
Tahun 2007, insentif merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan
terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa:
1. Keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang,
dan urun saham;
2. Pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
3. Kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
4. Pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah
daerah.

14
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau


mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, berupa:
1. Pengenaan pajak yang tinggi disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan
untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang. Disinsentif
berupa pengenaan pajak yang tinggi dapat dikenakan untuk pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai rencana tata ruang melalui penetapan nilai jual objek pajak
(NJOP) dan nilai jual kena pajak (NJKP) sehingga pemanfaat ruang membayar
pajak lebih tinggi.
2. Pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.

2.5.4 Konsep Insentif dan Disinsentif Pemanfaatan Ruang


Konsep pemanfaatan ruang merupakan perangkat yang digunakan untuk
mewujudkan perencanaan kota sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata Ruang.
Insentif pemanfaatan ruang mengandung unsur pengaturan dan pengendalian
(development control) yang bersifat akomodatif terhadap berbagai perubahan aktual
yang terjadi di perkotaan (Blackmon. 1994). Insentif dan disinsentif pemanfaatan
ruang oleh Pemerintah kepada masyarakat dapat diberikan pada bidang fiskal
ataupun non-fiskal. Pada bidang fiskal, insentif pemanfaatan ruang dapat berupa
pemberian keringanan pajak dan pengurangan retribusi, sedangkan pada disinsentif
dengan upaya pengenaan pajak tinggi. Pada bidang non-fiskal, insentif pemanfataan
ruang dapat berupa kemudahan perizinan, penyediaan sarana dan prasarana yang
memadai, pemberian kompensasi, sewa ruang, pemberian imbalan, serta urun saham
(Oetomo, Andhy. 2007). Insentif dan disinsentif diberikan guna mengakomodasi
perubahan-perubahan aktual yang terjadi selaras dengan dinamika perkotaan.
Walaupun terdapat insentif dan disinsentif, namun harus tetap memerhatikan bahwa
pergeseran tatanan ruang yang terjadi seharusnya tidak menyebabkan dampak yang
merugikan bagi pembangunan kota. Dalam pelaksanaannya, mekanisme insentif
dan disinsentif tidak boleh mengurangi hak penduduk sebagai warga negara yang
meliputi pengaturan atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh, dan
mempertahankan ruang hidupnya. Pemberian insentif dan disinsentif juga harus
tetap memerhatikan partisipasi masyarakat di dalam proses pemanfaatan ruang
untuk pembangunan oleh masyarakat (Oetomo, Andhy. 2007).

Terdapat beberapa peraturan perundangan yang mengatur tentang insentif dalam


penyelenggaraan penataan ruang yaitu Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Pemanfaatn Ruang. Terdapat beberapa hal mendasar yang
dimuat dalam peraturan tersebut yaitu perubahan paradigma stakeholder menjadi
shareholder serta perubahan rezim discretionary system menjadi regulatory system.
Perubahan paradigma stakeholder menjadi shareholder ditandai dengan semakin
menonjolnya peran serta masyarakat. Masyarakat yang sebelumnya diposisikan
sebagai stakeholder yang hanya diikutsertakan tanpa berperan aktif berubah perannya
menjadi pihak yang berpartisipasi aktif dalam penataan ruang. Perubahan paradigma
ini pada gilirannya mendukung peningkatan masyarakat dalam memengaruhi ruang
kota.

15
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Perubahan paradigma discretionary system menjadi regulatory system menandakan


bahwa pengambilan keputusan yang sebelumnya didasarkan atas suatu kebijakan
(discretionary), maka sekarang harus mengacu pada aturan yang berlaku. Dalam
konteks penataan ruang, maka masyarakat yang akan memanfaatkan ruang harus
mengacu pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan secara legal. Terkait
dengan aspek legal pemberian insentif dan disinsentif yang mengacu pada aturan
di bidang ketataruangan yang berlaku yaitu Undang-undnag Nomor 26 Tahun
2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010, Pemerintah dimungkinkan
untuk memberikan insentif dan disinsentif pemanfaatan ruang sebagai bentuk
pengendalian pemanfaatan ruang.

Apabila mengacu pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan


Ruang, disebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang dan dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi (pasal 1 angka
15 dan pasal 35). Mekanisme insentif diberlakukan untuk mendorong perkembangan
kawasan yang didorong pengembangannya serta dimaksudkan sebagai sebagai upaya
rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah
daerah (pasal 38 ayat 1). Menurut peraturan dimaksud, bentuk insentif dapat berupa
keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan
urun saham; pembangunan.

16
3
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Metode Penelitian

17
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

BAB 3. METODE PENELITIAN


Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif di mana ketelitian, kejelian, keseriusan
dan kepiawaian peneliti untuk berimprovisasi dalam arti mengembangkan fokus
penelitian, sangat diperlukan. Hal ini dilatarbelakangi oleh penelitian kualitatif yang
didefinisikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, kemudian diarahkan
pada suatu latar dan individu secara holistik.17

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan metode pemilihan


sampling Deskriptif kualitatif yang berupa memberikan deskripsi tentang kebijakan
insentif dan disinsentif dalam konteks penyelenggaraan tata ruang di daerah.
Pemilihan sampling lokasi kabupaten/kota yang memiliki karakteristik dan persoalan
tata ruang di kota maupun di kabupaten dengan pertimbangan, Memiliki arahan
program prioritas yang membutuhkan mekanisme pendorong dan/atau pembatasan
pemanfaatan ruang, Ada dan/atau tidaknya kebijakan insentif dan disinsentif yang
telah terlaksana, Adanya perubahan penggunaan atau pemanfaatan tanah yang
semakin kompleks.

Rancangan penelitian bersifat luwes yang artinya terbuka untuk disesuaikan dengan
data lapangan.18 Adapun penelitiannya melibatkan banyak variabel, bermacam
sumber pembuktian yang berguna untuk membangun proposisi teoritis yang
ditopang dengan pengumpulan data kemudian dianalisis. Semua hal tersebut
dikerjakan dalam rangka mencapai satu hasil.19 Dalam penelitian ini, unit analisisnya
adalah kebijakan insentif dan disinsentif terdiri dari aktor, institusi, proses, peristiwa
dan wacana yang berlangsung di dalam bingkai proses penataan ruang.

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang lengkap untuk kasus
dimaksud secara deskriptif, yaitu untuk mencapai penggambaran secara rinci dan
sistematis terhadap fenomena yang diteliti beserta penjajagan terhadap fenomena
kebijakan. Studi ini berusaha untuk menyoroti suatu keputusan atau seperangkat
keputusan: mengapa keputusan itu diambil, bagaimana diterapkan dan apakah
hasilnya.20 Pendekatan studi kasus lebih memudahkan peneliti terutama pada
penelitian yang melibatkan unsur masyarakat lokal tertentu. Pendekatan yang
dimksud merupakan suatu pendekatan yang mempelajari, menerangkan, atau
menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa
adanya intervensi dari pihak luar.21

3.1 Pendekatan Penelitian


Dari pemilihan metode, penulis memilih pendekatan institusionalisme untuk
mendekati permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Pendekatan ini sudah
terkenal dalam studi ilmu administrasi. Pendekatan institusionalisme, sebagaimana
ditulis Gerry Stokker, memfokuskan pada aturan, norma, dan nilai, yang mengatur
proses kebijakan, yang mengarah pada pengaturan institusi dalam mainstream
17 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, 1996, hal. 3.
18 Yvonna S Lincoln,. dan Egon G. Guba, Naturalistic Inquiry, Newbury Park California, Sage Publication Ltd, 1985, hal 41
19 Ibid. hal. 54
20 Schramm dalam Yin, 1981, sebagaimana dikutip Agus Salim, ibid., halm. 93.
21 Agus Salim, ibid., halm. 91-93.

18
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

ilmu administrasi pengelolaan, pengaturan, sampai pada pemberian output yang


menghasilkan sesuatu.22

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan realisme sebab kelemahan studi


institusionalisme tidak mampu menjawab keadaan bias atau gap yang muncul akibat
penerapan sebuah norma, nilai, dan aturan yang ada sebagai akibat dari dinamika
desentralisasi tata ruang yang muncul akibat Undang-Undang no. 23 tahun 2014
tentang pemerintah daerah. Penelitian ini mencakup berbagai realitas baik empirik,
simbolik maupun normatif, dimana individu di institusi dihadapkan secara terus-
menerus pada realitas sosial/fakta sosial yang penuh paradoks, kontradiksi, dan
dilema sehingga penelitian ini ingin learning from institutions, not learning about the
people. Berkenaan dengan itu peneliti perlu memberikan arti (menafsirkan) segala
fenomena yang teramati. Dimensi tersebut adalah:
1. Perencanaan Tata Ruang
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang
dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
Pada Undang-Undang Penataan Ruang, perencanaan rencana tata ruang wilayah
nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi.23
2. Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya. Ketentuan umum tentang pemanfaatan ruang
ditegaskan dalam Pasal 32 Undang-Undang Penataan Ruang
3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Adanya Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah jika adanya ketidaksesuaian
pemanfaatan ruang.24 Pengendalian pemanfaatan ruang adalah sebagai usaha
untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang
ditetapkan rencana tata ruang. Pada Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa pengendalian
pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
4. Peraturan Zonasi
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan
unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai
dengan rencana rinci tata ruang.25 Peraturan Zonasi (Zoning Regulation) adalah
ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi zona, pengaturan lebih lanjut
mengenai pemanfaatan lahan, dan prosedur pelaksanaan pembangunan. Suatu
zona mempunyai aturan yang seragam (guna lahan, intensitas, massa bangunan),
namun satu zona dengan zona lainnya bisa berbeda ukuran dan aturan. Adapun
yang menjadi kelebihan dari peraturan zonasi adalah adanya certainty (kepastian),
predictability, legitimacy, accountability. Sedangkan kelemahan peraturan zonasi
adalah karena tidak ada yang dapat meramalkan keadaan di masa depan secara
22 David Marsh and Gerry Stokker, 2002Theory and Methods in Political Science. Palgrave Macmillan, New York hal. 6.
23 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Pasal 15.
24 Muhammad Akib, Charles Jackson dkk. Op.,Cit. hlm. 45
25 Hasni. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2010. hlm .194.

19
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

rinci, sehingga banyak permintaan rezoning (karena itu, amandemen peraturan


zonasi menjadi penting).
5. Ketentuan Perizinan
Ketentuan perizinan diatur oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut
kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.26 Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut
kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.27 Kemudian yang dimaksud dengan perizinan adalah perizinan yang
terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Izin dimaksud adalah izin lokasi/fungsi ruang, amplop ruang, dan kualitas ruang.28
6. Insentif dan Disinsentif
Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan imbalan
terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik
yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Insentif
merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap
pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, yang berupa29:
1) Keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa
ruang, dan urun saham. 2) Pembangunan serta pengadaan infrastruktur. 3)
Kemudahan prosedur perizinan. 4) Pemberian penghargaan kepada masyarakat,
swasta dan/atau pemerintah daerah. Ketentuan insentif berlaku untuk kawasan
yang didorong pertumbuhannya, seperti: 1) Kawasan perkotaan. 2) Kawasan
Pertanian. 3) Kawasan Perkebunan. 4) Kawasan Pesisir. 5) Kawasan Wisata. 6)
Kawasan Pusat Pengembangan Industri Olahan Hasil Perkebunan. 7) Kawasan
Stategis. Perangkat disinsentif adalah instrumen pengaturan yang bertujuan
membatasi atau mengendalikan kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang, seperti: 1) Pengenaan pajak progresif 2) Pembatasan
penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.

3.2 Sumber Data

1. Sumber data primer, terdiri atas hasil wawancara dari para key informants dan
informan penelitian lainnya, berbagai aturan tentang mekanisme dokumen-
dokumen asli tentang Rencana Tata Ruang, Dokumen Perizinan Untuk keperluan
ini, penulis mewawancarai beberapa tokoh kunci yang terdapat dalam dan
memiliki pengaruh signifikan pada kebijakan tata ruang yakni kepala Bidang
PU PR, Bappeda, Dinas Perizinan yang memiliki peran dominan dalam proses
perencanaan ruang, kepala bidang di Dinas Pendapatan dan kelompok masyarakat.
2. Sumber data sekunder, terdiri atas berbagai literatur yang berkaitan dengan
tata ruang, kebijakan publik dan implementasinya, manajemen, serta berbagai
keputusan instansi terkait selama mengawal kebijakan tata ruang, insentif
disinsentif seta aturan teknis yang terkait serta berita-berita di koran, internet
dan majalah.
26 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Pasal 37 ayat (1).
27 Ibid. Pasal 37 ayat (2).
28 Hasni. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Op.,Cit. hlm. 196.
29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Op.,Cit, Pasal 38 Ayat (2).

20
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

3.3 Teknik Pengumpulan data

3.3.1 Observasi
Adalah kegiatan pengamatan melalui pemusatan perhatian terhadap suatu objek
dengan menggunakan seluruh alat indra, yaitu penglihatan, pendengaran, peraba
dan pengecap.30 Observasi juga berarti pengamatan dan pencatatan secara sistematis
terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.31 Dengan observasi inilah peneliti
melakukan pengamatan, pendengaran serta pengkajian terhadap berbagai fenomena
yang berkaitan dengan kebijakan insentif dan disinsentif, terutama pada masa-masa
awal – proses – sampai dampak yang diakibatkan oleh kebijakan ini, sampai saat ini.

Observasi peneliti bersifat partisipatif (participant observation) yang didefinisikan


sebagai proses dimana investigator berdiri pada banyak sisi dan menjaga jarak
hubungan dengan asosiasi manusia dan latar belakang alamiahnya. Tujuannya untuk
membangun pemahaman keilmuan tentang asosiasi tersebut.32 Penelitian lapangan
ini menggunakan tipe participant as observer ketika melakukan serangkaian
wawancara dengan elit dan complete observer ketika memahami pemikiran dan
perilaku para pelaksana. Dalam hal ini peneliti berinteraksi langsung dengan pembuat
kebijakan di level daerah.

3.3.2 Wawancara
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan model wawancara
semi terbuka. Maksud dari wawancara semi terbuka yaitu yang diwawancarai tahu
bahwa ia sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud dari wawancara
tersebut. Wawancara semi terbuka ini menggunakan metode structured interview,
yakni wawancara yang terdiri dari beberapa item pertanyaan. Bila memungkinkan
penggalian lebih luas dan fleksibel sesuai dengan jawaban yang diberikan. Kalaupun
peneliti menggunakan daftar pertanyaan, itu hanyalah sebagai pedoman wawancara
agar wawancara menjadi terarah.33

3.3.3 Dokumentasi
Teknik ini diperoleh melalui telaah sistematis terhadap catatan-catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah dan sebagainya.34 Teknik ini penulis gunakan untuk
menelaah berbagai dokumen baik berupa Undang Undang, Peraturan Pemerintah,
dan Peraturan di tingkat lokal.

3.4 Teknik Pengecekan Keabsahan Data

3.4.1 Triangulasi
Merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data guna keperluan pengecekan atau pembanding beragam data.
Teknik triangulasi ini meliputi:
30 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Jakarta, Bina Aksara, 1989, hal. 128.
31 Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid 2, Yogjakarta, Andi Offset,1991, hal. 136 .
32 Loftland dan Loftland, 1984 dalam Peter Burnahm dkk, 2004, hal. 222.
33 Sumanto, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Aplikasi Metode Kuantitatif dan Statistika dalam Penelitian,Yogjakarta, Andi
Offset,1995, hal. 86.
34 John W. Best, Metodologi Penelitian Pendidikan, terjemahan Sanapiah Faisal dan Mulyadi, 1993, hal 76.

21
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

1. Triangulasi sumber data, artinya membandingkan dan mengecek ulang suatu


informasi yang telah diperoleh (check and recheck serta cross-check). Cara ini bisa
diperoleh dengan jalan:
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dimana
hasil wawancara dengan berbagai narasumber kemudian dicek kebenarannya
di lapangan secara langsung oleh peneliti.
b. Membandingkan apa yang dikatakan seseorang di hadapan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi dalam konteks ini peneliti mengamati
gasture bahasa tubuh setiap informan yang diwawancarai kemudian jika ada
dibandingkan dengan komentar mereka di media massa atau publik.
c. Membandingkan data yang diperoleh saat penelitian dengan data yang ada di
luar waktu penelitian. Peneliti mengamati angka kecenderungan yang berasal
dari surat kabar, dan data dinas.
d. Membandingkan data yang diperoleh dari masyarakat umum dengan
data atau informasi yang diperoleh dari key informant. Peneliti melakukan
wawancara dengan warga sekitar terkait tanggapan, dukungan, kendala dan
manfaat kebijakan.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang berkaitan.
Secara teratur peneliti mencoba membandingkan apa yang telah didapat dari
interview dengan data statistik dari institusi yang ada maupun dari dokumen
terkait informasi dan data yang ada.
f. Demi menunjang kesahihan data primer dan mempermudah pembandingan
data, peneliti akan menggunakan alat bantu teknologi rekaman berupa
perekam suara digital. Peneliti mencatat semua inti percakapan dan
merekapitulasi semua data dan informasi yang didapat dari informan kunci.
2. Triangulasi metode, ditempuh melalui:
a. Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian dengan beberapa
teknik pengumpulan data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan institusionalisme dan dikombinasikan menggunakan pendekatan
realisme sebab dalam kedua pendekatan tersebut bertujuan saling
melengkapi satu sama lain sehingga memudahkan penulis untuk menganalisa
secara cermat.
b. Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang
sama.
3. Triangulasi teori, yakni dengan jalan membandingkan data yang diperoleh dengan
teori para pengamat atau peneliti lainnya.

3.5 Teknik Analisis Data


Setelah melakukan pengumpulan data dengan teknik di atas, kemudian dilakukan
analisis data sehingga data-data yang ada tersebut dapat disajikan dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan dimengerti. Teknik yang dilakukan oleh peneliti adalah
teknik pengujian data dengan menggunakan interaktif model, dimana penelitian
ini bersifat siklus. Mekanismenya meliputi klasifikasi data berdasarkan maksud dan
tujuan sumber data, yang masih dimungkinkan melebar (kurang jelas), kemudian
peneliti mencoba menyusun berdasarkan kesesuaian alur yang telah ditentukan, bila

22
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

perlu dikolaborasikan oleh argumen penguat oleh pakar atau peneliti yang memiliki
kajian sama, langkah terakhir adalah verifikasi yang bertujuan menangkap makna
(mean) sesungguhnya guna menjawab rumusan permasalahan. Keuntungan dengan
adanya model ini, peneliti dapat melakukan pengujian data secara berulang-ulang
untuk memperoleh hasil yang akurat mengingat peneliti adalah peneliti pemula.
Sedangkan analisis data dilakukan selama pengumpulan data, untuk menjaga
kemungkinan diperlukannya data baru yang dibutuhkan secara tiba-tiba selama
penelitian. Analisis bukti (data) terdiri atas pengujian, pengkategorian, pentabulasian,
ataupun pengkombinasian kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu
penelitian.35

35 Yin, Robert. Studi Kasus, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, hal 113.

23
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

24
4
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Deskripsi Wilayah
Penelitian

25
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

BAB 4. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1 Provinsi Bali

4.1.1 Kota Denpasar


Kota Denpasar memiliki luas wilayah 127,78 km² (2,27persen) dari luas wilayah
Provinsi Bali. Secara administrasi Kota Denpasar terdiri dari 4 wilayah kecamatan
terbagi menjadi 27 desa adat dan 16 kelurahan. Dari keempat kecamatan tersebut
berdasarkan luas wilayah, Kecamatan Denpasar Selatan memiliki wilayah terluas
yaitu 49,99 km2 (39,12 persen).

Luas wilayah Kota Denpasar menurut penggunaan tanah sebagian besar dimanfaatkan
untuk lahan bukan pertanian seperti jalan, permukiman, perkantoran dan lainnya.
Luas lahan pertanian selama 5 tahun (2011-2015) berkurang seluas 124 Ha atau
rata-rata berkurang per tahun seluas 24,8 Ha. Alih fungsi lahan pertanian baik lahan
sawah maupun lahan pertanian bukan sawah sebagian besar dimanfaatkan untuk
lahan bukan pertanian seperti pekarangan, pemukiman dan jalan serta lainnya.

Potensi Pengembangan Wilayah Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang


Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), yang selanjutnya diakomodasi dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali 2009-2029, menegaskan bahwa Kota Denpasar
yang terintegrasi dalam Kawasan Perkotaan Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan
dalam sistem perkotaan nasional ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN).
Selanjutnya Perkotaan Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan juga sekaligus ditetapkan
sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari pertimbangan sudut kepentingan
ekonomi nasional, dengan nama Kawasan Metropolitan Sarbagita. Berdasarkan
Perda Kota Denpasar No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
(RTRWK) Denpasar, potensi pengembangan wilayah di Kota Denpasar sesuai dengan
arahan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan, yaitu:
1. Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung, meliputi:
a. Pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
b. Pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup.
c. Pemulihan dan penanggulangan kerusakan lingkungan hidup.
d. Pengembangan mitigasi dan adaptasi kawasan rawan bencana.
e. Perlindungan terhadap kawasan cagar budaya dan aktivitas yang memiliki
nilai historis dan spiritual.
2. Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budidaya, meliputi:
a. Perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan.
b. Pengendalian perkembangan kegiatan budi daya perkotaan sesuai dengan
daya dukung dan daya tampung lingkungannya.
c. Pengembangan kawasan budidaya kreatif dan unggulan.
d. Pengembangan sarana dan prasarana kepariwisataan.
e. Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan

26
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

3. Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis, meliputi:


a. Pengembangan keterpaduan pengelolaan kawasan strategis nasional dan
kawasan strategis provinsi dalam wilayah kota.
b. Pengembangan kawasan strategis kota berdasarkan sudut kepentingan
pertumbuhan ekonomi kota dan wilayah.
c. Pengembangan kawasan strategis kota berdasarkan sudut kepentingan sosial
budaya kota.
d. Pengembangan kawasan strategis kota berdasarkan sudut kepentingan
pelestarian lingkungan hidup.

Rencana struktur ruang wilayah Kota terdiri dari: (a). sistem pusat pelayanan kota;
dan (b). sistem prasarana kota. Sistem pusat-pusat pelayanan kota terdiri dari: (a).
Pusat Pelayanan Kota; (b). Sub Pusat Pelayanan Kota; dan (c). Pusat Lingkungan.
Pusat pelayanan kota terdiri dari:
1. Pusat-pusat pelayanan kegiatan sosial ekonomi dan pemerintahan dengan skala
pelayanan wilayah terdiri dari:
a. Kawasan sekitar Niti Mandala sebagai pusat kegiatan pemerintahan skala
wilayah.
b. Kawasan sekitar Sanglah sebagai pusat kegiatan ekonomi, pendidikan tinggi
dan pelayanan kesehatan skala wilayah.
c. Kawasan sekitar terminal Ubung sebagai pusat transportasi penumpang antar
wilayah Tipe B.
d. Kawasan Pelabuhan Benoa sebagai pusat transportasi laut antar wilayah dan
internasional.
e. Kawasan perdagangan dan jasa skala wilayah di sepanjang Jalan Ngurah Rai,
Jalan Gatot Subroto dan Jalan Mahendradata.
f. Kawasan pariwisata Sanur sebagai kawasan khusus pariwisata.
2. Pusat-pusat pelayanan kegiatan sosial ekonomi dan pemerintahan yang melayani
seluruh wilayah kota yang tersebar di Bagian Wilayah Kota (BWK) tengah terdiri
dari:
a. Kawasan cathus patha agung Kota Denpasar dan sekitar jalan Gajah Mada
sebagai pusat kegiatan perdagangan dan jasa, sosial, budaya, pemerintahan
dan kawasan heritage.
b. Kawasan Niti Praja Lumintang sebagai kawasan pemerintahan.
c. Kawasan sekitar koridor Jalan Teuku Umar, Jalan Dewi Sartika, Jalan
Diponegoro, Jalan Setiabudi, Jalan Cokroaminoto, Jalan Surapati, Jalan Hayam
Wuruk, Jalan WR. Supratman, Jalan Gunung Agung dan Jalan Letda Tantular.
d. Kawasan Ubung sebagai pusat kegiatan perdagangan dan terminal kargo.
e. Kawasan Kreneng dan Jalan Kamboja sebagai pusat kegiatan perdagangan dan
jasa, pendidikan dan olah raga.
3. Sub Pusat Pelayanan Kota terdiri dari pusat-pusat pelayanan sosial ekonomi dan
pemerintahan yang melayani skala kecamatan atau BWK, terdiri dari:
a. Sub Pusat Pelayanan Kota di BWK Utara dikembangkan di Kawasan Ubung
Kaja.
b. Sub Pusat Pelayanan Kota di BWK Timur dikembangkan di Kawasan di sekitar
Jalan WR. Supratman, Kelurahan Kesiman Kertalangu.

27
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

c. Sub Pusat Pelayanan Kota di BWK Selatan dikembangkan Kawasan di sekitar


Jalan Diponegoro, Kelurahan Sesetan.
d. Sub Pusat Pelayanan Kota di BWK Barat dikembangkan di Kawasan sekitar
Jalan Gunung Agung dan Jalan Mahendradata, Desa Tegal Kertha.
4. Pusat Lingkungan sebagai pendukung Sub Pusat Pelayanan Kota di BWK Tengah,
terdiri dari:
a. Pusat Lingkungan Tengah I dikembangkan di Kawasan Catur Muka dan
Lapangan Puputan Badung.
b. Pusat Lingkungan Tengah II dikembangkan di Koridor Jalan Cokroaminoto.
c. Pusat Lingkungan Tengah III dikembangkan di Koridor Jalan Gatot Subroto dan
Jalan Ahmad Yani.
d. Pusat Lingkungan Tengah IV dikembangkan di Koridor Jalan Hayam Wuruk.
e. Pusat Lingkungan Tengah V dikembangkan di Koridor Jalan Diponegoro dan
koridor Jalan Teuku Umar.
5. Pusat Lingkungan sebagai pendukung Sub Pusat Pelayanan Kota di BWK Utara,
terdiri dari:
a. Pusat Lingkungan Utara I dikembangkan di Kawasan sekitar Pasar Ubung.
b. Pusat Lingkungan Utara II dikembangkan di Kawasan sekitar Pasar Peguyangan.
c. Pusat Lingkungan Utara III dikembangkan di Kawasan sekitar Pasar Agung.
6. Pusat Lingkungan sebagai pendukung Sub Pusat Pelayanan Kota di BWK Timur,
terdiri dari:
a. Pusat Lingkungan Timur I dikembangkan di Kawasan Penatih.
b. Pusat Lingkungan Timur II dikembangkan di Kawasan Kesiman Kertalangu.
c. Pusat Lingkungan Timur III dikembangkan di Kawasan Kesiman.
7. Pusat Lingkungan sebagai pendukung Sub Pusat Pelayanan Kota di BWK Selatan,
terdiri dari:
a. Pusat Lingkungan Selatan I dikembangkan di sekitar Pasar Sanur.
b. Pusat Lingkungan Selatan II dikembangkan di Kawasan sekitar Jalan Pekerisan
dan Jalan Barito.
c. Pusat Lingkungan Selatan III dikembangkan di Kawasan sekitar Koridor Jalan
Raya Sesetan
d. Pusat Lingkungan Selatan IV dikembangkan di Kawasan sekitar Koridor Jalan
Raya Kepaon.
e. Pusat Lingkungan Selatan V dikembangkan di sekitar Pasar Serangan.
8. Pusat Lingkungan sebagai pendukung Sub Pusat Pelayanan Kota di BWK Barat,
terdiri dari:
a. Pusat Lingkungan Barat I dikembangkan di Kawasan sekitar simpang Kebo Iwa.
b. Pusat Lingkungan Barat II dikembangkan di Kawasan sekitar jalan Gunung
Rinjani.
c. Pusat Lingkungan Barat III dikembangkan di Kawasan sekitar jalan Pasar Umad.

Kota Denpasar merupakan kota yang memiliki Pendapatan Domestik Regional Bruto
(PDRB) per kapita yang tertinggi kedua di Propinsi Bali. Oleh karena itu bila dilihat dari
segi kesiapan finansialnya, Kota Denpasar dapat dikatakan sebagai salah satu wilayah
yang siap dengan pemberlakuan otonomi daerah. Pendapatan primer tetap bertumpu
pada Jasa perhotelan disamping pariwisata dan jasa lainnya. Arah pembangunan

28
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

kota Denpasar yaitu pembangunan berwawasan budaya. Hal ini diwujudkan dengan
menggalakkan penggunaan ruang terbuka hijau, Lapangan Puputan untuk berbagai
kegiatan masyarakat, di samping pembinaan kesenian tradisional.

Kondisi Perekonomian Daerah Lebih dari 37% penduduk Denpasar bekerja pada
bidang perdagangan, perhotelan, atau industri rumah makan. Dari data tahun
2018, kontribusi yang cukup signifikan membangun perekonomian Kota Denpasar
yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran (34,36%), kemudian diikuti oleh
sektor keuangan (15,19%), sektor pengangkutan dan komunikasi (13,66%), sektor
industri pengolahan (12,24%). Sedangkan sektor lainnya (24,55%) meliputi sektor
pertambangan, jasa-jasa, pertanian, bangunan, listrik, dan gas rata-rata 5-6%.

Secara umum ruang lautan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan transportasi,


aktivitas pariwisata, sektor perikanan dan penggunaan lainnya seperti habitat/
konservasi flora dan fauna, pertahanan dan keamanan serta penelitian. Penggunaan
ruang lautan Kota Denpasar untuk kepentingan transportasi dibedakan dari prasarana
pelabuhan dan penggunaan bagi jalur-jalur lintasan perhubungan laut, baik jalur
angkutan laut tradisional maupun jalur angkutan kapal laut. Kota Denpasar memiliki
satu prasarana pelabuhan laut yang beroperasi secara aktif dan permanen, yaitu
Pelabuhan Benoa, sedangkan untuk penyeberangan ke Pulau Nusa Penida, sementara
ini masyarakat pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan laut memanfaatkan Pantai
Sanur sebagai dermaga yang beroperasi dalam skala yang lebih kecil.

Pesatnya pembangunan dan berbagai aktifitas di sepanjang pesisir dan lautan telah
menimbulkan berbagai tekanan-tekanan terhadap lingkungan dan menjadi isu
masalah lingkungan yakni pencemaran dan kerusakan lingkungan. Bentuk kerusakan
lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir Kota Denpasar antara lain kerusakan habitat
(terumbu karang, mangrove dan padang lamun) dan kerusakan fisik pantai oleh
abrasi. Hutan mangrove yang sebagian besar terletak di kawasan Pulau Serangan,
Teluk Benoa dan Sekitarnya mengalami kerusakan akibat reklamasi Pulau Serangan.
Faktor penyebab lainnya adalah faktor pengendapan pasir/ lumpur yang tinggi
dengan adanya perubahan pola aliran air seperti di sebelah barat jalan Pelabuhan
Benoa dan muara Tukad Tegeh.

Pemanfaatan ruang udara saat ini di Kota Denpasar antara lain untuk penerbangan,
layang-layang, para sailing, cerobong asap industri, tower dan frekuensi komunikasi,
tower Saluran Udara Tegangan Tinggi untuk jaringan listrik, dan ruang untuk bangunan
tinggi. Untuk manuver pengudaraan dan pendaratan penerbangan daerah bagian
selatan Kota Denpasar terkena batas ketinggian bangunan dan ketinggian aktivitas
lainnya sesuai dengan sudut pendaratan dan pengudaraan. Tower komunikasi
baik untuk hubungan telepon, televisi cenderung bertambah semarak sehingga
menimbulkan “kekumuhan” ruang udara, oleh karena itu perlu dibatasi jumlah dan
lokasi pembangunannya dikendalikan supaya tidak membahayakan jiwa dan barang.

Pengelolaan tata guna udara mencakup penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan


ruang udara di wilayah Kota yang berwujud konsolidasi pemanfaatan ruang udara
berupa pengaturan ruang udara untuk kebutuhan kegiatan kawasan-kawasan
fungsional di wilayah kota sampai dengan penetapan zonasi pengelolaan dan
pemanfaatan ruang udara diantaranya sebagai berikut:

29
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

1. Struktur dan ketinggian maksimum gedung dan bangunan-bangunan lain pada


radius daerah penerbangan untuk mengikuti aturan yang berlaku.
2. Ketinggian bangunan yang memanfaatkan ruang udara diatas permukaan bumi
dibatasi maksimum 15 meter, kecuali bangunan umum dan bangunan khusus
yang memerlukan persyaratan ketinggian lebih dari 15 meter.
3. Lokasi bangunan menara penerima dan atau pemancar radio televisi dan
telekomunikasi harus dibangun pada kawasan budi daya memberi rasa aman dan
keselamatan lingkungan.
4. Pembuangan hasil proses kegiatan ke ruang udara harus dijamin tidak
menimbulkan pencemaran udara.
5. Pengaturan kawasan untuk kegiatan masyarakat yang menggunakan ruang
udara seperti lomba layang-layang pada kawasan di luar radius keselamatan
penerbangan, serta jalur penerbangan helicopter wisata lainnya.

4.1.2 Kabupaten Badung


Kabupaten Badung memiliki luas wilayah 418,52 Km2(7,43% luas Pulau Bali) terbagi
menjadi 6 (enam) wilayah kecamatan yang terbentang dari ujung utara Kecamatan
Petang sampai ujung selatan Kecamatan Kuta Selatan. Kecamatan Petang memiliki
luas terbesar yaitu 115 Km2 dan Kecamatan Kuta merupakan kecamatan dengan
luasan terkecil yaitu17,52 Km2. Posisi Astronomis Kabupaten Badung terletak
antara 8014’20” –8050’52” lintang selatan dan 115005’03” –115026’51” bujur timur
dengan luas wilayah 418,52 Km2 atau sekitar 7,43 % dari daratan Pulau Bali dan
terbagi atas 6 wilayah kecamatan dan 62 desa/kelurahan. Wilayah Kabupaten Badung
bagian utara merupakan daerah pegunungan yang berudara sejuk, berbatasan
dengan Kabupaten Buleleng. Bagian tengah merupakan daerah persawahan dengan
pemandangan yang asri dan indah, berbatasan dengan Kabupaten Gianyar dan
Kota Denpasar di sebelah timur, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Tabanan.Sedangkan bagian selatan merupakan dataran rendah dengan
pantai berpasir putih yang berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia.

Pemanfaatan lahan di Kabupaten Badung dapat dibagi menjadi dua yaitu lahan
pertanian dan bukan pertanian. Lahan pertanian dibagi lagi menjadi dua yaitu
sawah dan bukan sawah. Dari luas wilayah Kabupaten Badung yang tercatat 41.852
Ha (7,4 persen luas Provinsi Bali), seluas28.132Ha (67,2%) dimanfaatkan untuk
lahan pertanian dan sisanya 13.720Ha (32,8%) lahan bukan pertanian. Untuk lahan
pertanian, sebanyak 10.000Ha dimanfaatkan untuk lahan sawahirigasi teknis,
kemudian disusul secara berturut-turut untuk tegal/kebun 8.028Ha, Perkebunan
6.337Ha, dan ditanami pohon/hutan rakyat, sementara tidak diusahakan, lainnya/
tambak, kolam , empang sebanyak 3.761Ha. Sedangkan untuk lahan bukan pertanian
terdiri dari jalan, pemukiman, perkantoran, sungai dan hutan negara sebesar
13.720Ha 32,8 (persen).

Kondisi kawasan Kabupaten Badung sangat bervariasi, hal ini dapat dilihat dari 3 (tiga)
kecamatan yaitu Kuta, Kuta Utara dan Kuta Selatan ketinggiannya berkisar antara
6,6-65 m di atas permukaan laut. Kecamatan Mengwi antara 0-350 meterdi atas
permukaan laut dan Kecamatan Abiansemal 75-350 meterdi atas permukaan laut.

30
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Sedangkan Kecamatan Petang yang berada di ujung utara merupakan daerah dataran
tinggi berada pada ketinggian 275-2.075 meterdi atas permukaan laut. Walaupun
beberapa wilayah Kabupaten Badung berada pada ketinggian yang relatif tinggi dari
permukaan laut, akan tetapi luas areal yang kemiringannya di atas 40 persen relatif
sedikit yaitu sekitar 7,5 persen (3.150 Ha). Areal ini berada di dua kecamatan yaitu
Kecamatan Petang (650,0 Ha) dan Kecamatan Kuta Selatan (2.500,0 Ha). Daerah-
daerah dengan kemiringan di atas 40 persen rawan terhadap bencana erosi yaitu
hanyutnya lapisan bagian atas tanah. Penggunaan lahan bukan pertanian diketahui
sebesar 13.720Ha, dengan sebaran di wilayah Kuta Selatan sebesar 6.469Ha, Wilayah
Kuta 1.591Ha, wilayah Kuta Utara 1.890Ha, wilayah Mengwi 1.445Ha, wilayah
Abiansemal 937Ha, dan wilayah Petang sebesar 1.388 Ha.

Pusat utama pengembangan pelayanan wilayah Kabupaten Badung adalah Kawasan


Perkotaan Kuta sebagai bagian dari kota inti kawasan Perkotaan Sarbagita dan
Kawasan Perkotaan Mangupura sekaligus merupakan Ibukota Kabupaten Badung.
Selanjutnya pelayanan perkotaan dikembangkan untuk melayani masyarakat wilayah
kota secara merata dan berkelanjutan. Berdasarkan karakter geografis dan struktur
jaringan prasarana utama wilayah, maka wilayah pelayanan sistem perkotaan dibagi
dalam tiga sistem wilayah pelayanan perkotaan, yaitu:
1. Pelayanan Wilayah Pengembangan (WP) Badung Utara
a. Cakupan wilayah seluruh Kecamatan Petang.
b. Pusat pelayanan di Kawasan Perkotaan Petang.
c. Fungsi utama Wilayah Pengembangan(WP) Badung Utara adalah konservasi
dan pertanian terintegrasi.
2. Pelayanan Wilayah Pengembangan (WP) Badung Tengah:
a. Cakupan wilayah meliputi
b. Kecamatan Abiansemal;
c. Sebagian wilayah Kecamatan Mengwi (Desa Kuwum, Desa Sembung, Desa
Sobangan, Desa Werdi Bhuwana, Desa Baha, Desa Penarungan, Desa Gulingan,
Desa Mengwi, Desa Mengwitani, Desa Kekeran, Kelurahan Kapal, Kelurahan
Lukluk, Kelurahan Sading, Kelurahan Sempidi, Kelurahan Abianbase, Desa
Buduk dan Desa Tumbak Bayuh); dan -Sebagian wilayah Kecamatan Kuta Utara
(Desa Dalung dan Kelurahan Kerobokan Kaja). Pusat pelayanan di Kawasan
Perkotaan Mangupura.-Sub pusat pelayanan di Kawasan Perkotaan Blahkiuh,
dan Kawasan Perkotaan Dalung. Fungsi utama: pertanian berkelanjutan,
ibukota kabupaten dan pusat pelayanan umum skala regional.
3. Pelayanan Wilayah Pengembangan (WP) Badung Selatan:
a. Cakupan wilayah meliputi:
b. Sebagian wilayah Kecamatan Mengwi (Desa Pererenan, Desa Munggu dan
Desa Cemagi); -Sebagian wilayah Kecamatan Kuta Utara (Desa Canggu,
Desa Tibubeneng, Kelurahan Kerobokan dan Kelurahan Kerobokan Kelod);
-Kecamatan Kuta; dan -KecamatanKuta Selatan.
c. Pusat pelayanan di Kawasan Perkotaan Kuta.
d. Sub pusat pelayanan di Kawasan Perkotaan Jimbaran dan Kawasan Perkotaan
Kerobokan.
e. Fungsi utama: kepariwisataan serta perdagangan dan jasa skala nasional dan

31
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

internasional. Sistem pusat pelayanan Kabupaten Badung terdiri atas sitem


perkotaan dan sistem perdesaan.
f. Pusat-pusat perkotaan dan Perdesan serta Wilayah pelayanan Kabupaten
Badung, meliputi Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dalam Kawasan Perkotaan
Sarbagita terletak di Kawasan Perkotaan Kuta sebagai pusat kegiatan di
Kawasan Perkotaan Inti yang meliputi Wilayah Kecamatan Mengwi, Kecamatan
Abiansemal, Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Kuta dan Kecamatan Kuta
Selatan, serta pusat kegiatan Kawasan Perkotaan di sekitarnya meliputi
Kawasan Perkotaan Jimbaran dan Kawasan Perkotaan Mangupura.-Pusat
Pelayanan Kecamatan (PPK) terletak di kawasan perkotaan Petang dengan
wilayah pelayanan seluruh desa-desa di Kecamatan Petang;
g. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) terletak di kawasan perkotaan Pelaga
dengan wilayah pelayanan Desa Pelaga, Desa Sulangai dan Desa Belok Sidan
serta PPL Carangasari dengan wilayah pelayanan Desa Carangsari, Desa
Getasan dan Desa Pangsan.

Fungsi pusat pelayanan sistem perkotaan di Kabupaten Badung meliputi :


1. Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Kawsan Perkotaan Kuta dengan fungsi utama sebagai
pusat kegiatan kepariwisataan internasional, pusat pelayanan perdagangan dan
jasa skala internasional, nasional dan regional serta pusat pelayanan transportasi
udara internasional dan nasional, yangdidukung oleh:
2. Kawasan Perkotaan Jimbaran dengan fungsi utama sebagai pusat kegiatan
kepariwisataan internasional, pusat pendidikan tinggi, pusat pelayanan kesehatan
skala internasional, nasional dan regional serta pusat pelayanan perdagangan
dan jasa skala regional.
3. Kawasan Perkotaan Mangupura terletak dengan fungsi utama sebagai pusat Ibu
Kota Kabupaten, Pusat Pemerintahan Kabupaten, pusat perdagangan dan jasa
skala regional, pusat kegiatan sosial budaya dan kesenian, pusat pelayanan sistem
angkutan umum penumpang nasional dan regional, pusat kegiatan pertanian,
pusat pelayanan kesehatan skala Wilayah serta pusat kegiatan olah raga.
4. Pusat Pelayanan Kecamatan (PPK) Perkotaan Petang dengan fungsi pelayanan
sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat agropolitan dan pusat agroindustri.
Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) Pelaga dan perkotaan Carangsari dengan fungsi
pelayanan sebagai pusat pertanian terintegrasi, pusat agrowisata dan pusat
ekowisata. Fungsi Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) Pelaga dan Carangsari,
meliputi: Pusat permukiman desa dan pusat pelayanna kegiatan ekonomi
skala antar desa. Pusat produksi pertanian sebagai pendukung pengembangan
agropolitan dan agroindustri di Kecamatan Petang. Pusat pengembangan desa
wisata, Agrowisata dan Ekowisata.

Sektor Unggulan Pariwisata

Perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung yang demikian pesatnya akan


mengundang penduduk pendatang untuk ikut mencari pekerjaan di Kabupaten
Badung. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan penduduk cukup tinggi. Pertumbuhan
penduduk yang tinggi dapat menimbulkan iklim berinvestasi yang kondusif di
Kabupaten Badung, maka ditempuh langkah-langkah upaya memberikan pelayanan

32
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

prima kepada masyarakat terkait pelayanan perizinan dan nonperizinan maka


Pemerintah Kabupaten Badung mengambil langkah strategis membentuk Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
tersebut dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 tahun
2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten
Badung. Mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 2013 dengan telah ditetapkannya
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2013 selanjutnya diterbitkan
Peraturan Bupati Nomor 32 Tahun 2013 tentang pendelegasian Wewenang Pelayanan
Perizinan dan nonPerizinan kepada Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Badung serta Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2013 tentang Uraian
Tugas Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung. Adapun tujuan dari hal
tersebut adalah untuk mewujudkan pelayanan yang prima dalam rangka mendukung
dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat di Kabupaten
Badung. Sebagai acuan kerja BPPT Kabupaten Badung sudah menggunakan Standar
Operasional Prosedur (SOP) Nomor 35 Tahu 2013 tentang Standar Operasional
Prosedur pada BPPT Kabupaten Badung yang meliputi jenis izin, proses, persyaratan,
jangka waktu dan tarif. BPPT Kabupaten Badung menangani 53 jenis izin dan 35 jenis
nonizin yang didalamnya masing-masing terdapat substansi jenis izin yang jumlah
kesuluruhannya mencapai 266 jenis perizinan. Semua perizinan tersebut sudah bisa
dilayani pada satu pintu sehingga masyarakat menjadi lebih mudah dalam proses
perizinan.

4.2 Provinsi Jawa Timur

4.2.1 Kota Surabaya


Kota Surabaya merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur yang terletak antara 07°9’
s.d 07°21’ Lintang Selatan dan 112°36’ s.d 112°54’ Bujur Timur. Luas wilayah Kota
Surabaya seluruhnya kurang lebih 326,36 km2 yang terbagi dalam 31 Kecamatan dan
154 Desa/Kelurahan.

Secara topografi, sebagian besar wilayah Kota Surabaya merupakan dataran rendah
dengan ketinggian 3-6 meter di atas permukaan laut pada kemiringan kurang dari
3 persen. Wilayah barat Kota Surabaya memiliki kemiringan sebesar 12,77 persen
dan sebelah selatan sebesar 6,52 persen. Kedua wilayah tersebut merupakan daerah
perbukitan landai dengan ketinggian 25-50 meter di atas permukaan laut dan pada
kemiringan 5-15 persen. Jenis batuan yang ada terdiri dari 4 jenis yang pada dasarnya
merupakan tanah liat atau unit-unit pasir. Sedangkan jenis tanah, sebagian besar
berupa tanah alluvial, selebihnya tanah dengan kadar kapur yang tinggi (daerah
perbukitan).

Sebagaimana daerah tropis lainnya, Surabaya mengenal 2 musim yaitu musim hujan
dan kemarau. Curah hujan rata-rata 172 mm, dengan temperatur berkisar maksimum
30°C dan minimum 25°C. Secara geografis, Kota Surabaya terletak di hilir sebuah
Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang bermuara di Selat Madura. Beberapa sungai
besar yang berasal dari hulu mengalir melintasi Kota Surabaya, yaitu Kali Surabaya,
Kali Mas, Kali Jagir, dan Kali Lamong. Sebagai daerah hilir, Kota Surabaya sehingga
dengan sendirinya Kota Surabaya merupakan daerah limpahan debit air dari sungai

33
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

yang melintas sehingga rawan banjir pada musim penghujan. Secara administrasi
pemerintahan Kota Surabaya terdiri dari 31 kecamatan, 154 kelurahan, 1368 Rukun
Warga (RW) dan 9118 Rukun Tetangga (RT). Kota Surabaya adalah kota metropolitan
kedua setelah Jakarta, Surabaya secara pola ruang perkembangannya terbagi
menjadi:
1. Area permukiman vertikal baik berupa rumah susun (sederhana) maupun
apartemen atau kondominium tersebar di hampir seluruh penjuru Kota Surabaya,
sedangkan area permukiman diarahkan berkembang ke arah barat, timur dan
selatan kota;
2. Area untuk kegiatan jasa dan perdagangan yang dipusatkan di kawasan pusat
kota dan pusat-pusat dan unit pengembangan serta di kawasan yang ditetapkan
menjadi kawasan strategis ekonomi antara lain di kawasan kaki Jembatan
Suramadu dan kawasan Teluk Lamong;
3. Area untuk kegiatan industri dan pergudangan terkonsentrasi di kawasan pesisir
utara di kawasan sekitar Pelabuhan Tanjung Perak dan Terminal Multipurpose
Teluk Lamong, dan kawasan selatan kota yang berbatasan dengan wilayah
Kabupaten Gresik dan Sidoarjo;
4. Wilayah pesisir khususnya ruang darat dimanfaatkan untuk berbagai fungsi
antara lain permukiman nelayan, tambak garam dan ikan, pergudangan, militer,
industri kapal, pelabuhan, wisata pesisir sampai dengan fungsi kawasan lindung
di Pantai Timur Surabaya serta terdapat aksesibilitas berupa jalan dan jembatan
yang menghubungkan Kota Surabaya dan Pulau Madura (Jembatan Suramadu)
dan Jembatan Sukolilo Lor – THP Kenjeran yang membuka akses di kawasan sisi
timur laut Kota Surabaya;
5. Wilayah Ruang laut Surabaya selain dimanfaatkan untuk kegiatan pelayaran
baik interinsulair maupun internasional, juga dikembangkan untuk kegiatan
penangkapan ikan tradisional, wisata pantai di Kenjeran dan sekitarnya dan
kawasan lindung laut di sekitar Pantai Timur Surabaya.

Kota Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur memiliki peran strategis pada
skala nasional sebagai pusat pelayanan kegiatan Indonesia Timur, dan pada skala
regional sebagai kota perdagangan dan jasa yang pada simpul transportasi (darat,
udara dan laut) nasional dan internasional sehingga memberi peluang bagi Kota
Surabaya untuk meningkatkan perannya sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN).
Letak Kota Surabaya sangat strategis, menghubungkan antara Kota Surabaya dengan
kota-kota di sekitarnya yaitu kota/kabupaten yang ada dalam Gerbangkertosusilo,
sehingga sangat mendukung percepatan pembangunan di Kota Surabaya. Demikian
juga sebaliknya, pertumbuhan Kota Surabaya juga berpengaruh pada perkembangan
kota/kabupaten di sekitarnya, secara sektoral maupun keruangan. Kota Surabaya
memiliki kawasan strategis yang berpotensi dikembangkan secara berkelanjutan
untuk mendukung eksistensi pengembangan wilayah kota di masa mendatang,
diantaranya adalah:
1. Kawasan Strategis untuk Pendukung Pertumbuhan Ekonomi Kawasan-kawasan
yang akan dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah:
Kawasan Pergudangan dan Industri Margomulyo di Kecamatan Asemrowo dan

34
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Kecamatan Benowo berada di Unit Pengembangan XI Tambak Oso Wilangun


ditinjau dari aksesbilitas karena letaknya berdekatan dengan pelabuhan
Tanjung Perak dan Jalan Tol Sidoarjo–Surabaya–Gresik, Kawasan Industri dan
Pergudangan Margomulyo merupakan kawasan strategis untuk dioptimalisasi
dan dikembangkan dengan orientasi pada industry smart and clean dengan
didukung oleh infrastruktur yang memadai. Jumlah industri besar dan sedang
yang ada di Kecamatan Asemrowo dan Benowo.
2. Kawasan Tunjungan dan sekitarnya di Kecamatan Bubutan berada di Unit
Pengembangan VI Tunjungan
a. Sebagai kawasan pusat perdagangan dan perkantoran, kawasan Tunjungan
merupakan salah satu pusat kota yang sangat potensial untuk terus
dikembangkan karena memiliki sejarah dan mengalami masa keemasan pada
dekade 1940 hingga akhir 1970-an dengan karakteristik shopping-street dan
shopping arcade, sehingga dikenal dan menjadi salah satu icon kota Surabaya
dengan Jargon “Rek Ayo Rek Mlaku – Mlaku nang Tunjungan”. Kawasan ini
memerlukan penanganan dan pengelolaan yang optimal untuk mendukung
percepatan pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya.
b. Kawasan Kaki Jembatan Wilayah Suramadu-Pantai Kenjeran dan Kawasan
Kota Tepi Pantai (Waterfront City) di Kecamatan Bulak berada di Unit
Pengembangan III Tambak Wedi, merupakan kawasan strategis ditinjau dari
lokasinya yang berada di kawasan kaki Jembatan Suramadu dan pesisir Pantai
Bulak - Kenjeran yang memiliki potensi besar untuk berkembang sebagai
wisata pesisir dan laut. Keberadaan Jembatan Suramadu dan Pantai Kenjeran
diharapkan dapat memberikan peningkatan potensi dan peran Kota Surabaya,
sebagai pusat kegiatan regional. Di samping itu, kawasan ini memiliki potensi
sebagai kawasan perdagangan dan jasa skala regional seperti terlihat pada
data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Bulak.
c. Kawasan Kota Tepi Pantai (Waterfront City) di Kecamatan Asemrowo dan
Kecamatan Benowo berada di Unit Pengembangan XI Tambak Oso Wilangun,
merupakan kawasan strategis dengan konsep pengembangan penggunaan
lahan mixed-use pendukung kawasan pelabuhan yang terintegrasi dengan
rencana pengembangan Terminal Multipurpose Teluk Lamong sebagai
kawasan pelabuhan penunjang Pelabuhan Utama Tanjung Perak.
d. Kawasan Terpadu Surabaya Barat di Kecamatan Pakal di Unit Pengembangan
XII Sambikerep dan Benowo di Unit Pengembangan XI Tambak Oso Wilangon,
merupakan kawasan terpadu yang pusatnya akan dikembangkan di Stadion
Gelora Bung Tomo sebagai pusat olahraga berskala nasional dan akan
terintegrasi dengan pengembangan fungsi perdagangan dan jasa di sekitarnya.
3. Kawasan Strategis untuk Kepentingan Sosial Budaya Kawasan yang dikembangkan
dari sudut kepentingan sosial dan budaya adalah kawasan adat tertentu, kawasan
dan konservasi warisan budaya. Kawasan strategis sosial-budaya yang ada di Kota
Surabaya adalah:
a. Kawasan Makam Sunan Ampel di Kecamatan Semampir berada di Unit
Pengembangan V Tanjung Perak, yang merupakan kawasan cagar budaya
dengan karakter dan daya tarik kuat sebagai objek wisata ziarah di Indonesia.

35
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Kawasan ini tidak hanya sebagai kampung budaya yang khas dengan beragam
aktivitasnya yang berkembang tetapi juga memiliki kultur religi yang kuat.
b. Kawasan Kota Lama Surabaya di Kecamatan Krembangan, Kecamatan Pabean
Cantian, Kecamatan Semampir dan Kecamatan Bubutan berada di Unit
Pengembangan V Tanjung Perak dan Unit Pengembangan VI Tunjungan.
Kawasan ini merupakan kawasan yang pada era kolonial terdelienasi sebagai
kawasan eropa, kawasan arab dan kawasan cina.
c. Bangunan dan lingkungan pada kawasan Darmo-Diponegoro serta
kawasan kampung lama Tunjungan di Kecamatan Tegalsari berada di Unit
Pengembangan VI Tunjungan yang merupakan kawasan bangunan dan
lingkungan cagar budaya.
4. Kawasan Strategis untuk Kepentingan Penyelamatan Lingkungan Hidup Kawasan
yang dikembangkan untuk meningkatkan fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup di Kota Surabaya adalah:
a. Kawasan Kebun Binatang Surabaya di Kecamatan Wonokromo berada di
Unit Pengembangan VII Wonokromo, merupakan hutan kota di kawasan
Wonokromo yang berfungsi sebagai tempat perlindungan satwa, hutan
kota dan rekreasi alam, juga berperan dalam mengatur iklim mikro di Kota
Surabaya. Melihat nilai strategis sebagai kawasan wisata dalam kota, maka
keberadaan KBS harus dipertahankan dan dijaga kelestariannya.
Gambar 3. Peta Kawasan Mangrove Pamurbaya

36
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

b. Kawasan Pantai Timur Surabaya di Kecamatan Gunung Anyar, Kecamatan


Rungkut, Kecamatan Sukolilo dan Kecamatan Mulyorejo, yang berada di Unit
Pengembangan I Rungkut dan Unit Pengembangan II Kertajaya merupakan
kawasan lindung alam berupa vegetasi mangrove yang berada di pesisir timur
Kota Surabaya. Kawasan Mangrove Pamurbaya sangat berperan penting
dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan sebagai barrier alami
dari proses abrasi dan intrusi air laut. Kondisi instrusi air laut di kawasan
mangrove Pamurbaya dapat dilihat pada peta berikut ini.
c. Kawasan sekitar Kali Lamong di Kecamatan Benowo dan Kecamatan Pakal
yang berada di Unit Pengembangan XI Tambak Oso Wilangun dan Unit
Pengembangan Sambikerep XII, merupakan kawasan perlindungan setempat/
sempadan sungai yang dimanfaatkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH),
penyediaan vegetasi, dan pendukung utilitas kota.
5. Kawasan Strategis Pendayagunaan SDA dan Teknologi Tinggi
Kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan Sumber Daya Alam
(SDA) dan/atau teknologi tinggi adalah penghasil SDA yang sangat potensial
untuk kepentingan masyarakat beserta perangkat atau instalasi pengolahannya
atau kawasan khusus untuk pengembangan teknologi, kepentingan strategis
negara dan kepentingan umum. Kawasan strategis SDA dan Teknologi Tinggi di
Kota Surabaya adalah:
a. Kawasan Industri Pengembangan Perkapalan di Kecamatan Pabean Cantian
berada di Unit Pengembangan V Tanjung Perak, merupakan salah satu
kawasan yang digunakan dalam pengembangan teknologi perkapalan tingkat
nasional. Sebagai industri perkapalan nasional, kawasan industri ini memiliki
nilai strategis dan diperlukan upaya dalam menjaga dan meningkatkan nilai
atau potensi kawasan tersebut.
b. Kawasan industri/industrial estate di Kecamatan Rungkut berada di Unit
Pengembangan I Rungkut, merupakan kawasan industri dan pergudangan
yang telah lama berdiri di Kota Surabaya dan diarahkan menjadi kawasan
industri dengan teknologi tinggi yang ramah lingkungan.
c. Kawasan Depo dan Pengolahan BBM, berada di Unit Pengembangan V
Tanjung Perak yang memiliki fungsi sebagai penyimpanan bahan bakar minyak
dan pengelolaan BBM, sehingga kawasan ini memiliki nilai strategis dalam
kaitannya dengan sistem energi di Kota Surabaya dan sekitarnya.
d. Kawasan pengelolaan sampah teknologi tepat guna penghasil energi pada
TPA Benowo di Kecamatan Benowo berada di Unit Pengembangan XI Tambak
Oso Wilangun, merupakan kawasan yang digunakan untuk pemrosesan akhir
sampah di Kota Surabaya dengan konsep: “Waste to Energy”.
4.2.2 Kabupaten Banyuwangi
Kabupaten Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Ibu kotanya adalah Banyuwangi. Kabupaten ini terletak di ujung paling timur pulau
Jawa, di kawasan Tapal Kuda. Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten terluas
di Jawa Timur sekaligus menjadi yang terluas di Pulau Jawa, dengan luas wilayahnya
yang mencapai 5.782,50 km2, atau lebih luas dari Pulau Bali (5.636,66 km2). Di
pesisir Kabupaten Banyuwangi bagian Utara terdapat Pelabuhan Ketapang, yang

37
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

merupakan perhubungan utama antara pulau Jawa dengan pulau Bali (Pelabuhan
Gilimanuk).

Kabupaten Banyuwangi yang secara geografis terletak pada koordinat 7º45’15”–80


43’2” LS dan 113º38’10” BT. Wilayah kabupaten Banyuwangi cukup beragam, dari
dataran rendah hingga pegunungan dapat kita jumpai. Kabupaten Banyuwangi
memiliki beberapa potensi biofisik ekosistem seperti pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan, peternakan, serta pada sektor pariwisata yang menunjang
pengembangan wilayah kabupaten Banyuwangi. Wilayah yang berbatasan dengan
kabupaten Bondowoso terdapat rangkaian Dataran Tinggi Ijen dengan puncaknya
Gunung Raung (3.344 mdpl) dan Gunung Merapi (2.799 mdpl). Di balik Gunung Merapi
terdapat Gunung Ijen yang terkenal dengan kawahnya. Bagian selatan terdapat
perkebunan, peninggalan sejak zaman Hindia Belanda. Wilayah yang berbatasan
dengan Kabupaten Jember bagian selatan merupakan kawasan konservasi yang
kini dilindungi dalam sebuah cagar alam, yakni Taman Nasional Meru Betiri. Pantai
Sukamade merupakan kawasan pengembangan penyu. Di Semenanjung Blambangan
juga terdapat cagar alam, yaitu Taman Nasional Alas Purwo.

Secara umum kebijakan RTRW Kabupaten Banyuwangi tahun 2012-2032 sebagai


berikut.
1. Kebijakan Dan Strategi Sistem Perdesaan
a. Kebijakan Pengembangan Sistem Pusat Permukiman Perdesaan
Kebijakan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dalam rangka
mencapai tujuan penataan ruang wilayah meliputi:
1) Pembentukan pusat pelayanan di kawasan perdesaan secara mandiri
untuk meningkatkan kualitas hidup dan Sumberdaya Manusia di kawasan
perdesaan.
2) Peningkatan akses pelayanan sarana dan prasarana lingkungan di pusat
permukiman kawasan perdesaan untuk mendorong peningkatan kualitas
hidup dan Sumberdaya Manusia di kawasan perdesaan.
3) Peningkatan keterkaitan antar kawasan perdesaan, antara kawasan
perdesaan dengan kawasan perkotaan melalui pengembangan akses
jalan–jalan desa dan peningkatan jalan lokal primer di wilayah Kabupaten
Banyuwangi.
4) Peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah perdesaan khususnya yang
berbasis pada sektor-sektor unggulan wilayah.
b. Strategi Pengembangan Sistem Pusat Permukiman Perdesaan Strategi
pengembangan sistem perdesaaan meliputi:
Strategi pengembangan pembentukan pusat pelayanan di kawasan perdesaan
secara mandiri meliputi:
1) Mengembangkan spesialisasi komoditas unggulan perdesaan, dengan
kriteria:
a) Memiliki potensi komoditas sebagai sektor basis.
b) Memiliki daya saing produksi dan pemasaran.
c) Memiliki daya dukung atau potensi pengembangan infrastruktur.

38
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

2) Membentuk pusat koleksi dan distriusi hasil pertanian berdasarkan atas


komoditi unggulan masing–masing wilayah unggulan.
3) Membentuk pusat pengembangan agribis.
Strategi pengembangan untuk peningkatan akses pelayanan sarana dan
prasarana lingkungan di pusat permukiman kawasan perdesaan meliputi:
1) Mengembangkan prasarana dasar perdesaan yang meliputi transportasi,
air bersih, listrik, dan sanitasi.
2) Mengembangkan sarana dasar perdesaan yang meliputi sarana ekonomi,
pendidikan, dan kesehatan.
3) Mempercepat pembangunan pada desa miskin.
Strategi pengembangan untuk peningkatan keterkaitan antar kawasan
perdesaan, dan kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan, meliputi:
1) Mengembangkan jalan desa sebagai jalan usaha tani (farm road).
2) Mengembangkan jalan lokal primer sebagai jalur keterkaitan distribusi
kebutuhan proses produksi dan distribusi hasil pertanian antar perdesaan
serta antar perdesaan dengan perkotaan.
3) Peningkatan akses dan jaringan keterhubungan antar sentra produksi dan
pusat distribusi.
Strategi pengembangan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah
perdesaan khususnya yang berbasis pada sektor-sektor unggulan wilayah
meliputi:
1) Ekstensifikasi pertanian.
2) Intensifikasi pertanian.
3) Pengembangan kawasan agropolitan.
4) Pengembangan keterkaitan komoditas pertanian dengan sektor industri
dan pariwisata.
2. Kebijakan Dan Strategi Sistem Perkotaan
a. Kebijakan Pengembangan Sistem Perkotaan
Kebijakan pengembangan sistem perkotaan dalam mendukung tujuan
penataan ruang Kabupaten Banyuwangi adalah:
1) Pengarahan struktur permukiman pusat perkotaan secara berhirarki.
2) Pengendalian perkembangan kawasan perkotaan agar tidak cenderung
memusat di kawasan perkotaan Banyuwangi, Ketapang, dan Ronggojampi.
b. Strategi Pengembangan Sistem Perkotaan
Strategi pengembangan untuk pengarahan struktur permukiman pusat
Perkotaan secara berhirarki dilakukan melalui:
1) Meningkatkan peran perkotaan Banyuwangi sebagai Pusat Kegiatan
Wilayah dan peningkatan peran ibu kota kecamatan/pusat-pusat
pelanyanan untuk menunjang kegiatan skala Lokal.
a) PKW
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) adalah kawasan perkotaan yang menjadi
pusat pertumbuhan dan pelayanan satu atau beberapa kabupaten.
Wilayah yang akan dikembangkan sebagai PKW adakah Kawasan
Perkotaan Banyuwangi.

39
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

b) PKL
Pusat Kegiatan Lokal (PKL) adalah kawasan perkotaan yang menjadi
pusat regional skala kabupaten dan menjadi kutub pertumbuhan
utama pada beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
Wilayah yang dikembangkan sebagai PKL adalah: kawasan perkotaan
Genteng, Gambiran, Rogojampi, dan Muncar.
c) PKLp
Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) adalah kawasan perkotaan yang
nantinya akan dikembangkan sebagai pusat pelayanan untuk beberapa
kecamatan. Wilayah yang dikembangkan sebagai PKLp adalah: Kalipuro,
Wongsorejo, dan Bangorejo
d) PPK
Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa
desa. Wilayah yang dikembangkan sebagai PPK Kalibaru, Singojuruh,
Srono, Pesanggaran, Purwoharjo, Tegaldlimo, Cluring, Glenmore,
Kabat, Sempu, Songgon, Glagah, Wongsorejo, Giri, Tegalsari, Licin, dan
Siliragung.
2) Mengembangkan Cluster Wilayah di Kabupaten Banyuwangi berdasarkan
potensi dan arahan pengembangan, yaitu:
a) Cluster Banyuwangi Utara yang meliputi Kecamatan Wongsorejo,
Kalipuro, Giri, Licin, dan Glagah. Pusat pelayanan dan pertumbuhan di
cluster ini adalah Kota Banyuwangi.
Fungsi Kegiatan:
• Pertanian Tanaman Pangan
• Perkebunan
• Perikanan
• Peternakan
• Industri
• Pelabuhan
• Kawasan Lindung
• Pariwisata
b) Cluster Banyuwangi Tengah Timur yang meliputi Kecamatan Songgon,
Kabat, Singojuruh, Srono, Muncar, dan Cluring, dengan Kecamatan
Rogojampi sebagai pusat pelayanan dan pertumbuhan.
Fungsi Kegiatan:
• Pertanian tanaman pangan
• Perikanan
• Peternakan
• Perkebunan
• Industri
• Pendidikan
• Kawasan Lindung
• Bandar Udara
c) Cluster Banyuwangi Tengah Barat yang meliputi Kecamatan Kalibaru,
Glenmore, Tegalsari, dan Gambiran dengan Kecamatan Genteng

40
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

sebagai pusat pelayanan dan pertumbuhan.


Fungsi Kegiatan:
• 2.3.1 Pertanian tanaman pangan
• 2.3.2 Peternakan
• 2.3.3 Perkebunan
• 2.3.4 Pariwisata
• 2.3.5 Industri Kecil
• 2.3.6 Kawasan Lindung
d) Cluster Banyuwangi Selatan yang meliputi Kecamatan Pesanggaran,
Siliragung, dan Tegaldlimo, dengan Kecamatan Bangorejo sebagai
pusat pelayanan dan pertumbuhan.
Fungsi Kegiatan:
• Pertanian tanaman pangan
• Perikanan
• Perkebunan
• Pariwisata
• Industri Kecil
• Kawasan Lindung
3) Mendorong pertumbuhan wilayah ke arah Selatan dan Barat Kabupaten
Banyuwangi.
Strategi untuk pengendalian perkembangan kawasan perkotaan agar tidak
cenderung memusat di kawasan perkotaan Banyuwangi, Ketapang, dan
Rogojampi, meliputi:
a) Mengembangkan dan mempromosikan kawasan perkotaan kecamatan
khususnya di wilayah bagian selatan menjadi PKLp.
b) Mengembangkan kegiatan agropolitan untuk meningkatkan kualitas
hasil pertanian (perkebunan dan perikanan) di wilayah bagian selatan
dan barat.

4.3 Provinsi Kalimantan Timur

4.3.1 Kota Samarinda


Kota Samarinda, secara astronomis, terletak antara 0°21’81”- 1°09’16” Lintang
Selatan dan 116°15’16”-117°24’16” Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator
atau garis khatulistiwa. Kota ini terbelah oleh Sungai Mahakam dan dikelilingi oleh
Kabupaten Kutai Kartanegara. Luas wilayah Kota Samarinda sebesar 71.800 Ha dan
terbagi menjadi 10 kecamatan, 59 Kelurahan dan 1989 Rukun Tetangga. Kecamatan
Samarinda Utara merupakan kecamatan dengan luas paling besar sedangkan luas
wilayah terkecil berada di Kecamatan Samarinda Kota. Dilihat dari garis ketinggiannya,
Kota Samarinda memiliki topografi yang cenderung mendatar dan terletak di dataran
rendah, terbelah oleh Sungai dengan sebesar 42,77% luas daratan Kota Samarinda
terletak pada ketinggian 7-25 meter dari permukaan laut. Kota Samarinda memiliki
iklim tropis dengan suhu tertinggi adalah 28.20oC dengan kelembaban tertinggi
sebesar 84% dan mengalami curah dan hujan tertinggi pada bulan Mei.

41
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Peraturan tentang penataan ruang yang ada di Kota Samarinda tertuang dalam
Perda nomor 2 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda
Tahun 2014 – 2034. Disebutkan dalam perda tersebut bahwa penataan ruang Kota
Samarinda dimaksudkan untuk mewujudkan Kota Samarinda menjadi kota tepian
dengan basis ekonomi utama dari sektor perdagangan, jasa dan industri dengan tetap
berwawasan lingkungan dan hijau, serta mempunyai keunggulan daya saing untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perda ini dibuat dalam rangka percepatan
untuk memenuhi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Diakui oleh Kepala bidang Penataan Ruang Kota Samarinda bahwa penerapan perda
ini masih sulit akibat dari proses penyusunan yang kurang maksimal.

Sebagai upaya perbaikan serta dengan mempertimbangkan perkembangan


Kota Samarinda terlebih lagi untuk mengantisipasi rencana pemerintah untuk
memindahkan ibukota negara ke Kalimantan Timur, Pemerintah Kota Samarinda saat
ini mulai menggodok revisi RTRW. Isu-isu strategis yang dikedepankan dalam revisi
ini secara umum berupa:
1. Pengaruh Bandara APT Pranoto yang berpotensi mendorong alih fungsi lahan.
2. Penanganan kawasan resapan air dan kawasan rawan banjir.
3. Upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis (Pit dan lahan disposal).
4. Konektivitas antar kawasan dan pembatasan Conurbasi kota.

Revisi RTRW baru juga mengakomodir pemekaran wilayah administrasi yang terjadi
di Kota Samarinda. Kantor Pertanahan Kota Samarinda sebagai salah satu instansi
teknis terkait juga memberikan masukan supaya dalam penyusunan revisi RTRW juga
telah mempertimbangan data bidang tanah yang sudah memiliki hak kepemilikan.
Selain revisi RTRW, Dinas Perumahan dan Penataan Ruang Kota Samarinda sedang
melaksanakan penyusunan RDTR dan sudah melaksanakan sosialisasi publik sampai
ke tingkat kecamatan.

Terkait Insentif dan Disinsentif Kota samarinda belum menyusunnya secara khusus
karena peraturan RDTR juga masih dalam tahap penyusunan. Dalam RTRW Kota
Samarinda, Insentif dan Disinsentif sedikit disinggung pada pengendalian kawasan
cagar alam dan ilmu pengetahuan, kawasan strategis ekonomi. Fokus utama Dinas
Perumahan dan Penataan Ruang tahun ini masih pada revisi RTRW dan Penyusunan
RDTR.

4.3.2 Kota Balikpapan


Kota Balikpapan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959.
Terletak di antara 10 LS - 10 30’LS dan 1160 30’ BT - 1170 BT. Secara administratif,
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1996,
Kota Balikpapan terdiri dari 5 (lima) Kecamatan dan 27 (dua puluh tujuh) Kelurahan.
Namun sejak dikeluarkannya Perubahan Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor
7 Tahun 2012 tentang Pembentukan 7 (Tujuh) Kelurahan Dalam Wilayah Kota
Balikpapan, dan Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Pembentukan Kecamatan Balikpapan Kota Dalam Wilayah Kota Balikpapan, kini Kota
Balikpapan terdiri dari 6 (enam) Kecamatan dan 34 (tiga puluh empat) Kelurahan.

42
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Enam kecamatan tersebut antara lain: Balikpapan Selatan, Balikpapan Timur,


Balikpapan Utara, Balikpapan Tengah, Balikpapan Barat, dan Balikpapan Kota.

Berdasarkan ketinggiannya dari permukaan laut, Kota Balikpapan memiliki wilayah


yang berbukit-bukit dengan sedikit daerah landai di sekitar aliran sungai dan pesisir
pantai. Kota Balikpapan memiliki iklim tropis dengan hujan sepanjang tahun. Suhu
udara tertinggi sepanjang tahun 2017 tercatat pada bulan Februari, sebesar 34,8
derajat celsius dan terendah pada bulan Juli, sebesar 22,4 derajat celsius. Adapun
secara rata- rata, suhu udara tertinggi pada tahun 2017 tercatat pada bulan Oktober
dengan 28,1 derajat celsius dan terendah pada bulan Agustus dengan 26,8 derajat
celsius. Curah hujan tertinggi pada tahun 2017 tercatat pada bulan Mei dengan
535 mm dan terendah pada bulan Februari dengan 104 mm. Adapun curah hujan
maksimum 1 hari yang tercatat pada tahun 2017 terjadi pada bulan Maret, dengan
128,1 mm.

Seperti halnya Kota Samarinda, aturan pengendalian pemanfaatan ruang di Kota


Balikpapan juga masih pada tingkatan RTRW melalui Perda Nomor 12 Tahun 2012.
Disebutkan dalam peraturan ini bahwa tujuan penataan ruang Kota Balikpapan
adalah mendukung fungsinya sebagai pusat pertumbuhan nasional sebagai kota
jasa yang dinamis. RDTR sebagai aturan teknis yang lebih detil sudah dalam tahap
penyusunan. Proses penyusunanya sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak 2014
oleh Bappeda. Rapat sektoral juga telah dilaksnakan hanya saja prosesnya sempat
terkendala dengan dialihkannya Bidang Tata Ruang dari Bappeda ke dinas Pertanahan
dan Penataan Ruang pada 2017. Kendala lain yang dihadapi selama proses adalah
perubahan aturan sehingga draft yang sudah disusun harus disesuaikan dengan
aturan baru.

Keterlambatan penyusunan RDTR berakibat juga pada tertundanya aturan Insentif


dan Disinsentif di Kota Balikpapan yang baru direncanakan penyusunan naskah
akademisnya pada tahun 2020. Pemerintah kota sudah menyiapkan anggaran untuk
penyusunannya. Nantinya Kota Balikpapan akan dibagi menjadi 6 (enam) Bagian
Wilayah Perkotaan (BWP) dengan masing-masing mempunyai arahan tersendiri.
Prinsip yang ingin diterapkan dalam RDTR yang disusun ini adalah implementatif,
realistis dan berkeadilan. Tantangan yang dihadapi dalam penyusunan RDTR
adalah memadukan BWP dengan bermacam karakter dan memporsikan area yang
boleh dibangun dengan ruang terbuka hijau. Karakter Kota Balikpapan sebagai
kota perdagangan dan jasa tanpa memiliki keunggulan komparatif selain sektor
jasa, perdagangan dan industri, faktor peningkatan ekonomi tentunya menjadi
prioritas sehingga akan sulit untuk memberikan porsi untuk RTH dan lingkungan di
tengah tekanan investasi. RTH di Kota Balikpapan secara kuota bisa dikatakan telah
memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan. Hanya saja perlu usaha serius
untuk mempertahankannya untuk tetap menjadi kawasan hijau. Terlebih lagi di
tengah kenyataan bahwa dalam area yang telah ditetapkan sebagai kawasan hjau
tersebut juga dikuasai oleh masyarakat. Hal inilah yang dilihat oleh Pemerintah Kota
sebagai area untuk penerapan insentif dan disinsentif penataan ruang dengan cara
membuat kesepakatan dengan pemilik tanah.

43
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Pemahaman masyarakat Kota Balikpapan tentang tata ruang sudah tinggi ditandai
dengan masyarakat yang sudah mulai menyuarakan ketidakpuasan dengan
tata ruang terutama untuk kawasan Hutan Kota. Sebelumnya pemerintah Kota
Balikpapan secara tegas melarang segala bentuk pembangunan di atas kawasan hijau
ini. Kebijakan berupa disinsentif akan lebih dikedepankan untuk area hutan kota
yang berada pada tanah masyarakat. Disinsentif yang ditetapkan berupa penetapan
koefisien dasar hijau yang lebih besar. Disinsentif lainnya yang ditetapkan adalah
pemanfaatan terbatas selama masih sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan
hijau. Sebagai contoh pada hutan kota masyarakat masih bisa menggunakannya
sebagai lahan perkebunan nonhortikultura. Selain itu, pada area tertentu pemerintah
mendorong pemanfaatan kawasan hijau yang memiliki potensi pariwisata untuk
lebih bisa memberikan manfaat ekonomi dengan pembangunan kawasan wisata
dengan konsep agrowisata. Sebagai contoh saat ini sudah ada satu pengembang
yang mengajukan pembangunan taman rekreasi atas nama PT. Mirabelle Land di
lokasi Kecamatan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara.

4.4 Provinsi Sulawsi Selatan

4.4.1 Kota Makassar


Kota Makassar merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Sulawesi
Selatan dengan ibukota Rantepao dan terletak 119024’17,38”-119031’14,12” Bujur
Timur dan 5’8’6,19”-5013’48,87” Lintang Selatan dengan tipologi sebagai wilayah
pegunungan dengan ketinggian 1 – 22 meter dpl, yang sekaligus sebagai ibukota
Provinsi Sulawesi Selatan. Kota Makassar mempunyai posisi strategis karena berada
di persimpangan jalur lalu lintas dari arah selatan dan utara dalam provinsi di
Sulawesi, dari wilayah kawasan Barat ke wilayah kawasan Timur Indonesia dan dari
wilayah utara ke wilayah selatan Indonesia. Kota Makassar merupakan daerah pantai
yang datar dengan kemiringan 0 - 5 derajat ke arah barat, diapit dua muara sungai
yakni sungai Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan sungai Jeneberang yang
bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang
lebih 175,77 Km2.

4.4.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah


Pada hakikatnya lokasi pusat kegiatan ekonomi terdapat di kawasan-kawasan
perkotaan. Untuk dapat mewujudkan efisiensi pemanfaatan ruang sebagai tempat
berlangsungnya kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial budaya, maka kawasan
perkotaan perlu dikelola secara optimal melalui penataan ruang. Sebagai salah satu
proses kegiatan penataan ruang, penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan
perlu diselenggarakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata
Ruang Wilayah. Ruang dilihat sebagai wadah dimana keseluruhan interaksi sistem
sosial (yang meliputi manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya)
dengan ekosistem (sumber daya alam dan sumber daya buatan) berlangsung. Interaksi
ini tidak selalu secara otomatis berlangsung seimbang dan saling menguntungkan
berbagai pihak yang ada karena adanya perbedaan kemampuan, kepentingan dan
adanya sifat perkembangan ekonomi yang akumulatif. Oleh karena itu, ruang perlu

44
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan


yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan
kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal.

Penataannya perlu didasarkan pada pemahaman potensi dan keterbatasan alam,


perkembangan kegiatan sosial ekonomi yang ada, serta tuntutan kebutuhan
perikehidupan saat ini dan kelestarian lingkungan hidup di masa yang akan datang.
Upaya pemanfaatan ruang dan pengelolaan lingkungan ini dituangkan dalam suatu
kesatuan rencana tata ruang.

Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan


Ruang ada dua komponen utama yang membentuk tata ruang, yakni wujud struktural
dan pola pemanfaatan ruang. Sebagai suatu keadaan, tata ruang mempunyai ukuran
kualitas yang bukan semata menggambarkan mutu tata letak dan keterkaitan hirarkis,
baik antar kegiatan maupun antar pusat, akan tetapi juga menggambarkan mutu
komponen penyusunan ruang. Mutu ruang itu sendiri ditentukan oleh terwujudnya
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan
factor daya dukung lingkungan, fungsi lingkungan, lokasi, dan struktur (keterkaitan
jaringan infrastruktur dengan pusat permukiman dan jasa).

Arahan Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2013 Arahan tata ruang wilayah
Kota Makassar itu terbagi menjadi kawasan bandara terpadu, kawasan bisnis lokal,
kawasan budaya terpadu, kawasan industri terpadu, kawasan maritim terpadu,
kawasan olahraga terpadu, kawasan pariwisata terpadu, kawasan pelabuhan
terpadu, kawasan pendidikan terpadu, kawasan pelabuhan terpadu, kawasan
pendidikan terpadu, kawasan penelitian terpadu, kawasan pergudangan terpadu,
kawasan permukiman terpadu, kawasan pusat kota.

Secara umum pusat kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan pemerintahan berada
di kawasan perkotaan. Secara umum pula kebutuhan hasil pertanian diproduksi
di kawasan perdesaan untuk memenuhi kebutuhan wilayah Kota Makassar dan
wilayah luarnya, baik berupa bahan mentah maupun barang siap konsumsi. Begitu
juga sebaliknya kebutuhan barang hasil industri manufaktur diproduksi atau
disalurkan melalui kawasan perkotaan. Agar interkoneksitas antar pusat kegiatan,
serta pelayanan prasarana wilayah efisien dan efektif maka perlu diwujudkan sistem
interkoneksitas antar kawasan perkotaan dan perdesaan yang berdaya guna besar.
Sistem perkotaan Kota Makassar dibangun dengan beberapa pusat kegiatan seperti
pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal maupun subpusat kegiatan lokal,
serta kawasan perkotaan berupa kota, ibukota kabupaten, ibukota kecamatan dan
kawasan pusat pertumbuhan industri dan perdagangan yang padat dengan kegiatan
perkotaan dan fasilitas permukiman.

Berdasarkan visi dan misi pembangunan Daerah Kota Makassar, maka penataan ruang
Kota Makassar bertujuan untuk mewujudkan tatanan ruang wilayah Kota Makassar
yang nyaman, aman, produktif, asri dan lestari, melalui peningkatan fungsi kawasan
lindung, pengembangan pariwisata budaya dan alam, serta pemanfaatan potensi-
potensi pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, yang bermuara pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Kebijakan penataan

45
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

ruang wilayah kabupaten merupakan arah tindakan yang harus ditetapkan untuk
mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabupaten.

Berdasarkan visi dan misi serta tujuan penataan ruang wilayah Kota Makassar maka
kebijakan penataan ruang wilayah di Kota Makassar adalah sebagai berikut:
1. pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan;
2. pengembangan prasarana wilayah;
3. peningkatan fungsi kawasan lindung;
4. peningkatan sumber daya hutan produksi;
5. peningkatan sumber daya lahan pertanian, perkebunan, peternakan dan
perikanan;
6. pengembangan potensi pariwisata;
7. pengembangan potensi pertambangan;
8. pengembangan potensi industri;
9. pengembangan potensi perdagangan;
10. pengembangan potensi pendidikan;
11. pengembangan potensi permukiman;
12. peningkatan kualitas sumber daya manusia; dan;
13. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan Keamanan Negara.

Gambar 4. Peta Rencana Pola Ruang Kota Makassar

Sumber: Perda Nomor 4 Tahun 2015 Tentang RTRW Kota Makassar 2015-2034

46
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

4.4.1.2 Potensi Pengembangan Wilayah


Untuk mendukung struktur ruang yang direncanakan, rencana hirarki pusat
pelayanan wilayah Kota Makassar dibagi menjadi 3 hirarki. Secara struktur ruang,
sistem perkotaan RTRW Kota Makassar disusun berdasarkan klasifikasi menurut
sistem pusat pelayanannya sebagai berikut:
1. Pusat Pelayanan Kota (PPK), untuk melayani seluruh wilayah kota dan/atau
regional dalam aglomerasi fasilitas pelayanan tingkat kota dan/atau regional;
2. Subpusat Pelayanan Kota (Sub-PPK), untuk melayani subwilayah kota dalam
pelayanan internal wilayah;
3. Pusat Lingkungan (PL), untuk melayani bagian wilayah kota dalam skala lingkungan.

A. Pusat Pelayanan Kota


Pusat Pelayanan Kota merupakan pusat pelayanan ekonomi, sosial, dan/atau
administrasi yang melayani seluruh wilayah kota dan/atau regional. Adapun sistem
perkotaan dalam pusat pelayanan kota (PPK) Kota Makassar sebagaimana dimaksud
di atas terdiri atas 3 (tiga) PPK meliputi:
1. PPK I berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan kota, pusat kegiatan
budaya, dan pusat perdagangan dan jasa, landmark kota dan ruang terbuka hijau
di kawasan pusat kota dan bagian Barat Kota ditetapkan:
1) Kawasan Pemerintahan Kota di Kecamatan Ujung Pandang dan Kecamatan
Makassar;
2) Kawasan Karebosi dan sekitarnya di Kecamatan Ujung Pandang;
3) Kawasan perdagangan dan jasa di sebagian wilayah Kecamatan Wajo,
sebagian wilayah Kecamatan Bontoala, dan sebagian Kecamatan Ujung
Pandang;
4) Kawasan Pecinan dan sekitarnya di Kecamatan Wajo;
5) Kawasan Benteng Fort Rotterdam di Kecamatan Ujung Pandang; dan
6) Kawasan Losari dan sekitarnya di Kecamatan Ujung Pandang.
2. PPK II berfungsi sebagai pusat kegiatan maritim skala internasional, nasional, dan
regional ditetapkan di kawasan pengembangan pesisir bagian Utara di sebagian
wilayah Kecamatan Ujung Tanah, sebagian wilayah Kecamatan Tallo, sebagian
wilayah Kecamatan Tamalanrea, dan sebagian wilayah Kecamatan Biringkanaya
dan pusat kegiatan yang menunjang dan mendukung kegiatan kebandarudaraan
skala internasional, nasional, dan regional di sebagian wilayah Kecamatan
Biringkanaya.
3. PPK III berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan provinsi di Kecamatan
Panakkukang, pusat kegiatan pendidikan dan penelitian skala internasional,
nasional, dan regional ditetapkan di Kecamatan Panakkukang, dan Kecamatan
Tamalanrea, serta pusat kegiatan industri dan pergudangan dengan skala
pelayanan tingkat internasional, nasional, dan regional ditetapkan di sebagian
wilayah Kecamatan Tamalanrea, dan sebagian wilayah Kecamatan Biringkanaya.
4. PPK IV berfungsi sebagai pusat kegiatan bisnis global skala internasional,
nasional, dan regional ditetapkan pada kawasan pengembangan pesisir di
sebagian Kecamatan Tamalate dan sebagian Kecamatan Mariso, pusat kegiatan

47
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

bisnis di sebagian wilayah Kecamatan Rappocini, serta pusat kegiatan pertemuan,


pameran, dan sosial budaya skala internasional, nasional, dan regional ditetapkan
di sebagian wilayah Kecamatan Mariso dan sebagian wilayah Kecamatan Tamalate.

B. Sub Pusat Pelayanan Kota


Subpusat pelayanan kota merupakan pusat pelayanan ekonomi, sosial, dan/atau
administrasi yang melayani subwilayah kota. Pada subwilayah kota dilengkapi
minimal fasilitas-fasilitas: permukiman, peribadatan, bina sosial, olahraga/rekreasi
skala kota, pemerintahan, pariwisata, penidikan, kesehatan, perbelanjaan/niaga,
dan transportasi. Terdapat 10 (sepuluh) subpusat pelayanan kota dalam wilayah Kota
Makassar, antara lain:
1. Sub-PPK I ditetapkan pada Kawasan Daya yang meliputi: sebagian Kecamatan
Tamalanrea dan sebagian Kecamatan Biringkanaya dengan fungsi sebagai pusat
kegiatan perumahan kepadatan sedang, pusat kegiatan perumahan kepadatan
tinggi, pusat pelayanan penelitian dan pendidikan tinggi, pusat kegiatan
perdagangan dan jasa, serta pusat kegiatan yang mendukung kegiatan bandar
udara, pusat pelayanan olahraga, pusat pelayanan kesehatan, dan pusat kegiatan
industri dan pergudangan;
2. Sub-PPK II ditetapkan pada Kawasan Untia yang meliputi: sebagian Kecamatan
Tamalanrea dan sebagian Kecamatan Biringkanaya dengan fungsi sebagai pusat
kegiatan perumahan kepadatan sedang, pusat kegiatan perumahan kepadatan
tinggi, pusat pelayanan penelitian dan pendidikan tinggi, dan pusat kegiatan
maritim;
3. Sub-PPK III ditetapkan pada Kawasan Manggala yang meliputi: Kecamatan
Manggala dengan fungsi sebagai pusat kegiatan perumahan kepadatan sedang,
dan pusat kegiatan perumahan kepadatan tinggi, serta kegiatan industri;
4. Sub-PPK IV ditetapkan pada Kawasan Tallo yang mencakup Kecamatan Tallo
dan Kecamatan Ujung Tanah dengan fungsi sebagai pusat kegiatan perumahan
kepadatan sedang, pusat kegiatan perumahan kepadatan tinggi, pusat kegiatan
industri, pusat pelayanan budaya, dan pusat kegiatan transportasi laut;
5. Sub-PPK V ditetapkan pada Kawasan Panakkukang yang mencakup Kecamatan
Panakkukang dan Kecamatan Rappocini dengan fungsi sebagai pusat kegiatan
perumahan kepadatan sedang, pusat kegiatan perumahan kepadatan tinggi,
pusat kegiatan perdagangan dan jasa, dan pusat pelayanan penelitian dan
pendidikan tinggi;
6. Sub-PPK VI ditetapkan pada Kawasan Losari yang mencakup Kecamatan Mariso,
Kecamatan Ujung Pandang, dan Kecamatan Wajo dengan fungsi sebagai pusat
kegiatan perumahan kepadatan sedang, pusat kegiatan perumahan kepadatan
tinggi, pusat kegiatan perdagangan dan jasa, pusat kegiatan pariwisata,
pusat kegiatan sosial budaya, pusat pelayanan kesehatan, dan pusat kegiatan
transportasi laut;
7. Sub-PPK VII ditetapkan pada Kawasan Sentral di Kecamatan Bontoala dengan
fungsi kegiatan sebagai pusat kegiatan perumahan kepadatan sedang, pusat
kegiatan perumahan kepadatan tinggi, dan pusat kegiatan perdagangan dan jasa;

48
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

8. Sub-PPK VIII ditetapkan pada Kawasan Mattoanging yang mencakup Kecamatan


Mamajang, dan Kecamatan Makassar dengan fungsi sebagai pusat kegiatan
perumahan kepadatan sedang, pusat kegiatan perumahan kepadatan tinggi, pusat
pelayanan kesehatan, pusat kegiatan olahraga, dan pusat kegiatan perdagangan
dan jasa;
9. Sub-PPK IX ditetapkan pada Kawasan Barombong di Kecamatan Tamalate dengan
fungsi kegiatan sebagai pusat kegiatan perumahan kepadatan sedang.
C. Pusat Lingkungan
Pusat kegiatan lingkungan merupakan penghubung dari pusat kegiatan lokal.
Zona ini menjadi nodes yang berperan dalam kawasan local sprawl di sekitarnya
yang didasarkan pada radius pelayanan yang efektif dan efisien. Sementara sistem
perkotaan untuk pusat lingkungan sebagaimana dimaksudkan di atas meliputi
kawasan-kawasan fungsional yang berperan penting terhadap kerangka struktur
ruang kota. Pusat lingkungan berfungsi sebagai pusat pelayanan lokal yang terdiri
atas pusat-pusat pelayanan pada skala kecamatan dan/atau kelurahan dilengkapi
fungsi pelayanan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, olahraga/
rekreasi, perdagangan dan jasa, bina sosial, dan transportasi. Sebaran lokasi dan
ketentuan pengembangan PL diatur lebih rinci dalam RDTRK. Sistem struktur ruang
Kota Makassar disusun berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, sistem
transportasi nasional, sistem struktur Pulau Sulawesi, Rencanan Tata Ruang Wilayah
Kawasan Perkotaan Mamminasata, RTRWP Provinsi Sulawesi Selatan, dan sistem
perkotaan Kota Makassar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Peta Rencana
Struktur Ruang Kota Makassar 2015 - 2034 sebagai berikut:

Gambar 5. Peta Rencana Struktur Ruang Kota Makassar

Sumber: Perda Nomor 4 Tahun 2015 Tentang RTRW Kota Makassar 2015-2034

49
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

4.4.2 Kabupaten Gowa


Kabupaten Gowa merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi
Selatan dengan ibukota Sungguminasa dan terletak diantara 119°21’33” BT -
120°1’59” BT dan 5° 5’20”- 5°34’3” LS yang merupakan salah satu daerah kabupaten
di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Secara administrasi wilayah, kabupaten ini
dibagi dalam 18 kecamatan dan 167 desa/kelurahan dengan luas total 181.476,44 Ha
atau sama dengan 3,01 persen dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Wilayah
Kabupaten Gowa sebagian besar merupakan dataran tinggi yaitu sekitar 72,26 persen.
Ada 9 wilayah kecamatan yang merupakan dataran tinggi yaitu Parangloe, Manuju,
Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan
Biringbulu. Dari total luas Kabupaten Gowa 35,30 persen mempunyai kemiringan
tanah di atas 40 derajat, yaitu pada wilayah kecamatan Parangloe, Tinggimoncong,
Bungaya dan Tompobulu.

Kabupaten Gowa dilalui oleh banyak sungai yang cukup besar yaitu ada 15 sungai,
yang terdiri dari sungai Jeneberang, Sungai Sapaya, Sungai Pa’bundukang, Sungai
Bikampang, Sungai Lembaya, Sungai Koccikang, Sungai Tanru Rusa, Sungai Sicini,
Sungai Batang Kaliki, Sungai Takapala, Sungai Je’nelata, Sungai Passosoka, Sungai
Pallappakang, Sungai Malino dan Sungai Cadika. Sungai dengan luas daerah aliran
yang terbesar adalah Sungai Jeneberang, dimana total daerah aliran sungai di
Kabupaten Gowa seluas 2.192,83 Ha.

Perkembangan kota dan daerah saat ini semakin dinamis, cepat dan membawa
dampak yang besar bagi lingkungan, kualitas pelayanan, kesehatan dan kesejahteraan
warga kota. Perkembangan kota yang pesat membutuhkan perencanaan yang tepat,
antisipatif, prospektif, dan didukung oleh semua pihak. Perencanaan tata ruang
wilayah baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, kota maupun kawasan sangat
penting untuk mengarahkan pembangunan, baik fisik maupun social dan ekonomi.
Ruang sendiri memiliki arti sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan,
dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya
hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-
unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan
yang secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan lainnya membentuk
tata ruang; diantaranya meliputi hirarki pusat pelayanan seperti pusat desa dan/atau
kawasan, lingkungan; prasarana jalan, dan sebagainya. Sementara pola pemanfaatan
ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran fungsi, serta
karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam; diantaranya meliputi pola lokasi,
sebaran permukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan
tanah perdesaan.

Kebutuhan atau tingkat kepentingan wujud struktural dan pola pemanfaatan


ruang secara bersamaan akan berbeda untuk setiap tingkatan rencana tata ruang
kawasan perdesaan. Pada tingkat rencana struktur, kebutuhan akan keserasian
dan keterkaitan sistem pusat-pusat menjadi prioritas utama dibandingkan dengan

50
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

kebutuhan akan pola pemanfaatan ruang. Sebaliknya, rencana teknis ruang akan lebih
menitikberatkan kebutuhan pengaturan tata letak dibandingkan keterkaitan sistem
pusat-pusat secara hirarkis. Pada hakikatnya lokasi pusat kegiatan ekonomi terdapat
di kawasan-kawasan perkotaan. Untuk dapat mewujudkan efisiensi pemanfaatan
ruang sebagai tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial budaya,
maka kawasan perkotaan perlu dikelola secara optimal melalui penataan ruang.

Sebagai salah satu proses kegiatan penataan ruang, penyusunan rencana tata ruang
kawasan perkotaan perlu diselenggarakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari Rencana Tata Ruang Wilayah. Ruang dilihat sebagai wadah dimana keseluruhan
interaksi sistem sosial (yang meliputi manusia dengan seluruh kegiatan sosial,
ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumber daya alam dan sumber daya
buatan) berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara otomatis berlangsung seimbang
dan saling menguntungkan berbagai pihak yang ada karena adanya perbedaan
kemampuan, kepentingan dan adanya sifat perkembangan ekonomi yang akumulatif.
Oleh karena itu, ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan
dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup
lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara
optimal.

Penataannya perlu didasarkan pada pemahaman potensi dan keterbatasan alam,


perkembangan kegiatan sosial ekonomi yang ada, serta tuntutan kebutuhan peri
kehidupan saat ini dan kelestarian lingkungan hidup di masa yang akan datang.
Upaya pemanfaatan ruang dan pengelolaan lingkungan ini dituangkan dalam suatu
kesatuan rencana tata ruang. Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 20
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; ada dua komponen utama yang membentuk
tata ruang, yakni wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang. Sebagai suatu
keadaan, tata ruang mempunyai ukuran kualitas yang bukan semata menggambarkan
mutu tata letak dan keterkaitan hirarkis, baik antar kegiatan maupun antar pusat,
akan tetapi juga menggambarkan mutu komponen penyusunan ruang. Mutu ruang
itu sendiri ditentukan oleh terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor daya dukung lingkungan, fungsi
lingkungan, lokasi, dan struktur (keterkaitan jaringan infrastruktur dengan pusat
permukiman dan jasa).

Arahan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gowa Tahun 2003 yang menjadi acuan dalam
pembuatan Neraca Penatagunaan Tanah Tahun 2012. Arahan tata ruang wilayah
Kabupaten Gowa itu terbagi menjadi kawasan hutan produksi biasa, kawasan hutan
produksi terbatas, kawasan industri, kawasan lindung, kawasan rencana waduk bili-
bili, kawasan tanaman pangan lahan basah, kawasan tanaman tahunan, kawasan
tanaman tahunan dan tanaman pangan, saluran irigasi, jalan dan sungai. Sebagian
besar arahan tata ruang di Kabupaten Gowa merupakan Kawasan Tanaman Tahunan
dengan luas mencakup 62.422,45 Ha atau 34,40%, dan yang tekecil adalah Kawasan
Industri seluas 583,60 Ha atau 0,32%.

Selain itu, ada Kawasan Lindung yang merupakan kawasan Hutan dimana definisi
kawasan lindung menurut UU Nomor 5 Tahun 1990, kawasan lindung/kawasan
penyangga terbagi menjadi dua jenis kawasan: (1) Kawasan Suaka Alam, (2) Kawasan

51
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Pelestarian Alam. Dimana luas kawasan lindung di Kabupaten Gowa seluas 50.975,86
Ha atau sama dengan 28,09% luas Kabupaten Gowa. Kawasan tanaman pangan lahan
basah merupakan kawasan yang sifatnya dipertahankan untuk menjaga stabilitas
pangan daerah tersebut atau pangan nasional yang umumnya terdiri dari lahan basah
persawahan dan areal tanam lainnya. Kawasan tanaman pangan lahan basah ini
seluas 30.028,25 Ha atau 16,55%. Kawasan Hutan Produksi Biasa di Kabupaten Gowa
dengan luas 20.122,33 Ha atau 11,09% dan Hutan Produksi Terbatas dengan luas
10.309,77 Ha atau 5,68%. Adapula Kawasan tanaman tahunan dan tanaman pangan
meliputi jenis tanaman-tanaman tahunan seperti tanaman-tanaman perkebunan
untuk RTRW dialokasikan seluas 2.529,58 Ha atau 1,39%. Selain itu, kawasan rencana
waduk bili-bili meliputi luas 1.558,25 Ha atau 0,86%. Sementara Kawasan industri
yang cukup kecil seluas 583,60 Ha atau seluas 0,32%. Sungai dengan luas 2.192,83
Ha atau 1,21% dan jalan dalam RTRW dengan luas 693,92 Ha atau 0,38% dan saluran
irigasi dengan luas 59,62 Ha atau 0,03%.

4.5 Provinsi Sumatera Utara

4.5.1 Kota Medan


Kota Medan terletak antara 30 27’ - 30 47’ Lintang Utara dan 980 35’ - 980 44’ Bujur
Timur dengan ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut. Kota Medan
merupakan salah satu dari 33 Daerah Tingkat II di Sumatera Utara dengan luas
daerah sekitar 265,10 km². Administrasi pemerintahan Kota Medan terdiri atas 21
kecamatan dengan 151 kelurahan yang terbagi dalam 2.001 lingkungan. Kota ini
merupakan pusat pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Batas administrasi
Kota Medan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara, Selatan,
Barat dan Timur.

Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah yang merupakan
tempat pertemuan dua sungai penting, yaitu Sungai Babura dan Sungai Deli. Kota
Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum pada tahun 2017 sebesar
23,3 0C dan suhu maksimum yaitu 34,30C. Kelembaban udara di wilayah Kota Medan
rata-rata 78 - 85%, dan kecepatan angin rata-rata sebesar 2,4m/sec, sedangkan curah
hujan tercatat sebesar 179 mm perbulannya.

Arahan penataan ruang di Kota Medan dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor
13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011 –
2031. Namun sejalan dengan dinamisme yang terjadi di Kota Medan, RTRW yang ada
sekarang tidak bisa mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi sehingga saat
ini Pemerintah Kota Medan sedang mempersiapkan revisi peraturan RTRW. Salah
satu isu yang menjadi perhatian adalah masalah ketimpangan pembangunan yang
terjadi di wilayah Kota Medan yaitu wilayah utara dengan selatan.

Sebagai aturan turunan yang mengatur secara detil keruangan Kota Medan
terdapat Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Detil Tata Ruang
dan peraturan Zonasi Kota Medan. Peraturan ini disusun sebagai alat operasional
pelaksanaan pembangunan wilayah di Kota Medan yang dilakukan melalui
mekanisme pengendalian perizinan. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa ruang

52
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

lingkup perencanaan detil tata ruang Kota Medan dibagi menjadi 21 BWP, 151 SBWP
dan 312 Blok yang mencakup luasan sebesar 29.204,9 hektar. Dalam peraturan ini
juga sudah diatur tentang peraturan zonasi yang salah satu fungsinya sebagai acuan
dalam pemberian insentif dan disinsentif. Selain itu terdapat pula Peraturan Walikota
Medan Nomor 60 Tahun 2018 tentang Ketentuan Variansi Pemanfaatan Ruang
Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Medan.

Kota Medan sampai saat ini belum memiliki peraturan spesifik tentang insentif maupun
disinsentif yang secara legal formal diterapkan sebagai mekanisme pengendalian
pemanfaatan ruang di Kota Medan. Dinas teknis yang secara operasional membidangi
masalah ini adalah Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Penataan Ruang
saat ini masih melaksanakan proses penyusunan draft insentif dan disinsentif tata
ruang bersama dengan pihak ketiga (konsultan). Dari sini diharapkan akan dihasilkan
formula tentang mekanisme insentif disinsentif yang lebih bersifat nonfiskal. Draft ini
nantinya akan diajukan pada pembahasan rapat TKPRD sebelum di sahkan menjadi
peraturan walikota.

Sementara itu dalam Peraturan RDTR dan Zonasi yang sudah ada sebenarnya
sudah dimasukkan beberapa ketentuan insentif disinsentif, hanya saja baru sebatas
penerapan ketetapan yang dilakukan secara sporadis dengan memperhatikan
kecenderungan eksisting bangunan sekitar yang ada. Sebagai contoh, pada kawasan
yang ditetapkan pada RDTR sebagai zona R1 yang berarti tipe bangunan kecil
dengan kerapatan tinggi tetapi secara existing sudah ada bangunan dengan type
besar dan tunggal maka diterapakan disinsentif berupa tidak boleh membangun
bangunan kecil-kecil. Dalam hal ini hanya disinsentif yang dikenakan dan tidak ada
mekanisme pemberian insentif. Bentuk disinsentif lainnya yang dikenakan lebih
lanjut berupa IMB yang tidak bisa terbit jika tidak mengikuti sekitar. Sedangkan
untuk ketentuan variansi sejatinya sudah dicoba diterapkan hanya saja belum efektif
berjalan. Salah satu penyebabnya adalah masih tersedianya lahan di lokasi lainnya di
Kota Medan yang masih bisa dipergunakan sebagai alternatif pengembangan alih-
alih mengembangkan, semisal untuk menambah KLB, di kawasan yang ditetapkan
sebagai zona khusus Transfer Right Development ataupun Minor Variance.

Sedangkan insentif dan disinsentif yang untuk saat ini paling realistis untuk
dilaksanakan serta paling applicable menurut Bappeda Kota Medan adalah penerapan
insentif dan disinsentif pada cagar budaya. Sejauh ini Bappeda Kota Medan memiliki
perhatian khusus pada kawasan cagar budaya yang disebut mencapai jumlah lebih
dari 2.000 bangunan peninggalan masa lalu. Bappeda Kota Medan melihat perlu
adanya intervensi terkait dengan keberadaan cagar budaya ini disebabkan banyaknya
bangunan-bangunan ini yang telah berubah fungsi yang berpotensi merubah bentuk
asli bangunan itu sendiri. Perubahan fungsi yang terjadi ditengarai akibat lokasi-
lokasi bagunan tersebut yang berada di pusat kota yang memiliki besaran pajak yang
lebih tinggi dibanding kawasan lainya. Dengan adanya tekanan dari sektor pajak ini
tentunya pemilik akan mempertimbangkan penggunaan dengan fungsi yang lebih
bernilai ekonomis daripada hanya sekedar rumah tinggal dan tanpa pemanfaatan.

Sebagai dasar untuk mendukung rencana tersebut Bappeda Kota Medan sudah
melakukan kajian independen dengan mengambil sampel pada 95 bangunan cagar

53
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

budaya dengan berbagai fungsi penggunaan. Dalam kajian ini dihasilkan beberapa
mekanisme insentif dan disinsentif yang bisa untuk diterapkan pada objek-objek
bangunan cagar budaya yang ada di Kota Medan. Pemerintah Kota Medan sendiri
menganggarkan biaya untuk pelestarian cagar budaya sebesar Rp.2.535.550.000
pada tahun 2018. Berikut adalah skema pemberian insentif disinsentif yang dihasilkan
dalam kajian tersebut.

Tabel 3. Skema Insentif dan Disinsentif

INSENTIF DISINSENTIF
FISKAL
Pemberian Keringanan pajak Pengenaan Pajak yang Tinggi
• Pemberian pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk • Pengenaan pajak bumi dan
seluruh cagar budaya di Kota Medan sebesar 0% bangunan (PBB) yang tinggi bagi
bangunan cagar budaya yang tidak
memelihara bangunan secara baik
Kemudahan Proses Perizinan Kesulitan Proses Perizinan
• Pengurangan biaya izin • Persyaratan khusus dalam perizinan
• Pengurangan waktu perizinan sehingga menjadi lebih singkat
• Percepatan pelaksanaan koordinasi terkait perijinan
NON FISKAL
Pemberian Kompensasi (Perda Kota Medan No. 13 Tahun 2013; Sanksi
Permen PU Nomor 45/PRT/M/2007) Sanksi Administratif misalnya saja :
• Imbalan berupa uang atau bukan uang misalnya saja berupa bantuan • Peringatan Tertulis
tenaga atau bantuan bahan bangunan sebagian dari biaya pelestarian • Penghentian Sementara
kepada pemilik bangunan. • Pencabutan izin
• Pemberian bantuan bangunan dalam pelestarian bangunan cagar • Pembongkaranbangunan
budaya sesuai dengan
a. Kerusakan ringan :
biaya perawatan maks 30% HSBGN
b. Kerusakan sedang :
biaya perawatan maks 45% HSBGN
c. Kerusakan berat :
biaya perawatan maks 65% HSBGN
Advokasi • Pemerintah Kota Medan tidak
• Penghargaan membantu publikasi cagar budaya
Pemberian penghargaan, berbentuk sertifikat, plakat, serta tanda sebagai paket kegiatan wisata
penghargaan kepada pemilik cagar budaya yang mampu melestarikan daerah atau tidak mempublikasi
bangunannya. serta tidak mempromosikan cagar
• Publikasi atau Promosi budaya tersebut
Pemerintah daerah mengadakan event-event khsusus dalam bentuk
dokumentasian Audio Visual yang isinya sebuah media informasi
mengenai cagar budaya yang ada di Kota Medan/membantu
publikasi cagar budaya sebagai paket kegiatan wisata daerah
Perbantuan • Pembatasan penyediaan
• Bantuan penyediaan sarana dan prasarana termasuk peningkatan infrastruktur
kualitas fisik lingkungan prasarana dasar seperti jalan/aksebilitas
menuju cagar budaya, drainase
• Dukungan teknsi antara lain advis teknis, bantuan tenaga ahli, dan
bantuan penyedia jasa yang kompeten dibidang bangunan cagar
budaya seperti :
a. Dokumen rencana teknis bangunan gedung cagar budaya
b. Mendapatkan desain (DED)
c. Mendapatkan studi kelayakan Pemeliharaan bangunan (Buffing/
membersihkan lantai, pembersihan dinding/pengecatan, high
dusting/menghilangkan debu, sarang laba-laba, pembersihan
logam/pintu, jendela dan bahan-bahan bersifat logam sesuai
dengan

54
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Sistem pengaturan pemanfaatan ruang di Kota Medan bisa dikatakan sudah cukup
baik, dimana pemerintah kota sudah menyusun rencana tata ruang sampai pada
level detail yang dilengkapi dengan peraturan zonasi dan ketentuan-ketentuan
teknis lainya. Hal ini dikarenakan stakeholder utama yang membidangi tata ruang
menaruh perhatian yang tinggi pada perencanaan dan penataan ruang kota.
Dukungan sumber daya yang ada pada dinas-dinas teknis juga memadai dengan
latar belakang pendidikan perencanaan wilayah yang secara aktif juga melakukan
konsultasi bukan hanya dengan pemerintah pusat tapi juga menjalin komunikasi
dengan Ikatan Asosisasi Perencana (IAP). Dukungan penuh juga datang dari level
pengambil kebijakan melalui Sekretaris Daerah yang selalu mendorong penyegeraan
penyusunan peraturan penataan ruang.

Di samping faktor-faktor pendukung di atas pengendalian pemanfaatan ruang di Kota


Medan juga menghadapi beberapa kendala. Proporsi ruang terbuka hijau yang masih
belum terpenuhi secara fisik menjadi yang pertama. Saat ini pemerintah Kota Medan
baru bisa memenuhi RTH sebesar 7 persen untuk memenuhi ketentuan 10 persen RTH
public dan 20 persen RTH private pemerintah kota melakukan pembelian lahan yang
berada pada area yang ditetapkan sebagai RTH dengan menyediakan dana sebesar
10 milyar rupiah. Akan tetapi besaran tersebut tentunya masih belum mampu untuk
bisa mengganti lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai RTH. Penetapan RTH ini
juga menimbulkan implikasi berupa resistensi dan perlawanan dari masyarakat.

Kendala pertama adalah tidak sinkronya RTRW Kota Medan dengan RTRW provinsi.
Sebagai contohnya adalah penetapan area Bandara Polonia, yang pada RTRW kota
yang disusun lebih dahulu sudah diubah menjadi pemanfaatnya menjadi Central
Business District (CBD) sementara pada RTRW provinsi yang notabene disusun
belakangan. Hal ini menimbulkan status quo untuk pemanfatan di area bandara lama
tersebut.

Kendala kedua yang ditemukan berupa forum TKPRD kurang dimanfatkan secara
maksimal. Selama ini forum tersebut hanya dipergunakan untuk pembahasan
permohonan case by case dan belum sampai pada pembahasan kebijakan. Hal ini
sebenarnya mengindikasikan kurangnya koordinasi antar stakeholder yang ada di
pemerintahan Kota Medan. Capaian-capaian terkait penataan ruang yang ada bisa
jadi hanya merupakan effort dari dinas teknis penataan ruang dengan dukungan-
dukungan yang telah dibahas di atas. Akan tetapi dengan dengan pernyataan
Kepala Bidang Penataan Ruang yang akan membawa pembahasan tentang Insentif
Disinsentif ke TKPRD diharapkan forum ini menjadi lebih maksimal yang berimbas
pada penataa ruang Kota Medan yang lebih baik.

4.5.2 Kabupaten Deli Serdang


Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu Kabupaten yang berada di kawasan
Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis, Kabupaten Deli Serdang berada pada
2°57’ Lintang Utara sampai 3°16’ Lintang Utara dan 98°33’ Bujur Timur sampai 99°27’
Bujur Timur. Kabupaten Deli Serdang memiliki wilayah seluas 2.497,72 km2 yang
terdiri dari 22 kecamatan dan 394 desa/kelurahan definitif. Di Kabupaten Deli Serdang
dikenal hanya dua musim, yaitu musim kemarau dan penghujan. Pada bulan Juni

55
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

sampai dengan September terjadi musim kemarau sedangkan pada bulan Desember
sampai dengan Maret terjadi musim hujan. Masa peralihan terjadi pada bulan April-
Mei dan Oktober-Nopember. Tercatat pada tahun 2016 terdapat rata -rata 17-18
hari hujan dengan volume curah hujan sebanyak rata-rata 161,42 mm. Curah hujan
terbesar terjadi pada bulan Oktober yaitu 323 mm dengan hari hujan sebanyak 26
hari. Sedangkan curah hujan paling kecil terjadi pada bulan Maret sebesar 11 mm
dengan hari hujan 6 hari.

Peraturan penataan ruang di Kabupaten Deli Serdang berupa Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) masih dalam tahap penyusunan. Peraturan sebelumnya yang dipakai
sebagai acuan penataan ruang adalah Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2014
tentang Rencana Umum Tata Ruang Kecamatan tahun1999-2009. Proses penyusunan
RTRW sebenarnya sudah di inisiasi semenjak 2007 hanya saja terkendala pada level
legislatif. Untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007
yang mewajibkan penyusunan RTRW, maka penyususnan RTRW dilakukan dengan
merujuk dan mengakomodir Perda nomor 11 tahun 2004. Ketidakpahaman anggota
legislatif dengan perda tersebut menimbulkan miskomunikasi yang berujung pada
berlarutnya proses penyusunan RTRW. Dengan ketiadaan peraturan umum (RTRW)
tersebut maka peraturan detil RDTR terlebih lagi peraturan turunan selanjutnya
seperti Insentif Disinsentif juga dipastikan belum disusun.

Meskipun belum ada rencana khusus untuk penyusunan peraturan terkait


insentif disinsentif, Dinas Penataan Ruang melalui Kepala Bidang Penataan Ruang
menyampaikan fokus dan gagasan indis untuk lokasi LP2B. Peraturan Daerah secara
khusus akan dibuat untuk mengakomodir mekanismenya untuk melindungi areal
sawah dengan irigasi teknis supaya tidak beralih fungsi. Lebih lanjut disampaikan
bahwa bentuk insentif yang mungkin diberikan masih berupa bibit, pupuk dan
alsintan dengan merujuk pada Perpres nomor 59 tahun 2019 tentang Pengendalian
Alih Fungsi Lahan sawah. Namun untuk menuju kesana bukanya tanpa masalah.
Dalam penetapan LP2B sudah terdapat kendala berupa ketidaksepahaman mengenai
definisi LP2B dengan lahan sawah. Hal ini menjadi kendala dalam penetapan kawasan
LP2B atau sawah saja. Perbedaan data luas sawah eksisting secara spasial dengan data
luas pada Dinas Pertanian juga berpotensi menjadi kendala penetapan LP2B sebelum
sampai pada tahap pemberian insentif. Dengan kondisi dan permasalahan yang
sekarang ada di Kabupaten Deli Serdang yang sangat kompleks maka pelaksanaan
insentif dan disinsentif untuk pengendalian pemanfaatan ruang dirasa masih sangat
jauh dan membutuhkan effort yang besar.

4.6 Provinsi DKI Jakarta


Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya merupakan Ibukota dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Secara astronomis Provinsi DKI Jakarta terletak antara
6012’ Lintang Selatan dan 106048’ Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya
Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur Nomor 171 tahun 2007,
adalah berupa daratan seluas 662,33 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2 .
Wilayah DKI memiliki tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan
Seribu, dan sekitar 27 buah sungai/saluran/ kanal yang digunakan sebagai sumber
air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. Topografi Kota Jakarta merupakan

56
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

dataran rendah dengan ketinggian rata-rata +7 meter di atas permukaan laut. Kondisi
iklim Kota Jakarta secara umum temperatur tertinggi terjadi di bulan November
sedangkan temperature terendah terjadi pada bulan Januari dan Agustus dengan
kelembaban antara 35 sampai 95 persen. Curah Hujan tertinggi terjadi pada bulan
Februari dan terendah pada bulan Agustus.

Kebijakan Penataan Ruang Wilayah di Provinsi DKI Jakarta ditetapkan dalam


Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012. Visi dan misi pembangunan daerah di Provinsi
DKI Jakarta diarahkan untuk mewujudkan visi Jakarta sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang aman, nyaman, produktif, berkelanjutan, sejajar
dengan kota-kota besar dunia, dan dihuni oleh masyarakat yang sejahtera. Untuk
mewujudkan visi pembangunan di Provinsi DKI Jakarta maka misi yang dirumuskan
adalah sebagai berikut: a. Membangun prasarana dan sarana kota yang manusiawi;
b. Mengoptimalkan produktivitas kota sebagai kota jasa berskala dunia; c.
Mengembangkan budaya perkotaan; d. Mengarusutamakan pembangunan berbasis
mitigasi bencana; e. Menciptakan kehidupan kota yang sejahtera dan dinamis; f.
Menyerasikan kehidupan perkotaan dengan lingkungan hidup. Selanjutnya, tujuan
penataan ruang daerah ditujukan di wilayah Provinsi DKI Jakarta ke depan adalah: a.
Terciptanya ruang wilayah yang menyediakan kualitas kehidupan kota yang produktif
dan inovatif; b. Terwujudnya pemanfaatan kawasan budidaya secara optimal dalam
rangka memenuhi kebutuhan 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu) jiwa
penduduk yang persebarannya diarahkan sebanyak 9,2% (sembilan koma dua persen)
di Kota Administrasi Jakarta Pusat, 18,6% (delapan belas koma enam persen).

Kota Administrasi Jakarta Utara, 24,1% (dua puluh empat koma satu persen) di
Kota Administrasi Jakarta Timur, 22,6% (dua puluh dua koma enam persen) di Kota
Administrasi Jakarta Selatan, 25,3% (dua puluh lima koma tiga persen) di Kota
Administrasi Jakarta Barat, 0,2% (nol koma dua persen) di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu serta meningkatkan produktivitas dan nilai tambah perkotaan; c.
Terwujudnya pelayanan prasarana dan sarana kota yang berkualitas, dalam jumlah
yang layak, berkesinambungan, dan dapat diakses oleh seluruh warga Jakarta; d.
Terciptanya fungsi kawasan khusus yang mendukung peran Jakarta sebagai ibukota
negara secara optimal; e. Terwujudnya keterpaduan pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di bawah
permukaan tanah dan di bawah permukaan air dengan mempertimbangkan kondisi
kota Jakarta sebagai kota delta (delta city) dan daya dukung sumber daya alam serta
daya tampung lingkungan hidup secara berkelanjutan; f. Terwujudnya keterpaduan
penataan ruang dengan wilayah berbatasan; g. Terwujudnya penataan ruang wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan; h. Tercapainya penurunan resiko
bencana; i. Terciptanya budaya kota Jakarta yang setara dengan kota-kota besar di
negara maju; j. Terselenggaranya pertahanan negara untuk menjaga dan melindungi
kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk menciptakan ruang wilayah sebagaimana yang dituangkan dalam tujuan


RTRW DKI Jakarta 2030 tersebut, maka salah satu kebijakan yang ditetapkan adalah
dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi di sektor perdagangan, jasa, industri
kreatif, industri teknologi tinggi, dan pariwisata. Selain itu, juga terdapat kebjakan
untuk penetapan kawasan strategis ekonomi dan kawasan strategis sosial budaya.

57
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Kebijakan ini kemudian diturunkan ke dalam beberapa strategi, yang salah satunya
adalah menetapkan kawasan strategis di beberapa kawasan, termasuk Kawasan
Pantura. Kawasan Pantura ditetapkan sebagai Kawasan Strategis untuk kepentingan
ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Selain sebagai kawasan strategis, dalam
struktur ruang Jakarta, SubKawasan Tengah Pantura juga ditetapkan sebagai pusat
kegiatan primer provinsi. Penetapan kawasan strategis, memiliki beberapa tujuan,
diantaranya adalah: a. meningkatkan kemampuan pelayanan, manajemen, sistem
jaringan komunikasi, sarana dan prasarana dalam memanfaatkan peluang yang
ditawarkan oleh globalisasi ekonomi serta kemampuan dan kepekaan mengenal
iklim investasi yang terjadi pada tingkat nasional dan internasional; b. memantapkan
kawasan yang diprioritaskan dengan penjabaran yang lebih cermat tentang prioritas
lokasi dan skema pengembangannya untuk mengakomodasi dampak globalisasi
ekonomi dan mendorong Jakarta sebagai kota jasa yang mengutamakan sistem
pelayanan, jaringan komunikasi dan kemitraan skala nasional dan internasional
dengan melibatkan pemangku kepentingan (investor dan pihak yang terkait) pada
proses pengembangan kawasan bersangkutan; c. meningkatkan kapasitas tampung
kawasan strategis terhadap kegiatan perdagangan dan jasa serta campuran
perumahan secara vertikal yang dalam pengembangan mengacu pada standar
perencanaan bangunan internasional dan sekaligus untuk meningkatkan kualitas
ruang sesuai kemampuan daya dukung lingkungan; d. menentukan alokasi ruang
bagi sektor informal dan golongan usaha skala kecil secara terintegrasi dengan
pengembangan sektor formal besar dari berbagai jenis aktifitas perekonomian; dan
e. menata kawasan strategis menjadi lokasi yang kondusif untuk berinvestasi bagi
penanaman modal dalam negeri dan asing, didukung dengan prasarana dan sarana
yang memadai. Pada Kawasan Strategis Pantura, pengembangan areal reklamasi dan
kawasan daratan pantai dilakukan secara terpadu yang bersama-sama ditetapkan
sebagai satu kawasan perencanaan. Sesuai ketentuan Pasal 644 ayat (1) huruf
b Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi pengenaan kompensasi merupakan salah satu jenis disinsentif
dalam penataan ruang. TPZ Insentif / Bonus Zoning: Mekanisme kerjasama antara
Pemerintah Kota dengan Pengembang (swasta) dalam mengembangkan kawasan /
daerah yang berhubungan dengan kepentingan umum:
1. Insentif: pengaturan yang bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan
yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang.
2. Disinsentif: pengaturan yang bertujuan membatasi pertumbuhan atau
mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.
3. Kompensasi koefisien lantai bangunan adalah fasilitas publik yang diserahkan oleh
masyarakat baik perorangan, badan usaha maupun lembaga kepada pemerintah
daerah atas pemanfaatan ruang yang melampaui nilai koefisien lantai.

Diberikan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk peningkatan luas lantai atau KLB
Diarahkan pada lokasi sebagai berikut:
1. pusat kegiatan primer, pusat kegiatan sekunder, dan kawasan strategis
kepentingan ekonomi;
2. kawasan terpadu kompak dengan pengembangan konsep TOD;

58
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

3. kawasan yang memiliki fungsi sebagai fasilitas parkir perpindahan moda (park
and ride); dan
4. lokasi pertemuan angkutan umum massal.

Diberikan sebagai kompensasi menyediakan fasilitas publik serata dapat dilakukan di


dalam lahan perencanaan dan/atau di luar lahan perencanaan.

Gambar 6. Bonus Zoning DKI Jakarta

4.7 Provinsi Jawa Barat

4.7.1 Kota Bandung


Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan ibu kota Propinsi Jawa
Barat. Secara astronomis, Kota Bandung terletak di antara 1070 36’ Bujur Timur
dan 60 55’ Lintang Selatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 16 tahun 1987 Tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat
Ii Bandung Dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung, Maka Luas Wilayah Kota
Bandung adalah ± 17.000 Hektar. Berdasarkan Peraturan Kementerian Dalam Negeri
Nomor 137 Tahun 2017 Tentang Kode Dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan
kota Bandung mempunyai wilayah administrasi seluas ± 16.767 Hektar. Dari
luas wilayah Kota Bandung tersebut maka berdasarkan Pearturan Daerah Kota
Bandung Nomor 06 tahun 2007 tentang Pemekaran Dan Pembentukan Wilayah
Kerja Kecamatan dan Kelurahan Di Lingkungan Kota Bandung. Seluruh wilayah Kota
Bandung dibagi menjadi 30 Kecamatan Dengan 151 Kelurahan. Kota Bandung terletak
pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (dpl). Iklim tahunan Kota Bandung
secara umum suhu rata-rata sebesar 23,50C dengan suhu tertinggi adalah 35,50C
dan terendah 18,80C. Kelembaban udara rata-rata sebesar 77 % dengan kelembaban
tertinggi sebesar 82% dan terendah 71%. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
November (295,8 mm) dan terendah terjadi pada bulan Juli (39,1 mm).

Kota Bandung telah menetapkan Peraturan Daerah dalam rangka mengelola,


memanfaatkan dan mengendalikan ruang wilayah Kota Bandung antara lain
Peraturan Daerah No 18 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Dan Wilayah Kota

59
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Bandung Tahun 2011 – 2031, dan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2015 Tentang
Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kota Bandung Tahun 2015-2035.
Berdasarkan Visi, misi dan arah pembangunan Kota Bandung serta isu strategis yang
ada, tujuan penataan ruang wilayah Kota Bandung adalah “mewujudkan tata ruang
kota yang aman, nyaman, produktif, efektif, efisien, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, berbasis perdagangan, jasa dan industri kreatif yang bertaraf nasional”.
Penjabaran dari tujuan tersebut dituangkan ke dalam sasaran penataan ruang yang
harus dicapai sebagai berikut:
1. Terwujudnya fungsi dan peran Kota Bandung yang dapat memberikan pelayanan
kepada masyarakat di wilayah Cekungan Bandung, Provinsi dan Nasional;
2. Tersedianya sistem transportasi serta pelayanan prasarana dan sarana Kota
Bandung yang merata dan berkualitas;
3. Terwujudnya keserasian kawasan lindung dan budidaya yang seimbang dan
berkelanjutan;
4. Terwujudnya kelestarian kawasan dan bangunan yang menjadi identitas Kota
Bandung;
5. Tersedianya ruang publik dan ruang terbuka hijau yang aman, nyaman dan efektif;
6. Terwujudnya pemanfaatan ruang yang tertib dan terkendali; dan
7. Terwujudnya ruang evakuasi bencana (mitigasi) yang aman;

Untuk mendukung struktur ruang yang direncanakan, wilayah Kota Bandung dibagi
menjadi delapan Subwilayah Kota (SWK) yang dilayani oleh delapan Subpusat
Pelayanan Kota (SPK) dan dua Pusat Pelayanan Kota (PPK). Pusat pelayanan kota
melayani 2 juta penduduk, sedangkan subpusat pelayanan kota melayani sekitar
500.000 penduduk. Pusat pelayanan kota yang direncanakan sampai dengan tahun
2031 adalah pusat Alun-alun dan Gedebage. Pusat Pelayanan Alun-alun melayani
Subwilayah Kota (SWK) Cibeunying, Karees, Bojonegara, dan Tegalega, sedangkan
Pusat Pelayanan Gedebage melayani Subwilayah Kota Arcamanik, Derwati, Kordon,
dan Ujungberung.

Disinsentif khusus akan dikenakan untuk membatasi pembangunan di Kawasan


Bandung Utara dan mengendalikan pembangunan di Wilayah Bandung Barat.
Disinsentif khusus sebagaimana yang dikenakan untuk mengendalikan pembangunan
di Kawasan Bandung Utara, berupa tidak dikeluarkan izin lokasi baru, tidak dibangun
akses jalan baru melalui kawasan Punclut, tidak dibangun jaringan prasarana baru
kecuali prasarana vital kota. Disinsentif yang dikenakan untuk mengendalikan
pembangunan dan perkembangan di Wilayah Bandung Barat meliputi kewajiban
memberi kompensasi, pensyaratan khusus dalam perizinan, kewajiban memberi
imbalan, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.

60
5
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Temuan Data

61
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

BAB 5. TEMUAN DATA

5.1 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Bali


Ruang merupakan komponen lingkungan hidup yang bersifat terbatas dan tidak
terperbaharui yang harus dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai satu kesatuan
ruang dalam tatanan yang dinamis berlandaskan kebudayaan Bali yang berpedoman
pada konsepsi sesuai dengan Tri Hita Karana36. Perkembangan jumlah penduduk
yang membawa konsekuensi pada perkembangan di segala bidang kehidupan,
memerlukan pengaturan tata ruang agar pemanfaatan dan penggunaan ruang
dapat dilakukan secara maksimal berdasarkan nilai-nilai budaya. Secara normatif
penyusunan kebijakan penataan ruang sebagaimana amanat undang-undang nomor
26 tahun 2007 tentang penataan ruang dan peraturan pemerintah nomor 15 tahun
2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang.

Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan


ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah
penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang
berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan
hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan
(iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Sebagai daerah
pariwisata internasional, Bali mengalami dilema dalam tata ruangnya. Hal itu karena
ketentuan budaya dan agama sering berbenturan dengan kepentingan investasi
dan perkembangan sosial. Konsep bhisama (fatwa) Parisadaha Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) yang melarang tinggi bangunan di atas 15 meter untuk menjaga
kesucian wilayah udara. Hal itu berbenturan dengan kepentingan untuk melestarikan
tanah Bali, terutama untuk wilayah pertanian. Tanah-tanah produktif di Bali sendiri
cenderung mengalami perubahan fungsi lahan karena didesak oleh pembangunan
vila dan hotel. Larangan untuk membangun jalan layang karena dikhawatirkan warga
yang sedang melakukan upacara adat dan melintas di bawahnya akan terganggu
oleh lalu lintas di jalan. Di pihak lain, tanpa jalan layang, kemacetan di sejumlah
perempatan jalan sudah semakin parah. Kebanyakan batasan pembangunan vertikal
telah berdampak pada penggunaan tanah jalur hijau pertanian pangan di kota
Denpasar dan Kabupaten Badung menjadi berkurang. Kedua kota tersebut memiliki
karakteristik sama yakni potensi wisata dan daya dukung infrastruktur yang signifikan.

Kawasan pariwisata mempengaruhi perkembangan Wilayah sampling baik aspek fisik,


sosial, budaya dan ekonomi. Pembangunan di Wilayah sampling berkaitan dengan
pembangunan sektor-sektor ekonomi dapat berakibat bagi terjadinya tekanan
terhadap lingkungan fisik, sosial, budaya sehingga menyebabkan menurunnya
kualitas lingkungan. Pembangunan pariwisata kerap kali mengesampingkan aturan-
aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam kenyataannya banyak ditemukan
indikasi adanya penyimpangan berupa pemanfaatan ruang yang tidak sesuai atau
menyimpang dari tata ruang yang telah ditetapkan sebelumnya, atau implementasi
penataan ruang yang tidak sesuai dengan peraturan pemndang-undangan
36 Tri Hita Karana adalah falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang membangun keseimbangan dan keharmonisan
hubunganantara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber
kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.

62
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

yang berlaku sehingga tujuan penataan ruang tersebut menjadi tidak tercapai.
Menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan dan guna menciptakan tata ruang
Kabupaten Badung dan Kota Denpasar yang baik, maka perlu adanya pengendalian
pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan
Rencana Tata Ruang untuk mengurangi adanya pelanggaran atau ketidaksesuaian
sehingga kesesuaian pemafaatan ruang dapat terjaga37. Pengendalian pemanfaatan
ruang dapat dilakukan melalui penetapan zonasi, perizinan, pemberian intensif dan
disintensif serta adanya pengenaan sanksi38. Hasil penelusuran dan identifikasi upaya
pengendalian tata ruang memiliki mekanisme di lapangan sebagai berikut:
1. Pemantauan;
2. Menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat;
3. Pelaporan kepada TKPRD Kabupaten;
4. Pemantauan ke lokasi oleh TKPRD;
5. Evaluasi;
6. Identifikasi tindakan pelanggaran;
7. Laporan tertulis kepada Sekretaris Daerah selaku ketua TKPRD;
8. Pelaksanaan forum pembahasan;
9. Rekomendasi sanksi administratif;
10. Melaporkan rekomendasi kepada Kepala Daerah;
11. Penjatuhan sanksi administratif berupa surat pemberitahuan untuk
mengembalikan fungsi kawasan;
12. Menerbitkan surat peringatan untuk diadakannya pembongkaran.

Berdasarkan hasil indepht interview kepada stakeholders di provinsi Bali meliputi


berbagai dinas di dua kabupaten Badung dan Denpasar seputar penerapan kebijakan
insentif dan disinsentif tata ruang:

Tabel 4. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Bali

Bali Kota Denpasar Bappeda


Dinas PUPR
Dispenda
Dinas Perizinan
Kab Badung Dinas PUPR
Dinas Perizinan
Bappeda
Dinas Pariwisata
Secara teknis kabupaten Badung dan kota Denpasar sedang menyusun konsep BWP
(Bagian Wilayah Perkotaan) yang akan dipakai sebagai dasar dalam menyusun RDTR.
Secara substansi saat ditanya terkait formulasi kebijakan insentif dan disinsentif
dapat diuraikan poin-poin penting yang didapat sebagaimana berikut:
37 Muhammad Akib dkk , 2013, Hukum Penataan Ruang, PKKPUU FH UNILA, Bandar Lampung, h.45
38 Ahmad Jazuli, 2017, “Penegakan Hukum Penataan Ruang Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan”, Jurnal Rechts
Vinding, Vol. 06, No.02, h.273

63
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Secara umum kedua kota di provinsi Bali ini ada kebijakan insentif tata ruang di
wilayah area dengan pola ruang ruang terbuka hijau dimana kebijakan ini menurut
beberapa narasumber yang berhasil diwawancarai lebih dikarenakan komitmen
bupati dan walikota denpasar yang memberikan kompensasi kebijakan pembebasan
pajak di jalur hijau yang dalam tata ruang ditetapkan menjadi RTH yang tertuang
dalam Perbub dan Perwako.

Secara rinci dapat dideskripsikan bahwa dinas teknis atau perangkat daerah
meliputi Bappeda, Bapeko, PUPR, Perizinan memosisikan perda tata ruang beserta
turunannya diperlukan untuk pengembangan wilayah. Bahkan beberapa dinas
terkait menganggap tata ruang dan turunannya merupakan dasar untuk memberikan
ijin secara resmi. Di wilayah Provinsi Bali terdapat kearifan lokal yang mengatur
intensitas ketinggian bangunan yang didasarkan ketentuan adat dan dijadikan acuan.

Persoalan terkait penerapan insentif dan disinsentif ini hasil diskusi dengan beberapa
pihak dapat disimpulkan bahwa kurangnya dukungan pimpinan dalam menerapkan
kebijakan spesifik terhadap insentif dan disinsentif. Selama ini kajian atau diskusi
TKPRD hanya melibatkan pihak teknis misalnya bappeda dan PUPR tetapi dukungan
dari pimpinan dirasa masih sangat kurang,

Dari data perubahan penggunaan tanah pada neraca penatagunaan tanah


diindikasikan bahwa telah terjadi banyak perubahan penggunaan dan pemanfaatan
tanah di wilayah Kuta Selatan dan Denpasar Timur secara masif. Dari informasi
yang dihimpun dari Bappeda Kota Denpasar banyak kendala yang sifatnya teknis
dimana untuk pengendalian pemanfaatan ruang sedang direncanakan kajian untuk
pemutusan aliran listrik dan air bagi para pelanggar tata ruang. Kajian insentif dan
disinsentif ini masih di sosialisasikan level provinsi terkait bentuk model ataupun
konsepnya diluar Perbup atau Perwako pembebasan PBB masih belum ada di provinsi
Bali.

5.2 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Jawa Timur


Kota Surabaya merupakan kota yang berkembang secara pesat dan dinamis, sehingga
membutuhkan dasar terkait arah dan pedoman pemanfaatan ruang yang tertuang
dalam rencana tata ruang wilayah dan rencana rincinya. Kota Surabaya telah memiliki
RTRW yang berupa Perda No. 12 tahun 2014 tentang RTRW Kota Surabaya tahun 2014-
2034 dan perlu didetailkan dalam rencana rinci. Dengan pesatnya perkembangan
kota, maka kualitas perencanaan ruang perlu ditingkatkan yang terintegrasi dengan
rencana-rencana sektoral lainnya. Dalam rangka peningkatan kualitas perencanaan
ruang, upaya yang telah dilakukan antara lain melakukan integrasi rencana tata
ruang dengan rencana sektoral lainnya dan meningkatkan koordinasi penataan ruang
melalui optimalisasi peran Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) Kota
Surabaya. Sedangkan dalam rangka peningkatan kesesuaian pemanfaatan ruang
kota, upaya yang telah dilakukan antara lain menggunakan referensi tunggal dalam
penyusunan peta rencana tata ruang yang kemudian menjadi dasar bagi perizinan
pemanfaatan ruang kota. Peta rencana tata ruang kota tersebut berbasis GIS dan
dapat diakses langsung oleh masyarakat dalam aplikasi perizinan Surabaya Single
Window (SSW). Rencana tata ruang wilayah kota dan rencana rincinya menjadi

64
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

dasar untuk penerbitan perizinan pemanfaatan ruang dan administrasi pertanahan.


Penerbitan perizinan pemanfaatan ruang berupa Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
merupakan salah satu bentuk upaya Pemerintah Kota Surabaya dalam melakukan
pengendalian pemanfaatan ruang kota.

Merujuk pada Peraturan daerah kota surabaya nomor 8 tahun 2018 Tentang Rencana
detail tata ruang dan peraturan zonasi Kota surabaya tahun 2018-2038 pemerintah
kota surabaya serius untuk menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif sebagai
komitmen esensial dari perda RDTR dan PZ tersebut.

Tabel 5. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Jawa Timur

Jawa Timur Surabaya Dinas PUPR, CK, & PTSP


Bappeko
Banyuwangi Dinas Bappeda
Dinas Pertanian
Dinas Perizinan
Dinas PUPR
Berdasarkan hasil wawancara dengan dinas terkait dapat diambil deskripsi singkat
setelah wawancara dapat diuraikan seperti berikut:

Kota surabaya fokus untuk mengendalikan kawasan perkotaan sekaligus


pengendalian terhadap area keselamatan penerbangan Insentif yang menjadi fokus
kajian pemerintah kota surabaya adalah KLB dan KDB disepanjang jalan Ahmad Yani
dan Basuki Rahmad-Raya Tunjungan. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) atau Building
Covered Ratio (BCR) adalah angka perbandingan antara luas lantai dasar bangunan
terhadap luas persil. Dalam perencanaan wilayah dan kota, KDB menunjukkan
perbandingan antara luas lantai dasar bangunan yang terdapat pada suatu wilayah
terhadap luas wilayah bersangkutan. Sasaran KDB dinyatakan dalam persen;
misalnya KDB 60%; artinya perbandingan luas lantai dasar bangunan terhadap luas
persil maksimum 60%. Dalam pengertian ini, angka 60% adalah angka maksimum
yang tidak boleh dilewati.

Tujuan penetapan KDB antara lain 1) Untuk menjaga dan mempertahankan


ketersediaan ruang terbuka yang bermanfaat bagi penghawaan ilmiah, penerangan,
alamiah dan peresapan air ke dalam tanah; 2) Untuk mempertahankan keseimbangan
antara kepadatan bangunan dan wilayah dimana bangunan tersebut berada, agar
lingkungan menjadi nyaman untuk ditempati; 3) Untuk menciptakan keindahan
dan kerapian tatanan bangunan melalui pengaturan luas lantai bangunan; 4) Untuk
memberi peluang bagi penyediaan vegetasi di dalam persil, baik tanaman pohon,
tanaman perdu maupun tanaman penutup tanah. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
atau Floor Area Ratio (FAR) adalah perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan
terhadap luas persil. KLB menunjukkan perbandingan antara luas total seluruh lantai
bangunan (luas lantai dasar dan seluruh luas lantai di atasnya) pada suatu wilayah,
terhadap luas wilayah bersangkutan. Besaran KLB dinyatakan dalam persen; misalnya
KLB 150% atau artinya KLB 1,5; artinya total luas lantai bangunan yang diizinkan adalah

65
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

150% dari luas persil. Tujuan penetapan KLB antara lain 1) Untuk mempertahankan
ketersediaan ruang terbuka yang bermanfaat bagi penghawaan alamiah, penerangan
alamiah dan peresapan air ke dalam tanah; 2) Untuk mempertahankan keseimbangan
antara kepadatan bangunan dan wilayah dimana bangunan tersebut berada, agar
lingkungan menjadi nyaman untuk ditempati; 3) Untuk mencipkatan kerapihan
dan ketertiban tatanan bangunan pada suatu wilayah; 4) Untuk membatasi dan
mengendalikan ketinggian bangunan pada suatu wilayah, agar tidak merugikan
lingkungan sekitarnya; 5) Untuk menciptakan skyline (garis langit) yang memperkuat
landmark lingkungan atau koridor jalan. KLB mempunyai hubungan erat dengan KDB.
Semakin tinggi bangunan atau jumlah lantai bangunan, besaran KDB akan semakin
kecil jika besaran KLB tetap. Hubungan KLB dan KDB ditulis dengan rumus: KLB : KDB
= jumlah lantai bangunan.

Kabupaten Banyuwangi sebagai lokasi sampling kedua di provinsi jawa timur


memberikan gambaran yang menarik terkait kebijakan insentif disinsentif.
Rencana rinci tata ruang kabupaten/kota merupakan dasar penyusunan rencana
tata bangunan dan lingkungan bagi zona-zona yang pada rencana rinci tata ruang
ditentukan sebagai zona yang penanganannya diprioritaskan. Wilayah dengan
pengaruh penting terhadap kabupaten yang penataan ruangnya diprioritaskan
maka disebut dengan kawasan strategis. Kawasan strategis yang ada di Kabupaten
Banyuwangi meliputi PKLp, kawasan agropolitan, kawasan minapolitan, kawasan
industri, kawasan pelabuhan, kawasan bandar udara, dan kawasan pariwisata. Di
kawasan-kawasan tersebut secara konkrit diupayakan untuk menerapkan insentif
dan disinsentif di berbagai wilayah yang akan disusun RDTR-nya meliputi kawasan
blimbingsari, kawasan industri wongsorejo, dan kawsan genteng. Hasil indepht
interview dapat diperoleh diskripsi tentang keseriusan pengendalian pemanfaatan
ruang khususnya di area Blimbingsari yang merupakan area pengembangan bandara.
Adapun poin-poin penting dalam hasil wawancara mendalam diantaranya yaitu
terlihatnya kesungguhan segenap stakeholders untuk menyusun RDTR di tiga wilayah
kecamatan di atas karena tiga kecamatan tersebut memiliki pusat pertumbuhan
yang signifikan. Pemerintah daerah sedang berupaya untuk mengendalikan alih
fungsi tanah pertanian dan sedang memikirkan bentuk insentif yang terbaik. Upaya
pengendalian konkrit terwujud lewat peraturan desa yang menetapkan perlindungan
lahan pertanian meski sifatnya kasuistik. Dari penjelasan dinas PUPR kabupaten
Banyuwangi terlihat insentif dan disinsentif yang mungkin bisa dilakukan masih
sebatas pada upaya mempertahankan lahan pertanian karena dominasi pola ruang
di kabupaten Banyuwangi adalah pertanian lahan basah dan kering. RTR bandara
menjadi sangat penting untuk dikaji secara seksama. Hal ini disebabkan untuk saat
ini, pemerintah daerah masih memberlakukan perizinan yang ketat untuk hal-hal
yang bersifat perubahan sebab ada aspek KKOP yang berdekatan dengan aktivitas
masyarakat. Sampai sekarang belum ada satu ijin pun yang dikeluarkan di luar untuk
kepentingan bandara, jika ada yang berinisiatif merubah oleh masyarakat kita akan
tegur dan bongkar.

66
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

5.3 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Sulawesi


Selatan
Tabel 6. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan Kota Makassar Dinas PUPR


Dinas Bappeda
Dinas Perizinan
Kab Gowa Dinas Pemukiman & Pertanahan
Bappeda
Dinas Perizinan
Dinas PU&Tata Ruang
Secara umum kedua lokasi sampling ini memiliki karakter yang berbeda. Kota Makassar
adalah kota yang tipenya metropolis dikarenakan sebagai kota pemerintahan.
Denyut ekonomi Indonesia Timur ada di kota ini tak jarang sektor ekonomi meliputi
perdagangan dan jasa. Sementara kabupaten Gowa adalah kabupaten yang sektor
dominannya berasal dari pertanian. Berdasarkan hasil wawancara dan literasi
dokumen terkait RTRW, dan RPJMD dan aturan turunannya dapat dijelaskan pada
paragraf di bawah ini.

Terdapat problem dalam dokumen RTRW yang telah disusun oleh dua kabupaten
dimana dalam menyusun dokumen tersebut kurang memerhatikan kondisi eksisiting
riil. Hal ini menyebabkan penetapan arahan dan kawasan dalam pola dan struktur
ruang menjadi kendala. Akibat langsung dari RTRW yang kurang mengakomodir
kondisi aktual tersebut beberapa hal menjadi terhambat, umumnya kawasan yang
akan dikembangkan ternyata peruntukannya adalah jalur hijau dan pertanian
yang faktual lapangan sudah tidak mungkin lagi dipertahankan. Kondisi tersebut
berimplikasi pada fungsi kelembagaan dari bidang tata ruang di dua lokasi sampling
yang telah di ambil alih oleh dinas perizinan di kota Makassar dan dinas pemukiman
dan pertanahan sehingga seluruh aspek KRK, dan advise planning tidak lagi dilakukan
oleh bidang tata ruang. Dukungan terhadap penyusunan revisi tata ruang masih
terkendala dalam tataran TKPRD yang belum optimal terlaksana sehingga beberapa
OPD/stakeholders terkait tata ruang cenderung berjalan tidak terintegrasi dan
sistematis. Kebijakan-kebijakan turunan dari RTRW seperti RDTR maupun PZ di kota
Makassar sulit dilakukan karena unit teknisnya sudah tidak memiliki kewenangan
karena terjadi pendelegasian oleh walikota. Inilah yang menyebabkan upaya
penyusunan RDTR masih sebatas diskusi di internal bidang tata ruang dinas PUPR.

Kawasan perdagangan regional yang berada di Kabupaten Gowa memiliki nilai


strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Kabupaten Gowa. Kawasan ini
direncanakan akan melayani aktifitas perdagangan di Kabupaten Gowa dan wilayah
sekitarnya dalam konteks Kawasan Metropolitan Mamminasata.

Kota Satelit Pattallassang dan Parangloe Fungsi satelit Pattallassang-Parangloe adalah


sebagai alternatif upaya untuk memecahkan dan mengatasi masalah pertumbuhan
permukiman tersebar yang tak terkendali dan kemacetan Kabupaten Gowa dan

67
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Metropolitan Mamminasata. Kota Satelit Pattallassang Parangloe direncanakan


dibangun dan dikembangkan menjadi suatu kota yang lengkap dan ditingkatkan
kemampuannya sesuai dengan peningkatan fungsinya menjadi suatu kota fungsional
tertentu. Termasuk permukiman yang asri yang dilengkapi dengan fasilitas memadai
termasuk lapangan golf bertaraf internasional. Kota Satelit Pattallassang dalam
tipologinya merupakan kota baru penunjang (supporting newtown) yaitu kota
satelit yang merupakan penunjang pertumbuhan Kota Sungguminasa dan kawasan
Metropolitan Mamminasata. Berdasarkan fungsi dan peran yang akan diemban Kota
Satelit Pattallassang serta kemungkinan berkembang fasilitas fungsional perkotaan
di sektor ekonomi maka Kota Satelit Pattallassang akan diarahkan menjadi salah satu
kawasan strategis untuk pengembangan ekonomi di Kabupaten Gowa.

Arahan Peraturan Daerah Tentang Bangunan Gedung Setiap bangunan gedung harus
memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi
bangunan gedung. Persyaratan teknis itu ditetapkan dengan Peraturan Bupati yakni
Status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
Status kepemilikan bangunan gedung; dan Izin menrdirikan bangunan gedung.
Setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status kepemilikannya
jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain. Di sisi lain, bangunan gedung dengan
status milik pihak lain hanya dapat didirikan dengan izin pemanfaatan tanah dari
pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dalam bentuk perjanjian tertulis antara
pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dengan pemilik bangunan gedung.
Status kepemilikan gedung dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan bangunan
gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten, berdasarkan hasil kegiatan
pendataan bangunan gedung. Kegiatan pendataan tersebut dilakukan bersamaan
dengan proses mendirikan bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan
dan pemanfaatan bangunan gedung. Setiap orang dalam mengajukan permohonan
izin mendirikan bangunan gedung wajib melengkapi dengan: tanda bukti status
kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah, data
pemilik bangunan gedung; rencana teknis bangunan gedung; dan hasil analisis
mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan. Setiap mendirikan bangunan gedung, fungsinya harus
sesuai dengan peruntukan lokasi yang ditetapkan dalam RTRW Kabupaten, RDTRKP,
dan/atau RTBL serta tidak boleh melebihi ketentuan maksimal kepadatan dan
ketinggian yang ditetapkan didalamnya. Kepadatan tersebut ditetapkan dalam bentuk
Kooefisien Dasar Bangunan (KDB) Maksimal yang didasarkan pada luas kaveling/
persil, peruntukan atau fungsi lahan, dan daya dukung lingkungan. Di samping itu,
ketinggian maksimal ditetapkan dalam bentuk Kooefisien Lantai Bangunan (KLB)
dan/atau jumlah lantai maksimal. Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak
boleh melanggar ketentuan minimal jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan
dalam RTRW Kabupaten, RDTRKP, dan/atau RTBL. Ketentuan jarak bangunan gedung
ditetapkan dalam bentuk: garis sempadan bangun gedung dengan as jalan, tepi
sungai, irigasi, tepi danau, dan/atau jaringan tegangan tinggi; jarak antara bangunan
gedung dengan batas-bnatas persil, jarak antar bangunan gedung, dan jarak antara
as jalan dengan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan, yang
diberlakukan perkaveling, perpersil, dan/atau perkawasan. Penampilan bangunan
gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah estetika bentuk,

68
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

karakteristik arsitektur, dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Penampilan bangunan


harus menyesuaikan dengan bangunan gedung yang ada di sekitarnya. Di kawasan
cagar budaya harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah pelestarian
sedangkan bila berdampingan dengan bangunan gedung yang dilestarikan harus
dirancang dengan mempertimbangkan kaidah estetika bentuk dan karekteristik
dari arsitektur bangunan yang dilestarikan. Sayangnya di kabupaten Gowa dan kota
Makasar tidak ada kebijakan insentif dan disinsentif.

5.4 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi DKI Jakarta


Tabel 7. Responden Dinas Teknis Di Provinsi DKI Jakarta

DKI Jakarta Tingkat Provinsi Dinas tata Ruang /PU,CK


Dinas perizinan
Kota Jakarta adalah kota pertama yang dijadikan sampling yang telah bisa melakukan
kebijakan insentif dan disinsentif. Kebijakan ini secara bertahap lahir saat Perda
No.1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah pasal 207 mengatur terkait
Prioritas pemberian insentif diarahkan pada penyediaan dan penambahan RTH,
penanggulangan banjir, upaya mengatasi masalah kemacetan lalu lintas, peremajaan
kota melalui konsolidasi lahan berbasis masyarakat serta upaya pelestarian bangunan
cagar budaya. Lebih detail mengenai insentif disinsentif ini diatur dalam Perda
No.1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang & Peraturan Zonasi. Mengenai bentuk
dan mekanisme insentif dan disinsentif ada pengaturan melalui PERGUB No. 210
Tahun 2016 tentang Pengenaan Kompensasi terhadap Pelampauan Nilai KLB.

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 35 menyatakan


Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Selanjutnya
Pasal 38 Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang diberikan Insentif dan/atau
disinsentif oleh: a. Pemerintah kepada pemerintah daerah; b. pemerintah daerah
kepada pemerintah daerah lainnya; dan c. pemerintah kepada masyarakat. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang Pasal 153 Peraturan zonasi merupakan dasar dalam pemberian insentif dan
disinsentif, pemberian izin, dan pengenaan sanksi.

Berdasarkan hasil inetrview dengan dinas cipta karya tata ruang dan pemukiman dan
dinas perizinan terpadu satu atap diperoleh data sebagai berikut:
1. Syarat utamanya adalah seluruh elemen baik pimpinan daerah dan stakeholders
dalam tata ruang ini mengetahui konsep, tujuan dan penerapan insentif disinsentif
tata ruang;
2. Indikasinya harus terlihat mulai dari dokumen RTRW itu insentif dan disinsentifnya
harus diarahkan kemana, disuport dengan RDRT dan PZ-nya dari aturan ini
kelihatan wilayah mana yang dikonsentrasikan untuk didorong pengembangannya
dan sebagainya;
3. Lewat Pergub dan aturan teknis yang terkait SOP pengajuannya juga harus jelas
sistem dan mekanismenya;

69
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

4. Dari DKI Jakarta sendiri yang menjadi konsennya bagaimana menyusun TPZ
(Teknik Pengaturan Zonasi) harus jelas diarahkan pada kegiatan dan dampaknya
serta berbagai macam dampak turunannya sebagai kajian;
5. Dari TPZ ini kemudian bisa mengarahkan ke Insentif / Bonus Zoning: Mekanisme
kerjasama antara Pemerintah Kota dengan Pengembang (swasta) dalam
mengembangkan kawasan / daerah yang berhubungan dengan kepentingan
umum Insentif: Pengaturan yang bertujuan memberikan rangsangan terhadap
kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang. Disinsentif: pengaturan
yang bertujuan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak
sejalan dengan rencana tata ruang. Kompensasi koefisien lantai bangunan adalah
fasilitas publik yang diserahkan oleh masyarakat baik perorangan, badan usaha
maupun lembaga kepada Pemerintah Daerah atas pemanfaatan ruang yang
melampaui nilai Koefisien Lantai bangunan;
6. Misalkan Kompensasi terhadap pelampauan KLB ditetapkan dalam bentuk
penyediaan fasilitas publik antara lain (Pergub 210/2016) menyediakan lahan
dan/atau membangun RTH publik; menyediakan lahan dan/atau membangun
rumah susun umum; menyediakan lahan dan/atau membangun waduk atau
situ; menyediakan infrastruktur; menyediakan jalur dan meningkatkan kualitas
fasilitas pejalan kaki yang terintegrasi dengan angkutan umum; dan menyediakan
jalur sepeda yang terintegrasi dengan angkutan umum;
7. Penyediaan Fasilitas Publik diutamakan pada lahan/aset milik Pemerintah Daerah
atau pada lahan yang wajib diserahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan
prioritas kebutuhan Pemerintahan Daerah berdasarkan usulan kebutuhan SKPD/
UKPD;
8. Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 210 Tahun 2016 Penyediaan fasilitas
publik harus memenuhi ketentuan, antara lain Memenuhi kemampuan daya
dukung tanah dan/atau lahan perencanaan; Tidak melanggar peraturan zonasi
yang ditetapkan dalam pemanfaatan ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan
ruang; Mempertimbangkan ketersediaan dan kapasitas infrastruktur dan utilitas
umum yang mendukung; Mempertimbangkan standar kebutuhan prasarana
dan sarana kepentingan umum bukan merupakan kewajiban yang ditetapkan
atau direkomendasikan atas dasar permohonan perizinan pemanfaatan ruang
lainnya dari pemohon KLB; Bukan merupakan komponen kegiatan yang dibiayai
oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan apabila merupakan
perbaikan dan/ atau penyediaan fasilitas publik pada lahan/ aset milik Pemerintah
Daerah harus mencantumkan Kartu Inventaris Barang (KIB) atau surat keterangan
aset dari BPKAD/SKPD/UKPD Pengguna Barang Milik Daerah;
9. KLB dalam bentuk infrastruktur fasos dan fasum adalah sebagai berikut: Sebagai
perwujudan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang (sesuai PP 68
Tahun 2010) dalam pelaksanaan pembangunan kota; Bentuk kerjasama antara
swasta dan pemerintah dalam pengembangan pembangunan kota; Mempercepat
proses pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta dalam rangka mengatasi
permasalahan kota; Fiskal menggunakan prosedur yang lebih panjang dan lama.
Menunggu ke dalam anggaran / APBD hingga proses pelelangan Nonfiskal dapat
langsung dikerjakan oleh Konsultan tanpa harus menunggu APBD dan proses
lelang;

70
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

10. Perda 3 Tahun 2012 sebagai perubahan atas Perda 1 Tahun 2006 tentang retribusi
daerah, bahwa peningkatan KLB tidak lagi merupakan pemasukan daerah DKI
Jakarta dalam bentuk retribusi daerah. Dalam peraturan keuangan daerah dan
perpajakan, bahwa pemerintah daerah hanya dapat menerima pemasukan
daerah secara fiskal dari Pajak dan Retribusi Daerah;
11. Pemberian pelampauan KLB pada kawasan TOD angkutan umum massal berbasis
rel lainnya, yang belum memiliki nilai indeks, maka nilai indeksnya ditetapkan
Gubernur setelah mendapatkan pertimbangan dalam Rapat Pimpinan BKPRD
dan/ atau forum Rapat Pimpinan Gubernur dengan memperhatikan fungsi dan
karakteristik kawasan sekitarnya, berdasarkan kajian dari Dinas Penataan Kota
(DPK);
12. Permohonan pemanfaatan ruang untuk pembangunan rumah susun sewa baik
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) diberikan pelampauan KLB
tanpa dikenakan Kompensasi;
13. Pembangunan kantor pemerintahan pada lahan-lahan milik Pemerintah Pusat
dan/ atau Pemerintah Daerah yang tidak dikerjasamakan dengan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), swasta dan/ atau
perorangan tidak dikenakan kompensasi pelampauan nilai KLB;
14. Pelampauan KLB pada Subzona Prasarana Pendidikan (S. I) yang lokasinya berada
pada Zona Teknik Pengaturan Zonasi (TPZ) Bonus dengan kode a, tidak dikenakan
kompensasi dengan ketentuan penggunaan sekolah harus menerima 60% (enam
puluh persen) pelajar dari masyarakat berpenghasilan rendah dan harus terlebih
dahulu mendapatkan rekomendasi dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta;
15. Pelampauan KLB pada Sub Zona Prasarana Kesehatan (S.2) yang berada pada
lokasi Zona Teknik Pengaturan Zonasi (TPZ) Bonus dengan kode a, tidak dikenakan
kompensasi dengan ketentuan penggunaan rumah sakit harus menyediakan
minimal 60 % (enam puluh persen) unit kamar kelas III dari total kapasitas
kamar sesuai dengan tarif peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan harus terlebih dahulu
mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.
5.5 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Sumatera
Utara
Tabel 8. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Sumatera Utara

Sumatera Utara Kota Medan Bappeda


Dinas Tata Ruang & Pertanahan
Kab Deli Serdang Dinas PU &Tata Ruang
Dinas Pertanian
Saat ini pemerintah Kota Medan menganggarkan biaya untuk pelestarian cagar
budaya adalah sebesar Rp.2.535.550.000 pada tahun 2018. Berdasarkan hasil dari
analisa insentif yang dilakukan Bappeda kota Medan maka dapat diberikan gambaran
bentuk insentif yang paling baik untuk Kota Medan adalah Pemberian Insentif dalam
Bentuk Fiskal.

71
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Bentuk pemberian insentif dalam bentuk fiskal berkaitan erat dengan Keringanan
pajak. Keringanan pajak berupa pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
hingga 0% pada bangunan cagar budaya, Pengurangan Retribusi Perizinan IMB dan
Pemberian Insentif dalam Bentuk Nonfiskal. Bentuk pemberian insentif dalam bentuk
fiskal berkaitan erat dengan Pemberian Kompensasi Imbalan berupa uang atau
bukan uang misalnya saja berupa bantuan tenaga atau bantuan bahan bangunan
sebagian dari biaya pelestarian kepada pemilik bangunan. Pemberian penghargaan
berbentuk sertifikat, plakat, serta tanda penghargaan kepada perorangan atau
sekolompok masyarakat yang secara menerus mampu menjaga kondisi sosio-
kultural yang ditetapkan sebagai warisan budaya. Publikasi atau Promosi Pemerintah
daerah mengadakan event-event khsusus dalam bentuk dokumentasian Audio Visual
berisikan sebuah media informasi mengenai cagar budaya yang ada di Kota Medan.
Perbantuan Bantuan penyediaan sarana dan prasarana termasuk peningkatan
kualitas fisik lingkungan prasarana dasar seperti jalan/aksebilitas menuju cagar
budaya, drainase Dukungan teknis antara lain advis teknis, bantuan tenaga ahli, dan
bantuan penyedia jasa yang kompeten di bidang bangunan cagar budaya.

Skema Disinsentif Berdasarkan hasil dari analisa yang telah dijelaskan pada bab
terdahulu maka dapat diberikan gambaran bentuk disinsentif yang paling baik
untuk Kota Medan diantaranya Pemberian Disinsentif dalam Bentuk Fiskal. Bentuk
pemberian insentif dalam bentuk fiskal berkaitan erat dengan: Pengenaan Pajak yang
Tinggi, Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tinggi bagi bangunan cagar
budaya yang tidak memelihara bangunan secara baik.

5.6 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Kalimantan


Timur
Tabel 9. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Kalimantan Timur

Kalimantan Timur Kota Samarinda Bappeda


Dinas PUPR
Dinas Perizinan
Kota Balikpapan Dinas PUPR
Dinas Perizinan
Kota Balikpapan dalam Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 12 Tahun 2012
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2012–2032 sedang menggalakkan luasan
RTH proporsional mencapai 30 persen. Secara spesifik hasil interview dengan dinas
PUPR dan Perizinan menggambarkan bahwa belum berencana menyusun RDTR kota
Balikpapan. Menurut mereka, dalam RTRW saat ini sudah dapat implementatif karena
dalam pola dan struktur ruang yang terdapat dalam RTRW telah mengatur peraturan
zonasi yakni pasal 73-97 dimana ketentuan umum peraturan zonasi tertentu maka
bangunan atau ijin yang diperbolehkan dan dilarang telah diatur, termasuk jika ada
persyaratan tertentu.

Fokus utama pengendaliannya menambah Hutan Kota Baru pada kawasan dengan
kemiringan > 45% berdasarkan usulan dan kesepakatan masyarakat. Mengembangkan

72
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

taman RT, Taman Kelurahan, Taman Kecamatandan Taman Kota Ruang terbuka hijau
Kota Balikpapan dibentuk oleh ruang terbuka hijau yang bersifatpublik/ umum dan
ruang terbuka hijau yang bersifat privat/ pribadi. Rencana ruang terbuka hijau Kota
Balikpapan seluas 50.336,83 ha atau 42% terhadap kawasan perkotaan Balikpapan.
RTH publik yang direncanakan di Kota Balikpapan seluas 10.302 ha atau kurang
lebih 29 persen dari luas kawasan perkotaan, yang meliputi Kecamatan Balikpapan
Kota dan Selatan dengan luas kurang lebih 626 hektar. Kecamatan Balikpapan Utara
dengan luas kurang lebih 2.756 hektar. Kecamatan Balikpapan Barat dengan luas
kurang lebih 4.592 hektar. Kecamatan Balikpapan Timur dengan luas kurang lebih
2.204 hektar. Kecamatan Balikpapan Tengah dengan luas kurang lebih 122 hektar.
RTH privat direncanakan di Kota kurang lebih 4.731 ha atau 13 persen dari luas
wilayah kota yang terdiri atas RTH pekarangan rumah tinggal seluas 1.684 hektar;
RTH kawasan peruntukan perdagangan dan jasa seluas 481 hektar; RTH kawasan
peruntukan perkantoran seluas 1.118 hektar; RTH kawasan fasum fasos seperti
kawasan peruntukan pendidikan kesehatan, peribadatan, pelabuhan dan terminal,
dan TPA seluas 100 hektar; RTH kawasan industri seluas 1.249 hektar; RTH kawasan
pertahanan dan keamanan seluas 26 hektar. Dalam prosesnya masih terdapat
kendala jika RTH tersebut berada di area tanah-tanah dengan status hak milik sebab
daerah tidak memiliki kekuatan finansial untuk mengganti dan keengganan warga
untuk melepas tanahnya apabila ganti rugi yang didapat tidak sesuai dengan nilai
ekonomi tanah tersebut.

5.7 Gambaran Kebijakan Insentif dan Disinsentif di Provinsi Jawa Barat


Tabel 10. Responden Dinas Teknis Di Provinsi Jawa Barat

Jawa Barat Kota Bandung Dinas Tata Ruang


Dinas Perizinan
Kabupaten Bekasi Dinas Perizinan
Kawasan Bandung Utara yang memiliki fungsi dan peranan penting dalam menjamin
keberlanjutan kehidupan dan keseimbangan lingkungan hidup di Cekungan Bandung,
telah ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Provinsi berdasarkan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029. Sebagai bentuk realisasi perlindungan kawasan
Bandung Utara. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara Sebagai Kawasan Strategis Provinsi
Jawa Barat.

Kebijakan pengendalian KBU diarahkan pada pengendalian dan pembatasan


pembangunan guna mempertahankan fungsi hidroorologis pada lahan dengan kondisi
normal dan baik, serta memiliki keterbatasan luas. Pengendalian dan pembatasan
tersebut meliputi: a) pencegahan peningkatan kekritisan fungsi hidroorologis pada
lahan dengan kondisi mulai kritis dan agak kritis, b) pemulihan dan penanggulangan
pada lahan dengan kondisi fungsi hidroorologis kritis dan sangat kritis, dan c)
penetapan arahan pola ruang, arahan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan
disinsentif, penertiban, dan pengenaan sanksi. Arahan pola ruang KBU menjadi

73
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

pedoman untuk mensinergikan rencana pemanfaatan ruang di Daerah Kabupaten/


Kota yang wilayahnya berada di KBU guna meningkatkan fungsi lindung dan upaya
pemulihan daya dukung lingkungan di KBU. Zonasi Pengendalian KBU terdiri atas:
1. Zona L-1, adalah Zona Konservasi atau Lindung Utama, meliputi kawasan lindung,
terutama kawasan hutan lindung, hutan konservasi, Taman Hutan Raya;
2. Zona L-2, adalah Zona Lindung Tambahan, meliputi kawasan hutan masyarakat,
kawasan rawan bencana II dan I;
3. Zona B-1, adalah Zona Pemanfaatan Perdesaan, merupakan kawasan dengan
tingkat kepadatan wilayah sedang sampai rendah;
4. Zona B-2, adalah Zona Pemanfaatan Perkotaan, merupakan kawasan dengan
dengan tingkat kepadatan wilayah sedang sampai tinggi;
5. Zona B-3, adalah Zona Pemanfaatan Terbatas Perdesaan, merupakan kawasan
dengan tingkat kepadatan wilayah sedang sampai rendah;
6. Zona B-4, adalah Zona Pemanfaatan Terbatas Perkotaan, merupakan kawasan
dengan tingkat kepadatan wilayah sedang sampai tinggi;
7. Zona B-5, adalah Zona Pemanfaatan Sangat Terbatas Perkotaan, merupakan
kawasan dengan tingkat kepadatan wilayah sedang sampai tinggi.

KDB paling tinggi adalah 30% (tiga puluh persen) dengan ruang terbuka paling
rendah adalah 70% (tujuh puluh persen), kecuali untuk luas lahan/bidang tanah
yang berukuran paling tinggi 120m2 (seratus dua puluh meter persegi), maka sesuai
kepemilikan lahan yang bukan bagian dari pemecahan lahan dapat diberikan luas
bangunan paling kurang 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi). Setelah melalui
kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan; dan penetapan KDB dilakukan
melalui pertimbangan KDB paling tinggi sebagaimana dimaksud pola ruang, jenis
kegiatan, kepadatan wilayah, dan/atau unsur-unsur lain untuk menjaga fungsi
resapan air.

Insentif sebagaimana dimaksud dapat diberikan dengan ketentuan: a.tidak melanggar


peraturan perundang-undangan di bidang pemanfaatan ruang; b.memelihara
dan meningkatkan kualitas KBU; dan/atau c.kegiatan lainnya yang berdampak
positif terhadap pemanfaatan KBU Insentif kepada masyarakat dan/atau kelompok
masyarakat dapat diberikan kepada masyarakat dan/atau kelompok masyarakat
yang telah melakukan penaatan secara sukarela yang melebihi kewajibannya,
sebagaimana persyaratan-persyaratan dalam izin dan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Insentif kepada masyarakat, dapat diberikan dalam bentuk
insentif fiskal dan/atau insentif non fiskal.

74
6
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Analisis Formulasi
Kebijakan Insentif
dan Disinsentif
Tata Ruang dan
Kendala Kebijakan
Insentif dan
Disiinsentif

75
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

BAB 6. ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN INSENTIF DAN


DISINSENTIF TATA RUANG DAN KENDALA KEBIJAKAN
INSENTIF DAN DISIINSENTIF
Disebagian daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, penataan ruang belum mendapat
proporsi perhatian utama sebagai instrumen dasar penyusunan Rencana Program
Pembangunan Daerah, baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat dan
dunia usaha. Hal ini tercermin dengan semakin luasnya lahan yang beralih fungsi
seperti lahan pertanian beririgasi teknis berubah menjadi permukiman atau industri,
penggundulan hutan yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Konflik-
konflik pemanfaatan ruang baik antara masyarakat dengan pemerintah, antar instansi
pemerintah maupun antar kewenangan tingkatan pemerintahan semakin hari
semakin marak dan dapat mengganggu pelaksanaan pembangunan. Penyusunan
Rencana Tata Ruang telah terjadi dikotomi kebutuhan antara menggali sumber-
sumber pendapatan asli daerah dari sumberdaya alam lewat mekanisme perizinan
yang dimiliki tanpa/kurang memperhatikan dampak lingkungan dan penyelamatan
ruang, sehingga pengendalian pemanfaatan ruang bukan pekerjaan mudah.

Praktik dilapangan dilapangan menggambarkan kebijakan insentif dan disinsentif tata


ruang sebagai bagian upaya pengendalian pemanfaatan ruang belum sepenuhnya
berjalan baik dan sesuai harapan. Banyak hal yang harus dilalui dan dilalukan oleh
pemerintah daerah sebelum membuat kebijakan tersebut. Berikut tabel yang
mendeskripsikan kebijakan insentif dan disinsentif tata ruang di lokasi sample
penelitian.

Tabel 11. Bentuk Kebijakan Insentif dan Disinsentif Tata Ruang

Kabupaten /Kota Bentuk Catatan


Keringanan pajak pada kawasan Secara spesifik hanya berupaya
Kota Denpasar
peruntukan RTH untuk tidak mengurangi RTH
Keringanan pajak pada kawasan Secara spesifik hanya berupaya
Kab Badung
peruntukan RTH untuk tdk mengurangi RTH
Masih dalam kajian tekait KLB
Kota Surabaya -
dan KDB
Kab Banyuwangi -
Kota Makassar - -
Kab Gowa - -
Perlu malakukan evaluasi secara
Kota Jakarta Pelampauan Lantai Bangunan berkala sebagai bagian control
implementasinya
Zona Pelestarian Cagar
Perlu malakukan evaluasi secara
Budaya dan Sejarah (History/
Kota Medan berkala sebagai bagian control
Perservation) dan keringanan
implementasinya
pajak pada area RTH
Kab Deli Serdang - -
Kota Samarinda - -
kota Balikpapan - -
Kawasan Lindung area Bandung
Perlu malakukan evaluasi secara
Utara peruntukan kawasan
Kota Bandung berkala sebagai bagian kontrol
perlindungan kawasan
implementasinya
bawahannya (LB);

76
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

6.1 Formulasi Kebijakan untuk Memahami Insentif dan Disinsentif


Proses perumusan kebijakan publik dikenal istilah kriteria. Yakni ukuran yang dipakai
dalam melakukan pilihan di antara berbagai alternatif strategi kebijakan yang
tersedia atau yang mungkin dapat dilakukan. Kriteria itu pada umumnya bersifat
subjektive-judgement, meskipun banyak juga yang bersifat objektif dan kuantitatif.
Yang penting, kriteria itu terkait erat dengan tujuan yang akan dicapai.

Penentuan kriteria amat penting, kesalahan dalam penetapan kriteria dapat


menyesatkan upaya pemecahan masalah atau pencapaian tujuan dari sebuah
kebijakan. Penggunaan kriteria yang salah dapat disamakan dengan kesalahan dalam
memilih jalan untuk menuju kesuatu tujuan. Makin banyak jalan yang terpampang
di depan kita, makin penting kita memilih jalan yang benar. Demikian juga dengan
kebijakan publik, makin banyak alternatif kebijakan yang tersedia, makin penting
penentuan kriteria yang benar untuk memilih strategi kebijakan yang paling tepat.
Dalam pemecahan masalah publik, ada keperluan untuk menetapkan beberapa
kriteria sekaligus, karena masalah publik itu mengandung banyak sisi, sesuai dengan
kondisi riil dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat pada umumnya bersifat kompleks.
Mengandung banyak kepentingan, kekuasaan dan kecenderungan. Hampir semua
masalah publik tidak dapat dipecahkan dengan hanya menggunakan satu kriteria atau
melihat dari satu perspektif saja. Diperlukan adanya pengamatan dari berbagai sudut
pandang melalui penggunaan beberapa kriteria. Dengan demikian, pilihan kebijakan
yang akan dihasilkan diharapkan dapat mewakili berbagai pertimbangan. Dengan
kata lain, kualitas kebijakan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari
berbagai perspektif. Kriteria-kriteria itu secara umum dapat dikelompokkan dalam
dua kategori. Pertama, kriteria-kriteria yang bersifat umum, yang dikenal luas dalam
masyarakat, seperti efisiensi, efektivitas, produktifitas, adil dan sebagainya. Kedua,
kriteria yang bersifat khusus yang sesuai dengan keadaan lingkungan dan tujuan
tertentu yang ingin dicapai. Diantara berbagai kriteria yang bersifat khusus, seacara
umum dapat digolongkan dalam dua macam kriteria, yakni responsiveness (terjawab)
dan accomplishment (tuntas).

Proses formulasi riset ini menggunakan instrumen power (kekuasaan) dan authority
(kewenangan). Tujuan dari formulasi ini terbagi menjadi antisipasi dan problem
solving. Tujuan dari analisis ini mendeskripsikan bagaimana kondisi di masing-
masing kuadran disertai treatment dan langkah-langkah terbaik yang perlu diambil.
Instrumen power di sini diambil karena peran dinas PUPR, Tim TKPRD dan Pemimpin
daerah memiliki andil yang krusial untuk keberhasilan formulasi kebijakan. Di sisi
lain, secara dejure ada wewenang yang berasal dari peraturan yang sifatnya hierarki
dan yuridis normatif membuat institusi tersebut memiliki dasar untuk melakukan
dan tidak melakukan sebuah formulasi sampai implementasi kebijakan.

77
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Gambar 7. Dimensi Gaya Kebijakan39

Pembuat Kebijakan
Berusaha Konsensus

1 2
Antisipasi Problem Problem Solving
3 4
Pembuat Kebijakan Menerapkan
Coercion policy

Analisis Kondisi pada Kuadran 1


1. Menjelaskan pemerintah lebih berdiskusi dengan tim ahli atau untuk mengambil
sebuah keputusan secara konsensus;
2. Komunikasi relatif cair diantara stakeholders pemerintah;
3. Relasi kelembagaan antar stakeholders pemerintahan eksekutif terjalin dengan
baik;
4. Pada fase ini kebijakan masih berupa rencana antisipasi (planning);
5. Opsi agar menjadi “ideal” perlunya sosialisasi terhadap main idea yang menjadi
bahasan terhadap kelompok-kelompok legislatif diluar eksekutif .

Analisis Kondisi pada Kuadran 2


1. Kuadran ini kombinasi terbaik “pembuat kebijakan” secara konsensus memiliki
komitmen untuk memecahkan masalah;
2. Produk konkritnya adalah sebuah aturan legal formal yang telah disepakati oleh
pemerintah dan asosiasi politik;
3. Pada fase ini kebijakan siap untuk diterapkan dan perlu check and balance dari
pemerintah dan asosiasi politik;
4. Perlu dilakukan policy review secara incremental monitoring evaluasi yang
berkelanjutan.

Analisis Kondisi pada Kuadran 3


1. Komunikasi relatif kurang cair diantara stakeholders;
2. Relasi kelembagaan antar stakeholders tidak berjalan dengan baik;
3. Pada fase ini kebijakan masih berupa rencana antisipasi yang sifatnya sektoral
dari masing-masing unit pemerintah (planning fase awal);
4. Adanya overlapping fungsi diantara lembaga pemerintahan;
5. Koridor ini identik tidak ada pengarus utamaan terhadap kebijakan yang menjadi
konsen utama>>>> (misalnya tata ruang);
6. Opsi agar menjadi “ideal” perlunya pemimpin untuk bertindak lebih tegas untuk
mengarahkan program dan kebijakan lebih sistematis sesuai peraturan yang ada.

39 Formulasi Kebijakan JJ Richardson Policy Style in Western Europe, Allen & Unwin. London 1982

78
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Analisis Kondisi pada Kuadran 4


1. Kombinasi antara problem solving dikombinasikan dengan coercion approach.
Hal ini didasari oleh kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah secara legal;
2. Pada kuadran ini pembuat kebijakan memiliki kecenderungan untuk menggunakan
power dan authority yang dimiliki untuk memengaruhi pihak lain (stakeholders);
3. Pada kuadran ini pendekatan “paksa” lebih kental dan memiliki cenderung
dominasi single loop side;
4. Komunikasi diantara para stakeholders bersifat instruksi dan perintah;
5. Opsi untuk menjadi lebih ideal mekanisme kontrol yang kuat oleh publik yang
dikenai kebijakan.

Gambar 8. Hasil Analisis Gaya Pengambilan Keputusan di Lokasi Sampling Penelitian

Pembuat Kebijakan
Berusaha Konsensus

Surabaya
Banyuwangi .Jakarta
Denpasar Balikpapan
Bandung Medan
Badung Samarinda
Antisipasi Problem
Problem Solving
Deli Serdang
Makassar
Gowa

Pembuat Kebijakan Menerapkan


Coercion policy

Banyaknya kota yang di kuadran 1 langkah yang perlu dilakukan pada jangka pendek
adalah pemahaman yang lebih detail maksud dan tujuan terhadap kebijakan insentif
dan disinsentif kepada dinas di luar tata ruang, asosiasi politik dan civil society terkait
urgensi kebijkan insentif dan disinsentif. Pada kuadran ini sosialisasi ke pihak-pihak di
luar organisasi penataan ruang harus lebih intens dan kontinyu. Apabila diindikasikan
di kuadran 3 perlu sedikit instrumen pemaksaan terhadap daerah tersebut
dikarenakan pengarusutamaan tata ruang sebagai dasar instrumen kebijkan daerah
belum berjalan sebagaimana mestinya sehingga langkah-langkah tersebut perlu
untuk dipertimbangkan. Jika banyak kabupaten kota di kuadran 2 maka outcome dari
kebijakan insentif dan disinsentif sudah secara otomatis bisa dirasakan dampaknya
oleh kota tersebut misalkan Jakarta ada manfaat positif terkait penerapan insentif
KLB. Di Bandung karena ada disinsentif terhadap kawasan Bandung Utara maka
upaya preventif terkadap wilayah konservasi tersebut bisa saja dirasakan manfaatnya
meski tidak secara langsung.

Dalam pedoman wawancara beberapa aspek yang menjadi pokok pengamatan


mendalam meliputi Proses Formulasi Kebijakan insentif dan disinsentif, Tahap
Implementasi Kebijakan insentif dan dis-insentif, Disposisi Sikap komitmen dari para
pelaksana, Sumber Daya, Struktur Birokrasi Terdapatnya dan Mekanisme SOP. Terlihat
masih banyak kendala dalam hal Perumusan kebijakan merupakan merupakan salah

79
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

satu tahap penting dalam pembentukan kebijakan publik. Seperti yang ditulis oleh
Charles Lindblom dan beberapa ahli yang lain, dalam memahami proses perumusan
kebijakan masing-masing kabupaten kota dipengaruhi oleh aktor-aktor yang terlibat
atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan tersebut, baik aktor –
aktor yang resmi maupun aktor – aktor yang tidak resmi. Seperti yang diungkapkan
oleh Charles Lindblom, bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan
kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta (partisipants),
bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang
mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi.
Dari berbagai jenis pemeran serta, masing-masing pemeran menurut Lindblom
mempunyai peran secara khusus yang meliputi: masyarakat, pemimpin organisasi,
anggota DPRD, Kepala Dinas, aktivis partai, , ahli teknik perencana, dan pengusaha.

Studi mengenai formulasi kebijakan memberikan perhatian yang sangat dalam


pada sifat-sifat (perumusan) permasalahan publik seperti kebijakan insentif dan
disinsentif ini, Perumusan permasalahan publik merupakan fundamen besar dalam
merumuskan kebijakan publik sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai.
Perumusan masalah menurut William Dunn (1999:26), akan sangat membantu para
analis kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis
penyimpangan-penyimpangan masalah publik. Konteks kajian ini kendala terbesar
daerah secara umum sulit untuk menetukan pengaturan zonasi dari masing-masing
wilayah dengan multi perspektif. Secara teknis memang telah diberikan gambaran
secara normatif akan tetapi penetapan zonasi di lapangan tentu sangat dinamis dan
sangat kompleks dan membutuhkan kecermatan tertentu.

6.2 Analisis Kendala Kebijakan Insentif dan Disiinsentif


Peraturan daerah di lokasi sampling banyak yang tidak memberikan norma dasar
arahan insentif dan disinsentif. Berdasarkan hasil telaah normatif tersebut maka
perlu penyesuaian kembali dalam Perda tata ruang (RTRWdan atau RDTR) daerah
dalam revisinya supaya memberi arah yang jelas terhadap kebijakan insentif dan
disinsentif. Kondisi tersebut didasari oleh kurangnya sinergitas antara proses
perencanaan tata ruang dan pengendalian tata ruang di lokasi sampling kecuali pada
hasil analisis kuadran 2. Belum banyaknya keberhasilan daerah dalam menyusun
Perda RDTR dan PZ sebagai landasan awal daerah dalam menerapakan insentif dan
disinsentif menjadi terkendala. Kendala lain secara teknis adalah setiap daerah
memiliki keakuratan data teks maupun spasial yang beragam sehingga proses
integrasi data memerlukan proses yang lama. Merujuk peraturan menteri agraria
dan tata ruang/kepala badan pertanahan nasional nomor 1 tahun 2018 tentang
pedoman penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten dan kota
pasal 7 ayat (3) Pengolahan dan analisis data sebagaimana huruf (g) data penguasaan
tanah banyak dikeluhkan bidang tata ruang daerah sebab informasi tersebut tidak
semua kantor pertanahan melakukan supporting data. Secara normatif kesulitan
daerah adalah membagi wilayah daerah kabupaten/kota kedalam zona-zona dan
sub-sub zona dengan komposisi eksistingnya seperti apa sehingga dalam RTRW-nya
pun perangkat pengendalian pemanfaatan ruang kurang jelas diarahkan seperti apa
secara terperinci sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut:

80
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Tabel 12. Arahan Peraturan Daerah Tata Ruang yang Belum


Mengatur Insentif Disinsentif di Wilayah Sampling

Kota / Perda
No Provinsi Pasal Pengaturan subtansi
Kabupaten RTRW
1 Bali Denpasar Nomor Pasal 108
Tidak menyebutkan secara arahan
27 Tahun
penerapan insentif dan disinsentif
2011
Badung Nomor Pasal 99
Tidak menyebutkan secara arahan
26 tahun
penerapan insentif dan disinsentif
2013
2 Jawa Timur Surabaya Nomor Pasal 75-104 Secara rinci mengatur indis di zona-zona
12 Tahun yang sesuai dengan rencana struktur
2014 ruang, rencana pola ruang, dan memuat
indikasi arahan peraturan zonasi
Banyuwangi Nomor Pasal 15-17
08 Tahun bab ketentuan Tidak menyebutkan secara arahan
2012 insentif dan penerapan insentif dan disinsentif
disinsentif
3 Jawa Barat* Bandung Nomor Pasal Untuk rujukan pengendalian yang
18 tahun 93,98,99,100 lebih teknis, penjabaran RTRW
2011 dilakukan dalam: RDTRK dan/atau RTBL
Disinsentif khusus akan dikenakan untuk
membatasi pembangunan di Kawasan
Bandung Utara dan mengendalikan
pembangunan di Wilayah Bandung
Barat
4 DKI jakarta* Jakarta Nomor 1 Pasal 205-210 Pasal 207 Prioritas pemberian insentif
tahun 2012 diarahkan pada penyediaan dan
penambahan RTH,penanggulangan
banjir, upaya mengatasi masalah
kemacetan lalu lintas, peremajaan kota
melalui konsolidasi lahan berbasis
masyarakat serta upaya pelestarian
bangunan cagar budaya.
Pasal 208 Prioritas pengenaan disinsentif
diarahkan pada setiap pemanfaatan
lahan yang kegiatan pembangunannya
merubah bentang alam yang
berdampak negatif pada lingkungan di
sekitarnya dan meningkatkan bangkitan
lalu lintas di atas kapasitas jaringan jalan
5 Sulawesi Makassar Nomor Pasal 120 -122
Tidak menyebutkan secara arahan
Selatan 4 Tahun
penerapan insentif dan disinsentif
2015
Gowa Nomor Pasal 95,96,97 insentif yang diberikan untuk kegiatan
15 Tahun pemanfaatan ruang yang ditetapkan
2012 untuk didorong atau dipercepat
pertumbuhannya meliputi:
a. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) dan
Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL);
b. Kawasan budidaya; dan
c. Kawasan strategis kabupaten.
Sayang nya arahan tersebut masih
belum jelas tujuan dan maksudnya
seperti apa

81
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Kota / Perda
No Provinsi Pasal Pengaturan subtansi
Kabupaten RTRW
6 Kalimantan Samarinda Nomor 2 Pasal 84 Insentif diberikan apabila pemanfaatan
Timur tahun 2014 ruang sesuai dengan rencana struktur
ruang, rencana pola ruang, dan indikasi
arahan peraturan zonasi
Disinsentif dikenakan terhadap
pemanfaatan ruang yang perlu dicegah,
dibatasi
Balikpapan Nomor Pasal 104-107 Insentif dan disinsentif yang dikenakan
12 Tahun terhadap kegiatan pemanfaatan ruang
2012 yang
menghambat pengembangan kawasan
lindungdan budidaya.
7 Sumatera Medan Nomor Pasal 67-68 Insentif diberikan pemerintah daerah
Utara* 13 Tahun kepada masyarakat dan swasta yang
2011 melaksanakan pembangunan sesuai
dengan RTRW.
Ketentuan pemberian disinsentif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
ayat (2)
huruf d merupakan arahan pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai atau tidak
sejalan dengan rencana tata ruang yang
ada
*) adalah kota yang sudah mengatur secara detail kebijakan insentif dan disinsentif

Kota pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya. Dalam pandangan


Rapoport yang dikutip oleh Budihardjo40 kota diistilahkan sebagai “cultural landscape”.
Kota dipenuhi beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan dan kepribadian.
Proses perkembangan kota bersifat dinamis. Penduduknya selalu berubah dan
bergerak sehingga sulit ditebak. Oleh karena itu, pola tata ruang kota yang terlalu
ketat dan kaku tidak akan dapat mengantisipasi terjadinya perubahan. Berdasarkan
pengertian mengenai penataan ruang di atas dapat dikatakan bahwa tata ruang
kota merupakan suatu kegiatan merencanakan, menata, membangun dan mengatur
agar daerah kota menjadi lebih baik dan mendatangkan manfaat bagi masyarakat
yang tinggal di dalamnya. Kelemahan terbesar di daerah adalah terjadi inkonsistensi
berupa revisi Perda dilakukan untuk menyesuaikan dengan tuntutan stakeholder.
RTRW sebelumnya dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan pertumbuhan kota
dan memicu kerusakan lingkungan akibat lemahnya unsur pengendalian.

6.3 Implikasi Kebijakan Insentif Disinsentif Tata Ruang di Daerah


Secara umum, penyelenggaraan penataan ruang baik di wilayah perkotaan dan
perdesaan menghadapi pokok permasalahan yang sama. Namun, dampak yang
ditimbulkan membuat kondisi kabupaten dan kota menghadapi kualitas permasalahan
yang berbeda. Berbagai penyimpangan masih terjadi dalam penyelenggaraan
penataan ruang di Indonesia. Penyimpangan ini dapat terjadi karena berbagai hal,
yakni: dominasi kebijakan sektoral yang didasari oleh kepentingan “bisnis” di tiap
sektoral. Setelah kurang lebih 12 tahun diterbitkannya Undang-Undang Penataan
40 Budihardjo, Eko.(2005). Tata Ruang Perkotaan.Bandung: Alumni hal 4-9

82
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Ruang, fokus utama harus mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang, dari
perencanaan tata ruang ke pengendalian pemanfaatan ruang. Namun implementasi
pengendalian pemanfaatan ruang ini menemui berbagai macam permasalahan.
Persoalan pertama dalam implementasi pengendalian adalah belum seluruh daerah
memiliki Perda RTRW dan Rencana Rinci, padahal dokumen perencanaan tersebut
adalah dasar untuk melakukan pengendalian pemanfaatan ruang.

Peraturan zonasi, sebagai salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang,


merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan
ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang
penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi kabupaten/kota
disusun sebagai kelengkapan RTRW kabupaten/ kota, dan merupakan dasar dalam
pemberian insentif dan disinsentif, pemberian izin, dan pengenaan sanksi di tingkat
kabupaten/kota.

Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang dalam RTRW (provinsi/kabupaten/ kota)


masih bersifat normatif dan perlu dirinci lagi sehingga dapat lebih implementatif.
Dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang tersebut, dan juga di setiap
tahapan penataan ruang, perlu dukungan sistem informasi yang berkaitan dengan
dinamika pemanfaatan ruang di lapangan. Integrasi berbagai yang bersifat sektoral
untuk saling melengkapi.

83
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

84
7
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Kesimpulan dan
Rekomendasi

85
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

BAB 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

7.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan analisis formulasi kebijakan tersebut konsen terbesar terdapat


pada kuadran ketiga dimana di daerah tersebut memerlukan pembinaan
dan pengawasan lebih kompleks, sebab di daerah tersebut tidak terjadi
pengarusutamaan tata ruang dengan baik. Kedua relasi antar stakeholders yang
berkaitan dengan rencana tata ruang perlu lebih intens dan holistik, kebijakan
yang sifatnya memaksa perlu dilakukan pada kota Deli Serdang, Makassar dan
Gowa.
2. Pada kuadran satu daerah tersebut memiliki tugas untuk lebih mensosialisasikan
kebijakan insentif dan disinsentif secara lebih seksama ke seluruh stakeholder
dan civil society.
3. Pada kuadran kedua perlu dibentuk tim dari kementerian ATR/BPN yang memiliki
fungsi untuk monitoring dan evaluasi apakah kebijakan insentif dan disinsentif
yang telah dilaksanakan di kota Jakarta, kota Bandung, dan kota Medan telah
berjalan sesuai yang diharapkan.
4. Perlu sosialisasi lebih intens mengingat banyak daerah yang belum seksama
memahami urgensi kebijakan insentif disinsentif mulai dari fase awal sampai
evaluasi.
5. Berdasarkan analisis formulasi dan analisa Problem Normatif di Peraturan daerah
perlu melakukan proses integrasi data yang didasari peraturan menteri ATR/BPN
data-data pertanahan apa yang diperlukan untuk memberi input dalam proses
rancangan peraturan daerah RTRW/RDTR sehingga setiap produk tata ruang lebih
komprehensif.
7.2 Rekomendasi

1. Perlunya disusun sistem mekanisme monitoring dan evaluasi dalam peraturan


insentif disinsentif (pasal 144 rapermen insentif & disinsentif);
2. Perlu dibentuk pranata/unit teknis (lembaga) yang ada di daerah yang terintegrasi
dalam kementerian ATR/BPN mengingat dampak yang timbulkan dari kebijakan
ini sangat signifikan.

86
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Daftar Pustaka

87
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

DAFTAR PUSTAKA

Akib M. et.al. (2013). Hukum Penataan Ruang. Bandar Lampung: PKKPUU FH UNILA.

Arikunto S. (1989). Prosedur Penelitian. Jakarta: Bina Aksara.

Braybrooke D. & Lindblom C. (1963). A Strategy Of Decision: Policy Evaluation As A Social


Process. New York: Free Press Of Glencoe.

Budihardjo E. (2005). Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Alumni.

Carley M. (1980). Rational Techniques In Policy Analysis. London: Heinemann.

Dunn W. D. (1998). Pengantar Analisa Kebijakan Publik (edisi II). Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Dunn W.D. (1995). Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Edward III G.C. (1980). Implementing Public Policy. Washington D.C: Congressional Quarterly
Inc.

Hadi S., (1991). Metodologi Research (Jilid 2). Yogyakarta: Andi Offset.

Hasni. (2010). Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.

Islamy I. (1994). Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Jazuli A. (2017). Penegakan Hukum Penataan Ruang Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan
Berkelanjutan. Jurnal Rechts Vinding, 06 (02), 273.

Jennings B. (1987). Interpretation And The Practice Of Policy Analysis. dalam F. Fischer
& J Forester (Eds.), Confronting Values In Policy Analysis: The Politics Of Criteria; D
Torgerson (1986), Between Knowledge And Politics: Three Faces Of Policy Analysis (pp.
33-59). Newbury Park: Sage

Lincoln Y.S. & Guba E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Newbury Park California: Sage Publication
Ltd.

Lofland, John & Lyn.H.Lofland. (1984). Analyzing Social Settings. California: Wadsworth
Publishing Company.

Marsh D. & Stokker G. (2002). Theory and Methods in Political Science. New York: Palgrave
Macmillan.

Mazmanian D.A. & Sabatier P.A. (1983). Implementation and Public Policy. IIIinois: Scott
Foresman and Company.

Moleong L.J. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Richardson. J.J. (1982). Policy Style in Western Europe. London: Allen & Unwin.

88
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Sumanto. (1995). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Aplikasi Metode Kuantitatif
dan Statistika dalam Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.

Wayne P. (2006). Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Prenada Media.

Weiss C.H. (1977). Research For Policy’s Sake: The Enlightenment Od Social Science Research.
Policy Analysis 3 (4), 531-45.

Yin R.(2000). Studi Kasus. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043)

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5103);

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat
Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 118 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5160);

Peraturan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2018
Pedoman RTRW Prov Kab Kota

89
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

90
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Lampiran
Peta-Peta Penggunaan Tanah dan
Penataan Ruang pada Beberapa Daerah
Lokasi Sampel

91
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

LAMPIRAN
Peta Pola Ruang Kota Medan

92
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Peta Pola Ruang Kota Medan

93
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Peta RDTR Kecamatan Medan Kota

94
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Peta Penggunaan Tanah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012

95
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Peta Pola Ruang Kabupaten Deli Serdang

96
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Peta Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

97
Peta RDTR (SWK Gedebage)
107°40'0"E 107°40'50"E 107°41'40"E 107°42'30"E
Kel.
PETA RENCANA POLA RUANG
Kel. Palasari
Kel. Kel.
Babakansari Sukamulya Cipadung
Kel.
Kulon
Cisaranten
Wetan
SWK GEDEBAGE
Kel Kel.
Antapani Pakemitan
Kidul Kec.
Kel
Antapani Cisaranten
Kulon
Kel Kel.
Antapani Cipadung
Tengah Kel
6°55'50"S Cisaranten
Endah 6°55'50"S
Kec.
Kec. Cibiru
Kiaracondong Kec.
Arcamanik
Kel.
Mekarmulya
Kel.
Cipadung
Keterangan
Wetan
Kec. Administrasi Rencana Jaringan Jalan
Kel.
Sukapura
R1 Panyileukan
R1 PS3
Batas Kecamatan Rencana Jalan TOL Dalam Kota
R1 PS5
PS4
R1 RTH1.1
PS5 Batas Kelurahan Rencana Jalan
R1 R1 R1
PS3 Kec.
RTH1.1
PS5 Jaringan Jalan Rencana Kereta Ringan Berbasis Rel Provinsi
R1 R1 R1
SPU4
Cinambo
R1
R1
SPU3
R1
R1
R1
Jalan Arteri Primer Rencana Kereta Ringan Berbasis Rel
Jalan Arteri Sekunder
RTH1.1
R1 SPU3
RTH1.1
RTH1.1
RTH1.1
R1
Rencana Kereta Cepat Jakarta-Bandung
PS4
R1
RTH1.1 PS4 R1 PS3 Jalan Kolektor Primer
RTH1.1 RTH1.1
Kel. SPU3
RTH1.1
RTH1.1
RTH1.1
RTH1.1
Jalan Kolektor Sekunder Perairan
Jatisari RTH1.1 RTH1.1
Jalan Kereta Api
SPU3 R1
RTH1.1
R1
RTH1.1
R1 SPU3
PS4
PS3 Kel. Sungai
RTH1.1 Pasir Jalan TOL
Kel. I Kel.
Biru Batas & Kode Blok
Jalan Lokal
K3
Cisaranten R1 Babakan
RTH1.1 PS4 Kel.
PS4 Endah
RTH1.1 RTH1.1
K3 SPU3
Cisaranten PS3
Penghulu
KT
PS4 C1a
HKa
Batas Blok
RTH1.1 R1 RTH1.1
Kulon
RTH1.1
K3
K2
RTH1.1 K2
KT
HKa
730101 Kode Blok
K2 K2
Kec. SPU3 RTH1.1
K2 KTa PS4 HKa K3a
..01.. Kode Kecamatan
Buahbatu
RTH1.1
K2 RTH1.1 KT
K2
RTH1.1 RTH1.1 Wilayah KKOP
HK PS2 RTH1.1
PS2
....01 Kode Kelurahan
K2
RTH1.1
RTH1.1 PS2
PS2 PS2
K2 PS3
C1a KTa HKa Permukaan Horizontal Dalam
PS2 PS2 K2
RTH1.1 K2 K2 C1a
PS2
PS2 K2 SPU3 K2 RTH1.1
KT
C1a Permukaan Horizontal Luar
RTH1.1 RTH1.1 PS4
SPU3 SPU2 RTH1.1 R2 PS3 PS4 RTH1.1
RTH1.1 K2 SPU3
C2 C2 C2 C2
RTH1.1
RTH1.1 C1 SPU2 RTH1.1 RTH1.1
RTH1.1
RTH1.1
RTH1.1 KT SPU1 PS4
PS4
HKa Permukaan Kerucut
PS5 RTH1.1 K3 PS4
C2 C2 C2 RTH1.1
RTH1.1 C2 K2 K2 R2 R2 PS4
SPU2 K2 K3
RTH1.1
C2 C2 C2
R1
RTH1.1
R1
RTH1.1 RTH1.1
R1
K3 R2
R2
SPU3 Permukaan Pendekatan Lepas Landas
C2 RTH1.1 RTH1.1 KT RTH1.1
SPU2 K3 PS4
SPU3 R1 C2 SPU1
RTH1.1 RTH1.1 SPU3 K3 RTH1.1 R2 Kel.
R1 R2
R1 K2 K3 RTH1.1 Cimencrang
Zona Lindung
R1 K2 RTH1.1 R1
R1 RTH1.1 RTH1.1 R1 RTH1.1 RTH1.1 SPU1 PS4 PS3
PS4 K3 R2 R2 SPU5
C2 R1 RTH1.1 R1 R1
RTH1.1 RTH1.1 R2 R2 SC1
R1 R1 R1 RTH1.1 RTH1.1 R1 R2
R2 R2
R1 R1 RTH1.1 RTH1.1 K3 R2
R1 R1 C2 C2
R1 RTH1.1 RTH1.1 SPU3 PS4 K2a Kel.
RTH1.1 R1
RTH1.1
R1 R1
SPU3
SPU4 R1
R1
RTH1.1
R2
R2 R2
R2 R2 R2 PS4
RTH1.1
Cipadung PS Perlindungan Setempat RTH Lindung Alami
R1
RTH1.1 R1
R1 RTH1.1
PS4 R1 SPU3 SPU3 R2
R2
R2 SPU1a Kidul
R1 R1 K3 R2 R2 SPU3
Sempadan TOL RTH Publik
R2 R2 R2
R2 PS4 C2
SPU3 R1 RTH1.1
R2
R2 R2 PS4 PS1 RTH1
R2
R1 R1
R1
R1 RTH1.1 RTH1.1 R2 R2 R2 R2 R2
PS3
R2 RTH1.1 R2 K3
PS4 R1
K3 K3
K3 RTH1.1
R2
R2
SPU3
R2 K3
R2 R2
PS4 PS4
R1
PS4
PS4
R1 SPU3
R1 R1 SPU3 RTH1.1 R2
RTH1.1 R2
R2 R2 K3
PS6 KTa
PS2 Sempadan Jaringan Jalan RTH1.1 RTH Taman Unit Lingkungan/Kota
R2 RTH1.1 K3 SPU3 R2 SPU3 SC1
K3 RTH1.1 R2 R2 R2 R2
RTH Pemakaman
R2 PS3
Kel. Kel. R2
K3 K3
R2
RTH1.1 R1 KT
PS4 K3
R2 PS4
C1a
SC1
PS3 Sempadan Rel KA RTH1.2
KTa
Sekejati Rancabolang R2
K3 K3 R2
R2 SPU3
RTH Hutan Kota
R2 K3
SPU6 K3 R2 R2
RTH1.1 SPU3 Kel. K3 PS4 Sempadan Sungai RTH1.3
R2 K3 R2 PS4 Cipamokolan SPU1 K3a
C1a
K3 R2 R2 R2 R2 R2a
SPU3 R2 R2 R2 R2 R2
Sempadan SUTET
SPU1 R2
6°56'40"S SPU3
R2 R2 R1 R2 R2 R2 R2
PS4 Ia PS5
R2 R2
R2 K3 SPU3 SPU1 R2 KT
R2 R2 R2 PS6 SC1
R2 R2
R2 R2 R2
PS4 SPU3 R2
SPU3 6°56'40"S
SPU3
R2
R2
SPU3 K3
R2 R2
R2
R2 R2 RTH1.1
R2
R2
SPU3 K3 PS4
R2
PS6 Sempadan Sekitar Danau Buatan
R2 RTH1.1 R2 R2
R2 R2 R2 K3
R2 K3 R2 RTH1.1 PS4 C1a
R2 R2 R2 K3 SPU1a PS3
K3 R2 R2 R2 RTH1.1 SPU1a C1a
K3 R2 SPU4
R2 R2 R2 R2 SPU3 C1a PS3
R2 R2 R2 R2 SPU1a
K3 R2 R2 R2 R2 R2 SPU3 R2 PS3
R2 R2 R2 R2 R2 SPU1a
R2 R2 R2 K3 R2 SPU1a PS4
R2 R2 R2 R2 R2 K3 R2 R2
K3 PS4 R2
R2 R2 R2
Zona Budidaya
R2 R2 R2 HK R2
RTH1.1 SPU3 R2 R2 R2 K3 R2 SPU1
R2 SPU3
K3 R2 R2 R2 R2 K3 PS4
R2 R2 R2 KT R2 R2 R2 R2 R2
SPU4 R2 R2 R2 R2 K3
R2 K3 SPU1 R2 PS4 RTH1.1
R2 R2 R2 K3a K2a
Perumahan
R2
R2 R2 K3 R2 R2 RTH1.1
R
KT
R2
R2 RTH1.1 R2
R2
R2 R2 PS4
R2 R2 R2
R2
SPU2 R2
PS4
C1a RTH1.1 K Perdagangan & Jasa
R2 R2 R2 R2 R2 R2 SPU3 R2 SPU3a Ia
R2 R2 R2 R2 R2 K3 R2
RTH1.1
R2 R2
R2
R2
R2 R2
SPU3
K3
RTH1.1
SPU3
R2
K3a
RTH1.1
R1 Perumahan Kepadatan Tinggi K2 Pusat Perdagangan & Jasa
R2 R2 R2 RTH1.1 RTH1.1
R2 R2 R2 PS3
R2 R2 K3 PS4 Ia
R2
R2 R2 R2
R2
R2
R2 K3
R2 R2 PS4
RTH1.1
R2
R2 R2
R2 KT
KT R2
RTH1.1
R2
R2 K3 R2a PS4
R2 Perumahan Kepadatan Sedang K3 Perdagangan & Jasa Linier
R2 R2 PS4 R2 R2 R2 R2
R2 R2 SPU3a RTH1.1
R2 R2 KT R2 R2 R2 R2 RTH1.1
Perumahan Kepadatan Rendah
R2 PS4
SPU1 R2
SPU3
R2
K3 R2 R2
R2 R2 PS4
R2 KT
RTH1.1
R2 R3
K3 SPU3 RTH1.1 R2 R2 Ia
K3
RTH1.1
RTH1.1
R2
SPU3 R2
PS4 R2
R2
K3 R2
PS4
R2
K2a
PS4
RTH1.1
R2
K3 PS3 PS4
PS3
SPU Pelayanan Umum
Campuran
R2 PS3
R2
PS4 KTa RTH1.1 RTH1.3
C
Pendidikan
R2 PS4
R2
R2
R2
R2 R2 K3
PS4 RTH1.1 RTH1.1 SPU1
R2 R2 KT
Campuran Intensitas Tinggi
R2 PS4
R2 R2
RTH1.1
R2 K3 R2 R2 R2 RTH1.1 R1a RTH1.1 C1
Kesehatan
K3
R2 RTH1.1
R2 R2 K3
KT
R2 R2
SPU2
R2
Campuran Intensitas Sedang
R2
R2 R2
R2
R2
R2
RTH1.1
SPU3
RTH1.1 R2 C2
R2 RTH1.1 R2 SPU4
K2a
PS2 SPU3 Peribadatan
R2 R2 R2
R2 R2 SPU3 K2a
Kantor Pemerintahan Olah Raga
SPU3
R2 RTH1.1
RTH1.1 K3 R2 R2 R2 KT SPU4
RTH1.1 R2 R2
PS4 K3 PS4
RTH1.1 R2
RTH1.1 R2
R2
R2
R2
R2
SPU5 Transportasi
Industri & Pergudangan
RTH1.1 R2
RTH1.1
R2 R2 SPU3 R2
PS1 PS1 RTH1.3 I
Sosial Budaya
RTH1.1 PS4
PS4
RTH1.1
RTH1.1 R2 R2 R2
Kel.
PS4
R2 SPU6
RTH1.1 K3
RTH1.1 R2 K2a
R2 R2 Cisaranten
Pusat Penelitian dan Pengembangan

RTH1.1 K2a
K3 K3
Wisata
R2 R2
R2 R2
R2 R2 I PS1 PS1 Kidul
K2a R2 W
RTH1.1 SPU3 PS4 R2 R2 R2 R2
HK Pertahanan & Keamanan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

K3a R1a
K3 R2 R2 R2 PS1 PS4
R2
Kel. RTH1.1
R2 R2
R2
R2
R2 SPU3 K2a PS4 R2
RTH1.1 R2 R2
Manjahlega R2
R2 R2
R2
PS4
RTH1.1 RTH1.1 RTH1.1 R2
R2
R2
R2 R2
KTa
PS1
PS4
R2 R2 KH Kawasan Khusus
R2 PS4 R2 R2
RTH1.1 R2
R2 K3 K3 R2 R2
SPU3
R2 Kec. R2
R2
RTH1.1
RTH1.1 SPU3 SPU3
R2
R2 R2
K2a
Gedebage
R2 SPU4 XXXabc Teknik Pengaturan Zonasi (TPZ) KH2 Prasarana Pengolahan Sampah
R2 R1a RTH1.1 SPU4
PS4 SPU4
R2 K2a R2 R2
PS4 R2 SPU4
TPZ Bonus
SPU4
PS4
R2
R2
SPU4
SPU4 SPU4
SPU4 XXXa
K3 SPU3 SPU4
K3 K3 SPU4 SPU4 PS5
RTH1.1
K3
K3 R2
R2
PS4 K3
K2a
PS4
K3 SPU4
SPU4 SPU4
SPU4
SPU4 SPU4 XXXb TPZ Pengendalian Pertumbuhan
SPU4 SPU4 SPU4
R2 R2 R2 K3 SPU3 SPU4
K3
R2
SPU4 PS5 SPU4
SPU4 SPU4
SPU4 XXXc TPZ Pertampalan Aturan (Overlay)
Kec. R2
SPU3
SPU1 R2 R2
K3 SPU4
SPU4 SPU4 SPU4 SPU4
R2 K2a
R2
Rancasari R2
K2a
R2 R2
SPU4
PS5
SPU4 SPU4
SPU4
R2 K3 SPU4 SPU4
SPU1 K3a K3 SPU4
PS4 R2 R2 SPU4 SPU4
K3 R2 PS4 PS4
RTH1.1 R2 SPU4 SPU4 SPU4
R2 K2 SPU3 R2 R2 R2 K3 RTH1.1
R2 R2 SPU1 SPU4
SPU3 SPU3 R2 SPU3 R2 SPU4
Kel. R2 R2 SPU1 R2 R2
K3 SPU3
PS4 SPU4 SPU4
Margasari R2 R2 R2 R2 SPU3 K3a K3a R1a R2 R2
R2
SPU4 RTH1.1 SPU4 SPU4 RTH1.1
R2 R2 PS4
R2 K2a SPU1
SPU3 K3a SPU4 SPU4 SPU4
PS4 R2 R1
6°57'30"S R2 R2 SPU3 R1 SPU4 SPU4 SPU4
R1a SPU2 SPU4
R2 PS4 R1
K3a R1a R3 SPU4 SPU4
SPU4 SPU4 SPU4 6°57'30"S
RTH1.1 PS4 PS5
R1 SPU4 SPU4 SPU4 SPU4 SPU4
PS4 R1
SPU3 K3 K2a
WALIKOTA BANDUNG,
R2 K2a R1 SPU4 SPU4 SPU4
K3
RTH1.2 K3 SPU1 SPU4 SPU4 SPU4 SPU4
K3 PS5 SPU4
R2 R2 Kel. R2 K3a
R2a
R1
K3
K3
SPU3
R2 Derwati PS4
PS5 R1 R1
R1
K3 K3 K3 K2a K3
K3a PS5 R1 R1
R2 R2 K3 R2 SPU4 RTH1.3
Kel.
ttd.
Ia R2 SPU3a
RTH1.1 SPU3 K3a
K3
R2
SPU1
SPU3 PS1 PS5 Rancamumpang KH2
K2a K3 R1 R1
R2 PS4 R1 R1
R2 K3 R2 K2a
K3 R2
PS4 R2 K3
R2 PS4 RTH1.1 R1a K3a PS5
R2 PS1
M. RIDWAN KAMIL
R2 R2 R2 K3a K3
RTH1.1 RTH1.3
RTH1.1 RTH1.1 PS4
R2 SPU3 K3 SPU2 K3 R1
Kel. SPU1 K1 K3 R2 KT R2 R2 RTH1.1
PS5
PS4 R1
R1
R1
Cijaura SPU1 K3 K3 SPU2a
R2 PS4 K3
PS5 K2a
K3
SPU4
R2 R2 K3 K3 K3 R2 R2 PS5
R2 K3 PS4 K2a
SPU2 SPU3 R2a PS4 R2a
PS4 K3
R2 R2 R2 K3 R2 R2 PS5
PS4
Kel.
Salinan sesuai dengan aslinya
R2 R2 PS4 R2a
PS5 R2a
SPU3 SPU3a R2a
R2
R2 R2 RTH1.1
Manjahlega K2a
PS5 R1 K3 KTa R2a R2a
R2 R1 R2a RTH1.1 R2a PS4
KEPALA BAGIAN HUKUM DAN HAM,
R2 SPU4 SPU1a R2a R1
SPU3
PS4 K3a PS5 R1 R2a
R2 PS4 R1 R1 R1 RTH1.1 R2a
R2 SPU3 R2 R2 SPU3 K3a R1
R2 R2 SPU3a SPU3 R1
R2 R1 R2a
R2 R2 Kel. R2
R2 K3
K3a
PS5
PS5
R1a SPU3a R1 R1
R2a K3a RTH1.1
SPU3 Mekarjaya K3 K3
K3 K3 K3 K3 K3 K3 PS5
PS5 R1
R1
K3a SPU4a
R2a
K3a R2a SPU6
R2 R2 R2 RTH1.2 K3a PS4 R2a K3a
R2 R2 SPU3 R2 R2 R2 K2a
R2 R2 K3a K3a K3a SPU3a KTa PS1
PS4 R2 PS5 PS5 SPU3a K3a RTH1.1
PS5 K3a R2a HKa
R2
R2
R2 SPU3 PS4 PS5
K3a R2a RTH1.1
PS5 K3a K3a K3a K3a R2a R2a
SPU3 R2 RTH1.1 PS4 R2 R2a R2a RTH1.1
PS5 K3a K3a
R2 R2 R2 PS5 SPU3 PS4 K2
R2 K3 R2a
Drs. ARIEF SYAIFUDIN, SH
R2 KTa R2a R2a R2a
PS5 R2a K3a
R2 R2
K3 Ia SPU2a K3
R2a R2a R2 R2a RTH1.1
K3 R1a K3a SPU1a K3a R2a
R2 PS5 SPU1a SPU3 K3 R2a RTH1.1
SPU1 PS5 R2
Pembina TK.I
R2 PS5 PS4 R2 R2a
R2 R2 R2 PS5 R1a R2 R2a R2a RTH1.1 RTH1.1
R2 R2 R1 R1a K3 K3a
R2 PS5 PS5 R2 RTH1.1 RTH1.1
R2 K3 K3 R2 PS4
KAB BANDUNG
SPU3
NIP. 19690111 199603 1 002
R2 SPU3 SPU3 R2a R2a R2a R2a
PS4 K3 K3a
PS5 R1 K3 R1 R2 R2a
PS4 SPU3a R2a RTH1.1
R1 R2a R2a RTH 1.1
PS1 R2
PS4 R2a R2a
R2a
CILEUNYI U
R1 PS4 R1 R2a R2a
SPU1 R2 RTH1.1
Skala 1:11,000
R1a R2a
2
R1 R2a R2a R2a
SPU3 PS4 R2a R2a
PS1 R1a RTH1.1
R1 K3a
R1 R1 PS1 K3 K3 R2a PS1
R2a RTH1.1
PS4 RTH1.1 PS4
0 0.15 0.3 0.6 0.9 1.2
K3 Wa
K3 R2a R2a
K2a PS1
Km
K3 PS1 PS4
KTa PS1
K2a PS4
PS1
PS1 PS1
PS1 PS1 PS4
PS1
PS4
Proyeksi : .......................... Transverse Mercator
RTH1.1
PS1
PS1
Sistem Grid : .......................... Grid Geografi
PS1
Datum Horizontal : .......................... World Geodetic System 1984 (WGS 84)
Satuan Tinggi : .......................... Meter
Indeks Peta
6°58'20"S KAB BANDUNG 6°58'20"S
BOJONGSOANG
Cibeunying
Bojonegara
Ujungberung
Arcamanik
107°40'0"E 107°40'50"E 107°41'40"E 107°42'30"E
PE M E R I N TAH K O TA BAN D U N G
Karees
Tegalega
Kordon
Gedebage
RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) KOTA BANDUNG
Sumber : Peta Garis Tahun 2009
Hasil Analisis Tahun 2014

98
PENELITIAN
Instrumen Pengendalian Tata Ruang Efektif Ditengah Konsep Otonomi Daerah:
Formulasi Kebijakan Insentif dan Disinsentif

Peta Penggunaan Tanah Kota Bandung Tahun 2014

99
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Peta Pola Ruang Kota Samarinda 2013-2023

100

Anda mungkin juga menyukai