Tahun 1987 silam setelah lulus dari Madrasah Tsanawiyah (MTs)
setara SMP, kuputuskan untuk mengikuti jejak orang tua menjadi seorang GURU dengan masuk di salah satu Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Jurusan Sekolah Dasar (SD) di kotaku. Di lembaga tersebut kuraih bekalku untuk mendidik dan mengajar kelak jika aku jadi guru. Akhirnya tahun 1990 kugenggam ijazahku sehingga terpatrilah gelar tanpa tanda “Calon Guru”. Tahun itu tak ada formasi pengangkatan guru karena berbagai pertimbangan dan alasan dari pemerintah. Akhirnya kuberanikan diri menjadi guru honor. Mulai honor yayasan sampai mengikuti Program Bhakti Guru tahun 1994 sampai program “wajib” kuliah di D II PGSD tahun 1996. Alhamdulillah awal Maret 1999 kusandang predikat GURU dengan segala konsekuensinya. Ku jalani hari–hari sebagai guru, dengan keikhlasan serta kujadikan sebagai ladang ibadah kebaikan yang akan diperhitungkan kelak dikemudian hari. Allah berfirman di dalam Al Qur’an Surah Al Zalzalah yang berbunyi:
Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Ibarat kata pepatah tak ada laut yang tak bergelombang demikian juga aku, cukup banyak masalah yang kutemui dalam profesi ini. Mulai rendahnya hasil belajar siswa bahkan sikap dan akhlak mereka. Namun satu persatu masalah bisa teratasi. Hal itu berkat kerjasama yang baik dengan teman sejawat, Kepala Sekolah, orang tua siswa bahkan pengurus Komite Sekolah sebagai kepanjangan tangan seluruh orang tua siswa. Sebagai guru saya pernah memberikan sanksi kepada siswa yang bersalah namun masih dalam batas kewajaran. Sanksi saya berikan dengan penuh pertimbangan, salah satunya mengacu pada pendapat Langaveld bahwa “hukuman itu adalah alat pendidikan, yang dipandang tidak perlu dan yang paling akhir”. Berarti hukuman itu boleh diberikan namun jika itu diperlukan dan dilakukan paling akhir jika sudah tak ada lagi solusi lain. Cerita bermula …. kejadian ini baru saja saya alami, kala itu uang tabungan kelas kami hilang dan ada seorang anak yang mungkin karena ketidak pahamannya terlihat oleh temannya mengambil sedikit uang sebelum kejadian hilangnya semua uang kas tersebut. Saya coba mendekati anak itu dan dia mengaku mengambil sedikit uang dengan alasan yang bisa ditoleransi, namun dari temannya yang lain kata mareka dia mengambil uang lebih dari satu kali dan ketika dikonfirmasi dia tidak mengaku. Namun ketika dibujuk dengan penuh kearifan, akhirnya dia mengaku juga. Saya sadar bahwa hal ini tak bisa dibiarkan, pertama bahwa anak itu sudah bisa berbohong dan kedua anak–anak kelas lain sudah tahu bahwa dia yang mengambil uang tersebut. Meskipun tanpa mengerti permasalahan yang sebenarnya. Akhirnya dengan izin dan ditanda tangani oleh Kepala Sekolah orang tua siswa tersebut kami kirimi surat panggilan untuk meluruskan masalah tersebut. Namun astaghfirullah ….., bukannya bisa diluruskan malah masalah baru saya dapatkan. Niat baik untuk mendidik siswa malah ancaman yang saya terima. Hal itu berawal ketika orang tua siswa tersebut sangat tidak percaya atas kelakuan anaknya, bahkan saya dikatakan menuduh “bohong” anaknya tanpa bukti. Padahal mereka diundang untuk bersama-sama membenahi “bohong” anaknya yang bisa saya buktikan. Mereka tidak terima …. sehingga terlontar kata-kata ancaman yang membuat saya takut. Terlebih lagi terasa sakit hati ini … betapa niat ikhlas untuk mendidik siswa dengan niat ibadah malah berbuah kebencian dan amarah. Muncul di benak ini mungkin perlu lagi ditambah satu UU yang melindungi guru seperti apa yang saya alami. Semoga pengalaman ini bisa menjadi sebuah insprirasi bagi pemegang kebijakan yang benar – benar bijak untuk kebajikan kita bersama. Aamiinn.