Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MATERNITAS II

KEGANASAN PADA SISTEM REPRODUKSI DAN

KEKERASAN PADA PEREMPUAN

DOSEN PENGAMPUH : Yulli Fety, S.Kep.,Ns.,MN.,Ph.D

Disusun Oleh Kelompok 6 :

1. IVAN FEBRIAN PRATAMA (P202201003)


2. PUTRI CARISSA WAHID (P202201031)
3. KAMILA REGINA PUTRI (P202201017)
4. YUSPITA (P202201010)
5. WAODE YURNI LISDAYANTI (P202201038)
6. DWI TRIANA (P202201024)
7. RIFKA AINUN (P202201052)
8. ELIN SINAR JAYA PUTRI (P202201045)

A1 KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MANDALA WALUYA

KENDARI

2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena tanpa berkat
dan rahmat Nya-lah kami tidak dapat menyelesaikan makalah tentang Keganasan Pada
Sistem Reproduksi dan Kekerasan Terhadap Perempuan tepat pada waktu yang telah di
tentukan. Kami juga berterimakasih kepada pihak yang baik secara langsung ataupun tidak
langsung membantu kami dalam mengerjakan makalah ini. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas yang di berikan pada mata Kuliah Maternitas II.

Penulis ini mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak


yang memebantu dan menyelesaikan makalah ini, khususnya pada dosen yang telah
memberikan tugas dan petunjuk kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan. Karena itu
penulis meminta saran maupun kritik secara terbuka. Semoga makalah ini bisa menjadi
pedoman dan bermanfaat bagi para pembaca dan dosen pengampuh. Terimakasih.

Kendari, 29 April 2024

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal
yang berkaitan dengan sstem reproduksi, serta fungsi dan perosessnya.
Merawat kebersihan organ seksual seringkali tidak dilakukan sesering
merawat kebersihan organ tubuh lainnya. Padahal organ seksual membutuhkan
perhatian yang ekstra. Pada organ seksual tersebut keringat yang dihasilkan cukup
berlebih. Sehingga organ seksual tersebut menjadi lebih lembab yang dapat menjadi
media berkembangbiaknya bakteri, penyakit dan bau tidak sedap.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KemenPPPA) menyebut ada 24.325 peristiwa kekerasan terhadap perempuandan
24.584 korban dalam kurun waktu 2019 hingga September 2020,berdasarkan data
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA).
Terdapat 31.768 kasus kekerasan terhadap anak, 35.103 korban adalah anak-anak,
yang terdiri dari 10.694 anak laki-laki dan 24.409anak perempuan. Berdasarkan
sumber informasi yang sama, jenis kekerasan yang paling sering diterima oleh wanita
adalah kekerasan fisik sebesar 41,7%,kekerasan psikis sebesar 29,1%, pengabaian
sebesar 11,0%, dan kekerasanseksual sebesar 10,5%. Sementara itu, eksploitasi dan
kejahatan melaluiperdagangan orang (TPPO) yang didaftarkan oleh SIMFONI PPA
adalah 0,3%dan 1,5% serta kekerasan lainnya 5,8%. Dari seluruh data tersebut,
jeniskekerasan yang paling banyak dialami anak adalah kekerasan seksual
yangmencapai 45,4%.
Data CATAHU (Catatan Tahunan Komnas Perempuan) 2020. Jumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus
terdiri dari kasus yang di tangani oleh : 1. Pengadilan Negeri Pengadilan Agama
sejumlah 291.677 kasus. 2. Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuen sejumlah
8.234 kasus. 3. Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak
2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255
kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau tidak memberikan
informasi (Komnas Perempuan, 2021). Data POLDA Nusa Tenggara Barat didapati
kasus kekerasan pada perempuan pada tahun 2020 sebanyak 405 kasus dan
mengalami ponurunan pada tahun 2021 menjadi 318 kasus. Mataram menjadi wilayah
dengan kasus kekerasan pada perempuan tertinggi kedua setelah Dompu dengan total
jumlah kasus pada tahun 2020 sebanyak 82 kasus dan pada tahun 2021 sebanyak 50
kasus. Adapun ke-50 kasus tersebut terdiri dan. 17 kasus kekerasan dalam rumah
tangga, 25 kasus penganiayaan, I kasus pemerkosaan atau sex, dan 7 kasus
penelantaran.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang akan


dibahas yakni sebagai berikut :

1. Bagaimana cara kita untuk menjelaskan dan mengenalkan sistem


reproduksi ?
2. Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi dalam munculnya keganasan
pada sistem reproduksi ?
3. Contoh-contoh dan cara pengobatan mengenai keganasan pada sistem
reproduksi.
4. Apa saja bentuk-bentuk kekerasan terhadap Wanita (Kekerasan terhadap
perempuan) ?
5. Apa saja faktor-faktor yang memicu kekerasan terhadap perempuan dan
hal-hal apa yang perlu dilakukan agar tidak adanya kekerasan terhadap
perempuan ?
6. Bagaiamana cara menghindari dan menanggulangi kekerasan terhadap
perempuan ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini yakni sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui cara menjelaskan dan mengenalkan sistem reproduksi.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam munculnya
keganasan pada sistem reproduksi.
3. Untuk mengetahui contoh dan cara pengobatan mengenai keganasan pada
sistem reproduksi.
4. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan pada Wanita (Kekerasan
terhdap perempuan).
5. Untuk mengetahui faktor-faktor yang memicu kekerasan terhadap
perempuan dan hal-hal apa yang perlu dilakukan agar tidak adanya
kekerasan pada perempuan.
6. Untuk mengetahui cara menghindari dan menanggulaangi kekerasan
terhadap perempuan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Cara Menjelaskan dan Mengenalkan Sistem Reproduksi


1. Organ Reproduksi Manusia
Organ reproduksi merupakan penyusun sistem reproduksi. Organ reproduksi
manusia dibedakan menjadi organ reproduksi pada pria dan wanita. Organ
reproduksi pria menghasilakan sperma dan organ reproduksi wanita menghasilkan
ovum (sel telur).
a) Organ Reproduksi Pria
Organ reproduksi pada pria dibedakan menjadi dua, yaitu alat reproduksi luar
dan organ reproduksi dalam. Organ reproduksi luar berupa penis dan skrotum.
Organ reproduksi dalam berupa testis, saluran kelamin, dan kelenjar kelamin.
1) Organ Reproduksi Bagian Luar
 Penis
Penis merupakan alat untuk memasukan sperma ke dalam saluran
kelamin wanita. Di dalam penis terdapat tiga rongga. Dua rongga
bagian atas tersusun atas jaringan spons korpus kavernosa. Satu
ronggabawahnya tersusun atas jaringan spons korpus spongiosum.
Korpus spongiosum membungkus uretra. Uretra pada penis dikelilingi
oleh pembuluh darah dan ujung-ujung saraf perasa.
 Skrotum (kantong pelir)
Skrotum merupakan kulit terluar yang melindungi testis. Skrotum
berjumlah dua buah, yaitu skrotum kanan dan skrotum kiri. Antara
skrotum kanan dan skrotum kiri terdapat jaringan ikat dan otot polos.
Adanya otot polos mengakibatkan skrotum dapat mengerut dan
mengendur. Dalam skrotum terdapat otot lurik yang berfungsi
mengatur suhu di sekitar testis agar selalu stabil (pembentukan sperma
memerlukan suhu sedikit di bawah suhu tubuh).
2) Organ Reproduksi Bagian Dalam
 Testis (Gonad Jantan)
Testis merupakan alat untuk memproduksi sperma. Untuk
memproduksi sperma diperlukan suhu yang sedikit lebih rendah dari
suhu tubuh. Dalam testis terdapat saluran-saluran halus yang disebut
saluran penghasil sperma (tubulus seminiferus). Dalam tubulus
seminiferus inilah terjadi pembentukan sperma.
 Saluran kelamin
Saluran kelamin berfungsi menyalurkan sperma dari testis ke luar
tubuh. Saluran kelamin meliputi epididimis, vas deferens, saluran
ejakulasi, dan uretra.
a. Epididimis merupakan saluran berkelok-kelok dalam skrotum yang
keluar dari testis. Epididimis berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sperma sementara. Sperma yang telah matang
disalurkan menuju vas deferens.
b. Vas deferens merupakan saluran yang mengarah ke atas dan
merupakan lanjutan dari epididimis. Vas deferens berfungsi
sebagai saluran yang dilalui sperma dari epididimis menuju
vesikula seminalis (kantong sperma).
c. Saluran ejakulasi merupakan saluran penghubung vesikula
seminalis dengan uretra. Fungsi saluran ejakulasi untuk
mengeluarkan sperma menuju uretra.
d. Uretra merupakan saluran reproduksi terakhir. Fungsi uretra
sebagai saluran kelamin dari vesikula seminalis dan saluran urine
dari kantong kemih.
 Kelenjar kelamin
Di dalam saluran kelamin, sperma mengalami penambahan cairan-
cairan kelamin. Cairan kelamin berguna untuk mempertahankan hidup
gerak sperma. Cairan-cairan kelamin dihasilkan oleh vesikula
seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar cowper.
a. Vesikula seminalis menghasilakan cairan yang berfungsi sebagi
sumber energi dan untuk memudahkan gerakan sperma.
b. Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang memberi suasana basa
pada cairan sperma. Cairan tersebut mengandung kolesterol,
garam, dan fosfolipid.
c. Kelenjar cowper/kelenjar bulbouretra yang menghasilkan cairan
yang bersifat basa.
2. Organ Reproduksi Wanita
Organ reproduksi wanita terdiri atas organ kelamin luar dan organ kelamin dalam.
Organ kelamin luar berupa vulva dan labium. Organ kelamin dalam berupa
ovarium dan saluran kelamin.
a) Organ Reproduksi Bagian Luar
1) Vulva merupakan celah paling luar dari alat kelamin wanita. Pada
bagian dalam vulva terdapat saluran urine dan saluran reproduksi. Pada
daerah dekat ujung saluran kelamin terdapat hymen/selaput dara.
Hymen mengandung banyak pembuluh darah.
2) Labium merupakan bagian yang membatasi Vulva. Ada dua macam
labium, yaitu labium mayora (terletak di sebelah luar) dan labium
minora (terletak di sebelah dalam). Antara labium mayora dan minora
bagian atas terbentuk tonjolan kecil yang disebut klitoris. Pada klitoris
terdapat korpus kavernosa yang mengandung banyak pembuluh darah
dan ujung saraf perasa.
b) Organ Reproduksi Bagian Dalam
1) Vagina merupakan saluran akhir organ reproduksi wanita. Vagina
bermuara di vulva. Vagina mengandung banyak lendir yang dihasilkan
kelenjar Bartholin. Lender ini berguna pada saat koitus dan
mempermudah kelahiran bayi.
2) Uterus merupakan rongga besar yang merupakan pertemuan oviduk
kanan dan kiri. Bagian terbawah uterus menyempit yang disebut
serviks (leher rahim). Uterus berfungsi sebagai tempat pertumbuhan
dan perkembangan embrio hingga siap lahir. Uterus dibatasi oleh
dinding endometrium yang kaya pembuluh dara. Dinding endometrium
akan menebal ketika terjadi kehamilan.
3) Oviduk atau tuba fallopi merupakan sepasang saluran yang ujungnya
berbentuk corong yang disebut infundibulum.
4) Ovarium merupakan penghasil ovum. Terdapat dua buah ovarium,
sebelah kiri dan kanan. Organ kelamin wanita berfungsi menghasilkan
ovum (sel telur). Sel telur terbentuk melalui oogenesis yang terjadi di
dalam ovarium.

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dalam Munculnya Keganasan Pada Sistem


Reproduksi
1. permasalahan utama yang sering dialami oleh remaja indonesia yaitu
ketidaktahuan terhadap tindakan yang harus dilakukan sehubungan dengan
perkembangan yang sedang dialami, khususnya masalah kesehatan reproduksi
remaja. Hal tersebut ditunjukkan dengan masih rendahnya pengetahuan remaja
tentang kesehatan reproduksi (Yuniarti dkk, 2017)
2. Wanita yang memiliki jumlah pasangan seksual lebih dari satu memiliki risiko
terjadi HIV/AIDS 23,32 kali lebih besar dibanding wanita yang punya pasangan
seksual hanya satu
3. Perilaku pemakaian kondom, penggunaan kondom yang tidak konsisten berisiko
terjadinya HIV/AIDS 5,34 kali dibanding populasi kunci yang pemakaian
kondomnya konsisten
4. Hubungan seksual melalui anal tanpa menggunakan perlindungan
5. faktor yang berisiko terhadap kejadian HIV yaitu jenis kelamin laki-laki, usia
kurang dari 40 tahun, wanita usia pertama kali menikah kurang dari 20 tahun,
status menikah, pendidikan rendah, pengetahuan rendah, riwayat konsumsi
alkohol, riwayat tindik jarum tidak steril, riwayat keluarga dan suami HIV/AIDS,
riwayat penyakit menular seksual, orientasi seksual (heteroseksual, homoseksual,
biseksual), melakukan hubungan seksual kombinasi (gabungan oral, vagina, dan
anal), mempunyai pasangan seksual lebih dari satu, melakukan hubungan seksual
tanpa kondom, penggunaan narkoba suntik yang berganti-gantian (Rohmatullailah
dan Dina, 2021)
C. Contoh dan Cara Pengobatan Mengenai Keganasan Pada Sistem Reproduksi
1. Menjaga kebersihan Sistem Reproduksi.
a) Selalu membersihkan alat kelamin setelah buang air kecil, serta sebelum dan
setelah melakukan hubungan seksual.
b) Pastikan area organ intim selalu dalam keadaan kering dan tidak lembap.
c) Hindari menggunakan sabun wangi, sabun sirih, deodoran, bedak, dan vaginal
douche karena dapat menyebabkan kulit kelamin rentan iritasi.
d) Mengganti celana dalam setiap hari dan pastikan bahan celana yang digunakan
mampu menyerap keringat dengan baik.
e) Bagi pria, pertimbangkan untuk sunat karena tidak disunat dapat
mengakibatkan penumpukan kotoran pada kulup dan meningkatkan risiko
infeksi bakteri di penis.
2. Menerapkan pola makan sehat. Cara menjaga alat reproduksi tetap sehat ini
dilakukan dengan memperhatikan makanan yang masuk ke tubuh. Dilansir dari
Harvard Health Publishing, berikut upaya menjaga kesehatan reproduksi dengan
menerapkan pola makanan sehat.
a) Hindari konsumsi lemak trans.
b) Penuhi kebutuhan protein dari sayur, seperti kacang, tahu, serta biji-bijian.
c) Pilih karbohidrat yang kaya akan serat
d) Minum multivitamin, seperti asam folat.
e) Penuhi kebutuhan zat besi, seperti dari bayam, kacang, labu, tomat.
3. Hindari perilaku seks berisiko Berhubungan seks dengan aman merupakan salah
satu cara menjaga alat reproduksi tetap sehat. Berikut bentuk perilaku seks aman
yang juga bisa membantu menjaga kesehatan organ reproduksi.
a) Menggunakan alat kontrasepsi, seperti kondom, pil KB, atau KB IUD.
b) Tidak bergonta-ganti pasangan seks.
c) Menjaga kebersihan organ intim sebelum dan setelah seks
d) Cek dan ricek riwayat seksual diri sendiri dan pasangan.
e) Melakukan tes penyakit kelamin secara berkala.
4. Memeriksakan kesehatan reproduksi ke dokter secara rutin. Beberapa orang baru
memeriksakan kesehatan reproduksi ketika merencanakan kehamilan. Padahal,
meski tidak sedang berencana hamil, organ reproduksi harus diperiksa secara
rutin. Tindakan ini bertujuan untuk mencegah berbagai penyakit, yang bisa
muncul tanpa gejala di kemudian hari. Berikut jenis pemeriksaan kesehatan
reproduksi yang umum dilakukan yakni
a) Pemeriksaan darah lengkap (complete blood count).
b) Pemeriksaan urin
c) USG.
d) HSG.
e) Tes penyakit kelamin, seperti tes sifilis dengan uji VDRL.
f) Pap smear.
5. Menjalankan pola hidup sehat. Gaya hidup sehat adalah kunci menjaga sistem
reproduksi tetap sehat. Tidak hanya organ reproduksi, pola hidup ini juga menjaga
kesehatan tubuh secara keseluruhan. Beberapa pola hidup sehat yang bisa Anda
terapkan, meliputi
a) Berhenti merokok.
b) Tidak mengonsumsi alkohol secara berlebihan.
c) Berolahraga secara teratur setidaknya 30 menit sehari.
d) Menjaga berat badan tetap ideal.
e) Istirahat yang cukup.
f) Mengelola stress (Yatimah dkk, 2022)
D. Bentuk-Bentuk Kekerasan Pada Wanita (Kekerasan pada perempuan)
Isu kekerasan perempuan dalam rumah tangga di Indonesia masih dipandang
biasa, dan menganggap itu sebuah dinamika kehidupan yang harus dijalani. Sehingga
banyak perempuan rumah tangga yang tidak berani untuk melaporkan kekerasan yang
dialaminya karena beranggapan itu sebuah aib dalam keluarga yang tidak seharusnya
orang lain mengetahuinya. Fenomena kekerasan tersebut seoalah seperti gunung es.
Artinya bahwa kasus yang terungkap (publik) hanyalah sebagaian kecil dari bentuk
kekerasan pada perempuan dalam rumah tangga yang belum terekspose kepermukaan.
Tentu ini menjadi tugas semua pihak bahwa segala bentuk kekerasan harus
dihilangkan, khususnya pada perempuan. Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam
rumah tangga, yakni :
1. Kekerasan Fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat. Kekerasan fisik dapat dicontohkan seperti menendang, menampar,
memukul, menabrak, mengigit dan lain sebagainya. Perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit tersebut tentu harus mendapatkan penanganan medis
sesuai kekerasan yang dialaminya.
2. Kekerasan Psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. Dapat dicontohkan seperti perilaku
mengancam, mengintimidasi, mencaci maki/ penghinaan, bullying dan lain
sebagainya. Kekerasan psikis ini apabila terjadi pada anak tentu akan berdampak
pada perkembangan dan psikis anak, sehingga cenderung mengalami trauma
berkepanjangan. Hal ini juga dapat terjadi pada perempuan.
3. Kekerasan Seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu, yang meliputi :
(a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
(b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Bentuk kekerasan seksual inilah yang biasa banyak terjadi pada perempuan,
karena perempuan tergolong rentan.
4. Penelantaran Rumah Tangga, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang
bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, serta pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau
di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Dilihat
dari penjelasan pasal tersebut, penelantaran rumah tangga tidak hanya disebut
sebagai kekerasan ekomoni, namun juga sebagai kekerasan kompleks. Artinya
bahwa bukan hanya penelantaran secara finansial (tidak memberi nafkah, tidak
mencukupi kebutuhan, dll) melainkan penelantaran yang sifatnya umum yang
menyangkut hidup rumah tangga (pembatasan pelayanan kesehatan dan
pendidikan, tidak memberikan kasih sayang, kontrol yang berlebihan, dll)

Selain kekerasan dalam rumah tangga, ada 15 jenis kekerasan seksual yang
ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998-
2013) :

1. Perkosaan
2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
3. Pelecehan seksual
4. Eksploitasi seksual
5. Perdagangan Perempuan untuk tujuan seksual
6. Prostitusi paksa
7. Perbudakan seksual
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
9. Pemaksaan kehamilan
10. Pemaksaan aborsi
11. Pemaksaan kontrasespsi dan sterilisasi
12. Penyiksaan seksual
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yan membahayakan atau mendiskriminasi
perempuan
15. Kontrol seksual

Kelima belas bentuk kekerasan seksual ini bukanlah daftar final, karena ada
kemungkinan sejumlah bentuk kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat
keterbatasan informasi mengenainya

Sejalan dengan hal di atas, kekerasan seksual merupakan kekerasan yang


paling sering terjadi pada perempuan. Kerentanan perempuan menjadi korban
kekerasan seksual disebabkan banyak faktor.

Isu kekerasan seksual terhadap perempuan bukan saja merupakan masalah di


Indonesia, namun juga menjadi masalah di berbagai dunia. Jane Roberts Chapman
(pendiri Center Woman Policy Studies) dalam Harkristuti Harkrisnowo
“mengungkapkan bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan secara universal
terjadi di semua budaya dan negara.”

E. Faktor-Faktor Yang Memicu Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hal-Hal


Apa Yang Perlu Dilakukan Agar Tidak Adanya Kekerasan Pada Perempuan
1. Faktor Kesadaran Hukum
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa responden 78,39 % memiliki kesadara
hukum. Kesadaran hukum artinya keadaan ikhlas yang muncul dari hati nurani
dalam mengakui dan mengamalkan sesuai dengan tuntunan yang terdapat di
dalamnya, yang muncul dari hati nurani dan jiwa yang terdalam dari manusia
sebagai individu atau masyarakat untuk melaksanakan pesan-pesan yang terdapat
dalam hukum (Febriyanti & Aulawi, 2021).
Menurut Soekanto (2017), ada empat unsur kesadaran hukum yaitu: 1)
Pengetahuan tentang hukum, 2) Pengetahuan tentang isi hukum, 3) Sikap hukum,
4) Pola perilaku hukum. Ke empat unsur tersebut menunjukkan bahwa problem
kesadaran hukum masyarakat berkenaan dengan KDRT dapat dilihat dari kriteria
tersebut (Tundjung HS dkk, 2019). Hakikat kepatuhan hukum memiliki 3 faktor
yang bisa membuat masyarakat mematuhi hukum antara lain: Compliance
kepatuhan hukum yang disebabkan karena adanya sanksi, Identification kepatuhan
hukum yang disebabkan karena mempertahankan hubungan, dan Internalization
kepatuhan hukum dikarenakan masyarakat mengetahui tujuan dan fungsidari
kaidah hukum (Febriyanti NH & Aulawi Anton, 2021).
Menurut Ahmad (2018) Kesadaran hukum berarti adanya pengetahuan hukum,
pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum tentang: Pandangan-
pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu; Apa yang
seyogyanya kita lakukan atau perbuat; Memahami akan kewajiban hukum kita
masing-masing terhadap orang lain; Kesadaran akan toleransi terhadap orang lain;
Kesadaran yang memperhatikan, memperhitungkan dan menghormati kepentingan
orang lain; Kesadaran untuk tidak merugikan orang lain; Kesadaran tidak
melakukan penyalah gunaan hak (abus dedroit).
Penelitian yang dilakukan oleh Tundjung HS, dkk (2019) terdapat hasil
peningkatan kesadaran hukum masyarakat, penting untuk dilakukan untuk
membangun kultur yang berguna memastikan sistem hukum bekerja dengan baik
dalam kerangka mencegah dan menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga.
Selain itu di dalam penelitian lain dikatakan dalam upaya penanggulangan dan
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga tidak cukup hanya melalui pendekatan
sarana penal (hukum pidana) dan non penal (bukan/diluar hukum pidana) namun
harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat. Upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat
represif sesudah kejahatan terjadi. Menurut G. Peter Hefnagels upaya yang
dimaksud adalah penerapan hukum pidana (criminal law application). Sedangkan
jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan
terjadi. Menurut Hoefnagels (1973), upaya-upaya yang disebut pencegahan tanpa
pidana (prevention without pusnishment) dan mempengaruhi padangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing
views of society on crime and punishment/massa media). Mengingat upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat akan pencegahan
untuk kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif
penyebab terjadinya kejahatan (Iskandar, 2016).
Penelitian ini menilai jika tingkat kesadaran hukum di dalam masyarakat
sangat berpengaruh dengan suatu tindak kekerasan pada perempuan yang terjadi
di masyarakat khususnya di Kota Mataram, karena, sebagian besar responden
mengatakan paham mengenai Undang-undang tentang sebuah Pernikahan dan
Undang-undang mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sehingga sangat
erat kaitannya kekerasan dalam rumah tangga dengan kesadaran hukum dimana
masyarakat harus sadar dan tahu jika tindak kekerasan dalam rumah tangga baik
bersifat verbal maupun fisik merupakan suatu tindak pelanggaran hukum. Hal ini
dibuktikan dari hasil penelitian, responden melaporkan segala jenis tindakan
kekerasan yang mereka alami kepada orang terdekat hingga kepada pihak
berwajib yang mengatasi masalah tindak kekerasan dalam tumah tangga.
Responden juga mengatakan jika dari awal menikah mereka sudah tahu mengenai
jenis-jenis tindakan kekerasan yang dapat dilaporkan serta kemana mereka akan
melaporkan tindak kekerasan yang dialami sehingga mereka tidak harus
mengalami tindak kekerasan dalam waktu yang lama. Membangun kesadaran
hukum di masyarakat sama dengan membangun produk kebudayaan. Kebudayaan
yang dimaksud berupa pedoman-pedoman tentang apa yang harus dilakukan boleh
dan tidak serta apa yang menjadi larangan.
2. Budaya Patriarki
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa responden 45,95% memahami tentang
budaya patriarki. . Secara harfiah, patriarki berarti sistem yang menempatkan ayah
sebagai penguasa keluarga. Istilah ini kemudian digunakan untuk menjelaskan
suatu masyarakat, di mana kaum laki-laki berkuasa atas kaum perempuan dan
anak-anak (Sutiawati & Mappaselleng, 2020).
Budaya patriarki di Sulawesi Selatan berdampak negatif bagi perempuan.
Keyakinan ini, laki-laki kemudian dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol
perempuan. Keadaan adanya penerimaan masyarakat bahwa posisi perempuan
memang subordinat mengakibatkan laki-laki atau suami dengan mudah
melakukan tindakan kekerasan terhadap istri juga dianggap ilegal untuk membuat
perempuan tetap menjadi subordinat sekaligus sebagai bentuk penyelesaian saat
terjadinya masalah antara suami istri (Sutiawati & Mappaselleng NF, 2020).
Penelitian lain juga mengatakan jika sebagian laki-laki memilih untuk
mengeskpresikan emosinya dalam bentuk kekerasan, sedangkan perempuan lebih
ekspresif. Meskipun demikian, laki-laki dapat menjadi agen pemutus rantai
kekerasan. Namun tidak sepenuhnya hal tersebut adalah tanggung jawab dari laki-
laki. Melainkan, semua orang juga memiliki tanggung jawab untuk memutus
rantai kekerasan yang berada dalam hubungan (Jufanny & Girsang, 2020).
Peneliti menilai dari penelitian terdahulu jika budaya patriarki merupakan
sebuah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai pengontrol utama baik di
dalam rumah tangga maupun di luar lingkup rumah tangga. Hasil penelitian ini
juga menunjukkan bahwa responden menilai jika budaya patriarki merupakan
sebuah hal wajar terjadi di masyarakat karena dalam budaya Sasak memposisikan
laki-laki sebagai pengontrol di dalam rumah tangga dan menganggap laki-laki
lebih mampu untuk memimpin dibandingkan perempuan yang harus sesuai
dengan kodratnya yaitu mengurus rumah. Ungkapan tersebut dapat menyebabkan
tindak kekerasan, namun jika istri bisa memilih untuk diam dan mengalah maka
suatu tindak kekerasan itu tidak akan terjadi.
3. Faktor Ekonomi atau Kemiskinan
Hasil penelitian menunjukkan penghasilan di bawah UMR (Upah Minimum
Regonal ) sebanyak 64,86%. Responden tidak bekerja karena tidak diberi ijin oleh
suami sehingga hanya mengandalkan suami sebagai petani dan kerja serabutan
yang bekerja untuk menghidupi keluarga, akibatnya ketika istri meminta uang
kepada suami, istri dimaki bahkan tidak urung dipukuli karena suami tidak
sanggup memenuhi permintaan istri. Beberapa responden tinggal bersama mertua
sehingga timbul ketidakmampuan dan ketidakberanian untuk mengelola keuangan
karena masih bergantung pada mertua.
Kemiskinan sering dimaknai sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar, seperti pangan, pakaian, papan, pendidikan, dan kesehatan
(Rosana, 2019). Indikator utama kemiskinan yaitu: makanan, pakaian dan tempat
tinggal yang tidak layak atau masih kurang, terbatasnya kepemilikan tanah dan
alat-alat produktif, kesejahteraan hidup masyarakat yang kurang, serta masih
banyak masyaraat yang buta huruf dan terbatasnya layanan sanitasi dan layanan
kesehatan (Rosana, 2019).
Penelitian yang dilakukan oleh Eni Purwaningsih (2008) mengatakan jika
kurangnya rasa tanggung jawab akan kebutuhan rumah tangga, tidak memberi
nafkah pada istri, tidak mempunyai pekerjaan/ pengangguran. Hal ini dapat
memicu terjadinya tindak kekerasan. Karena istri sering menuntut kebutuhannya
terpenuhi. Penelitian lain juga mengatakan bahwa kemiskinan dapat memicu
munculnya destabilisasi emosi pada pasangan suami-istri, kondisi seperti ini akan
memudahkan terjadinya KDRT. Kebergantungan secara ekonomi oleh istri kepada
suami juga memicu KDRT. Istri biasanya menerima begitu saja kekerasan yang
dilakukan oleh suami dengan alasan takut tidak diberi uang untuk kebutuhan
sehari-hari (Sutiawati & Mappaselleng, 2019). Dikatakan kemiskinan itu terjadi
karena jika kehidupannya dibandingankan dengan kehidupan orang lain lebih
rendah sesuai dengan standar yang sudah ditentukan atau berlaku dalam
masyarakat (Rosana, 2019).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status ekonomi berhubungan dengan
kekerasan, hal ini disebabkan sebagian besar responden menggantungkan
ekonominya kepada suaminya sedangkan kondisi ekonomi suami yang tidak
memiliki pekerjaan dan bekerja serabutan sehingga suami sendiri harus bekerja
keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal inilah yang memicu destabilisasi
emosi antara suami-istri sehingga menimbulkan tindak kekerasan baik yang
bersifat verbal maupun nonverbal seperti tindak pemukulan dan tindak kekerasan
lainnya.
Menurut hasil penelitian yang sudah dilakukan terhadap responden didapatkan
hasil wawancara sebagian besar mengatakan jika ekonominya bergantung pada
suaminya karena dari awal menikah telah dilarang oleh suaminya untuk bekerja
dan tinggal bersama dirumah orang tua suaminya, responden mengatakan jika hal
itu terjadi karena suami ingin istrinya fokus untuk mengurus rumah tangga, anak
serta orang tua dari suami. Selain itu responden juga mengatakan jika keadaan
ekonomi dikeluarganya tidak stabil karena dari beberapa responden mengatakan
jika suaminya hanya berkerja secara serabutan/tidak tetap.
4. Faktor Dugaan Adanya Perselingkuhan
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kekerasan terjadi pada perempuan di
Kota Mataram 43,24 % karena adanya faktor perselingkuhan. Perselingkuhan
dianggap sebagai tindakan yang dirasakan dan dialami sebagai penghianatan yang
menyakitkan dari suatu kepercayaan dan ancaman dalam suatu hubungan (Purba
& Kusumiati, 2019).
Penelitian terdahulu mengatakan jika perselingkuhan adalah kegiatan seksual
atau emosional dalam bentuk ketidaksetiaan yang dilakukan oleh suami atau istri
yang menjalani hubungan intim dengan orang lain dan melanggar komitmen atau
kepercayaan antara keduanya (Adam, 2020). Penelitian lain dikatakan juga dalam
psikologi keluarga sering diasumsikan bahwa seorang pasangan pernikahan akan
mengalami yang namanya pubertas kedua kalinya. Sehingga untuk mengatasi
persoalan yang terjadi suami sering melakukan kekerasan terhadap istrinya untuk
menutupi perselingkuhannya yang dilakukan oleh istrinya (Asfiyak, 2021).
Peneliti menilai jika dalam penelitian terdahulu mengatakan tindakan
perselingkuhan merupakan sebuah kegiatan seksual atau emosional dalam bentuk
ketidaksetiaan yang dilakukan baik oleh suami maupun istri. Perselingkuhan
terjadi karena timbulnya rasa ketidakpuasan dalam pernikahan, seksualitas dan
kebutuhan untuk mencari kebebasan. Jika dibandingkan dengan kondisi yang ada
pada responden banyak dari responden yang mengalami tindak kekerasan namun
tidak pernah diselingkuhi oleh suaminya. Hasil wawancara dengan responden,
didapat hasil jika banyak dari responden mengatakan tidak mengalami tindak
kekerasan akibat adanya perselingkuhan. Responden mengatakan jika dirinya
mendapat tindak kekerasan akibat adanya masalah yang tidak dapat diselesaikan
dengan kepala dingin sehingga suami merasa emosi dan melakukan suatu tindak
kekerasan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan jika
perselingkuhan terjadi akibat ada rasa ketidakpuasan terhadap pasangannya
sendiri dan mencari kepuasan diluar. Dan ketika tindakan perselingkuhan
diketahui oleh pasangan kebanyakan yang melakukan tindakan perselingkuhan
akan melakukan suatu tindak kekerasan guna menutupi tindakan perselingkuhan
yang dijalaninya.
5. Faktor Pernikahan Dini
Hasil penelitian menunjuukan bahwa faktor pernikahan dini salah satu factor
penyebab kekerasan pada perempuan sebanyak 54,05 %. Pernikahan dini (early
mariage) merupakan suatu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang
memiliki umur yang relatif muda. Umur yang relatif muda yang dimaksud
tersebut adalah usia pubertas yaitu usia antara 10-19 tahun (Desiyanti, 2015).
Menurut revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berdasarkan keputusan
MK yang terbit awal September 2019 tentang Perkawinan, usia minimum dalam
menikah bagi laki-laki maupun perempuan menjadi 19 tahun, dari yang
sebelumnya yaitu 16 tahun. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan
umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan /atau orang
tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan
sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup (Hutabarat, 2019
dalam Rahyu, 2021).
Penelitian oleh Lina Dina Maudina (2019) mendapat hasil jika dampak yang
ditimbulkan dari pernikahan dini secara garis besar terhadap tiga dampak yaitu
dari segi psikologis seperti merasa malu, takut, stress dan terbebani. Selanjutnya
dampak ke dua yaitu dari segi kesehatan meliputi melahirkan bayi premature,
perdarahan dan darah tinggi, terakhir dampak sosial ekonomi yakni mereka
kurang bersosialisasi dengan lingkungan setempat dan merasa malu dikarenakan
menikah di usia dini karena hamil di luar nikah. Dari segi ekonomi belum mandiri
dan masih bergantung kepada orang tua.
Peneliti menilai jika pernikahan dini yang marak terjadi di masyarakat sangat
mempengaruhi sebuah tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat juga.
Pernikahan dini dikatakan berkaitan dengan kekerasan karena di usia dini untuk
menikah banyak dari pasangan dari segi emosi masih labil dan belum bisa
mengontrol, sehingga sesuai dengan kondisi responden dimana responden yang
menjalani pernikahan di usia muda lebih rentan untuk bertikai dengan
pasangannya dan dengan kondisi dimana emosi belum stabil sehingga suami tanpa
sadar melakukan sebuah tindak kekerasan terhadap dirinya, Hasil penelitian
menunjukkan responden menikah di umur 18 tahun dengan kondisi sudah hamil
duluan sehingga memutuskan untuk menikah guna menutupi aib keluarga,
menikah di umur yang masih muda pola pikir belum dewasa, pola pikir belum
stabil, menikah di usia muda sama dengan melepas masa muda untuk bermain-
main sehingga terkadang setelah menikah pasangan merasa bosan hanya
mengurus rumah tangga saja dan responden juga mengatakan awalnya mereka
tidak menyangka jika pernikahan yang dimiliki akan menimbulkan dampak
negatif untuk dirinya.
Berdasarkan penjelasan di atas maka bisa ditarik kesimpulan menikah di usia
muda juga menimbulkan dampak-dampak negatif seperti dampak dari segi
psikologis, dampak dari segi kesehatan dan dampak dari segi sosial ekonomi. Di
usia yang masih muda dalam membina rumah tangga tentu sangat rentan dengan
suatu tindak kekerasan dimana suami maupun istri masing-masing belum mampu
mengontrol emosi, sehingga hal ini dapat memicu suatu tindak kekerasan. Maka
dari itu tindak kekerasan fisik lebih mendominasi jenis-jenis tindak kekerasan
yang ada, sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti jika
kekerasan fisik merupakan jenis tindak kekerasan terbanyak. Maka dapat
disimpulkan bahwa faktor pernikahan dini menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan tindak kekerasan pada perempuan di Kota Mataram.
F. Cara Menghindari dan Menanggulangi Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam upaya penanggulangan dan pencegahan pelaku kekerasan dalam rumah
tangga tidak hanya cukup dengan pendekatan integral, tetapi pendekatan sarana penal
dan non penal tersebut harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum
masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya
hukum. Dikatakan sebagai salah satu bagian,karena selama ini ada persepsi bahwa
budaya hukum hanya meliputi kesadaran hukum masyarakat saja (Sianturi, Rochaeti,
& Wisaksono, 2017).
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan sebagai bagian dari masyarakat
hukum yaitu membangun konsep kaidah sistem pencegahan kekerasan yang ideal
terhadap perempuan sebagai isteri dalam rumah tangga. Sistem pencegahan yang
ideal diantaranya yaitu :
a. Membentuk Konsep Kaidah Hukum Pencegahan
Kesadaran hukum merupakan kewajiban setiap orang menaati aturanaturan
atau normanorma hukum. Selain norma hukum yang berlaku itu, ada pula norma-
norma lainnya, yaitu norma agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan. Agar
dapat tertib dan teratur, seharusnya selalu mematuhi norma-norma atau
peraturanperaturan yang berlaku, baik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Agar masyarakat tetap terpelihara, maka haruslah
norma itu dipatuhi. Setiap orang yang menghendaki hidup tertib dan tenteram
harus selalu taat dan patuh terhadap hukum atau peraturan-peraturan yang berlaku
di negara, lingkungan masyarakat, lingkungan kerja, dan lingkungan rumah
(Sutiawati, & Mappaselleng, 2020).
b. Menyediakan Rumah Perlindungan Yang Aman
Pemerintah dalam hal ini harus menyediakan rumah perlindungan atau dapat
dikatakan sebagai tempat tinggal sementara yang aman guna memberikan
perlindungan secara khusus atau yang dikenal dengan rumah aman yang tesebar
pada masing-masing Provinsi di Indonesia. Dalam hal ini yang dimaksudkan
dengan rumah perlindungan atau tempat tinggal yang aman yaitu merupakan
rumah kediaman atau tempat tinggal sementara yang aman ditempati dan
digunakan kepada perempuan sebagai isteri untuk mendapatkan perlindungan
yang cukup ketat dan khusus guna menghindari dan mencegah akan terjadinya
kekerasan terhadap perempuan sebagai istri sesuai dengan standar operasional
masing-masing Provinsi yang tersebar di Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran
hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan
bentuk diskriminasi. Apabila dikaitkan dengan fenomena perempuan, maka yang
berkembang selama ini menganggap bahwa kaum perempuan cenderung dilihat
sebagai “korban” dari berbagai proses sosial yang terjadi dalam masyarakat selama
ini. Oleh karena itu, sekecil apapun kekerasan yang dilakukan dapat dilaporkan
sebagai tindak pidana yang dapat di proses hukum. Kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Dalam penanganan korban KDRT terhadap perempuan, pekerja sosial harus
terlibat dalam upaya penanganan terpadu dari berbagai sektor. Perspektif pekerjaan
sosial memandang bahwa korban KDRT harus segera mungkin untuk mendapatkan
jaminan perlindungan dan keamanan serta pendampingan sosial agar korban dapat
berfungsi sosial kembali.
Kekerasan seksual terhadap perempuan tidaklah sama dengan perbuatan
pidana lainnya. Kekerasan seksual memilki dimensi perbuatan yang luas dan
beragam. Dari putusan yang penulis peroleh dari Pengadilan Negeri Jambi, jenis
kekerasan seksual umumnya tindak pidana perkosaan dan pencabulan seperti yang
termuat dalam KUHP. Dalam penjatuhan hukuman, belum ada satupun hakim
menjatuhkan hukuman maksimal, meskipun dalam fakta persidangan terbukti
bersalah. Dalam hal penerapan hukum, penegak hukum dalam hal ini jaksa dan hakim
mempedomani KUHP, yang memang memuat pengaturan perkosaan dan pencabulan.
Meskipun dalam tataran kenyataan kasus yang terjadi sebenarnya memiliki dimensi
perbuatan yang beragam (lebih dari satu) dan layak untuk diberikan ancaman yang
sesuai dengan perbuatan pelaku. Dalam hal ini, terjadi kekosongan hukum yang
sebenarnya mengakibatkan ketidakpastian dalam pemenuhan rasa keadilan bagi
perempuan (korban).
Hasil penelitian menunjuukan dari 5 faktor penyebab kekerasan pada
perempuan terdapat 3 faktor yang lebih sering menyebabkan kekerasan pada
perempuan di Kota Mataram yaitu faktor kesadaran hukum, kemiskinan dan
pernikahan dini. Jenis tindak kekerasan sebagian besar mengalami jenis tindak
kekerasan fisik.
Sistem pencegahan yang ideal diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Membentuk Konsep Kaidah Hukum Sistem Pencegahan Pada Setiap Orang Atau
Manusia, yang mengatur bahwa:“Barang siapa dengan sengaja membiarkan
seorang dalam keadaan terancam fisik, psikis, seksual atau terlantar, karena
kekerasan fisik maupun verbal, atau membiarkan seorang dalam keadaan luka,
sengsara, atau menderita akibat kekerasan fisik, sedangkan menurut hukum yang
berlaku ia wajib memberi laporan kepada RT atau RW atau kepala desa atau lurah
atau polisi, akan diberikan sanksi hukuman”.
2. Menyediakan Rumah Perlindungan Yang Aman, Setelah disusun konsep kaidah
pencegahan maka pemerintah selanjutnya menyediakan fasilitas rumah
perlindungan atau tempat tinggal yang aman bagi perempuan sebagai isteri dalam
rumah tangga. Rumah perlindungan ini sangat perlu pada tiap-tiap Provinsi di
Indonesia guna menghindari dan mencegah akan terjadinya kekerasan terhadap
perempuan sebagai istri sesuai dengan standar operasional yang terdapat pada
masing-masing Provinsi di Indonesia.
B. Saran
Diharapkan masyarakat menjadikan hasil penelitian ini sebagai penambah
wawasan dan membuat masyarakat menjadi lebih mengenal keganasan pada sistem
reproduksi dan lebih tanggap jika ada tindak kekerasan pada perempuan yang terjadi
di sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai