Tugas Kel-6 Maternitas II-1
Tugas Kel-6 Maternitas II-1
A1 KEPERAWATAN
KENDARI
2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena tanpa berkat
dan rahmat Nya-lah kami tidak dapat menyelesaikan makalah tentang Keganasan Pada
Sistem Reproduksi dan Kekerasan Terhadap Perempuan tepat pada waktu yang telah di
tentukan. Kami juga berterimakasih kepada pihak yang baik secara langsung ataupun tidak
langsung membantu kami dalam mengerjakan makalah ini. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas yang di berikan pada mata Kuliah Maternitas II.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan. Karena itu
penulis meminta saran maupun kritik secara terbuka. Semoga makalah ini bisa menjadi
pedoman dan bermanfaat bagi para pembaca dan dosen pengampuh. Terimakasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal
yang berkaitan dengan sstem reproduksi, serta fungsi dan perosessnya.
Merawat kebersihan organ seksual seringkali tidak dilakukan sesering
merawat kebersihan organ tubuh lainnya. Padahal organ seksual membutuhkan
perhatian yang ekstra. Pada organ seksual tersebut keringat yang dihasilkan cukup
berlebih. Sehingga organ seksual tersebut menjadi lebih lembab yang dapat menjadi
media berkembangbiaknya bakteri, penyakit dan bau tidak sedap.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KemenPPPA) menyebut ada 24.325 peristiwa kekerasan terhadap perempuandan
24.584 korban dalam kurun waktu 2019 hingga September 2020,berdasarkan data
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA).
Terdapat 31.768 kasus kekerasan terhadap anak, 35.103 korban adalah anak-anak,
yang terdiri dari 10.694 anak laki-laki dan 24.409anak perempuan. Berdasarkan
sumber informasi yang sama, jenis kekerasan yang paling sering diterima oleh wanita
adalah kekerasan fisik sebesar 41,7%,kekerasan psikis sebesar 29,1%, pengabaian
sebesar 11,0%, dan kekerasanseksual sebesar 10,5%. Sementara itu, eksploitasi dan
kejahatan melaluiperdagangan orang (TPPO) yang didaftarkan oleh SIMFONI PPA
adalah 0,3%dan 1,5% serta kekerasan lainnya 5,8%. Dari seluruh data tersebut,
jeniskekerasan yang paling banyak dialami anak adalah kekerasan seksual
yangmencapai 45,4%.
Data CATAHU (Catatan Tahunan Komnas Perempuan) 2020. Jumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus
terdiri dari kasus yang di tangani oleh : 1. Pengadilan Negeri Pengadilan Agama
sejumlah 291.677 kasus. 2. Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuen sejumlah
8.234 kasus. 3. Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak
2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255
kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau tidak memberikan
informasi (Komnas Perempuan, 2021). Data POLDA Nusa Tenggara Barat didapati
kasus kekerasan pada perempuan pada tahun 2020 sebanyak 405 kasus dan
mengalami ponurunan pada tahun 2021 menjadi 318 kasus. Mataram menjadi wilayah
dengan kasus kekerasan pada perempuan tertinggi kedua setelah Dompu dengan total
jumlah kasus pada tahun 2020 sebanyak 82 kasus dan pada tahun 2021 sebanyak 50
kasus. Adapun ke-50 kasus tersebut terdiri dan. 17 kasus kekerasan dalam rumah
tangga, 25 kasus penganiayaan, I kasus pemerkosaan atau sex, dan 7 kasus
penelantaran.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Selain kekerasan dalam rumah tangga, ada 15 jenis kekerasan seksual yang
ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998-
2013) :
1. Perkosaan
2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
3. Pelecehan seksual
4. Eksploitasi seksual
5. Perdagangan Perempuan untuk tujuan seksual
6. Prostitusi paksa
7. Perbudakan seksual
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
9. Pemaksaan kehamilan
10. Pemaksaan aborsi
11. Pemaksaan kontrasespsi dan sterilisasi
12. Penyiksaan seksual
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yan membahayakan atau mendiskriminasi
perempuan
15. Kontrol seksual
Kelima belas bentuk kekerasan seksual ini bukanlah daftar final, karena ada
kemungkinan sejumlah bentuk kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat
keterbatasan informasi mengenainya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran
hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan
bentuk diskriminasi. Apabila dikaitkan dengan fenomena perempuan, maka yang
berkembang selama ini menganggap bahwa kaum perempuan cenderung dilihat
sebagai “korban” dari berbagai proses sosial yang terjadi dalam masyarakat selama
ini. Oleh karena itu, sekecil apapun kekerasan yang dilakukan dapat dilaporkan
sebagai tindak pidana yang dapat di proses hukum. Kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Dalam penanganan korban KDRT terhadap perempuan, pekerja sosial harus
terlibat dalam upaya penanganan terpadu dari berbagai sektor. Perspektif pekerjaan
sosial memandang bahwa korban KDRT harus segera mungkin untuk mendapatkan
jaminan perlindungan dan keamanan serta pendampingan sosial agar korban dapat
berfungsi sosial kembali.
Kekerasan seksual terhadap perempuan tidaklah sama dengan perbuatan
pidana lainnya. Kekerasan seksual memilki dimensi perbuatan yang luas dan
beragam. Dari putusan yang penulis peroleh dari Pengadilan Negeri Jambi, jenis
kekerasan seksual umumnya tindak pidana perkosaan dan pencabulan seperti yang
termuat dalam KUHP. Dalam penjatuhan hukuman, belum ada satupun hakim
menjatuhkan hukuman maksimal, meskipun dalam fakta persidangan terbukti
bersalah. Dalam hal penerapan hukum, penegak hukum dalam hal ini jaksa dan hakim
mempedomani KUHP, yang memang memuat pengaturan perkosaan dan pencabulan.
Meskipun dalam tataran kenyataan kasus yang terjadi sebenarnya memiliki dimensi
perbuatan yang beragam (lebih dari satu) dan layak untuk diberikan ancaman yang
sesuai dengan perbuatan pelaku. Dalam hal ini, terjadi kekosongan hukum yang
sebenarnya mengakibatkan ketidakpastian dalam pemenuhan rasa keadilan bagi
perempuan (korban).
Hasil penelitian menunjuukan dari 5 faktor penyebab kekerasan pada
perempuan terdapat 3 faktor yang lebih sering menyebabkan kekerasan pada
perempuan di Kota Mataram yaitu faktor kesadaran hukum, kemiskinan dan
pernikahan dini. Jenis tindak kekerasan sebagian besar mengalami jenis tindak
kekerasan fisik.
Sistem pencegahan yang ideal diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Membentuk Konsep Kaidah Hukum Sistem Pencegahan Pada Setiap Orang Atau
Manusia, yang mengatur bahwa:“Barang siapa dengan sengaja membiarkan
seorang dalam keadaan terancam fisik, psikis, seksual atau terlantar, karena
kekerasan fisik maupun verbal, atau membiarkan seorang dalam keadaan luka,
sengsara, atau menderita akibat kekerasan fisik, sedangkan menurut hukum yang
berlaku ia wajib memberi laporan kepada RT atau RW atau kepala desa atau lurah
atau polisi, akan diberikan sanksi hukuman”.
2. Menyediakan Rumah Perlindungan Yang Aman, Setelah disusun konsep kaidah
pencegahan maka pemerintah selanjutnya menyediakan fasilitas rumah
perlindungan atau tempat tinggal yang aman bagi perempuan sebagai isteri dalam
rumah tangga. Rumah perlindungan ini sangat perlu pada tiap-tiap Provinsi di
Indonesia guna menghindari dan mencegah akan terjadinya kekerasan terhadap
perempuan sebagai istri sesuai dengan standar operasional yang terdapat pada
masing-masing Provinsi di Indonesia.
B. Saran
Diharapkan masyarakat menjadikan hasil penelitian ini sebagai penambah
wawasan dan membuat masyarakat menjadi lebih mengenal keganasan pada sistem
reproduksi dan lebih tanggap jika ada tindak kekerasan pada perempuan yang terjadi
di sekitar.
DAFTAR PUSTAKA