Balia Tampilangi
Balia Tampilangi
Sederhananya, dimasa lampau secara garis besar Masyarakat Kaili tidak mempunyai
nama yang jelas, resmi ataupun signifikan yang menandai kepercayaan aslinya. Sebelum
menganut agama konvensional, Masyarakat Kaili hanya disandarkan mengenal atau
menganut dasar kepercayaan leluhur. Kepercayaanya ini masuk dalam kategori animisme
dan dinamisme, yaitu pemujaan terhadap adanya zat atau makhluk spiritual yang tidak
dapat dilihat oleh mata manusia. Makhluk ini sering digambarkan sebagai roh-roh
makhluk halus atau jiwa manusia yang telah melampaui lebih dulu (nenek moyang)
mendiami sebuah tempat tertentu seperti pohon, binatang terutama yang telah mati,
tumbuhan, batu, benda atau apapun yang dapat menyimpan kekuatan magis. 1 Roh-roh
atau benda ini kemudian dianggap memiliki “mana” kekuatan gaib yang dipercaya dapat
memberi kedamaian bahkan ancaman sehingga harus dihormati agar tidak
membahayakan manusia. Mereka diyakini bisa memberikan kebahagian dan lain-lain
sehingga dibuatkan ritual sakral untuk pemujaannya. Hal ini bisa dianggap mendatangkan
rejeki dan menjauhkan bala bencana, sebab manusia dianggap tidak lepas dengan
lingkungan alamnya, dan lingkungannya dihadiri dengan sesuatu yang mistis dan
memiliki kekuatan gaib. Masyarakat Kaili mengenal atau percaya dengan keberadaan
penguasa (Pue) seperti “Karampua Langi” atau Pue Langi (penguasa langit), roh atau
kekuatan gaib yang mengatur iklim, cuaca, bulan dan matahari, gerhana matahari dan
bulan, serta benda-benda langit lainnya. Selain itu, mereka juga percaya adanya
“Karampua Ntana” atau Pue Ntana (penguasa tanah/bumi). Penguasa bumi ini dipercaya
1
Rahmat Fajri dkk, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Belukar,2012), 30
dapat mengatur atau penyebab kehidupan yang ada di bumi seperti gempa, banjir, angin
ribut dan lain sebagainya. Ada juga yang bersemayam dalam sebuah tempat seperti Pue
Ntasi (penguasa laut), Pue Nggayu (penguasa hutan).
Masyarakat Kaili juga percaya adanya roh leluhur yang bisa memberikan petunjuk
juga keberkahan, roh ini dikenal dengan sebutan Anitu. 2jika masuk kedalam tubuh
manusia saat adanya ritual ia kadang disebut Nomparikaro. Selain itu juga terdapat
kepercayaan Spiritisme,3 sebagian masayarakat di Sulawesi Tengah khususnya di Palu,
Mereka percaya akan adanya makhluk halus. Makhlus halus yang dimaksudkan
mempunyai sifat-sifat seperti manusia. Mereka ada yang baik dan ada juga yang jahat,
sehingga apabila masyarakat akan melakukan sesuatu, akan terlebih dahulu memohon
izin pada mereka. Menurut kepercayaan tradisional asal usul makhluk tersebut dibedakan
atas 3 yaitu:
1. Makhluk halus yang asal kejadiannya sudah gaib, seperti Tarapotika, Topepa,
Buntulovo, Touta, Viata dan lain sebagainya.
2. Makhluk halus yang berasal dari manusia yang lenyap tanpa melalui proses kematian.
Seperti Tauleru, dan Talivarani.
3. Makhluk halus dari roh manusia yang sudah meninggal tetapi dengan cara yang tidak
wajar, seperti dibunuh dan lainnya.4
Kepercayaan lain yang juga masih diyakini oleh masyarakat hingga saat ini ialah
kepercayaan terhadap manusia biasa yang karena salah menggunakan ilmu hitamnya
dapat membunuh atau mencelakakan orang lain dengan kekuatan roh jahatnya. Orang
yang demikian disebut Topeule, yang ditakuti masyarakat karena ia salah belajar ilmu.
Gangguan roh jahat (mbalasa) yang dimanfaatkannya dapat membuat orang sakit atau
bahkan meninggal. Kepercayaan seperti inilah yang membuat upacara-upacara adat sering
dilakukan termasuk upacara Balia. Hal ini dilakukan dengan harapan bisa menjadi media
perantara dengan roh-roh jahat maupun baik serta Yang maha Kuasa. Memohon agar
diberikan kesehatan, kekuatan, rejeki serta menolak segala macam bala bencana.
Disamping beberapa hal tadi, masyarakat Kaili juga dikenal percaya akan adanya benda-
2
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018), 107.
3
Spiritisme merupakan sebuah paham dimana percaya terhadap adanya makhluk spiritual yang tidak
dihubungkan dalam suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad dan objek-objek tertentu. Lihat, Mukti Ali,
Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), 36.
4
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional bagian proyek pembinaan
permuseuman Sulawesi Tengah,2000), 16.
benda sakti yang dapat digunakan sebagai penangkal diri, misalnya orang dapat kebal
terhadap senjata tajam, anti guna-guna, tidak diganggu hantu, dan lain sebagainya. Benda
sakti ini dapat berupa keris, cincin, parang, potongan kayu, dan lain sebagainya.5
Karena Balia merupakan ritual yang kolosal, Balia dilaksanakan di rumah yang
memiliki ruangan cukup luas dan di halaman atau di tanah yang cukup lapang. Jika
acaranya dua hari, maka akan di bagi menjadi dua sesi, hari pertama di dalam rumah dan
hari kedua atau hari terakhir di halaman atau lapangan tadi. Setelah ditentukan segala
halnya, maka akan dipersiapkan segala sesuatunya terkait peralatan, perlengkapan serta
berbagai unsur pelaksanaannya. Peralatannya meliputi:
1. Gimba (gendang).
5
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018), 76.
6
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05 Februari 2021.
2. Goo (gong).
3. Lalove (alat musik menyerupai seruling yang dimainkan dengan cara ditiup untuk
menimbulkan bunyi).
Tiga peralatan ini merupakan hal yang vital, sebab fungsinya yang menjadi instrumen,
alat musik yang mengiringi jalannya acara semalam suntuk. Dari segi sejarahnya, alat
musik ini yang menarik pusat perhatian masyarakat Kaili, sebab digunakan sawerigading
dalam meramaikan acara yang dibuatnya. Dalam perkembangannya kemudian, alat yang
dibawa sawerigading ini menjadi instrumen musik dalam setiap adat kaili. Alat musik ini
akan mengiringi tarian-tarian yang gerakannya memang agak tidak beraturan, tidak begitu
tertib dan terbilang random mengikuti keinginan roh halus yang menari dalam badan
pasien (Nomparikaro), namun para pendamping sando mengarahkan kemana arah mereka
berputar saat menari. Yang bertindak sebagai pemain alat musik disebut Bule, ia berperan
serta mengatur ritme dari alat musik yang dimainkan. Bule memainkan beberapa ritme
dalam ritual ini. alat musik yang ditabu secara pelan dan mendayu-dayu ritmenya disebut
sarontaede, ritme ini biasa digunakan sebagai ritme yang santai. Ritme selanjutnya
meningkat agak cepat disebut sarondaya hingga agak cepat menjadi sarondaya naole, dan
cepat sekali dengan sebutan kancara. Tujuannya dari tingkatan musik ini adalah untuk
mempercepat masuknya ataupun menjadi pengatur ritme tarian pada peserta balia.
Adakalanya alat musik di tabuh dengan cepat dan adakalanya saat peserta mulai terlihat
lelah maka akan ditabu secara perlahan. Biasanya juga di tabuh sesuai irama yang
diperlukan tergantung langkah yang sedang dilakukan.7
Selanjutnya terdapat pula peralatan yang digunakan di dalam ritual sebagai berikut:
1. Tampi (tombak). Tombak ini akan digunakan sebagai alat untuk menombak
korban/persembahan berupa ayam atau kambing jika ada. Ada perbedaan penggunaan
tombak di masa sekarang dengan di masa lalu. Tombak dimasa lalu benar-benar
digunakan untuk menombak korban hewan yang disediakan hingga mati, namun di
masa sekarang dengan pengaruh Islam, tombak digunakan sebagai simbolis dan tidak
betul-betul dipakai untuk mematikan hewan persembahan (korban).
2. Guma (parang Kaili). Parang ini digunakan sebagai alat yang akan menyembelih salah
satu korban berupa ayam kecil. Selain itu digunakan juga untuk memotong beberapa
benda dalam adat.
7
Wawancara Pribadi dengan Mangge Samanudi, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 03 Februari 2021.
3. Kaliavo (perisai). Pada fungsinya, Perisai digunakan sebagai tatakan persembahan
diawal ritual. Namun setelahnya perisai juga berfungsi sebagai alat yang dibawa
dalam tarian. Makna yang terkandung didalamnya ialah bahwa perisai merupakan
pelindung yang akan melindungi siapapun yang memegangnya.
4. Payung. Payung ini akan berfungsi sebagai pelengkap lolangi. Makna yang ia
kandung ialah sesuai fungsinya bahwa ia akan memberikan kesejukan dan keteduhan
bagi semua orang yang berada di dalam ritual.
5. Baki. Baki merupakan sebuah dulang atau nampan tidak berkaki yang digunakan
sebagai alat tatakan beberapa peralatan atau perlengkapan yang menjadi syarat adat,
selain itu juga baki digunakan sebagai wadah tatakan makanan dan minuman untuk
banyak orang.
6. Baskom. Baskom ini menjadi wadah bagi beberapa syarat dan perlengkapan adat
seperti beras, telur dan lain-lain
7. Dula. semacam sebuah wadah mirip seperti baki yang berbentuk seperti loyang
berkaki yang digunakan sebagai tempat peralatan adat dan juga sebagai tempat
beberapa syarat dan perlengkapan adat.
8. Sarung. Sarung yang dimaksud adalah sarung tradisional atau sarung adat, seperti
yang biasa dipunyai beberapa daerah, sarung ini berfungsi sebagai syarat adat
sehingga peserta balia semuanya harus menggunakan sarung ini.
9. Sepasang baju dan celana. Biasanya baju tersebut berupa baju kemeja dan celana kain,
ini merupakan syarat adat yang diperuntukkan untuk pemimpin adat (sando)
10. Selendang. Selendang ini juga merupakan syarat adat yang melengkapi Lolangi.
11. Songkok atau kopiah. Sama seperti baju dan celana tadi, songkok/kopiah ini
diperuntukkan untuk pemimpin adat.
12. Basende. Basende merupakan sebuah benda semacam topi atau penutup kepala yang
digunakan oleh pemimpin adat atau biasa disebut sando. Topi ini terbuat khusus dari
kulit kayu kemudian terdapat motif atau corak khusus pada sisinya. Topi ini hanya
digunakan oleh pemimpin adat dan merupakan bagian yang harus ada padanya
sebagai simbol kehormatan.
13. Piring gelas. Piring dan gelas digunakan sebagai alat makan dan minum. Biasanya
masih berbentuk klasik, belum menyerupai piring dan gelas pada umumnya. Selain
itu, juga digunakan sebagai alat yang digesek-gesekkan yang kemudian menimbulkan
bunyi. Bunyi ini dipakai untuk mempercepat masuknya roh halus bagi peserta yang
belum dimasuki roh.
14. Dupa. Dupa seperti yang kita ketahui, merupakan sebuah benda yang biasanya terbuat
dari kayu atau pelepah kulit kelapa yang mempunyai bau yang khas. Dengan
dibakarnya dupa yang mempunyai bau yang semerbak ini menjadi penanda bahwa
ritual sudah dimulai dan semua yang “diundang” dipersilahkan datang
15. Daun Pisang. Daun pisang yang digunakan biasanya adalah daun yang masih cukup
muda, digunakan sebagai alas makanan atau tempat sajian-sajian.
16. Kendi. Kendi menjadi salah satu syarat adat. Kendi nantinya akan dihancurkan diatas
kepala. Dengan dihancurkannya kendi diatas kepala, orang Kaili percaya hal ini akan
menghilangkan segala macam penyakit yang bersarang di kepala. 8 Alat-alat ini yang
nantinya akan digunakan, mempunyai peran dan fungsinya masing-masing sebagai
syarat unsur pelaksanaan Balia. Selain itu, adapula kelengkapan yang menjadi syarat
akan pelaksanaan Balia. Kelengkapan ini meliputi:
1. Ayam kemerahan atau setidaknya yang memiliki corak sebagai syarat adat bagi
setiap pasien. Ayam ini nantinya akan ditombak secara simbolis dalam ritual. Setelah
itu kemudian disembelih dan dagingnya akan dimasak juga dimakan bersama-sama.
Terdapat pula perbedaan yang signifikan mengenai korban ini. Dimasa lalu babi
seringkali digunakan sebagai korban atau persembahan, namun masuknya agama
Islam kembali menjadi sebab bergesernya budaya ini karena pengaruhnya.9
2. Telur masing-masing 2 bagi setiap pasien. Telur ini dinamai dengan nama masing-
masing pasien menggunakan penanda lalu dibacakan doa-doa oleh sando. kemudian
telur ini nantinya akan di masak dan di makan bersamasama dengan keluarga juga
khalayak yang ikut menyaksikan acara.
3. Sambulugana. Sambulugana merupakan kumpulan dari serangkaian tumbuh-
tumbuhan. Ia diartikan atau dianggap sebagai lambang kelengkapan, bahwa segala
syarat dan segala sesuatunya sudah ada. Sambulugana juga mempunyai derajat yang
tinggi dalam kebudayaan Kaili, sebab sambulugana menjadi perlambangan fisik utuh
manusia. Isi sambulugana ini meliputi: Kapur siri, buah pinang, Tagambe atau
gambir, tembakau yang di bungkus dalam sebuah kain.
4. Beras pulut (ketan) warna-warni. Beras pada fungsinya akan di tabur atau
dilemparkan keatas peserta Balia. Beras ini merupakan bentuk simbol yang mewakili
perlambangan di dunia telah hadir. Beras-beras ini juga memiliki makna sebagai
8
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05 Februari 2021
9
Wawancara Pribadi dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pak Ansyar Sutiadi, Palu, Sulawesi
Tengah, pada tanggal 19 Mei 2021
permohonan petunjuk kepada Tomanuru dan atau juga penguasa bumi dan langit.
Warna beras ini meliputi:
a. Putih, sebagai perlambangan langit.
b. Kuning, yang mewakili atau melambangkan tempat Uventira (wentira). Yaitu
sebuah tempat di salah satu wilayah bagian dekat kota Palu yang dianggap keramat
yang diyakini sebagai salah satu negeri gaib para leluhur.
c. Hitam, sebagai perlambangan unsur tanah.
d. Merah sebagai perlambangan Laut
e. Hijau, sebagai perlambangan Bulan dan Bintang.
11
Wawancara Pribadi dengan Peserta Balia Moza dan Anna, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 06 Februari
2021
12
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018), 85.
5. Nontaro. Yaitu mulai menari dan kesurupannya para pasien atau peserta balia,
mereka bertingkah secara random dengan menari-nari mengikuti iringan musik yang
dimainkan. Prosesi ini ditandai dengan mulai dipukul atau di tabuhnya gendang dan
instrumen musik atau bunyian lainnya oleh para bule. Jika ada peserta yang belum
dirasuki roh, perangkat sando biasanya mengambil gelas dan piring yang kemudian
digesek-gesekkan. Bunyi-bunyiannya akan memfokuskan peserta Balia dan membuat
masuknya roh lebih mudah. Prosesi ini berlangsung hingga larut malam, berhenti
sebentar untuk makan kemudian dilanjutkan kembali sesuai aba-aba dari sando hingga
selesai.13 Tidak jarang saat prosesi nontaro berlangsung, peserta yang sudah dirasuki
roh halus meminta rokok, telur ayam kampung yang mentah, saguer (tuak) manis dan
makanan seperti daging ayam untuk dikonsumsi.
13
Menurut keterangan peserta balia, mereka melihat dan sadar tentang apa yang terjadi, namun tidak bisa
mengontrol gerakan dan apa mereka lakukan. Wawancara Pribadi dengan Peserta Mangge Dance, Palu,
Sulawesi Tengah, pada tanggal 06 Februari 2021
5. Noraro, yaitu kegiatan dimana ayam yang sudah disiapkan kemudian ditombak
dibagian kaki oleh peserta dengan dibimbing dan diarahkan oleh sando, lalu langsung
disembelih. Dengan langkah ini makna yang terkandung adalah bersamaan dengan
darah yang menetes ke tanah, maka menjadi tanda bahwa sesuatunya berkenaan
dengan adat telah ditunaikan sesuai syarat.
6. Nompaya, yaitu memotong pohon pisang dan tebu. Peserta duduk menunduk
dibawah pohon pisang dan tebu yang kemudian pohon tersebut di tebang oleh Sando
di atas mereka, bersamaan dengan itu dihancurkan pula kendi yang diletakkan di atas
kepala. Dengan kegiatan nompaya 85 maknanya ialah diyakini kendi yang
dihancurkan di atas kepala akan menghilangkan penyakit, menghancurkan penyakit
yang berada atau bersarang disekitaran daerah kepala. Selain itu disertakan pula
memotong batang pisang dan tebu yang maknanya diartikan sebagai penghilang sakit
pada bagian-bagian tubuh yang lainnya.
7. Nontaro ri apu. Yaitu peserta akan menari dan menginjak bara api. Langkah ini
menjadi salah satu kegiatan yang bisa dibilang cukup ekstrim dan yang paling
menarik perhatian, sebab peserta selanjutnya akan menari diatas bara api yang sedang
menyala, menginjaknya hingga bara api padam dengan sendirinya karena diinjak oleh
kaki telanjang pasien tanpa merasakan panas sedikitpun. Makna dari menginjak bara
api ini ialah dengan menginjak api tersebut dan membuatnya padam, maka segala
penyakit utamanya demam atau panas yang bersarang di badan si peserta sebagai
penyakit akan hilang.
8. Njoro polama yaitu bentuk penyelesaian diakhir dan keselamatan. Disini sando
akan kembali melantunkan syair (novadi). Setelah ini berarti semua sudah selesai dan
mempersilahkan segala macam makhluk halus yang di undang untuk pulang. Setelah
itu semuanya pulang, kembali ke dalam rumah masing-masing dan beristirahat.
Dengan prosesi akhir dari ritual ini diharapkan segala bentuk pengharapan dan doa
perseta (si pesakit) serta keluarga akan dijabah oleh Tuhan dan juga direstui dan
dibantu oleh roh-roh nenek moyang atau leluhur yang hadir.14
14
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05 Februari 2021