Anda di halaman 1dari 4

TRANSFORMASI RUANG PUBLIK Masa Orde Baru dan Reformasi (Review tulisan R.

Kristiawan Dari Istana ke Pasar : Refleksi atas Sejarah Ruang Publik Kita)

Nuning Susilowati (04219)

Konsep tentang ruang publik banyak dikenal atas gagasan filsuf Jerman Jurgen Habermas. Dalam buku-bukunya misalnya The Theories of Communication Action (vol I dan II, 1981) dan The Structural Transformation of The Public Sphere (1962) Habermas banyak mengupas tentang ruang publik dalam dialektikanya dengan negara, publik dan pasar. Menurut Habermas, dunia mengenal ruang publik pertama kali pada abad kedelapan belas. Masa itu adalah masa kemunculan kapitalisme liberal dan masa bertumbuhnya negaranegara bangsa di Eropa. Kombinasi dari gagasan pencerahan, transformasi pemerintahan dari feodalisme kepada negara-bangsa dan munculnya kapitalisme menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah: ruang publik. Ruang publik dalam benak Habermas merupakan cerminan kualitas kedewasaan masyarakat dalam alam demokratis. Demokrasi menurut Habermas hanya akan terjadi dalam masyarakat dewasa, dimana ideologi-ideologi ditanggalkan dalam praktek komunikasi. Ruang publik yang sehat menjadi infrastruktur utama dalam demokrasi. Dalam pandangannya tentang ruang publik, Habermas melihat media massa secara seimbang dari sisi ekonomi dan politik. Ia tidak menolak bahwa secara ekonomi, media massa merupakan instrumen modal. Namun dari sisi politik, media massa mempunyai fungsi penting dalam membangun public sphere yang dalam sejarah Eropa menjadi sarana penting menuju demokrasi.

Indonesia : Ruang Publik Masa Orde Baru dan Reformasi Dalam tulisannya Dari Istana ke Pasar : Refleksi atas Sejarah Ruang Publik Kita R. Kristiawan memperlihatkan konsep ruang publik kita (Indonesia) bergeser dari sentris istana (pemerintah) pada masa kekuasaan Orde Baru ke kendali pasar pada masa reformasi. R. Kristiawan melihat ruang publik kita pada masa Orde Baru sebagai wahana hegemoni politik dimana pada masa kepemimpinan Soeharto semua aspek kehidupan beserta institusi-

institusinya harus berada dalam satu kontrol ideologi tunggal. Dalam era kekuasaan berkonsep pembangunan, di masa itu media massa dikawal lewat strategi yang disebut strategi pers pembangunan. Media cetak beroperasi dengan aturan ketat. Pembredelan Detik, Tempo, dan Editor tahun 1994 menjadi bukti bahwa di era ini kontrol pemerintah terhadap media massa sangatlah kuat. Media elektronik dikontrol penuh melalui TVRI dan RRI. Departemen Penerangan merupakan lembaga yang bertugas untuk mengawasi mereka. Dalam aspek komunikasi politik, keseragaman berlaku dari pusat hingga ke daerah. Baik melalui penggandaan pidato Soeharto, spanduk-spanduk seragam hingga fungsi Lembaga Sensor Film dengan kuasanya pada produksi film kita. Semua bergerak dari ideologi yang sama : stabilitas politik demi pembangunan. Itulah jalur menuju hegemoni yaitu penguasaan lembaga-lembaga sosial termasuk saluran komunikasi dan ruang publik untuk mengabdi satu ideologi tunggal. Dengan kata lain, pada masa Orde Baru, ruang publik sebagai sarana transaksi politik warga dan negara tidak pernah muncul. Publik dalam hal ini hanyalah obyek dengan dinamika ruang yang ditentukan oleh kelompok dominan, yaitu yang berkuasa saat itu. Era jatuhnya Soeharto yang melahirkn era baru yaitu reformasi membawa perubahan signifikan pada ruang publik kita. Reformasi menghembuskan angin kebebasan yang luar biasa. Pergantian sistem politik dari yang tadinya cenderung otoriter menjadi lebih bebas ini kemudian menghasilkan sistem pers yang juga lebih bebas. Pemberitaan di media massa mulai menemukan kebebasan. Pembredelan dan pencabutan izin terbit bagi media massa juga kemudian ditiadakan. Dampaknya, pertumbuhan media-media massa menjadi pesat. Jika sebelumnya SIUPP hanya menjadi milik kelompok tertentu yang dekat dengan penguasa, di era reformasi SIUPP bisa didapatkan siapa saja dengan mudah. Pertumbuhan yang pesat tidak hanya media cetak tetapi juga elektronik. Di Indonesia kemudian lahir puluhan televisi baik siaran nasional maupun yang berstatus televisi lokal. Kondisi ini kemudian menjadikan media-media tersebut saling berlomba dalam kompetisi pasar. Inilah yang kemudian dikatakan R. Kristiawan dari dimensi komunikasi, reformasi itu sama dengan proses liberalisasi bisnis komunikasi. Keberadaan media massa tentu saja tak lepas dari pendiriannya sebagai institusi profit oleh kalangan elit tertentu. Dan dalam ekonomi, posisi media terhadap ruang publik kemudian tak lagi menjadi netral. Media tak lagi melihat publik sebagai masyarakat yang harus

dijembatani dalam sistem informasi, tetapi dilihat sebagai konsumen yang harus diberdayakan atas produksi-produksi media. Jika dalam pertelevisian Indonesia, R. Kristiawan menyebut rating sebagai goal utama untuk diperebutkan media televisi. Tentu saja, rating bagi sebuah tayangan televisi merupakan hal krusial, karena dengan rating inilah kue iklan ditentukan besarnya. Akibatnya rating sangat menentukan bentuk dan isi informasi. Tayangan dengan rating tinggi akan dipertahankan walau sering tidak mempertimbangkan kualitas isi tayangan itu. Media akan memilih tayangan-tayangan dengan rating tinggi untuk meraup kue iklan yang besar. Dengan demikian, apa yang kita tonton, apa yang menjadi selera kita, dikatakan R. Kristiawan sudah ditentukan kehendak pasar. Dalam reformasi, saat media televisi dituntut mengejar rating, dunia hiburan kemudian menjadi tombak penghipnotis massa. Inilah masa ketika kekuatan dunia hiburan begitu memesona. Inilah masa ketika terjadi pergeseran logika warga negara menjadi logika konsumen. Tidak hanya kalangan tertentu, bahkan Presiden SBY sangat menyadari hal ini. Bagaimana kemudian SBY memunculkan tiga album musik, muncul di beberapa televisi dengan lagu-lagu ciptaannya dan mengukuhkan dirinya sebagai presiden yang juga penghibur. Hal yang cukup menggelikan kemudian ketika Kementerian Agama memunculkan lagu SBY ini dalam soal test perekrutan CPNS seolah-olah menunjukkan bahwa lagu-lagu ciptaan SBY merupakan isu penting yang harus dimiliki bersama. Melihat transformasi ruang publik di Indonesia yang dikemukakan oleh R. Kristiawan ini, mengingatkan kita pada kejadian serupa yang diungkapkan Habermas, yaitu kejadian di Eropa Barat pada abad kesembilan belas dimana pasar telah mengalihkan minat warga negara menjadi konsumen ; ketika penguasa menjadi idola dan rakyat penjadi penggemar. Pertumbuhan media massa komersial di era itu dikatakan Habermass telah mengubah publik menjadi konsumen yang pasif. Mereka menjadi tenggelam dalam isu-isu yang bersifat privat, ketimbang isu-isu yang menyangkut untuk kebaikan bersama dan partisipasi demokratis. Publik di Era Orde Baru dan Reformasi Ruang publik di Indonesia memang mengalami pergeseran dari jaman Orde Baru ke reformasi. Namun ternyata, pergeseran ini belum membawa publik pada posisi setara dengan pemerintah dan media. Di dua masa ini, publik sama-sama pasif, tak banyak ruang untuk

memberdayakan dirinya. Jika pada masa Orde Baru, dinamika ruang publik sangat ditentukan oleh tangan penguasa (pemerintah) waktu itu, di masa reformasi pasar telah merebut ruang publik. Hal yang kemudian banyak diperbincangkan adalah bagaimana keberadaan publik atas haknya sebagai warga negara menjadi mengabur dan begitu tak kentara, seiring dengan wacana opini publik yang kemudian dimaknai sebagai opini kelompok tertentu yang mengatasnamakan publik demi kepentingan tertentu. Ruang publik yang idealnya menjadi jembatan yang mempertemukan kepentingan negara dan kepentingan warga negara telah dimanipulasi kelompok-kelompok tertentu melalui opini publik. Dan dalam hal ini media massa lah yang membawa peran penting dalam penyebaran opini publik. Tranformasi ruang publik di Indonesia hingga saat ini benar dikatakan R. Kristiawan, telah membuktikan bahwa ruang publik sebagai ekspresi bersama antara kekuatan politik, pasar, dan publik belum sepenuhnya berjalan dengan seimbang. Kekuatan negara dan pasar hingga saat ini masih mendominasi dinamika ruang publik. Ideologi politik dan ideologi pasar menjadi determinan utama dalam menentukan nasib kualitas ruang publik.

Anda mungkin juga menyukai