Pembimbing:
drg. Gery Dala Prima Baso, Sp.PD
Sekitar 80% manusia • 30% > 60 tahun konsumen yang teratur menggunakan pencahar.
pernah menderita Inggris
konstipasi dalam hidupnya
dan konstipasi yang
berlangsung singkat masih • 20% dari populasi >65 tahun mengeluh mengalami konstipasi dan terjadi lebih banyak
dianggap normal. pada wanita dibandingkan pria.
Australia
• insiden konstipasi yang terjadi pada orang dewasa (dibawah usia 50 tahun) berdasarkan
karakteristik jenis kelamin didapatkan 9,2% pria dan 18,3% perempuan, sedangkan pada
Studi Choung usia diatas 70 tahun insidensinya 20,6% pria dan 25,0% pada perempuan.
et.al
Nasional Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh
menderita konstipasi terutama anak-anak, perempuan dan orang berusia 65 tahun keatas.
Epidemiologi
CASE REPORT
Badan Kesehatan dunia (WHO)
memprediksi kenaikan penyandang DM di International Diabetes Federation
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 14,1 Jt (IDF)memprediksikan adanya kenaikan
(IDF, 2035)
21.300.000
menjadi sekitar
Estimasi
penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta
pada 2014 menjadi 14,1 juta pada 2035.
pada tahun 2030. Penyandang DM
Tipe-2 Indonesia.
21,3 Jt 11% Riskesdas Indonesia tahun
(RISKESDAS, 2013)
(WHO, 2030) 2013 bahwa angka prevalensi
Penyandang DM Penyandang penyandang DM ≥ 15 tahun di
Tipe-2 Indonesia disabilitas sedang- Indonesia terbesar terdapat di
sangat berat
Indonesia. Propinsi DI Yogyakarta
(2,6%), diikuti Propinsi DKI
Jakarta (2,5%) dan terkecil
Propinsi Papua (0,8%).
2
Identitas Pasien
Nama : Tn. IR
Umur : 76 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pasir 2
Pekerjaan : pensiunan pegawai PU (Pekerjaan Umum)
Agama : Kristen Protestan
Tanggal MRS : 11 November 2018
Tanggal Pemeriksaan : 11-15 2018
No. RM : 123020
Anamnesis
Keluhan Utama
Susah BAB
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 120/70 mmhg
Nadi : 90 x/m
Respirasi : 20 x/m
Suhu badan : 36,50 C
Saturasi Oksigen : 98% tanpa O2
Pemeriksaan Fisik
Status Fungsional
Status Nutrisi
Pemeriksaan Penunjang
Resume
Seorang laki-laki keluhan susah BAB sejak 3 hari yang lalu, dalam 1 bulan BAB sebanyak ± 8x, BAB terakhir kali dengan konsistensi
kotoran sedikit berbentuk seperti pisang tetapi tepinya bergelombang dan massa tinja keras serta mudah terpisah satu sama lain ketika BAB
tanpa disertai lendir maupun darah. keluhan ini dirasakan sejak ± 1 tahun belakangan hilang timbul, dirasakan semakin memberat ± 4 bulan
terakhir seringkali massa tinja sewaktu BAB keras, ketika BAB seringkali berusaha mengejan terkadang os juga mengaku memijat bagian perut
kebawah untuk mempermudah evakuasi tinja. Os merasa seperti masih ada sisa feses yang tertinggal dan tidak lampias. Os mengaku minum
lebih banyak air agar bisa BAB seperti biasanya berusaha untuk makan buah dan sayur namun untuk konsumsi sayur dan buah namun os
mengaku sejak 1 tahun terakhir mengeluh giginya sakit. Semenjak giginya sakit os mengaku mengkonsumsi bubur nasi disertai dengan lauk dan
sayur sebagai campuran untuk makan sehari-harinya.
Keluhan lemas dirasakan pasien sejak ±4 hari terakhir terutama ketika siang menjelang sore hari. Untuk meringankannya berusaha
istirahat ditempat tidur dan mencoba makan lebih banyak dalam sehari-harinya. Sejak seminggu terakhir os mengaku keluhan gigi sakitnya
dirasakan semakin memberat, hal ini menyebabkan selama seminggu terakhir ini susah makan dan minum.
Dari riwayat penyakit dahulu, os memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus. Riwayat keluarga yang sakit sama seperti pasien
disangkal. Riwayat sosial ekonomi, pasien adalah seorang pensiunan pegawai Pekerjaan Umum (PU). Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan,
didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang dan lemas, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital tekanan darah 120/70 mmHg, nadi
90x/mnt regular, respirasi 20x/mnt, suhu axilla 36,5oC, SpO2 98%.
Pemeriksaan abdomen tympani, BU (+) berkurang 2x/menit, nyeri tekan, hepar/lien tidak teraba membesar. Periksaan extremitas
akral terlihat akral hangat,pucat dan kering, CRT < 2’’.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 11 November 2018 didapatkan, hitung darah lengkapLeukosit 18,85x10 3/mm. Hitung
jenis leukosit: sel neutrofil 79,7%, sel limfosit 9,9%. Kimia darah: Gula darah sewaktu 278 mg/dl. Elektrolit darah: Kalium 2,84 meq/L, Natrium
130,70 meq/L, CL 98,80 meq/L, Calcium ion 1,08 meq/L. Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 13 November 2018 didapatkan, Elektrolit
darah: Kalium 3,27 meq/L, Natrium 134,00 meq/L, Calcium ion 1,09 meq/L dan serologi HbA1C 9,8%.
Cont….
Daftar masalah
– Konstipasi (+)
– Imbalance Elektrolit (+)
– Hipokalemia (+)
– DM Tipe-2
– Sakit gigi (+)
– Anoreksia (+)
Diagnosis
– Konstipasi ec. Hipokalemia
– Hipokalemia
– DM Tipe-2
Terapi
- IVFD NaCl 0,9 % + KCL 25 meq/8jam
- Injeksi ceftriaxone 1x2 gram iv
- Novorapid 3x4 IU sebelum makan
- Dulcolax Syrup 2x 1 C.
- Domperidon 3x10 mg PO.
Follow Up
Follow Up
Follow Up
Follow Up
Kriteria Diagnosis Konstipasi Fungsional dari Rome III
Kriteria diagnosis konstipasi fungsional dari Rome III adalah terpenuhinya 3 kriteria dibawah ini dalam 3 bulan
terakhir dengan gejala yang dimulai setidaknya 6 bulan sebelum diagnosis:
dilihat dari hasil laboratorium tanggal 11 November 2018 kadar kalium darah 2,84 mEq/L, selain itu dari anamnesis
juga didapatkan kebiasaan pasien yang jarang berolahraga dan hanya berdiam diri dirumah serta dalam beberapa
bulan terakhir pasien mengalami keterbatasan makan, dikarenakan sakit gigi yang diderita pasien sejak 1 tahun
belakangan dimana pasien terbatas hanya makan bubur nasi disertai sayuran dan lauk pauk sehingga konsumsi buah
dan sayuran yang mengandung banyak serat otomatis terbatas, terlebih sejak seminggu terakhir keluhan sakit gigi
yang dirasakan semakin memberat yang menyebabkan pasien susah makan. Selain kausa diatas terdapat
kemungkinan penyebab konstipasi lain adalah terkait neuropati diabetic mengingat pasien ada riwayat diabetes
sebelumnya dengan awal mula penyakit diabetes yang diderita tidak diketahui dengan pasti kapan awal mula pasien
menderita DM. Diagnosa DM ditegakkan pertama kali agustus tahun 2017 lalu dari data rekam medic ketika pasien
1. Aktivitas fisik
2. Latihan
4. Konsumsi Air
Gambar Posisi Setengah berjongkok atau
5. Serat “semi-squatting” untuk defekasi
Farmakologis Konstipasi
Tatalaksana Konstipasi
Terapi konstipasi farmakologis yang diberikan pada pasien ini
adalah dulcolax syrup 2x1 C yang didalamnya mengandung bisakodil
merpakan derivate Diphenylmethane yang termasuk kedalam
golongan agen pereda konstipasi laksatif stimulant (surface acting
docusate, garam empedu; Anthraquinolone (Sena, Cascara);
Ricinoleic acid (Castor oil)). Laksatif stimulant ini meningkatkan
motilitas dan sekresi intestinal. Agen ini bekerja dalam hitungan
jamdan dapat menyebabkan efek samping nyeri/kram abdomen.
Agen ini direkomendasikan bila laksatif osmotic gagal. Cara kerjanya
melaluli perubahan transport elektrolit oleh mukosa intestinal,
sehingga meningkatkan aktivitas motor intestinal.7
Tatalaksana Kausatif Konstipasi
Karena penyebab konstipasi pada pasien ini terkait imbalance elektrolit kalium (hipokalemia),
maka terapi kausatif dengan rumatan kalium (penatalaksanaan hipokalemia dibawah). Selain terapi
farmakologis diatas perlu juga pemberian edukasi terkait membatasi kegiatan pasien yang hanya
sekedar duduk dan istirahat terus menerus dirumah serta menyarankan pasien untuk berolahraga
secara regular untuk membatasi terjadinya immobilisasi yang meningkatkan resiko konstipasi. Selain
itu mengajurkan pasien untuk berlatih mengkondisikan parenteral pola defekasi yang teratur,
menganjurkan dan mengajarkan pasien untuk memposisikan diri semi squatting ketika BAB,
menganjurkan pasien untuk minum setidaknya 8 gelas air per hari (sekitar 2 liter per hari), mengurangi
konsumsi kopi, teh dan alcohol serta banyak mengkonsumsi makanan yang kaya akan serat (buah dan
otot ‘restless leg syndrome’ merupakan gejala pada otot yang timbul pada kadar kalium
kurang dari 3 mEq/ L, penurunan yang lebih berat dapat menimbulkan kelumpuhan dan
rabdomiolisis. Aritmia berupa timbulnya fibrilasi atrium, takikardi ventrikuler merupakan efek
hipokalemia pada jantung, hal ini terjadi akibat perlambatan repolarisasi vetrikel pada
keaadaan hipokalemia yang menimbulkan peningkatan arus reentry. Pada Hipokalemia fungsi
otot polos juga dapat terganggu dengan gambaran ileus paralitik. Pada hipokalemia berat
1. Pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cerna antara lain: muntah, selang nasogastrik,
diare atau pemakaian pencahar.
2. Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat terjadi pada pemakaian diuretic,
kelebihan hormone mineralokortikoid primer/ hiperaldosteronisme primer (adenoma kelenjar
adrenal), hiipomagnesemia, poliuria (polidipsi primer, diabetes insipidus) dll.
3. Pengeluran kalium berlebihan melalui keringat dapat terjadi bila dilakukan latihan berat pada
lingkungan yang panas sehingga produksi keringat mencapai 1L.
4. Kalium masuk kedalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstraseluler, pemberian insulin,
peningkatan aktivitas beta adrenergic (pemakaian beta2 agonis), paralisis periodic, hipokalemia,
dan hipotermi
Diagnosis Hipokalemia
Pada kasus ini diagnosis hipokalemia didapatkan berdasar anamnesa pasien mengeluh lemas pada seluruh
badan, selain keluhan lemas pasien juga mengeluh susah BAB selama 3 hari SMRS hal ini didukung oleh adanya
katerbatasan intake makanan dan minuman yang dialami pasien sejak pasien sakit gigi, dan keterbatasan makan tersebut
terjadi pada puncaknya sejak 7 hari terakhir sebelum pasien dirawat di RS karena memberatnya keluhan sakit gigi yang
diderita pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa bibir kering, adanya abnormalitas auskultasi pada bising usus
pasien 2x/ menit dan didapatkan turgor kulit pasien juga jelek CRT > 2’’ dan akral kering dan pucat yang menandai adanya
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Selain hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik diatas, diagnose hipokalemia
juga didukung oleh pemeriksaan penunjang laboratorium elektrolit darah tanggal 11 November 2018 kadar kalium darah
2,84 (normalnya 3,5-5 mEq/L). untuk menambah kepastian tegaknya diagnosis hipoklaemia dapat dianjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan laboratorium lain berupa analisa gas darah (AGD) yang biasanya akan didapatnya interpretasi
berupa alkalosis metabolic serta pemeriksaan EKG didapatkan depresi segmen-ST, gelombang T datar, adanya gelombang U,
disritmia ventrikel dimana pada pasien ini pemeriksaan AGD dan EKG tidak dilakukan.
Tatalaksana Hipokalemia
Kalium dapat diberikan secara oral atau intravena. Kalium intrvena
diberikan pada pasien yang tidak mampu minum obat.
insulin Levemir® 1x 10 IU yang termasuk dalam insulin analog kerja panjang (long acting)
golongan insulin detemir dengan onset 1-3 jam dan hampir tidak ada puncak selama kerja serta
memiliki lama kerja 12-24 jam dalam kemasan pen. Insulin lain jenis ini adalah insulin Glargine
(Lantus®) dan Lantus 300. Pada terapi ini sangat sesuai dengan algoritme PERKENI 2015, karena
awal mula terapi insulin pada penderita ini dimulai dengan terapi basal. Selain itu alasan lain
juga mendukung pemberian insulin basal ini terkait kepatuhan pasien dan kemampuan pasien
metformin 2xtab II (tablet 500 mg) pemilihan metformin dilakukan karena obat ini merupakan
obat pilihan lini pertama pada DM tipe-2 yang dapat menurunkan angka HbA1C 1,0-2,0%
dengan cara kerja utamanya yaitu menekan produksi glukosa hati dan menambah sensitifitas
terhadap insulin. Obat ini memiliki efek samping berupa dyspepsia, diare, dan asidosis laktat.
Dosis harian metformin 500-3000 mg dengan lama kerjanya 6-8 jam dengan frekunsi
pemberian metformin dan mengatasi gejala sisa post rawat inap. Selain terapi pengobatan diatas perlu juga
diberikan edukasi terhadap pasien soal gaya hidup sehat bagi penderita DM tipe-2 seperti diantaranya:
mengikuti pola makan sehat, meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur,
menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman dan teratur, melakukan
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai
keberhasilan pengobatan, melakukan perawatan kaki secara berkala, memiliki kemampuan untuk mengenal
dan menghadapi keadaan sakit akut dengan tepat, mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang
sederhana, dan mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk
mengerti pengelolaan penyandang D, mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
Kesimpulan