Anda di halaman 1dari 14

URGENSI PLURALISME

 Untuk mengawali pembicaraan ini, kiranya perlu


lebih dahulu dimengerti pembedaan antara «
pluralisme » dalam arti ilmiah (teologi agama-
agama) dan dalam arti etis, sebagai disposisi
sikap terhadap (penganut) agama-agama lain.
 Dalam arti pertama, mungkin tidak diperlukan
perjumpaan antar penganut agama yang berbeda.
Orang bisa langsung memasuki persoalan
pluralisme sebagai refleksi atas dasar ajaran-
ajaran yang mereka paparkan.
 Sementara untuk maksud yang kedua, diperlukan
pelatihan atau setidaknya observasi dan
perjumpaan antar penganut agama yang berbeda.
I. Menyadari Kepentingan
(Urgensi) Pluralisme
 Tujuan :
 Supaya mahasiswa menyadari pluralitas
sebagai anugerah dan mensyukurinya
 Supaya mahasiswa prihatin melihat
adanya pertentangan-pertentangan
(konflik) sosial yang bermotifkan agama.
Langkah-Langkah:
1. Situasi dunia / masyarakat berkembang semakin
plural (pluralitas); kebebasan manusia bukan lagi
sekedar konsep abstrak yang menjadi bahan
diskusi, melainkan dijalankan dalam kehidupan
dan menghasilkan aneka ragam pandangan
hidup, cara hidup, sikap, ajaran, ungkapan
simbolik dsb.
 Perbedaan-perbedaan yang diakibatkan oleh
kebebasan manusia, tidak saja semakin banyak,
melainkan juga dan terutama bisa semakin tajam,
meliputi hal-hal dari yang paling sederhana (luar /
lahiriah), yang simbolik, hingga yang paling
dasariah (from the gut), bahkan sampai
menimbulkan pertentangan yang menegangkan. .
2. Keadaan ini didukung oleh sifat agama
sendiri yang komunal. Ini berbeda dari
pandangan hidup (Weltanschauung) atau
visi yang bersifat individual.

 Perbedaanperbedaan individual lebih mudah


ditolerir dan tidak terlalu mengakibatkan
ketegangan. Maka tidak jarang orang
modern ingin mendesak agama ke wilayah
individual saja, untuk menghindari konflik
kepentingan.
3. Ketegangan, pertentangan, dan konflik, yang terjadi
dengan demikian paling runcing (akut) menyangkut
perbedaan agama; Hal ini merupakan "ironi besar"
manusia, sebab agama yang suka mengajarkan
kebaikan, mengemukakan moralitas yang baik,
menganjurkan tindakan cinta, damai dan kerukunan,
belas kasih, kemurahan, solidaritas dsb. untuk
memperoleh kebahagiaan kekal, justru tidak jarang
menjadi alasan perang, kebencian dan tindak
kekerasan.
 Pertentangan politik dalam negeri yang seharusnya
demokratis dengan mudah dapat dibelokkan ke isu
agama untuk memenangkan suara, sementara
politik luar negeri menjadi tegang seperti tampak
dalam konflik-konflik antara: India-Pakistan, Irlandia
Utara, Israel-Palestina, Sudan, Bosnia, Thailand,
Kashmir, Mindanau, Tibet, Poso, Ambon dsb.
4. Oleh karena itu Hans Kung sampai pada pendapat,
bahwa sebelum semua agama saling berdialog dan
bekerja sama, mustahil diperoleh damai di dunia
ini. Inilah yang disebutnya sebagai "etika global".
 Etika global dengan demikian sambung dengan
kepentingan pluralisme, yang tidak saja menuntut
kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan
antar agama, tetapi lebih jauh juga berusaha
memahaminya, menjembataninya, mengolahnya
dalam dialog dan kerjasama; hanya dengan cara
demikian ini dunia kita masih bisa kita harapkan
tetap "manusiawi" dan selamat dari kehancuran
semesta. Kehancuran manusia tidak disebabkan
oleh bencana alam, melainkan oleh pertentangan
dan peperangan yang buta dan tak terdamaikan.
5. Maka kesadaran "pluralisme" harus
dirayakan, sebagai anugerah (karunia) dan
kesempatan (peluang) untuk
mengembangkan kemanusiaan kita; harus
kita syukuri dan kita jalani. Belum pernah
manusia mencapai taraf kesadaran yang
begitu berkembang seperti saat ini dalam
mengapresiasi kehidupan secara positif,
memang penuh tantangan, tetapi juga penuh
harapan. Inilah pokok-pokok pendidikan
pluralisme yang perlu ditanamkan dalam diri
kita.
II. Mengenal Agama-agama Lain
Tujuan:
 Supaya mahasiswa memahami
perbedaan-perbedaan yang ada pada
agama-agama secara nyata
 Supaya mahasiswa mengapresiasi
"kebaikan-kebaikan" (tertentu) yang ada
pada agama lain.
Langkah-langkah:
1. Untuk menumbuhkan sikap pluralis, sesudah
penjelasan tentang urgensi pluralisme, mahasiswa
perlu diberi peluang / kesempatan untuk mengenal
agama lain secara "eksistensial". Artinya, bukan
sekedar mengenal dogma atau ajarannya, yang
bisa dipelajari sendiri dari buku atau kuliah di
kelas, melainkan melalui perjumpaan dengan para
penganutnya in persona, setidaknya dapat
mengunjungi tempat ibadatnya, menyaksikan cara
berdoa dan kebaktian mereka dll. Misalnya,
mahasiswa diajak berkunjung ke kelenteng,
pesantren, seminari, pertapaan dan
mendengarkan keterangan dari pemuka agama
setempat tentang upacara-upacara keagamaan.
2. Bila dalam kelas terdapat banyak penganut agama
berbeda, kunjungan dan penjelasan dari pemuka
agama setempat bisa dilanjutkan dengan "sharing
religious experiences" yang dilakukan di kelas,
dipandu dengan pengantar, agar mereka tidak
berdiskusi - sekali lagi jangan berdiskusi - tentang
ajaran, melainkan sungguh-sungguh tentang
pengalaman hidup beragama.
 Gunakan sebanyak mungkin afeksi dan
pendengaran daripada pemikiran. Metode tanya
jawab bisa dipakai seperti dalam proses sharing
pengalaman biasa, bukan untuk mendebat atau
menyatakan pendapatnya, melainkan untuk
mendengarkan, menerima dan memahami.
Suasana sedapat mungkin mendekati suasana
hefting, doa, merenung, penuh hormat, simpati,
tetapi santai
3. Saling menjelaskan penggunaan alat-
alat suci atau sarana sembahyang,
seluas mungkin.
III. Disposisi untuk Dialog
 Tujuan :
 Supaya mahasiswa mengerti artinya
pluralisme sebagai sikap etis (disposisi)
memahami bermacam-macam sikap
pluralisme
Langkah-langkah:
1. Baru sesudah terbiasa mendengar pengalaman agama
orang lain, mahasiswa bisa mencapai toleransi dan mulai
diajak memasuki suasana dialog sampai mencapai sikap
pluralis. Sikap pluralis bisa beragam, dari yang minimalis,
sekedar mengakui eksistensi yang lain, hingga yang paling
terbuka.

2. Kita dapat amati urutan taraf kesadaran pluralis secara


bertahap:
 Toleransi (minimal) - mengakui eksistensi agama lain dan
membiarkan mereka melakukan ibadat sesuai dengan
kepercayaannya; prinsip nondiskriminatif dalam etika
 Sharing pengalaman - mau (saling) mendengarkan
pengalaman agama lain, mencoba memahami sesuai
maksud si pembicara (tidak mendistorsikannya).
 Mengakui adanya kebaikan-kebaikan juga dalam agama
lain.
3. Taraf pluralisme yang mana yang harus
disampaikan sangat tergantung pada kesadaran
dan kesiapan mahasiswa, tidak boleh dan tidak
bisa dipaksakan. Inilah yang bisa mempersulit
proses pembelajaran dalam kelas dengan
mahasiswa berbeda agama, sebab kadar
kesadaran dan kesediaan pluralis bisa tidak
sama. Kiranya kesadaran harus digugah dari
yang paling sederhana dulu, jangan menuntut
yang terlalu jauh sehingga justru menimbulkan
kebingunga.n dan aversi (penolakan).

4. Sesudah dicapai taraf di atas (Valera'', dialog,


pluralis) barulah dimungkinkan sharing
mengenai ideal pembangunan masyarakat,
berideal tentang masyarakat bersama, yang
toleran dan pluralis.

Anda mungkin juga menyukai