Anda di halaman 1dari 15

Syuf’ah

OLEH ; AQSAL FIFTEEN & MUHAMMAD ERDIANSYAH


Definisi syuf’ah
 Syuf’ah secara bahasa diambil dari kata syaf’ yang artinya
pasangan.
 Syuf’ah adalah hal yang sudah dikenal oleh orang-orang
Arab pada zaman jahiliiyyah. Dahulu seseorang jika
hendak menjual rumah atau kebunnya, maka tetangga,
kawan serikat atau kawannya datang mensyuf’ahnya,
dijadikannya ia sebagai orang yang lebih berhak membeli
bagian itu. Dari sinilah disebut Syuf’ah, adapun orang yang
meminta syuf’ah disebut syafii’.
Definisi syuf’ah
 Syuf’ah menurut fuqaha’ adalah keberhakan kawan sekutu
mengambil bagian kawan sekutunya dengan ganti harta (bayaran).
 Sedangkan syafii’ mengambil bagian kawan sekutunya yang telah
menjual dengan pembayaran yang telah ditetapkan dalam akad.
 Ada yang mengatakan, bahwa dinamakan syuf’ah karena
pemiliknya menggabungkan sesuatu yang dijual kepada pemiliknya
sehingga menjadi sepasang, setelah sebelumnya kepemilikannya
terpisah. Dikatakan juga bahwa syuf’ah yaitu hak memiliki secara
paksa yang telah tetap untuk partner lama dari partner yang baru
karena disebabkan adanya persekutuan untuk menghindari bahaya
(menghindari bahaya dan pertengkaran yang mungkin timbul). Hal
itu karena hak milik syafii’ terhadap harta yang dijual hendak dibeli
oleh orang lain menolak adanya madharat yang mungkin timbul
dari orang lain tersebut).
Dalil Disyari’atkannya Syuf’ah
Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, ia
berkata :

َ ‫ال لَ ُْم يه ْق‬


‫س ْمُ فَإذَا‬ ُّ ‫سلَّ َُم بُال‬
ُ ‫ش ْفعَ ُة في هكلُ َم‬ َ ‫علَيْهُ َو‬ َُّ ‫صلَّى‬
َ ‫َللاه‬ َ ‫ضى رسول هللا‬ َ َ‫ ق‬
َ‫ش ْفعَ ُة‬ ُ َ َ‫ق ف‬
ُ‫ل ه‬ ُّ ‫ت‬
ُ‫الط هر ه‬ ‫ت ْال هحد هو ُد ه َو ه‬
ُْ َ‫صرف‬ ُْ َ‫َوقَع‬
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi-bagi,
maka ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah
diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.”
Dalil Disyari’atkannya Syuf’ah
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

ُ‫س ْم‬َ ‫شُْف َعةُ فى هكلُ ش ْر َكةُ لَ ُْم ت ه ْق‬ ُّ ‫ بال‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َللا‬ َُّ ‫ل‬ ُ‫سو ه‬ ‫ضى َر ه‬ َ َ‫ ق‬
‫ن شَا َُء‬ ُْ ‫شا َُء أ َ َخ ُذَ َوإ‬ ُْ ‫ن شَري َك ُهه فَإ‬
َُ ‫ن‬ َُ ‫ن يَبي َُع َحتَّى يهؤْ ذ‬ ُْ َ ‫ل لَ ُهه أ‬
ُُّ ‫لَ َيح‬ُ .ُ‫َر ْبعَةُ أ َ ُْو َحائط‬
.ُ‫ق به‬ ُُّ ‫ع َولَ ُْم يهؤْ ذ ْن ُهه فَ ْه َُو أ َ َح‬ َُ ‫ك فَإذَا بَا‬
َُ ‫ت َ َر‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah dalam


semua persekutuan yang belum dibagi; baik rumah maupun kebun, tidak
halal bagi seseorang menjualnya sampai memberitahukan kawan
sekutunya. Jika ia mau, ia berhak mengambil dan jika mau, ia berhak
ditinggalkan. Apabila dijual, namun belum memberitahukannya, maka ia
lebih berhak terhadapnya.”
Dalil Disyari’atkannya Syuf’ah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

ُ َّ‫ارُالدَّارُأ َ َح ُّقُبالد‬
‫ار‬ ‫ َج ه‬
“Tetangga rumah lebih berhak dengan rumahnya,”
(HR. Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Al Irwaa’ no. 1539).

Para ulama juga telah sepakat tentang tetapnya hak syuf’ah bagi
sekutu yang belum melakukan pembagian pada sesuatu yang dijual,
baik berupa tanah, rumah maupun kebun.
RUKUN-RUKUN DAN SYARAT-SYARAT SYUF’AH
Syf’ah Memiliki 3 rukun, Yaitu ;

1. Barang yang diambil (sebagian yang sudah diambil), sayaratnya


keadaan barang tidak bergerak. Adapun barang yang bergerak berarti
dapat dipindahkan, dan tidak berlaku padanya Syuf’ah, melainkan
dengan jalan mengkuti kepada yang tidak bergerak.
2. Orang yang mengambil barang (partner lama); disyari’atkan
keadaannya orang yang tidak bersyari’at pada zat yang diambil, dan
memiliki akan bagiannya. Maka tetangga tidak berhak mengambil Syuf’ah
menurut madzhab Syafi’i, begitu juga yang bersyari’at pada manfaat, dan
orang yang mempunyai hak pada harta wakaf.
3. Yang dipaksa (partner baru); syaratnya keadaan barang dimilikinya
dengan jalan bertukar, bukan dengan jalan pusaka atau wasiat ataupun
pemberian.
RUKUN-RUKUN DAN SYARAT-SYARAT SYUF’AH
Syuf’ah memiliki 6 syarat, yaitu ;

1. Barang yang di Syuf’ahkan berbentuk barang tak bergerak, seperti:


tanah, rumah dan yang berkaitan dengannya secara tetap, misalnya:
tanaman, bangunan, pintu-pintu, atap-atap rumah, dan semua yang
termasuk dalam penjualan pada saat dilepas.
2. Orang yang membeli secara Syuf’ah, adalah partner dalam barang
tersebut. Dan perkongsian mereka lebih dulu terjalin sebelum penjualan,
dan tidak adanya perbedaaan batasan antara keduanya, hingga barang itu
menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.
3. Barang yang di Syuf’ahkan keluar dari pemilikan tuannya dengan jalan
penggantian harta, seperti dijual atau yang berpengertian dijual seperti
pengakuan (pernyataan) dengan jalan damai, atau karena adanya faktor
jinayat, atau hibah dengan penjualan dengan cara tertentu. Karena pada
hakekatnya ini adalah penjualan.
RUKUN-RUKUN DAN SYARAT-SYARAT SYUF’AH
4. Syafi` meminta dengan segera. Maksudnya, bahwa Syafi’ jika telah
mengetahui penjualan ia wajib meminta dengan segera, jika hal itu
memungkinkan. Jika ia telah menegetahuinya lalu mengulur waktu tanpa
adanya halangan, maka haknya menjadi gugur.

5. Syafi’ menyerahkan kepada pihak pembeli sejumlah harga sesuai yang


telah diakadkan. Kemudian Syafi’ mengambil Syuf’ah harga yang sama,
apabila jual beli itu Mitslian, atau dengan suatu nilai yang dihargakan.

6. Syafi’ mengambil semua transaksi jual beli atas barang. Apabila Syafi’
mengambil sebagian saja, maka gugur haknya secara keseluruhan.
Pewaris Syuf’ah
 Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa Syuf’ah dapat
diwariskan dan tidak batal karena kematian. Apabila sesorang
memperoleh hak Syuf’ah, kemudian ia meninggal dunia
sebelum hak itu atau ia sudah mengetahuinya lalu meninggal
dunia sebelum sempat mewariskan haknya itu kepada ahli
waris, maka hukumnya dianalogikan dengan kasus yang sama
dalam persoalan harta benda.

 Imam Ahmad mengatakan: “Tidak diwariskan, kecuali jika


mayit menuntutnya”.

 Dan para pengikut madzhab Hanafi mengatakan: Bahwa hak


ini tidak dapat diwariskan, dan juga tidak dapat dijual
sekalipun mayit menuntut Syuf’ah, kecuali jika hakim telah
memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia.
HUKUM-HUKUM DAN SIFAT SYUF’AH
1. Tidak boleh bagi sekutu menjual bagiannya sampai memberitahukan
atau menawarkan kepada sekutunya. Jika ia telah menjualnya tanpa
memberitahukan lebih dulu, maka kawan sekutunya lebih berhak
terhadapnya.
2. Syuf’ah hanya berlaku pada tanah dan sesuatu yang tidak bisa
dipindahkan, jika bisa dipindahkan, misalnya barang-barang, hewan dan
sebagainya, maka tidak berlaku. (lihat pula pembahasan tentang syarat-
syarat syuf’ah).
3. Syuf’ah adalah hak syar’i, tidak boleh dicari helat (celah) untuk
menggugurkannya karena ia disyariatkan untuk menghindarkan
madharat dari sekutunya.
4. Syuf’ah berlaku bagi para sekutu sesuai kadar kepemilikan mereka.
Siapa yang berhak mendapatkan syuf’ah, maka ia mengambilnya dengan
harga penjualannya baik secara tempo maupun kontan.
HUKUM-HUKUM DAN SIFAT SYUF’AH
5. Syuf’ah berlaku karena bagian yang berpindah dari seorang sekutu
merupakan jual beli yang tegas atau semakna dengannya. Oleh karena itu,
tidak ada syuf’ah pada sesuatu yang berpindah dari milik sekutu tanpa
ada jual beli, seperti dihibahkan tanpa ganti, atau diwarisi atau diwasiati.
6. ‘Aqaar (sesuatu yang tidak bisa dipindahkan) yang berpindah
kepemilikan dengan adanya jual beli harus bisa dibagi. Oleh karena itu,
tidak ada syuf’ah pada barang yang tidak bisa dibagi, seperti kamar
mandi kecil, sumur dan jalan.
7. Syuf’ah bisa dituntut segera setelah ia mengetahui sesuatu dijual. Jika
tidak dituntut sewaktu dijual, maka menjadi batal. Kecuali jika ia belum
tahu, maka tetap berlaku syuf’ahnya. Demikian pula masih berlaku, jika
ia menundanya karena adanya udzur, seperti tidak tahu hukumnya atau
udzur lainnya (lihat pula pembahasan syarat-syarat syuf’ah).
HUKUM-HUKUM DAN SIFAT SYUF’AH
8. Objek syuf’ah itu tanah yang belum dibagi dan belum dibatasi, serta
apa yang ada di sana berupa pepohonan dan bangunan. Jika sudah
dibagi, tetapi masih ada sebagian perlengkapan yang disekutui antara
beberapa tetangga, seperti jalan, air, dan semisalnya, maka menurut
pendapat yang paling shahih, syuf’ah tersebut masih berlaku.

9. Si syafii’ harus mengambil semua yang dijual, tidak mengambil


sebagian dan meninggalkan sebagian. Yang demikian tidak lain untuk
menghindarkan madharat dari pembeli.
HIKMAH SYUF’AH
 Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan
pertengkaran yang mungkin sekali timbul. Hal itu, karena hak milik
syafii’ terhadap harta yang dijual yang hendak dibeli oleh orang lain
menolak adanya madharat yang mungkin timbul dari orang lain
tersebut. Imam Syafi’i lebih memilih bahwa bahaya tersebut adalah
bahaya biaya pembagian, peralatan baru dsb. Ada yang mengatakan
bahwa bahaya tersebut adalah bahaya tidak baiknya persekutuan
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai