Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KELOMPOK KEPASIFIKAN

Nama Anggota Kelompok 9 kelas 2B5 :


1. Jein Meysi Aurora Dani
2.GLLEN PRAYOGO ALUS
3. Meysa Kalangi
4. Faranisa Bogdadi
5.Deon paulus hendriek tiwa
6. Intan stephanie korompis
2 jurnal tentang Fungsi & Peranan Pengetahuan
Kepasifikan
Dalam Pendidikan Tinggi
Memahami Peningkatan Kehadiran China di Pasifik
SelatanPerspektif Realisme Stratejik
Oleh: Vinsensio M.A. Dugis

ABSTRAK
Meningkatnya kehadiran China di Pasifik Selatan menarik perhatian.
Peningkatannya di kawasan yang dianggap sebagai ‘western lake’, secara
ekonomi tidak prospektif dan secara politis tidak stabil, telah menimbulkan
berbagai pertanyaan. Benarkah sementara Barat menggunakan hard power,
China menarik perhatian dengan soft powernya? Peningkatan kehadiran
China menimbulkan spekulasi bahwa China adalah hegemon baru. Penulis
berargumen bahwa Pasifik Selatan bukan pusat perhatian baru bagi China,
dan China bukanlah pemain baru di sana. China adalah aktor global dengan
agenda strategis yang dibangunnya di masa lalu dan diperkuatnya ketika
wilayah ini ditinggalkan kekuatan-kekuatan tradisionalnya. Menggunakan
perspektif realisme stratejik, kehadiran China di Pasifik adalah menyiasatai
pluralitas global dalam rangka mengambil peluang strategis. perspektif ini
memberi nuansa baru dalam memahami hubungan internasional di Pasifik
Selatan. Kata-kata kunci: China, Pasifik Selatan, pluralitas global, realisme
stratejik, strategi
Bukti-bukti peningkatan kehadiran dan berbagai manuver diplomasi China di Pasifik Selatan di
dalam satu dekade terakhir menimbulkan berbagai macam dugaan, baik positif maupun negatif.
Benarkah China memiliki intensi menjadi hegemon baru di Pasifik Selatan? Pertanyaan demikian wajar
adanya mengingat China sudah menjalin hubungan dengan negara-negara di wilayah ini sejak era
Perang Dingin melalui berbagai bantuan keuangan dan perdagangan. Kehadiran dan interaksi China di
Pasifik Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara berkembang, tetapi juga dengan negara-negara
metropolitan di kawasan itu. Terdapat indikasi yang kuat, bahwa sejak tahun 1980an melalui negara-
negara metropolitan ini, kubu Barat memberikan ruang kehadiran kepada China di kawasan dan
berperan sebagai faktor penyeimbang kehadiran Uni Soviet. Kesan yang terbentuk ialah peran dan
kehadiran China di kawasan ini ‘dikehendaki’. Perdana Menteri New Zealand, Robert Muldoon
menyampaikan kepada Deng Xiaoping bahwa, ‘any support China could give to the island states of the
[Pacific] Forum whether political or economic would help maintain political stability in the South Pacific’
(Brady 2008, 11). Selanjutnya, adalah Australia, negara Barat pertama yang ketika itu di bawah
kepemimpinan Perdana Menteri Gough Whitlam, yang menjalin hubungan diplomatik dengan ‘rezim
komunis’ Beijing, sehingga PM Whitlam sisebut sebagai ‘the father of Australia-China Relations’
(McDonnell 2014). Selama Perang Dingin berlangsung, New Zealand dan China menjalin hubungan
diplomatik yang intensif dan saling menguntungkan, walaupun hubungan-hubungan itu tidak
meninggalkan warna dasar ideologis masing-masing.
Seiring dengan berjalannya waktu, perhatian China ke Pasifik Selatan
semakin meningkat dan intensif. Hal ini ditandai dengan meningkatnya
bantuan ekonomi China kepada negara-negara yang menjalin hubungan
diplomatik dengannya. China, yang tercatat sebagai pendonor peringkat ketiga
setelah Australia dan AS, juga menawarkan berbagai paket bantuan keuangan
yang bertujuan untuk memperkuat perdagangan, membangun infrastruktur,
meningkatkan kemampuan pemerintah dan militer, serta mengembangkan
sumberdaya alam (Shie 2007, 309). Bantuan ekonomi yang tidak mengikat
dengan syarat lunak (Yang 2009, 139) merupakan daya tarik utama bagi
negara-negara Pasifik Selatan yang pada umumnya berpenghasilan nasional di
bawah rata-rata. Keadaan ini membuat China menjelma menjadi “banker
baru” di kawasan, Pasifik Selatan sebagaimana tergambar dalam judul tulisan
Fifita dan Hanson (2011) “China in the Pacific: The New Banker in Town”.
Disamping dengan instrumen bantuan ekonomi, intensitas kehadiran China
juga ditopang dengan diplomasi kultural, seperti pendirian sekolah hukum di
University of the South Pacific di Suva (ibukota Fiji), pertukaran pelajar, dan
pengajaran Bahasa Mandarin di stasiun televisi lokal.
Diplomasi China disambut baik oleh para pemimpin negara-negara Pasifik,
selain karena ‘kemurahan hati’nya, status China sebagai sesama negara
berkembang sangat membantu penerimaan kehadirannya di kawasan ini. Sudah
cukup lama Beijing menjadi ibukota negara asing pertama yang dikunjungi oleh
para pemimpin Pasifik yang baru dilantik. Kunjungan pemimpin Fiji, Vanuatu, PNG,
Samoa, Federated States of Micronesia, Tonga dan Kiribati menunjukkan bahwa
para pemimpin ini lebih banyak menaruh harapan pada China daripada ke AS,
Australia maupun New Zealand (Henderson & Reilly 2003, 95). Kedatangan PM
Wen Jiabao pada pertemuan PIF pada April 2006 dan penandatanganan paket
bantuan sejumlah US$374 juta memberi kesempatan China bermain lebih leluasa
(Yang 2009, 140).
Ditinjau dari sejarah kehadirannya, berbagai aktivitas China di kawasan
Pasifik Selatan, termasuk peningkatan kehadiran yang diperlihatkan setidaknya
satu dekade belakangan ini, sesungguhnya bukanlah merupakan hal yang asing
bagi sebagian besar negara di Pasifik Selatan. Sekali pun demikian, hal itu
mengundang reaksi yang tidak proporsional dari beberapa negara besar yang
merupakan aktor tradisional di wilayah itu, seperti Amerika Serikat, Perancis,
Australia dan Selandia Baru (Hayward-Jones 2013; Lum & Vaughn 2007).
Hubungan China yang semakin intensif setelah berakhirnya Perang Dingin
memunculkan sejumlah dugaan yang sebagian besar cenderung mengkhawatirkan
perkembangan tersebut.
Hegarty (2015) secara ekplisit berpendapat bahwa kehadiran China di
kawasan Pasifik Selatan jelas-jelas telah mengurangi peran tradisional dan
posisi kepemimpinan Australia di kawasan ini. Dugaan seperti ini
mencerminkan masih kuatnya kekhawatiran banyak pihak pada sifat agresif
China di masa lalu. Sekretaris Parlemen Australia untuk Urusan Kepulauan
Pasifik (Australian’s Parliamentary Secretary for Pacific Islands Affairs), Ricahrad
Marsles, tahun 2012 juga secara terbuka mengatakan bahwa peningkatan
kehadiran militer China di Pasifik Selatan boleh jadi membawa ancaman bagi
Australia (Wallis 2012). Sementara itu, kehadiran Menteri Luar Negeri AS,
Hillary Clinton di pertemuan Pacific Islands Forum (PIF) pada bulan Agustus
2012 mengindikasikan adanya kekhawatiran dimaksud (Wallis 2012).
Dalam hubungan antar negara, persepsi berperan penting dalam
membentuk politik luar negeri. Persepsi ancaman merupakan salah satu faktor
penting yang dipertimbangkan oleh pembuat keputusan luar negeri, bahkan
jauh lebih penting dari ancaman itu sendiri. Kemunculan (kembali) China
sebagai salah satu kekuatan penting dunia di tatanan dunia baru menjadi
perhatian banyak kalangan, baik akademisi maupun praktisi. Kehadiran China
menimbulkan respon yang berbeda-beda, mulai yang bersifat ‘pesimis’, seperti
kecemburuan, kehati-hatian, kecurigaan, penolakan, sampai yang ‘optimis’,
yaitu kekaguman (Bustelo 2005).
Secara umum, mengamati kemunculan kembali China dirangkum dalam
perdebatan “China threat theory” (zhongguo weixie lun)1, yang meliputi
ancaman militer, ekonomi dan kultural-ideologi. Persaingan ideologi antara AS
dan Uni Soviet menguntungkan China karena negara ini memanfaatkan
lingkungan internasional yang stabil dengan menerapkan kebijakan modernisasi
dan pintu terbuka. Politik ini berhasil membawa China pada keberhasilan
pembangunan ekonomi dan pengembangan kapabiltas militer. Perkembangan
China yang luar biasa dan perannya yang lebih asertif menyebabkan negara ini
dianggap sebagai ancaman keamanan di Asia Timur.
PENGARUH PENGEMBANGAN WILAYAH (ASPEK EKONOMI SOSIAL DAN BUDAYA)
TERHADAP PERTAHANAN NEGARA DI WILAYAH PANTAI TIMUR SUMATERA UTARA
Oleh : Asren Nasution

ABSTARK
Pembangunan daerah yang berfokus pada ekonomi, sosial dan budaya
pemberdayaan adalah aspek penting dalam membela negara dari setiap ancaman.
Pertahanan nasional, bagaimanapun, adalah kewajiban kolektif antara pemerintah dan
seluruh warga negara. Studi ini keberatan untuk menganalisis pengaruh 1) ekonomi yang
diwakili oleh tingkat kesejahteraan, modal, tenaga kerja, kewirausahaan dan lembaga
ekonomi, 2) aspek sosial yang ditunjukkan oleh pendidikan, kesehatan, sosial, lembaga
sosial dan konflik komunal, dan 3) aspek budaya tercermin oleh separatis, fanatik, budaya,
dan tokoh terkemuka tentang pertahanan nasional di pesisir timur Sumatera Utara dengan
menggunakan Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketiga aspek tersebut terdiri dari memiliki pengaruh signifikan terhadap pertahanan
nasional dalam tingkat signifikansi 99%.
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan
penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran
pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan
pembangunan di daerah. Kunci keberhasilan pembangunan daerah dalam
mencapai sasaran pembangunan nasional secara efisien dan efektif,
termasuk penyebaran hasilnya secara merata di seluruh Indonesia adalah
koordinasi dan keterpaduan antara pemerintah pusat dan daerah,
antarsektor, antara sektor dan daerah, antarprovinsi, antarkabupaten/kota,
serta antara provinsi dan kabupaten/kota. Pembangunan daerah
dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional
serta untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan daerah bagi masyarakat
secara adil dan merata.
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, perspektif pendelegasian urusan ditetapkan
dengan menggunakan 3 (tiga) prinsip dasar yaitu efisiensi, eksternalitas,
dan akuntabilitas. Ketiga prinsip dasar di atas menjadi landasan dan
kriteria bagi pelaksanaan pembagian fungsi utama pemerintah
sebagaimana diuraikan di atas. Dengan pemahaman ini, masing-masing
jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) memiliki
kewenangan sekaligus peran dalam mewujudkan tujuan pembangunan
yang telah disepakati bersama secara nasional. Pada dasarnya
pembangunan daerah berorientasi pada pengembangan wilayah pada
suatu daerah yang dilakukan secara gradual, yang menyangkut fisik dan
nonfisik wilayah dimana tercipta penataan ruang yang efisien dan
infrastruktur publik yang cukup serta kondisi lingkungan yang nyaman
(Miraza, 2005).
Dengan demikian keseimbangan antarkawasan menjadi penting
karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi
disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat
pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Seperti halnya
bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan
mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah
menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik (Rustiadi,
2001). Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
pada pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pertahanan negara adalah segala
usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Kemudian pada pasal 2 dinyatakan pula bahwa sistem pertahanan negara
adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh
warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, serta
dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara
total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala
ancaman.
Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara merupakan salah satu bagian dari wilayah
NKRI yang sangat potensial dan strategis, baik diihat dari aspek ekonomi wilayah
maupun aspek pertahanan wilayah, karena wilayah ini secara geografis berbatasan
langsung dengan Selat Malaka, Provinsi Riau, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
dan memiliki kekayaan laut yang menjanjikan. Namun secara demografis belum
memberikan sesuatu yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga memberi
peluang bagi ancaman pertahanan wilayah. Posisi geografis pesisir Pantai Timur
Sumatera Utara yang memanjang dari Kabupaten Langkat sampai Labuhan Batu dengan
garis pantai sekitar 545 kilometer, sangat strategis bagi pengembangan ekonomi rakyat
pesisir karena memiliki potensi kelautan yang tinggi bagi pengembangan tersebut.
Berikut ini gambaran garis pantai wilayah tersebut. Berdasarkan data dapat diketahui
bahwa kabupaten yang memiliki panjang garis pantai terpanjang adalah Kabupaten
Langkat dengan panjang 99,36 Km. Hal ini berarti bahwa Kabupaten Langkat memiliki
potensi pengembangan wilayah yang besar pula. Apabila terjadi pengoptimalan
pengembangan dan pemanfaatan wilayah maka kemungkinan besar akan mendorong
perekonomian masyarakat yang ada di wilayahnya. Selain itu, Selat Malaka sebagai jalur
perdagangan laut internasional memiliki potensi yang cukup besar dalam menciptakan
stabilitas keamanan laut dan meningkatkan devisa negara. Namun, kondisi ini belum
sepenuhnya dikembangkan karena keterbatasan sarana.
Salah satu teori pertumbuhan ekonomi regional adalah teori eksport-base.
Kelompok ini mendasarkan pandangannya dari sudut teori lokasi yang berpendapat
bahwa pertumbuhan ekonomi suatu region akan lebih banyak ditentukan oleh jenis
keuntungan lokasi dan dapat digunakan oleh daerah tersebut sebagai kekuatan ekspor.
Keuntungan lokasi tersebut umumnya berbeda-beda setiap region dan hal ini
tergantung pada keadaan geografis daerah setempat. Ini berarti untuk meningkatkan
pertumbuhan suatu region, strategi pembangunannya harus disesuaikan dengan
keuntungan lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan
pada tingkat nasional (Sirojuzilam, 2005). Dilihat secara geopolitik dan geostrategi,
daerah ini menyimpan potensi masalah yang bila tidak dikelola dengan benar akan
berpeluang menimbulkan ancaman di bidang pertahanan keamanan, ekonomi dan
politik. Selain itu, kandungan kekayaan alam yang potensial didaerah ini, berdirinya
berbagai objek vital berskala nasional dan internasional akan menjadi berkah sekaligus
menjadi sumber kerawanan. Menjadi berkah karena dengan cepat mengakses berbagai
kemajuan dari berbagai negara tetangga, bertukar budaya dan merespon berbagai
dinamika perubahan yang bermanfaat bagi kemajuan masyarakat kita. Sebaliknya
menjadi sumber kerawanan karena luas dan panjangnya garis perbatasan berarti luas
dan panjang pula pintu masuk dan titik-titik kerawanan yang bisa membahayakan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa (Jenderal TNI Agustadi
S.P., 2008).
Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir tidak hanya
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan yang rendah semata. Kemampuan
menyerap tenaga kerja oleh pihak pemerintah dan swasta merupakan
faktor yang mendukung terpuruknya kondisi masyarakat nelayan. Kondisi
ini juga sering diperparah dengan ketidakmampuan masyarakat untuk
bersikap mandiri dengan menumbuhkembangkan usahanya sendiri selain
usaha pokok untuk memperoleh pendapatan tambahan keluarga.
Ketidakmampuan ini sering diakibatkan oleh tidak tersedianya modal yang
cukup. Mayoritas penduduk yang bekerja sebagai buruh dan nelayan di
Pantai Timur Sumatera Utara menggambarkan tingkat ekonomi yang
rendah. Selain itu, kerawanan sosial dikarenakan ketimpangan ekonomi
dan perbedaan tingkat pendapatan memberi peluang munculnya
disharmonisasi sosial ditengah-tengah masyarakat, sehingga apabila tidak
dikelola dengan tepat akan memicu keresahan, demonstrasi/anarkhis dan
bahkan dapat memunculkan separatisme di daerah. Selain itu, konflik
komunal pun tidak dapat terhindarkan pada kondisi seperti ini.
“TERIMAH KASIH”

Anda mungkin juga menyukai