Anda di halaman 1dari 53

 

RHEUMATOID ARTHRITIS
Acute Exacerbation
Nama Kelompok:

• Dwi Yuri A. (075)


• Abednego K. (076)
• Felix S. (077)
• Maretty M. (078)
• Dewi Ria O. (079)
PENGERTIAN
– Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis yang menyebabkan nyeri,
kekakuan, pembengkakan dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak
sendi. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi sendi apapun, sendi-sendi
kecil di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat.
– Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian
(biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi

(Gordon et al., 2002)


MANIFESTASI
– Nyeri sendi, nyeri tekan, bengkak atau kaku selama enam minggu atau lebih,
– Kekakuan pagi selama 30 menit atau lebih, KLINIS
– Lebih dari satu sendi terpengaruh,
– Sendi kecil (pergelangan tangan, sendi tangan dan kaki tertentu)
terpengaruh,
– Sendi yang sama di kedua sisi tubuh terpengaruh,
– Seiring dengan rasa sakit, banyak orang mengalami kelelahan, kehilangan
nafsu makan dan demam ringan.

(Arthritis Foundation, 2017)


FAKTOR RESIKO (1/2)
Faktor Genetik Usia dan Jenis Kelamin

Delapan puluh persen orang Insidensi rheumatoid


kulit putih yang menderita arthritis lebih banyak
rheumatoid arthritis dialami oleh wanita daripada
mengekspresikan HLA-DR1 laki-laki dengan rasio 2:1
atau HLA-DR4 pada MHC hingga 3:1. . Wanita
yang terdapat di permukaan memiliki hormon estrogen
sel T. Pasien yang sehingga dapat memicu
mengekspresikan antigen sistem imun. Onset
HLA-DR4 3,5 kali lebih rheumatoid arthritis terjadi
rentan terhadap rheumatoid pada orang-orang usia
arthritis. sekitar 50 tahun.
FAKTOR RESIKO (2/2)
Infeksi Lingkungan Obesitas
Faktor lingkungan dan gaya hidup Orang yang kelebihan berat badan
Infeksi dapat memicu
juga dapat memicu rheumatoid atau obesitas tampaknya berisiko
rheumatoid arthritis arthritis seperti merokok. tinggi terkena rheumatoid arthritis,
pada host yang mudah terutama pada wanita yang
didiagnosis menderita penyakit
terinfeksi secara genetik. saat berusia 55 atau lebih muda
Virus merupakan agen
yang potensial memicu
rheumatoid arthritis
seperti parvovirus, (Smith and Haynes, 2002)

rubella, EBV, borellia


burgdorferi.
PATOFISIOLOGI
(1/2)
❖ Paparan antigen akan memicu pembentukan
antibodi oleh sel B. Pada pasien rheumatoid
arthritis ditemukan antibodi yang dikenal dengan
Rheumatoid Factor (RF).
❖ RF mengaktifkan komplemen kemudian memicu
kemotaksis, fagositosis dan pelepasan
sitokin→mempresentasikan antigen kepada sel T
CD4+
❖ Sitokin yang dilepaskan merupakan sitokin
proinflamasi dan kunci terjadinya inflamasi pada
rheumatoid arthritis seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6
❖ Aktivasi sel T CD4+ akan memicu sel-sel inflamasi
datang ke area yang mengalami inflamasi.
PATOFISIOLOGI
(2/2)
– Pada rheumatoid arthritis terjadi penumpukan dari IL-1 pada permukaan dinding sendi
synovial. Karena potensinya sebagai mediator kerusakan sendi, IL-1 menjadi bagian dalam
terjadinya rheumatoid arthritis. IL-1 adalah sitokin yang memiliki aktifitasi imunologis dan
pro-inflamasi dan memiliki kemampuan untuk menginduksi dirinya secara otomatis.
– Didapatkan kenyataan bahwa tingkat aktifitas penyakit dalam rheumatoid arthritis dan
kerusakan sendi yang progresif berhubungan dengan kadar IL-1 dalam plasma dan cairan
snovial. IL-1 menstimulasi PGE2 dan nitiric oxide dan matrix metalloprotease dimana
kemudian mengkibatkan degradasi sendi.

(Schuna, 2015)
TERAPI FARMAKOLOGI
– Rekomendasi untuk terapi Reumatoid Artritis dengan bukti evidence
paling baik adalah penderita RA harus diterapi sedini mungkin dengan
DMARD untuk mengontrol gejala dan menghambat perburukan
penyakit, NSAID diberikan dengan dosis rendah dan harus diturunkan
setelah DMARD mencapai respon yang baik.

(Suarjana, 2009)
NSAIDs
(Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs)
Berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan sendi

Ꝋ Mekanisme Kerja : inhibisi sintesa prostaglandin dan menghambat siklooksigenase-I


(COX I) dan siklooksigenase-II (COX II). Namun tidak seperti aspirin hambatan yang
diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam pengobatan dengan ibuprofen, terjadi
penurunan pelepasan mediator dari granulosit, basofil dan sel mast, terjadi
penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi
limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan menghambat agregasi platelet
(Stoelting, 2006).
Ꝋ Dosis ibuprofen untuk dewasa pengidap rheumatoid arthritis: dosis awal: 400-800
mg secara oral setiap 6-8 jam sesuai kebutuhan (Mayo, 2017).
DMARD
(Disease Modifying
Anti Rheumatic Drugs)
Berfungsi untuk menurunkan proses penyakit
dan mengurangi respon fase akut

(Suarjana, 2009)
Apabila pengobatan menggunakan
Methrotexate dan Sulfasalazin
tidak menghasilkan efek yang
diinginkan, maka dapat digunakan
terapi alternatif dengan agen
biologik berikut
PIO (1/7)
METOTREKSAT
Dosis Efek samping
- Oral - Fibrosis hati
- 7,5 mg sekali seminggu (sebagai dosis - Pneumonia interstitial
tunggal atau terbagi ke dalam tiga dosis
- Supresi sumsum tulang
2,5 mg dengan selang waktu pemberian
12 jam), sesuaikan menurut respon.
- Dosis maksimum seminggu 20 mg. Pemantauan
Indikasi - Awal : foto thorax, DPL, TFG, dan TFH
Reumatoid artritis aktif yang berat yang tidak - Selanjutnya : DPL dan TFH tiap bulan
memberikan respon terhadap terapi
konvensional; penyakit keganasan;psoriasis.
(BPOM RI, 2015) (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)
PIO (2/7)
SULFASALAZIN
Dosis Efek Samping

Oral, berikan atas resep dokter, sebagai tablet salut Kehilangan nafsu makan, demam, gangguan darah
enterik, dosis awal 500 mg sehari, naikkan dengan 500 (termasuk Heinz body anemia), anemia megaloblastik,
mg pada selang waktu 1 minggu hingga maksimum 2-3 reaksi hipersensitivitas (termasuk dermatitis eksfoliatif,
g/hari dalam dosis terbagi nekrolisi epidermal, pruritus, fotosensitivitas,
anafilaksis, serum-sickness), komplikasi ocular
Indikasi (termasuk udem periorbital), stomatitis, parotitis,
ataksia, meningitis aseptis, vertigo, tinnitus, insomnia,
Induksi dan pemeliharaan remisi pada kolitis ulseratif;
depresi, halusinasi, reaksi pada ginjal (termasuk
penyakit Crohn yang aktif; dan artritis rematoid. proteinuria, kristal uria, haematuria), oligospermia, dan
Kontraindikasi urin berwarna oranye.

Hipersensitivitas terhadap salisilat dan sulfonamida; anak (BPOM RI, 2015)


usia di bawah 2 tahun.
PIO (3/7)
IBUPROFEN
Dosis Ibuprofen Efek Samping ibuprofen
400-800 mg tiap 6-8 jam. ✓ Mual dan muntah
Dosis maksimal per hari ✓ Perut kembung
adalah 3,2 gram.
✓ Nyeri ulu hati
✓ Gangguan pencernaan
✓ Diare atau konstipasi
✓ Sakit kepala
✓ Tukak lambung
✓ Muntah darah
✓ Tinja berwarna hitam atau
(Marianti, 2017) disertai darah
PIO (4/7)
ETANERSEP
Dosis Indikasi
- 25 mg secara injeksi subkutan, 2 Reumatoid artritis aktif pada pasien
kali per minggu, atau dewasa yang tidak memberikan
- 50 mg secara injeksi subkutan per respon yang memadai pada
minggu pemberian obat-obat DMARDs.

Waktu timbul respon Kontraindikasi

2-12 minggu Kehamilan; menyusui; infeksi aktif

Efek samping
Infeksi; TB; Demieliminasi saraf (BPOM RI, 2015)

(Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2014)
PIO (5/7)
TOCILIZUMAB
Dosis Indikasi
8 mg/kg secara intravena Reumatoid artritis
Waktu timbul respon Kontraindikasi
2 minggu Infeksi aktif yang berat (sepsis,
Efek Samping abses, hepatitis B, TB aktif)

Infeksi; TB; HT; Gangguan fungsi


hati (MIMS, 2017)

(Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2014)
PIO (6/7)
INFLIXIMAB
Dosis Waktu timbul respon
3 mg/kg secara intravena pada minggu ke 0, 2, 2-12 minggu
dan 4 kemudian tiap 8 minggu Efek samping
Indikasi Infeksi; TB; Demieliminasi
Penyakit inflamasi usus; ankylosing saraf
spondylitis; rheumatoid arthritis.
Kontraindikasi
Kehamilan; menyusui; infeksi yang berat. (Perhimpunan Reumatologi
(BPOM, 2015) Indonesia, 2014)
PIO (7/7)
RITUXIMAB
Dosis Kontraindikasi
1000 mg secara intravena pada hari ke 0 dan Menyusui; hipersensitif
15 terhadap rituksimab atau
Waktu timbul respon komponen lain dalam obat
atau murine protein.
12 minggu
Efek samping
Indikasi
Demam, menggigil, kekakuan,
B-cell non-Hodgkin lymphomas kambuhan flushing, angioderma, mual,
atau kemoresisten. Diffuse large B-cell non- iritasi tenggorok, anafilaksis.
Hodgkin lymphomas (DLCL) positif CD20
pada kombinasi dengan kemoterapi CHOP.
(BPOM, 2015)

(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)


TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Latihan Istirahat Penurunan BB
Istirahat dapat menyembuhkan Menurunkan berat badan dapat
Penelitian
stres dari sendi yang mengalami membantu mengurangi stress
menunjukkan bahwa peradangan dan mencegah pada sendi dan dapat
olahraga sangat kerusakan sendi yang lebih mengurangi nyeri. Menjaga
parah. Tetapi terlalu banyak berat badan tetap ideal juga
membantu istirahat (berdiam diri) juga dapat mencegah kondisi medis
mengurangi rasa sakit dapat menyebabkan imobilitas, lain yang serius seperti penyakit
sehingga dapat menurunkan jantung dan diabetes.
dan kelelahan pada rentang gerak dan menimbulkan
pasien rheumatoid atrofi otot.
(Smith and Haynes, 2002)
arthritis serta
meningkatkan
fleksibilitas dan
PEMERIKSAAN CAIRAN
SYNOVIAL
– Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan
peningkatan jumlah sel darah putih.
– Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang
didominasi oleh sel neutrophil (65%).
– Rheumatoid faktor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding
terbalik dengan cairan sinovium.

(Laboratory Technologist, 2009)


PEMERIKSAAN KADAR
SERO-IMMUNOLOGI
– Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis rheumatoid
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis
paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit
kolagen, dan sarkoidosis.
– Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) adalah tes untuk
mendiagnosis rheumatoid arthritis secara dini. Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa tes tersebut memiliki sensitivitas yang mirip dengan tes RhF, akan tetapi
spesifisitasnya jauh lebih tinggi dan merupakan prediktor yang kuat terhadap
perkembangan penyakit yang erosif

(NHMRC, 2009)
PEMERIKSAAN DARAH
– Leukosit : normal atau meningkat sedikit TEPI
– Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
– Trombosit meningkat.
– Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
– Protein C-reaktif biasanya positif.
– LED meningkat.

(NHMRC, 2009)
PROTEIN C-REAKTIF
(CRP)
Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau
metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi
dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP
pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk
menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer
glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya) lalu
direaksikan dengan latex. Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih
terjadi aglutinasi.
PEMERIKSAAN LAJU
ENDAP DARAH
– Laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR) yang juga disebut laju sedimentasi
eritrosit adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan
satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat selama
proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit kolagen,
rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan).
– Pemeriksaan LED dipertimbangkan kurang spesifik daripada CRP karena kenaikan kadar CRP
terjadi lebih cepat selama proses inflamasi akut, dan lebih cepat juga kembali ke kadar normal
daripada LED. Namun, beberapa dokter masih mengharuskan uji LED bila ingin membuat
perhitungan kasar mengenai proses penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti perjalanan
penyakit. Jika nilai LED meningkat, maka uji laboratorium lain harus dilakukan untuk
mengidentifikasi masalah klinis yang muncul
(Laboratory Technologist, 2009)
EVALUASI
– Beberapa faktor yang turut dalam memberikan DIAGNOSTIK
kontribusi pada penegakan
diagnosis rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid, inflamasi sendi yang
ditemukan pada saat palpasi dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan peninggian laju endap darah dan
factor rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal penyakit faktor ini
negatif. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C-
reaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil
yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh,
berwarna mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi,
seperti leukosit dan komplemen.
– Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan
memantau perjalanan penyakitnya. Foto rontgen akan memperlihatkan erosi
PEMERIKSAAN RHF SECARA AGLUTINASI
LATEX DENGAN METODE RANDOX RF
TEST
Pada beberapa kasus RA, tidak terdeteksi adanya RhF (negatif palsu). RhF ini
terdeteksi positif pada sekitar 60-70% pasien RA. Level RhF jika
dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat menunjukkan tingkat
keparahan penyakit (NHMRC, 2009).
– Prosedur:
1. Meneteskan 50 µl reagen latex disamping setiap tetesan dari sampel atau
kontrol.
2. Mencampur dan meratakan sampai memenuhi lingkaran test.
3. Memutar slide selama 2 menit dan melihat adanya aglutinasi.
Jika terjadi hasil yang meragukan pada pemeriksaan, diulangi dan
dibandingkan dengan negatif positif dan negatif. Pembentukkan aglutinasi
membuktikan bahwa pasien positif mengalami Rheumatoid.
PEMERIKSAAN
▪ LAINNYA
MRI: MRI dapat mendeteksi adanya erosi lebih dini
dengan X-Ray.
jika dibandingkan

▪ USG: Tes ini dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya
cairan abnormal di jaringan lunak sekitar sendi.
▪ Scan tulang: Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi
pada tulang.
▪ Densitometri : Tes ini dapat mendeteksi adanya perubahan kepadatan
tulang yang mengindikasikan terjadinya osteoporosis.

(Shiel, 2011)
MONITORING
(1/2)
1.Tanda perbaikan klinis meliputi pengurangan pembengkakan sendi,
penurunan kehangatan pada sendi yang terlibat secara aktif, dan penurunan
sensitivitas terhadap rasa sakit pada sendi.
2.Perbaikan gejala meliputi pengurangan nyeri sendi dan kekakuan, waktu
yang lebih lama untuk merasa kelelahan, dan peningkatan kemampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari.
3.Radiografi secara berkala berguna dalam menilai perkembangan penyakit.
4.Pemantauan laboratorium kurang bernilai dalam menilai respons terhadap
terapi namun sangat penting untuk mendeteksi dan mencegah efek obat yang
merugikan, contoh efek obat RA terdapat dalam tabel dibawah.
5.Tanyakan kepada pasien tentang adanya gejala yang mungkin terkait dengan
efek obat yang merugikan.
(Dipiro, 2015)
MONITORING
(2/2)
6.Pengecekan Laju Endap Darah (LED) dan Rheumatoid Factor (RhF) untuk
melihat efektivitas dari terapi farmakologi yang dilakukan:
– Laju enap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan
adanya proses inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah
untuk RA. Tes ini berguna untuk memonitor aktivitas penyakit dan
responnya terhadap pengobatan (NHMRC, 2009).
– Tes RhF (rheumatoid factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin
mengindikasikan penyakit peradangan kronis yang lain (positif palsu).
Pada beberapa kasus RA, tidak terdeteksi adanya RhF (negatif palsu).
RhF ini terdeteksi positif pada sekitar 60-70% pasien RA. Level RhF
jika dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat menunjukkan
tingkat keparahan penyakit

(NHMRC, 2009)
Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium
 a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-
Reactive Protein (CRP) meningkat
 b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF
positif namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) :
Biasanya digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan
RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70%
namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya
penyakit tidak konsisten

(Medscape, 2018)
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan
lunak, penyempitan ruang sendi, demineralisasi
“juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau
subluksasi sendi. (Medscape, 2018)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi
tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:

1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1 jam
sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi
atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya
PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP
(metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau
pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat

(Aletha, dkk, 2010)


PILIHAN TERAPI RA
1. Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD)

• Terapi DMARD memiliki potensi untuk


mengurangi kerusakan sendi,
mempertahankan integritas dan fungsi sendi.
• Obat-obat DMARD yang sering digunakan pada
pengobatan AR adalah metotreksat (MT),
sulfasalazin, leflunomide, klorokuin,
siklosporin, azatioprin.

(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)


(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)
2. Agen Biologik

• Terapi ini dipilih jika pasien tidak menunjukkan


respon yang memuaskan bahkan dengan
kombinasi DMARD nonbiologik.
• Beberapa DMARD biologik dapat berkaitan
dengan infeksi bacterial yang serius, aktif
kembalinya hepatitis B dan aktivasi TB.

(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)


(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)
3. Kortikosteroid
• Kortikosteroid oral dosis rendah/sedang bisa menjadi bagian dari
pengobatan AR, tapi sebaiknya dihindari pemberian bersama
OAINS sambil menunggu efek terapi dari DMARDS.
• Berikan kortikosteroid dalam jangka waktu sesingkat mungkin dan
dosis serendah mungkin yang dapat mencapai efek klinis.
• Dikatakan dosis rendah jika diberikan kortiksteroid setara
prednison < 7,5 mg sehari dan dosis sedang jika diberikan 7,5 mg –
30 mg sehari.
• Selama penggunaan kortikosteroid harus diperhatikan efek
samping yang dapat ditimbulkannya seperti hipertensi, retensi
cairan, hiperglikemi, osteoporosis, katarak dan kemungkinan
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)
terjadinya aterosklerosis dini
Obat Anti Inflamasi Non Steroid

• OAINS diberikan dengan dosis efektif serendah


mungkin dalam waktu sesingkat mungkin.
• Kombinasi 2 atau lebih OAINS harus dihindari
karena tidak menambah efektivitas tetapi
meningkatkan efek samping.
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)
Terapi yang diberikan sudah tepat?
1. Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat analgesik
yang dapat mengendalikan nyeri pasien RA namun OAINS
(seperti misalnya ibuprofen) lebih tepat dibandingkan
parasetamol atau obat analgesik opioid lainnya.
2. Ibuprofen merupakan OAINS yang memiliki aktivitas
antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik sehingga obat ini
sudah tepat untuk mengendalikan gejala RA.
3. Obat Methotrexate sudah tepat karena merupakan obat
DMARD
4. Prednisolon sudah tepat, asal diberikan dalam dosis
rendah, dosisnya 7,5 mg sehari atau 7,5-30 mg sehari

(Pionas, 2018).
Regimen dosis?

• Ibuprofen sebaiknya diberikan 1,6 g sampi 2,4


g sehari untuk dewasa (Pionas, 2018).
• Methrotexate sebaiknya diberikan 7,5-25 mg
per minggu.
Mekanisme
Obat
Methotrexa
te
Methotrexate Prednison
Prednison merupakan
merupakana agen
antineoplastik jenis prodrug steroid yang
antimetabolit.
Obat ini bekerja dengan akan diubah oleh hati
menghambat reduktase menjadi prednisolon.
asam folat yang berperan Steroid bekerja dengan cara
mengubah asam folat seperti: inhibisi infiltrasi
menjadi asam leukosit pada tempat
tetrahidrofolik. Sehingga terjadinya peradangan, ikut
DNA sulit terbentuk karena bekerja pada fungsi mediator
kekurangan asam respons radang, dan
tetrahidofolik yang penekanan pada respons
kemudian menyebabkan imun humoral.
kematian sel tersebut.
Selain obat itu juga memiliki kemampuan menekan sistem
imun dan menghambat aktivasi sel T sehingga dapat Kerja anti-inflamasi dari kortikosteroid diperkirakan karena kortikosteroid ikut
mengurangi efek nyeri dan peradangan pada artrithis melibatkan protein inhibitor Fosfolipase A2, yang disebut dengan lipocortins.
Lipocortins mengontrol biosintesis mediator radang yang poten seperti prostaglandin
reumathoid (Kalbe, 2015) dan leukotriene dengan cara menghambat pembentukan asam arakidonat (Katzung ,
2001).
PEMBERIAN INFORMASI SAAT KONSELING TERHADAP
APOTEKER
Pemberitahuan Penyakit
Menurut Gejala yang dialami :
• Rasa Sakit Waktu pagi hari
• Bengkak
• Tenderness di pergelangan tangan

Penyakita yang diderita :


• Penyakit sendi yang disebabkan ada imun
yang menyerang tubuh manusia sendiri –
autoimun
• Jika dibiarkan akan merusak jaringan sendi
dan merusak sel tulang
(Mudjaddid, et. al., 2017)
PIO
Prednison
• untuk mengurangi peradangan
• untuk menekan system imun
• dosisnya : 1 hari 1 kali selama 5 – 10 hari diminum setelah
makan
(Ajeganova, et. al., 2013)

Methotrexate
• untuk menekan pertumbuhan sel – sel yang dapat merusak
tubuh seperti sel kanker maupun sel lainnya
• dosisnya : setiap 12 jam 1 kali selama seminggu diminum
setelah makan
(Herwanto dan Andri, 2015)
DAFTAR PUSTAKA

• Medscape. 2018. Available at https://emedicine.medscape.com/article/331715-overview#a1.


Diakses pada 25 November 2018.
• Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, dkk. 2010. Kriteria klasifikasi rheumatoid arthritis: American College
of Rheumatology / European League Against Rheumatism inisiatif kolaboratif. Arthritis Rheum . Vol.
62 (9): 2569-2581.
• Kalbemed. 2015. Methotrexate. Diakses di
http://www.kalbemed.com/Products/Drugs/Branded/tabid/245/ID/4532/Methotrexate-Kalbe.aspx
[diakses pada 25 November 2018]
• Katzung, B.G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik : Prinsip Kerja Obat
Antimikroba. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp. 699.
• Ajeganova, S., Bjorn S., dan Ingiald H. 2013. Low-dose Prednisolone Treatment of Early Rheumatoid
Arthritis and Late Cardiovascular Outcome and Survival: 10-year Follow-up of a 2-year Randomised
Trial. BMJ Journal. Vol. 4, no. 1
• Herwanto, V. dan Andri S. 2015. Administration of Methotrexate in Rheumaoid Arthritis Patients
with Chronic Hepatitis B. The Indonesian Journal Gastroenterology, Hepatology, and Digestive
Endoscopy. Vol. 16, no. 1
• Mudjaddid, E., Myra P., Bambang S., dan Esthika D. 2017. Hubungan Derajat Aktivasi Penyakit
Dengan Depresi Pada Pasien Artritis Reumatoid. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Vol. 4, no. 4
• Pionas. 2018. Antiinflamasi Nonsteroid (AINS). Tersedia secara online di
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-10-otot-skelet-dan-sendi/101-obat-reumatik-dan-gout/1011-
antiinflamasi-nonsteroid-ains [Diakses pada tanggal 25 November 2018].
• Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2014. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia
Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arthritis Foundation. 2017. Rheumatoid Arthritis Symptoms. Available at
http://www.arthritis.org/about-arthritis/types/rheumatoid-arthritis/symptoms.php [Accessed 07 November 2017]
BPOM RI. 2015. Obat yang Menekan Proses Penyakit Reumatik. Tersedia online di
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-10-otot-skelet-dan-sendi/101-obat-reumatik-dan-gout/1013-obat-yang-menekan-proses-p
enyakit
[ diakses pada 7 Desember 2017]
BPOM RI. 2015. Etanersep. Tersedia online di http://pionas.pom.go.id/monografi/etanersep [ diakses pada 7 Desember 2017]
BPOM RI. 2015. Infliksimab. Tersedia online di http://pionas.pom.go.id/monografi/infliksimab [ diakses pada 7 Desember 2017]
BPOM RI. 2015. Rituksimab. Tersedia online di http://pionas.pom.go.id/monografi/rituksimab [ diakses pada 7 Desember 2017]
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015. Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit. Inggris: McGraw-Hill
Education Companies.
Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media
Gordon, M.M., Hampson, R., Capell, H.A., & Madhok, R. 2002. Illiteracy in Rheumatoid Arthritis Patients as Determined by the
Rapid Estimate of Adult Literacy in Medicine (REALM) Score. British Society for Rheumatology. 41:750-754
DAFTAR PUSTAKA
Harti, AS., dan Dyah Y. 2012. Pemeriksaan Rheumatoid Faktor Pada Penderita Tersangka Rheumatoid Arthritis. Jurnal
KESMADASKA Vol.3(2):1-7
Laboratory Technologist. 2009. Protein C Reaktif. Avaikable at: http://labkesehatan.com:2009/11/protein-c-reaktif.html. (Diakses
pada tanggal 6 Desember 2017)
Marianti. 2017. Ibuprofen. tersedia online di http://www.alodokter.com/ibuprofen [diakses pada 7 desember 2017]
Mayo Clinic (2017). Drugs and Supplements. Ibuprofen (Oral Route).
MIMS. 2017. Tocilizumab. Tersedian online di http://www.mims.com/singapore/drug/info/tocilizumab?mtype=generic [diakses
pada tanggal 7 desember 2017]
NHMRC (The National Health and Medical Research Council). 2009. Recommendations For the Diagnosis and Management of
Early Rheumatoid Arthritis. Australia: The Royal Australian College of General Practitioners
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2014. Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid. ISBN 978-979-3730-20-2.

Anda mungkin juga menyukai