Anda di halaman 1dari 52

PEMERIKSAAN

LABORATORIUM
CRP , RF dan ASO

Retno Martini
CRP ( C- reactif protein)
Protein dalam
darah
Struktur : 5
subunit identik
terikat oleh ikatan
non-kovalen
(pentamer)
Golongan alpha-
globulin
CRP cont’

Dihasilkan oleh sel hati (hepatosit)


Keadaan normal : 0,1 mg/dL pada bayi
baru lahir sampai 0,5 mg/dL pada orang
dewasa.
Pada proses inflamasi kadar meningkat
dengan cepat dalam waktu 4-6 jam  10
x lipat
Puncak kadar 24-72 jam, dan menurun
bila peradangan membaik.  PETANDA
INFLAMSI AKUT.
PETANDA INFLAMASI
FIBRINOGEN
AAT (alpha-1
antitripsin)
Haptoglobin
Seruloplasmin
CRP (C- reaktif
protein)
CRP cont’
Ditemukan oleh Tillett & Francis (1930) 
dalam serum penderita dengan infeksi
Pneumokokus.

Protein ini bereaksi terhadap bagian


polisakarida-C dinding pneumokokus
sehingga disebut protein C-reaktif.

Diketahui CRP juga meningkat pada


infeksi bakteri selain pneumokokus, virus
dan kerusakan jaringan tanpa infeksi
seperti infark jantung.
CRP cont’

Manfaat :
– Peningkatan kadar CRP membantu
deteksi dini pada keadaan inflamasi
yang secara klinis belum jelas.
– ≈ LED tetapi lebih spesifik dan lebih
sensitif
– Kadar meningkat pada keadaan :
infeksi bakterial, virus, tbc, demam
rematik, pasca trauma seperti operasi
Serangan jantung dan infark miokard
CRP cont’
CRP merupakan protein fase akut yang
memiliki sifat menyerupai zat anti karena
mampu menyelubungi benda asing 
opsonisasi.

Benda asing yang sudah diopsonisasi akan


mudah difagosit oleh makrofag.

CRP mengaktifkan reaksi komplemen jalur


klasik  dianggap sebagi zat anti non
spesifik awal  sebagai mekanisme
pertahanan awal sebelum antibodi yang
lebih spesifik dibentuk oleh pertahanan
tubuh.
Konsentrasi CRP dapat meningkat
sampai 1000 x pada respon fase
akut.
Peningkatan konsentrasi CRP yang
rendah, biasanya melebihi 1 mg/L,
dikaitkan dengan risiko
perkembangan kondisi PKV.
Penyakit yang disertai dengan peningkatan
kadar CRP
Hampir selalu ada
– Demam rematik, arthritis
rheumatoid,infeksi bakterial akut,
hepatitis virus
Sering ada
– TBC aktif, gout, tumor ganas stadium
lanjut, luka bakar yang luas
Kadang ada
– Cacar air, pasca bedah, kontrasepsi
intrauterin
CRP sebagai petanda kerusakan
jaringan jantung

PJK  akibat aterosklerosis 


merupakan proses inflamasi kronik

Kadar yang meningkat merupakan


faktor resiko bermakna untuk infark
miokard dan strok iskemik.
Hasil penelitian :
Laki-laki dewasa sehat dengan kadar
CRP . 3 mg/L memiliki risiko 3 x lebih
besar terserang serangan jantung dalam
waktu 8-10 tahun ke depan tanpa
bergantung pada kadar kolesterol.
– Kadar > 3 mg/dL  risiko tinggi terjadi PJK
– Kadar 1-3 mg/dL  risiko sedang
– Kadar < 1 mg/dL  risiko rendah
– Kadar > 10 mg/dL  bukan PJK tapi inflamasi
akut
– Kadar < 10 mg/dL  inflamasi kronik non PJK.

Wanita menopause  risiko 6 x lipat


Pemeriksaan hs-CRP untuk deteksi
PJK

hs –CRP ( high sensitivity C Reactive


Protein )  ditujukan khusus untuk
darah dengan kadar CRP < 10 mg/L
Pemeriksaan Lab . CRP

Aglutinasi lateks ( cara cepat)


ELISA
Imunoturbidimetri
Immunodifusi
Prinsip aglutinasi lateks

Partikel lateks dilapisi antibodi


terhadap CRP. Serum yang
mengandung CRP akan berikatan
dengan partikel lateks yang dilapisi
antibodi CRP sehingga terjadi ikatan
antigen CRP- antibodi CRP. Ikatan ini
menghasilkan aglutinasi partikel
lateks yang terlihat secara visual.
Cara pengumpulan bahan pemeriksaan

Darah diambil dari punksi vena dan


dibiarkan membeku  serum dipisahkan.
Serum hemolisis, tidak segar , lipemik
tidak dapat digunakan
Serum yang sudah dipisahkan dapat
disimpan dalam suhu 40C sampai 24 jam
Bila ingin disimpan lebih lama 
dibekukan pada -200C.
Cara pemeriksaan
1. Baca prosedur masing-masing pabrik dengan
baik.
2. Pemeriksaan lateks aglutinasi  dilakukan
secara kualitatif (negatif, positif) ,
semikuantitatif ( negatif, positif 1,2,3,4) atau
kuantitatif dengan rentang nilai tertentu
3. Serum dan reagen dari lemari es harus
dibiarkan mencapai suhu kamar terlebih dahulu
sebelum dikerjakan.
4. Kontrol positif dan kontrol negatif sebaiknya
selalu disertakan pada setiap pemeriksaan.
5. Gunakan pipet tetes yang tersedia dalam
kemasan pabrik atau gunakan pipet
semiotomatik sesuai dengan volume tetesan
yang ditentukan yaitu 50 uL
6. Ratakan serum dengan reagen
menggunakan batang pengaduk yang
tersedia sampai homogen.
7. Goyang merata dan perlahan campuran
tersebut selama 2 menit, segera baca
hasil dengan cahaya yang cukup.
8. Pembacaan akan lebih mudah bila dibaca
di bawah mikroskop.
9. Hasil dinyatakan positif bila terlihat butir-
butir kasar aglutinasi partikel lateks dan
negatif bila campuran tetap homogen.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada
prosedur cara cepat
Reagen, kontrol, serum harus dalam
kondisi suhu ruang, dan masing-
masing dicampur dulu sebelum
melakukan pemeriksaan
Kaca objek yang digunakan harus
bersih
Reagen CRP tidak boleh disimpan
beku dan buffer tidak dapat
digunakan bila keruh.
Hasil negatif dapat terjadi bila kadar CRP
sangat tinggi ( efek prozon) sehingga
perlu konfirmasi dengan pengenceran 5-
10 x.
Positif palsu dapat terjadi bila serum keruh
(lipemik), hemolisis atau terkontaminasi
bakteri (tidak segar), pembacaan waktu
lewat 2 menit , serum mengandung faktor
rheumatoid.
CRP meningkat pada
Demam rematik, arthritis rheumatoid,
vaskulitis, kolitis ulseratif
Proses inflamasi akut (40-200 mg/L),
inflamasi ringan (10-40 mg/L), inflamasi
kronik (<10 mg/L)
PANKREATITIS AKUT ( > 150 mg/L)
Keganasan payudara, paru,saluran cerna (
> 10 mg/L)
Infeksi bakterial akut (30-35 mg/L0,
infeksi virus (<20 mg/L)
Leukimia akut.
FR (Faktor Rheumatoid)
Foreign Ag

Protective No response
Immune response

Survival Fatal
Self Ag

Immune response No response

Auto-reactive
lymphocytes

Autoimmune Survival
diseases
Penyebab imun sistem menyerang
diri sendiri:
Perubahan dari self-antigen, sehingga
dianggap sebagai non-self, dikaitkan
dengan:
– Infeksi Viral atau bakteri
– Radiasi
– Pengobatan
Perubahan dari sistem imun:
– Mutasi pada produksi sel B dan Sel T
– Masalah kontrol perkembangan dan
diferensiasi dari limfosit
Autoimunitas vs Penyakit autoimun
Autoimunitas :
respons imun terhadap antigen
jaringan sendiri yang disebabkan oleh
mekanisme normal yang gagal dalam
berperan untuk mempertahankan self-
tolerance sel B, sel T atau keduanya

Penyakit autoimun :
kerusakan jaringan atau gangguan
fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh
respons autoimun
Kerusakan terjadi bisa pada jaringan
spesifik atau jaringan yang luas
(penyakit autoimun sistemika) ,
tergantung dari self-antigen yang
diserang.
ORGAN-SPECIFIC AND NON ORGAN-
SPECIFIC (SYSTEMIC) AUTOIMMUNE
DISEASES
Organ-specific Non organ-specific
Hashimoto thyroiditis Systemic lupus (SLE)
Thyrotoxicosis Rheumatoid arthritis
(RA)
Addison’s disease
Scleroderma
Atrophic gastritis Dermatomyositis
Juvenile diabetes Mixed connective
mellitus tissue disease (MCTD)
Multiple sclerosis Sjögren’s syndrome
RF complexs
RF : Imunoglobulin
yang bereaksi dengan
molekul IgG

RF termasuk
autoantibodi

RF dapat berupa
IgM,IgG dan IgA
Gambaran RA
Efek dari autoimunitas
o Kerusakan jaringan: sel T Sitotoksik merusak
insulin-producing b-cells di pancreas
o Antibodi memblok fungsi normal : Myasthenia
gravis: Ab berikatan pada reseptor acetylcholine
o Antibodi menstimulasi fungsi yang tidak
seharusnya: Graves’ disease: Ab berikatan pada
TSH receptor, hormon thyroid- terstimulasi,Aktivasi dari
produksi hormon thyroid yang tidak semestinya
o Terjadi Antigen-antibody complexes,
Rheumatoid arthritis: IgM-IgG complexes
dideposit pada inflamasi
Faktor lingkungan yang berperan
pada autoimunitas

Mikroba
Hormon
Radiasi UV
Oksigen Radikal Bebas
Obat
Logam
ASO (Anti Streptolisin O)
Streptococci - Hemolytic
Classification
Alpha
– Green zone around colonies
– Partial destruction of RBC’s
Beta
– Clear zone around colonies
– Complete destruction of RBC’s
Gamma
– No clearing (remains red)
– Nonhemolytic
– no effect on RBC’s
Imunopatogenesis infeksi bakteri

- Antibodi terhadap antigen bakteri yang


memiliki
determinan antigen yang sama dengan protein-
protein manusia dapat menimbulkan kerusakan
jaringan:
Contoh :
Antibodi yang diproduksi pada post-
streptococcal glomerulonephritis dan rheumatic
fever)
Human Streptococcal Pathogens
S. pyogenes
S. agalactiae
Viridans streptococci
S. pneumoniae
Enterococcus faecalis
Patogenesis Streptococcus
pyogenes
(Adapted from Lydyard PM et al. Instant Notes in Immunology 2000)
Antibodi terhadap antigen bakteri
yang memiliki determinan antigen
yang sama dengan protein-protein
manusia sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan
Streptococcal Complications
Rheumatic Fever
• Allergic inflammation reaction to S. pyogenes
• Sign & symptoms
Fever, Inflammation, Joint pain
Rheumatic Heart Disease
• M protein similar is to a protein in heart tissue
• Antibodies to M protein attack & damage heart
tissue
Glomerulonephritis
inflammation of kidney tissue
Related to Strep M protein
Type III reaction – immune complex-
mediated hypersensitivity

The reaction of antibody with antigen


generates immune complexes. In
some cases, large amounts of
immune complexes can lead to tissue
damage
They deposited in various
tissues

induce complement activation and
ensuing inflammatory response

Antigens can be:


Exogenous – bacteria, viral, parasitical
Ag
Rheumatoid Arthritis
Results from a type III hypersensitivity reaction
B cells in the joints produce autoantibodies against
collagen that covers joint surfaces
The resulting immune complexes and complement bind
mast cells
– Inflammatory chemicals released
Inflammation causes damage to the tissues which in turn
cause damage to joints
– Inflammation erodes the joint cartilage and neighboring bony
structure
Acute glomerulonephritis
(poststreptococcal GN)
 Is commonly caused by infection by
certain strains of group A beta-
hemolytic Streptococci (pharyngitis,
pyoderma)

Ab against streptococci react with
vimentin  imunokomplexes

 nephritis develop after a latent period


of about 2-3 weeks

 Clinical syndrome: nephritic syndrom

Acute diffuse proliferative GN


Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai