Anda di halaman 1dari 47

PELATIHAN SURVEILANS PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH

DENGAN IMUNISASI (PD3I) BAGI PETUGAS SURVEILANS DI


PUSKESMAS

MPI 1: PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI


TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu memahami penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I) sesuai pedoman yang ada

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta dapat:
1. Menjelaskan jenis-jenis PD3I
2. Menjelaskan gambaran klinis PD3I
3. Menjelaskan surveilans AFP dan PD3I lainnya yang memiliki komitmen global
MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK

Materi pokok dan sub materi pokok pada mata pelatihan ini adalah:
A. Jenis-jenis Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
B. Gambaran Klinis Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
C. Surveilans AFP dan Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi Lainnya Yang Memiliki
Komitmen Global
MATERI 1

JENIS-JENIS PENYAKIT YANG DAPAT


DICEGAH DENGAN IMUNISASI (PD3I)

03/31/2023 dr. Cornelia K. 4


PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI (PD3I) MASIH
MENGANCAM DUNIA

 Imunisasi mencegah 2-3 juta kematian setiap tahun


akibat penyakit seperti difteri, tetanus, pertusis,
influenza, dan campak (WHO, 2021)
 Terdapat berbagai vaksin untuk mencegah >20 penyakit
yang mengancam jiwa, membantu orang-orang dari
segala usia hidup lebih lama, hidup lebih sehat

 PD3I masih mengancam dan diperlukan cakupan


imunisasi yang tinggi dan merata supaya:
1. Mencegah individu dari penyakit yang berbahaya
2. Mencegah penularan di masyarakat

5
Terdapat bermacam PD3I pada program imunisasi nasional:
• Difteri
• Pertusis
• Tetanus
• Tuberkulosis
• Campak
• Rubella
• Poliomielitis
• Hepatitis B
• Meningitis
• Pneumonia
• Japanese Encephalitis
• Human Papiloma Virus

• Dan PD3I lain yang tidak termasuk dalam program imunisasi nasional seperti Tifoid, Influenza,
Rotavirus, Mumps, Varicela, Hepatitis A, Rabies
• Vaksin baru: Malaria, dengue, HIV
Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) di
Indonesia saat ini..
PD3I pada program
SURVEILANS PD3I:
• Poliomielitis
Tuberculosis
• Campak-Rubela
Hepatitis B Diphteria

• Congenital Rubela Pertusis


Syndrome
Pneumonia Polio • Difteri
Measles Rubella

• Pertusis
• Tetanus
Neonatorum
Tetanus Diare Rotavirus Japanese Ensefalitis Cervical Cancer

Imunisasi Rutin Lengkap, Indonesia Sehat


MATERI 2

GAMBARAN KLINIS PD3I

03/31/2023 dr. Cornelia K. 8


POLIOMYELITIS

 Menginfeksi semua umur, terutama


pada anak-anak

 Penularan: melalui makanan atau


minuman (orofecal)

 GEJALA AWAL seperti flu (demam,


lemas)

 Pada 1% kasus dapat menyebabkan


KELUMPUHAN PERMANEN (MENETAP)
Penyebab :
 Virus polio:
o virus polio liar (wild polio virus/WPV)
o Virus polio dari vaksin pada anak yang immunocompromised
(vaccine associated polio paralysis/VAPP)
o virus polio dari vaksin yang bermutasi mendapatkan
keganasannya kembali (vaccine-derived polio virus/VDPV)
o Tahan sabun, alcohol. Mati dengan formaldehyde, UV
 Menginfeksi semua umur, terutama pada anak-anak
 1 dari 200 infeksi Polio  kelumpuhan permanen (irreversible) 
jika virus polio menyerang sel saraf sumsum tulang belakang yg
mengontrol pergerakan otot
Cara penularan :
 Masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman (orofecal)

Gejala:
Cacat  Kebanyakan tidak menunjukkan gejala  dapat tetap menularkan virus polio kepada
Menetap orang lain.
 Sekitar 25% dari mereka akan menunjukkan gejala penyakit ringan (demam, nyeri
kepala, nyeri tenggorokan)
 Kelumpuhan terjadi pada 1% dari mereka yang terinfeksi.
 Kematian terjadi sekitar 5-10% dari mereka yang lumpuh.

Masa inkubasi:
5 – 35 hari

Pengobatan :
Rojudin, Campang
Way Handak, lumpuh
 Tidak ada pengobatan spesifik untuk polio.
 Pengobatan yang dilakukan hanya bersifat suportif.
tgl 28-05-05
Foto 03-07-’05

 Kesulitan bernafas (dibantu ventilator).


 Pengobatan ortopedik bagi yang memerlukan (pakai korset) untuk mengurangi
dampak kecacatan dalam jangka panjang.
Komplikasi berat :
Kelumpuhan dan cacat seumur hidup
Pencegahan:
 Polio dapat dicegah secara efektif dengan imunisasi menggunakan oral poliovirus vaccine (OPV) dan
inactivated polio vaccine (IPV).
 WHO menganjurkan semua negara menggunakan OPV dalam program imunisasi rutin dan minimal satu
dosis IPV, (sedang direncanakan untuk pemberian dosis ke-2 IPV bersamaan dengan MR).

UNTUK MENDUKUNG UPAYA ERADIKASI POLIO:


SETIAP DITEMUKAN KASUS AFP YAITU SETIAP ANAK YANG BERUSIA KURANG DARI 15 TAHUN YANG
MENGALAMI KELUMPUHAN MENDADAK DAN BERSIFAT LAYUH, SERTA BUKAN DISEBABKAN OLEH RUDAPAKSA
HARUS DILAPORKAN DAN DIAMBIL SPESIMEN SERUMNYA UNTUK DIPERIKSA LABORATORIUM
CAMPAK
Penyebab: virus campak
Penularan: melalui droplet (percikan ludah saat batuk, bersin, bicara) atau
melalui cairan hidung
Sangat menular pada 4 hari sebelum dan 4 hari sesudah munculnya bintik-
bintik (ruam) kemerahan
Gejala:
o Gejala awal: Demam, batuk, pilek, radang mata (konjungtivitis)
o Bintik-bintik kemerahan (ruam maculopapular) muncul 2-4 hari setelah gejala awal.
Komplikasi : diare, pneumonia (radang paru), ensefalitis (radang otak),
kebutaan.
Berat-ringannya tergantung usia (usia muda), status gizi (malnutrisi) dan
gangguan kekebalan tubuh  KEMATIAN
Cara penularan :
 Droplet yang keluar dari hidung, mulut atau tenggorokan orang yang terinfeksi virus
campak pada saat bicara, batuk, bersin atau melalui sekresi hidung.
 Masa penularan: empat (4) hari sebelum timbul rash sampai dengan empat (4) hari setelah
timbul rash.
 Puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama
sakit.

Masa inkubasi:
7 – 18 hari, rata-rata 10 hari
Gejala :
 Panas badan (biasanya > 38o C selama 3 hari atau lebih) + salah
satu atau lebih gejala batuk, pilek, mata merah atau mata berair;
 Bercak kemerahan/rash/ruam yang dimulai dari belakang telinga
berbentuk makulopapular selama 3 hari atau lebih, beberapa hari
kemudian (4-7 hari) akan menyebar ke seluruh tubuh;
 Tanda khas (patognomonis) ditemukan Koplik’s spot atau bercak
putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam (mucosa
bucal);
 Bercak kemerahan makulopapular setelah 7 – 30 hari akan
berubah menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) dan disertai kulit
bersisik.
 Sebagian besar penderita campak akan sembuh tanpa pengobatan
Komplikasi:
 Sering terjadi pada anak usia < 5 tahun
 Komplikasi yang sering terjadi yaitu: diare, ulkus mukosa mulut, malnutrisi,
otitis media, kebutaan, bronchopneumonia, pneumonia, encephalitis,
subacute sclerosing panencephalitis (SSPE).
 Kasus campak pada penderita malnutrisi/defisiensi vitamin A/immune
defisiency (HIV)  komplikasi campak yang lebih berat atau fatal.

UNTUK MENDUKUNG UPAYA ELIMINASI CAMPAK-RUBELA/CRS:


SETIAP DITEMUKAN KASUS SUSPEK CAMPAK YAITU SETIAP ORANG
DARI BERBAGAI USIA YANG MENGALAMI DEMAM DAN RUAM
MACULOPAPULAR HARUS DILAPORKAN DAN DIAMBIL SPESIMEN
SERUMNYA UNTUK DIPERIKSA LABORATORIUM
Tata Laksana Campak

ANTIVIRAL :
VITAMIN A DOSIS TINGGI :
tidak perlu
100.000 U, per oral (usia 6 bln-1
TERAPI SUPORTIF: ANTIBIOTIK : thn)
istirahat, bila ada infeksi sekunder 200.000 U, per oral (usia >1thn),
antipiretik, bakteri diulangi pada hari ke-2 dan jika
gizi buruk / komplikasi mata
nutrisi dan hidrasi, diulang 2 minggu kmd
simptomatik
RUBELLA
 Penyebab: virus rubela  dapat menembus plasenta dan
menginfeksi janin.
 Penularan: melalui droplet (percikan ludah saat batuk,
bersin, bicara) atau melalui cairan hidung
 Sangat menular pada 7 hari sebelum dan 7 hari sesudah
munculnya bintik-bintik (ruam) kemerahan
 Gejala: demam ringan, bercak merah/ruam
makulopapular, disertai dengan pembesaran kelenjar
getah bening pada belakang telinga / leher belakang.
 Risiko tinggi jika menginfeksi ibu hamil trimester 1 :
abortus, lahir mati atau cacat berat bawaan (Congenital Ruam
Rubella Syndrome/CRS  gangguan jantung, kebutaan,
gangguan pendengaran)
 Masa inkubasi : 14 – 21 hari
Manifestasi Klinis
Gejala prodromal bervariasi sesuai umur,
Pada anak : ruam, coryza ringan, diare sebelum timbul ruam.

Ruam eritematous, makulopapula, dan diskretapertama muka


kemudian lengan, badan, dan tungkai.
Progresif, luas, dan lama timbulnya ruam bervariasi.

Limfadenopati: pembesaran kelenjar suboksipital, aurikular posterior, dan servikal.,


1-7 hari sebelum timbul ruam dan menetap selama satu minggu atau lebih

Panas badan bervariasi dan biasanya peninggian temperatur minimal, timbul


bersamaan dengan timbulnya ruam dan akan kembali normal sesudah ruam hilang.

Arthralgia dan arthritis transien umum terjadi pada anak perempuan yang sudah
cukup besar.
CONGENITAL RUBELLA SYNDROME (CRS)

 Congenital Rubella Syndrome (CRS)  Bentuk kelainan pada CRS:


adalah suatu kumpulan gejala yang  Kelainan jantung: Patent Ductus Arteriosus
merupakan akibat infeksi virus (PDA), Defek Septum Atrial/Atrial Septal Defect
(ASD), Defek Septum Ventrikel/Ventricular
rubela selama kehamilan. Septal Defect (VSD), Stenosis Katup
 Bila infeksi rubela terjadi pada Pulmonal/Pulmonary Stenosis (PS);
masa awal kehamilan akan  Kelainan pada mata: Katarak Kongenital,
Glaukoma Kongenital, Pigmentary Retinopathy;
menyebabkan abortus atau lahir
 Kelainan pendengaran: Tuli Sensouri Neural/
mati Sensouri Neural Hearing Loss (SNHL);
 Apabila bayi tetap hidup akan  Kelainan pada sistim saraf pusat: retardasi
terjadi cacat berat (birth defect). mental, mikrocephalia dan meningoensefalitis;
 Kelainan lain: purpura, splenomegali, ikterik yang
 Risiko infeksi dan cacat congenital muncul dalam 24 jam setelah lahir, radioluscent
paling besar terjadi selama bone, serta gangguan pertumbuhan.
trimester pertama kehamilan
Pencegahan rubela dan CRS:
 Imunisasi Campak-Rubela

UNTUK MENDUKUNG UPAYA ELIMINASI CAMPAK-RUBELA/CRS:


 SETIAP DITEMUKAN KASUS SUSPEK CAMPAK YAITU SETIAP
ORANG DARI BERBAGAI USIA YANG MENGALAMI DEMAM
DAN RUAM MACULOPAPULAR HARUS DILAPORKAN DAN
DIAMBIL SPESIMEN SERUMNYA UNTUK DIPERIKSA
LABORATORIUM

 SURVEILANS CRS DI RS SENTINEL


21
 Penyebab : Bakteri difteri yang menghasilkan toksin difteri
DIFTERI  Penularan: melalui droplet (percikan ludah) sewaktu batuk, bersin,
muntah, atau melalui alat makan
 Gejala:
o Demam atau tanpa demam
o Munculnya pseudomembran putih keabuan, sulit lepas dan mudah
berdarah jika dilepas/ dimanipulasi
o Sakit waktu menelan  94% kasus Difteri mengenai tonsil dan
faring
o Leher membengkak (bullneck)
o Sesak nafas disertai bunyi
 Komplikasi: tersumbatnya saluran pernafasan, peradangan dan
kelumpuhan otot jantung  KEMATIAN
 Penyebab : Bakteri Corynebacterium Diphtheriae yang menghasilkan
toksin difteri
 Cara Penularan: melalui udara (batuk / bersin)
Penyebab : Bakteri Corynebacterium Diphtheriae yang menghasilkan toksin difteri
Cara Penularan: melalui udara (batuk / bersin)
GEJALA KLINIS DIFTERI

Demam Munculnya Sakit waktu Leher Sesak


atau pseudomembran menelan membengkak nafas
tanpa putih keabuan,  94% disertai
demam sulit lepas dan kasus Difteri bunyi
mudah berdarah mengenai
jika dilepas/ tonsil dan
KOMPLIKASI DIFTERI dimanipulasi faring
 lainnya
difteri kulit
CARA PENULARAN DIFTERI
melalui droplet (percikan ludah) sewaktu batuk, bersin, muntah,
melalui alat makan, atau
kontak langsung dari lesi di kulit.

SIAPA YANG BISA TERTULAR DIFTERI?


Semua kelompok usia dapat tertular penyakit ini, terutama
yang belum mendapatkan imunisasi lengkap
Difteri pada dewasa sulit terdeteksi
MASA INKUBASI DIFTERI
 antara 1 – 10 hari, rata-rata 2 – 5 hari
KEMATIAN
 Kasus dapat menularkan penyakit ke orang lain 2- 4 minggu
sejak masa inkubasi
 Seseorang dapat menjadi Carrier tanpa gejala selama 6 bulan
Bila tidak diobati dengan tepat angka kematian
5 – 10 % pada anak usia <5 tahun dan
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DIFTERI
pada dewasa (diatas 40 tahun) mencapai 20 %
 Suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan 1 (satu) kasus Kematian akibat kelumpuhan otot jantung atau
difteri konfirmasi sumbatan jalan nafas.
 dilaporkan dalam 24 jam ke Kementerian Kesehatan
 (PHEOC – Public Health Emergency Operation Centre).
Patogenesis Difteria

Percikan
ludah
Kolonisasi
Terhirup di tenggorokan
dan memproduksi toksin

Nekrosis setempat Terbentuk pseudo


dan terkumpul membran
jaringan mati

Miokarditis,
Toksin diserap dan masuk
neuritis
ke peredaran darah menyebar
ke otot jantung, ginjal,
syaraf perifer
Mortimer E.A.and Wharton M., in Vaccines, 1999.
Atkinson W. et al., in Epidemiology and Prevention of Vaccine-preventable Diseases, 1996d.
APAKAH DIFTERI DAPAT DISEMBUHKAN?

Difteri dapat disembuhkan apabila orang yang


terjangkit tidak terlambat dalam mendapatkan
pertolongan
CARA PENCEGAHAN PENULARAN DIFTERI

 Pencegahan: Imunisasi Difteria Toxoid (DPT-HB-Hib, DT, Td)


Apabila dalam suatu wilayah ditemukan satu kasus difteri maka
dilakukan ORI (Outbreak Response Immunization) pada wilayah dan
kelompok usia yang tepat dengan cakupan yang tinggi dan merata .
Setelah imunisasi dasar, vaksin difteri harus diulang setiap 10 tahun
 Penggunaan masker dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)
 Pemberian antibiotika pada kontak erat kasus (carrier) Erythromysin
4 x sehari selama 7 hari
 Tatalaksana kasus dengan pemberian Anti Difteri Serum (ADS) dan
antibiotika
PERTUSIS
 Penyebab : Bakteri pertusis
 Penularan: melalui droplet (percikan ludah) sewaktu batuk, bersin,
muntah
 Sangat menular; Kasus yang tidak diobati dapat menularkan penyakit
sampai dengan tiga minggu setelah batuk yang khas timbul
 Gejala:
o sepuluh hari setelah seseorang terinfeksi  gejala ILI
(influenzae like illness)
o batuk terus menerus (> 2 minggu), tanpa jeda & diakhiri dg
napas dalam, serta muntah selama /setelah batuk (whooping
cough)
o kadang hingga muka kebiruan dan pendarahan di mata
 Komplikasi: Radang paru, henti napas  KEMATIAN
PERTUSIS/BATUK REJAN/BATUK 100 HARI
Cara penularan :
 percikan ludah (droplet infection) yang keluar dari
batuk atau bersin

 sangat menular, terutama menyerang anak-anak yang


belum di imunisasi

 penderita yang tidak diobati dapat menularkan


penyakit sampai dengan tiga minggu setelah batuk
yang khas timbul pada penderita.
PERTUSIS/BATUK REJAN/BATUK 100 HARI (2)
Gejala :
 sepuluh hari setelah seseorang terinfeksi  gejala ILI (influenzae like illness)
 batuk terus menerus (> 2 minggu), tanpa jeda & diakhiri dg napas dalam, serta muntah selama
/setelah batuk (whooping cough)
 kadang hingga muka kebiruan dan pendarahan di mata

Komplikasi berat :
Radang paru, henti napas, kematian mendadak

Pengobatan:
Antibiotika

Pencegahan:
 Imunisasi lengkap sesuai usia: DPT-HB-Hib
 Penggunaan masker dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)
 Pemberian antibiotika pada kontak erat kasus
TETANUS NEONATORUM
 Penyebab : bakteri tetanus yang menghasilkan neurotoksin (tetanospasmin) 
neurotoksin menyebabkan rasa sakit yang berat dan kejang pada otot  dapat
menyebabkan kematian
 Gejala :
 Pada anak dan orang dewasa  gejala rahang terkunci (trismus atau lock jaw)
umum terjadi  diikuti oleh kaku pada otot leher, otot perut atau otot punggung
(opisthotonus), sulit menelan, kejang otot, berkeringat dan panas badan.
 Pada bayi (tetanus neonatorum) terdapat juga gejala berhenti menetek antara 3
sampai dengan 28 hari setelah lahir  Gejala berikutnya adalah kejang yang
hebat dan tubuh menjadi kaku.
 Komplikasi:
o Otot pernafasan terkena  kesulitan bernafas  KEMATIAN
o Pneumonia
o Tulang belakang dan tulang lainnya terpengaruh posturnya  akibat otot
spasmus & kejang
o Kelainan saraf pada orang-orang yg bertahan hidup dari tetanus neonatorum
Cara penularan :
 tidak menyebar langsung dari orang ke orang
 masuk ke luka yang tak bersih, kuku yang kotor, luka
dalam akibat gigitan binatang, pemotongan tali pusat bayi
yang tidak steril, pisau, peralatan persalinan yang tidak
steril pada saat bayi lahir

Masa inkubasi :
sekitar 21 hari dan dapat juga sampai beberapa bulan
tergantung keadaan lukanya.
Pengobatan:
 pemberian anti tetanus serum, antibiotik, perawatan luka dan
pengobatan suportif

Pencegahan:
 Imunisasi Tetaus Toxoid ( DPT-HB-Hib, DT, Td)
 Persalinan yang bersih dan steril tetap harus dilakukan walaupun ibu
hamil tersebut sudah mendapatkan imunisasi Td.
 Pemotongan tali pusat secara steril
 Orang yang sembuh dari tetanus tetap harus diberi imunisasi tidak
punya kekebalan dan dapat terinfeksi kembali
TUBERKULOSIS
• Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang
biasanya menyerang paru-paru. Namun bisa juga menyerang bagian tubuh yang
lain seperti tulang, sendi, dan otak.
• Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang melalui udara, pada saat penderita
batuk atau bersin. Tuberkulosis menular sangat cepat terutama pada orang-
orang yang hidup di daerah padat dan kumuh, akses terhadap pelayanan
kesehatan kurang, serta masyarakat yang kurang gizi.
• Waktu antara infeksi sampai timbul gejala klinis sekitar 4-12 minggu, dapat juga
infeksi berlangsung beberapa bulan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya
gejala klinis.
• Gejala klinis seorang penderita tuberkulosis antara lain badan lemah, berat
badan turun, demam dan keringat pada waktu malam.
• Pencegahan yang paling efektif adalah dengan dilakukan pemberian imunisasi
BCG (Bacillus – Calmette – Guerin) pada bayi usia 1 bulan, dapat mencegah
terjadinya meningitis tuberkulosis dan tuberkulosis berat pada anak balita.
HEPATITIS B
Penyakit hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B yang menyerang hati.
Orang dewasa yang terinfeksi virus hepatitis B (HB) 90% akan sembuh
sempurna namun apabila virus hepatitis B menginfeksi bayi saat lahir atau
sebelum usia satu tahun maka 90% akan menjadi kronis.
Virus hepatitis B disebarkan melalui kontak langsung dengan darah atau
cairan tubuh yang mengandung hepatitis B dalam berbagai situasi seperti:
a. tertular dari ibunya saat proses melahirkan bayi;
b. penularan dari anak ke anak melalui luka kecil, karena teriris barang
tajam, gigitan, garukan;
c. penularan melalui hubungan seksual;
d. melalui suntikan dengan jarum terkontaminasi atau transfusi darah
yang berasal karier hepatitis B. Secara umum HepB, 50- 100 kali lebih
infeksius dibandingkan HIV.
HAEMOPHILUS INFLUENZAE TIPE B
• Haemophilus influenza adalah bakteri yang ditemukan di hidung dan tenggorokan anak. Hib
merupakan penyebab pneumonia akut, meningitis dan penyakit invasif lainnya, terutama
pada anak usia di bawah lima tahun.
• Hib ditularkan dari orang ke orang melalui percikan ludah yang dilepaskan pada saat batuk
atau bersin.
• Penyakit serius yang paling sering terjadi disebabkan oleh Hib adalah pneumonia dan
meningitis, meskipun Hib bukanlah satu- satunya penyebab.
• Gejala pneumonia seperti demam, menggigil, batuk, nafas cepat dan dada tertarik ke dalam
• Gejala meningitis seperti demam, nyeri kepala, sensitif terhadap cahaya, kaku kuduk,
delirium dan kesadaran menurun.
PNEUMOKOKUS
• Penyebab : bakteri Streptococcus pneumoniae
• Pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada anak. Pneumokokus juga
menyebabkan meningitis (infeksi selaput otak dan sumsum tulang belakang), bakteriemia
(infeksi aliran darah), otitis media, sinusitis dan konjungtivitis terutama pada baduta dan
lansia.
• Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terinfeksi pneumokokus antara lain umur
(balita dan lansia lebih rentan), tidak mendapatkan imunisasi lengkap, tidak mendapatkan
ASI eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (misalnya asap rokok), berat badan
lahir rendah (BBLR), kepadatan penghuni rumah serta kurang ventilasi dalam rumah.
• Pneumokokus disebarkan dari orang ke orang melalui percikan ludah pada saat batuk,
bersin, atau kontak erat.
JAPANESE ENCEPHALITIS
• Japanese Encephalitis (JE) adalah infeksi pada jaringan otak yang disebabkan oleh virus.
• Virus JE disebarkan melalui gigitan nyamuk. Biasanya virus JE menginfeksi burung dan
binatang peliharaan lainnya terutama burung dan babi yang bertindak sebagai reservoir.
Seseorang akan tertular apabila nyamuk telah menggigit binatang yang terinfeksi kemudian
menggigit orang tersebut.
• Infeksi JE pada umumnya bergejala ringan bahkan tanpa gejala sama sekali. Secara umum
hanya satu orang dari 250 orang yang terinfeksi JE akan menunjukkan gejala, pada 4-14
hari setelah terinfeksi.
• Gejalanya seperti influenza, demam, menggigil, nyeri kepala, mual dan muntah.
• Pada anak  nyeri perut terjadi pada saat awal infeksi. Tanda berupa bingung dan koma
timbul 3-4 hari kemudian. Penderita pada anak sering disertai kejang.
HUMAN PAPILLOMA VIRUS
• Human Papilloma Virus (HPV) adalah virus yang ditularkan melalui hubungan seksual dan
dapat menyebabkan condyloma dan kanker.
• HPV dapat menyebabkan kanker pada anus, alat kelamin bagian luar, kanker mulut pada laki-
laki dan perempuan. Sedangkan pada perempuan 99% kanker serviks disebabkan oleh HPV.
• Kanker serviks adalah penyebab utama kematian pada perempuan dewasa di negara
berkembang. Merupakan jenis kanker nomor dua pada umumnya pada perempuan di seluruh
dunia. Hampir 85% kematian karena kanker serviks terjadi di negara berkembang.
• HPV menyebar dengan sangat mudah melalui kontak kulit. Hampir semua orang yang aktif
secara seksual telah pernah terinfeksi, pada umumnya sudah terjadi saat awal kehidupan
seksual mereka.
MATERI 3

SURVEILANS AFP DAN PD3I LAINNYA YANG


MEMILIKI KOMITMEN GLOBAL

03/31/2023 dr. Cornelia K. 40


TARGET GLOBAL

1 2 3 4 5

Eliminasi Eliminasi
Eradikasi Pengendalian Pengendalian
Campak- Tetanus
Polio Difteri Pertusis
Rubela / CRS Neonatorum

• 2014 SEARO • 2023 Indonesia • 2015 Tetanus Target Nasional Target Nasional
bebas polio eliminasi Campak Neonatorum Indonesia Indonesia
(Indonesia) dan Rubela / CRS eliminasi di seluruh
region
• 2026 Eradikasi • 2023 SEARO
Polio eliminasi Campak • Indonesia
dan Rubela / CRS mempertahankan
status Eliminasi
TN

41
SURVEILANS DAN INDIKATOR PENCEGAHAN PD3I
Polio dan Campak-Rubela

Target Surveilans Indikator Surveilans


Eradikasi Polio

- Tidak ada lagi kasus polio - Non Polio AFP rate ≥ 2 per 100.000 penduduk usia <15
- Tidak ada transmisi virus Surveilans AFP adekuat setiap tahun
polio liar tahun - Persentase Spesimen Adekuat minimal 80%
- Tidak ada transmisi VDPV
Eliminasi Campak Rubela /

- Penemuan kasus Demam-Ruam yang dibuktikan secara


Surveilans Campak-Rubela/CRS lab bukan karena campak-rubela (Discarded rate) ≥ 2 per
Tidak ada transmisi virus 100.000 penduduk
adekuat setidaknya 3 tahun
CRS

campak & rubela


berturut-turut dan dipertahankan - Reporting rate suspek CRS ≥1/10.000 KLH

Catatan:
VDPV = virus polio vaksin yang bermutasi
AFP = Acute Flaccid Paralysis
Non Polio AFP rate = Proporsi penemuan kasus AFP yang dibuktikan bukan karena polio 42
KEBIJAKAN SURVEILANS AFP DAN SURVEILANS CAMPAK-RUBELA/CRS
AFP CAMPAK-RUBELA/CRS

Setiap suspek campak dilakukan penyelidikan


Penemuan kasus lumpuh layuh akut (AFP) di semua epidemiologi dalam 1 x 24 jam
fasyankes

Setiap suspek campak diambil spesimen serum dan


Setiap kasus AFP dilakukan penyelidikan diperiksa di lab rujukan

Setiap suspek campak yg ditemukan dalam periode 5 hari


sejak onset ruam, dilakukan swab nasofaring atau diambil
Setiap kasus AFP diambil spesimen tinja dan diperiksa di urine, diperiksa di lab rujukan. Minimal
lab rujukan 1 kasus per kab/kota/tahun

Pelaporan dengan formulir sesuai pedoman. Berlaku


Jejaring lab. campak-rubela melalui surveilans
laporan nihil (zero report) jika tidak ditemukan suspek yang
labkesmas
memenuhi kriteria di fasilitas pelayanan kesehatan
Pelaporan dengan formulir sesuai pedoman. Berlaku
laporan nihil (zero report) jika tidak ditemukan suspek
Surveilans polio lingkungan yang memenuhi kriteria di fasilitas pelayanan
kesehatan
43
KEBIJAKAN SURVEILANS DIFTERI DAN PERTUSIS
DIFTERI PERTUSIS

Setiap suspek yang memenuhi kriteria dan kasus


Setiap suspek difteri dilakukan penyelidikan dilaporkan ke dinkes kab./kota dalam waktu 24 jam,
dilakukan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan

Ketersediaan logistik, ADS, dan Profilaksis oleh pemerintah


pusat maupun daerah Setiap suspek diswab nasofaring/aspirat nasofaring dan
darah (Serum), diperiksa di lab rujukan

Penelusuran kontak erat dan pemberian Profilaksis Penelusuran kontak erat dan pemberian Profilaksis

Berlaku laporan nihil (zero report) jika tidak ditemukan


Pelaporan dengan formulir sesuai pedoman suspek yang memenuhi kriteria dan kasus di unit pelayanan
kesehatan

Pemeriksaan spesimen di laboratorium provinsi / RS / B- Jejaring lab. pertusis melalui surveilans labkesmas
BTKLPP / Nasional

44
MEMPERTAHANKAN ELIMINASI TETANUS MATERNAL & NEONATAL (TMN)

UPAYA MENCAPAI VALIDASI UPAYA MENJAGA ELIMINASI


ELIMINASI TMN ELIMINASI TMN TMN
TAHUN 2015
Surveilans adekuat Surveilans adekuat

Persalinan & perawatan tali pusat Persalinan & perawatan tali pusat
yg bersih dan aman yg bersih dan aman

Imunisasi Tetanus rutin


Imunisasi Tetanus rutin (bayi,
TT /Td tambahan/WUS pd daerah
baduta, anak sekolah & WUS)
berisiko tinggi

45
REFERENSI:

1. Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 12 Tahun
2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Ditjen P2P Kemenkes RI: Jakarta.
2. Pedoman Surveilans Congenital Rubella Syndrome (CRS). Subdit Surveilans, Direktorat
Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019
3. Pedoman Surveilans dan Penanggulangan Difteri. Subdit Surveilans, Direktorat Surveilans dan
Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019
4. Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 12 Tahun
2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Ditjen P2P Kemenkes RI: Jakarta.
5. World Health Organization. 2017. Imunization in Practice : A Practical Guide for Health Staff --
2004 Update. World Health Organization : Geneva, Switzerland.
6. Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable Disease CDC, 6 th edition, 2000
7. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2017. Petunjuk Teknis Introduksi Imunisasi Measles
Rubella (MR), Indonesia.
8. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2017. Petunjuk Teknis Introduksi Imunisasi Japanese
Encephalitis, Indonesia.
9. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans Campak- Rubela, Indonesia.
10. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans Congenital Rubella Syndrome
(CRS), Indonesia.
11. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans dan Penanggulangan Difteri,
Indonesia.
12. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP),
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai