Anda di halaman 1dari 63

HUKUM ACARA

PIDANA

Ahmad Nailul Author


Istilah, pengertian, dan sistem acara
pidana
■ Istilah
– Wetboek van strafvordering
– Code d’instruction criminelle
– KUHAP
– Hukum Pidana Formal
– Criminal justice systems

“Het strafprocesrecht heft regelen omtrent hetgeen, geschiedt tussen het tijdstip waarop het
vermoeden onstaat, dat het straafbar feit gepleegd is en de tenuitvoerlegging van opgelegde straf
op de veroordeelde.”
Hukum acara pidana memiliki aturan dimana saat timbulnya dugaan bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan penjatuhan pidana pada si terdakwa.
• Pengertian dan Sistem
• Moeljatno : hukum acara pidana ialah hukum yang mengatur tata cara melaksanakan dan memertahankan
hukum materiil (hukum pidana)
• Van bemmelen : ilmu hukum acara pidana memelajari peraturan2 yg diciptakan oleh negara, karena
adanya pelanggaran undang-undang pidana, sebagai berikut;
• Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran
• Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu
• Mengambil tindakan yg perlu guna menangkap si pembuat kalo perlu menahannya
• Mengumpulkan barang bukti dari penyidikan kebenaran
• Hakim memberi putusan
• Upaya hukum melawan putusan tersebut’
• Melaksanakan putusan
• Sistem dari Hukum Acara pidana sendiri ialah
• Penyelidikan
• Penyidikan
• Penuntutan
• Pemeriksaan oleh hakim
• Putusan hakim
• Upaya hukum
• Eksekusi putusan
• Peninjauan kembali.
Tujuan dan Fungsi Hapid
■ Tujuan
– Untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil (pidana), adalah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dg menerapkan ketentuan acara pidana
secara jujur dan tepat dg tujuan mencari pelaku yg dapat didakwakan melakukan pelanggaran
hukum, selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa tipid telah dilakukan dan apakah terdakwa dapat dipersalahkan.
■ Fungsi
– Mencari dan menemukan kebenaran
– Pemberian keputusan oleh hakim
– Pelaksanaan putusan
Asas dalam Hapid
– Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan (Pasal 24 (4), 25(4), 26(4), 27(4), 28(4), 50,
102(1), 106, 107(3), 110, 140(1)
– Asas Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) (Pasal 8 UU 4/2004 Kekuasaan
Kehakiman jo. Penjelasan butir 3c KUHAP) “tiap orang yg dibawa ke muka persidangan wajib
dianggap tidak bersalah sampai ada putusan inkracht yg menyatakan ia bersalah”
– Asas Oportunitas “” PU tidak wajib menuntut sesorang yg melakukan tipid jika menurut
pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang
yg melakukan tipid tidak dituntut.”
– Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum (Pasal 153 (3) dan (4))
– Asas Persamaan Hukum (Pasal 5 (1) jo. Penjelasan umum Butir 3a.)
– Asas Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum (Pasal 69-74)
– Asas Pemeriksaan Hakim Langsung dan Lisan (Pasal 154, 155.)
Ilmu Pendukung dan Prinsip dalam Hapid
■ Ilmu pendukung :
– Logika
– Psikologi
– Kriminologi dan Kriminalistik
– Psikiatri
■ Prinsip dalam Hapid:
– Legalitas
– Keseimbangan
– Unifikasi
– Diferensiasi Fungsional
– Koordinasi
Sumber Formal Hapid
■ Sumber Hukum Acara Pidana Indonesia:
– UUD NRI 1945: Pasal 24 jo 24 (1)
– UU 8/1981 tentang KUHAP jo. PP 27/1983 tentang Pelaksanaan KUHAP jo. PP 58/2010
tenang Perubahan PP 27/1983.
– UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
– UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung
– UU 49/2009 tentang Peradilan Umum
– UU 2/2002 tentang Kepolisian NRI
– UU 16/2004 tentang Kejaksaan
– UU 18/2003 tentang Advokat
– UU 5/2010 tentang Grasi
– Segala peraturan perundangan terkait, SEMA, yurisprudensi, dan doktrin.
Pihak Yang Terlibat Dalam Hukum
Acara Pidana
■ Tersangka atau Terdakwa
– Definisi tersangka (butir 14) dan terdakwa (butir 15) terdapat di dalam KUHAP
– Hak-hak si tersangka/terdakwa
■ Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan dan diadili (Pasal 50 (1), (2), dan (3)).
■ Hak mengetahui apa yg disangkakan (Pasal 51 butir a dan b)
■ Hak untuk memberikan keterangan secara bebas (Pasal 52)
■ Hak untuk mendapat juru Bahasa (Pasal 53 (1))
■ Hak untuk mendapat pendampingan hukum (Pasal 54)
■ Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum bagi terdakwa yg diancam hukuman mati dg probono
■ hak tersangka/terdakwa WNA untuk menghubungi dan berbicara dg perwakilan negaranya (Pasal 57 (2)).
■ Hak menghubungi dokter bagi tersangka/terdakwa yg ditahan (Pasal 58)
■ Hak untuk bantuan hukum atau jaminan penangguhan, dan hak untuk berhubungan dg Keluarga (Pasal 59 jo 60)
■ Hak untuk dikunjungi sanak Keluarga (Pasal 61)
■ Hak untuk berhubungan dg penasihat hukum (Pasal 62)
■ Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63)
■ Hak untuk mengajukan saksi dan ahli a de charge (Pasal 65)
■ Hak untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68)
■ Hak untuk menuntut hakim (Pasal 27 (1) UU Kekuasaan Kehakiman)
Jaksa / Jaksa Penuntut Umum
– Tidak disebutkan di dalam UUD NRI 1945 (hanya MA)
– Mulai ada dalam aturan peralihan UUD dan dipertegas dg Perpres 2/1945
– Fungsi dan wewenang jaksa mulai diatur dalam UU 7/1947, dicabut dg UU 19/1948, UU
15/1961, dicabut dg UU 5/1991, dan diganti dg UU 16/2004 tentang Kejaksaan
– Susunan kejaksaan : Jaksa Agung (ST Burhanuddin), Wajagung (Setia Untung), Jambin
(Bambang Sugeng R), Jam Intel (Sunarta), Jampidum (Fadil Zumhana), Jampidsus (Ali
Mukartono), Jamdatun (Feri Wibisono), Jamwas (Amir yanto), Jampid Mil (Anwar Saadi).
– KUHAP membedakan jaksa dengan penuntut umum pada Pasal 1 butir 6.
– Wewenang penuntut umum dalam KUHAP diatur dalam Pasal 14 dan 15.
– Dalam KUHAP, PU memiliki kemungkinan kecil untuk mengambil alih penyidikan dan
pemeriksaan sendiri yg sebelumnya ditangani oleh pihak kepolisian, baca Pasal 109 dan 110.
Penyelidik dan Penyidik
– Pengertian Penyidik dan Penyelidik dapat dilihat pada Pasal 1 butir 1 dan Pasal 4 KUHAP.
– Perbedaan mendasar ialah adanya unsur non-polisi (Asn Polri) dalam Penyidik, sedangkan
Penyelidik murni dari unsur kepolisian.
– Pasal 6 KUHAP mengatur perihal badan penyidik
– Penyidik kepolisian diangkat oleh Kapolri, sedangkan PPNS diangkat oleh Menteri Kehakiman.
– Sebelum penyidikan dimulai, harus sudah diperkirakan delik apa yg terjadi dan dimuat dalam
UU mana.
– Penyidik memunyai tugas untuk mencari bukti sehingga si tersangka dapat dituntut
– Dalam PP 27/1983 sebagai peraturan pelaksana KUHAP, Pasal 17disebutkan bahwa penyidik
dalam H. Pidsus sebagaimana yg dimaksud dalam Pasal 284 (2) KUHAP ialah penyidik, jaksa,
dan pejabat penyidik yg berwenang lain berdasarkan ketentuan UU.
Penasihat Hukum / Advokat dan Bantuan
Hukum
– Nama lain dari penasihat hukum ialah pembela, advokat, procureur, pokrol, dan pengacara.
– Fungsi PH ialah membantu hakim dalam usaha menemukan kebenaran materiil, walaupun bertolak dg
sudut pandang subjektif/keberpihakan kepada kepentingan tersangka/terdakwa.
– Bantuan hukum diatur dalam Pasal 37-40 UU 4/2004.
– Dalam KUHAP perihal ketentuan PH diatur dalam Pasal 54-57 (hak-hak tersangka/terakwa untuk
mendapat PH) dan Pasal 69-74 (tata cara PH berhubungan dg tersangka/terdakwa)
– Pasal 114 KUHAP berbicara tentang pemberitahuan penyidik terhadap hak si tersangka untuk mendapat
bantuan hukum, hal tsb juga berkenaan dg Pasal 56.
– Subekti : procureur ialah ahli hukum acara perdata, advokat ialah pembela dan penasihat yg memberikan
jasa mengajukan perkara dan mewakili orang di muka pengadilan.
– Advokat berhak mewakili dari PN-MA, sedangkan procureur tidak berhak membaca pleidoi dan hanya
mewakili di tingkat pertama.
– Pokrol/pokrol bamboo ialah seseorang yg jaman dulu hanya tamatan SD atau bukan sarjana hukum yg
menyebut diri mereka sebagai pengacara, pembela atau procureur. Mereka melakukan tugas pengacara
baik perdata/pidana dan membantu golongan yg tidak mampu
– Semua sudah melebur dalam Peradi dan menggunakan UU 18/2003 tentang Advokat.
Hakim
– Hakim bersifat aktif dalam menggali fakta-fakta hukum
– Hakim dapat menciptakan putusan-putusan yg kemudian menjadi sebuah yurisprudensi
– Dalam menemukan hukum, hakim bercermin pada yurisprudensi sebelumnya dan doktrin
hukum.
– Hakim tidak memihak (Pasal 5 UU KK), dalam hal ini hakim dalam penjatuhan putusan harus
berpihak pada kebenaran, tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaian.
– Kompetensi absolut (berkenaan dg kewenangan mengadili ex Pengadilan Militer, PA, PN,
PTUN, dll), sementara kompetensi relatif (berkenaan dengan wilayah).
– Kompetensi relatif sendiri diatur dalam Pasal 84-86.
– Berkenaan dg Pasal 84 (4) tentang penggabungan perkara, dalam Pasal 147-151 KUHAP
diatu mengenai pemutus sengketa kewenangan dan tentang wewenang mengadili.
Penyelidikan dan Penyidikan
■ Penyelidikan
– Dilakukan oleh penyelidik dari unsur kepolisian
– Serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan sebuah peristiwa yg diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan.
– Penyelidikan ialah tindakan awal dari penyidikan
– Van bemmelen: penyelidikan untuk mencari kebenaran.
– Dalam kepolisian dikenal dalam istilah reserse.
■ Penyidikan (Opsporing)
– Serangkaian tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang mana bukti tsb untuk memperjelas tindak pidana yg terjadi dan
untuk menemukan siapa tersangkanya.
– Bagian hukum acara pidana yg menyangkut penyidikan:
■ Ketentuan alat-alat penyidik
■ Ketentuan diketahui terjadinya delik/tindak pidana
■ Pemeriksaan di tempat kejadian
■ Pemanggilan tersangka/terdakwa
■ Penahanan sementara
■ Penggeledahan
■ Pemeriksaan/interogasi
■ BAP (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat)
■ Penyitaan
■ Penyampingan perkara/diversi
■ Pelimpahan perkara kepada pihak Kejaksaan/Penuntut Umum.
■ Diketahui terjadinya delik/tindak pidana
– Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 Butir 19 KUHAP)
■ Sama dg Pasal 57 HIR, akan tetapi mengalami perluasan makna karena tidak hanya sedang melakukan,
melainkan juga sesudah/setelah melakukan.
■ Lebih mudah daripada kejadian yg telah beberapa waktu terjadi.
■ Pasal 18 (2) KUHAP: penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yg ada ke penyidik
atau penyidik pembantu. Muncul pertanyaan penangkap itu siapa saja?
■ Pasal 128 Ned. Sv: jika delik kedapatan sementara berlangsung atau sefera setelah berlangsung, tertangkap
tangan diartikan tidak lebih lama daripada perbuatan itu kedapatan. Hal tersebut sama dg Pasal 57 dan Pasal 1
butir 19 KUHAP.
– Karena laporan dan pengaduan(Pasal 1 butir 24 dan 25 KUHAP)
■ Dapat dilakukan oleh korban (khusus delik tertentu wajib korban sendiri ex: pencemaran nama baik) atau orang
lain
■ Dalam Pasal 7 KUHAP: wewenang penyidik ialah untuk menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya sebuah tindak pidana.
■ Dalam Pasal 45 HIR ditentukan perihal perbedaan pengaduan dan laporan yg tidak diatur dalam KUHAP:
– Pengaduan hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu dan dalam kejahatan tertentu. Sementara laporan
dapat dilakukan oleh semua orang dan semua delik.
– Pengaduan dapat ditarik kembali sementara laporan tidak. Bahkan orang lain dapat dituntuk karena
laporan palsu.
– Pengaduan mempunyai waktu tertentu untuk mengajukan (lihat Pasal 74 KUHP) sedangkan laporan dapat
dilakukan setiap waktu
– Pengaduan merupakan sebuah permintaan kepada PU agar tersangka dituntut.
■ Pengaduan ada 2 macam:
– Absolut: hanya dapat dilakukan penyidikan bilamana telah ada pengaduan. Jadi itu murni
sebuah delik aduan, ex: Pasal 284 (mukah), 287 (bersetubuh dg perempuan di bawah umur), 293
(pencabulan anak), 310-321 (penghinaan) KUHP.
– Relatif: umumnya delik tsb merupakan delik biasa, penyidikan dapat dilakukan tanpa adanya
aduan. Hanya di tingkat penuntutan baru diperlukan aduan tertulis dan dilampirkan dalam
berkas perkara, kalau tidak ada majelis bisa menolak tuntutan jaksa.
– Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya
delik/tipid seperti membaca surat kabar, mendengar dari radio/orang bercerita, dll
■ Pemeriksaan di tempat kejadian perkara
– Lazim dilakukan dalam delik tangkap tangan.
– Dalam Pasal 53 KUHAP dilakukan pengecualian.
– Umumnya terjadi pada delik yg mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian, dan
perampokan.
– Pada Pasal 7 KUHAP bila perlu penyidik polri dapat mendatangkan ahli (dokter forensic dan
kedokteran kehakiman) untuk keperluan pemeriksaan perkara (lazimnya untuk perkara kematian
dan kekerasan seksual) bilamana dokter tersebut menolak dapat diancam 224 KUHP
– Penyidik sebisa mungkin tidak mengubah, merusak keadaan di TKP agar bukti-bukti tidak
hilang atau kabur.
■ Gelar perkara
– Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan
terlapor. Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan, dapat
cacat hukum.
– gelar perkara atau biasa disebut dengan ekspos perkara juga harus dihadiri langsung oleh pihak
pelapor dan terlapor. Tak boleh diwakilkan oleh pihak lain.
– gelar perkara juga mesti dihadiri ahli yang independen, kredibel, dan tidak memiliki catatan hukum.
Dari gelar perkara yang menghadirkan pelapor, terlapor dan juga saksi ahli maka diharapkan
dihasilkan kejelasan perkara.
– Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
(“Perkapolri 14/2012”) gelar perkara merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari penyidikan.
Adapun tahap kegiatan penyidikan dilaksanakan meliputi: a. penyelidikan; b. pengiriman SPDP; c.
upaya paksa; d. pemeriksaan; e. gelar perkara; f. penyelesaian berkas perkara; g. penyerahan berkas
perkara ke penuntut umum; h. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan i. penghentian Penyidikan.
– Sebelum dilakukan Penahanan maka dapat dilakukan mekanisme gelar perkara.
– Gelar perkara dilaksanakan dengan cara: gelar perkara biasa; dan gelar perkara khusus.
– Gelar perkara biasa dilaksanakan dengan tahap:
■ awal proses penyidikan;
■ pertengahan proses penyidikan; dan
■ akhir proses penyidikan
■ Pemanggilan Tersangka dan Saksi
– Diatur dalam Pasal 7 (1) huruf g KUHAP bahwa penyidik polri mempunyai wewenang untuk
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.
– Pasal 81 HIR disebutkan bahwa: jika yg dipanggil tidak bisa hadir karena alasan yang hanya
dapat diterima (sakit berat), maka pemeriksaan dapat dilakukan di rumah.
– Jika tidak mau datang dg alasan yg tidak dapat diterima, maka dapat diancam dg Pasal 216
KUHP.
– Saksi-saksi yg tidak mau hadir dalam muka persidangan dg tanpa alasan atau alasan yg alasan
yg tidak dapat diterima, maka dapat diancam dg pasal 522 KUHP.
Penangkapan dan Penahanan
■ Penangkapan
– Tertangkap tangan, penangkapan (yg dapat dilakukan semua orang) hanya berlangsung antara
ditangkapnya si pelaku sampai ke kantor polisi terdekat.
– Definisi penangkapan dapat dilihat pada Pasal 1 butir 20 KUHAP
– Ada ketidakcocokan dg apa yg diatur dalam Pasal 16:
■ Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan
penangkapan.
■ Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
– Tidak cocok karena ternyata bukan saja penyidik (menurut pasal 1 butir 20), tetapi juga
penyelidik dapat melakukan penangkapan.
– Tiap-tiap orang dalam hal tertangkap tangan dapat pula melakukan penangkapan
■ Penahanan
– Merupakan bentuk dari perampasan kemerdekaan seseorang
– Syarat sah penahanan diatur dalam Pasal 21 (4) KUHAP, dan alasan perlunya penahanan diatur dalam ayat (1).
– Akan tetapi disayangkan Pasal 284 tidak dimasukkan dalam Pasal 21 (4).
– Pada praktiknya, seringkali terjadi permasalahan bilamana pelaku tidak tahu tempat kediaman bahkan tidak
memiliki tempat kediaman, yg berakibat pada kesilutan dalam pemanggilan.
– Pelaku yg tidak ada atau tidak diketahui tempat kediaman tetap hanya dapat ditahan kalau ia melakukan delik yg
diancam pidana 5 tahun ke atas atau delik yg dilakukan disebut dalam Pasal 21 (4) KUHAP.
– Penahanan bisa pula berupa kurungan dan penjara.
– Pejabat yg berwenang melakukan penahanan ialah penyidik/penyidik pembantu, jaksa, dan hakim PN, hakim PT,
dan Hakim MA (Pasal 20-31 KUHAP)
– Rincian penahanan dalam HAPid Indonesia:
■ Penahanan oleh penyidik atau pembantu penyidik20 hari
■ Perpanjangan oleh PU 40 hari
■ Penahanan oleh PU 20 hari
■ Perpanjangan oleh ketua PN 30 hari
■ Penahanan oleh hakim PN 30 hari
■ Perpanjangan oleh ketua PN 60 hari
■ Penahanan oleh hakim PT 30 hari
■ Perpanjangan oleh ketua PT 60 hari
■ Penahanan oleh Mahkamah Agung 50 hari
■ Perpanjangan oleh ketua MA 60 hari
– Tersangka/terdakwa pertama kali ditahan dalam rangka penyidikan sampai kasasi dapat ditahan
paling lama 400 hari
– Ada pengecualian dalam Pasal 29 (1) terhadap tersangka/terdakwa yg terkena gangguan mental
dan perkara yg diperiksa diancam lebih dari 9 tahun.
– Para pejabat yg dapat melakukan perpanjangan penahanan disebutkan dalam Pasal 29 (3)
– Dalam hal penggunaan wewenang perpanjangan penahanan, KUHAP memberi
tersangka/terdakwa keleluasaan untuk mengajukan keberatan atas perpanjangannya (Pasal 29
(7), dan bisa pula meminta ganti kerugian sesuai tenggang waktu penahanan bilamana
perpanjangan yg dilakukan tidak sah.
– Macam bentuk penahanan sendiri dalam KUHAP Pasal 22 disebutkan selain penahana dalam
rumah tahanan negara, dikenal pula penahanan rumah dan penahanan kota.
– Dalam Pasal 22 (1) disebutkan pula selama belum ada rutan dalam tempat tinggal yg
bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor polisi, kejaksaan, LP, RS, dan dalam keadaan
memaksa di tempat lain.
– Dalam praktik jarang dilakukan penahanan kota atau penahanan rumah.
Penggeledahan dan Penyitaan
■ Penggeledahan
– Melawan asas perlindungan ketentraman rumah seseorang, yang diancam pidana dalam Pasal 167 dan
429 KUHP.
– Terjadi dualism antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi, akan tetapi untuk mencari kebenaran
kepentingan umum diutamakan.
– Hanya penyidik dan polisi yg diperintah oleh penyidik untuk bisa melakukan penggeledahan yg harus
sudah mengantongi ijin ketua PN (Pasal 33 (1) KUHAP)
– Tidak disebutkan dalam KUHAP apakah ijin dari ketua PN bersifat umum atau khusus? Hal tersebut
berakibat pada kaburnya batasan penggeledahan oleh penyidik. Penyidik bisa saja menggeledah semua
tempat dalam rumah karena tidak diatur khusus, jika khusus maka tempat dan waktu penggeledahan
dicantumkan dalam surat tsb dan penyidik tidak boleh menggeledah di luar tempat yg telah ditentukan.
– Dalam keadaan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin mendapat surat
ijin dahulu, maka penyidik dapat melakukan penggeledahan (Pasal 34 KUHAP) apa itu keadaan
mendesak? Baca penjelasan Pasal 34 (1)
– Pengertian rumah mengalami perluasan dalam Pasal 33:
■ Pada halaman rumah
■ Pada tiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam
■ Pada tempat tipid dilakukan atau terdapat bekasnya
■ Pada tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
– Pengecualian lagi dalam Pasal 35, disebutkan bahwa dalam hal tertangkap tangan, penyidik
tidak boleh memasuki:
■ Ruang sidang MPR, DPR, DPD
■ Tempat ibadah/upacara keagamaan
■ Ruang sidang pengadilan
– Penyidik tidak boleh memeriksa atau menyita surat, buku, dan tulisan lain yg tidak berhubungan
dg delik yg dilakukan, kecuali ada dugaan maka penyidik dapat melapor ke ketua PN untuk
memperoleh persetujuan.
– Pembatasan penggeledahan:
■ Tiap masuk rumah wajib disaksikan 2 orang saksi dalam hal tersangka/penghuni rumah menyetujuinya
(Pasal 33 (3))
■ Tiap masuk rumah, wajib disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dg 2 orang saksi, dalam hal
tersangka/penghuni menolak atau tidak hadir (Pasal 33 (4))
■ Dalam waktu 2 hari setelah masuk rumah dan/atau menggeledah rumah, harus dibuat berita acara dan
turunannya dan disampaikan kepada pemilik/penghuni rumah (Pasal 33 (5))
■ Penggeledahan dilakukan di luar yuridiksi penyidik, maka penggeledahan harus diketahui oleh ketua
PN dan didampingi penyidik dari daerah hukum dimana penggeledahan dilakukan (Pasal 36)
■ Pada saat menangkap tersangka, penyidik hanya dapat menggeledah pakaian termasuk benda yg
dibawanya, bila ada dugaan dan alasan yg cukup, benda tsb dapat disita (Pasal 37 (1)).
– Penggeledahan juga diatur dalam UU lain, akan tetapi substansinya hampir sama dg ketentuan
KUHAP, kecuali perihal ijin dari ketua PN yg diatur dalam Pasal 33 (1).
■ Penyitaan (Inbeslagneming)
– Pengertian penyitaan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 16.
– Penyitaan : pengambilalihan penguasaan benda untuk kepentingan pembuktian.
– Harus dilakukan atas ijin dari ketua PN setempat (Pasal 38 (1))
– Bilamana keadaan mendesak, penyidik bisa menyita terlebih dahulu benda bergerak yg kemudian
wajib segera lapor ke ketua PN guna memperoleh persetujuan. Lalu bagaimana bila ketua PN tidak
menyetujuinya? Penyitaan harus dibatalkan.
– Mengalami perluasan makna, tidak hanya benda berwujud, tagihan piutang dapat pula dilakukan sita.
Baca Pasal 39 (1), hal tersebut tentu mempersempit definisi benda yg dapat disita, menjadi sebuah
pertanyaan mengapa tidak memakai frasa barang tidak berwujud?
– Benda-benda lain yg dapat disita:
■ Benda yg digunakan secara langsung untuk melakukan delik atau untuk mempersiapkannya (Pasal 39 (1)
huruf b)
■ Benda yg digunakan untuk menghalang-halangi penyidik delik (Pasal 39 (1) huruf c)
■ Benda yg khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan delik (Pasal 39 (1) huruf d)
■ Benda lain yg mempunyai hubungan langsung dg delik yg dilakukan (Pasal 39 (1) huruf e)
– Benda yg berada dalam sita jaminan perdata dan dalam budle pailit dapat pula disita untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana (Pasal 39 (2))
– Dalam hal tertangkap tangan, penyidik dapat menyita benda dan alat yg ternyata atau patut diduga
telah digunakan untuk melakukan tipid, atau benda lain yg dapat dijadikan barang bukti (Pasal 40)
– Tangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yg diangkut/dikirim oleh
kantor pos dan telekomunikasi, dan segala sesuatu yg melekat pada proses pengiriman tsb (Pasal 41)
– Ada pembatasan terhadap penyitaan surat, sepanjang surat itu tidak mengenai rahasia negara,
penyitaan dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas ijin khusus ketua PN (Pasal 43)
– Penyitaan lazimnya dihubungkan dg perampasan sebagai sebuah hukuman tambahan. Dalam Pasal
39 KUHP disebutkan bahwa barang yg dapat dirampas ialah:
■ Barang kepunyaan terpidana yg diperoleh karena kejahatan
■ Barang kepunyaan terpidana yg sengaja telah dipakai untuk melakukan kejahatan
– Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara (Pasal 44 (1), selama belum
ada rumah benda sitaan negara di tempat tsb, penyimpanan benda sitaan dapat dilakuakn di kantor
polisi, kejaksaan, bank pemerintah, dan tempat penyimpanan lain, bahkan dapat tetap di tempat
semula
– Dalam hal penyimpanan yg bertanggungjawab ialah pejabat yg berwenang menurut tingkat
pemeriksaan dan tidak boleh dipergunakan oleh siapa pun juga.
– Benda tsb jika masih di tangan penyidik/PU dapat dijual atau diamankan oleh penyidik/PU
disaksikan oleh tersangka/penasihat hukum, bila di pengadilan dapat dilakukan oleh PU dg ijin
hakim yg menyidangkan (Pasal 45 (1))
– Hasil lelang yg berupa uang dapat dijadikan barang bukti (Pasal 45 (2)) guna pembuktian, benda
disisihkan sedikit (Pasal 45 (3), sedangkan untuk benda terlarang seperti narkotika dilakukan
dirampas oleh negara dan dimusnahkan (Pasal 45 (4)).
– Sampai kapan penyitaan tsb?
– Penyitaan dapat berakhir sebelum ada putusan hakim (baca pada Pasal 46 (1),
■ Tidak diperlukan lagi pada penyidikan dan penuntutan
■ Perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau bahkan bukan merupakan delik
■ Ada diskresi dalam perkara tersebut.
– Dapat pula berakhir bila sudah ada putusan hakim (baca Pasal 46 (2)).
– Dalam peraturan perundang-undangan lain diatur pula penyitaan yg bersifat lex specialis, yakni
dalam:
■ Undang-undang tipid ekonomi UU 7/1955
■ UU Tipikor UU 31/1999 jo UU 20/2001
■ UU lalu lintas devisa UU 24/1999
Hal tersebut menyebabkan perluasan makna barang yg dapat disita oleh penyidik maupun jaksa penuntut
umum.
Penuntutan
■ Pra-penuntutan
– Pra penuntutan terletak antara dimulainya tahapan penuntutan dalam arti sempit (pelimpahan
berkas perkara ke pengadilan) dan penyidikan yg dilakukan oleh penyidik.
– Pra penuntutan : tindakan PU untuk memberikan petunjuk dalam rangka peyempurnaan
penyidikan oleh penyidik.
– Dalam HIR disebut sebagai penyidikan lanjutan, “DPR seolah menghindari kesan bahwa
jaksa/PU memiliki wewenang penyidikan lanjutan sehingga dipakai prapenuntutan
– Dalam sistem KUHAP, prapenututan lebih tepat bila PU berwenang untuk memanggil terdakwa
yg didampingi PH untuk mendengarkan dan menjelaskan surat dakwaan, kemudian PU
mencatat apakah terdakwa mengerti tentang pasal yg didakwakan sebelum penetapan hari
sidang.
– Lebih diatur detail dalam Pada Pasal 30 (1) UU 16/2004 tentang Kejaksaan, yang mengatur
mengenai pemeriksaan tambahan yg dapat dilakukan oleh kejaksaan guna menyempurnakan
berkas penuntutan.
■ Penuntutan
– Definisi penuntutan ada pada Pasal 1 butir 7 KUHAP
– Wirjono Prodjodikoro: menuntut terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara
terdakwa dg berkas perkaranya kepada hakim, dg permohonan agar hakim memeriksa dan
memutuskan perkara pidana tsb terhadap si terdakwa.
– PU berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa saja yg didakwa melakukan delik dalam daerah
hukumnya dg melimpahkan perkara ke pengadilan yg berwenang (Pasal 137)
– PU berwenang menilai apakah perkara hasil penyidikan sudah P-21/lengkap atau belum untuk
dilimpahkan ke PN untuk diadili (Pasal 139)
– Berkenaan dg pertimbangan PU bahwa perkara tidak cukup bukti untuk dilimpahkan ke PN atau kah
perkara tsb bukan sebuah delik, maka PU membuat ketetapan perihal tsb (Pasal 140 (2) huruf a, b,
dan c), atau biasa disebut sebagai Surat Perintah Penghentian Penuntutan. Jadi perkaranya ditutup
demi hukum = hapusnya hak menuntut
– Bila di kemudian hari ada alasan baru dari Penyidik unutk menuntut perkara yg telah dikesampingkan
karena tidak cukup bukti, maka PU dapat menuntut kembali si terdakwa (Pasal 140 (2) huruf d).
– PU dapat melakukan penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan, yg mana penggabungan tsb
dibatasi oleh syarat2 dalam Pasal 141
– PU juga dapat melakukan splitzing/pemecahan perkara lebih dari 1 dakwaan (Pasal 142)
– Splitzing dilakukan oleh penyidik atas petunjuk dari PU yg dilakukan dalam tahapan persiapan
tindakan penuntutan dan belum sampai pada tahap persidangan.
Surat Dakwaan
■ Pegertian
– Dakwaan merupaan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yg dimuat
dalam dakwaan itu hakim akan memeriksa perkara tsb.
– Syarat-syarat surat dakwaan dimuat dalam Pasal 143 (2). Syarat yg mutlak ada ialah adanya
waktu dan tempat terjadinya delik, serta delik yg didakwakan.
– Terdakwa hanya dapat dipidana bila telah terbukti melakukan delik yg disebut dalam dakwaan,
bila terdakwa terbukti melakukan delik tapi tidak disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat
dipidana.
– Perlu disebutkan perihal keadaan yg memberatkan dan meringankan dalam dakwaan, akan
tetapi bila tidak disebutkan pun tidak menjadikan dakwaan batal demi hukum, berlainan jika
waktu, tempat serta delik yg didakwakan tidak dicantumkan menjadikan dakwaan tsb batal demi
hukum (Pasal 143 (3))
– Dalam dakwaan yg terpenting ialah memakai Bahasa yg sederhana dan mudah dimengerti oleh
terdakwa guna si terdakwa dapat menyiapkan pembelaannya.
– PU tidak wajib memanggil terdakwa dan membacakan dakwaan sebelum sidang. Dalam Pasal
143 (4) disebutkan bahwa PU hanya menyempaikan bahwa turunan surat pelimpahan dan
dakwaan disampaikan kepada tersangka/kuasanya dan penyidik bersama dg dilimpahkannya
berkas perkara tsb ke PN.
■ Hal-hal yg diuraikan dalam dakwaan
– Dalam Pasal 143 disebutkan bahwa hal yg harus dimuat dalam dakwaan ialah uraian secara
cermat, jelas dan lengkap perihal delik yg didakwakan dg menyebut waktu dan tempat delik tsb
dilakukan
– Jonkers: selain perbuatan yg dilakukan bertentangan dg hukum pidana juga harus memuat
unsur-unsur yuridis kejahatan yg dilakukan.
– Perumusan dakwaan berdasar pada hasil pemeriksaan pendahuluan dimana ditemukan baik
keterangan terdakwa, keterangan saksi, dan alat bukti yg lain termasuk keterangan ahli berupa
visum et repertum
– Pasal yg dikenakan oleh polisi tidak mengikat PU, PU bisa mengubah pasal yg dikenakan
menyesuaikan dg dakwaan berdasar pada fakta dan data
– KUHAP menghendaki dakwaan disusun secara cermat, jelas dan sederhana menurut Bahasa yg
mudah dimengerti oleh si terdakwa
– Dakwaan tidak boleh dikaitkan dg kepentingan terdakwa
– PU tidak perlu menguraikan panjang lebar tentang latar belakang delik, karena tiap kata dalam
dakwaan harus dibuktikan oleh PU
– Bagian yg tidak terbukti pada dakwaan tapi tidak merupakan inti/unsur delik tidak
mengakibatkan bebasnya si terdakwa.
– Kata-kata yg dipakai sebaiknya kata-kata sehari-hari yg mudah dimengerti, tetapi berkaitan dg
istilah-istilah yuridis yg ada dalam KUHP, (ex: pakai pencurian, jangan knevelarij)
– Perumusan delik dalam UU tidak perlu dihindari seluruhnya sepanjang sesuai dengan Bahasa
sehari-hari yg.
– Menyusun dakwaan tidak perlu mengikuti urutan unsur-unsur delik yg didakwakan.
– Alasan pemaaf tidak perlu dicantumkan dalam surat dakwaan
■ Perubahan surat dakwaan (Pasal 144 KUHAP)
– Dapat diubah atas inisiatif PU maupun saran dari hakim yg berdasarkan pada syarat yg ada
dalam KUHAP
– Perubahan hanya dapat dilakukan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan dimulai
– Perubahan tsb hanya perbuatan yg semula tidak dapat dipidana menjadi dapat dipidana, dan yg
tidak boleh ialah perubahan terhadap perbuatannya ex: penggelapan menjadi pencurian.
– Menurut HIR, Yurisprudensi dan doktrin, perubahan dapat diterima sepanjang:
■ Kesalahan mencantumkan waktu dan tempat terjadinya delik dalam dakwaan
■ Perbaikan kata-kata/redaksi surat dakwaan sehingga mudah dimengerti dan disesuaikan dg perumusan
delik dalam KUHP
■ Perubahan dakwaan tunggal menjadi dakwaan alternative asal mengenai perbuatan yg sama
■ Bentuk dakwaan
– Dakwaan disusun secara tunggal, kumulatif, alternative dan/atau subsidair.
– Tunggal : pelaku pencurian 362 KUHP, dapat dikenakan dakwaan tunggal (pencurian)
– Kumulatif: ia/mereka melakukan pencurian (biasa) kemudian didapati pula membawa senpi
tanpa ijin, dapat dikenakan dakwaan kumulatif (pelaku melakukan 2 macam delik sekaligus) dg
demikian, model dakwaan akan ada dakwaan I, dakwaan II, dakwaan III dst.
– Pada dakwaan kumulatif, tiap2 delik wajib dibuktikan sendiri-sendiri
– Van Bemmelen: dakwaan alternative dibuat dalam 2 hal:
■ Jika PU tidak tahu perbuatan mana, apakah perbuatan satu/yg lain yg terbukti nanti di persidangan
seperti apakah perbuatan pencurian atau kah penadahan?
■ Jika PU ragu, peraturan hukum pidana yg mana yg akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yg
menurut pertimbangannya benar2 dilakukan. Seperti apakah penggelapan atau kah korupsi?
– Dakwaan subsidair dibuat untuk hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan primair dan jika
tidak terbukti barulah dakwaan subsidair diperiksa.
– Dalam praktik sering dakwaan subsidair disebut juga dakwaan alternative, karena umumnya PU
menyusun dakwaan berupa dakwaan subsidair.
Praperadilan
■ Praperadilan merupakan proses pengujian status tersangka/terdakwa yang disandang oleh seseorang di
muka persidangan. Hal tersebut merupakan perluasan kewenangan praperadilan (Perluasan dari
Putusan MK No 21/PUU-XII/2014)
■ Hakim komisaris di belanda berwenang dalam menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
dan penyitaan. Akan tetapi dalam KUHAP hakim praperadilan tidak punya kewenangan seluas itu.
■ Menurut KUHAP, hakim praperadilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, ia tidak pula
menentukan apakah perkara ini cukup alasan atau tidak untuk lanjut ke pemeriksaan sidang pengadilan
karena itu dominus litis jaksa.
■ Dalam Pasal 78 yg berhubungan dg Pasal 77 disebutkan bahwa wewenang praperadilan sebagai
berikut
– Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan oleh jaksa
– Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yg perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan adalah praperadilan
■ Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua PN dan dibantu oleh seorang
panitera
■ Pasal 79, 80, dan 81 memerinci tugas praperadilan sebagai berikut:
– Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang
diajukan oleh tersangka, Keluarga atau kuasanya kepada ketua PN dengan menyebut alasannya
– Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau PU, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua PN dengan
menyebut alasannya
– Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau akibat
sahnya penhentian penyidikan atau penuntutan, diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua PN dengan menyebut alasannya
■ Acara praperadilan, ditentukan beberapa hal berikut:
– Dalam waktu 3 hari setelah diterima permintaan, hakim yg ditunjuk menetapkan hari sidang
– Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, ganti kerugian dan/atau rehabilitasi, dan ada
benda yg disita yg tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan, baik tersangka
atau pemohon maupun dari pejabat yg berwenang
– Pemeriksaan dilakukan secara cepat dan selambatnya 7 hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya
– Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh PN sedangkan pemeriksaan mengenai
permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut menjadi gugur demi
hukum.
– Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan
pemeriksaan praperadilan lagi di tingkat pemeriksaan oleh PU, jika untuk itu diajukan
permintaan baru, (Pasal 82 (1))
– Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut di muka harus
memuat dg jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 (2))
– Putusan hakim memuat pula:
■ Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka penyidik
atau JPU pada tingkat pemeriksaan masing2 harus segera membebaskan si tersangka
■ Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah,
penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib untuk dilanjutkan
■ Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam
putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam
hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka
dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya
■ Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang dilakukan sita ada yang tidak termasuk dalam alat
pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada
tersangka atau dari siapa benda tersebut dilakukan penyitaan.
Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
■ Ganti kerugian
– Imbalan kepada orang yang tidak bersalah karena kekeliruan dalam menetapkan hukum acara
pidana.
– UU Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 9 disebutkan bahwa ganti kerugian dan rehabilitasi
terhadap orang yang ditangkap, ditahan dan/atau dituntut secara tidak sah
– Penjabaran Pasal 9 ini dapat ditemui dalam Pasal 95 – 101 KUHAP, dan dijabarkan lagi dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
– Tidak semua perkara yg diputus bebas atau lepas dapat diberikan ganti kerugian kalau
tersangka ditahan.
– Dalam memori penjelasan (memorie van toelichting) Ned. Sv diperinci kerugian sebagai berikut:
■ Merusak kehormatan dan nama baik
■ Kehilangan kebebasan
■ Kerugian materiil yang semuanya didasarkan pada keadilan dan kebenaran.
– Di belanda pandangan akan ganti kerugian terbagi 2:
■ Ganti kerugian sebagai alat membersihkan terdakwa dari noda karena ia telah mengalami penuntutan
sebagai akibat tidak terbuktinya tindak pidana yang disangkakan.
■ Ganti kerugian diminta juga jika alasan penahanan adalah sah, tapi akhirnya terdakwa tidak dipidana
(bebas/lepas)
– Pandangan yg kedua ini menimbulkan persepsi bahwa bila diterapkan, maka berakibat pada
hakim akan takut memberikan vonis bebas/lepas, karena akan berakibat pada adanya tuntutan
ganti kerugian di kemudian hari.
■ Acara pelaksanaan ganti kerugian
– Diatur dalam Pasal 95 (3) dan (4)
– Orang yg berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian ialah tersangka, terdakwa, terpidana atau
ahli warisnyake pengadilan
– Untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tsb, ketua PN sejauh mungkin menunjuk
hakim yg sama yg telah mengadili perkara pidana yg bersangkutan
– Pemeriksaan dan putusan mengenai tuntutan ganti kerugian mengikuti acara praperadilan
– Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan yg memuat dg lengkap semua hal yg
dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tsb (Pasal 96 (1) dan (2).
■ Rehabilitasi
– Diatur dalam Pasal 97 KUHAP
– Pengertian rehabilitasi dapat dilihat pada Pasal 1 angka 23 jo. Pasal 97 (1) KUHAP
– Rehabilitasi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan tsb. Pasal 97 (2)
– Dalam KUHAP mengalami kekosongan hukum dimana tidak diatur bahwa ketika terdakwa
divonis bebas/lepas oleh majelis hakim, apakah rehabilitasi tetap harus diberikan kepada si
terdakwa?
– Dibedakan antara rehabilitasi yg diajukan dan yg tidak. Yang diajukan menggunakan acara yg
ditentukan dalam Pasal 97 (1) dan (2), sementara yg tidak diajukan diputus oleh hakim
praperadilan sebagaimana pasal 77 KUHAP
Peradilan Koneksitas
■ Pengertian
– Peradilan koneksitas : sistem peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan antara
orang sipil dengan orang militer (TNI) atau dapat pula dikatakan sebagai peradilan untuk
mereka yang tunduk akan yuridiksi peradilan umum dan peradilan militer.
– Dipastikan bahwa peradilan koneksitas menyangkut delik penyertaan yg diatur dalam Pasal 55
dan 56 KUHP
– Diatur dalam Pasal 89 (1) KUHAP yang dijabarkan dalam Pasal 89 – 94 KUHAP.
– Pasal 89 (1) : jika ada koneksitas, maka primus interpares yg berwenang mengadili ialah
peradilan umum, kecuali jika menteri pertahanan menganggap perlu untuk diperiksa di peradilan
militer
– TNI melakukan delik umum tanpa kerjasama dg sipil, maka diadili dg peradilan militer, diadili dg
peradilan umum hanya jika ada koneksitas di dalamnya
– Ada ketidakserasian antara pasal 89 (1) dg Pasal 90 (1), dg demikian bila ada delik koneksitas
maka harus diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dg oditur militer tinggi.
■ Penyidikan Perkara Koneksitas
– Perkara koneksitas dilidik oleh tim gabungan yg dibentuk oleh Menhan dengan Menteri Kehakiman
yg terdiri atas
■ Penyidik (Pasal 6 KUHAP)
■ Polisi Militer / Provoost
■ Oditur Militer/ Oditur Militer Tinggi
– Lebih lanjut diatur dalam SKB Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman No: Kep.10/M/XII/1983
atau No: M.57.PR.09.03 th 1983.
■ Penuntutan dalam Perkara Koneksitas
– Perkara koneksitas yg diadili di lingkup Peradilan Umum, yg bertindak sebagai PU ialah jaksa pada
kejaksaan negeri delik dilakukan
– Bilamana diadili pada lingkup peradilan militer maka berlaku ketentuan Pasal 92 (1) dan (2)
■ Peradilan perkara koneksitas
– Dalam pemeriksaan acara biasa berdasarkan pasal 143, maka ketua PN menggunakan Pasal 147
untuk memelajari perkara tsb
– Kewenangan mengadili perkara koneksitas diatur dalam Pasal 91 KUHAP
– Penentuan kompetensi relatif perkara koneksitas diatur dalam Pasal 84 KUHAP
– Sementara di lingkup peradilan militer untuk mengadili perkara koneksitas menggunakan UU 5/1950
tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkup peradilan ketentaraan.
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
■ Penentuan hari sidang
– Dilakukan oleh hakim yg ditunjuk ketua PN untuk menyidangkan perkara (Pasal 152 (1)
– Hakim tsb memerintahkan PU untuk memanggil terdakwa dan saksi datang ke muka persidangan
(Pasal 152 (2)
– Syarat sah sebuah relaass panggilan sidang dimuat dalam Pasal 145
– PU menyampaikan relass panggilan sidang kepada terdakwa (Pasal 146 (1) menentukan bentuk
surat panggilan yg harus memuat tanggal, hari, serta jam sidang, dan untuk perkara apa ia
dipanggil yang harus sudah diterima olehnya selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang dimulai
– Begitu pula dg pemanggilan saksi berlaku hal yg sama (Pasal 146 (2)
■ Pemeriksaan perkara biasa
– KUHAP tidak memberikan batasan perkara apa saja yang termasuk pemeriksaan biasa, hanya
pemeriksaan singkat (Pasal 203 (1)) dan cepat (Pasal 205 (1))saja yang diberikan batasan
– Acara pemeriksaan biasa sebenarnya berlaku juga bagi pemeriksaan singkat dan cepat kecuali
dalam hal tertentu yg secara tegas dinyatakan lain.
– Dimulai hakim mmbuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum, kecuali dalam
perkara asusila atau terdakwanya anak-anak (Pasal 153 (3)
– Pemeriksaan dilakukan lisan dalam Bahasa Indonesia yg dimengerti oleh terdakwa/saksi (Pasal
153 (2a), bilamana keduanya tidak dipenuhi maka batal demi hukum
– Terdakwa dipanggil terlebih dahulu, walaupun ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan
bebas (Pasal 154 (1))
– Bilamana tidak hadir, hakim ketua bertanya apakah si terdakwa sudah dipanggil secara sah, jika
tidak maka ketua majelis akan menunda sidang dan memerintahkan agar terdakwa dipanggil lagi
untuk hadir pada sidang berikutnya (Pasal 154 (3))
– Ketua majelis memerintahkan agar terdakwa yg tidak hadir tanpa alasan yg sah dipanggil secara
sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dg paksa pada sidang pertama berikutnya (Pasal 154 (6))
– Terdakwa dipanggil masuk terlebih dahulu, kemudian ketua majelis menanyakan identitas serta
mengingatkan untuk memerhatikan segala sesuatu yg didengar dan dilihatnya dalam persidangan
(Pasal 155 (1)), sesudah itu ketua majelis memersilahkan PU untuk membacakan dakwaan
kemudian ketua majelis menanyakan kepada terdakwa apakah mengerti, bila tidak maka PU atas
permintaan ketua majelis wajib memberi penjelasan yang diperlukan (Pasal 155 (2)).
– Sesudah pembacaan/penjelasan, terdakwa/PH dapat mengajukan keberatan perihal pengadilan
tidak berwenang memeriksa perkara tsb / dakwaan tidak dapat diterima/dibatalkan
– UU tidak menjelaskan kapan suatu dakwaan tidak dapat diterima. Menurut v Bemmelen, hal itu
terjadi jika tidak ada hak untuk menuntut, missal ketika dalam delik aduan tidak ada pengaduan
atau delik itu dilakukan pada waktu dan tempat yg uu tipid tidak berlaku atau hak menuntut telah
hapus. Termasuk pula tuntutan PU tidak dapat diterima jika sudah ada putusan yg tidak dapat
diubah mengenai perkara tsb (nebis in idem)
– Dalam keberatan, PU diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya, kemudian hakim
memertimbangkan keberatan tsb untuk selanjutnya mengambil putusan (Pasal 156 (1)). Bila
keberatan diterima, maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut, dan untuk ini PU dapat mengajukan
perlawanan kepada PT melalui PN yg bersangkutan (Pasal 156 (2) dan (3)).
– Pemeriksaan saksi yg pertama didengar keterangannya ialah korban yg menjadi saksi (Pasal
160). Urutan pemeriksaan saksi diserahkan pada pertimbangan ketua majelis setelah mendengar
pendapat PU, terdakwa atau PH. Saksi baik yang menguntungkan atau memberatkan terdakwa yg
tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yg diminta oleh terdakwa /PH /PU selama
berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkan putusan, ketua majelis wajib mendengar
keterangan saksi-saksi tsb.
– Nilai sebuah kesaksian yg disumpah atau mengucapkan janji dan yg tidak (Pasal 162). Memiliki
kelemahan, karena dikatakan bahwa saksi yg sudah memberikan keterangan pada penyidikan
meninggal atau halangan yg sah atau tidak dipanggil karena jauh, maka keterangannya
dibacakan, kalau pada saat penyidikan saksi tidak disumpah apakah keterangan tsb sama
nilainya?
– Dalam ayat (2) dikatakan bahwa jika keterangan tsb diberikan di bawah sumpah maka nilainya
sama dg keterangan saksi sumpah di pengadilan. Begitu juga sebaliknya dg a contrario.
– Bila terjadi perbedaan keterangan saat di penyidikan dan di pengadilan diatur lebih lanjut dalam
Pasal 163. hal ini menjadi penting karena akan ada tindak pidana kesaksian palsu di dalamnya.
– Hakim meminta pendapat terdakwa terkait keterangan saksi, begitu pula PU dan PH dapat
kesempatan untuk bertanya kepada saksi/terdakwa melalui ketua majelis. Ketua majelis juga
dapat menolak pertanyaan PU/PH dengan suatu alasan (Pasal 164 (1), (2), dan (3))
– Bilamana keterangan saksi diduga palsu, maka ketua majelis memeringatkan kepadanya dg
sungguh2 agar memberikan keterangan yg sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana bila
tetap memberikan keterangan palsu. Jika saksi tetap memberikan keterangan palsu, ketua majelis
dg jabatannya/atas permintaan PU/terdakwa memberikan perintah penahanan dg dakwaan
keterangan palsu, perkara semula dapat ditangguhkan ketua majelis sampai perkara keterangan
palsu selesai (Pasal 174 (1), (2), (3), dan (4)).
– Terdakwa tidak punya hak diam untuk menjawab (Pasal 175)
– Pemeriksaan dipandang selesai, maka PU mengajukan tuntutan pidana, setelah itu terdakwa
dan/atau PH dapat mengajukan pembelaan/eksepsi yg dapat dijawab PU dg ketentuan bahwa
terdakwa/PH selalu mendapat giliran terakhir. Semua dilakukan secara tertulis dan setelah
dibacakan diserahkan ketua majelis dan turunannya ke pihak yg berkepentingan (Pasal 182 (1)
– Ketua majelis menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dg ketentuan dapat dibuka sekali
lagi, baik karena jabatannya atau karena permintaan PU/terdakwa/PH dg memberikan alasannya
(Pasal 182 (2)).
■ Pemeriksaan Singkat (Pasal 203 (3))
– Berlaku ketentuan bagian kesatu, kedua dan ketiga dalam Bab XVI.
– Bagian kesatu : pemanggilan dan dakwaan, bagian kedua : memutus sengketa mengadili, bagian
ketiga : acara pemeriksaan biasa.
– Hal-hal yg menyimpang dari pemeriksaan biasa :
■ PU tidak membuat surat dakwaan, hanya memberikan dari catatannya kepada terdakwa tentang tipid yg
didakwakan kepadanya dg menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tipid dilakukan.
Pemberitahuan itu dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan (Pasal 203 (3a))
■ Putusan tidak dibuat secara khusus, akan tetapi dicatat dalam berita acara sidang (Pasal 203 (3d))
■ Hakim membuat surat yg memuat amar putusan tsb (Pasal 203 (3e))
– Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang
tidak termasuk ketentuan acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan yang menurut penuntut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
– Patokan yang harus diambil oleh penuntut umum dalam menentukan perkara dengan acara
pemeriksaan singkat adalah dari segi ancaman hukuman, yakni perkara yang ancaman hukumannya
di atas 3 (tiga) bulan penjara atau kurungan serta dendanya lebih dari Rp7.500,-, namun menurut
praktik dan kebiasaan, ancaman hukumannya itu tidak melampaui 3 (tiga) tahun penjara (paling
tinggi 3 tahun penjara).
■ Pemeriksaan Cepat (Pasal 210)
– Sama seperti pemeriksaan singkat, yg berlaku dalam Bab XVI ialah bagian kesatu, kedua dan
ketiga
– Dibagi menjadi 2, yakni acara pemeriksaan tipiring (delik yg diancam dg pidana penjara atau
kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya 7500,- dan perkara
penghinaan ringan), dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran LLAJ (perkara pelanggaran
yang diatur dalam UU 22/2009 tentang LLAJ). Diatur lebih lengkap perihal pelanggaran tertentu
dalam penjelasan Pasal 211
– Hal-hal yg menyimpang dari acara pemeriksaan biasa:
■ Penyidik langsung menghadapkan terdakwa beserta barang buktii, saksi, ahli dan/atau juru Bahasa ke
pengadilan atau kuasa PU. Dalam penjelasan dikatakan bahwa atas kuasa berarti dilakukan demi hukum
(Pasal 205 (2))
■ Pengadilan mengadili dg hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding (Pasal 205 (3)) ini berarti jika tidak
dijatuhkan pidana penjara/kurungan maka tidak ada banding.
■ Saksi dalam acara tipiring tidak mengucapkan sumpah kecuali hakim menganggap perlu (Pasal 208)
■ Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat, kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut ternyata ada hal
yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yg dibuat oleh penyidik (Pasal 209 (2)).
– Pada pemeriksaan perkara pelanggaran LLAJ
■ Pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas dilakukan oleh hakim tunggal (tidak disebutkan dalam Pasal
205 (1) dan (3))
■ Tidak diperlukan berita acara pemeriksaan (Pasal 212)
■ Terdakwa dapat menunjuk kuasa untuk mewakili dalam sidang (Pasal 213)
■ Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa/wakilnya (verstek/in absentia) (Pasal 214 (1))
■ Dalam hal putusan verstek dan berupa perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan
perlawanan (Pasal 214 (4))
■ Dalam waktu 7 hari setelah putuusan diberitahukan secara sah terhadap terdakwa, ia dapat megajukan
perlawanan kepada pengadilan yg menjatuhkan putusan itu (Pasal 214 (5))
■ Jika putusan telah diajukan perlawanan tetap berupa pidana perampasan kemerdekaan, terhadap putusan
itu terdakwa dapat mengajukan banding (Pasal 214 (8))
– Dalam RUU KUHP, istilah pelanggaran akan dihilangkan, maka acara cepat akan dikenakan
pada delik yg diancam dg pidana denda saja.
Sistem/Teori Pembuktian
■ Sistem/teori pembuktian berdasarkan UU secara positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie)
– Dikatakan positif karena senantiasa didasarkan pada UU, artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dg alat bukti yg disebutkan oleh UU maka keyakinan hakim tidak diperlukan
sama sekali.
– Juga disebut sebagai teori pembuktian formal
– Simons : teori ini berusaha menghilangkan semua pertimbangan subjektif yg dimiliki hakim dan
mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yg keras.
– Dianut di negara2 eropa pada berlakunya asas inkisator dalam acara pidananya
– Teori ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk diterapkan di Indonesia, karena keyakinan
seorang hakim yg jujur dan berpengalaman mungkin sekali sesuai dg keyakinan masyarakat.
■ Sistem/teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
– Merupakan lawan dari teri pembuktian UU positif
– Disebut juga teori conviction intime
– Alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran, oleh
karenanya diperlukan keyakinan hakim itu sendiri
– Dg sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat bukti daam UU
– Sistem ini dianut dalam peradilan juri di Perancis
– Wirjono Prodjodikoro : sistem ini pernah dianut di Indonesia, pada pengadilan distrik dan
pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim untuk menyebut apa saja yg menjadi
dasar keyakinannya ex: keterangan medium atau dukun
– Pengadilan adat dan swapraja juga menganut sistem ini
– Sistem ini memberikan keleluasaan pada hakim yg terlalu besar, sehingga sulit diawasi, di sisi lain
terdakwa/PH sulit memberikan pembelaan
– Hakim dapat memidana terdakwa dg keyakinannya saja, praktik semacam ini di perancis
membuat banyak putusan bebas yg aneh
■ Sistem/teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yg logis
– Disebut juga teori pembuktian berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu atau pembuktian
bebas, karena hakim bebas untuk menyebut alasan2 keyakinannya
– Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan tsb
didasarkan pada dasar pembuktian disertai dg konklusi yg berdasarkan pada peraturan
pembuktian tertentu.
– Terpecah menjadi 2: pembuktian berdasar keyakinan atas alasan yg logis dan pembuktian
berdasar UU secara negative
– Sama2 berdasar atas keyakinan hakim, terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan
bahwa ia bersalah.
– Perbedaan keduanya ialah yg pertama berpangkal pada keyakinan hakim yg berdasar konklusi
logis yg tidak didasarkan UU, sedang yg kedua pada ketentuan undang2 yg ditetapkan secara
limitative.
■ Teori pembuktian berdasar UU secara negative
– HIR, KUHAP, dan Ned, Sv menganut sistem ini, hal tersebut dapat ditemui dalam Pasal 183
KUHAP dan Pasal 294 HIR.
– Dari pasal 183 disimpulkan bahwa pembuktian harus didasarkan pada UU (KUHAP), yakni alat
bukti yg sah pada Pasal 184 disertai dg keyakinan hakim yg diperoleh dari alat bukti tsb.
– Pasal 341 (4) Ned. Sv mengatur bahwa kesalahan terdakwa tidak dapat dianggap terbukti dg
pengakuan terdakwa saja, akan tetapi harus ditambah dg alat bukti yg lain, begitu pula dalam
Pasal 342 (2) Ned Sv. Ini yg disebut sebagai bukti minimum (bewijs minimum)
– Dalam sistem ini pemidanaan berdasarkan pada pembuktian berganda, yakni pada peraturan UU
dan pada keyakinan hakim, dan menurut UU dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada
peraturan perundang-undangan.
– Wirjono Prodjodikoro: sistem pembuktian ini sebaiknya dipertahankan berdasarkan 2 alasan,
pertama memang sudah selayaknya ada keyakinan hakim perihal kesalahan terdakwa untuk dapat
menjatuhkan suatu hukuman pidana, jangan hakim terpaksa memidana seseorang sedang hakim
tidak yakin atas kesalahan si terdakwa. Kedua ialah bermanfaat jika ada aturan yg mengikat
hakim dalam menyusun/memeroleh keyakinannya, agar ada patokan tertentu yg harus dipenuhi
hakim dalam melakukan peradilan.
Alat-alat Bukti
■ Dalam common law seperti USA, memiliki criminal procedure law at formd of evidence berupa:
– Real evidence (bukti sungguhan)
– Documentary evidence (bukti dokumenter)
– Testimonial evidence (bukti kesaksian) (keterangan ahli dan keterangan terdakwa)
– Judicial evidence (pengamatan hakim)
■ Pasal 184 KUHAP disebutkan bahwa “alat-alat bukti ialah
– Keterangan saksi
– Keterangan ahli
– Surat
– Petunjuk/Clue
– Keterangan terdakwa
■ Pasal 295 HIR sama dengan 339 Ned. Sv, alat-alat bukti ialah:
– Eigen waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim)
– Verklaringen van de verdache (keterangan terdakwa)
– Verklaringen van een getuige (keternagan seorang saksi)
– Verklaringe van een deskundige (keterangan seorang ahli)
– Schriftelijke bescheiden (surat-surat)
■ Keterangan Saksi
– Semua orang dapat menjadi saksi
– Ada hak ingkar untuk menjadi seorang saksi yang diatur dalam Pasal 186 KUHAP (hubungan
kekeluargaan)
– Hak ingkar juga dapat karena hubungan pekerjaan, martabat (pastor, ustad), atau jabatan yg
mengharuskan menyimpan rahasia yang telah ditentukan oleh perundang-undangan (dokter) diatur dalam
Pasal 170 KUHAP.
– Tambahan hak ingkar pada kesaksian diatur dalam 171 KUHAP (tidak cakap)
– Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib disumpah menurut agama masing2 bahwa ia akan
memberikan keterangan sebenarnya dan tidak lain daripada sebenarnya (Pasal 160 (3))
– Sumpah merupakan suatu syarat mutlak (Pasal 161 (1) dan (2))
– Pasal 185 (5) KUHAP: baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiransaja bukan
merupakan keterangan saksi
– Penjelasan Pasal 185 (1): dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yg diperoleh dari orang lain
atau testimonium de auditu. Secara tegas bahwa keterangan saksi yg diperoleh dari orang lain bukanlah
alat bukti sah (hearsay evidence). Hal tersebut selaras dg tujuan Hapid yakni untuk mencari kebenaran
materiil.
– Kesaksian de auditu tidak bisa dimasukkan dalam keterangan saksi, akan tetapi dapat dimasukkan dalam
alat bukti petunjuk.
– Masih menjadi pro kotra terhadap saksi de auditu, di Indonesia sendiri terjadi dualism dan ada beberapa
putusan yg menggunakan de auditu sebagai bukti dan ada pula yg menolak.
– Adanya asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) Pasal 185 (2)
– Menurut D Simons : satu keterangan saksi yg berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh
dakwaan, tapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan sendiri, pendapat ini tidak
bertentangan dg Pasal 185 (2) dan (4)
– Menurut SM Amin, Pasal 185 (4) (kesaksian berantai) ada 2 macam:
■ Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan
■ Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa perbuatan
– Menurut KUHAP, asas unus testis tsb hanya berlaku pada pemeriksaan biasa dan singkat, tidak
berlaku pada pemeriksaan cepat (Pasal184 KUHAP)
– Saksi mahkota dikenal dalam praktik pengadilan di belanda yakni ketika salah seorang terdakwa yang
paling ringan perannya dalam pelaksanaan kejahatan tsb, dengan syarat ia bersedia membongkar
komplotan itu. Sekarang lebih dikenal dengan justice collaborator atau whistle blower.
■ Keterangan Ahli
– Alat bukti kedua dalam Pasal 183 KUHAP
– Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli katakan/nyatakan di bidang peradilan (Pasal 186
KUHAP).
– Keterangan ahli juga dapat diberikan pada pemeriksaan penyidik atau PU yg dituangkan dalam
laporan dg mengingat sumpah profesi, jika tidak maka pada pemeriksaan sidang diminta untuk
memberikan keterangan dan dicatat dalam BAP, keterangan diberikan setelah mengucap sumpah/janji
di hadapan hakim (Pasal 160 (3)).
– Keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah diperoleh seseorang. Ahli didengar keterangannya
perihal persoalan tertentu yg menurut pertimbangan hakim orang itu expert dalam bidang
tertentu.
– Keterangan saksi dg ahli berbeda, saksi bercerita perihal apa yg ia alami sendiri, sedangkan ahli
memberikan keterangan perihal penilaian mengenai hal2 yg sudah nyata ada dan pengambilan
kesimpulan mengenai hal tsb
– KUHAP membedakan keterangan ahli di persidangan sebagai bukti ket. Ahli (Pasal 186) dan
keterangan ahli di luar pengadilan secara tertulis sebagai alat bukti surat (Pasal 187 butir c)
contoh visum et repertum.
■ Alat bukti surat
– Diatur dalam Pasal 187 KUHAP
– Tidak diatur perihal hubungan alat bukti surat dalam hukum perdata dan pidana dalam pasal tsb.
Sehingga kepada hakim dierahkan untuk memertimbangkannya. Hanya akta otentik yg dapat
dipertimbangkan, akta bawah tangan tidak.
– Akta bawah tangan masih punya nilai jika ada kaitannya dg isi dari alat pembuktian lain
– Asser-Anrma : “surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yg dapat
dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.”
■ Alat bukti petunjuk/Clue
– Alat bukti keempat dalam 184 KUHAP
– Akan dihapus dg pengamatan hakim selama persidangan dalam RUU KUHAP
– Diatur lebih rinci dalam Pasal 188 (1) KUHAP
– Pada Pasal 188 (3) petunjuk akhirnya diserahkan oleh hakim untuk dinilai kekuatan
pembuktiannya
– Pengamatan hakim: apa yg telah dialami atau diketahui oleh hakim selama persidangan, bila
dialami dan diketahui sebelum persidangan maka tidak dapat dijadikan dasar pembuktian,
kecuali kejadian tsb diketahui secara umum.
■ Alat bukti keterangan terdakwa
– Keterangan terdakwa sebagai bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, semua
keterangan terdakwa hendaknya didengar, dan hakim tidak perlu menggunakan seluruh
keterangan terdakwa atau saksi.
– Keterangan terdakwa tidak perlu sama dg pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti
memunyai syarat:
■ Mengaku ia yang melakukan delik yg didakwakan
■ Mengaku ia bersalah
– Keterangan terdakwa sebagai alat bukti lebih luas makanya dibandingkan pengakuan terdakwa.
– D Simons: keberatan dg hal tsb. Karena hak kebebasan terdakwa untuk mengaku atau
menyangkal harus dihormati. Oleh sebab itu suatu penyangkalan perbuatan mengenai suatu
keadaan tidak dapat dijadikan bukti.
– Perbedaan antara keterangan terdakwa dg pengakuan terdakwa ialah keterangan terdakwa yg
menyangkal dakwaan, tapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yg menjurus kepada
terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.
■ Bukti Elektronik
– pembuktian elektronik mulai dikenal dalam dunia Hukum sejak munculnya Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik.. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE dijelaskan bahwa Alat
Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang memenuhi persyaratan formil dan
persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE.
– Berdasarkan undang-undang tersebut maka terdapat penambahan jenis alat bukti di persidangan
yakni informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
– Informasi elektronik dan dokumen elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik
(Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari informasi elektronik dan dokumen elektronik akan
menjadi alat bukti surat.
– Putusan MK 20/2016 adalah untuk menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara
sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum
– Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa informasi atau dokumen
elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk
tertulis. Selain itu, informasi dan/atau dokumen tersebut harus diperoleh dengan cara yang sah.
Ketika alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah, maka alat bukti tersebut dikesampingkan
oleh hakim atau dianggap tidak
– syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya
informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan
ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam
banyak hal dibutuhkan digital forensik.
– Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya
dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat
putusan-putusan yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik
yang disajikan dalam persidangan.
■ Putusan Hakim
– Dilakukan setelah pemeriksaan ditutup, lalu hakim mengadakan musyawarah terakhir, dan
semua hakim anggota diajukan pertanyaan oleh hakim ketua dan diakhiri pendapat hakim ketua
disertai pertimbangan hukumnya/ratio decidendi
– Pasal 182 (6) mengatur opsi bila tidak dicapai musyawarah mufakat (voting dan paling ringan
yang menguntungkan terdakwa).
– Putusan didasarkan pada dakwaan dan segala yg terbukti di persidangan (Pasal 191)
– Putusan harus diucapkan atau dibacakan di sidang terbuka untuk umum
– Putusan ditandatangai oleh hakim dan panitera seketika pasca diucapkan (Pasal 200)
– Sesudah putusan dibacakan, hakim ketua wajib memberitahukan terdakwa tentang hak-haknya:
■ Hak segera menerima atau menolak putusan
■ Mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima/menolaj putusan dalam waktu 7 hari
■ Hak penangguhan pelaksanaan putusan
■ Hak banding
■ Hak mencabut pernyataan yg semula menolak
– Tiap putusan berisikan
■ Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/atau tata tertib
■ Putusan bebas
■ Putusan lepas
– Suatu putusan berisi tuntutan PU tidak dapat diterima/Niet onvankelijk verklaar jika berkaitan dg
perbuatan yg didakwakan tidak ada alasan hukum untuk menuntut pidana, missal dalam delik
aduan tidak disertai dengan surat pengaduan yg dilampirkan oleh PU, atau aduan ditarik
kembali, atau delik lewat batas waktu, atau nebis in idem
– Pasal 193 (1) KUHAP berbicara tentang kapan seseorang dijatuhi putusan pemidanaan
– Dalam Pasal 197 (1) KUHAP diatur formalitas yg harus dipernuhi sebuah putusan hakim dan
menurut ayat (2) pasal itukalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali pada huruf g, maka
putusan batal demi hukum.
– Perlu diperhatikan dalam penjelasan Pasal 197 (1) yg dimaksud dg fakta dan keadaan ialah
segala sesuatu yg ada dan diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain PU, saksi,
ahli, terdakwa, PH, dan korban.
Upaya Hukum
■ Upaya Hukum Biasa
■ Pemeriksaan tingkat banding
– Pasal 233 (1) dihubungkan dg Pasal 67 KUHAP, disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan
tingkat pertama dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi oleh terdakwa/terpidana atau yg
khusus dikuasakan untuk itu atau PU dengan beberapa pengecualian.
– Pengecualian untuk banding diatur dalam Pasal 67 KUHAP
– Dalam Pasal 244 KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan PN dapat langsung
dimintakan kasasi dalam hal lepas yg menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum, kecuali
putusan tsb bebas.
– Tujuan banding:
■ Menguji putusan pengadilan tingkat pertama perihal ketepatannya
■ Untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara tsb, atau sering disebut revisi.
– Pemeriksaan banding sebenarnya merupakan penilaian baru/Judicium novum, jadi dapat
mengajukan saksi baru, ahli dan surat baru. (baca Pasal 283 KUHAP)
– Walau demikian, dapat dikatakan acara pemeriksaan di tingkat pertama tetap menjadi dasar
pemeriksaan banding kecuali ada penyimpangan2 dan pengecualian2.
– Terhadap putusan praperadilan tidak dapt dimintakan banding (Pasal 83 (1))
– Acara permintaan banding diatur dalam Pasal 233-243 KUHAP.
■ Kasasi (Judex Jurist)
– Kasasi didasarkan pada pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah
melampaui kekuasaan kehakiman.
– Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dg jalan membatalkan putusan yg
bertentangan dg undang2 atau keliru dalam menerapkan hukum.
– Perundang-undangan belanda ada 3 alasan kasasi:
■ Terdapat kelalaian dalam acara (vormcerzuim)
■ Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya
■ Tidak dilaksanakannya cara melakukan peradilan menurut cara yg ditentukan UU
– Oleh sebab itu dalam putusan hakim harus memuat alasan2 dan dasar2 hukum putusan tsb
– Dalam KUHAP Pasal 253 (1) diatur secara singkat perihal alasan mengajukan kasasi
– Permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh MA, menurut KUHAP permohonan
ditolak jika:
■ Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (244 KUHAP)
■ Melewati batas waktu penyampaian permohonan kasasi pada panitera (14 hari sejak putusan)
■ Sudah ada putusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tsb
■ Pemohon tidak mengajukan memori kasasi (248 (1)) atau tidak memberitahukan alasan kasasi (2)
■ Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dg ketentuan Pasal 253 (1) KUHAP.
– Selain syarat yg ditentuan oleh KUHAP tsb, yurisprudensi MA juga terjadi penolakan:
■ Permohonan diajukan oleh kuasa tanpa surat kuasa khusus (putusan no. 117K/Kr/1958)
■ Permohonan kasasi diajukan sebelum ada putusan akhir PT (putusan no. 66 K/Kr/1958)
■ Permohonan kasasi terhadap putusan sela (putusan no. 320 K/Kr/1957)
■ Permohonan kasasi dicap jempol tanpa pengesahan oleh pejabat berwenang (putusan No. 137
K/Kr/1961)
■ Upaya Hukum Luar Biasa
■ Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
– Diatur bersama dg kasasi biasa dalam satu pasal, yakni Pasal 17 UUMA, bahwa kasasi dapat
dilakukan atas permohonan pihak berkepentingan atau atas permohonan jaksa agung karena
jabatan dg arti bahwa kasasi tsb hanya atas kepentingan hukum dg tidak dapat merugikan
pihak2 yg berkepentingan
– Kasasi ini bermaksud untuk mencapai kasatuan penafsiran huum oleh pengadilan.
Menghilangkan keraguan dalam dualism penafsiran.
– Diajukan bila sudah tidak ada upaya hukum biasa yg dapat dipakai yg diajuka oleh jaksa agung
kepada kepaniteraan MA disertai risalah yg menjadi alasan.
– Pada umumnya sama dg kasasi biasa, kecuali dalam kasasi ini PH tidak lagi dilibatkan.
– Jika MA menerima permohonan kasasi ini, makaMA membatalkan putusan pengadilan yg lebih
rendah, dan dg demikian terjawab keraguan dalam hal yg dipermasalahkan.
■ PK terhadap putusan pengadilan yg inkracht
– Pasal 9 PERMA 1 1980 mengatakan bahwa PK suatu putusan pidana inkracht tetap mengandung
pemidanaan dg alasan:
■ Bilamana putusan yg berlainan terdapat keadaan yg dinyatakan terbukti, tapi satu sama lain
bertentangan
■ Bilamana terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan kuat, jika tetap dilaksanakan
putusan yg dijatuhkan mengandung bebas, lepas atau tuntutannya Niet onvankelijk.
– Dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP diatur perihal dasar permintaan PK.
– Dalam Pasal 266 (2) KUHAP menentukan bahwa permintaan PK dapat diterima untuk diperiksa
jika memenuhi syarat2 yg telah disebutkan dalam pasal tsb.
– Perkara dapat disidangkan kembali dg 4 alasan:
■ Ada bukti baru (Novum) yg menunjukkan bahwa penentuan fakta pada putusan/perintah pasti pasti
tidak benar
■ Bukti bahwa penentuan fakta sehingga putusan dijatuhkan tidak berkaitan atau tidak cukup atau bagian2
pembuktian yg penting bertentangan satu sama lain
■ Penerapan hukum untuk membuat putusan atau perintah pasti tidak benar
■ Hakim dalam memutus perkara membuar penggelapan, penyuapan, dan malpraktik untuk keuntungan
diri sendiri.
Pelaksanaan Putusan Hakim
■ Dalam KUHAP hanya ada 7 Pasal mengatur pelaksanaan putusan pengadilan, yakni Pasal 270 sampai
dengan Pasal 276 KUHAP, mengenai:
– Pelaksanaan putusan pengadilan oleh Jaksa (Pasal 270 KUHAP)
– Pelaksanaan pidana mati (Pasal 271 KUHAP)
– Pelaksanaan pidana berturut-turut, jika si terpidana dijatuhi pidana sejenis berturut-turut (Pasal
272 KUHAP)
– Pelaksanaan pidana denda dalam jangka waktu 1 bulan kecuali putusan acara pemeriksaan
cepat yang harus seketika dilunasi (tilang), pembayaran denda tersebut dapat diperpanjang
paling lama 1 bulan dalam hal terdapat alasan yang kuat (Pasal 273 (1) jo. Ayat (2) KUHAP)
– Pengaturan barang bukti yang dirampas untuk negara (Pasal 273 (3) dan (4) KUHAP)
– Pelaksanaan putusan ganti kerugian kepada pihak lain yang merasa dirugikan (Pasal 274
KUHAP)
– Perihal biaya perkara (Pasal 275 KUHAP)
– Pelaksanaan pidana bersyarat (Pasal 276 KUHAP).

Anda mungkin juga menyukai