Anda di halaman 1dari 10

Implicit Attitude dan Pengukurannya

Oleh: Abu Bakar Fahmi, pengkaji psikologi sosial Konsep tentang sikap (attitude) menjadi perhatian penting bagi ilmuwan psikologi sosial dalam menjelaskan perilaku manusia. Sikap melandasi terjadinya perilaku karena sikap terkait dengan disposisi kita dalam merespon, baik setuju atau tidak setuju, terhadap objek sikap, baik orang, institusi, atau peristiwa. Misalnya, orang yang punya disposisi yang mendukung calon presiden tertentu, ia cenderung akan memilih calon presiden tersebut pada pemilihan umum. Sejak tahun 1930an, kebanyakan ilmuwan psikologi sosial memandang bahwa sikap terbentuk dalam keadaan sadar (Greenwald & Banaji, 1995). Teori klasik tentang sikap, misalnya teori tindakan beralasan (reaction action) dan perilaku terencana (planned behavior), lebih banyak menekankan pada pembentukan sikap berdasarkan pertimbangan sadar, disengaja, terkontrol, dan sistematis (Fiske & Taylor, 2008). Teori klasik tentang sikap tidak banyak menjelaskan proses pembentukan sikap yang terjadi sebaliknya: tidak sadar, terbentuk secara mudah, dan berlangsung dengan cepat. Belakangan, banyak bukti yang mendukung pandangan bahwa sikap dan perilaku sosial bekerja dengan cara implisit atau tidak sadar (Greenwald & Banaji, 1995). Greenwald & Banaji (1995) mengenalkan adanya kognisi sosial implisit dimana jejak pengalaman masa lampau seseorang mempengaruhi pandangannya terhadap objek tertentu. Kedua peneliti tersebut mengenalkan sikap yang terbentuk secara implisit yang disebut dengan implicit attitude. Apa itu implicit attitude? Bagaimana implicit attitude bekerja dan bagaimana cara kita mengukur implicit attitude? Bagaimana pendapat ilmuwan psikologi sosial tentang keberadaan implicit attitude dan, secara umum, kognisi sosial implisit? Pada akhirnya, yang menjadi pertanyaan penting adalah, dibandingkan dengan sikap yang bekerja secara eksplisit, apakah implicit attitude bisa memprediksi perilaku seseorang? Melalui esai ini, saya akan meninjau keberadaan implicit attitude dalam perkembangan kognisi sosial belakangan ini. Saya juga akan meninjau debat yang berlangsung terkait implicit attitude, khususnya Implicit Association Test (IAT) sebagai alat ukurnya. Dari sini saya akan menunjukkan bahwa disamping sikap yang terungkap secara eksplisit, implicit attitude juga bisa memprediksi perilaku seseorang.

Apa itu implicit attitude? Manusia hidup dalam lingkungan yang kompleks. Banyaknya orang yang ditemui dalam interaksi sosial dan banyaknya peristiwa yang dialami sehari-hari membuat orang perlu segera melakukan penyimpulan (inference). Orang juga memiliki preferensi tertentu atas orang, benda, atau peristiwa yang ditemui sehari-hari (baik atau buruk? suka atau tidak suka?). Penyimpulan dan preferensi tersebut menjadi pertimbangan seseorang dalam menentukan sikapnya terhadap orang, benda, atau peristiwa yang ditemui. Kebanyakan informasi yang diperoleh diproses secara sadar dan terkontrol. Namun ada pula yang diproses secara tidak sadar dan berlangsung secara otomatis. Terkait fenomena ini, Wilson, Lindsey, & Schooler (2000) berpendapat bahwa orang bisa memiliki dua sikap (dual attitude) saat melakukan penilaian terhadap objek sikap yang sama. Penilaian tersebut berbeda satu sama lain. Sikap yang pertama berlangsung secara otomatis, yang disebut implicit attitude, dan yang kedua berlangsung secara terkontrol yang disebut explicit attitude. Sikap yang seseorang munculkan pada waktu tertentu tergantung pada apakah ia punya kemampuan untuk mendapatkan kembali explicit attitude dan apakah explicit attitude mengesampingkan keberadaan implicit attitude (Wilson, Lindsey, & Schooler, 2000). Sebagai contoh, saat seseorang mengatakan bahwa ia suka masakan Padang, itu disebut explicit attitude. Sikapnya yang suka masakan Padang bisa jadi telah mengesampingkan sikap implisitnya (implicit attitude) yang sebenarnya tidak suka masakan Padang. Bisa jadi sikapnya yang suka masakan Padang karena banyak kawan-kawannya yang berasal dari Padang. Apa itu implicit attitude? Greenwald & Banaji (1995) mengartikan implicit attitude sebagai jejak pengalaman masa lalu yang tidak bisa diidentifikasi (atau diidentifikasi dengan tidak akurat) secara introspektif yang memediasi setuju atau tidaknya perasaan, pikiran, dan tindakan seseorang terhadap objek sosial tertentu. Pengertian yang senada dikemukakan oleh Wilson, Lindsey, & Schooler (2000) bahwa implicit attitude merupakan penilaian yang (a) asal mulanya tak diketahui (orang tidak menyadari landasan atas penilaiannya); (b) diaktivasi secara otomatis; dan (c) mempengaruhi respon implisit, yakni respon yang orang tidak memandangnya sebagai ekspresi atas sikapnya sehingga tidak berusaha untuk mengontrol. Beberapa fenomena dalam psikologi sosial mengindikasikan adanya implicit attitude, diantaranya hallo effect, mere exposure effect dan minimal group effect (Greenwald & Banaji, 1995). Penelitian tentang adanya hallo effect menunjukkan adanya efek dari implicit attitude. 2

Misalnya, sebuah penelitian menunjukkan, esai yang ditulis oleh perempuan yang disertai foto yang menarik dinilai oleh mahasiswa laki-laki lebih baik kualitasnya dibanding yang disertai foto yang tidak menarik. Dalam hal ini penilaian mahasiswa terhadap kualitas esai (explicit attitude) secara implisit mengekspresikan sikap terhadap foto. Bagaimana explicit attitude dan implicit attitude bekerja? Wilson, Lindsey, & Schooler (2000) mengajukan dua kemungkinan. Pertama, orang mungkin memulai dengan explicit attitude yang didasarkan pada pandangan umum terhadap objek sikap tanpa adanya pengalaman personal terkait objek sikap tersebut. Ketika orang mendapat pengalaman langsung terkait objek sikap, implicit attitude-nya berubah dengan lambat sebelum berubah pada level eksplisit. Kedua, explicit attitude dan implicit attitude bekerja secara bersama-sama (simultan). Explicit attitude dan implicit attitude hadir dalam waktu bersamaan (Wilson, Lindsey, & Schooler, 2000). Kehadiran dua sikap dalam waktu yang bersamaan ini bisa menimbulkan konflik satu sama lain (Nosek & Banaji, tanpa tahun). Explicit attitude menggambarkan nilai, keyakinan, dan penilaian yang disengaja terhadap objek sikap. Sementara, implicit attitude menggambarkan asosiasi positif atau negatif yang terkumulasi melalui pengalaman. Sehingga sangat mungkin, ada keadaan tertentu yang membuat penilaian terhadap objek sikap tersebut berbeda secara eksplisit dan implisit. Perbedaan antara sikap implisit dan sikap eksplisit disebut disosiasi (Greenwald & Banaji, 1995; Nosek & Banaji, tanpa tahun). Sehingga, dalam keadaan tertentu, implicit attitude dapat dikesampingkan (overriden) oleh explicit attitude (Wilson, Lindsey, & Schooler, 2000). Bagaimana mengukur implicit attitude? Pengukuran sikap menjadi perhatian penting bagi ilmuwan psikologi dalam upaya memahami, mengontrol, dan memprediksi perilaku. Ada dua cara pengukuran sikap, yakni pengukuran langsung (direct) dan pengukuran tidak langsung (indirect). Pada pengukuran langsung, partisipan mengetahui tentang apa yang diukur karena peneliti menanyakan secara langsung terkait objek sikap. Pengukuran langsung mencakup semua pengukuran yang menggunakan prosedur pelaporan diri (self-report). Pada pengukuran tidak langsung, partisipan tidak tahu tentang objek sikap yang diukur oleh peneliti (Greenwald & Banaji, 1995). Ada banyak teknik pengukuran tidak langsung, namun hanya sedikit yang termasuk jenis pengukuran implisit (Gawronski & De Houwer, 2011). 3

Implicit attitude tidak diukur secara introspektif sebagaimana kita mengukur explicit attitude. Implicit attitude hanya bisa diukur secara tidak langsung karena yang diukur adalah penilaian seseorang yang bersifat segera, otomatis, dan nondeklaratif. Para peneliti berpendapat bahwa, berbeda dengan pengukuran tradisional (eksplisit), pengukuran implisit mengandung indeks dari sikap atau kognisi tertentu meskipun partisipan a) tidak menyadari kalau sikap atau kognisinya sedang diukur; b) tidak punya akses yang disadari terkait sikap atau kognisi; c) tidak memiliki kontrol atas hasil pengukuran (De Houwer, 2006). Jadi yang tidak langsung diukur dalam penelitian implisit adalah hasil (outcome) pengukurannya, bukan cara mengukurnya (Gawronski & De Houwer, 2011). Beberapa cara mengukur implicit attitude diantaranya melalui priming semantik dan evaluatif, Go/No-Go Association Test, Affect Misattribution Procedure, approach-avoid task dan, yang paling populer, Implicit Association Test (Hughes, BarnesHolmes, & De Houwer, 2011). Pengukuran menggunakan priming paling populer dalam mengukur sikap implisit, disamping menggunakan Implicit Association Test (IAT). Ada dua cara pengukuran melalui priming, yakni evaluative priming task dan semantic priming tasks. Pada evaluative priming task, priming dilakukan dengan cara partisipan disajikan stimulus prime lalu diikuti oleh kata positif atau negatif. Lalu partisipan diminta secara cepat menentukan apakah kata tersebut positif atau negatif dengan cara menekan tombol. Jika stimulus prime membuat partisipan lebih cepat merespon kata-kata positif, stimulus prime diasosiasikan dengan valensi positif. Jika stimulus prime membuat partisipan merespon kata-kata negatif, maka itu diasosiasikan dengan valensi negatif. Semantic priming tasks mirip dengan evaluative priming task, bedanya a) partisipan disajikan kata bermakna (sebagai stimulus prime) dan untaian huruf tidak bermakna sebagai stimulus target, dan b) tugas partisipan menentukan secepat mungkin apakah untaian huruf tersebut adalah kata yang bermakna atau tidak. Jika partisipan merespon dengan cepat kata bermakna pada target, stimulus prime diasosiasikan dengan makna semantik pada stimulus target. Kritik pada pengukuran menggunakan priming, baik dengan evaluative priming task dan semantic priming tasks adalah pada reliabilitasnya yang rendah. Pengukuran menggunakan priming memperhitungkan respon subjek yang diukur dalam milidetik sehingga rentan mengalami kesalahan pengukuran (Gawronski & De Houwer, 2011).

IAT mengukur asosiasi antara dua target-konsep yang berbeda dengan dimensi atribusinya (Greenwald, McGhee & Schwartz, 1998). Misalnya orang kulit hitam dan kulit putih sebagai target-konsep dan menyenangkan atau tidak menyenangkan sebagai atribusinya. Partisipan diminta untuk menentukan apakah orang kulit hitam menyenangkan atau tidak, demikian juga apakah orang kulit putih menyenangkan atau tidak. Prosedur IAT ini berupaya mengetahui sikap implisit seseorang dengan cara mengukur penilaian yang diaktivasi secara otomatis. IAT mampu mengungkap topeng yang dibuat seseorang melalui strategi presentasi diri atas sikapnya ( explicit attitude). Jadi, IAT mampu menyingkap sikap seseorang bahkan pada mereka yang tidak mau mengekspresikan sikapnya tersebut (Greenwald, McGhee & Schwartz, 1998). Interpretasi hasil IAT diperoleh dari kekuatan asosiasi antara target-konsep dan atribusinya (Teige-Mocigemba, Klauer, & Sherman, 2010). Misalnya, orang dengan prasangka implisit akan merespon dengan cepat dan akurat ketika stimulus orang kulit hitam dan atribusi sebagai orang yang tidak menyenangkan berada pada satu tombol respon yang sama dibandingkan dengan jika konfigurasinya sebaliknya, yakni orang kulit hitam dan menyenangkan. Sejak dikenalkan pada 1998, IAT mendapat sambutan dari berbagai kalangan sebagai cara yang baik dalam mengukur sikap impisit. Dalam penerapannya, IAT banyak digunakan terutama dalam bidang kognisi sosial implisit. Namun, IAT banyak digunakan dalam konteks yang lain seperti klinis, perkembangan, marketing, surat lamaran (juga beasiswa), dan bisnis (Lane, Banaji, Nosek, & Greenwald, 2007). Namun, sebagai cara dalam mengukur sikap implisit, IAT mendapat kritik dari berbagai peneliti. Sejumlah peneliti mengkritik dengan mengatakan bahwa IAT mengandung keterbatasan secara metodologis dan teoritis. Oleh beberapa peneliti, IAT diragukan validitasnya dalam mengukur sikap implisit. De Houwer, Teige-Mocigemba, Spruyt & Moors (2009) menyebut beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran IAT. Artinya, alih-alih mengukur sikap implisit, oleh beberapa peneliti hasil pengukuran melalui IAT dianggap terpengaruh oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah asosiasi dalam memori, pengetahuan ekstrapersonal, kemenonjolan (salience), kesamaan (similarity), dan kemampuan kognitif. Asosiasi dalam memori

Dalam IAT, atribusi psikologi (misalnya prasangka) direprentasikan sebagai asosiasi dalam memory. Karena muncul sebagai asosiasi, IAT sensitif terhadap manipulasi variabel seperti konteks dan instruksi dalam eksperimen. Misalnya, IAT yang mengukur sikap rasial menunjukkan kalau orang kulit putih kurang berprasangka terhadap orang kulit hitam a) saat berinteraksi dengan eksperimenter kulit hitam dibanding eksperimenter kuit putih; b) setelah menonton klip film orang kulit hitam dalam seting situasi yang positif dibanding negatif; c) setelah melihat gambar orang kulit hitam yang dikagumi dan orang kulit putih yang tidak disukai dibanding setelah melihat orang kulit putih yang dikagumi dan orang kulit hitam yang tidak disukai. Pengetahuan ekstrapersonal Hasil pengukuran IAT yang bervariasi disebabkan oleh pengetahuan ekstrapersonal, yakni pengetahuan yang dimiliki seseorang namun dianggap tidak relevan bagi responnya terhadap objek. Jadi, hasil IAT tidak menunjukkan sikap personal seseorang tetapi lebih pada pengetahuan yang dimiliki seseorang terkait pandangannya terhadap objek sosial tertentu. Misalnya, hasil IAT yang mengukur ras bukan merupakan sikap seseorang terhadap orang kulit hitam tetapi lebih merupakan pengetahuannya tentang orang kulit hitam. Dalam hal ini, termasuk dalam pengetahuan ekstrapersonal adalah faktor lingkungan atau budaya. Untuk menutup kelemahan IAT karena adanya pengetahuan ekstrapersonal ini, Olson dan Fazio (2004) menawarkan IAT yang dipersonalisasi. Bagi kedua peneliti ini, yang terpenting dalam pengukuran sikap adalah hubungan antara pengukuran dan perilaku yang sebenarnya. Jadi, alih-alih menyajikan atribut menyenangkan atau tidak menyenangkan, IAT yang dipersonalisasi menyajikan atribut saya suka atau saya tidak suka. Mereka berpendapat bahwa IAT yang tradisional lebih dipengaruhi oleh adanya asosiasi ekstrapersonal, tidak menunjukkan sikap pribadi seseorang. Jadi semakin personal IAT semakin menunjukkan gambaran sikap personalnya sehingga makin menunjukkan objek sikap yang diukur.

Kemenonjolan (salience) Hasil IAT lebih dipengaruhi oleh adanya kemenonjolan (salience). Artinya, mengerjakan IAT akan lebih cepat jika kategori yang ada dalam test IAT tersebut lebih menonjol. Misalnya, 6

bagi partisipan kulit putih, kategori orang kulit hitam dan kata-kata negatif lebih menonjol dibanding orang kulit hitam dan kata-kata positif sehingga ia bisa merespon lebih cepat pada kategori orang kulit hitam dan kata-kata negatif. Kesamaan (similarity) IAT juga dipengaruhi oleh adanya kesamaan dalam tingkat persepsi. Jadi sikap dan stereotipe seseorang dapat menyebabkan perbedaan hasil IAT lebih karena adanya kesamaan semantik pada target dan atribut dalam IAT.

Kemampuan kognitif IAT juga dipengaruhi oleh kemampuan kognitif seseorang. Penelitian korelasional menunjukkan bahwa hasil IAT dipengaruhi oleh atribusi psikologis disamping kemampuan kognitif seseorang. Karena kemampuan kognitif cenderung menurut seiring bertambahnya umur, penelitian menunjukkan bahwa hasil IAT ditentukan oleh kemampuan kognitif secara umum. Apakah pengukuran implicit attitude dapat memprediksi perilaku? Menurut Wilson, Lindsey, & Schooler (2000), dua bentuk sikap, yakni eksplisit dan implisit, bisa mempengaruhi perilaku. Hubungan sikap dan perilaku tergantung pada tipe sikap yang terlibat (sikap eksplisit atau implisit) dan tipe perilaku yang terlibat (perilaku eksplisit atau implisit). Namun, jika sikap ekspisit dan implisit hadir bersamaan, mana diantara keduanya yang menjadi sikap yang sebenarnya? Mana sikap yang benar-benar akan mempengaruhi perilaku? Pertanyaan ini penting karena sikap sebenarnya yang muncul terkait objek sikap tertentu pada akhirnya akan mempengaruhi perilakunya. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan masing-masing bentuk sikap dalam memprediksi perilaku tergantung pada objek sikapnya. Greenwald, Poehlman, Uhlmann, & Banaji (2009) melakukan penelitian meta-analisis dan menemukan bahwa validitas prediktif pengukuran self-report berkurang ketika topik penelitiannya sensitif secara sosial. Sementara, pengukuran sikap implisit (dalam hal ini menggunakan IAT) punya validitas prediktif lebih besar pada pengukuran yang melibatkan perilaku antar-ras dan perilaku antar-kelompok. Sikap implisit 7

dan sikap eksplisit lebih baik dalam memprediksi, secara berturut-turut, perilaku diskriminatif dan perilaku konsumen. Jadi, baik sikap eksplisit maupun sikap implisit, sama-sama memiliki keotentikannya masing-masing (Lane, Banaji, Nosek, & Greenwald, 2007). Kesimpulannya, disamping explicit attitude, setiap orang memiliki implicit attitude yang bekerja dengan ciri: tidak disadari landasan penilaiannya, diaktivasi secara otomatis, dan mempengaruhi respon implisit. Disamping secara berurutan, explicit attitude dan implicit attitude bekerja secara simultan dalam mempengaruhi perilaku. Untuk mengetahui implicit attitude, peneliti kebanyakan menggunakan IAT meskipun banyak kritik ditujukan terkait beberapa faktor yang turut mempengaruhi hasilnya, diantaranya asosiasi dalam memori, pengetahuan ekstrapersonal, kemenonjolan (salience), kesamaan (similarity), dan kemampuan kognitif. Disamping sikap yang terungkap secara eksplisit, implicit attitude juga bisa memprediksi perilaku seseorang, walaupun kemampuan masing-masing dalam memprediksi perilaku tergantung pada objek sikapnya.[]

Daftar Pustaka
De Houwer, J. (2006). What are implicit measures and why are we using them. In R. W. Wiers & A. W. Stacy (Eds.), The handbook of implicit cognition and addiction (pp. 11-28). Thousand Oaks, CA: Sage Publishers. De Houwer, J., Teige-Mocigemba, S., Spruyt, A., & Moors, A. (2009). Implicit measures: A normative analysis and review. Psychological Bulletin, 135 (3), 347368. Fiske, S.T. & Taylor, S.E. (2008). Social cognition: From brain to culture. New York: McGrawHill. Gawronski, B & De Houwer, J. (2011). Implicit Measures in Social and Personality Psychology. Dalam H. T. Reis, & C. M. Judd (Eds.), Handbook of research methods in social and personality psychology. New York: Cambridge University Press. Greenwald A.G., McGhee D.E., & Schwartz, JLK. (1998). Measuring individual differences in implicit cognition: The implicit association test. Journal of Personality and Social Psychology, 74, 146480. Greenwald, A. G., & Banaji, M.R. (1995). Implicit social cognition: Attitudes, self-esteem, and stereotypes. Psychological Review, 102(1), 427. Greenwald, A.G., Poehlman, T.A., Uhlmann, E.L., & Banaji, M.R. (2009). Understanding and Using the Implicit Association Test: III. Meta-Analysis of Predictive Validity. Journal of Personality and Social Psychology, 97 (1), 17-41. Hughes, S., Barnes-Holmes, D. & De Houwer, J. (2011). The dominance of associative theorizing in implicit attitude research: propositional and behavioral alternatives. The Psychological Record, 61, 465496 Lane, K. A., Banaji, M. R., Nosek, B. A., & Greenwald, A. G. (2007). Understanding and using the implicit association test: IV. What we know (so far) about the method. Dalam B. Wittenbrink & N. S. Schwarz (Eds.). Implicit measures of attitudes: Procedures and controversies. New York: The Guilford Press Nosek, B.A., & Banaji, M.R. (tanpa tahun). Implicit Attitude. Charlottesville.

Teige-Mocigemba, S., Klauer, K. C., & Sherman, J. W. (2010). A practical guide to implicit association tests and related tasks. Dalam B. Gawronski & B.K. Payne (Eds.). Handbook of Implicit Social Cognition: Measurement, Theory, and Applications. New York: The Guilford Press Wilson, T. D., Lindsey, S., & Schooler, T. Y. (2000). A model of dual attitudes. Psychological Review, 107, 101126.

10

Anda mungkin juga menyukai