Anda di halaman 1dari 24

BAB V PRODUK FERMENTASI IKAN KARBOHIDRAT GARAM

1. PICUNGAN Picungan adalah suatu produk unik yang hanya dapat ditemukan di Provinsi Banten. Pada dasarnya, picungan adalah produk fermentasi ikan tradisional yang diolah dengan menggunakan biji picung (Pangium edule) yang dapat memberikan flavor spesifik terhadap produk. Tujuan utama dari pengolahan menggunakan biji picung ini adalah untuk pengawetan dalam rangka menciptakan pasar produk yang lebih luas, pemasaran tidak terbatas hanya pada daerah tempat produk tersebut dibuat, tetapi juga menjangkau daerah pelosok yang jauh dari pantai. Produk ini banyak dipasarkan di daerah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang. Daerah produsen utama ikan picungan adalah Labuhan dan Saketi di Kabupaten Pandeglang dan Binuangen di Kabupaten Lebak. Pengolah produk tersebut dapat dijumpai dengan mudah di sekitar tempat tempat pendaratan ikan atau pasar pasar tradisional.

Bahan Mentah Semua jenis ikan, baik yang berukuran kecil maupun yang besar dapat digunakan sebagai bahan mentah pada pengolahan picungan. Sebagian besar bahan mentah yang digunakan adalah ikan laut, terutama ikan layang, ikan kembung, teri, layur, tiga wajah, pari dan cucut. Ikan harus dalam keadaan segar untuk menghindarkan terbentuknya flavor yang tidak dikehendaki pada produk. Pengolah menginformasikan bahwa mutu picungan yang diolah dari ikan yang telah di-es tidak sebaik mutu produk yang diolah dari ikan yang tidak di-es. Biji picung yang digunakan sebaiknya yang masih mentah. Biji picung mengandung asam sianida yang berasal dari aktivitas ginokardase yang menstimulasi pelepasan sianida dari senyawa giniokardin glukosida. Peran dari biji picung pada pengolahan picungan masih belum diketahui secara pasti, tetapi diduga berperan sebagai sumber kabohidrat untuk fermentasi bakteri asam laktat, yang diindikasikan dengan cukup rendahnya nilai pH produk ikan picungan, yaitu 5,26 (Tabel 14). Disamping itu, biji picung diduga memiliki efek disinfeksi terhadap bakteri pembusuk (Emmawati, 1998).

Teknologi Pengolahan Biji picung harus dibebaskan dari asam sianida sebelum digunakan. Dua cara yang dapat diterapkan untuk membebaskan asam sianida dari biji picung. Cara pertama, picung dikupas kulitnya dan kemudian dibelah menjadi dua, setelah itu direndam dalam http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 53

air mengalir atau pada sungai selama dua hari. Cara kedua dilakukan dengan menjemur picung yang telah dikupas dan dibelah dua selama dua hari. Sebelum digunakan, picung yang telah bebas dari sianida dicacah atau diparut. Metoda pengolahan picungan dapat dilihat pada Gambar 7. Pada pengolahan picungan, insang dan isi perut ikan dibuang. Ikan yang telah disiangi dicuci. Ikan yang berukuran besar, seperti ikan pari dan ikan cucut, dibelah atau dipotong menjadi beberapa potong dengan ukuran sesuai yang diinginkan. Untuk mendapatkan proses fermentasi yang efektif, ikan difillet dengan ketebalan 1 1,5 cm. Untuk ikan yang panjang, seperti ikan layur, dapat diolah dalam bentuk ikan utuh atau potongan.

Ikan Ukuran Kecil Pembuangan insang dan isi perut

Ikan Ukuran Besar

Ikan Berbentuk Panjang

Pemfiletan

Pemotongan

Campuran picung dan garam dimasukkan dalam insang dan rongga perut

Pencampuran dengan picung dan garam

Pencampuran dengan picung dan garam

Campuran picung dan garam ditaburkan pada permukaan ikan

Disusun dalam keranjang yang telah dilapisi daun pisang

Fermentasi (2 7 hari)

PICUNGAN

Gambar 7. Proses Pengolahan Picungan http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 54

Pada proses fermentasi, ikan dicampur secara merata dengan picung dan garam. Perbandingan antara ikan, picung dan garam adalah 4 : 2 : 1. Garam berfungsi untuk memberikan rasa produk picungan dan bila produk tidak segera dijual garam juga berperan pada penurunan aW yang membantu dalam menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Bila picungan diolah dari ikan utuh, seperti ikan kembung, tiga wajah dan bentong, campuran picung dan garam dimasukkan ke dalam insang dan rongga perut. Setelah itu pada bagian permukaan ikan ditaburi dengan campuran picung dan garam. Jika picungan diolah dari potongan ikan, seperti ikan pari dan cucut, potongan ikan langsung ditaburi dengan campuran picung dan garam. Ikan yang telah dicampur dengan picung dan garam telah siap untuk dipasarkan. Tetapi bagi picungan yang tidak untuk dijual pada hari pengolahan atau akan dijual ke daerah lain harus dikemas dan disusun berlapis lapis dalam keranjang yang telah dilapisi dengan daun pisang. Diantara lapisan ikan diberi taburan campuran picung dan garam. Sisa campuran picungan dan garam ditaburkan pada lapisan paling atas. Produk ikan picungan yang setelah diproses langsung dijual dan dikonsumsi proses fermentasi belum sempat terjadi. Fermentasi terjadi bila produk tersebut tidak segera dipasarkan atau dijual. Selama proses fermentasi, keranjang ditutup yang rapat untuk menghindarkan dari lalat, karena lalat kemungkinan dapat menyebabkan proses fermentasi gagal. Aroma dan rasa spesifik picungan berkembang selama fermentasi. Picungan dapat mengawetkan ikan sampai dua minggu tergantung kepada jenis ikan yang digunakan. Bagi pengolah, lama fermentasi tidak menjadi masalah, karena proses fermentasi akan dihentikan begitu ikan terjual. Berdasarkan pengalaman pengolah dan konsumen, lama fermentasi yang optimum adalah 3 7 hari. Selama waktu tersebut, tekstur ikan masih dalam keadaan kenyal. Cara penyiapan picungan yang akan dikonsumsi tergantung kepada kegemaran dari konsumen. Pada dasarnya, picungan adalah produk mentah yang memerlukan perlakuan pemasakan sebelum dikonsumsi. Sebelum dimasak, beberapa konsumen membuang picung yang melekat pada ikan, terutama pada insang dan rongga perut, dengan cara mencucinya, tetapi sebagian konsumen yang lain tidak melakukan cara tersebut. Biasanya sebelum dikonsumsi picungan digoreng atau dipepes terlebih dahulu.

1.3. Mikrobiologi Ikan Picungan Hasil pengamatan Irianto et al. (2003) pada pembuatan ikan picungan dari ikan pari , ikan kembung dan ikan layur menunjukkan bahwa total jumlah koloni bakteri asam laktat cenderung meningkat selama fermentasi sembilan hari. Hasil ini mengindikasikan bahwa lingkungan produk picungan sesuai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat. Diantara 24 isolat yang diperoleh dari produk picungan, delapan adalah merupakan koloni bakteri asam laktat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa koloni bakteri asam laktat tersebut adalah termasuk dalam genus Lactobacillus dan dua dinataranya diyakini sebagai Lactobacillus murinus. Sedangkan untuk koloni bakteri http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 55

asam laktat yang lain belum dapat ditentukan, tetapi dapat dipastikan sebagai Lactobacillus sp.

1.4. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Karakteristik kimia dan nilai gizi dari picungan sangat dipengaruhi oleh bahan mentah, jumlah picungan yang ditambahkan dan lama fermentasi. Oleh karena itu, karakteristik produk akhir sangat spesifik menurut jenis ikan yang digunakan sebagai bahan mentah dan kondisi pengolahan. Sebagai contoh, Tabel 14 memperlihatkan komposisi proksimat picungan yang dibuat dari ikan bentong yang difermentasi selama 6 hari. Tabel 14. Karakteristik kimia dan nilai gizi picungan dari ikan bentong yang difermentasi selama 6 hari Parameter Analisis Kadar air (%) 66,35 Kadar protein (%) 21,69 Kadar lemak (%) 3,08 Kadar abu (%) 6,17 Kadar asam laktat (%) 0,36 pH 5,26

2. BEKASAM Bekasam adalah produk ikan fermentasi tradisional yang pada awalnya diolah oleh penduduk bermukim di Muara Sungai Bengawan Solo dan Surabaya, tetapi kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Produk tersebut di Kalimantan Tengah disebut dengan wadi (Moeljanto, 1992). Pengolahan bekasam dilakukan dengan menambahkan sumber karbohidrat dan dalam kondisi anaerobik. Karbohidrat didekomposisi melalui proses fermentasi menjadi gula-gula sederhana dan kemudian dikonversi menjadi alkohol dan asam yang berperan sebagai pengawet dan memberikan rasa dan bau spesifik pada bekasam. Bekasam disajikan dengan membumbuinya menggunakan cabai dan gula (Murtini, 1992).

2.1. Bahan Mentah Pada dasarnya, semua ikan air tawar dapat diolah menjadi bekasam, tetapi setiap daerah mempunyai pertimbangan tersendiri di dalam memilihi jenis ikan air tawar yang digunakan sebagai bahan mentah. Ikan yang telah umum digunakan untuk pengolahan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, bader, nila, mujahir (Afrianto dan Liviawaty, 1989). http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 56

Ikan air Tawar

Pembuangan Isi Perut dan Insang

Pembelahan Menjadi Bentuk Kupu-Kupu

Perendaman Dalam Larutan Garam (16% b/b, selama 2 hari) Penirisan Penambahan Nasi

Pengemasan

Fermentasi

BEKASAM Gambar 8. Alur Proses Bekasam

2.2. Teknologi Pengolahan Murtini (1992) secara rinci telah menjelaskan prosedur pengolahan bekasam. Pertama-tama, ikan dibuang kepala, sisik dan isi perutnya. Ikan kemudian dibelah menjadi bentuk kupu-kupu dan dicuci. Ikan yang telah dicuci selanjutnya direndam dalam larutan garam 16% selama 48 jam dan diusahakan agar ikan tidak mengambang dengan menempatkan pemberat. Ikan kemudian ditiriskan dan ditambah dengan nasi biasa dan nasi ketan sebanyak masing-masing 50% dan 25% dari berat ikan. Campuran ikan dan nasi ditempatkan dalam wadah plastik yang kemudian ditutup rapat. Campuran ikan dan nasi tersebut diperam selama satu minggu atau lebih agar terjadi proses fermentasi. Afrianto dan Liviawaty (1989) menyarankan penggaraman dilakukan dengan menaburkan garam pada permukaan ikan. Metoda ini akan menghasilkan proses penetrasi garam ke dalam daging ikan yang lebih cepat. Garam yang digunakan http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 57

sebaiknya tidak lebih dari 20% dari berat ikan, kalau lebih akan dihasilkan bekasam yang sangat asin. Secara tradisional, proses fermentasi dilakukan dalam kuali. Penelitian penggunaan berbagai jenis karbohidrat telah dilakukan. Tiga jenis sumber karbohidrat, yaitu beras sangrai (ditambahkan 50% dari berat ikan), campuran nasi dan fermentasi beras ketan (tapai ketan), serta campuran beras sangrai, gula, nenas dan jahe (ditambahkan 50%, 10%, 15% dan 0,5% dari berat ikan). Bekasam yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki rasa asam dan bau alkohol yang spesifik. Produk dapat disimpan selama tiga bulan tanpa ada tanda-tanda kebusukan. Secara organoleptik, bekasam yang baik adalah yang diolah dengan menggunakan campuran nasi dan tapai ketan sebagai sumber karbohidrat. Penggunaan nenas dan jahe menyebabkan warna merah kecoklatan pada produk. Warna ini menyebabkan penurunan penerimaan oleh konsumen. Sumber karbohidrat tidak secara nyata mempengaruhi nilai pH dan kadar NPN (non-nitrogen protein) dari produk, tetapi secara nyata mempengaruhi kadar air, amonia, asam laktat dan TVB dari produk. Lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap kadar amonia, NPN, asam laktat dan TVB dari produk (Murtini, 1991). Selain itu di Palembang juga ditemukan bahwa produk sejenis bekasam yang diolah dengan menggunakan beras sangrai sebagai sumber karbohidrat yang disebut dengan ikan pede. Mutu bekasam dapat diperbaiki dengan menambahkan kultur starter bakteri asam laktat. Murtini et al. (1997) menggunakan bagian cairan dari asinan sawi dan kubis sebagai sumber bakteri asam laktat pada pembuatan bekasam ikan gurami. Penggunaan kedua jenis cairan asinan sebagai sumber bakteri asam laktat secara nyata mempengaruhi jumlah bakteri asam laktat dan total koloni bakteri anaerob awal, dimana cairan tersebut menyebabkan jumlah koloni kedua jenis bakteri lebih tinggi. Kadar asam laktat bekasam meningkat tajam pada fermentasi minggu kedua dan kemudian cenderung menurun. Nilai pH bekasam cenderung konstan sampai fermentasi minggu keempat dan fermentasi lebih lanjut menghasilkan peningkatan nilai pH produk yang mungkin disebabkan oleh penurunan kecepatan pembentukan asam laktat dan meningkatnya kecepatan senyawa bersifat basa. Penambahan asinan sawi menghasilkan produk yang secara organoleptik lebih baik, khususnya dalam hal warna. Selama penyimpanan delapan minggu, bekasam yang diolah dengan menggunakan metoda ini masih tetap disukai sampai akhir penyimpanan. Dari uraian di atas diketahui bahwa proses fermentasi pada produk bekasam terjadi pada ikan dan sumber karbohidrat yang meibatkan bakteri (terutama bakteri asam laktat), kapang dan khamir. Peranan kapang dan khamir dapat dilihat pada penggunaan tapai ketan sebagai sumber karbohidrat. Tapai di dalam pengolahannya melalui proses fermentasi dengan menggunakan ragi. Mikroorganisma yang terdapat pada ragi tapai adalah Amylomyces rouxii, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor sp., Candida utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Saccharomyces cerevisiae dan beberapa bakteri seperti Pediococcus sp., dan Bacillus sp. (Gandjar, 2003).

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

58

2.3. Mikrobiologi Bekasam Isolasi bakteri dari produk bekasam ikan lampan, bekasam ikan saluang, bekasam ikan sepat, dan bekasam ikan betino yang dibeli di Palembang dan dibuat di laboratorium diperoleh 27 isolat bakteri asam laktat (Sugiyono et al., 1999). Identifikasi lebih lanjut terhadap isolat tersebut diperoleh bahwa bakteri asam laktat yang terdapat pada bekasam yang dibeli dari pengolahan adalah Lactobacillus coryneformis dan Lactobacillus spp. Sedangkan bakteri asam laktat yang diidentifikasi dari bekasam yang dibuat di labpratorium adalah Lactobacillus spp., Pediococcus sp., Lactobacillus coryneformis dan Pediococcus damnosus. Indiati et al (1999) melakukan isolasi dan identifikasi bakteri asam laktat dari ikan pede, yaitu bekasam yang diolah dengan menggunakan beras sangrai sebagai sumber karbohidrat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa bakteri asam laktat yang dominan pada produk ikan pede adalah Lactobacillus coryneformis.

2.4. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Kandungan asam laktat bekasam meningkat setelah melalui proses fermentasi dan kecepatan peningkatannya secara nyata dipengaruhi oleh sumber karbohidrat yang digunakan. Kandungan asam laktat bekasam hasil penelitian Murtini et al. (1991) adalah 0,60 5,33%. Komposisi proksimat bekasam yang dibuat dari ikan mas dapat dilihat pada Tabel 15. Kadar garam dan nilai pH bekasam masing-masing adalah 14,95-17,20% dan 4,574,89.

Tabel 15. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Bekasam dari Ikan Mas Parameter Kadar Air (%) 58,40 66,95 Kadar Abu (%) 6,11 8,67 Kadar Protein (%) 4,80 6,91 Kadar Lemak (%) 5,00 5,72 Kadar Garam (%) 14,95 17,20 PH 4,57 4,89 Kadar Asam Laktat (%) 0,60 5,33 Sumber: Murtini et al. (1991)

3. CINCALOK Cincalok adalah produk fermentasi ikan tradisional yang telah dikenal dari generasi ke generasi oleh masyarakat Melayu di Provinsi Riau, khususnya Bengkalis. http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 59

Cincalok juga ditemukan di Penang, Malaysia dan masyarakat di sana menyebutnya dengan nama yang sama. Produk tersebut di Pontianak disebut dengan mencalok. Di Bangka terdapat produk yang mirip dengan cincalok disebut dengan rusip yang terbuat dari ikan ukuran kecil. Produk ini biasanya diproduksi oleh industri skala kecil atau industri rumah tangga.

3.1. Bahan Mentah Pada umumnya bahan mentah yang digunakan untuk pembuatan cincalok adalah udang kecil yang biasanya disebut oleh masyarakat setempat udang pepai atau udang rebon (Schizopodes dan Mytis sp.). Bahan mentah harus dalam keadaan segar.

Udang Rebon

Sortasi dan Pencucian

Pencampuran Dengan Nasi dan Garam

Penempatan Dalam Wadah Tertutup

Fermentasi Selama 4 hari

Pengemasan Dalam Botol

CINCALOK Gambar 9. Alur Proses Cincalok

3.2. Teknologi Pengolahan Tidak ada metoda pengolahan yang baku untuk cincalok. Pada metoda yang diterapkan oleh pengolah di Bengkalis, udang segar ditambah dengan nasi dan garam yang dicampur secara merata dalam wadah plastik. Untuk satu kilogram udang ditambah nasi sebanyak 200-300g, sedangkan garam sebanyak 300g. Selanjutnya wadah tersebut http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 60

ditutup untuk menghindarkan kontak dengan udara dan diinkubasi selama 4 hari sampai cairan dilepaskan. Setelah itu campuran tersebut dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat. Selanjutnya produk telah siap untuk dipasarkan. Cara pengolahan cincalok yang lain adalah dengan mencampur udang ukuran kecil dengan tepung tapioka, garam dan gula, dengan perbandingan 20:1:1:1. Pada cara ini udang dibuang kulitnya dan kemudian dicuci. Tepung tapioka dilarutkan dalam air, digelatinisasi dan kemudian dibiarkan sampai dingin. Udang dicampur sampai merata dengan garam, gula dan tepung tapioka yang telah digelatinisasi. Campuran tersebut kemudian dimasukkan dalam botol dan ditutup rapat. Akhirnya campuran difermentasi pada suhu kamar selama 1-2 minggu (Irianto dan Irianto, 1998).

3.3. Mikrobiologi Cincalok Isolasi bakteri asam laktat yang dilakukan terhadap cincalok yang dibeli dari pengolah di Bengkalis, Riau didapat tiga isolat. Setelah dilakukan identifikasi diperoleh informasi bahwa bakteri asam laktat yang beperan di dalam fermentasi produk cincalok adalah Lactobacillus coryneformis, Pediococcus damnosus dan Pediococcus sp. (Sugiyono et al., 1999)

3.4. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Hasil analisis kimia cincalok yang diolah dengan menggunakan metoda yang menambahkan nasi dan garam seperti pada alur proses Gambar 9. dapat dilihat pada Tabel 16. Nilai pH cincalok relatif rendah, yaitu 4,82. Sedangkan kandungan garam dan kadar asamnya cukup tinggi, yaitu masing-masing 10,11% dan 2,34%.

Tabel 16. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Cincalok Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar garam (%) Kadar asam laktat (%) pH Sumber: Irianto (1999)

69,76 12,43 16,23 1,57 10,11 2,34 4,82

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

61

4. NANIURA Naniura adalah produk tradisional ikan fermentasi yang berasal dari daerah Batak Toba, Sumatera Utara. Naniura dapat digolongkan sebagai produk pangan semibasah dengan nilai aW 0,8 (Silalahi, 1994).

4.1. Bahan Mentah Bahan mentah yang biasa digunakan untuk pengolahan naniura adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Masyarakat Batak Toba secara tradisional mengawetkan ikan secara fermentasi dengan mengolahnya menjadi naniura. Silalahi (1994) menggunakan ikan gabus (Chana striatus) sebagai bahan mentah pada pembuatan naniura dan dapat menghasilkan produk yang secara organoleptik dapat diterima oleh konsumen.

4.2. Teknologi Pengolahan Pada pengolahan naniura, ikan pertama-tama disiangi dengan membuang isi perut dan insang. Selanjutnya ikan dicuci dengan air bersih untuk membuang darah. Ikan yang telah bersih direndam dalam air jeruk nipis dan kemudian dilumuri dengan tumbukan beras. Cara lain adalah ikan yang telah dibersihkan diberi tumbukan beras dan direndam dalam asam asetat selama tiga jam. Setelah itu ikan dikemas dan siap untuk dipasarkan (Gambar 9). Ikan Mas

Penyiangan dan Pencucian

Direndam Air Jeruk Nipis 3 jam

Dilumuri Tumbukan Beras

Dikemas

Naniura

Gambar 9. Alur Proses Naniura http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 62

Silalahi (1994) mengolah naniura dari ikan gabus. Ikan gabus disiangi, dibuang tulangnya dan kemudian dicuci. Bumbu-bumbu ditumbuk sampai halus dan homogen. Bumbu yang telah halus tersebut dicampurkan pada ekstrak jeruk nipis dan dicampur sampai merata. Selanjutnya ikan direndam dalam ekstrak jeruk nipis yang telah dicampur dengan bumbu tersebut selama tiga jam. Kemudian ikan ditiriskan dan difermentasi selama empat hari. Bumbu yang digunakan pada pengolahan naniura adalah kunyit, jahe, kencur, kemiri, bawang putih, bawang merah, ekstrak jeruk nipis dan laos (Napitupulu 1989 dalam Silalahi, 1994). Silalahi (1994) melakukan modifikasi metoda pengolahan dengan menggunakan larutan asam asetat sebagai pengganti ekstrak jeruk nipis pada pengolahan naniura dari ikan gabus (Ophiocephalus striatus). Penggunaan larutan asam asetat 2% ternyata menghasilkan naniura yang lebih baik dan umur simpan yang lebih lama dibandingkan bila menggunakan larutan asam asetat 1%. Naniura yang diolah dengan menggunakan larutan asam asetat 1% telah ditolak oleh panelis pada fermentasi hari keempat. Nilai pH naniura yang diolah dengan menggunakan larutan asam asetat 2% relatif konstan selama proses fermentasi, yaitu 5,5. Jumlah bakteri yang dinyatakan sebagai total plate count (TPC) dari naniura yang difermentasi selama 8 hari meningkat dari 5.1x103 cfu/g menjadi 7,5x105 cfu/g.

5. PUDU Pudu adalah produk ikan fermentasi yang diolah dengan menggunakan bahan mentah ikan air tawar dan berasal dari daerah kepulauan Riau. Produk ini memiliki kandungan protein, lemak dan serat rendah, tetapi kandungan karbohidratnya tinggi (Maamoen et al., 2003).

5.1. Bahan Mentah Ikan mujair (Tilapia sp.) dengan ukuran 100-150 gram/ekor adalah ikan air tawar yang sering digunakan sebagai bahan mentah pada pengolahan pudu. Sedangkan bahan lain yang biasa ditambahkan adalah air, nasi dan asam kandis (Carcinia parvifoli). 5.2. Teknologi Pengolahan Cara pengolahan pudu menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Maamoen (2003) dapat dilihat pada Gambar 11. Di dalam pengolahannya, ikan mujair yang telah dicuci ditambah dengan 20% garam dan 5% nasi, serta asam kandis dan air secukupnya sampai merata. Setelah itu dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat. Selanjutnya difermentasi pada suhu kamar selama dua hari dan produk yang dihasil dari proses ini siap untuk dijual ke konsumen. http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 63

Ikan Mujair

Pencucian Sebanyak 3 kali

Pencampuran Garam, Nasi, Asam Kandis dan Air

Penempatan Dalam Botol Tertutup

Fermentasi Selama 2 hari

PUDU

Gambar 10. Alur Proses Pudu

5.3. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Hasil penelitian Maamoen et al. (2003) menunjukkan bahwa nilai pH produk pudu adalah 4.4. Sedangkan kadar garam produk adalah 17%. Komposisi proksimat dari pudu dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Kadar Air, Protein dan Lemak Pudu Ikan Mujair Parameter Pudu dari Pasar Pudu Produksi Laboratorium Kadar air (%) 59 58 Kadar protein (%) 15.7 13.5 Kadar lemak (%) 1`.2 1.1 Sumber: Maamoen et al. (2003)

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

64

PENUTUP

Dari uraian di atas diketahui bahwa produk ikan fermentasi tradisional memiliki kekhasan dalam teknologi pengolahan, bahan mentah yang digunakan, dan flavor yang dimiliki. Karena kebanyakan produk tersebut hanya dapat diperoleh pada suatu daerah tertentu, maka produk ikan fermentasi tradisional dapat dipakai sebagai identitas suatu daerah, terutama bila produk dengan mutu terbaik dihasilkan oleh daerah tersebut, sebagai contoh kota terasi Puger di Jember, Jawa Timur. Dari gambaran cara pengolahan yang diterapkan diketahui bahwa pproduk ikan fermentasi sebagai produk tradisional memiliki citra baran yang kurang baik, yaitu diolah dengan tingkat sanitasi dan higiene yang rendah, menggunakan bahan mentah dengan tingkat mutu atau kesegaran yang rendah, keamanan pangannya tidak terjamin, dan teknologi yang digunakan secara turun temurun. Pengembangan produk olahan ikan fefementasi tradisional dapat diarahkan untuk membuat produk olahan tersebut lebih dikenal luas, tidak hanya bersifat kedaerahan, tetapi dikenal di tingkat nasional atau mungkin juga di tingkat internasional. Secara keilmuan, beberapa produk produk ikan fermentasi telah dikenal secara Internasional, karena telah menarik para peneliti manca negara untuk ikut mempelajari hal hal yang terkait dengan proses fermentasi dan flavor khas yang dimiliki. Perbaikan citra produk ikan fermentasi tradisional dapat dilakukan dengan memperbaiki faktor-faktor yang mencirikan citra kurang baik dari produk tersebut. Pengolahan produk ikan fermentasi tradisional sebaiknya dilakukan dengan cara (a) menggunakan bahan mentah yang segar dan bermutu baik atau sesuai dengan persyaratan untuk menghasilkan produk bermutu baik, (b) pengolahan dilakukan pada tempat yang memenuhi persyaratan minimal sanitasi dan higiene supaya terjamin keamanan konsumsinya, serta (c) teknologi yang digunakan efisien dan efektif, bila diperlukan dapat menambahkan kultur starter atau enzim komersial pada awal fermentasi. Pengembangan produk perikanan tradisional harus dilakukan dengan berinovasi secara kreatif untuk menciptakan image (citra) indrawi produk yang berkesan terhadap konsumen. Disamping penampakan, warna, dan tekstur; rasa sering menjadi image yang sulit dilupakan setelah mengkonsumsinya. Dengan demikian rasa khas dari produk ikan fermentasi ntradisional sebaiknya tetap ditonjolkan. Penampilan produk ikan fermentasi tradisional dapat dioptimalkan dengan mengemasnya dalam kemasan yang memiliki disain, logo dan label menarik yang merangsang konsumen untuk melihat, menyentuh dan membelinya, serta dapat menghulangkan kesan sebagai produk murahan. Bila diperlukan kesan sebagai produk tradisional dapat ditonjolkan melalui kemasan, misalnya dengan mengemasnya menggunakan bahan seperti dari daun pisang kering, anyaman bambu, anyaman enceng gondok dan anyaman tikar.

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

65

Pengembangan produk ikan fermentasi tradisional juga dapat dikaitkan dengan kegiatan wisata. Bagi sebagian kalangan, terutama turis mancanegara, melihat dan mengamati proses pengolahan produk yang berkonotasi tradisional merupakan suatu petualangan yang menarik dan mengundang rasa ingin tahu. Sehingga pengembangan produk ikan fermentasi tradisional yang mengarah dengan menjadikannya sebagai obyek dalam paket wisata merupakan hal menarik yang dapat dilakukan. Untuk menjamin keamanan pangan dan keberlangsungan usaha, pembinaan dan pengawasan terhadap pengolah produk ikan fermentasi tradisional perlu dilakukan secara terus menerus, misalnya tentang proses pengolahan yang baik dan tidak menggunakan bahan-bahan yang dilarang atau membahayakan kesehatan konsumen. Produk ikan fermentasi tradisional sebagai warisan budaya nenek moyang perlu dilakukan upaya upaya untuk melindungi kepemilikannya oleh bangsa Indonesia untuk menghindarkan klaim atau bahkan dipatenkan oleh bangsa lain.

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

66

DAFTAR PUSTAKA Adams, M.R., Cooke, R.D. dan Rattagol, P. 1985. Fermented fish products of South East Asia. Trop.Sc. 25: 61 - 73 Afrianto, E. and Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan pengolahan ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Alm, F. 1965. Scandinavian anchovies and herring tidbits. Di dalam Fish as food vol. III (Borgstrom, G. ed.). Academic Press. New York. p. 195 - 217 Anggawati, A.M., Indriati, N., Sudrajat,Y., Assastyasih, M and Madden, J.L. 1986. Seasonal abundance of flies and bacteria at two fish landing sites in Jakarta. ACIAR Project 8304 Coordination Meeting. Jakarta. Anonimous. 1979. Penelitian mutu terasi di daerah Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Kimia - Departemen Perindustrian. Ujung Pandang . Anonimous. 1983. The use of crude papain in the hydrolysis of lemuru fish (Sardinella sp.) for fish sauce preparation. di dalam Annual report 1983. Asean working group on the management and utilization of food waste materials. Asean Committee on Science and Technology hal. 119-122 Anonimous. 1985a. Isolation and identification of proteolytic microbe found through the course of lemuru fish (Sardinella sp) fermentation. di dalam Annual Report 1985. Asean working group on the management and utilization of food waste materials. Asean Committee on Science and Technology hal. 124-138 Anonimous. 1985b. Study of the proteolytic enzymes produced by bacteria isolated during lemuru fish fermentation. di dalam Annual Report 1985. Asean working group on the management and utilization of food waste materials. Asean Committee on Science and Technology hal. 159-165 Assastyasih, M. and Madden, J.L. 1986. Effect of plant extract on the acceptability of fish to flies. ACIAR Project 8304 Coordination Meeting. Jakarta. Basmal, J. 1993. Pembuatan kecap ikan. di dalam Kumpulan hasil hasil penelitian pascapanen perikanan (Eds. Suparno, Nasran, S. and Setiabudi, E.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. hal.140-141 Beddows, C.G., Ismail, M. dan Steinkraus, K.H. 1976. The use of bromelin in the hydrolysis of mackerel and the investigation of fermented fish aroma. J.Fd.Technol. 11: 379 - 388 Beddows, C.G., Aldeshir, A.G. dan Daud, W.J. 1979. Biochemical changes occurring during the manufacture of budu. J.Scie.Food.Agric. 30: 1097 - 1103 http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 67

Beddows, C.G., Aldeshir, A.G. dan Daud, W.J. 1980. Development and origin of the volatile fatty acids in budu. J.Scie.Food.Agric. 31: 86 - 92 Beddows, C.G. 1985. Fermented fish and fish products. di dalam Microbiology of fermented foods vol. 2. (Ed. Wood, B.J.B.). Elsevier Applied Science. London. hal. 1-39. Blood, R.M. 1975. Lactic acid bacteria in marinated herring. Di dalam Lactic acid bacteria in beverage and foods (Carr, J.G., Cutting, C.V. dan Whiting, G.C. eds.). Academic Press Inc. London. p. 195-229 Budhyatni, S., Murtini, J.T. and Peranginangin, R. 1982. Studi mikroflora pada terasi bubuk ekspor. Laporan Penelitian Teknologi Perikanan 16: 25-33 Burgess, G.H.O., Cutting, C.L., Lovern, J.A. dan Waterman, J. 1965. Fish handling and processing. Her Majesys Stationary Office. Edinburgh Burkholder, L., Burkholder, P.R., Chu, A., Kostyk, N. and Roels, O.A. 1968. Fermentation. Food Tech. 22: 1278-1284. Burhanuddin, Martosewojo, S., Djamali, A. and Moelyanto, R. 1984. Perikanan demersal di Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional - LIPI. Jakarta Burhanuddin, Djamali, A., Martosewojo, S. and Hutomo, M. 1987. Sumberdaya ikan manyung di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Nasional - LIPI. Jakarta Chasanah, E. 1991. Fermented product from mackerel Scomber scombrus. Master Thesis. University of Rhode Island. Chasanah, E., Hutuely, L. and Hanafiah, T.A.R. 1994. Produk fermentasi ikan dari Maluku: Perubahan selama fermentasi dan kandungan nutrisi bekasang dari jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Jurnal Pasca Panen Perikanan Vol. IV (3): 8-14. Chayovan, S., Rao, R.M., Liuzzo, J.A. dan Khan, M.A. 1983. Chemical characterization and sensory evaluation of a dietary sodium-potassium fish sauce. J.Agric.Food.Chem. 31: 859 - 863 Ching, L.H., Mauguin, T.I.S. dan Mescle, J.F. 1992. Application of lactic acid fermentation. Di dalam Fish processing technology (Hall, G.M. ed.). Blackie Academic & Professional. New York. 193-211

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

68

Christensen, C.M. dan Kaufmann, J.A. 1974. Micro-flora. Di dalam Storage of cereal grains and their products (Christensen, C.M. ed.). Monograph Series A.Assoc.Cereal Chem. p. 158-192 Crysan, E.V. dan Sand, A. 1975. Microflora of four fermented fish sauces. Applied Micro. 39(1): 106 - 108 Directorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2007. Kebijakan dan program prioritas tahun 2008. DitJen Perikanan Tangkap. Jakarta. Dussault, H.P. 1958. The salt tolerance of bacteria from lightly salted fish. Di dalam The microbiology of fish and meat curing brines (Eddy, B.P. ed.). Her Majestys Stationary Office. London. p. 61 - 67 Efendi, Y. 1992. Isolasi dan identifikasi bakteri pada ikan tukai. Tesis Master. Institut Pertanian Bogor. Bogor Efendi, Y. 1995. Studi pendahuluan tentang pengolahan ikan tukai. Di dalam Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I. Jakarta, 25-27 Agustus, 1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. hal. 152-163. Emmawati, A. 1998. Picung ternyata berkhasiat. Harian Umum Republika, December 6,1998. hal. 6 . Erwan, M. 1992. Pengaruh konsentrasi gula dan garam terhadap mutu jambal roti. Skripsi Sarjana. Bogor Essuman, K.M. 1992. Fermented fish in Africa (FAO Fisheries Technical Paper 329). FAO of the United Nation. Roma Ganjar, I. 2003. Tapai from cassava and cereals. Makalah dipresentasikan pada The First International Symposium and Workshop on Insight into the World of Indigenous Fermented Foods for Technology Development and Food Safety. Kasetsart University, 13 17 Agustus, 2003 Hanafiah, T.A.R. 1987. Factors affecting quality of pedah siam. Tesis Master. University of Washington. Seattle Haymon, L.W. dan Acton, J.C. 1978. Flavors from lipids by microbiological action. Di dalam Lipids as a source of flavor (Supran, M.K. ed.). American Chemical Society. Washington. p. 94 - 115 ICMSF. 1980. Microbial ecology of foods vol. II. Academic Press. New York ICMSF. 1986. Microorganisms in foods 2, sampling for microbiological analysis: principles and specific applications. University of Toronto Press. Toronto http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 69

Idawati. 1996. Isolasi dan seleksi bakteri asam laktat yang bersifat antimikroba dari ikan peda dan kecap ikan. Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor Idiyanti, T. and Arbianto, P. 1986. Identifikasi bakteri halofilik pengurai protein pada fermentasi ikan sisa/kecap ikan. Buletin Limbah Pangan vol. II (3): 149-159 Indriati, N., Irianto, H.E., Amini, S., Sugiyono, Rahayu, U., Sabarudin dan Suarga, E.J. 1999. Isolasi dan identifikasi bakteri asam laktat dari produk pede tapa (Laporan Teknis). Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan Slipi. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta Irawadi, T.T. 1979. Pengaruh garam dan glukosa pada fermentasi asam laktat dari ikan kembung (Scomber negletus). Tesis Master. Institut Pertanian Bogor. Irianto, H.E. 1990. Studies on the processing of pedah, a traditional Indonesian fermented fish product. Jurnal Penelitian Pascapanen Perikanan 81: 18-29. Irianto, H.E. 1999. Picungan, produk tradisional ikan fermentasi dari daerah Banten. Warta Penelitian Perikanan Indonesia V (1) 20-25. Irianto, H.E. and Irianto, G. 1998. Traditional fermented fish products in Indonesia. paper presented in APFIC Working Party on Fish Technology and Marketing, Beijing Irianto, H.E., Indriati, N., Amini, S. dan Sugiyono. 2003. Study on the processing of picungan, a traditional fermented fish product from Banten. Di dalam Proceeding of the JSPS DGHE International workshop on processing technology of fisheries products. Semarang, 25 26 August 2003 (Ibrahin, R. et al. eds.). pp. 139 144. Jay, J.M. 1986. Modern food microbiology. Van Nostrand Reinhold Company. New York Kamil, N., Hardjo, S. and Muchtadi, D. 1976. Pengaruh penggaraman pada pembuatan ikan peda. Buletin Penelitian Teknologi Hasil Pertanian 16: 9-18 . Kumalaningsih, S. 1986. Pemanfaatan enzim dan bakteri proteolitik pada fermentasi kecap ikan lemuru (Sardinella sp.). PhD Dissertation. Brawijaya University. Malang Lee, K.H. 1968. Digestion of fish protein. Susan Taehak Yougu Pogo 8 (1): 51 - 57 Lindgren, S dan Pleje, M. 1983. Silage fermentation of fish or fish waste products with lactic acid bacteria. J.Sci.Food.Agric. 34: 1057 - 1067

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

70

Liston, J dan Matches, J.R. 1976. Fish, crustaceans and precooked seafoods. Di dalam Compedium of methods for the microbiological examination of foods. (Speck, M.L. eds). American Public Health Association. Washington. p.507 - 521 Lopetcharat, K., Choi, Y.J., Park, J.W. dan Daeschel, M.A. 2001. Fish sauce products and manufacturing: a review. Food Reviews International 17 (1): 65-88 Maamoen, A., Dahlia dan Lukman, S. 2003. Cencaluk, Pudu some of traditional food from Riau. Di dalam Proceeding of the JSPS-DGHE International Workshop on Processing Technology of Fisheries Products Quality Improvement of Traditional Fisheries Products in Asian Region Semarang 25-26 Agustus 2003. hal. 202 - 206 Mackie, I.M., Hardy, R. and Hobbs, G. 1971. Fermented fish products. FAO Fisheries Report No. 100. FAO United Nations. Rome. Magnusson, H. dan Traustadottir, K. 1982. The microbial flora of vacuum packed herring fillets. J.Food.Technol. 17: 695 702 McIver, R.C., Brooks, R.I. dan Reineccius, G.A. 1982. Flavor of fermented fish sauce. J.Agric.Food.Chem. 30: 1017 - 1020 Makinodan, Y. 1992. Fermented marine products. Di dalam Science of processing marine food products vol. II (Motohiro, T. et al.. eds). Kanagawa International Fisheries Training Center JICA. Kanagawa. p. 83 -92 Menajang, J.I. 1988. Aspek mikrobiologi dalam pembuatan peda ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma). Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan pengolahan hasil perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta. Moeljohardjo, D.S. 1972. On the volatile compounds of cooked trassi, a cured shrimp paste condiment of the Far East. Center for Agricultural Publishing and Documentation. Wageningen. Mulyokusumo, E.S. 1974. Kecap kedelai, bungkil kacang, ikan. Terate. Bandung . Murdinah, Wibowo, S. and Rahayu, S. 1983. Beberapa perubahan hasil olahan tradisional selama penyimpanan pada suhu dingin. Laporan Penelitian Teknologi Perikanan 22: 11-21 . Murdinah. 1993. Kecap lambung ikan kakap. di dalam Kumpulan hasil hasil penelitian pascapanen perikanan (Eds. Suparno, Nasran, S. and Setiabudi, E.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. hal.149-151 . http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 71

Murtini, J.T., Ariyani, F., Anggawati, A.M. and Nasran, S. 1991. Pengolahan bekasam ikan mas (Cyprinus carpio). Jurnal Penelitian Pascapanen Perikanan 71: 11-23 . Murtini, J.T. 1992. Bekasam ikan mas. di dalam Kumpulan hasil hasil penelitian pascapanen perikanan (Eds. Suparno, Nasran, S. and Setiabudi, E.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. hal.135-139 . Murtini, J.T., Yuliana, E., Nurjanah and Nasran, S. 1997. Pengaruh penambahan starter bakteri asam laktat pada pembuatan bekasam ikan sepat (Trichogaster trichopterus) terhadap mutu dan daya awetnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia III (2): 71-82 . Murtini, J.T. 1995. Sumbangan protein dari produk fermentasi ikan untuk meningkatkan gizi masyarakat. Di dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Traditional. Kantor Menteri Urusan Pangan Republik Indonesia. Jakarta. hal.384-391 Nickerson, J.T. dan Sinskey, A.J. 1972. Microbiology of foods and food processing. American Elsevier Publishing Co. New York Nuraniekmah, S.R. 1996. Pengaruh suhu perendaman terhadap aktivitas enzim proteolitik dan perkembangan bakteri pada pembuatan jambal roti dari ikan manyung (Arius thalassius). Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor . Nur, M.A. and Sjachri, M. 1979. Pengaruh beberapa perlakuan terhadap sifat fisik dan kimia dari produk akhir pada pengolahan ikan peda cara laboratoris. Di dalam Laporan Lokakarya Teknologi Pengolahan Ikan Secara Tradisional. Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan. Jakarta. hal.91-94 Orejana, F.M. 1983. Fermented fish products. Di dalam Handbook of tropical foods (Chan, H.T. ed.). Marcel Dekker Inc. New York. p. 255 - 295 Orejana, F.M. dan Liston, J. 1981. Agents of proteolysis and its inhibition inpatis (fish sauce) fermentation. J.Food.Scie 47: 198 - 203 Orillo, C.A. dan Pederson, C.S. 1968. Lactic acid bacteria fermentation of burong dalag. Applied Microbiology 16 (11): 1669 1671 Owen, J.D. dan Mendoza, L.S. 1985a. Enzimatically hydrolysed and bacterially fermented fishery products. J.Food.Technol. 20: 273 293 Owen, J.D. dan Mendoza, L.S. 1985b. South Asian fermented fishery products. IFST Proceeding 18 (3): 174 - 177

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

72

Poernomo, A., Suryaningrum, T.D., Ariyani, F. and Putro, S. 1984. Nilai gizi dan mikrobiologi produk perikanan tradisional. Laporan Penelitian Teknologi Perikanan 30: 9-19 . Praptiningsih, Y.S., Hartanti, S., Sudewo, A. and Maryanto. 1988. Penggunaan starter pada pembuatan terasi. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor . Putri, S.D. 1989. Pengaruh kadar garam terhadap mutu ikan tukai (Effects of salt amount on the quality of ikan tukai). Skripsi Sarjana. Bung Hatta University. Padang Putro, S. 1993. Fish fermentation technology in Indonesia. Di dalam Fish fermentation Technology (Eds. Lee, C.H., Steinkraus, K.H. and Reilly, P.J.A.) United Nation University Press. Korea. hal. 107-128. Rahayu, W.P., Ma'oen, S., Suliantari and Fardiaz, S. 1992. Teknologi fermentasi produk perikanan. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Rose, A.H. 1982. History and scientific basis of microbial activities in fermented foods. Di dalam Fermented foods (Rose, A.H. ed.). Academic Press. London. p. 1-13 Sarnianto, P., Irianto, H.E. and Putro, S. 1984. Studies on the histamine contents of fermented fishery products. Laporan Penelitian Teknologi Perikanan 32: 35-39 Saisithi, P., Kasemsarn, B., Liston, J. Dan Dollar, A.M. 1966. Microbiology and chemistry of fermented fish. J.Food.Scie. 31: 105 - 110 Setiabudi, E., Subroto, W. and Bustaman, S. 1984. Pengaruh kadar garam terhadap mutu bekasang selama process fermentasi. Laporan Penelitian Teknologi Perikanan 46: 11-15 . Silalahi, J.R.S. 1994. Studi pengolahan naniura ikan gabus (Ophiocephalus striatus) dengan penambahan asam asetat berbeda. Skripsi Sarjana. Riau University. Riau . Sjachri, M. and Nur, M.A. 1979. Pengaruh penggunaan anti mikotik (asam sorbat) dan antioksidan (BHA) terhadap sifat-sifat kimia ikan peda. Di dalam Laporan Lokakarya Teknologi Pengolahan Ikan Secara Tradisional. Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan. Jakarta. hal.162-166 Smith, G. 1989. Investigation into the quality of cured fish. Food.Scie. and Tech. Today 3(1): 35-37 Soedarmo, P. and Sediaoetama, A.D. 1977. Ilmu Gizi. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta.

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

73

Stanton, W.R. dan Yeoh, Q.L. 1977. Low salt fermentation method for conserving trash fish waste under SE Asian. di dalam Proceeding of conference on processing and marketing tropical fish. Tropical Product Institute. London. p. 277-282 Subagio, A. 2006. Mengembangan terasi instan. Foodreview Indonesia 1 (9): 58 - 61 Subroto, W., Hutuely, L., Haerudin, N.H. and Purnomo, A.H. 1985. Penelitian pendahuluan kecap ikan secara hidrolisis enzymatis. Laporan Penelitian Teknologi Perikanan 42: 5-13 . Subroto, W., Setiabudi, E. and Sjahrul B. 1984. Penelitian pendahuluan pengolahan bekasang. Laporan Penelitian Teknologi Perikanan 26: 9-17 Sugiyono, Irianto, H.E., Indriati, N., Amini, S., Rahayu, U., Sabarudin dan Suarga, E.J. 1999. Isolasi dan identifikasi bakteri asam laktat dari produk bekasam (Laporan Teknis). Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan Slipi. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta Sugiyono, Irianto, H.E., Indriati, N., Amini, S., Rahayu, U., Sabarudin dan Suarga, E.J. 1999. Isolasi dan identifikasi bakteri asam laktat dari produk cincalok (Laporan Teknis). Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan Slipi. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta Sukarsa, D.R. 1978. Pemanfaatan jeroan ikan sebagai hasil ikutan dari pengawetan ikan. Jurnal Penelitian Teknologi Hasil Perikanan 1: 11-52 . Sukarsa, D. 1979. Pembuatan peda dari ikan air tawar. Di dalam Laporan Lokakarya Teknologi Pengolahan Ikan Secara Tradisional. Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan. Jakarta. hal.94-100 . Sumanti, D.M. 1988. Identifikasi dan sifat-sifat bakteri halofilik yang diisolasi dari produk fermentasi jeroan ikan cakalang (Identification and characteristics of halophyllic bacteria isolated from fermentation of skipjack viscera). Tesis Master. Institut Pertanian Bogor. Bogor . Suparno and Silowati, T. 1982. Pembuatan kecap ikan dari ikan kembung (Rastrelliger spp.) secara hidrolisis asam (Preparation of fish sauce from mackerel Rastrelliger spp. by acid hydrolysis). Laporan Penelitian Teknologi Perikanan 20: 29-36 . Suparno and Murtini, J. 1992. Terasi bubuk (Powder terasi). di dalam Kumpulan hasil hasil penelitian pascapanen perikanan (Compilation of research results of fishery post-harvest) (Eds. Suparno, Nasran, S. and Setiabudi, E.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. hal.137-139 .

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

74

Susilowati, R.F.R. 1989. Mempelajari sifat fisiologi bakteri yang diisolasi dari terasi. Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor . Suwandi, I. 1988. Mempelajari sifat fisiologi bakteri halotoleran yang diisolasi dari ikan peda. Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Tanikawa, E., Motohiro, T. dan Akiba, M. 1985. Marine products in Japan. Koseisha Koseikaku Co. Ltd. Tokyo Tedja, T. and Nur, M.A. 1979. Mempelajari pengaruh bakteri asam laktat pada fermentasi ikan bergaram. Di dalam Laporan Lokakarya Teknologi Pengolahan Ikan Secara Tradisional. Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan. Jakarta. hal.153-156 . van Veen, A.G. 1953. Fish preservation in Southeast Asia. Advance in Food Research 4: 209-231. van Veen, A.G. 1965. Fermented and dried seafood products in Southeast Asia. Di dalam Fish as food vol. 3 (Ed. Borgstrom, G.). Academic Press. New York. hal. 227-247. Voskresensky, N.A. 1965. Salting of herring. di dalam Fish as food vol. 3. (Ed. Borstrom, G.). Academic Press. New York. hal. 107-131. Vo-Van, K., Kusakabe, I. dan Murakami, K. 1984. The aminopeptidase activity in fish sauce. Agric.Biol.Chem. 48 (2): 525 - 527 Ward, D.R. dan Baj, N.J. 1988. Factors affecting microbiological quality of seafoods. Food Technology (3): 85 89 Wheaton, F.W. dan Lawson, W. 1985. Processing aquatic food product. John Wiley & Sons, Inc. New York Wikipedia. 2007. Wikipedia, the free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Fermented_fish. download pada 19 Mei 2008 Wikipedia Indonesia. 2008. Kecap ikan. http://id.wikipedia.org/wiki/Kecap_ikan. download pada 19 Mei 2008 Winarno, F.G., Fardiaz, S. and Daulay, D. 1973. Indonesian fermented foods. Bogor Agricultural University. Bogor. Yeni, R. 2005. Bakteri pembentuk histamine pada peda kembung perempuan (Rastrelliger negletus) selama proses pengolahan. Skripsi Sarjana Sains Fakultas Biologi. Universitas Nasional. Jakarta http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 75

Yunizal. 1998. Pengolahan terasi udang. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. XX (1): 4-6

http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

76

Anda mungkin juga menyukai